Flora Dan Habitat Hutan Mangrove

FLORA DAN HABITAT HUTAN MANGROVE
PANTAI TIMUR SUMATERA UTARA
ONRIZAL
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM ILMU KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri atas lebih dari 17.508 buah
pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto,
1984). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa
meter sampai beberapa kilometer. Kusmana (1995) menyatakan bahwa pada tahun
1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada
tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan kepada
14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Walaupun dari segi luasan kawasan,
mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia (FAO, 1982), namun
kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke
tahun.
Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang peranan
yang cukup penting, baik di dalam memelihara produktifitas perairan pesisir maupun
di dalam menunjang kehidupan penduduk di wilayah pesisir. Bagi wilayah pesisir,

keberadaan hutan mangrove, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang
pantai/pinggir muara sungai sangatlah penting untuk mensuplai kayu bakar,
nener/ikan dan udang serta mempertahankan kualitas ekosistem pertanian,
perikanan dan pemukiman yang berada di belakangnya dari gangguan abrasi, intrusi
dan angin laut yang kencang.
Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan
dampak yang sangat mengkawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat,
penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah
darat, malaria dan lainnya. Bahkan di Pantai timur Sumatera Utara, kerusakan
mangrove di pulau Tapak Kuda yang terletak di pantai timur Langkat,
mengakibatkan pulau tersebut sekarang sudah hilang/tenggelam.
Salah satu
penyebab kondisi tersebut terutama adalah pemanfaatan mangrove yang tidak
didasarkan pada kondisi ekologi/daya dukungnya. Sehingga masalah utama yang
sangat penting dalam pengelolaan mangrove di Indonesia adalah kurangnya data
dan pengetahuan tentang ekosistem mangrove (Soegiarto, 1984).
Oleh karena itu, penelitian tentang flora dan habitat hutan mangrove Pantai
timur Sumatera Utara ini menjadi sangat penting. Penelitian ini menghasilkan data
dan informasi tentang flora dan habitat kutan mangrove pantai timur Sumatera
Utara yang dapat dijadikan sebagai dasar dan acuan untuk (a) rehabilitasi mangrove

yang sudah rusak, (b) pengelolaan mangrove untuk masa kini dan masa mendatang,
dan (c) tentunya sekaligus memperkaya data dan pengetahuan tentang hutan
mangrove.

2002 digitized by USU digital library

1

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (a) struktur dan komposisi jenis
penyusun hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara, dan (b) kondisi habitat
(tanah dan kualitas air) hutan mangrove pantai timur Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE
Survey lapangan dalam rangka inventarisasi dan identifikasi flora dan kondisi
habitat hutan mangrove pantai timur Sumatera Utara dilakukan pada bulan Juli
1997.
Data yang dikumpulkan dalam survey lapangan meliputi struktur dan
komposisi jenis, lebar jalur hijau, abrasi, kondisi tanah dan kualitas air.
Mengingat cukup luasnya areal yang akan diteliti, maka pengamatan dan

pengukuran di lapangan dilakukan pada lokasi terpilih (training area). Pemilihan
training area dilakukan dengan mengkombinasikan informasi kesesuain lahan dari
Peta Sistem Lahan (Land System Map) yang dikeluarkan oleh Bakorsultanal dan
informasi penutupan lahan dari Peta Landsat TM. Setelah dikombinasikan, diketahui
bahwa hutan mangrove pantai timur Sumatera Utara tumbuh pada sistem lahan KJP
dan PTG.
Penentuan posisi training area di lapangan dilakukan dengan
menggunakan GPS. Posisi masing-masing training area pada sistem lahan KJP
adalah 3o30' 22.44" LU; 99o14' 06.0" BT dan 3o13' 0.00" LU; 99o34' 12.5" BT,
sedangkan pada sistem lahan PTG adalah 3o 34' 3.24" LU; 99o 07' 11.06" BT dan 3o
22' 24.09" LU; 99o 23' 47.03" BT.
Pencuplikan data flora dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu inventarisasi flora
dan melalui teknik analisis vegetasi.
Inventarisasi flora dimaksudkan untuk
memberikan gambaran secara umum keadaan vegetasi di daerah penelitian, sedang
teknik analisis vegetasi ditujukan untuk melihat struktur dan komposisi jenis. Teknik
analisis vegetasi yang digunakan adalah metoda petak dengan unit contoh berupa
jalur (transek) berukuran 10 m x 100 m sebanyak 10 jalur. Di dalam setiap unit
contoh (jalur) secara nested sampling dibuat sub-sub unit contoh untuk permudaan,
yakni 2 m x 2 m untuk tingkat semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang dan 10 m x

