Kondisi Fisik Hutan Mangrove

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Fisik Hutan Mangrove

  Mangrove merupakan formasi hutan di kawasan pesisir yang berada di sepanjang pantai tropis dan sub-tropis yang terlindung. Di Indonesia mangrove merupakan hutan pasang surut dan hutan mangrove. Di Sumatera Utara, komunitas-komunitas mangrove terdapat pada daerah lingkungan pantai yang terlindung yang membentuk tegakan pasang surut yang meluas ke arah darat, atau sebagai komunitas mangrove tepian yang tipis sepanjang pantai yang lebih terbuka (Yayasan Mangrove, 1993).

  Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan, baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Ningsih, 2008).

  Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta sebagai penahan intrusi dan abrasi air laut, proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan mahluk hidup didalamnya. Hutan mangrove mempunyai ciri khas yakni bentuk-bentuk perakaran yang menjangkar dan pneumatophore (Arif, 2003).

  Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari cirri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umunya mangrove mempunyai system perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua decade ini keberadan ekosistem mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis. Saat ini mangrove yang tersisa hanyalah berupa komunitas-komunitas mangrove yang ada di sekitar muara-muara sungai dengan ketebalan 10-100 meter, didominasi oleh Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Sonneratia caseolaris yang semuanya memiliki manfaat sendiri (Mulyadi, dkk, 2009).

  Secara umum ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam (natural

  

resources ) yang memiliki intensitas relasi yang tinggi dengan masyarakat,

  mengingat hutan mangrove mudah dijangkau dan berada pada kawasan-kawasan yang sudah cukup terbuka/berkembang. Selain itu potensi ekonomi mangrove cukup tinggi yang didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini mendorong laju kerusakan ekosistem mangrove umumnya berlangsung cepat (LPPM, 2005).

  Departemen Kehutanan menyadari akan pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung, maka melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN RHL/Gerhan), direncanakan rehabilitasi terhadap sumber daya tersebut sesuai dengan urutan prioritas yaitu mengunakan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat setempat ( Permenhut, 2004 ).

  Wilayah pesisir tersebut merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak, dan gelombang serta perembesan air laiut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh prose salami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan pemukiman serta intensifikasi pertanian (Djamali, 2004).

  Komunitas hutan mangrove yang merupakan tipe khas vegetasi daratan pesisir, memiliki ekosistem yang kompleks dan berfungsi sebagai zona penyangga bagi stabilitas ekosistem daerah vital lainnya di wilayah pesisir. Secara fisik hutan mangrove sebagai struktur habitat yang melindungi kerusakan pantai akibat pukulan gelombang laut. Namun secara ekologis, ekosistem mangrove merupakan tempat sikus rantai makanan karena tersedianya sumber unsur hara yang kaya raya (Kamal 2006). Struktur vegetasi tumbuhan, seperti tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi dan energi, serta keanekaragaman ekosistem. Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan. Keberhasilan sebuah pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter atau penampakan anak pohon (Setyawan, 2008).

  Pengubahan fungsi hutan mangrove menjadi fungsi lain secara tidak wajar akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak sesuai dengan kaidah pembangunan yang berkelanjutan. Alih fungsi hutan mangrove saat ini banyak digunakan untuk pembukaan areal tambak, bar, tempat rekreasi, pelabuhan, dan lain lain ternyata menurut para ahli dan peneliti lingkungan hidup berpendapat bahwa dari segi ekonomi makro, alih fungsi hutan mangrove menjadi areal tambak tidak akan memberikan hasil yang lebih besar jika dibandingkan dengan membiarkan ekosistem mangrove sebagai habitat biota secara alamiah (Djamali, 2004).

