Hubungan Koping Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Nyeri Kronis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
HUBUNGAN KOPING NYERI DENGAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN NYERI KRONIS
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK
MEDAN
SKRIPSI OLEH
DESNALIA TOGIANA SIMAMORA 101101073
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
(2)
(3)
Title : The relationship between Pain Coping and Intensity Pain on Chronic Pain Patients in H. Adam Malik Hospital Medan
Name : Desnalia Togiana Simamora
Major : Bachelor of Nursing
Student No : 101101073
Year : 2014
ABSTRACT
Pain coping is an efforts to overcome pain, handle and minimize the pain of facing. Pain is the stimulus that emerged in the process of chronic diseases. Pain is a sensation of discomfort caused by perceptions, threats and injuries. Chronic pain affects a great physical and mental functioning of individuals, the quality of life and productivity of individuals. This research aims to identify the relationship between pain intensity and pain coping on patients in chronic pain in H. Adam Malik Hospital Medan with a descriptive correlation design. This research used purposive sampling method research. The instruments used are the demographics data questionnaire, questionnaire coping aches and pain intensity of sheets. The results showed that respondents with good pain coping (83.3%) and bad pain coping (16.7 percent). The intensity of the pain that showed more than a third of respondents are mild pain intensity (37%) and intensity of pain was (37%). To determine the relationship of two variables, tested using the test correlation Pearson and retrieved the value of the correlation -0.48 (p = 0000). These results demonstrate the existence of a relationship between pain intensity and pain coping by negative correlation direction and strength of the correlation is. Patients with a high pain coping declared lower pain intensity, and otherwise patients who have low pain coping said the intensity of the pain is more severe.
Keywords: coping pain, pain intensity, chronic pain
(4)
Judul : Hubungan Koping Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Nyeri Kronis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
Nama Mahasiswa : Desnalia Togiana Simamora
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
NIM : 101101073
Tahun : 2014
ABSTRAK
Koping nyeri adalah upaya untuk mengatasi nyeri, menangani dan meminimalkan rasa sakit yang dihadapi. Nyeri adalah stimulus yang muncul pada proses penyakit kronis. Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh persepsi, ancaman dan luka. Nyeri kronis yang hebat mempengaruhi fungsi fisik dan mental individu, kualitas hidup dan produktivitas individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan dengan desain deskriptif korelasi. Penelitian dengan metode purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner data demografi, kuesioner koping nyeri dan lembar intensitas nyeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan koping nyeri baik (83.3%) dan koping nyeri buruk (16.7%). Intensitas nyeri yang ditunjukkan lebih dari sepertiga responden adalah intensitas nyeri ringan (37%) dan intensitas nyeri sedang (37%). Untuk menentukan hubungan kedua variabel, diuji dengan menggunakan uji korelasi Pearson dan diperoleh nilai korelasi -0.48 (p=0.000). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri dengan arah korelasi negatif dan kekuatan korelasi sedang. Pasien dengan koping nyeri yang tinggi menyatakan intensitas nyeri yang lebih rendah, dan sebaliknya pasien yang memiliki koping nyeri yang rendah menyatakan intensitas nyeri yang lebih berat.
Kata kunci: koping nyeri, intensitas nyeri, nyeri kronis
(5)
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan
anugrah-Nya yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan koping nyeri dengan
intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan”. Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan guna
memperoleh gelar sarjana pada jurusan S-1 Keperawatan di Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara (USU).
Dalam pelaksanaan penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan
bantuan, dukungan dan bimbingan baik moril maupun materil dari berbagai pihak.
Untuk itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Dedi Ardinata selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan dorongan untuk segera menyelesaikan skripsi
ini.
2. Erniyati, S.Kp., MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
3. Evi Karota Bukit, S.Kp., MNS selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
4. Direktur Utama dan seluruh pihak Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis dan yang telah
membantu penulis selama proses pengambilan data. Serta semua responden
yang telah bersedia membantu penulis.
(6)
5. Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp., MNS selaku Pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, pengarahan, petunjuk dan ilmu yang sangat
membantu dalam penulisan skripsi ini.
6. Ikram, S.Kep., Ns, M.Kep., dan Salbiah, S.Kp., M. Kep selaku tim penguji
yang telah memberikan pengarahan dan masukan yang sangat membantu
dalam penulisan skripsi ini.
7. Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis selama penulis mengikuti perkuliahan.
8. Ayahanda S. Simamora dan Ibunda terkasih Rismauli br. Tambunan atas
cinta, doa, motivasi dan pengorbanannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, maupun dalam
menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini peneliti menyadari masih banyak kekurangan,
untuk itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca demi kesempurnaan.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita terutama bagi pendidikan
keperawatan, pelayanan kesehatan, dan penelitian keperawatan.
