Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM

BAB II TEOLOGI LOKAL: PENDEKATAN TEORITIS A. Pengantar Teologi selalu membawa manusia untuk dekat kepada Tuhan. Karena itu melakukan teologi adalah jalan untuk mendengar suara Tuhan

  yang seringkali berbisik, dan merasakan kehadiran Tuhan yang seringkali

  1

  tersembunyi. Dengan demikian teologi selalu terikat dengan konteks lokal tertentu di mana manusia mendengar suara Tuhan dan merasakan kehadiran Tuhan yang tersembuyi.

  Oleh sebab itu, teologi selalu berkaitan dengan respon orang percaya untuk menjelaskan iman mereka sesuai dengan realitas hidup mereka di dalam suatu konteks lokal tertentu. Sehingga teologi maupun proses berteologi selalu terikat dengan konteks lokal tertentu, konteks di mana iman manusia dibangun dan dibentuk dengan realitas hidup yang begitu kompleks.

  Karena teologi terikat dengan konteks lokal tertentu, maka proses berteologi atau konstruksi teologi harus dimulai dari konteks, dan tidak hanya dimulai dengan Alkitab atau tradisi gereja semata. Dengan demikian maka materi-materi lokal yang ada di dalam konteks lokal juga dapat dipakai untuk berteologi atau mengkonstruksikan sebuah teologi, 1 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 6. karena di dalam materi-materi lokal tersebut manusia tidak hanya mendengar suara Tuhan, tetapi juga berjumpa dengan Tuhan.

  Oleh karena itu, untuk menolong manusia supaya dapat memahami dan menghayati Tuhan sesuai dengan konteks lokal manusia tersebut, maka teologi dan proses berteologi harus dibangun dari bawah, dari konteks lokal manusia tersebut. Untuk membangun teologi dari konteks lokal manusia tertentu, maka teologi lokal menjadi pilihan berteologi. Karena itu dalam bab ini penulis akan menjelaskan apa itu teologi lokal, siapa yang dapat berteologi lokal, bagaimana berteologi lokal, dan bagaimana mengkonstruksikan sebuah teologi lokal.

B. Mengapa Teologi Lokal?

  Sepanjang sejarah, manusia selalu berusaha untuk memahami dan menghayati Tuhan. Proses pemahaman dan penghayatan tersebut kemudian terbentuk di dalam terminologi iman. Untuk membantu manusia memahami dan menghayati Tuhan dalam iman, para teolog kemudian berusaha untuk mengkonstruksikan teologi yang sesuai. Dari proses konstruksi tersebut, mula-mula lahirlah teologi tradisional.

  Oleh para teolog, teologi tradisional dipahami sebagai sejenis ilmu pengetahuan objektif tentang iman. Karena itu, sebagai sebuah pengetahuan tentang iman, fokus teologi dalam teologi tradisional hanya menyangkut kitab suci dan tradisi yang isinya tidak bisa dan tidak pernah berubah, dan berada di atas kebudayaan serta ungkapan yang dikondisikan

  2 secara historis.

  Dengan memakai teologi tradisional sebagai pintu masuk untuk berteologi, sang teolog melihat bahwa perjumpaan Tuhan dengan manusia hanya terjadi melalui teks-teks di dalam kita suci dan tradisi di dalam teks maupun tradisi gereja semata, dan menutup mata terhadap ruang-ruang perjumpaan antara Tuhan dengan manusia yang terbentuk di dalam konteks (sosial, budaya, suku, ras, sejarah, politik, dan ekonomi) tertentu yang begitu kompleks dan bersifat lokal yang melekat pada identitas manusia. Oleh sebab itu untuk kurun waktu yang begitu lama, proses berteologi tidak melihat konteks tertentu sebagai salah satu unsur yang harus dimasukan di dalam proses berteologi.

  Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa iman Kekristenan adalah iman yang telah dibangun di atas teologi tradisional yang adalah warisan Barat, entah itu teologi, dogma, maupun tradisi. Iman Kekristenan tersebut kemudian dilabelkan pada semua orang yang mengaku beragama Kristen.

2 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere-Flores: Penerbit Ledalero, 2002), 2.

