BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Nyeri 2.1.1. Definisi Nyeri - Intensitas Nyeri Dan Perilaku Nyeri Pada Pasien Rheumatoid Artritis Di Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Nyeri

2.1.1. Definisi Nyeri

  The International Association for the Study of Pain (IASP,1979 dikutip

  dari Potter & Perry, 2006), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan. Perasaan yang tidak nyaman tersebut sangat bersifat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin, 2007).

  Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer dan Bare (2001) bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, menyakitkan tubuh, serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Sedangkan menurut Barbara dan Joan (1983), nyeri diartikan sebagai suatu fenomena biopsikososial yang kompleks. Nyeri tidak hanya ditunjukkan sebagai nilai yang negatif yang terjadi di tubuh, tetapi nyeri sering ditunjukkan sebagai tanda atau peringatan bahwa ada suatu kerusakan jaringan di tubuh.

  Menurut Feurst (1974), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan. Nyeri merupakan pengalaman seseorang dan bersifat subjektif, berbeda antara satu orang dengan orang lain serta dirasakan bervariasi oleh seseorang dari waktu yang satu ke waktu yang lain (Reeder-Martin, 1984).

  Menurut Kozier & Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pada pengelolaan fisik semata, namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk mengatasi nyeri (Tamsuri,2012).

  Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin, 1997). Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada nyeri adalah pengalaman persepsi yang sangat kompleks yang diakibatkan oleh faktor situasi dan lingkungan yang dikarenakan adanya proses fisiologi dalam tubuh seperti, emosi, motivasi (dukungan) dan kesadaran, dan semuanya itu dipengaruhi oleh suku, budaya dan bahasa.

  Mouncastle mendefenisikan nyeri pengalaman sensori yang dibawa oleh stimulus sebagai akibat adanya ancaman atau kerusakan jaringan, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah ketika seseorang terluka secara fisik. Sedangkan menurut Arthur C. Curton (1983) mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri

2.1.2 Fisiologi Nyeri

2.1.2.1 Stimulus Nyeri

  Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosireseptor, yaitu ujung-ujung saraf bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik (Prasetyo, 2010). Terdapat beberapa stimulus nyeri, diantaranya:

  Tabel.2.1.2.1 Stimulus Nyeri Faktor Penyebab Contoh

  Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, Meningitis dll) Kimia Tersiram air keras Tumor Ca Mamae Iskemia jaringan Jaringan miokard yang mengalami iskemia karena gangguan aliran darah pada arteri koronaria

  Listrik Terkena sengatan listrik Spasme Spasme otot Obstruksi Batu ginjal, batu ureter, obstruksi usus Panas Luka bakar Fraktur Fraktur femur Salah urat Keseleo, terpelintir Radiasi Radiasi untuk pengobatan kanker Psikologis Berduka, konflik (dikutip dari Prasetyo, 2010)

  Sedangkan stimulus nyeri menurut Alimul (2006), diantaranya adalah : (1)Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah (operasi) akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor, (2) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekananpada reseptor jaringan, misalnya terjado blockade pada arteria koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat, (5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

2.1.2.2 Reseptor Nyeri

  Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berfungsi sebagai reseptor adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis nosiseptor ini ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalambeberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatik) dan pada daerah viseral. Kerna letaknya yang berbeda inilah nyeri yang timbul memiliki sensasi yang berbeda-beda (Tamsuri,2012).

  Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang bersal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefenisikan. Reseptor jaringan kulit terbagi dua komponen, yaitu: serabut A delta dan serabut C (Tamsuri, 2012). Serabut A delta adalah serabut yang bermielin, cepat mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi dan jelas yang melokalisasi sumber nyeri serta mendeteksi intensitas nyeri. Serabut A delta tersebut menghantar komponen cedera akut dengan segera. Sedangkan serabut C menghantar impuls yang terlokalisasi buruk, viseral dan terus menerus. Misalnya, setelah menginjak sebuah paku, seorang bernosiseptorkan serabut A delta. Dalam beberapa detik, nyeri menjdi lebih difus dan menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena dinosiseptori oleh serabut C ( Potter dan Perry, 2006).