Medan, 14 Juli 2014
Peneliti
(7)
DAFTAR ISI JUDUL
LEMBAR KELULUSAN
ABSTRAK BAHASA INGGRIS ABSTRAK BAHASA INDONESIA PRAKATA
DAFTAR ISI
LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR TABEL
DAFTAR SKEMA
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1. Latar Belakang ... 1
2. Rumusan Masalah ... 4
3. Tujuan Penelitian ... 4
4. Manfaat Penelitian ... 5
4.1 Bagi praktek keperawatan ... 5
4.2 Bagi penelitian keperawatan ... 5
4.3 Bagi pendidikan keperawatan ... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6
1. Koping Nyeri ... 6
1.1 Pengertian koping... 6
1.2 Pengertian koping nyeri ... 7
1.3 Respon koping ... 7
1.4 Jenis koping nyeri ... 7
1.5 Pengukuran koping nyeri ... 9
2. Konsep Nyeri ... 9
2.1 Pengertian nyeri ... 9
2.2 Penyebab nyeri ... 10
2.3 Fisiologi nyeri ... 10
2.4 Klasifikasi nyeri ... 11
3. Intensitas Nyeri ... 15
3.1 Pengertian intensitas nyeri ... 15
3.2 Intensitas nyeri ... 16
3.3 Pengukuran intensitas nyeri ... 17
4. Hubungan Koping Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Nyeri Kronis ... 20
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN ... 21
1. Kerangka Konseptual ... 21
2. Defenisi Operasional ... 22
3. Hipotesa... 23
(8)
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 24
1. Desain Penelitian ... 24
2. Populasi Penelitian ... 24
3. Sampel Penelitian ... 24
4. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
5. Pertimbangan Etik ... 25
6. Instrumen Penelitian... 26
7. Reliabilitas Instrumen ... 29
8. Pengumpulan Data ... 30
9. Analisa Data ... 31
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
1. Hasil ... 33
1.1 Deskripsi karakter demografi ... 33
1.2 Koping nyeri ... 35
1.3 Intensitas nyeri ... 36
1.4 Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri ... 37
2. Pembahasan ... 38
2.1 Koping nyeri ... 38
2.2 Intensitas nyeri ... 40
2.3 Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri ... 43
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
1. Kesimpulan ... 45
2. Saran ... 45
2.1 Bagi praktek keperawatan ... 45
2.2 Bagi penelitian keperawatan ... 46
2.3 Bagi pendidikan keperawatan ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
(9)
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Taksasi Dana
2. Kuesioner Bahasa Inggris 3. Izin Penggunaan Instrumen 4. Lembar Penjelasan Penelitian
5. Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Inform Consent) 6. Instrument Penelitian
7. Hasil Uji Reliabilitas Cronbach Alpha
8. Hasil Distribusi Frekuensi dan Persentasi Data Demografi, Koping Nyeri, dan Intensitas Nyeri
9. Hasil Uji Normalitas Data Kolmogorov-Smirnov 10.Hasil Uji Korelasi Pearson
11.Surat Izin Survey Awal dari Fakultas keperawatan 12.Surat Izin Uji Reliabilitas dari Fakultas keperawatan 13.Surat Izin Pengambilan Data dari Fakultas keperawatan
14.Surat Pemberian Izin Pengambilan Data dari RSUP H. Adam Malik Medan
15.Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian 16.Jadwal Tentatif Penelitian
17.Daftar Riwayat Hidup
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Hasil uji interpretasi korelasi……… 32
Tabel 1.1 Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik demografi
responden (n=54)………...….…. 34
Tabel 1.2 Distribusi frekuensi dan persentasi koping nyeri pada
pasien nyeri kronis (n=54)……….……….…. 35
Tabel 1.3 Distribusi nilai mean, standar deviasi, minimal dan maksimal
koping nyeri pada pasien nyeri kronis (n=54)……….. 36
Tabel 1.4 Distribusi frekuensi dan persentasi intensitas nyeri pada
pasien nyeri kronis (n=54)………...….…. 36
Tabel 1.5 Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien
nyeri kronis (n=54)……….………....…....…. 37
(11)
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Kerangka Penelitian Hubungan Koping Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Nyeri Kronis………..……….……… 21
(12)
Title : The relationship between Pain Coping and Intensity Pain on Chronic Pain Patients in H. Adam Malik Hospital Medan
Name : Desnalia Togiana Simamora
Major : Bachelor of Nursing
Student No : 101101073
Year : 2014
ABSTRACT
Pain coping is an efforts to overcome pain, handle and minimize the pain of facing. Pain is the stimulus that emerged in the process of chronic diseases. Pain is a sensation of discomfort caused by perceptions, threats and injuries. Chronic pain affects a great physical and mental functioning of individuals, the quality of life and productivity of individuals. This research aims to identify the relationship between pain intensity and pain coping on patients in chronic pain in H. Adam Malik Hospital Medan with a descriptive correlation design. This research used purposive sampling method research. The instruments used are the demographics data questionnaire, questionnaire coping aches and pain intensity of sheets. The results showed that respondents with good pain coping (83.3%) and bad pain coping (16.7 percent). The intensity of the pain that showed more than a third of respondents are mild pain intensity (37%) and intensity of pain was (37%). To determine the relationship of two variables, tested using the test correlation Pearson and retrieved the value of the correlation -0.48 (p = 0000). These results demonstrate the existence of a relationship between pain intensity and pain coping by negative correlation direction and strength of the correlation is. Patients with a high pain coping declared lower pain intensity, and otherwise patients who have low pain coping said the intensity of the pain is more severe.