  Formasi hutan mangrove terdiri atas empat gugus utama, yaitu Avicennia,

  

Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera. Hutan mangrove alami membentuk

  zonasi tertentu. Bagian luar didominasi Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah Bruguiera gymnorhiza, bagian ketiga Xylocarpus, dan Heritiera, bagian dalam Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi Cerbera manghas. Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans. Pada masa kini pola zonasi tersebut jarang ditemukan karena tingginya laju konversi habitat mangrove menjadi tambak, penebangan hutan, sedimentasi/reklamasi, dan pencemaran lingkungan.

  Flora mangrove dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori (Chapman, 1984) yaitu : 1. Flora mangrove inti, yakni Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,

  

Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus , Deris, Acanthus,

Lumnitzera , Scyphiphora, Smythea, dan Dolichandrone. 2. Flora mangrove

  peripheral (pinggiran), yakni flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga berperan penting dalam formasi hutan lain, yakni :

  

Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera manghas, Heritiera

littoralis, Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain.

  Jenis-jenis tumbuhan di hutan bakau bereaksi berbeda terhadpa variasi- variasi lingkungan fisik, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu.

  Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bias sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di bebrapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai- pantai yang berdekatan dengan terumu karang (Wales, 2010).

  Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan sub tropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungaqi yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).

  Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah : (1) gerakan gelombang yang minimal, agar jenis tumbuhan mangrove dapat menancapkan akarnya, (2) salinitas payau (pertemuan air laut dan tawar), (3) endapan Lumpur (4) zona intertidal (pasang surut) yang lebar. Selain faktor di atas terdapat faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove yaitu (1) tanah : sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi. Di Indonesia substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp. (2) cahaya, salah satu faktor yang penting dalam proses fotosintesis dalam melakukan pertumbuhan tumbuhan hijau. Cahaya mempengaruhi respirasi, transpirasi, fisiologi dan juga sruktur fisik tumbuhan. Intensitas cahaya, di dalam kualitas dan juga lama penyinaran juga merupakan satu faktor penting untuk tumbuhan (3) suhu, pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp. dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru adalah pada suhu 26-28s ºC, untuk Bruguiera spp adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC (Irwanto, 2008).

  Bakau Putih (Bruguiera cylindrica)

  Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Family : Rhizophoraceae Genus : Bruguiera Spesies : Bruguiera cylindrica

  Nama Lokal :Burus tanjang, tanjang putih, tanjang sukim, tanjang sukun, lengadai, bius, lindur, bakau putih.

  Bakau putih merupakan tumbuhan hutan mangrove yang bentuknya berupa pohon yang selalu hijau, berakar lutut dan akar papan yang melebar ke samping dibagian pangkal pohon, ketinggian pohon kadang-kadang mencapai 23 m. Manfaat dari bakau putih ini adalah untuk kayu bakar. Di beberapa daerah, akar mudah dari embrio nya dimakan dengan gula dan kelapa. Para nelayan tidak menggunakan kayunya untuk kepentingan penangkapan ikan karena kayu tersebut mengeluarkan bau yang menyebabkan ikan tidak mau mendekat.

  Tancang termasuk juga dalam famili Rhizophoraceae. Tumbuh subur di lokasi yang kering, pada tanah yang dialiri air tawar, tetapi dapat tumbuh pula di tanah lumpur. Tingginya sekitar 15 m, tetapi bisa mencapai 36 m walaupun jarang yang mencapai ukuran tersebut. Menurut ahlinya, jenis tancang termasuk yang usianya panjang di antara jenis-jenis bakau lainnya. Warna kulit pohon abu-abu, gelap dan permukaannya kasar. Kulit batang pohonnya mengeluarkan bau khas yang tidak disukai ikan, sehingga bisa dipakai untuk mengusir ikan. Jenis ini termasuk mulai jarang ditemukan. Di Singapore pohon ini disebut tumu atau bakau putih dan tergolong endangered species. Beberapa spesies jenis ini adalah:

  

B. cylindrica, B. gymnorhiza dan B. parviflora . Akar B. cylindrica memiliki akar

  papan dan akar lutut. Akar lutut merupakan akar pernafasan. Terdiri atas jaringan seperti sistem sponge dengan banyak pori sebagai tempat menampung udara. Akar nafas dipenuhi lentisel untuk memasukkan udara. Air tidak dapat menembus lentisel ini. Daunnya berbentuk elips tumbuh berlawanan di kiri kanan dahannya.