  Pertanyaan yang timbul ialah, apakah ruang-ruang perjumpaan antara Tuhan dan manusia hanya terjadi di dalam teks-teks kitab suci maupun tradisi di dalam teks atau pun tradisi di dalam gereja semata? Sehingga iman Kekristenan harus tetap dibangun di atas teks-teks kitab suci, tradisi di dalam teks dan tradisi gereja semata? Tentu tidak.

  Di dalam kehidupan manusia, manusia selalu terikat dengan identitas konteks (sosial, budaya, suku, ras, sejarah, politik, dan ekonomi) tertentu yang begitu kompleks dan bersifat lokal. Dalam konteks yang begitu kompleks dan lokal tersebut, terjadi ruang-ruang perjumpaan antara Tuhan dan manusia. Oleh sebab itu bagi teolog-teolog seperti Bevans, Schreiter, Choan Seng Song, Eben Nuban Timo, dan Sedmark, melihat bahwa konteks manusia yang begitu kompleks juga harus dimasukan sebagai unsur untuk berteologi selain kitab suci dan tradisi yang dipegang oleh teologi tradisional untuk berteologi, sehingga Sedmark misalnya mengusulkan untuk memakai drama-drama dan patung-patung di dalam

  3 budaya konteks lokal tertentu sebagai bahan untuk berteologi.

  Karena itu, iman Kekristenan mestilah iman yang dibangun berdasarkan ruang-ruang perjumpaan antara Tuhan dan manusia yang terbentuk di dalam konteks manusia yang begitu kompleks dan lokal tersebut. Karena jika tidak demikian maka bagi Schreiter, iman kita adalah 3 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 12.

  4

  iman yang kita dengar dari orang lain (fidex ex auditu), dan iman tersebut tidak dapat menolong manusia untuk memahami dan menghayati Tuhan yang telah turun dan berjumpa dalam konteks manusia yang begitu kompleks dan lokal dengan baik.

  Setelah usulan untuk memasukan konteks manusia yang begitu kompleks sebagai salah satu unsur untuk berteologi, maka terjadi sebuah pergesaran yang sangat besar di dalam tradisi bergereja. Proses berteologi yang mula-mula kaku dan hanya mementingkan kitab suci serta tradisi sebagai unsur untuk berteologi, kini mulai membuka diri untuk melihat konteks manusia yang begitu kompleks sebagai sebuah unsur berteologi.

  Dengan wajah berteologi yang baru, yang lebih ramah terhadap konteks yang begitu kompleks dari manusia, gereja-gereja mulai beramai- ramai mengkonstruksi teologi gereja sesuai dengan konteks dari masing- masing gereja. Oleh karena itu, untuk mengkonstruksikan teologi, teologi lokal menjadi salah satu pilihan berteologi yang dapat digunakan untuk mengusahakan suatu konstruksi teologi yang sesuai dengan konteks manusia. Pertanyaannya mengapa teologi lokal dan bukan teologi kontekstual?

4 Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK gunung mulia, 2006), 37.

  Teologi lokal dan teologi kontekstual memang pada dasarnya sama-sama mengusahakan teologi yang sesuai dengan konteks tertentu, namun teologi lokal lebih berusaha untuk membangun teologi dari bawah dengan menggunakan sumber-sumber daya lokal yang terdapat di dalam konteks tertentu, sedangkan teologi kontekstual hanya berusaha untuk mengkontekskan warisan barat dengan konteks tertentu. Sederhananya teologi kontekstual hanya memandang konteks sebagai ruang untuk mengoperasikan teologi, namun teologi lokal memandang konteks sebagai ruang untuk mengoperasikan teologi sekaligus sebagai teks untuk mengkonstruksikan teologi. Sehingga, teologi kontekstual seperti mengambil air dari luar dan menaruhnya di dalam wadah lokal supaya air tersebut bercita rasa lokal, sedangkan teologi lokal mengambil air dari dalam konteks lokal dan menaruhnya di dalam wadah lokal, sehingga air tersebut benar-benar mempunyai cita rasa lokal. Perbedaan ini juga ditegaskan oleh Preman Niles yang dikutip oleh Izak Lattu dalam tulisan

