BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Metode Ceramah dengan Talking Stick Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa Semester IV Pada Mata Kuliah Askeb II di Akademi Kebidanan Kholisatur Rahmi Binjai Tahun 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kedudukan Metode dalam Belajar Mengajar Kegiatan belajar mengajar yang melahirkan interaksi unsur-unsur manusiawi

  adalah sebagai suatu proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Dengan teori dan pengalaman yang dimiliki, dimana digunakan guru untuk mempersiapakan program pengajaran dengan baik dan sistematis. Salah satu usaha yang dilakukan dosen adalah bagaimana memahami kedudukan metode sebagai salah satu komponen yang turut ikut mengambil bagian dalam pencapaian keberhasilan kegiatan belajar mengajar (Zain & Djamarah, 2010).

  Mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari dosen kepada mahasiswa. Pendapat Smith mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching is imparting knowledge or skill). Dari pendapat diatas disimpulkan bahwa mengajar adalah proses penyampaian informasi yang disampaikan dosen untuk menanamkan pengetahuan atau keterampilan yang intinya mengarah pada timbulnya keinginan belajar pada mahasiswa (Sanjaya, 2011).

  Agar proses belajar dalam kelas lebih efektif maka dosen harus mampu mengelola proses belajar mengajar dengan baik. Kemampuan dosen dalam mengelola proses belajar mengajar yaitu kemampuan dalam merencanakan pengajaran, kemampuan melaksanakan proses belajar mengajar dan kemampuan mengevaluasi menilai hasil pengajaran (Sudjana, 2009).

  Dalam menyusun rencana pengajaran salah satu unsur yang penting yang harus diperhatikan oleh dosen adalah pemilihan metode pengajaran. Metode mengajar adalah kesatuan langkah kerja yang dikembangkan oleh dosen berdasarkan pertimbangan rasional tertentu, masing-masing jenis bercorak khas dan semuanya berguna untuk mencapai tujuan pengajaran (Sanjaya, 2011).

  Metode-metode mengajar banyak jenisnya dan seorang dosen harusnya mampu memanfaatkan metode yang ada untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran sehingga mahasiswa lebih tertarik dan mau mengeksplor lagi kemampuan yang dimiliki. Metode-metode tersebut antara lain : metode ceramah, metode demonstrasi, metode diskusi, metode tanya jawab, metode simulasi, metode problem solving, metode eksperimen, metode proyek. Beberapa metode pendukung pengembangan pembelajaran kooperatif seperti salah satu contohnya adalah metode pembelajaran talking stick (Sanjaya, 2011).

1. Pengertian Metode Ceramah

  Metode ceramah dapat diartikan sebagai cara menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok mahasiswa.

  (Djamarah & Zain, 2010). Metode ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangannya sebagaimana dijabarkan pada penjelasan berikut a.

  Kelebihan Metode ceramah merupakan metode yang mudah dan murah untuk dilakukan, dapat menyajikan materi pelajaran yang luas, dapat memberikan pokok-pokok materi yang perlu ditonjolkan, mudah mengorganisasikan tempat duduk/kelas dan dapat diikuti oleh jumlah mahasiswa yang besar (Djamarah dan Zain, 2010).

  b.

  Kelemahan Materi yang dapat dikuasai mahasiswa sebagai hasil dari ceramah akan terbatas pada apa yang akan dikuasai dosen, mudah menjadi variabelisme (pengertian kata-kata), bila selalu digunakan dan terlalu lama menjadi membosankan, melalui ceramah sangat sulit sekali untuk mengetahui apakah seluruh mahasiswa sudah mengerti apa yang telah dijelaskan atau belum, dan menyebabkan mahasiswa menjadi pasif (Djamarah & Zain, 2010)

  Sebagaimana yang dikemukakan Sanjaya (2011) ada dua langkah dalam menerapkan metode ceramah yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan pada tahap pelaksaan ada tiga langkah yang harus dilakukan yaitu pembukaan, penyajian dan mengakhiri dan menutup ceramah.

  B.

  Pembelajaran Kooperatif 1. Pembelajaran Aktif Sebagai Induk Pembelajaran Aktif

  Pembelajaran aktif secara sederhana didefenisikan sebagai metode pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran aktif mengkondisikan agar siswa selalu melakukan pengalaman belajar yang bermakna dan senantiasa berfikir tentang apa yang dapat dilakukannya selama pembelajaran.