Keywords: coping pain, pain intensity, chronic pain
(13)
Judul : Hubungan Koping Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Nyeri Kronis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
Nama Mahasiswa : Desnalia Togiana Simamora
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
NIM : 101101073
Tahun : 2014
ABSTRAK
Koping nyeri adalah upaya untuk mengatasi nyeri, menangani dan meminimalkan rasa sakit yang dihadapi. Nyeri adalah stimulus yang muncul pada proses penyakit kronis. Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh persepsi, ancaman dan luka. Nyeri kronis yang hebat mempengaruhi fungsi fisik dan mental individu, kualitas hidup dan produktivitas individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan dengan desain deskriptif korelasi. Penelitian dengan metode purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner data demografi, kuesioner koping nyeri dan lembar intensitas nyeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan koping nyeri baik (83.3%) dan koping nyeri buruk (16.7%). Intensitas nyeri yang ditunjukkan lebih dari sepertiga responden adalah intensitas nyeri ringan (37%) dan intensitas nyeri sedang (37%). Untuk menentukan hubungan kedua variabel, diuji dengan menggunakan uji korelasi Pearson dan diperoleh nilai korelasi -0.48 (p=0.000). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri dengan arah korelasi negatif dan kekuatan korelasi sedang. Pasien dengan koping nyeri yang tinggi menyatakan intensitas nyeri yang lebih rendah, dan sebaliknya pasien yang memiliki koping nyeri yang rendah menyatakan intensitas nyeri yang lebih berat.
Kata kunci: koping nyeri, intensitas nyeri, nyeri kronis
(14)
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Setiap individu membutuhkan rasa nyaman. Kondisi ketidaknyamanan yang
paling sering dihadapi individu adalah nyeri. Nyeri adalah pengalaman merasakan
sesuatu yang tidak menyenangkan, juga dari sudut emosi akibat dari kerusakan
jaringan tubuh yang aktual maupun potensial (WHO, 1986). Menurut
International Association for Study of Pain (1979 dalam Prasetyo, 2010), nyeri
sebagai suatu sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau yang dirasakan dalam
kejadian-kejadian dimana terjadinya kerusakan.
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Brunner & Suddarth,
2002). Menurut Kozier dan Erb (1983 dalam Tamsuri, 2007), nyeri adalah sensasi
ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan
oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka. Nyeri sangat
mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibandingkan suatu penyakit
manapun sehingga sering sekali perasaan nyeri merupakan alasan utama
seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Luckman & Sorrensen,
1993).
Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan
beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Brunner & Suddarth, 2002).
Nyeri dapat berasal dari setiap bagian dari tubuh manusia: kulit, otot, ligamen,
(15)
sendi tulang (nyeri nociceptive, jaringan terluka (nyeri inflamasi), saraf (nyeri
neuropatik), organ internal (nyeri visceral) atau kombinasi dari jenis rasa sakit
(nyeri campuran) (The British Pain Society, 2010). Nyeri sangat mengganggu dan
menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Brunner &
Suddarth, 2000).
Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang
sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu (Niven,
1994). Ketika individu merasakan nyeri terjadi gangguan rasa nyaman dalam
hidupnya. Upaya perilaku individu dalam menghadapi ancaman fisik disebut
koping (Stuart & Laraia, 2005).
Menurut Rasmun (2004) koping adalah respon individu terhadap situasi yang
mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Setiap individu dalam
mengatasi suatu masalah dan mengatasi stres dan tekanan yang muncul sebagai
suatu ancaman akan berbeda-beda dalam menggunakan kopingnya (Fortinash &
Holoday, 2000). Koping merupakan salah satu pendekatan nonfarmakologis yang
dapat digunakan untuk mengatasi nyeri. Bahkan menurut Mustawan (2008)
koping dapat dijadikan salah satu pedoman untuk mengontrol nyeri.
Perilaku atau pola koping seseorang bersifat unik dan berbeda satu dengan
yang lain. Karakter bawaan seseorang, pengalaman dimasa lalu, dan tujuan hidup
seseorang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan nyeri
(Berger & William, 1992 dalam Sahara, 2006). Oleh karena itu, perlu mengenali
pola koping nyeri yang digunakan individu.
(16)
Koping nyeri pada pasien nyeri akut berbeda dengan pasien nyeri kronis.
Nyeri pada pasien dengan nyeri kronis lebih sulit di kontrol dari pada pasien
dengan nyeri akut. Nyeri kronis disebabkan oleh penyakit-penyakit kronis dan
sering mengalami pembedahan yang menambah intensitas dan durasi nyeri yang
dialami pasien (Chong, 1999 dalam Potter & Perry, 2006). Gejala-gejala yang
sering muncul pada penderita nyeri kronis adalah nyeri, gangguan kognitif,
fatigue, gangguan tidur, tegang, depresi secara emosional dan sosial (Solberg et al,
2009) sehingga nyeri kronik sangat mempengaruhi fungsi fisik dan mental
individu, kualitas hidup, dan produktivitas. Kemampuan untuk mengendalikan
gejala-gejala ini bergantung pada koping nyeri individu.