Tabel 2.1.2.2 Perbedaan Serabut Saraf nyeri tipe delta A dan C Serabur saraf tipe delta A Serabut saraf tipe C

  Daya hantar sinyal relatif cepat Daya hantar sinyal relatif lambat Bermielin halus Tidak bermielin Diameter 2-5 mm Diameter 0,4-1,2 Membawa rangsangan nyeri yang Membawa rangsangan nyeri terbakar menusuk dan tumpul

  Serabut saraf tipe ini terakhir di lamina Serabut saraf tipe ini berakhir di kornu

  II, III dan IV dorsalis dan lamina I (dikutip dari Asmadi, 2008)

  Struktur reseptor nyeri somatik dalm meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan penyangga lainnya, karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit untuk dilokalisasi. Reseptor ketiga yaitu reseptor visceral, yaitu reseptor yang meliputi organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul biasanya difus (terus-menerus), dan tidak sensitif terhadap pemotongan organ tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Nyeri visceral dapat menyebabkab nyeri alih (reffered pain) yaitu nyeri yang dapat timbul pada daerah yang berbeda/jauh dari organ asal stimulus nyeri tersebut. Keadaan ini terjadi karena adanya sinaps pada jaringan viseral pada medula spinalis dengan serabut yang berasal dari jaringan subkutan tubuh (Tamsuri, 2012).

  Menurut Prasetyo (2010), reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan-perubahan partikular disekitarnya, kaitannya dengan proses terjadinya nyeri maka reseptor-reseptor inilah yang menangkap stimulus- stimulus nyeri. Reseptor ini dapat dibagi menjadi: (1) exteroreseptor, (2) telereseptor, (3) propioseptor dan (4) interoreseptor. Exteroreseptor yaitu reseptor yang berpengaruh terhadap perubahan pada lingkungan eksternal, antara lain: corpusculum miessineri dan corpus merkel untuk merasakan stimulus taktil (rabaan dan sentuhan), corpusculum krausse untuk merasakan dingin sedang corpusculum ruffini untuk merasakan rangsangan panas. Telereseptor merupakan reseptor yang sensitif terhadap stimulus yang jauh. Propioreseptor merupakan reseptor yang menerima impuls primer dari organ otot, spindle dan tendon golgi. organ-organ visceral dan pembuluh darah.

2.1.2.3 Neuroregulator Nyeri

  Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus saraf memegang peranan yang sangat penting dalam suatu pengalaman nyeri.

  Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf dalam kornu dorsalis pada medula spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok, yakni neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter mengirim impuls listrik melewati celah sinaps diantara dua serabut saraf sedangkan neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau mentransmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinaps. meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmiter tertentu ( Potter dan Perry, 2006).

  Neurotransmiter terdiri dari (1) Substansi P ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptida ektisator), diperlukan untuk mentransmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan menyebabkan vasodilatasi dan edema, (2) Serotonin dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri, (3) Prostaglandin dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dan dipercaya dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel. sedangkan neuromodular terdiri dari (1) endorfin ( morfin endogen) merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh, diaktivasi oleh daya stress dan nyeri serta terdapat di otak, spinal dan traktus gastrointestinal serta dapat memberi efek analgetik, (2) bradikinin yang dilepaskan dari plasma dan pecah di sekitar pembuluh darah yang mengalami cedera, bekerja pada reseptor syaraf perifer yang dapat meningkatkan stimulus nyeri dan bekerja pada sel yang menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin (Tamsuri, 2012).

2.1.3 Klasifikasi Nyeri

  Tamsuri (2012) membagi klasifikasi nyeri berdasarkan 3 bagian, yaitu:

2.1.3.1 Klasifikasi Berdasarkan Awitan

  Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkkan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis (Tamsuri, 2012). Nyeri akut adalah nyeri nyeri yang terjadi pada waktu (durasi) satu detik sampai dengan enam bulan, sedangkan nyeri kronis umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat).

  Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk mengindikasikan adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri jenis ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan penyembuh. Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten bahkan persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu nyeri kronis maligna dan nyeri kronis nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksikan meskipun penyebabnya mudah ditentukan. Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi.

  Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri.