  Pembelajaran aktif melibatkan mahasiiswa untuk melakukan sesuatu dan berfikir tentang sesuatu yang sedang dilakukannya.

  Hasil riset dari National Training Laboratories di Bethel, Maine (1954), Ameriks Serikat menunjukkan bahwa sekelompok berbasis dosen (teacher centered

  ) mulai dari ceramah, tugas membaca, presentasi dosen dengan audiovisual

  learning

  dan bahkan demonstrasi oleh dosen,mahasiswa hanya dapat mengingat materi pembelajaran maksimal sebesar 30%. Dalam pembelajaran diskusi yang tidak didominasi oleh dosen mahasiswa dapat mengingat sebnyak 50%. Jika para mahasiswa diberi kesempatan melakukan sesuatu (doing something) mereka dapat mengikat 75%, praktik pembelajaran belajar dengan cara mengajar (learning by

  teaching ) menyebabkan mereka mampu mengingat sebanyak 90% materi (Warsono & Hariyanto, 2012).

Gambar 2.1 Piramida Belajar Para Mahasiswa Sumber. National Training Libraries, Bethel, 1954 (Warsono & Hariyanto, 2012).

  Dalam hubungannya dengan hal tearsebut di atas, Edger Dale (1969) memaparkan hasil temuan penelitiannya, antara lain seperti tertera pada tabel 2.1 berikut ini.

  Kemampuan Mengingat Presentasi

  Setelah 3 Jam Setelah 3 Hari Ceramah

  25% 10-20% Tertulis (membaca) 72% 10% Visual dan verbal (pengajaran memakai ilustrasi) 80% 65% Partisipatori (bermain peran, studi kasus, praktik) 90% 70% Sumber dale, 1969

Tabel 2.1 Ingatan terhadap pembelajaran dikaitkan dengan jenis presentasi (Warsono & Hariyanto, 2012).

  2. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi mahasiswa bukan hanya dosen dan buku ajar, tetapi juga sesama mahsisiswa. Menurut Lie pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bekerja sama dengan sesama mahasiswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat sebagai sumber belajar, disamping dosen dan sumber belajar yang lainnya (Wena, 2011).

  3. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif Adapun prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif yang dikembangkan

  Sanjaya (2011) meliputi prinsip ketergantungan positif (positif interdependendance), tanggung jawab perseorangan (individual accountability, interaksi tatap muka (face

  to facae promotion interaction , dan partisipasi & komunikasi (participation communication)

  Prinsip ketergantungan positif (positive interdependence) dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompok. Tanggung jawab perseorangan (individual accountability) keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.

  Interaksi tatap muka (face to face promotion interaction) pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.

  Partisipasi dan komunikasi (participation Communication) pembelajaran kooperatif melatih mahasiswa untuk dapat mampu berpatisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan masyarakat.

  4. Prosedur Pembelajaran Kooperatif Prosedur pembelajaran meliputi penjelasan materi, belajar dalam kelompok, penilaian dan pengakuan tim (Sanjaya, 2011).

  5. Keunggulan dan Keterbatasan Pembelajaran Kooperatif Metode pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa keunggulan dan keterbatasan sebagaimana dijabarkan pada penjelasan berikut.

  a. Keunggulan Melalui pembelajaran kooperatif mahasiswa tidak terlalu menggantungkan pada dosen, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berfikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari mahasiswa yang lain. Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide tau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain. Pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.

  Pembelajaran kooperatif dapat membantu memberdayakan setiap mahasiswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik (Sanjaya, 2011). Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk menguji ide dan pemahamnnya sendiri, menerima umpan balik.Melalui pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata. Interaksi Selma kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir (Sanjaya, 2011).

  b. Keterbatasan Untuk memahami dan mengerti filosofi pembeljaran kooperatif memang butuh waktu. Keberhasilan dalam pembelajaran kooperatif dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang. Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang sangat penting untuk mahasiswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuan secara individual (Sanjaya, 2011).