5 Kekristenan Poliponik.

  6 Namun di satu sisi, Bevans dengan model antropologinya dalam

  usaha berteologi secara kontekstual, mencoba untuk mengkonstruksikan teologi dari budaya yang pada dasarnya sejalan dengan langkah-langkah 5 Izak Lattu, Kekristenan Poliponik: Mendialogkan Teologi dan Budaya Lokal

  

dalam Theologia: Jurnal Teologi Interdisipliner (Volume IV, No 1, Bulan Agustus,

Tahun 2009), 97. 6 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere-Flores: Penerbit Ledalero, 2002), 96.

  teologi lokal yang mengkonstruksikan teologi dari sumber daya lokal, yaitu budaya. Kendati demikian, dalam model antropologinya Bevans selalu merujuk pada pentingnya proses budaya untuk berdialog dengan injil (firman ALLAH) yang merupakan identitas Kekristenan dalam suatu proses kontruksi teologi kontekstual.

  Apa yang disampaikan oleh Bevans di atas benar adanya, karena tanpa injil teolog kehilangan bingkai untuk berteologi. Namun di sisi lain, rujukan untuk selalu mendialogkan budaya dengan injil membuat teolog seringkali tidak dapat mengeksplor budaya lokal lebih dalam, karena kerapkali terhalangi dan bertentangan dengan dogma-dogma injil yang juga berinkarnasi dalam budayanya sendiri (Timur Tengah/Israel). Oleh sebab itu, sekuat apa pun teolog mengeksplor budaya lokal, nilai yang didapat bukanlah murni dari budaya lokal, melainkan nilai di dalam injil yang berinkarnasi di dalam budayanya yakni Timur Tengah/Israel.

  Lebih jauh, dengan selalu merujuk kepada injil, teolog seolah-olah disugesti bahwa injil (firman ALLAH) yang otentik hanya berinkarnasi di dalam budaya injil itu ditemukan (Timur Tengah/Israel) dan tidak berinkarnasi dalam budaya mana pun. Sugesti seperti ini membuat sehingga semua teologi yang dikonstruksikan dari budaya, titik dasarnya selalu berpusat pada karya keselamatan yang ALLAH lakukan di Israel, dan menutup mata terhadap karya keselamatan yang ALLAH lakukan pada tiap-tiap budaya di luar Israel.

  Sedikit berbeda dari model antropologi yang ditawarkan oleh Bevans dalam kerangka teologi kontekstual, teologi lokal yang ditawarkan oleh Sedmark justru memberikan keluasan kepada teolog untuk dapat mengeksplor budaya lokal dengan lebih leluasa, karena di dalam budaya lokal juga terdapat injil yang telah berinkarnasi. Oleh sebab itu, bagi Sedmark penting untuk menemukan pesan Yesus (injil) di dalam budaya lokal, dan pesan Yesus itu yang kemudian menjadi sebuah nilai untuk

  7

  mengkonstruksikan sebuah teologi lokal. Pada proses menemukan pesan Yesus tersebut, Alkitab dipakai sebagai sebuah bingkai untuk melihat apakah pesan Yesus yang ditemukan di dalam budaya lokal tersebut benar-benar selaras dengan iman kristen.

  Karena itu, teologi kontekstual, salah satunya termasuk model antropologi yang ditawarkan oleh Bevans dalam usaha berteologi kontekstual, pada dasarnya mengkonsepkan seorang teolog adalah seorang yang turun dengan banyak prasangka, sehingga ketika mengkonstruksikan sebuah teologi, prasangka itu menghalangi teolog tersebut untuk dapat mendengarkan budaya lokal secara leluasa. Berbeda dengan teologi lokal yang ditawarkan oleh Sedmark, yang memberikan keluasan bagi teolog 7 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 44. untuk mendengar suara budaya lokal secara leluasa tanpa dipengaruhi oleh banyak prasangka.