  Menurut Prasetyo (2010), Cronic acut pain dapat dirasakan setiap harinya dalam suatu periode yang panjang (beberapa bulan atau tahun). Luka bakar yang parah, kanker yang diderita merupakan keadaan yang dapat menyebabkan nyeri kronis akut. Nyeri yang diakibatkan luka bakar yang parah dan kanker di atas akan terus dirasakan oleh klien sepanjang harinya sampai kondisi yang mendasari timbulnya nyeri tersebut hilang atau terkontrol. Pada kasus tertentu , nyeri berakhir hanya dengan berakhirnya hidup klien (kematian), seperti contoh pada kasus klien dengan stadium terminal.

  Sedangkan nyeri kronik nonmaligna atau disebut juga nyeri kronik benign, nyeri ini dirasakan hampir setiap hari selama periode lebih dari 6 bulan dengan

  (dalam Prasetyo, 2010), terdapat tiga karakteristik khusus pada nyeri kronis non malignan, yaitu: nyeri ini berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak mengancam kehidupan, tidak begitu responsif terhadap metode-metode pembebasab nyeri dan dapat berlanjut pada sisa kehidupan. Contoh dari berbagai patofisiologi yang dapat mengakibatkan nyeri kronis nonmaligna yaitu: berbagai bentuk dari neuralgia, low back pain, rheumatoid artritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom dan myofascial pain syndrom.

  Tabel.2.1.3.1 Perbandingan Nyeri Akut dan Kronis Karakteristik Nyeri akut Nyeri Kronis

  Tujuan/keuntungan Memperingati adanya cedera atau masalah Tidak ada

  Awitan Mendadak Terus-menurus atau intermiten Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat Durasi Singkat (dari beberapa detik sampai enam bulan)

  Lama (enam bulan lebih) Respon otonom Konsisten dengan respon stress simpatis

  Volume sekuncup meningkat, tekanan darah meningkat, dilatasi pupil meningkat, tegangan otot meningkat, motilitas gastro intestinal menurun, aliran saliva menurun (mulut kering)

  Tidak terdapat respon otonom Komponen psikologis Ansietas Depresi, mudah marah, menarik diri dari dunia luar, menarik diri dari persahabatan

  Respon jenis lainnya Tidur terganggu, libido menurun, nafsu makan menurun

  Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, artritis, neuralgia trigeminal

2.1.3.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi

  Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu:

  a. Nyeri Superfisial

  Nyeri Superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar dan sebagainya. Nyeri jenis ini mempunyai waktu penyembuhan yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam (Tamsuri, 2012). Nyeri superfisial dapat dirasakan pada seluruh permukaan tubuh atau kulit klien (Prasetyo, 2010).

  b. Nyeri Somatik Dalam (Deep Somatik Pain)

  Nyeri somatik dalam adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta dengan adanya peregangan dan iskemik (Tamsuri, 2012). Nyeri somatik dalam biasanya bersifat difus (menyebar) berbeda dengn nyeri superfisial yang mudah untuk dilokalisir. Bagian yang mempunyai sensitifitas terhadap nyeri antara lain: tendon, fascia dalam, ligamen, pembuluh darah, tulang periesteum dan nervus- nervus. Otot skeleton hanya sensitif terhadap iskemia dan peregangan. Tulang dan kartilago biasanya sensitif terhadap tekanan yang ekstrim atau stimulasi kimia, misal: rheumatoid artritis, osteomielitis ( Prasetyo,2010)

  

Tabel.2.1.3.2.1 Perbedaan Antara Nyeri Kutaneus dengan Nyeri Somatik Dalam

  Karakteristik Nyeri Kutaneus Nyeri Somatis Dalam Kualitas Tajam, sensasi terbakar Biasanya bersifat tumpul, berdenyut Durasi Berdurasi pendek Biasanya lebih lama dibandingkan nyeri

  Lokasi Cenderung dapat dilokalisir, nyeri dapat Cenderung difus dan dirasakan pada suatu titik sulit untuk dilokalisir area, pada permukaan

  Tanda gejala yang Rasa terbakar, gatal, Berhubungan dengan menyertai hyperalgesia respon otonom: mual, muntah, berkeringat, muka pucat, bradikardit, penurunan tekanan darah, sinkop

  (dikutip dari Prasetyo,2010)

c. Nyeri Viseral

  Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh organ interna. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul (Tamsuri, 2012). Penyebab nyeri visceral adalah semua rangsangan yang dapat menstimulasi ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsangan tersebut dapat berupa iskemia jringan visceral, spasme suatu viscera berongga, rangsang kimia dan distensi suatu organ viscera. Contoh dari nyeri visceral yaitu : apendiksitis, cholecystitis, penyakit kardiovaskuler, renal, konik uretra dan lain- lain.