  C. Pengertian Metode Talking Stick Talking Stick (tongkat berbicara) adalah metode yang pada mulanya digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum (pertemuan antarsuku). Pembelajaran

  

Talking Stick adalah pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk

  mengemukakan pendapat (Rokhani 2012). Talking Stick sebagaimana dimaksudkan penelitian ini, dalam proses belajar mengajar di kelas berorientasi pada terciptanya kondisi belajar melalui permainan tongkat yang diberikan dari satu mahasiswa kepada mahasiswa yang lainnya pada saat dosen selesai menjelaskan materi pelajaran dan selanjutnya mengajukan pertanyaan. Saat dosen selesai mengajukan pertanyaan, maka mahasiswa yang sedang memegang tongkat itulah yang memperoleh kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dilakukan hingga semua mahasiswa berkesempatan mendapat giliran menjawab pertanyaan yang diajukan guru. Talking stick termasuk salah satu metode pendukung pengembangan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran ini dilakukan dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari dosen setelah mahasiswa mempelajari materi pokoknya (Suprijono, 2009).

  Langkah-langkah metode Talking Stick berdasarkan Suprijono (2009), yaitu pembelajaran dengan metode Talking Stick diawali oleh penjelasan dosen mengenai materi pokok yang akan dipelajari, mahasiswa diberi kesempatan membaca dan mempelajari materi tersebut, dosen mempersiapakan pertanyaan-pertanyaan yang akan di ajukan kepada mahasiswa, selanjutnya dosen meminta kepada mahasiswa menutup bukunya, dosen mengambil tongkat yang telah dipersiapkan sebelumnya.

  Tongkat tersebut diberikan kepada salah seorang mahasiswa secara acak ataupun bergilir, mahasiswa yang menerima tongkat tersebut diwajibkan menjawab pertanyaan dari dosen, setelah mahasiswa menjawab pertanyaan, kemudian mahasiswa tersebut memberikan tongkat tersebut kepada teman lainnya secara acak, mahasiswa yang mendapat tongkat tersebut diwajibkan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh dosen, demikian seterusnya sampai semua pertanyaan terjawab, ketika

  

stick bergulir dari peserta didik ke peserta didik lainnya seyogyanya diiringi musik,

  langkah terakhir dari metode talking stick adalah dosen menyimpulkan tentang materi yang dipelajari. Kemudian evaluasi dan penutup.

  Metode talking stick mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangannya sebagaimana dijabarkan pada penjelasan berikut.

  a. Kelebihan Mahasiswa lebih dapat memahami materi karena diawali dari penjelasan seorang dosen, mahasiswa lebih dapat menguasai materi ajar karena ia diberikan kesempatan untuk mempelajarinya kembali melalui buku, daya ingat lebih baik sebab ia akan ditanya kembali tentang materi yang diterangkan dan dipelajarinya, mahasiswa tidak jenuh karena ada tongkat sebagai peningkat daya tarik mahasiswa mengikuti pelajaran tersebut, pelajaran akan tuntas sebab pada bagian akhir akan diberikan kesimpulan oleh dosen (Istarani, 2012).

  b. Kelemahan Membuat peserta didik minder jika dosen tidak dapat memberikan dorongan untuk berani mengemukakan pendapat karena siswa belum terbiasa untuk berbicara di depan umum (Rokhani, 2012).

  D. Belajar

  1. Defenisi Belajar Belajar adalah suatu proses untuk mengubah performansi yang tidak terbatas pada keterampilan, tetapi juga meliputi fungsi-fungsi, seperti skill, persepsi, emosi, proses berfikir, sehingga dapat menghasilkan perbaikan performansi (Riyanto, 2010).

  2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Dalam kegiatan belajar terdapat tiga persoalan pokok, yakni masukan (input), proses, dan keluaran (output). Persoalan proses adalah mekanisme atau proses terjadinya perubahan kemampuan pada diri subyek belajar. Dalam proses ini terjadi pengaruh timbal balik antara fasilitator belajar, metode yang digunakan, alat bantu belajar, dan materi atau bahan yang dipelajari. Sedangkan keluaran merupakan hasil belajar itu sendiri, yang terdiri kemampuan baruu atau perubahan baru pada diri subyek belajar (Notoatmodjo, 2007). Proses kebiatan belajar tersebut dapat digambarkan pada bagan dibawah ini.