10 m untuk pohon. Kriteria tingkat permudaan yang digunakan adalah: (a) semai
adalah anakan pohon mulai kecambah sampai tingginya ≤ 1,5 m, (b) pancang adalah
anakan pohon dengan diamater < 10 cm dan tinggi > 1,5 m, dan (c) pohon adalah
pohon muda dan dewasa yang memiliki diameter ≥ 10 cm. Data yang diperoleh
dicatat dan dianalisis dengan metode seperti Greig-Smith (1964).
Pengambilan data kondisi tanah dan kualitas air dilakukan pada lokasi yang
sama dengan pencuplikan data vegetasi. Selain pengukuran dan pengambilan
langsung di lapangan, beberapa parameter tanah dan kualitas air dianalisis di
laboratorium.

2002 digitized by USU digital library

2

HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur dan Komposisi Jenis
Berdasarkan inventarisasi flora, hutan mangrove pantai timur Sumatera Utara
terdapat di 2 (dua) sistem lahan, yakni KJP dan PTG yang disusun oleh 20 jenis flora
mangrove yang terdiri atas 12 jenis mangrove sejati (true mangrove/major
components), 5 jenis komponen minor mangrove (minor components) dan 3 jenis

asosiasi mangrove (mangrove associates).
Kedua belas jenis mangrove sejati
tersebut adalah Avicennia alba, A. marina, A. officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B.
cylindrica, B. sexangula, Ceriops tagal, C. decandra, Nypa fruticans, Rhizophora
apiculata, R. mucronata, dan Lumnitzera littorea. Kecuali jenis N. fruticans yang
berhabitus tumbuhan bawah, ke-11 jenis mangrove sejati lainnya berhabitus sebagai
pohon.
Jenis-jenis komponen minor mangrove yang dijumpai adalah Aegiceras
corniculatum, Acrosticum aureum, Excoecaria agallocha, Xylocarpus granatum dan
X. mollucensis dan sedangkan ketiga jenis asosiasi mangrove penyusun mangrove
pantai timur Sumatera Utara adalah Acanthus ilicifolius, Terminalia catappa, dan
Hibiscus tiliaceus.
Selain jenis A. aureum dan A. ilicifolius yang berhabitus
tumbuhan bawah, jenis-jenis minor adan asosiasi mangrove lainnya berhabitus
pohon.
Dengan keanekaragaman jenis sebesar 20 jenis flora mangrove tersebut,
untuk ukuran hutan mangrove, maka hutan mangrove di pantai timur Sumatera
Utara tergolong kaya jenis dan sesuai dengan pembagian grup mangrove
berdasarkan kekayaan keanekaragaman jenis oleh Thomlinson (1986), walaupun
dibandingkan hutan hujan dataran rendah angka ini masih sangat kecil, misalnya

jika dibandingkan dengan hutan Alas, Ketambe yang memiliki kekayaan jenis
sebesar 81 jenis pohon per hektar (Sambas, 1999).
Hasil analisis vegatasi menunjukkan bahwa, pada sistem lahan KJP dijumpai 6
jenis pohon mangrove, yaitu Avicennia marina, A. alba, Bruguiera sexangula,
B.cylindrica, Ceriops tagal dan C. decandra. Sedangkan pada sistem lahan PTG
hanya dijumpai 3 jenis pohon mangrove, yakni A. marina, A. alba dan Excoecaria
agalocha. Berdasarkan tingkat permudaannya, jenis-jenis yang dijumpai di kedua
sistem lahan tersebut berada pada tingkat semai dan tingkat pancang. Sedangkan
tingkat pohon sudah tidak dijumpai. Oleh karena itu, hutan mangrove tersebut
berada pada taraf perkembangan setelah mengalami gangguan sebelumnya, sama
seperti hutan mangrove di Gosong Telaga, Singkil, Aceh Selatan (Soehardjono,
1999).
Jenis A. marina merupakan jenis yang mendominasi di kedua sistem lahan
dan di semua tingkat permudaan. A. marina sebagai jenis dominan tingkat semai di
sistem lahan KJP memiliki kerapatan sebesar 4.575 ind/ha (INP = 91,68 %),
sedangkan di sistem lahan PTG memiliki kerapatan sebesar 11.850 ind/ha (INP =
173,82 %). Kerapatan total seluruh jenis untuk kedua sitem lahan, yakni KJP dan
PTG secara berturut-turut adalah 10.275 ind/ha dan 12.925 ind/ha. Data hasil
analisis vegetasi tingkat semai di sistem lahan KJP dan PTG selengkapnya disajikan
pada Tabel 1 dan 2.