  Tabel.2.1.3.2.2 Perbedaan Nyeri Somatik dan Nyeri Viseral Karakteristik Somatik Viseral Superfisial Dalam

  Kualitas Tajam, menusuk Tajam atau tumpul, Tajam,tumpul, difus difus, kejang Lokalisasi Terpusat Menyebar Menyebar Mengabar Tidak Tidak Ya Stimulus Cedera, abrasi, Cedara, panas, Distensi, iskemia, penyebab Panas/dingin Iskemia, Spasme, iritasi, pergeseran kimiawi

  Reaksi Tidak Ya Ya autonom Refleks Dalam Ya Ya

  d. Nyeri Sebar (Radiasi)

  Nyeri sebar adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien seperti berjalan atau bergerak dari daerah asal nyeri ke sepanjang tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan (Tamsuri, 2012). Nyeri ini terasa pada bagian tubuh yang lain, umumnya karena terjadinya kerusakan pada organ dalam (Asmadi, 2008).

  e. Nyeri Fantom

  Nyeri pantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsikan pada organ yang mengalami amputasi seolah-olah organnya masih ada (Tamsuri, 2012). Nyeri ini umumnya terjadi sebab adanya ekstremitas diamputasi (Asmadi, 2008).

  Nyeri alih nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke orang lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul. Karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke dalam medulla spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya. Nyeri timbul biasanya pada beberapa tempat yang kadang jauh dari lokasi asal nyeri (Tamsuri, 2012).

2.1.3.3 Berdasarkan Organ

  Berdasarkan pada organ tempat timbulnya nyeri, nyeri dapat dikelompokkan dalam:

  a. Nyeri Organik

  Nyeri Organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Penyebab nyeri umumnya mudah dikenali sebagai akibat adanya cedera, penyakit atau pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ (Tamsuri, 2012).

  b. Nyeri Neurogenik

  Nyeri Neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia. Nyeri ini terjadi secara akut amupun kronis (Tamsuri, 2012). Nyeri pada system neurologis timbul dalam berbagai bentuk. Neuralgia adalah nyeri yang tajam, seperti spasmus disepanjang satu atau beberapa jalur saraf. Dua bentuk neuralgia adalah saraf trigeminus pada muka dan saraf sciatic pada bagian membakar disertai dengan cedera saraf perifer pada eksremitas. Pasien biasanya akan merasakan jalur yang sangat panjangguna mencegah stimulus yang mengiritasi (seperti suara kapal terbang diatas kepala) (Barbara, 1996).

  c. Nyeri Psikogenik Nyeri Psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikogenik.

  Gangguan ini lebih mengarah ke gangguan psikogenik dari pada gangguan organ. Klien yang menderita “benar-benar” mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien (Tamsuri, 2012). Nyeri psikogenik adalah tanpa diketahui adanya temuan pada fisik yaitu timbul karena psikologis, mental, emosional atau faktor perilaku. Sakit kepala, paling umum. Nyeri psikologik terkadang dilihat dengan stigma yang salah, di mana nyeri ini dianggap sebagai suatu yang tidak nyata. Padahal semua nyeri yang dikatakan adalah nyata (Prasetyo, 2010).

2.1.4 Respon Tubuh terhadap Nyeri

2.1.4.1 Respon fisik

  Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stress. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan “General Adaption Syndrom” (reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis. Sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulus terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri,2012).