  Berwarna kuning kehijauan. Seperti daun bakau R. mucronata tetapi bentuknya lebih ramping dan lebih tipis.

  Tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun. Bunganya berjumlah sebanyak 1-5 tangkai per sudut daun. Kelopak bunga ada yang hijau muda, hijau kuning dan ada yang kemerahan. Bunga Bruguiera gymnorrhiza hanya setangkai per sudut daunnya (soliter), berwarna merah muda dan semakin merah warnanya bila terkena sinar matahari. Kelopak bunga yang berwarna merah jambu atau merah ini bentuknya panjang runcing dan berjumlah lebih dari 10 keping. Buahnya vivipar, biji dikotil, berbentuk memanjang seperti pinsil, ada yang berbentuk seperti cerutu,warnanya kehijauan atau coklat. Panjang bakal pohon antara 13 sampai 20 cm, tebalnya sampai 1,5 cm tergantung jenis spesiesnya.

  Pada tumbuhan B. cylindrica buah dipilih dari pohon yang berumur antara 5-10 tahun. Buah dipilih yang sudah matang, dicirikan oleh hampir lepasnya batang buah dari bonggolnya dan warna hipokotil merah kecoklatan atau hijau kemerahan. Buah yang terkumpul tidak perlu dicuci dengan air tapi cukup dibersihkan dengan lap dan dipilih buah yang segar, sehat, bebas hama dan penyakit, belum berakar dan panjang hipokotilnya 10-20 cm. Kelopak buah jangan dicabut atau dilepaskan dengan paksa karena dapat merusak buah. Media yang digunakan untuk pembibitan sama dengan Rhizophora spp. Semua pekerjaan selalu dilakukan di bawah naungan (tidak mendapat sinar matahari secara langsung), supaya buah tidak kering. Sebelum penyemaian, polibag dibiarkan tergenang oleh pasang. Penyemaian dilakukan pada awal pasang purnama, dimana penggenangnya dapat mencapai hipokotil benih. Penyemaian Bruguiera spp seperti pada Rhizophora spp, tetapi tidak usah diikat (Roomgreen, 2011).

  Ciri kematangan buah dapat dilihat dari warna kotiledon, warna hipokotil, berat buah atau ciri lainnya. Sebelum digunakan untuk pembibitan, buah dapat disimpan sementara waktu. Buah dimasukkan dalam ember atau bak yang berisi air penuh, dengan posisi tegak, dan diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar matahari. Lama penyimpanan maksimal adalah 10 hari.

  Pembibitan Tanaman Mangrove

  Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove disekitar lokasi penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilakukan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Propagul/benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari sebelum penanaman (Khazali, 2000).

  Bedengan adalah tempat bersekat, berukuran tertentu, dan berfungsi untuk menampung bibit dan memeliharanya hingga siap tanam. Bedeng sapi ideal nya dilengkapi dengan naungan. Naungan berfungsi utk melindungi bibit dari sengatan matahari secara langsung. Dengan demikian, bibit akan dapat tumbuh dengan baik. Namun bila bibit akan ditanam, naungan ini harus dikurangi/dihilangkan. Dalam melakukan pembibitan diperlukan :

  1. Polibag Polibag adalah kantong plastik yang dibuat secara khusus untuk menampung media dan bibit. Kantung plastik ini umumnya berwarna hitam dan memiliki lubang kecil dibagian bawah. Ukuran polibag ini bervariasi, dan polibag berukuran kecil hingga besar.