  Dengan demikian, teologi lokal dapat menjadi pintu masuk untuk merancang teologi yang sesuai dengan konteks tertentu. Sehingga iman Kekristenan bukan lagi iman yamg kaku dan juga bukan iman yang dibangun berdasarkan warisan Tmur Tengah/Israel yang kemudian dibawa, dan diinterpretasi di Barat dan disebarluaskan pada zaman kolonial oleh para misionaris atau zending, melainkan iman yang dibangun berdasarkan ruang-ruang perjumpaan antara Tuhan dan manusia yang terbentuk di dalam konteks manusia yang begitu kompleks dan lokal, supaya manusia dapat memahami dan menghayati Tuhan dengan baik.

C. Apa Itu Teologi Lokal, Siapa Yang Dapat Melakukan Teologi Lokal, dan Bagaimana Berteologi Lokal

  8 Ada begitu banyak teolog yang berbicara tentang teologi lokal,

  salah satunya adalah Clemens Sedmark. Menurut Sedmark, teologi berbicara tentang identitas manusia dalam terang yang adalah ALLAH itu sendiri. Di samping itu, teologi juga harus berbicara tentang kehidupan manusia yang adalah terang dari ciptaan Tuhan, dan membahas ciptaan

8 Robert J. Schreiter, Choan Seng Song dan Eben Nuban Timo misalnya.

  Tuhan dalam terang dari kehidupan Tuhan dengan manusia. Karena itu

  9 teologi berbicara tentang hidup.

  Karena teologi berbicara tentang hidup, maka teologi juga harus berbicara tentang konteks lokal tertentu di mana manusia hidup. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa hidup manusia, baik itu individu maupun kelompok terbentuk dan terikat di dalam konteks lokal (sosial, budaya, suku, ras, sejarah, ekonomi, dan politik) tertentu. Sehingga ketika manusia diajak untuk berteologi, manusia tidak dapat menutup mata dari konteks lokal manusia itu sendiri. Sehingga proses berteologi mesti berangkat dari konteks lokal tersebut yang telah mengambil andil untuk membentuk hidup manusia tersebut, baik itu individu maupun kelompok.

  Di sisi lain, ketika melakukan teologi secara lokal, maka teologi tersebut dapat menjadi sebuah respon iman dan juga dapat melayani iman Kristen masyarakat lokal dan gereja lokal dengan konteks lokal tertentu. Pertanyaan selanjutnya ialah, siapa yang dapat melakukan teologi lokal? Apakah teologi lokal hanya dapat dilakukan oleh para teolog atau kaum klerus saja?

  Dalam kerangka teologi tradisional yang melihat bentuk teologi sebagai yang diskursus dan akademis, tugas untuk melakukan teologi 9 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 7. hanya dimiliki oleh seorang teolog yang pakar, seorang akademisi, seorang spesialis yang berpendidikan tinggi, dengan pengetahuan yang luas menyangkut tradisi Kristen, sejarah doktrin, serta sejumlah

  10

  ketrampilan Bahasa dan hermeneutika, atau dalam bahasa sederhananya hanya kaum klerus (rohaniawan) yang dapat melakukan teologi. Dalam kerangka pemahaman seperti ini, tanpa sadar gereja telah membentuk sebuah hierarkhi di dalam tubuh teologi gereja.

  Di satu sisi, ada kaum klerus yang bertugas untuk berteologi dan di sisi lain ada kaum awam yang bertugas untuk mengikuti teologi yang dikonstruksikan oleh kaum klerus. Padahal proses berteologi adalah suatu bentuk proses beriman manusia kepada Tuhan. Bagaimana mungkin proses beriman satu manusia harus ditentukan oleh proses beriman manusia lain, bahkan benar dan salah iman satu manusia harus ditentukan oleh manusia lain? Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan.

  Di sisi lain, bagi Sedmark teologi adalah bagian alami dari

  11

  tindakan religius manusia untuk mengekspresikan imannya. Dengan demikian jika bertolak dari pemikiran Sedmark, maka semua orang beragama dapat melakukan teologi dan tidak hanya terbatas pada teolog profesional. Oleh sebab itu teologi lokal membuka diri untuk dipakai oleh 10 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere-Flores: Penerbit Ledalero, 2002), 30. 11 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 14 semua orang beragama di dalam kebutuhan mereka demi mengkonstruksikan teologi yang tepat untuk merespon dan mengekspresikan iman mereka kepada Tuhan dalam konteks lokal mereka.