Koping nyeri didefinisikan sebagai upaya untuk mengatasi nyeri yang dinilai
berat atau melebihi sumber individu (International Association for the Study of
Pain (IASP), 2009). Upaya mengatasi nyeri biasanya melibatkan kognitif dan
perilaku untuk mengatasi, menangani, dan meminimalkan rasa sakit.
Menurut Smeltzer & Bare (2002) berdasarkan dari 57 penelitian keperawatan
yang ditelaah Jalowiec pada tahun 1993, ada lima koping yang sangat penting bila
seseorang menghadapi penyakit yaitu mencoba merasa optimis mengenai masa
depan, menggunakan dukungan sosial, menggunakan sumber spiritual, mencoba
tetap mengontrol situasi maupun perasaan, dan mencoba menerima kenyataan
yang ada. Koping cara lain yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah
meliputi pencaharian informasi, menyusun ulang prioritas kebutuhan dan peran,
menurunkan tingkat harapan, melakukan kompromi, membandingkan dengan
orang lain, perencanaan aktivitas untuk menghemat energi, melakukan satu
(17)
persatu, memahami tubuhnya, dan melakukan bicara sendiri untuk meningkatkan
keberanian diri.
Berdasarkan data dari hasil survei awal peneliti di Rumah Sakit Umum Pusat
H. Adam Malik Medan, pasien dengan nyeri kronik memiliki angka tertinggi.
Pada 2 bulan terakhir tahun 2013 didapatkan data bahwa jumlah pasien nyeri
kronik sebanyak 544 orang.
Oleh karena itu peneliti merasa tertarik melakukan penelitian mengenai
bagaimana koping nyeri individu yang mengalami nyeri kronik dan apakah
keduanya ada hubungan. Sehingga peneliti mengajukan judul penelitian
“Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien dengan nyeri kronik
di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan”, mengingat rumah sakit ini
adalah rumah sakit rujukan sehingga banyak ditemukan kasus nyeri kronis.
2. Rumusan Masalah
2.1 Bagaimana koping nyeri pada pasien nyeri kronis?
2.2 Bagaimana intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis?
2.3 Bagaimana hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri pada
pasien nyeri kronis?
3. Tujuan Penelitian
3.1 Untuk mengidentifikasi koping nyeri pada pasien nyeri kronis.
3.2 Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis.
3.3 Untuk mengidentifikasi hubungan antara koping nyeri dengan intensitas
nyeri pada pasien nyeri kronis.
(18)
4. Manfaat Penelitian
4.1 Bagi praktek keperawatan
Dalam bidang keperawatan hasil penelitian ini akan memberikan informasi
tentang adanya hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri individu,
sehingga dalam melakukan manajemen nyeri, koping nyeri individu menjadi satu
fokus dan acuan perawat sehingga meningkatkan efektifitas manajemen nyeri
yang diberikan serta menurunkan tingkat ketergantungan pasien terhadap
obat-obatan.
4.2 Bagi penelitian keperawatan
Dalam bidang penelitian keperawatan, penelitian ini dapat digunakan
sebagai masukan untuk peneliti selanjutnya untuk meneliti tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat koping nyeri atau intensitas nyeri pada pasien nyeri
kronis.
4.3 Bagi pendidikan keperawatan
Dalam bidang pendidikan keperawatan, penelitian ini dapat digunakan
sebagai informasi dalam bidang keperawatan medikal bedah tentang hubungan
koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis, peningkatan
pembelajaran tentang terapi nyeri non-farmakologi yang dapat mempengaruhi
koping nyeri individu dan intervensi mandiri keperawatan terhadap pasien dengan
nyeri kronis.
(19)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 1. Koping Nyeri
1.1Pengertian koping
Menurut Lazarus dan Folkman (1989) koping adalah suatu proses dimana
individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi
yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut.
Menurut Taylor (2009 dalam Muttaqin, 2008) koping didefenisikan sebagai
pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun
eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Baron dan Byrne (1991 dalam
Rasmun, 2004) menyatakan bahwa koping adalah respon individu untuk
mengatasi masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan
dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi
yang dihadapi.
Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang
mengancam. Upaya individu dalam menyelesaikan masalah dapat berupa
perubahan cara berfikir (kognitif), perubahan prilaku atau perubahan lingkungan
yang bertujuan untuk menyelesaikan stres yang dihadapi (Keliat, 1999). Koping
dapat didefenisikan melelui respon, menifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan
klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek baik fisiologi
dan psikologi sosial (Keliat, 1999).
(20)
Koping merupakan upaya perilaku dan kognitif seseorang dalam
menghadapi ancaman fisik dan psikososial (Stuart & Laraia, 2005). Koping yang
efektif akan menghasilkan adaptasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa koping adalah
segala usaha individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan konflik yang
muncul, mengurangi ketidaksesuaian/ kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi
yang menekan dengan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut.
1.2Pengertian koping nyeri
Koping nyeri didefinisikan sebagai upaya untuk mengatasi nyeri yang
dinilai berat atau melebihi sumber individu (International Association for the
Study of Pain (IASP), 2009). Upaya mengatasi nyeri biasanya melibatkan kognitif
dan perilaku untuk mengatasi, menangani, dan meminimalkan rasa sakit.