  Tabel.2.1.4.1 Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri Reaksi Efek Simpatis

  Dilatasi lumen bronkus, Memungkinkan penyediaan oksigen peningkatan frekuensi napas yang lebih banyak Denyut jantung meningkat Memungkinkan transport oksigen lebih besar ke dalam jaringan tubuh (sel) Vasokonstriksi perifer Meningkatkan tekanan darah dengan memindahkan suplai darah dari perifer ke organ viseral, otot dan otak

  Peningkatan glukosa darah Memungkinkan penyediaan energi tambahan bagi tubuh Diaforesis Mengendalikan suhu tubuh selama Tegangan otot meningkat stress Dilatasi pupil Menyiapkan otot untuk mengadakan aksi yang lebih baik Menyalurkan energi untuk aktivitas tubuh yang lebih penting

  Parasimpatis

  Pucat Disebabkan suplai darah yang menjauhi perifer Kelelahan otot Karena kelelahan Tekanan otot dan nadi menurun Pengaruh nervus vagal Frekuensi napas cepat, tak teratur Karena mekanisme pertahanan yang gagal untuk memperpanjang perlawanan tubuh terhadap stress

  Mual dan muntah (nyeri) Kelemahan Kembalinya fungsi gastrointestinal

  Akibat pengeluaran energi yang berlebihan (dikutip dari Tamsuri, 2012)

  2.1.4.2 Respon Psikologis

  Respon psikologis sangat berkitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang “negatif” cenderung memiliki suasana hati yang sedih, berduka, ketidakberdayaan dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada pasien yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman “positif” akan menerima mengalami nyeri yang dialaminya. Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya (Tamsuri, 2012).

  2.1.4.3 Respon Perilaku

  Dalam Tamsuri (2012), respon perilaku yang timbul pada pasien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam, Meinhart dan Mc.Caffery pada tahun 1983 menggambarkan tiga fase perilaku terhadap nyeri yaitu : antisipasi, sensasi

  Fase ntisipasi merupakan fase yang paling penting karena fase ini merupakanpenentu untuk pase berikutnya. Pada fase ini, merupakan fase yang memungkinkan individu untuk mrmahami nyeri, untuk belajar dan mendapatkan gambaran tentang nyeri itu sendiri. Pada fase ini, pasien disiapkan untuk belajar bagaimana mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul dan juga pasien diajarkan bagaimana tindakan pasien jika terapi/tindakan yang dilakukan kurang efektif. Pada fase antisipasi ini, klien juga beljar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri itu sendiri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkanpeningkatan sensasi nyeri yang terjadi pada pasien dan/atau tindakan ulang yang dilakukan oleh pasien untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.

  Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seorang pasien yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukkan badan, menjerit dan bahkan mungkin berlari-lari.nperilaku klien dalam merespon nyeri ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk mentoleransi nyeri dan juga oleh berat-ringannya sensasi nyeri itu sendiri. Kadangkala pasien tidak mau mengungkapkan pengalaman nyeri yang dirasakannya karena menganggap dirinya adalah “orng yang cengeng” atau pasien akan berpandangan bahwa perawat akan menyebut pasien “cerewet”.

  Pada fase pascanyeri, klien mungkin mengalami trauma psikologis, takut, depresi serta dapat juga menggigil.

2.1.5 Teori-teori Nyeri

  2.1.5.1 Teori Spesifik ( Specivicity Theory)

  Teori ini dikemukakan oleh Descardespada abad ke 17. Teori ini didasarkan pada adanya jalur-jalur tertentu yang dapat mentransmisikan rasa nyeri. Adanya ujung-ujung saraf bebas pada perifer bertindak sebagai reseptor nyeri, dimana saraf-saraf ini diyakini mampu untuk menerima stimulus nyeri dan menghantarkan impuls nyeri ke susunan saraf pusat. Impuls kemudian ditransmisikan melalui dorsal horn (akar belakang) dan substansia gelatinosa ke thalamus dan berakhir pada area kortek. Nyeri kemudian dapat diinterpretasikan dan muncul respon terhadap nyeri. Teori ini tidak memunculkan karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secar sederhana yaitu melihat nyeri dari paparan biologis saja tanpa melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010)

  2.1.5.2 Teori Pola ( Pattren Theory)

  Teori ini dikemukakan pada awal tahun 1900. Teori ini mengemukakan bahwa terdapat dua serabut nyeri utama yaitu serabut yang menghantar nyeri secara cepat dan serabut yang menghantar nyeri secara lambat ( serabut A delta dan serabur C). Stimulus dari serabut saraf ini membentuk sebuah “pattern/pola”.