  2. Media Untuk tanaman mangrove, media tanam yang dipergunakan adalah lumpur atau lumpur berpasir, diutamakan yang berasal dari sekitar pohon induk.

  3. Benih yang berkualitas Benih yang berkualitas baik yaitu benih yang dengan ukuran

  ≥ 60 cm karena bibit berukuran tersebut memiliki cadangan makanan yang banyak yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman mangrove Bedeng sapih dibuat dengan ukuran bervariasi sesuai dengan kebutuhan, tetapi umumnya berukuran 5 x 1 m. Bedengan ini dapat memuat kurang lebih

  1200 kantung plastik (polibag) ukuran 15 x 20 cm atau 10 x 15 cm, dimana masing-masing kantung memuat satu benih. Bedeng dapat dibuat dengan mencangkul tanah dengan kedalaman 5-10 cm atau tanah yang datar diberi batas bambu agar kantung plastik atau botol air mineral bekas tidak jauh. Antar bedeng sebaiknya ada jalan inspeksi untuk memudahkan pemeriksaan tanaman. Bibit bakau atau tumu berumur sekitar 3-4 bulan siap untuk ditanam di lapangan (Khazali, 2000).

  Bedeng dengan ukuran 1m x 10 m akan dapat memuat 2.250 bibit (ukuran polibag 14 x 22 m). Secara sederhana, pembatas (sekat) bedeng dapat menggunakan bambu atau tiang yang panjang disesuaikan dengan ukuran bedeng. Bedeng menghadap ke arah timur (membujur kea rah selatan-utara) dengan maksud agar seluruh bibit di dalam bedeng mendapatkan sinar matahari pagi yang merata dan optimal. Jarak antar bedeng adalah setengah hingga satu meter untuk jalan inspeksi dan memudahkan penyiraman. Khusus bagi semai yang baru disapih, naungan yang diberikan harus lebih berat karena sangat terhadap sengatan sinar matahari. Apabila naungan yang ada di bedeng sapih adalah paranet, maka sebaiknya diberi naungan tambahan berupa atap rumbia, tepat diatas semai yang baru disapih. Setelah beberapa minggu, naungan rumbia ini diambil hingga tinggal paranetnya (Kusmana, dkk., 2008).

  Ketinggian bedeng sapih perlu diatur (dengan cara digali atau ditimbun) dan harus diperhitungkan dengan fluktuasi ketinggian air laut (pasang surut), sehingga bedeng sapih tersebut bias digenangi oleh air laut dengan frekuensi yang sesuai untuk masing-masing jenis (30-50 kali per bulan, tergantung jenisnya).

  Ketinggian bedeng sapih juga perlu diatur sedemikian rupa sehinggap pada waktu terjadi pasang tertinggi, bibit terendam kira-kira sedalam ¾ dari tinggi anakan.

  Untuk mencegah agar akar menembus dasar bedengan, maka dasar bedengan sebaiknya diberi lapisan lembaran plastic yang hitam dan agak tebal. Dengan cara ini maka kemungkinan serangan kepiting terhadap akar bibit dapat dihindari, disamping itu juga untuk menghindari kelayuan bibit pada waktu akan ditanam, karena bibit yang akarnya sudah menancap ke dasar bedeng akan segera layu bila dicabut. Cara lain untuk menghindari menancapnya akar ke dasar bedengan adalah dengan cara mengangkat bibit secara periodic sambil melakukan pengelompokkan keseragaman bibit.

  Untuk benih yang berukuran sedang hingga besar (misalnya bakau) penanaman dilakukan sebaiknya secara langsung dalam polibag. Penaman langsung ini dinilai lebih efektif dan efisien karena tidak memerlukan penyemaian pada bedeng tabor dan penyapihan. Untuk tanaman mangrove, media tanam yang dipergunakan adalah lumpur atau lumpur berpasir diutamakan berasal dari sekitar pohon induk.