2002 digitized by USU digital library

3

Tabel 1.Indeks nilai penting tingkat semai di sistem lahan KJP, pantai timur
Sumatera Utara
Jenis
A.
A.
B.
B.
C.
C.

marina
alba
sexangula
cylindrica
tagal

decandra
Jumlah :

K
(ind/ha)
4.575
2.125
2.175
550
375
475
10.275

KR (%)
44.53
20.68
21.17
5.35
3.65
4.62


F
0.58
0.34
0.08
0.09
0.05
0.09

FR (%)

INP (%)

45.15
27.64
6.50
7.32
4.07
7.32


91.68
48.32
27.67
12.67
7.72
11.94

Tabel 2. Indeks nilai penting vegetasi mangrove tingkat semai di sistem
lahan PTG, pantai timur Sumatera Utara
Jenis
A. marina
A. alba
E. agallocha
Jumlah

K
(ind/ha)
11850
675
400

12.925

KR (%)
91.68
5.22
3.09

F

FR (%)

0,92
0,09
0,11

82,14
8,04
9,82

INP (%)
173.83
13.26
12.91

Seperti halnya pada tingkat semai, jenis A. marina juga mendominasi pada
tingkat pancang di kedua sistem lahan dengan kerapatan sebesar 1.212 ind/ha (INP
= 66,95 %) di sistem lahan KJP dan 3.300 ind/ha (INP = 166,25 %) di sistem lahan
PTG. Kerapatan total seluruh jenis di sistem lahan KJP dan PTG secara berurutan
adalah 4.184 ind/ha dan 3.624 ind/ha. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di
sistem lahan KJP dan PTG secara berturut-turut selengkapnya disajikan pada Tabel 3
dan 4.
Tabel 3.Indeks nilai penting vegetasi mangrove tingkat pancang di sistem
lahan KJP, pantai timur Sumatera Utara
A.
A.
B.
B.
C.
C.

Jenis
marina
alba
sexangula
cylindrica
tagal
decandra
Jumlah :

K (ind/ha)
1.212
412
244
1.784
196
336
4.184

KR (%)
28.97
9.85
5.83
42.64
4.68
8.03

F
0.49
0.35
0.11
0.16
0.06
0.12

FR (%)
37.98
27.13
8.53
12.40
4.65
9.30

INP (%)
66.95
36.98
14.36
55.04
9.34
17.33

Tabel 4.Indeks nilai penting vegetasi mangrove tingkat pancang di sistem
lahanPTG, pantai timur Sumatera Utara
Jenis
A. marina
A. alba
E. agallocha
Jumlah :