1.3Respon koping
Respon koping dapat dibagi menjadi dua, yaitu: koping adaptif merupakan
keadaan dimana seseorang secara berulang memproyeksikan evaluasi diri positif
berdasarkan pola perlindungan diri yang bertahan terhadap ancaman-ancaman
dasar yang dirasakan terhadap penghargaan diri positif, sedangkan respon koping
maladaptif adalah kelainan atau kerusakan perilaku adaptif dalam kemampuan
memecahkan masalah dari seseorang dalam memenuhi kebutuhan tuntutan dalam
peran hidup (Mu’tadin, 2000).
1.4 Jenis Koping nyeri
Menurut John Ektor-Andersen et al (2002) membagi koping nyeri menjadi
2 dimensi dan 8 skala, yaitu: (1) usaha koping berfokus penyakit, yang terdiri
dari: penjagaan, istirahat dan meminta bantuan. (2) usaha koping berfokus
(21)
kesehatan, yang terdiri dari: relaksasi, tugas ketekunan, latihan dan peregangan,
pernyataan menyemangati diri sendiri dan mencari dukungan sosial.
Namun, yang lebih sering digunakan adalah:
1.4.1 Penjagaan, penjagaan adalah pembatasan penggunaan atau gerakan
bagian tubuh.
1.4.2 Latihan dan peregangan, merupakan melakukan penguatan otot atau
kegiatan peregangan. Untuk peregangan seseorang harus melakukan
peregangan setidaknya selama 10 detik. Untuk latihan seseorang
dapat menunjukan penggunaan satu dari sejumlah peregangan otot
atau latihan untuk kondisi aerobik.
1.4.3 Pernyataan menyemangati diri sendiri. Adalah dengan sengaja
memikirkan pikiran-pikiran positif tentang sakit. Pikiran ini bisa
meliputi bagaimana seseorang dapat mengatasi atau mengelola rasa
sakit, bagaimana hal ini dapat mengurangi waktu, bagaimana
seseorang bisa berada dalam keadaan yang agak lebih baik karena
masalah sakitnya, bagaimana seseorang bisa diuntungkan saat
dibandingkan dengan kondisi orang lain, bagaimana seseorang sama
dengan (atau bisa sama) orang lain dapat mengatasi rasa sakitnya
lebih baik atau dengan kemalangan/cacat, atau memikirkan tentang
orang lain untuk mendapatkan harapan dan inspirasi.
(22)
1.4.4 Mencari dukungan sosial, merupakan mencari seorang teman atau
seseorang yang dicintai untuk teman bicara di telepon atau secara
empat mata dikala sakit. Topik pembicaraan bisa atau tidak
berhubungan dengan penyakit.
1.4.5 Istirahat, merupakan tindakan beristirahat aktivitas terhadap respon
terhadap nyeri, seperti berbaring, duduk, memperlambat berbaring,
atau pergi ke sebuah ruangan gelap atau sepi.
1.5Pengukuran koping nyeri
Koping Nyeri dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan The
Chronic Pain Coping Inventory (CPCI) Scale yang didesain oleh John
Ektor-Andersen et al pada tahun 2002. Skala ini terdiri dari 42 pernyataan yang
mengindikasikan koping nyeri berfokus penyakit dan koping nyeri berfokus
kesehatan, yaitu: penjagaan, latihan dan perengangan, menanggulangi pernyataan
sendiri, mencari dukungan sosial dan istirahat. Responden mengidentifikasi
tingkat persetujuan mereka pada setiap pernyataan dalam kuesioner apakah sesuai
atau tidak sesuai dengan diri responden. Penilaian setiap pernyataan dalam
kuesioner menggunakan skala likert dengan 4 poin (tidak pernah (TP): 1,
kadang-kadang (KK): 2, sering (S): 3, dan sangat sering (SS): 4).
2. Konsep Nyeri 2.1Pengertian nyeri
Menurut The International Association for the Study of Pain (1979 dalam
Prasetyo, 2010), nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau
(23)
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri adalah pengalaman sensori
dan emsional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002).
2.2Penyebab nyeri
Penyebab nyeri dapat diklasifikasi ke dalam dua golongan yaitu penyebab
yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik
misalnya, penyebab nyeri trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun
elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah, dan lain-lain. Secara
psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh adanya trauma psikologi. Trauma
mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami
kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka. Trauma termis menimbulkan
nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin.
Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat
mengenai reseptor rasa nyeri (Asmadi, 2008).
Nyeri yang disebabkan faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut
saraf reseptor nyeri. Nyeri yang disebabkan oleh faktor psikologis merupakan
nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma
psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Nyeri karena faktor ini disebut juga
psychogenic pain (Asmadi, 2008).
2.3Fisiologi nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Untuk
memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu menjelaskan tiga komponen
fisiologis yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Resepsi merupakan proses
(24)
perjalanan nyeri, persepsi adalah kesadaran seseorang terhadap nyeri, sedangkan
reaksi adalah respon fisiologis dan perilaku setelah mempersepsikan nyeri.
Stimulus penghasil nyeri mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer.