  Proses belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Metode Alat-alat Bantu

   

  Input Output Proses Belajar

  (Subyek Belajar) (Hasil Belajar)

  Fasilitas Belajar Bahan Belajar

   

  Skema 2.1. Proses Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi J. Guilbert, mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar ke dalam empat kelompok besar, yakni faktor materi, lingkungan, instrumental, dan faktor individual subyek belajar. Faktor yang pertama, materi ikut menentukan proses dan hasil belajar. Faktor yang kedua adalah lingkungan yang dikelompokkan menjadi dua, yakni lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Faktor yang ketiga, instrumental, yang terdiri dari alat peraga, dan perangkat lunak seperti kurikuklum (dalam pendidikan formal), pengajar atau fasilitator belajar serta metode belajar mengajar (Notoatmodjo, 2007).

  3. Proses Belajar pada Orang Dewasa Menurut UNESCO, pendidikan orang dewasa, apapun isi, tingkatan dan metodenya, baik formal maupun tidak, merupakan lanjutan atau pengganti pendidikan di sekolah ataupun universitas. Hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Perubahan perilaku di dalam proses pendidikan orang dewasa pada umumnya lebih sulit daripada perubahan perilaku di dalam pendidikan anak. Hal ini dapat dipahami karena orang dewasa sudah mempunyai pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu yang mungkin sudah mereka miliki bertahun-tahun. Jadi pengetahuan, sikap, dan perilaku baru yang belum mereka yakini tersebut menjadi sulit diterima. Untuk itu diperlukan usaha- usaha tersendiri agar subyek belajar meyakini pentingnya pengetahuan, sikap, dan perilaku tersebut bagi kehidupan mereka. Dengan kata lain, pendidikan orang dewasa dapat efektif menghasilkan perubahan perilaku apabila isi dan cara yang dirasakan oleh suybyek belajar. Salah satu pesan-pesan pendidikan tersebut dipahami oleh orang dewasa dan dapat memberikan dampak mengajar yang tepat (Notoatmodjo, 2007).

  4. Hasil belajar Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Hasil belajar berupa informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis, keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang, strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengmengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut (Sudjana, 2009).

5. Sasaran Penilaian Hasil Belajar

  Berdasarkan taksonomi tujuan pendidikan oleh Benjamin S. Bloom (dalam Sudiyono, 2007) mengungkapkan bahwa sasaran dalam evaluasi hasil belajar mengacu pada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotor (keterampilan).

  Ranah kognitif adalh ranah yang mencakup kegiatan mental otak. Dalam ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir yaitu pengetahuan (knowledge), jenjang ini merupakan jenjang terendah dalam ranah kognitif. Jenjang kedua adalah pemahaman (comprehension). Jenjang ketiga adalah aplikasi (application). Jenjang keempat adalah analisis (analysis). Jenjang kelima adalah sintesis (synthesis) dan jenjang keenam adalah evaluasi (evaluation). Jenjang ini merupakan jenjang tertinggi dalam ranah kognitif.

  Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila telah memiliki kognitif pada tingkat tinggi. Cirri-ciri peserta didik akan terlihat dalam berbagai tingkah laku. Ranah afektif memiliki lima jenjang yaitu receiving atau attending (menerima atau memperihatinkan), responding (menanggapi), valuting (menilai atau menghargai),

  

organization (mengatur atau mengorganisasikan) dan characterization by a value or

(karakterisasi dengan seseatu nilai atau nilai yang nilai). value complex

  Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.

  Hasil belajar psikomotor merupakan lanjutan dari hasil belajar kognitif dan afektif. Hasil belajar kognirif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.

6. Penilaian Hasil Belajar

  Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar dapat dilakukan melalui tes hasil belajar. Berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, Djamarah (2006) menggolongkan tes hasil belajar menjadi tes formatif, tes subsumatif dan tes sumatif.

  Tes formatif digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap peserta didik terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil formatif dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan pengajaran dalam waktu tertentu.

  Tes subsumatif meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran daya serap peserta didik untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Hasil tes

  

subsumatif dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan

diperhitungkan dalam menentukan nili rapor.

  Tes sumatif dilakukan untuk mengukur daya serap peserta didik terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semester dan satu atau dua tahun pelajaran. Tujuannya adalah untuk menetapkan tingkat atau tarap keberhasilan belajar peserta didik dalam satu periode belajar tertentu. Hasil tes sumatif dimanfaatkan untuk kenaikan kelas, menyusun peringkat (ranking) atau sebagai ukuran mutu institusi.