  Teori ini juga mengenal konsep “Central Summation” dimana impuls perifer dari kedua saraf disatukan di spinal cord dan dari sana hasil penyatuan impuls diteruskan ke otak untuk diinterpretasikan. Sebagaimana halnya dengan teori spesifik, teori ini juga tidak memperhatikan perbedaana persepsi dan faktor psikologis dari masing-masing individu (Prasetyo, 2010).

2.1.5.3 Teori Pengontrolan Nyeri

  Teori Gate Control menyatakan bahwa nyeri dan persepsi nyeri dipengaruhi oleh interaksi dari dua sistem (Melzack dan Wall, 1965). Dua sitem tersebut yaitu : substansia gelatinosa pada dorsal horn di medula spinalis dan sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat) yang terdapat pada batang otak.

  Serabut A delta yang berdiameter kecil membawa impuls nyeri cepat sedangkan serabut C membawa impuls nyeri yang lambat. Sebagai tambahan serabut A beta yang berdiameter lebar membawa impuls yang dihasilkan oleh stimulus taktil (perabaan/sentuhan). Di dalam substansi gelatinosa impuls ini akan bertemu dengan suatu “gerbang” yang menbuka dan menutup berdasarkan prinsip siapa yang lebih mendominas, serabut taktil A beta ataukah serabut nyeri yang berdiameter kecil.

  Apabila impuls yang dibawa serabut nyeri yang berdiameter kecil melebihi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A Beta maka “gerbang akan terbuka sehingga perjalanan impuls nyeri tidak terhalangi sehingga impuls akan sampai ke otak. Sebaliknya, apabila impuls yang dibawa oleh serabut lebih mendominasi, “gerbang” akan menutup sehingga impuls nyeri akan terhalangi. Alasan inilah yang mendasari mengapa dengan masase dapat mengurangi durasi

  Gate control A delta dan C

  Trans sel

  A beta

  Gambar.1

  Mekanisme “Pintu Gerbang” dengan menutup dan membuka dapat mengatur perjalanan impuls nyeri.

  (dikutip dari Prasetyo, 2010) Sistem kedua yang digambarkan sebagai “pintu gerbang” terletak di batang otak. Hal ini diyakini bahwa sel-sel di otak tengah dapat diaktifkan oleh beberapa faktor seperti: opiat, faktor psikologis, bahkan dengan kehadiran nyeri itu sendiri dapat memberikan sinyal reseptor di medula. Reseptor ini dapat mengatur serabur saraf di spinal cord untuk mencegah perjalanan transmisi nyeri. Hipotesa ini dapat sedikit membantu untuk menjelaskan kenapa pada anak-anak yang dilakukan sirkumsisi, yang sebelumnya diberikan anastesi tidak merasakan nyeri yang hebat saat tindakan dilakukan (Prasetyo, 2010).

2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

  Kerena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan semua dalam upaya memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan yang holistik dalam pengkajian dan perawatan pasien yang mengalami nyeri (Potter dan Perry, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri, yaitu: (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) kebudayaan, (4) makna nyeri, (5) lokasi dan tingkat keparahan nyeri, (6) perhatian, (7) ansietas, (8) keletihan, (9) pengalaman sebelumnya, (10) gaya koping dan (11) dukungan keluarga dan sosial.

  Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter&Perry, 2006).

  Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam merespons terhadap nyeri (Gill, 1990 dikutip dari Potter & Perry, 2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2006). Akan tetapi pada penelitian terakhir toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan atau sensitivitas pada nyeri. Bagaimanapun pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial ,budaya dan lain-lain (Prasetyo,2010)

  Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick&Dimsdale, 1990 dalam Brunner&Sudart, 2006). Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan budaya lainnya. Akibatnya individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan seperti meringis, dan menangis berlebihan (Brunner&Sudart, 2003).

  Individu akan mempersepsikan dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.

  Derajat dan kualitas nyeri akibat cedera karena hukuman dan tantangan. Makna nyeri oleh seseorang akan berbeda jika pengalamannya tentang nyeri juga berbeda. Selain pengalaman, Makna nyeri juga dapat ditentukan dari cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri yang dialami. Misalnya, seseorang wanita yang sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cedera pukulan pasangannya (Potter&Perry, 2005).