Serabut saraf memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari
beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di
medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri yang dapat berinteraksi dengan sel-sel
saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau
ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus mencapai korteks
serebral, maka otak menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi
tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam
upaya mempersepsikan nyeri (Mc. Nair, 1990 dalam Potter dan Perry, 2005).
2.4Klasifikasi nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
2.4.1 Klasifikasi berdasarkan durasi (lamanya) nyeri
a. Nyeri Akut
Nyeri akut terjadi secara tiba-tiba setelah terjadinya cedera atau
penyakit akut, dan tetap ada sampai periode penyembuhan terjadi (Lewis
et al, 2000). Nyeri akut akan menghilang dengan atau tanpa pengobatan
setelah keadaan pulih pada area yang rusak (Potter & Perry, 2006).
Umumnya nyeri akut akan berkurang dalam waktu kurang dari 6 bulan
(Brunner & Suddarth, 2002).
Nyeri akut dapat diakibatkan oleh trauma, bedah atau inflamasi,
seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot,
(25)
nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan, dan yang
lainnya. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system saraf simpatis
yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan tekanan
darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan
dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan
respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang, kesakitan,
mengerutkan wajah atau menyeringai (Prasetyo, 2010).
Nyeri apabila tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang
membahayakan di luar ketidaknyamanan dan mengganggu. Nyeri akut
yang tidak reda dapat mempengaruhi system pulmonary, kardiovaskuler,
gastrointentestinal, endokrin, dan imunologik (Benedetti et al 1984;
Yeager et al, 1987 dalam Brunner & Suddarth, 2002). Ini dipengaruhi juga
dengan adanya respon stress pada individu yang mengalami trauma
(Brunner & Suddarth, 2002).
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan
biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter &
Perry, 2006).
Nyeri kronik dapat disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol
atau pengobatan kanker tersebut, atau gangguan progresif lain, yang
disebut dengan nyeri maligna. Nyeri ini dapat berlangsung terus sampai
kematian (Potter & Perry, 2006). Nyeri kronis bersifat konstan atau
intermiten yang bertahan selama periode waktu yang lama. Hal ini dapat
(26)
berlangsung jauh dari waktu penyembuhan yang diharapkan dan sering
tidak dapat dikaitkan dengan penyebab spesifik atau cedera. Pengobatan
nyeri kronis sulit karena penyebab nyeri atau asal nyeri tersebut tidak
jelas. Namun, jika berlanjut dapat menjadi gangguan utama (Brunner &
Suddarth, 2000).
Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik non maligna
dan maligna (Potter dan Perry, 2005). Nyeri kronis non-maligna seperti
nyeri punggung bagian bawah, merupakan akibat dari cedera jaringan
yang tidak sembuh atau yang tidak progresif. Akan tetapi nyeri tersebut
berlangsung terus dan sering kali tidak berespon terhadap pengobatan yang
dilakukan. Sering kali penyebab nyeri non-maligna tidak diketahui.
Daerah yang mengalami cedera mungkin telah memulih sejak lama, tetapi
nyeri menetap (Meinhart dan McCaffery (1983 dalam Potter & Perry,
2006). Nyeri kronik non-maligna disebut juga dengan chronic benign
pain.
McCaffery dan Pasero (1997 dalam dalam Prasetyo, 2010),
mengidentifikasi tiga karakteristik khusus pada nyeri kronis non-maligna
yaitu: (1) nyeri ini berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak
mengancam kehidupan klien, (2) nyeri kronik non-maligna tidak begitu
responsive terhadap metode-metode pembebasan nyeri, (3) dapat berlanjut
pada sisa kehidupan klien.
Sementara nyeri kronik maligna yang disebut juga nyeri kanker
memiliki penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi yaitu terjadi akibat
(27)
perubahan pada saraf, perubahan ini terjadi bisa karena penekanan pada
saraf akibat metastasis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang
dihasilkan oleh kanker itu sendiri (Portenoy, 2007). Penyakit-penyakit
yang termasuk dalam nyeri kronik non-maligna adalah neuralgia, low back
pain, rheumatoid arthritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom,
myofascial pain syndrome (Prasetyo, 2010). Gejala nyeri kronik meliputi
keletihan, insomnia, anoreksia, penurunan berat badan, depresi, putus asa
dan kemarahan (Potter & Perry, 2006).
2.4.2 Klasifikasi berdasarkan lokasi nyeri
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam
jenis, yaitu:
a. Nyeri Superfisial/ Kutaneus
Nyeri kutaneus berasal dari kulit atau jaringan subkutan, misalnya:
teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar
(Kozier et al, 2010). Ada dua tipe nyeri superfisial yakni: (1) nyeri yang
terjadi secara tiba-tiba dan dengan kualitas nyeri yang tajam dan perih dan
(2) nyeri dengan onset yang lebih lambat dan terdapat nyeri terbakar.