7. Batas Minimal Hasil Belajar

  Menentukan batas minimum keberhasilan belajar merupakan upaya untuk menentukan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan peserta didik setelah mengikuti proses belajar mengajar. Norma-norma pengukuran tersebut adalah norma skala angka dari 0 sampai 10 dan norma skala angka dari 0 sampai 100. Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Selain norma skala angka, pengukuran prestasi belajar dapat dilakukan melalui simbol huruf-hutuf dengan kriteria A, B, C, D dan E. Simbol huruf-huruf dapat dipandang sebagai simbol angka-angka (Syah, 2006).

  Angka Huruf Predikat > 80 A Sangat Baik

  75-79 B Baik 60-74 C Cukup 55-59 D Kurang

  < 54 E Gagal Table 2.2 Tabel Batas Minimal Hasil Belajar (Akademi Kebidanan Kholisaturrahmi).

8. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

  Djamarah (2006) mengemukakan bahwa tinggi atau rendahnya hasil belajar dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tujuan, guru, anak didik, kegiatan pengajaran, bahan dan alat evaluasi, dan suasana evaluasi.

  Tujuan adalah pedoman atau sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Jika suatu tujuan tercapai maka keberhasilan pengajaran juga akan tercapai. Sedikit banyaknya perumusan tujuan akan mempengaruhi kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru dan secara langsung guru akan mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik. Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumah ilmu pengetahuan kepada anak didik. Setiap guru memiliki kepribadian sesuai dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Kepribadian tersebut dapat mempengaruhi pola kepemimpinan dalam melaksanakan tugas mengajar. Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar sangat mempengaruhi kompetensi dosen dibidang pendidikan dan pengajaran. Aspek-aspek inilah yang dapat mempengaruhi hasil belajar anak didik.

  Anak didik merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Kepribadian, intelektual dan biologis setiap anak didik berbeda-beda.

  Perbedaan inilah yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar mengajar. Banyak sedikitnya jumlah anak didik dalam satu kelas akan mempengaruhi keberhasilan belajar. Pola umum kegiatan pengajaran adalah terjadinya interaksi antara guru dengan anak didik. Pendekatan mengajar yang dilakukan oleh guru akan mempengaruhi kegiatan dan hail belajar mengajar yang berlainan. Strategi dan metode pembelajaran sangat menentukan kualitas hasil belajar mengajar.

  Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat di dalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. Masing-masing alat evaluasi mempunyai keuntungan dan kekurangan. Alat evaluasi terhadap hasil belajar berupa tes objektif dalam bentuk pilihan berganda dan alat tes dalam bentu

  

esaay Validitas dan reliabilitas data dari alat evaluasi dapat mempengaruhi

  keberhasilan belajar. Suasana evaluasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar. Pelaksanaan evaluasi biasanya dilakukan didalam kelas. Besar kecilnya jumlah anak didik dalam kelas akan mempengaruhi suasana kelas sehingga mempengaruhi suasana evaluasi yang dilaksanakan.

  E. Kajian tentang Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin Kala III dan IV

  a. Kala III

  1. Fisiologi Kala III Kala tiga persalinan dimulai saat proses pelahiran bayi selesai berakhir dengan lahirnya plasenta. Kala tiga persalinan berlangsung rata-rata antara 5 sampai

  10 menit, akan tetapi normal kala tiga 30 menit. Risiko perdarahan meningkat apabila kala tiga lebih lama dari 30 menit (Varney et al, 2004).

  Kala tiga persalinan terdiri dari dua fase berurutan : (1) pelepasan plasenta dan (2) pengeluaran plasenta. Pelepasan dan pengeluaran terjadi karena kontraksi, yang mulai terjadi lagi setelah terhenti singkat setelah kelahiran bayi. Cara pelepasan plasenta ada dua macam yaitu secara schultz dan secara ducan (Varney et al, 2004).

  2. Tanda-Tanda Klinis Pelepasan Plasenta Tetesan atau opancaran kecil darah yang mendadak, pemanjangan tali pusat yang terlihat pada introitus vagina, perubahan bentuk uterus dari discoid ke bentuk globular perubahan ini disebabkan oleh kontraksi uterus dan perubahan dalam posisi uterus (Varney et al, 2004).