  Nyeri yang dirasak bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakn mungkin terasa ringan, sedang atau berat. Dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar dal lain-lain, sebagai contoh individu yang tertusukjarum akan melaporkan nyeri yang berbeda dengan individu yang mengalami luka bakar (Prasetyo, 2010).

  Seseorang yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya. Namun dengan memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2006).

  Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi juga seringkali menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas (Gil) 1990 dalam Potter&Perry, 2005). Sama hubungan cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi tersebut , stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakinkani mengendaliakan emosi seseorang.

  Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka waktu yang lama. Apabila keletihan disertai masalah tidur, maka persepsi nyeri dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibanding pada akhir hari yang melelahkan (Potter dan Perry, 2006).

  Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan mudah menerima nyeri pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama mengalami nyeri yang berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut akan muncul. tetapi nyeri tersebut dapat hilang akan lebih mudah bagi individu tersebut menginterpretasikan sensasi nyeri dan akibatnya pasien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dan apabila pasien tidak pernah mengalami nyeri maka persepsi pertama nyeri dapat menganggu koping terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2006).

  Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat anda merasa kesepian. Apabila pasien mengalami nyeri di keadaan perawatan kesehatan, seperti di rumah sakit, pasien merasa tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi adalah pasien kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, gaya koping mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk mengatasi nyeri (Potter dan Perry, 2006).

  Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien.

  Individu dari kelompok sosial-budaya yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang orang menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri yang dialami (Meinhart dan McCaffery, 1983). Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry, 2006).

2.2 Intensitas Nyeri

  Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2012).

2.2.2 Pengukuran Intensitas Nyeri

2.2.2.1 Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy dan

  Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical Prosedures and Trauma, 1992, dalam Brunner dan Suddart, 2001 terdiri atas tiga bentuk,

   (1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana

  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak nyeri nyeri nyeri nyeri ada ringan sedang terkontrol tidak nyeri terkontrol

  Keterangan : 0= tidak nyeri, 1-3=nyeri ringan, 4-6=nyeri sedang, 7-9=nyeri terkontrol, 10=nyeri hebat tidak terkontrol Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking d ari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2012).

  (2) Skala Intensitas Nyeri Numerik 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak nyeri sedang nyeri Nyeri hebat

  Keterangan: 0=tidak nyeri, 1-9=nyeri sedang yang kriterianya dapat ditentukan, 10=nyeri hebat tak tertahankan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Tamsuri, 2012).

  (3) Skala Analog Visual (VAS) Tidak nyeri nyeri sangat

  Keterangan: 0=tidak nyeri, 10=nyeri sangat hebat Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi.

  VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter dan Perry, 2006).

2.2.2.2 Skala nyeri menurut bourbanis

  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak nyeri nyeri nyeri nyeri nyeri ringan sedang berat sangat berat Keterangan : 0 :Tidak nyeri, 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik, 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

2.2.2.3 The Pain Numerical Rating Scale (PNRS)/Skala Numerik

  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak nyeri nyeri nyeri nyeri ringan sedang sangat

  PNRS digunakan untuk ukuran intensitas nyeri (segera atau sekarang). Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada nyeri” dan 10 menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan dengan nyeri ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat (Serlin dkk, 1995 dalam Harahap, 2007).

2.3 Perilaku Nyeri

2.3.1 Defenisi Perilaku Nyeri

  Perilaku nyeri merupakan suatu aspek dari pengalaman nyeri. Ini merupakan perilaku jelas dan kelihatan seperti lemah atau ekspresi wajah yang meringis (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Nyeri yang muncul sering ditafsirkan sebagai perilaku nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2007). Perilaku nyeri mungkin atau juga tidak mungkin dianggap sebagi kesesuaian untuk tingkatan dari ilmu penyakit tubuh yang diobservasi (Lofvander, 2002 dalam Harahap, 2007).

  Perilaku nyeri dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau seluruh out put individu yang terobservasi. Sebagai suatu karakteristik yang dapat diamati sebagai kesan tehadap nyeri seperti, gerakan tubuh, ekspresi wajah, ucapan verbal, berbaring, mencari pengobatan, mencari penasehat medis dan menerima bayaran.