Nyeri kutaneus relative tidak sulit karena hal ini dapat langsung dirasakan
dan terlokalisasi sehingga individu dengan tepat dapat mengetahui lokasi
nyeri (Luckman & Sorrensen, 1993).
b. Nyeri Somatik Profunda
Nyeri ini berasal dari ligament, tendon, tulang, pembuluh darah,
dan saraf. Nyeri somatik profunda cenderung berlangsung lebih lama
(28)
dibanding nyeri kutaneus (Kozier et al, 2010). Nyeri somatik merupakan
fenomena nyeri yang rumit, melibatkan otot dan tulang. Nyeri somatik
tidak terlokalisasi, dapat menyebabkan nausea, sering kali berhubungan
dengan perubahan tekanan darah. Nyeri somatik berasal dari struktur yang
dalam dan sifatnya menyebar (Luckmann & Sorrensen, 1993).
c. Nyeri Visceral
Nyeri viseral berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga
abdomen, kranium dan toraks. Nyeri visceral cenderung menyebar dan
sering kali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri
tumpul atau merasa tertekan. Nyeri visceral sering kali disebabkan oleh
perengan jaringan, iskemia atau spasme otot. Misalnya obstruksi usus akan
menyebabkan nyeri visceral (Kozier et al, 2010).
3. Intensitas Nyeri
3.1Pengertian intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda
(Andarmoyo, 2013). Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
(29)
3.2Intensitas nyeri
Intensitas nyeri (tingkat keparahan) dapat dibagi menjadi:
3.2.1 Nyeri ringan
Nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Individu secara
objektif mampu berkomunikasi dengan baik. Skala nyeri pada nyeri ringan
adalah ≤ 4. Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala numerik (Backonja et al, 2010).
3.2.2 Nyeri sedang
Nyeri yang timbul dengan intensitas nyeri sedang. Pada nyeri
sedang secara objektif pasien mendesis, menyeringai dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan
baik. Skala nyeri berkisar antara 5-6 dalam skala nyeri numerik (Backonja
at al, 2010).
3.2.3 Nyeri berat
Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat.
Pada nyeri berat secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tetapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang. Skala nyeri di atas 7, dengan skala nyeri numerik
(Backonja et al, 2010).
(30)
3.3Pengukuran intensitas nyeri
3.3.1 Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy dan
Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical
Prosedures and Trauma, 1992, dalam Brunner dan Suddart, 2001
terdiri atas tiga bentuk, yaitu:
a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Nyeri nyeri berat berat tidak
terkontrol terkontrol
Keterangan: Pada skala verbal: 0: tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri
sedang, 7-9: nyeri terkontrol, 10: nyeri hebat tidak terkontrol
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking
dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
(31)
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2007).
b. Skala Intensitas Nyeri Numerik
Keterangan: 0: tidak nyeri, 1-9: nyeri sedang yang kriterianya dapat
ditentukan, 10: nyeri hebat tidak tertahankan
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992
dalam Tamsuri, 2007).
c. Skala Analog Visual
Tidak Nyeri sangat
nyeri hebat
Keterangan: 0= tidak nyeri, 10= nyeri sangat hebat
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
(32)
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya.
Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan
lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
keparahan nyeri, tetapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat
dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau
menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
3.3.2 Skala Nyeri Menurut Bourbanis
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Nyeri
Nyeri berat berat tidak
terkontrol terkontrol
Keterangan: 0: Tidak nyeri, 1-3: Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik, 4-6: Nyeri sedang: Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik, 7-9: Nyeri berat: secara obyektif klien terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, 10: Nyeri sangat berat: Pasien
sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
(33)
3.3.3 The Pain Numerical Rating Scale (PNRS)/Skala Numerik
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri
Nyeri Berat
PNRS digunakan untuk ukuran intensitas nyeri (segera atau sekarang).
Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada nyeri” dan 10
menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan dengan nyeri
ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat (Serlin dkk, 1995
dalam Harahap, 2007).
4. Hubungan Koping Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Nyeri Kronik
Nyeri kronis berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter & Perry,
2006). Nyeri kronis dapat mengakibatkan klien frustasi dan sulit bagi individu
untuk menghadapinya. Pasien dengan nyeri kronik mungkin terlihat sangat takut,
cemas, lelah, dan depresi. Banyak individu yang mengalami nyeri kronis menjadi
putus asa dan mengasingkan diri mereka. Nyeri melelahkan individu baik secara
fisik dan mental (Luckman & Sorensen, 1993).
Tingkat koping nyeri yang tinggi dapat ditandai dengan intensitas nyeri yang
dirasakan pasien dapat berkurang. Sebaliknya, koping nyeri yang rendah
menandakan intensitas nyeri yang dirasakan pasien dapat meningkat.
(34)
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep dalam penelitian ini disusun untuk mengidentifikasi
bagaimana hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri
kronis di RSUP H. Adam Malik Medan.
Koping nyeri adalah usaha yang digunakan individu dalam menyelesaikan
masalah nyeri. Koping nyeri diukur dengan menggunakan kuesioner pernyataan.
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan
individu. Intensitas nyeri ini meliputi tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri
berat dan nyeri sangat berat.
Tingkat koping nyeri diharapkan dapat mempengaruhi intensitas nyeri.
Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri merupakan hubungan berbanding
terbalik. Pasien dengan koping nyeri yang tinggi memiliki kemampuan untuk
mengatur stimulus sehingga dapat menurunkan intensitas nyeri. Sedangkan pasien
dengan koping nyeri rendah menunjukkan intensitas nyeri yang berat.