  3. Teknik pengecekan pelepasan plasenta Selain mengamati tanda-tanda klinis di atas, bidan dapat juga melakukan perasat untuk mengecek pelepasan plasenta. Tiga perasat yang dapat dilakukan adalah perasat kustner, strassman dan klien (Sulistyawati & Heny, 2010).

  3. Manajemen Aktif Kala III Syarat : janin tunggal/memastikan tidak ada lagi janin di uterus, tujuan manajemen aktif kala tiga membuat kontraksi uterus efektif. a) Keuntungan

  Lama kala tiga lebih singkat, jumlah perdarahan berkurang sehingga dapat mencegah perdarahan post partum & menurunkan kejadian retensio plasenta.

  b) Manajemen aktif kala III Pemberian oksitosin, penegangan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri

  c) Tindakan yang keliru dalam melaksanakan manajemen aktif kala III Melakukan masase fundus uteri pada saat plasenta belum lahir, mengeluarkan plasenta, padahal plasenta belum semuanya lepas, kurang kompeten dalam mengevaluasi pelepasan plasenta, rutinitas kateterisasi & tidak sabar menunggu saat terlepasnya plasenta (Sumarah et al, 2009).

  a) Kesalahan tindakan manajemen aktif kala III

  Terjadinya inversio uteri, pada saat melakukan penegangan tali pusat terkendali terlalu kuat sehingga uterus tertarik keluar dan berbalik, tali pusat terputus, terlalu kuat dalam penarikan tali pusat sedangkan plasenta belum lepas & syok (Sumarah et al, 2009).

  b) Pemeriksaan plasenta

  Selaput ketuban utuh atau tidak, plasenta: ukuran plasenta bagian maternal dan fetal, tali pusa: jumlah arteri dan vena (Sumarah et al, 2009).

  c) Pemantauan Kala III

  Perdarahan, kontraksi uterus, robekan jalan lahir/laserasi, rupture perineum, tanda vital, personal hygiene (Sumarah et al, 2009)

  Daftar gejala dan kemungkinan diagnosis pada abnormalitas kala III

  Sisa plasenta

  7 Sub involusio uteri nyeri tekan perut bawah,perdarahan lebih 24 jam, tidak teratur, terus berbau

  Rupture uteri

  Syok nyeri tekan nadi cepat

  6 Perdarahan segera (intra abdomen/vagina) nyeri perut berat

  Syok neurogenik pucat Inversio uteri

  terisi masa tampak tali pusat perdarahan segera nyeri

  5 Uterus tidak teraba lumen vagina

  Uterus berkontraksi tetapi TFU tidak turun

  

No Gejala Gejala Penyerta Kemungkinan Dx

  4 Plasenta /sebagian lengkap selaput tidak lengkap ada pembekuan darah perdarahan segera

  Retensio plasenta

  Tali pusat putus inversion uterus perdarahan lanjut

  3 Placenta belum lahir setelah 30 menit perdarahan segera kontraksi uterus baik

  Pucat lemah menggigil Robekan jalan lahir

  2 Perdarahan segera/primer darah segar mengalir uterus kontraksi baik plasenta lengkap

  Syok Atonia uteri

  1 Uterus tidak berkontraksi perdarahan segera/ primer plasenta lengkap

  Anemia Perdarahan terlambat endometritis, infeksi/tidak, sisa plasenta b. Kala IV

  1. Defenisi Kala IV persalinan dimulai sejak plasenta lahir sampai ± 2 jam setelah plasentah lahir. Kala ini dimasukkan dalam persalinan karena pada masa ini sering timbul perdarahan. Dua jam setelah persalinan merupakan waktu yang kritis bagi ibu dan bayi. Keduanya baru saja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, yaitu si ibu melahirkan bayi dari perutnya dan bayi sedang menyesuaikan diri dari dalam perut ibu ke dunia luar. Dalam kala IV ini petugas atau bidan harus tinggal bersama ibu dan bayi untuk memastikan bahwa keduanya dalam kondisi yang stabil dan mengambil tindakan yang tepat untuk melakukan stabilisasi (Hidayat & Sujiyatini, 2010).