  Kendati demikian, supaya tidak mengalami kekacauan karena teologi lokal membuka diri untuk dapat dipakai oleh semua orang

  12

  beragama, maka Sedmark mengusulkan tujuh kriteria yang harus diikuti ketika hendak melakukan teologi lokal, sama seperti menyiapkan makanan lokal:

  1. Bagi Sedmark, kita makan karena kita lapar, demikian juga ketika melakukan teologi. Kita melakukan teologi karena kita butuh.

  2. Sama seperti makanan yang berfungsi untuk disajikan, teologi yang dikonstruksikan juga harus memiliki fungsi untuk melayani konteks tertentu.

  3. Makanan itu penting, tetapi selalu temukan makanan dengan konteks budaya, sama dengan melakukan teologi adalah alami, tetapi selalu mengambil bentuk budaya tertentu.

12 Sedmark, Doing Local Theology, 19.

  4. Makanan memberi nutrisi dan energi, begitu juga dengan teologi yang dikonstruksi.

  5. Sama seperti berbagi makanan dapat berbagi tujuan, demikian juga dengan berbagi teologi yang dikonstruksi.

  6. Teologi adalah bangunan komunitas, sama seperti makanan yang mengikat komunitas menjadi satu.

  7. Setiap masakan memiliki resep favorit, demikian juga dengan teologi lokal. Teologi lokal yang dikonstruksi juga memiliki nuansa tersendiri dan rasa tersendiri. Dengan tujuh kriteria di atas, maka semua orang yang melakukan teologi lokal mendapat bingkai untuk bagaimana membangun sebuah teologi lokal, sehingga walaupun teologi lokal membuka diri untuk dapat dilakukan oleh semua orang, tidak akan terjadi kekacauan.

  Pernyataan Sedmark di atas tentang semua orang beragama dapat melakukan teologi, juga didukung oleh Schreiter yang menegaskan bahwa teologi yang muncul dari konteks-konteks baru seperti teologi pembebasan misalnya, juga menekankan peranan keseluruhan komunitas orang percaya

  13

  dalam pengembangan suatu teologi lokal. Bahkan bagi Schreiter pengalaman komunitas-komunitas Kristen yang telah menyaksikan 13 Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK gunung mulia, 2006), 29. wawasan dan kuasa yang muncul dari refleksi rakyat terhadap pengalaman mereka dan kitab suci, telah mendorong komunitas itu sendiri untuk

  14

  menjadi penyusun utama teologi dalam konteks-konteks lokal, sehingga komunitas tersebut mempunyai peran untuk membentuk dan mengembangkan sebuah teologi lokal.

  Lebih jauh, karena teologi harus berangkat dari kelokalan tertentu, maka Sedmark mengusulkan agar teologi lokal dilakukan dengan menggunakan materi-materi dan juga sumber daya lokal yang terbentuk di dalam konteks lokal masyarakat tertentu, seperti patung-patung, dan

  15

  drama-drama sebagai sebuah acuan membangun teologi. Usulan Sedmark juga disetujui oleh Choan Seng Song yang adalah seorang teolog Asia yang mengkonstruksi teologi dari sumber daya lokal seperti cerita- cerita lokal di Asia. Bagi Choan Seng Song, cerita-cerita tentang rakyat kaya akan makna, melampaui bahasanya yang sederhana, skenarionya yang mengharukan, dan moralnya yang jelas. Bahkan cerita-cerita ini

  16 merupakan sumber yang sangat berharga untuk berteologi.

  Setelah mendapatkan sumber daya lokal untuk mengkonstruksikan teologi lokal, maka sang teolog perlu untuk menilai kembali sumber daya 14 15 Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, 29 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis

  Books, 2002), 12. 16 C.S Song, Sebutkanlah Nama- Nama Kami “Teologi Cerita dari Perspektif Asia

  ”, prakata xi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989). lokal itu, baik itu tradisi maupun budaya, dan melihat apakah sumber daya lokal tersebut dapat dipakai sebagai sumber untuk mengkonstruksikan teologi lokal. Ada dua alasan yang mendasari Sedmark mengatakan untuk menilai kembali sumber daya lokal di dalam lokalitas manusia sebagai sumber untuk berteologi:

  Pertama, karena tradisi manusia yang mengaku percaya kepada

  Yesus terbentuk di dalam agama, maka sang teolog mesti menilai kembali tradisi-tradisi tersebut. Karena tradisi-tradisi tersebut memberikan manusia banyak ide dan konsep, bahkan beberapa tradisi terlihat sukar dan susah dipahami. Karena itu bagi Sedmark, dari pada berbicara tentang tradisi Kristen, lebih nyaman berbicara tentang banyak tradisi kecil yang

  17 membentuk Kekristenan.