  Perilaku nyeri adalah tindakan untuk mengkomunikasikan kemampuan dan ketidaknyamanan (seperti, meringis, berjalan dan berkurangnya aktivitas) dan telah menunjukkan sebuah peran yang sangat penting dalam menurunkan tingkat diambil dari Harahap, 2007).

  Perilaku nyeri merupakan tanda-tanda dari nyeri dan kekuatan dalam memperoleh perhatian dan respon dari yang lain. Anderson, Keefe, dan Bradkley dan koleganya telah mengobervasi bahwa pasien dengan penderita nyeri sering sekali menunjukkan penjagaan (guarding), menggosok pasif (passive rubbing) dan kekakuan (rigidity) sebagai ekspresi-ekspresi dari rasa nyeri mereka. Perilaku nyeri ini mungkin dipelihara, paling sedikit sebagian, oleh konsekuensi kekebelannya mungkin luar biasa, seperti perilaku rasa khawatir dari yang lain, atau fakta dari pengalaman menentang, seperti situasi pekerjaan yang tertekan atau konflik dengan kepentingan lainnya.

  Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran nyeri yang menghasilkan nilai yang akurat (Fordyce, 1974 dalam Brannon & Feist, 2007). Menurut Turk, Wack, dan Kerns (1985 dalam Dimatteo, 1991) perilaku nyeri yang dapat diobservasi yaitu: (1) Pernyataan Verbal: mengaduh, menangis, sesak nafas dan mendengkur, (2) Ekspresi Wajah: meringis, menggeletukkan gigi, dan menggigit bibir, (3) Gerakan Tubuh: gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, (4) Kontak dengan orang lain/interaksi social: menghindari percakapan, menghindari kontak social, penurunan rentamg perhatian, dan fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri

  Menurut Harahap (2007), yang mempengaruhi perilaku nyeri meliputi

  2.3.2.1 Jenis Kelamin Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan perilaku nyeri.

  Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jenis kelamin mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri tertentu (Lofvander & Forhoff, 2002: Asghari & Nicholas, 2001). Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih sering menunjukkan dan mengeluhkan perilaku daripada laki-laki (Philips & Jahanshahi, 1986).

  2.3.2.2 Intensitas nyeri Intensitas nyeri adalah jumlah nyeri yang dirasakan oleh pasien. Nyeri yang dimanifestasikan oleh berbagai jenis penyakit menunjukkan bahwa laporan nyeri memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku nyeri (Buckelew et al., 1994; Asghari dan Nicholas, 2001, Harahap, 2007)

  2.3.2.3 Suku/budaya Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda

  (Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri (Lofvander & Furhoff, 2002) kepercayaan budaya barat sungguh perbeda dengan kepercayaan budaya timur yang mana budaya timur lebih tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan kelemahan sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas dan pluralistik. Bates, Edwards, & Anderson (1993) mengatakan bahwa negara dan suku dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan emosional dan psikologi negara (Harahap,

  Beberapa penelitian telah menunjukkan suku dan budaya mempengaruhi perilaku nyeri. Brena Sanders, and Motoyama (1990) menyelenggarakan sebuah studi untuk membandingkan psikologi, social dan perilaku umum jumlah pasien nyeri tulang punggung di Jepang dan Amerika. Mereka menemukan bahwa pasien berkebangsaan Jepang lebih sedikit lemah secara psikologi, sosial kejujuran dan ketidak jujuran dalam fungsi mereka dibanding dengan pasien berkebangsaan Amerika (Harahap, 2007).

  2.3.2.4 Percaya diri Percaya diri menunjukkan pada kepercayaan bahwa percaya diri dapat mengalihkan situasi secara spesifik (Bandura, 1997 diambil dari Harahap, 2007). dengan latihan dan negatipnya dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores, Murphy, dan Rosenthal dkk, 1990 diambil dari Harahap, 2007). Percaya diri berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar seperti, duduk, berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri telah menunjukkan untuk bisa memprediksikan ketidakmampuan pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya tentang nyeri mereka dapat mempengaruhi fungsi psikologis dan telah banyak penelitian yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri dengan perilaku nyeri ( Harahap, 2007).

  2.3.2.5 Pasangan/anggota keluarga Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan kehidupan social pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat yang berbeda