  2. Fisiologi Kala IV Kala IV persalinan dimulai dengan lahirnya plasenta dan berakhir satu jam kemudian. Pada kenyataan disebut periode satu jam post partum. Walaupun persalinan secara teknis telah berakhir jam pertama post partum sering berhubungan dengan kala IV. Hsl itu disebabkan oleh masa kritis wanita yang diawali dengan pengambilan kondisi dari tekanan masa persalinan, dia harus berada dalam pengawasan yang ketat oeh bidan dan karena bidan akan menghabiskan waktu tersebut dengan melakukan aktivitas yang secara langsung berhubungan dengan priode intrapartum, meliputi: a.

  Evaluasi uterus b. Inspeksi dan evaluasi plasenta, selaput dan tali pusat c. Menjahit luka episiotomy dan laserasi bila ada

  Dalam kala IV penderita belum boleh dipindahkan kekamarnya dan tidak boleh ditinggalkan oleh bidan bidan karena ibu masih membutuhkan pengawasan yang intensif disebabkan perdarahan atonia uteri masih mengancam sebagai tambahan, tanda-tanda vital manifestasi psikologi lainnya dievaluasi sebagai indikator pemulihan dan stress persalinan. Melalui periode tersebut, aktivitas yang paling pokok adalah perubahan peran, hubungan keluarga akan dibentuk selama jam tersebut, bayi berada pada tiap-tiap “taking in” pada saat ini sangat penting bagi proses bonding, dan sekaligus inisiasi menyusui dini (Hidayat & Sujiyatini, 2010).

  Komponen dasar untuk kala IV termasuk informasi yang dibutuhkan untuk evaluasi dan manajemen kebidanan ibu pada bayi baru lahir dan proses bonding ibu dan anak.

  a.

  Involusi uterus Setelah melahirkan ukuran dan konsistensi uterus kira-kira seperti buah melon kecil dan fundusnya terletak tepat dibawah umbilicus. Setelah itu tinggi fundus berkurang 1-2 cm setiap hari sampai akhir minggu pertama, saat tinggi fundus sejajar dengan tulang pubis. Sampai minggu ke enam normal uterus kembali ke bentuknya ketika tidak hamil, yaitu organ kecil berbentuk buah pir yang terdapat dalam pelvik.

  b.

  Servik, vagina perineum Servik, vagina dan perineum yang dilihat pertama kali adalah perlukaan, yang kedua adalah luka memar. Setelah plasenta lahir, segera lihat bagian serviks apakah mengangu, tebal dan lembek mungkin terjadi edema. Lihat bagian servik, vagina dan perineum kemungkinan adanya laserasi. c.

  Episiotomi Bidan melakukan inspeksi, tanda-tanda infeksi dan bukti-bukti penyembuhan tergantung pada letak dan kedalaman insisi.

  d.

  Lokea Lokea adalah keluaran dari uterus setelah melahirkan. Terdiri dari darah, sel- sel tua, dan bakteri. Lokea pertama kemerahan dan mungkin mengandung bekuan. Warna lokaea biasanya digambarkan dengan bahasa latin rubra untuk merah segar, serosa untuk serum kecoklatan, dan alba untuk kuning keputihan. Lokea biasanya berhenti 2 minggu setelah post partum e. Vital sign

  Tekanan darah, nadi, respirasi harus stabil seperti pada tahap sebelum bersalin 1 jam post partum. Monitor tekanan darah dan nadi penting selama kala IV untuk mendeteksi adanya syok yang diakibatkan oleh adanya kehilangan darah. Pemeriksaan suhu harus cermat diamana suhu tubuh diperiksa satu kali selam kala IV.

  f.

  Menggigil Tidak semua ibu pasca persalinan akan menggil. Jika timbul rasa dingin kemudian ibu menggigil masih dipertimbangkan dalam batas-batas normal bila tidak disertai infeksi. Menggigil paling banyak dikarenakan ketegangan syaraf serta energy yang terkuras selama persalinan.

  g.

  Sistem gastrointestinal Rasa mual muntah akan menghilang. Pertama ibu akan merasa haus dan lapar hal ini disebabkan karena proses persalinan yang memerlukan banyak energi h.