  Kedua, dengan menilai kembali sumber daya lokal, maka sang

  teolog akan menemukan pesan Yesus di dalam tradisi dan budaya lokal yang akan memberikan relevansi bagi manusia dengan konteks lokal

  18

  mereka. Dalam budaya Cina, anak-anak Cina sangat menghormati orang tua mereka. Budaya anak-anak Cina yang sangat menghargai orang tua

  17 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 43. 18 Ibid, 44.

  19

  mereka dapat digunakan untuk melakukan Cina teologi. Karena di dalam budaya Cina, tersirat pesan Yesus untuk harus menghargai orang tua.

  Dengan demikian, teologi dapat mempunyai makna lokal yang mempunyai relevansi bagi masyarakat lokal yang membangun teologi lokal tersebut berdasarkan materi-materi lokal dalam konteks mereka. Karena itu berteologi lokal harus sama seperti memasak sebuah masakan dengan bahan-bahan lokal di dalam kelokalan tertentu sehingga masakan teologi itu terasa sesuai dengan lidah lokal tersebut, dan tepat pada hidup dan dengan identitas kelokalan individu maupun kelompok.

  Di sisi lain untuk mencontohkan sebuah proses teologi lokal, Sedmark memakai hidup Yesus sebagai contohnya. bagi Sedmark Yesus adalah guru teologi, karena dalam hidup-Nya, Yesus berbicara tentang

20 ALLAH. Di samping itu, dalam melakukan teologi, kategori lokal selalu

  melekat di dalam diri Yesus. Bahkan di dalam kitab injil, Yesus secara jelas digambarkan sebagai manusia yang hidup di dalam konteks lokal tertentu, yang mana di dalam konteks lokal itu juga terdapat budaya lokal

  21

  tertentu. Oleh karena itu, di dalam hidup-Nya, Yesus selalu melakukan teologi lokal, karena pada hakikatnya kehidupan Yesus sendiri adalah sebuah kehidupan yang penuh dengan pertemuan lokal. 19 20 Sedmark, Doing Local Theology, 45. 21 Ibid, 21.

  Ibid, 23.

  22 Teologi yang dilakukan Yesus adalah sebuah teologi pragmatis

  yang memberi manfaat yang baik secara langsung bagi orang yang menerima teologi Yesus, dan tak dapat dipungkiri bahwa teologi Yesus yang pragmatis itu bersumber pada sumber daya teologi lokal sesuai dengan kelokalan Yesus. Kelokalan teologi Yesus dapat di lihat dalam cerita ketika Yesus menyembuhkan mata seorang yang buta dengan

  23

  menggunakan tanah dan ludah. Bagi orang Yahudi yang adalah keturunan Israel, memahami bahwa tanah dan air ludah itu mengandung suatu kekuatan untuk menyembuhkan. Oleh sebab itu Yesus memakai pemahaman lokal yang berada di dalam budaya lokal dalam konteks Yesus untuk menyembuhkan orang yang buta tersebut.

  Dengan bertolak dari kehidupan Yesus sebagai sebuah contoh proses berteologi lokal, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa teologi lokal sangat berkaitan dengan sebuah konteks lokal tertentu dan selalu menggunakan bahan-bahan dalam konteks lokal tertentu sebagai sebuah acuan untuk membangun sebuah proses teologi, sehingga teologi yang dibangun dapat menolong gereja dan juga komunitas orang percaya dalam konteks lokal tertentu.

  22 23 Sedmark, Doing Local Theology, 28.

  Ibid, 30.