  Pengaruh Cahaya Terhadap Pertumbuhan Tanaman

  Efek cahaya matahari dalam proses perkembangan tanaman melalui fotostimulasi biosintetis (seperti pembentukan klorofil dari photochlorophyllid, sintetis enzim, dan lain-lain), menentukan arah pertumbuhan (phototropism, kegiatan yang memerlukan cahaya matahari), berperan sebagai waktu dalam

  photonasty dan sebagai pemicu perkembanagan dari berbagai tingkatan pada tempat yang tepat di kehidupan tanaman (induksi cahaya) (Larcher, 1995).

  Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintetis,respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sina rmatahari lebih kecil sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

  Cahaya dan suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit di persemaian. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan bibit tumbuh kerdil, daun kering dan gugur, bahkan dapat berakibat bibit mati. Sedangkan intensitas cahaya yang rendah atau kurang akan menimbulkan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan bibit serta menyebabkan etiolasi pada bibit (Marschner, 1995 dalam Delvian 2006). Pendapat lain juga dikatakan oleh Muhamaze (2008) bahwa temperatur rata-rata untuk pertumbuhan mangrove maksimal 32 C pada siang hari dan minimal 23 C pada malam hari. Sedangkan salinitas antara 22-26 ppm. Hasil analisa pengukuran salinitas yang diperoleh cocok untuk pertumbuhan mangrove.

  Taiz dan Zeiger (1991) dalam Djukri dan Purwoko (2003) menyatakan distribusi spektrum cahaya matahari yang diterima oleh daun di permukaan tajuk

  • 2 -1

  (1900 µmol m s ) lebih besar dibanding dengan daun di bawah naungan (17,7

  • 2 -1

  µmol m s ). Pada kondisi ternaungi cahaya yang dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis sangat sedikit. Naungan dapat mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO dan menurunkan titik

  2

  kompensasi cahaya. Menurut Hanafi dkk (2005) meskipun adanya taraf naungan yang berbeda, cahaya matahari masih dapat menyinari tanaman karena cahaya matahari mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk fotosintesis. Proses fotosintetik, klorofil hanya menangkap sinar merah dan sinar biru-violet saja yang dibagi menjadi dua sistem, fotosintesis I yang diaktifkan oleh cahaya merah jauh (680-700 nm) dan fotosintesis II diaktifkan oleh cahaya merah (650 nm).

  Cahaya merupakan satu dari faktor-faktor lingkungan terpenting karena perannya dari proses fotosintesis. Daun-daun musim panas yang tipis dan lebar dan daun musim semi yang lebih tebal, yang beradaptasi terhadap derajat cahaya yang lebih tinggi. Di bawah tekanan cahaya yang rendah terbuka tiga pilihan (Fitter dan Hay, 1991) : a.

  Pengurangan kecepatan respirasi, untuk menurunkan titik kompensasi (dimana pengikatan karbon untuk fotosintesis sama dengan kehilangan karena respirasi.

  b.

  Peningkatan luas daun, untuk memperoleh satu permukaan yang lebih besar bagi absorbsi cahaya.

  c.

Peningkatan kecepatan fotosintesis setiap unit energi cahaya dan luas daun

  Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap.

  Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lainnya mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak (Suhardi, et al., 1995 dalam Irwanto, 2006). Menurut Salisbury (1992) dalam Zamroni dan Rohyani (2008) suhu dan kelembaban udara mempengaruhi jatuhan serasah tumbuhan. Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembaban udara sehingga transpirasi akan meningkat, dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan.

  Morfologi jenis memberikan respon terhadap intensitas cahaya juga terhadap naungan. Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun.

  Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika berada di tempat terbuka. Jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Daun-daun yang memiliki luas permukaan lebih besar memiliki pertumbuhan yang lebih cepat pula (Marjenah, 2001 dalam Irwanto 2006).

  Pernyataan Daniel dkk. (1992) bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang mserangsang aktivitas hormon. Dalam hal ini hormon kurang berperan dalam proses pembentukan sel meristematik ke arah diameter batang, terutama pada intensitas cahaya yang rendah.