  Sistem renal i. Air seni yang tertahan menyebabkan kantong kemih lebih membesar. Kondisi ini terjadi karena trauma yang disebabkan oleh tekanan dan dorongan pada urehra selama persalinan. Dalam 2 jam post partum ibu harus sudah BAK, jika ibu belum bias BAK maka lakukan kateterisasi. j.

  Perawatan hemoroid Hemoroid pada post partumsangat wajar, hal ini disebabkan tekanan oleh kepala bayi dan upaya meneran ibu pada saat persalinan. Ada beberapa hal untuk mengurangi rasa nyeri ini seperti duduklah dalam air hangat atau air dingin, hindari duduk terlalu lama, ibu harus banyak minum dan makanan berserat dan bidan mungkin bias menggunakan salep nupericanial ointetment.

  3. Pemantauan dan penanganan kala IV Karena terjadi perubahan fisiologis, maka pemantauan dan penanganan yang dilakukan oleh tenaga medis adalah pemeriksaan kelengkapan plasenta dan selaput ketuban setelah kelahiran plasenta, memperhatikan jumlah darah yang keluar, pemeriksaan perineum, dan pemantauan keadaan umum ibu (Hidayat & Sujiyatini, 2010).

  4. Tindakan yang tidak bermanfaat atau membahayakan pada persalinan Kala IV Tindakan Deskripsi Keterangan Tampon vagina Tampon vagina menyerap darah tetapi tidak menghentikan perdarahannya. Seorang ibu sapat terus mengalami perdarahan dengan tampon di dalam vagina. Hal ini bahkan merupakan sumber terjadinya infeksi.

  Gurita atau sejenisnya Selama dua jam pertama segera setelah pasca persalinan, adanya gurita akan menyulitkan petugas pada saat memerikasa fundus apakah berkontraksi dengan baik

  Memisahkan ibu dan bayi Bayi benar-benar siaga dalam 2 jam pertama setelah kelahiran. Hal ini merupakan waktu yang baik bagi ibu dan bayi saling berhubungan. Berikan kesempatan bagi keduanya untuk pemberian ASI.

  Menduduki sesuatu yang Duduk diatas bara yang panas dapat menyebabkan panas vasodilatasi, menurunkan tekanan darah ibu dan menambah perdarahan. Juga dapamenyebabkan dehidrasi

     

Dokumen yang terkait

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Tingkat II Tentang Persalinan dan Bayi Baru Lahir di Akademi Kebidanan Sehat Medan Tahun 2014

0 46 71

Pengalaman Mahasiswa Tingkat III Tentang Premenstrual Syndrome di AKBID Kholisatur Rahmi Binjai Tahun 2014

0 68 75

Perbandingan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dan Tanya Jawab Terhadap Evaluasi Hasil Belajar Mahasiswa Akbid Semester IV Pada Mata Kuliah Kegawatdaruratan di Akbid Kholisatur Rahmi Binjai

0 75 112

Perbandingan Metode Ceramah dengan Talking Stick Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa Semester IV Pada Mata Kuliah Askeb II di Akademi Kebidanan Kholisatur Rahmi Binjai Tahun 2014

1 66 120

Hubungan Pembelajaran Praktek Laboratorium Mata Kuliah Askeb KB Dengan Pencapaian Kompetensi Dalam Melakukan Insersi Iud Di Akademi Kebidanan Sehat Medan Tahun 2007/2008

3 112 73

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Minat Belajar Mahasiswa Semester IV Di Akademi Kebidanan Imelda Medan T.A.2008/2009

0 40 47

Perbedaan Metode Penugasan Dan Diskusi Kelompok Terhadap Minat Belajar Mata Kuliah Konsep Kebidanan Mahasiswa D-III Kebidanan STIKes Senior Medan Tahun 2015

0 21 79

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Efektifitas Ekstrak Jahe dalam Menurunkan Dismenore Primer pada Mahasiswa Tingkat I Akademi Kebidanan Poltekkes Medan Tahun 2014

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keberhasilan - Tingkat Keberhasilan Strategi Pembelajaran Ekspositori dan Inkuiri dalam Proses Pembelajaran di Akademi Kebidanan Pemerintah Kabupaten Langkat Tahun 2014

0 0 16

Perbandingan Metode Ceramah dengan Talking Stick Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa Semester IV Pada Mata Kuliah Askeb II di Akademi Kebidanan Kholisatur Rahmi Binjai Tahun 2014

0 0 51