D. Cara Mengkonstruksikan Teologi Lokal

  Bertolak dari uraian di atas dapat terlihat bahwa konteks lokal sangat berpengaruh terhadap sebuah teologi lokal tertentu, sehingga di dalam proses konstruksi sebuah teologi lokal, para teolog sangat menekankan konteks lokal tertentu, salah satunya Clemens Sedmark.

  Karena itu, setelah menelaah dan menyerdehanakan pikiran Sedmark tentang teologi lokal dan cara mengkonstruksikan teologi lokal, ada beberapa poin penting menurut penulis yang diusulkan Sedmark untuk bagaimana merancang sebuah teologi lokal:

  Poin pertama, bagi Sedmark kapan pun teologi dilakukan, teologi

  

24

  harus dilakukan dari suatu tempat, dan tempat itu adalah lingkungan

  25

  kerja teologi yang berkaitan dengan situasi manusia. Oleh sebab itu dalam mengkostruksikan sebuah teologi lokal, maka sang teolog harus berangkat dari suatu konteks (sosial, sejarah, budaya dan politik) lokal tertentu yang merupakan situasi manusia tertentu, karena sang teolog tidak dapat mengkonstruksikan sebuah teologi lokal di awan-awan atau tanpa adanya konteks lokal sebagai wadah tempat teologi lokal dikonstruksi.

  Usulan Sedmark di atas juga didukung oleh Schreiter dengan menegaskan bahwa teologi jenis baru atau teologi lokal dimulai dengan 24 25 Sedmark, Doing Local Theology, 3.

  Ibid, 7. suatu pengujian terhadap konteks, karena bagaimana mungkin gereja dapat terlibat dalam refleksi teologis apa pun tanpa pertama-tama

  26

  mempelajari konteks terlebih dahulu. Dengan demikian, konteks lokal menjadi salah satu poin yang berpengaruh dalam konstruksi sebuah teologi lokal.

  Poin kedua, menurut Sedmark untuk mengkonstruksikan sebuah

  teologi lokal, maka teologi itu memerlukan sumber daya dan materi-materi lokal yang terdapat di dalam kelokalan tertentu untuk membangun teologi

  27

  lokal, misalnya patung-patung dan drama-drama. Sehingga menurut Sedmark, melakukan teologi lokal seperti memasak dengan bahan-bahan

  28 lokal.

  Usulan Sedmark untuk mengkonstruksi sebuah teologi lokal menggunakan sumber daya lokal juga didukung oleh C.S. Song. Bahkan di dalam buku Sebutkanlah Nama-Nama Kami

  “Teologi Cerita dari Perspektif Asia”, C.S. Song telah menawarkan sebuah paham berteologi

  29

  yang dikonstruksi dari cerita-cerita rakyat dan dongeng-dongeng, salah satunya tawaran untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal Cina 26 Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK gunung mulia, 2006), 9. 27 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 12. 28 29 Ibid, 17.

  C.S Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami “Teologi Cerita dari Perspektif Asia

  ”, prakata xi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989). dengan menggunakan cerita “cermin” yang merupakan sumber daya lokal

30 Cina. Dengan demikian, sumber daya lokal menjadi salah satu sumber pengkonstruksian sebuah teologi lokal.

  Poin ketiga, bagi Sedmark, setelah menemukan sumber daya dan

  materi-materi lokal di dalam konteks lokal yang akan digunakan untuk mengkonstruksikan teologi lokal, maka sang teolog perlu menilai kembali sumber daya dan materi-materi lokal tersebut untuk menemukan pesan Yesus yang terkandung di dalamnya, dan dari pesan Yesus tersebut, sang teolog dapat mengkonstruksikan sebuah teologi lokal yang membawa

  31 relevansi secara langsung bagi kehidupan masyarakat lokal tersebut.

  Disamping itu, nilai yang ditemukan tersebut harus sejalan dengan inti

  32

  dari ajaran agama Kristen. Sehingga pada tahap ini, Injil (Alkitab) sebagai identitas Kekristenan menjadi bingkai untuk melihat apakah nilai yang ditemukan selaras dengan iman Kristen.