K
(ind/ha)
3.300
156
168
3.624

KR (%)
91.06
4.30
4.64

2002 digitized by USU digital library

F
0.94
0.11
0.20

FR (%)
75.20
8.80
16.00

INP (%)
166.26
13.10
20.64

4

Keanekaragaman jenis yang dijumpai berbeda dengan mangrove di Morowali,
Sulawesi Tengah (Darnedi dan Budiman, 1984), Kepulauan Aru, Maluku (Pramudji,
1987), Teluk Ambon (Setiadi dan Pramudji, 1987), dan Grajakan, Banyuwangi
(Soeroyo dan Sukardjo, 1991) dan Gosong Telaga, Singkil, Aceh Selatan
(Soehardjono, 1999). Selain berbeda dalam keanekaragaman jenis, juga berbeda
dalam kerapatan masing-masing jenis pada daerah yang berbeda. Berdasarkan
taraf regenerasinya, hutan mangrove pantai timur Sumatera Utara mirip dengan
hutan mangrove di Aceh Singkil (Soehardjono, 1999), yakni berada pada taraf
perkembangan, dimana tingkat pohon sangat kecil atau malah tidak dijumpai.
Kerapatan total tingkat pancang di Gosong Telaga, yakni 5.820 ind/ha dan 4.863
ind/ha) masih yang tertinggi dari daerah lain, termasuk mangrove di lokasi penelitian
yang memiliki kerapatan sebesar 4.184 ind/ha dan 3.624 ind/ha.
Jenis A. marina diperkirakan akan merajai populasi tingkat pohon mangrove
di lokasi penelitian di masa mendatang. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya
populasi dan suksesi tingkat semai dan pancang di lokasi penelitian.
Bila
dibandingkan dengan hutan mangrove di Ciasem, Pamanukan (Saleh, 1986), Kuala
Mandah, Riau (Setiabudi, 1986, Silalahi, 1995, dan Irmansyah, 1997), Pulau Batam
(Barus, 1998) dan Gosong Telaga, Singkil, Aceh Selatan (Soehardjono, 1999)
kecenderungan dominasi pohon juga berbeda.
Jalur Hijau Mangrove
Hutan mangrove pada sistem lahan KJP pantai timur Sumatera Utara ini
terdapat pada kiri kanan sungai dan tepi pantai dengan lebar rata-rata sekitar 25 m,
yang bervariasi dari 10 - 80 m dengan pola tumbuh terpencar-pencar. Secara
umum vegetasi pohon yang ada merupakan sisa hutan mangrove yang telah
dikonversi menjadi tambak sejak tahun 1980.
Seperti halnya pada sistem lahan KJP, hutan mangrove pada sistem lahan
PTG ini tumbuh pada kiri kanan sungai dan pesisir pantai dengan lebar rata-rata
sekitar 30 m yang bervariasi dari 10 - 50 m. Secara umum mangrove yang ada
merupakan permudaan yang tumbuh pada bekas tambak yang tidak dipergunakan
lagi.
Berdasarkan informasi dari masyarakat, diketahui bahwa pengkonversian
mangrove menjadi tambak di sistem lahan ini terjadi sejak tahun 1977.
Berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990, ditetapkan lebar jalur hijau
mangrove (LJHM) suatu daerah ditentukan dengan formulasi 130 x pps (perbedaan
pasang tertinggi dan surut terendah). Pantai timur Pantai timur Sumatera Utara
yang memiliki pps rata-rata 1,5 m, maka seharusnya lebar minimum LJHM adalah
195 m. Sehingga dengan LJHM sebesar 80 m pada sistem lahan KJP dan 50 m pada
sistem lahan PTG, maka LJHM tersebut jauh dari batas minimum LJHM yang
diperkenankan.
Abrasi
Berdasarkan hasil wawancara terhadap tokoh masyarakat dan masyarakat di
sekitar kawasan, pada sistem lahan PTG, diperkirakan garis pantai pada tahun 1982
mencapai 150 m dari garis pantai yang dijumpai saat penelitian. Informasi tersebut
menunjukkan bahwa abrasi yang terjadi mencapai 10 m/th, didasarkan pada
perhitungan tahun 1997. Sementara itu pada sistem lahan KJP perkiraan garis
pantai pada tahun 1982 adalah 100 m dari garis pantai sekarang. Sehingga abrasi
yang terjadi mencapai 6 m/th. Data tentang perkiraan garis pantai dan abrasi di
pantai timur Sumatera Utara diperlihatkan pada Tabel 5.

2002 digitized by USU digital library

5

Tabel 5. Perkiraan garis pantai dan abrasi di pantai timur Sumatera Utara
Abrasi (m/th)**

Sistem Lahan

Perkiraan Garis Pantai
dari Garis Pantai
Sekarang (m)

KJP

100 (1982)

6

PTG

150 (1982)

10

** = dihitung pada tahun 1997
Tanda dalam tanda kurung menyatakan tahun
Besarnya laju abrasi yang terjadi bisa dipahami, oleh karena tipisnya LJHM
yang tersisa. Sehingga fungsi mangrove sebagai buffer yang salah satunya berupa
perlindungan pesisir pantai dari abrasi menjadi berkurang atau malah hilang sama
sekali.
Tanah
Sistem lahan KJP ini memiliki landform dataran lumpur antar pasang surut
dibawah mangrove dengan kemiringan lereng < 2% dan relief