  Daun merupakan organ tanaman tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Besarnya cahaya yang tertangkap pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering. Bila luas daun meningkat, asimilat yang dihasilkan akan lebih besar pula. Luas daun yang besar menyebabkan laju asimilasi bersih meningkat, sehingga laju pertumbuhan nisbi juga meningkat dan bobot kering tanaman meningkat pula. Laju pertumbuhan nisbi adalah peningkatan bobot kering tanaman dalam suatu interval waktu tertentu saja, bukan pertambahan bobot kering tanaman. Nilai laju pertumbuhan nisbi erat kaitannya dengan efisiensi penyerapan cahaya oleh daun, dalam hal ini luas daun dan laju asimilasi bersih akan mempengaruhi laju pertumbuhan nisbi. Luas daun meningkat dengan diimbangi laju asimilasi bersih yang tinggi, akan menghasilkan laju pertumbuhan nisbi yang tinggi pula (Tohari dkk. 2004).

  Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Jenis yang diteliti memberikan respons terhadap perbedaan intensitas cahaya. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada tempat terbuka. Tanaman yang ditanam di tempat terbuka mempunyai daun yang lebih tebal daripada di tempat ternaung. Menurut Heddy (1996) dalam satu tanaman, daun yang terluar yang mendapat cahaya matahari penuh tumbuh lebih lebih kecil daripada daun yang sebelah dalam yang terlindung. Bila tumbuhan berada lama dalam cahaya yang lemah, ia akan mengalami etiolasi, yakni batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan serabut penyokong yang cukup, daunnya keputih-putihan tanpa klorofil yang cukup. Namun apabila penyinaran yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan yang kerdil dengan perkembangan yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan kematian.

  Pada fase bibit, semua jenis tanaman tidak tahan IC penuh, butuh 30-40%, diatasi dengan naungan. Naungan merupakan salah satu alternative untuk mengatasi intensitas cahaya yang terlalu tinggi. Naungan selain diperlukan untuk mengurangi intensitas cahaya yang sampai ke tanaman pokok, juga dimanfaatkan sebagai salah satu metode pengendalian gulma di bawah penaung, bersih dari gulma terutama rumputan. Spesies toleran naungan : Aegiceras, Ceriops,

  

Bruguiera, Osbornia, Xylocarpus, Excoecaria . Spesies intoleran naungan :

Acrostichum, Acanthus, Aegialitis, Rhizopora, Lumnitzera, Sonneratia, Avicennia .

  Anakan intoleran naungan : Avicennia pohon toleran naungan.

  Pemberian naungan akan mengurangi radiasi yang diterima tanaman dan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan unsur-unsur iklim seperti suhu udara dan kelembaban udara di sekitar daerah pertanaman (Widiastoety dan Bahar, 1995). Khusus untuk Jakarta, menurut penelitian Widiastoety dan Bahar (1995), penggunaan naungan yang akan memberikan intensitas cahaya sebesar 75%, 65% dan 55% sama baiknya bagi pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang daun serta pertambahan/pembentukan tunas anakan anggrek Dendrobium.

  Hanya parameter lebar daun yang memberikan respons yang berbeda pada ketiga jenis naungan tersebut, yaitu semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima maka semakin kecil lebar daun tanaman anggrek Dendrobium. Menurut Hanafi dkk (2005) meskipun adanya taraf naungan yang berbeda, cahaya matahari masih dapat menyinari tanaman karena cahaya matahari mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk fotosintesis. Proses fotosintetik, klorofil hanya menangkap sinar merah dan sinar biru-violet saja yang dibagi menjadi dua sistem, fotosintesis I yang diaktifkan oleh cahaya merah jauh (680-700 nm) dan fotosintesis II diaktifkan oleh cahaya merah (650 nm).