  Pernyataan Sedmark untuk menilai kembali sumber daya lokal dan menemukan pesan Yesus yang mempunyai relevansi dalam proses berteologi juga didukung oleh Choan Seng Song. Bagi C.S. Song, Yesus sendiri sering menggunakan cerita-cerita untuk menyampaikan pesan 30 31 Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, 47-48.

  Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 44. 32 Ibid, 45.

  

33

ALLAH kepada para pendengarnya. Dengan demikian, jika bertolak dari

  pemikiran C.S. Song, maka para teolog perlu kembali menilai drama- drama maupun cerita-cerita yang merupakan sumber daya lokal untuk menemukan pesan Yesus yang dapat membawa relevansi dalam proses berteologi.

  Lebih jauh, C.S. Song menulis tentang sebuah cerita yang berjudul “cermin”. Cerita ini terkenal di Cina sejak zaman dinasti T’ang (618-

  34 906).

  Bagi C.S. Song, cerita “cermin” merupakan sebuah cerita rakyat yang sederhana, namun mempunyai arti yang relevan untuk berteologi di kawasan Asia, terutama Cina. Karena sebuah

  “cermin” yang bernama teologi telah diberikan kepada masyarakat Cina untuk menggambarkan

  35 gambar ALLAH sendiri yang terdapat di dalam diri masyarakat Cina.

  Berdasarkan uraian di atas, C.S. Song ingin mengatakan kepada pembaca bahwa di dalam cerita “cermin” yang merupakan sumber daya lokal, terdapat pesan Yesus bagi masyarakat Cina. Pesan Yesus tersebut ialah masyarakat Cina itu adalah Gambar ALLAH itu sendiri, dan pesan Yesus tersebut memberikan relevansi terhadap proses berteologi di Cina. Oleh sebab itu, tugas para teolog ketika ingin mengkonstruksikan sebuah 33 C.S Song, Sebutkanlah Nama-

  Nama Kami “Teologi Cerita dari Perspektif Asia ”, prakata x, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989). 34 35 Ibid, 47-48.

  Ibid, 48. teologi lokal ialah harus menilai kembali sumber daya lokal yang akan dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal.

  Poin keempat, menurut Sedmark, teologi lokal dibentuk untuk

  36

  meresponi iman komunitas lokal dan gereja lokal tertentu. Dengan demikian, teologi lokal yang dibangun bertujuan untuk dapat merespon iman Kristen, dan dapat melayani iman Kristen, baik itu individu maupun kelompok dalam konteks lokal tertentu.

E. Kesimpulan

  Kesadaran bahwa bagaimana konteks lokal begitu berperan dalam membentuk refleksi iman manusia terhadap Tuhan, maka konteks lokal harus menjadi salah satu unsur yang dipakai dalam mengkonstruksikan sebuah teologi, disamping Alkitab dan tradisi gereja. Oleh sebab itu para teolog harus membuka diri untuk mendengar suara Tuhan dan berjumpa dengan Tuhan di dalam ruang-ruang lokal yang begitu kompleks dalam konteks tertentu, karena Tuhan telah lebih dulu menjumpakan diri dengan manusia di dalam konteks lokal yang terbentuk di dalam ruang-ruang lokal yang begitu kompleks.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1.Strategi Bersaing 2.1.1.1. Pengertian Strategi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Bersaing Berbasis Kearifan Religi untuk Meningkatkan Jumlah Peserta Didik SD Negeri Jombo

0 0 48

BAB III METODE PENELITIAN 1.1. Pendekatan Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Bersaing Berbasis Kearifan Religi untuk Meningkatkan Jumlah Peserta Didik SD Negeri Jombor Tuntang

0 0 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil SDN Jombor - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Bersaing Berbasis Kearifan Religi untuk Meningkatkan Jumlah Peserta Didik SD Negeri Jombor Tuntang

0 2 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Bersaing Berbasis Kearifan Religi untuk Meningkatkan Jumlah Peserta Didik SD Negeri Jombor Tuntang

0 0 40

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Dasar se- Gugus I Gajah Mada Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang

0 0 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Dasar se- Gugus I Gajah Mada Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu Sekolah Dasar se- Gugus I Gajah Mada Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Salatiga

0 1 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Salatiga

0 0 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum SMPN 6 Salatiga - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Salatiga

2 2 41