Berdasarkan pemaparan konsep di atas, maka peneliti membuat kerangka
penelitian seperti skema dibawah ini:
→
Skema 1. Kerangka Penelitian Hubungan Koping Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Nyeri Kronis
Koping Nyeri
Intensitas Nyeri
(35)
2. Definisi Operasional
Definisi Operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan
sebagai berikut:
N
o Variabel Defenisi Operasional Alat ukur Hasil Ukur
Skala ukur 1 2 Koping Nyeri Intensita s Nyeri
Kemampuan pasien yang mengalami nyeri kronis selama lebih 6 bulan dalam menghadapi nyeri yang dirasakannya seperti kanker (kanker payudara, kanker serviks, kanker ovarium, kanker otak, kanker maksila), effusi pleura, diabetes melitus kronis, ginjal, hepatitis A dan tumor di RA1, RA2, RB2.
Tingkat reaksi pasien yang mengalami nyeri kronis selama lebih dari 6 bulan dalam
menghadapi nyeri yang dirasakannya
Kuesioner koping nyeri terdiri dari 42 pernyataan dengan 4 pilihan, yaitu: 1= tidak pernah (TP),
2=kadang-kadang (KK),
3= sering (S), 4= selalu (TM)
Lembar intensitas nyeri terdiri dari angka 1-10 dengan memilih salah 1 angka
Skor 42-84: Koping nyeri buruk
Skor: 85-168: Koping nyeri baik
Skor 0: tidak nyeri Skor 1-3: nyeri ringan
Skor 4-6: nyeri sedang
Skor 7-9:nyeri berat
Skor 10: nyeri sangat berat Ordina ldan Rasio Ordina l dan Rasio
(36)
3. Hipotesa
Berdasarkan kerangka penelitian terdapat hipotesa:
Ha: Ada hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien
nyeri kronis.
(37)
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunkan dalam penelitian ini adalah deskriptif
korelasi yang mengidentifikasi hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri
pada pasien nyeri kronis.
2. Populasi dan Sampel 2.1Populasi
Populasi penelitian ini adalah 544 orang pasien yang mengalami nyeri
kronis akibat penyakit seperti kanker, diabetes mellitus kronis, effusi pleura,
ginjal, tumor yang sedang menjalani rawat inap di Rindu A (penyakit dalam
wanita dan pria) dan di ruang rawat inap Rindu B (bedah onkologi 2) RSUP H.
Adam Malik Medan.
2.2Sampel penelitian
Menurut Arikunto (2002), jumlah sampel adalah 10% dari populasi.
Maka di dapat jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 54 orang pasien dengan
nyeri kronis akibat penyakit seperti kanker (kanker payudara, kanker serviks,
kanker ovarium, kanker otak, kanker maksila), effusi pleura, diabetes melitus
kronis, ginjal, hepatitis A dan tumor yang menjalani rawat inap.
Penentuan jumlah sampel yang dlakukan dengan cara teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu menetapkan
sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Adapun yang menjadi kriteria inklusi
sampel dalam penelitian ini adalah: pasien nyeri kronis selama lebih dari 6 bulan,
(38)
mengalami tidak nyeri sampai nyeri berat dengan skala >=7, pria/wanita berusia
18-74 tahun, memiliki kesadaran penuh, dapat membaca, menulis dan memahami
Bahasa Indonesia dengan baik, dan bersedia menjadi responden peneliti.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Data diambil dari
ruangan rekam medis, setelah mendapatkan izin dari bagian Litbang. Rumah Sakit
Umum Pusat H. Adam Malik Medan merupakan sebuah Rumah Sakit Kelas A
sesuai SK Menkes No.335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah sakit
Pendidikan sesuai SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi
dan misi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan, juga
merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi
Provinsi Sumatera Utara, D.I Aceh, Sumatera Barat dan Riau.
Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, mengingat Rumah
Sakit ini adalah rumah sakit pendidikan yang memungkinkan peneliti
mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Penelitian ini
dilaksanakan selama bulan Maret sampai April 2014.
4. Pertimbangan Etik
Penelitian ini menggunakan subjek manusia sebagai objek penelitian, untuk
itu hakikatnya sebagai manusia harus dilindungi dengan memperhatikan
prinsip-prinsip dan pertimbangan etik yaitu responden mempunyai hak untuk
memutuskan apakah ia bersedia menjadi subjek atau tidak, tanpa ada sangsi
ataupun, tidak menimbulkan penderitaan bagi responden. Calon responden pada
penelitian ini diidentifikasi sesuai dengan kriteria inklusi penelitian. Pasien
(39)
dengan intensitas nyeri berat (level nyeri >=7) tidak termasuk ke dalam calon
responden untuk menghindari munculnya nyeri yang lebih berat pada saat proses
penelitian. Sebelum menyerahkan lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu
menjelaskan maksud, tujuan dan pelaksanaan penelitian kepada calon responden.
Peneliti juga memberi penjelasan dan informasi secara lengkap dan rinci serta
tanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi pada responden. Responden juga
harus diperlakukan secara baik sebelum, selama, dan sesudah penelitian.
Responden tidak boleh didiskriminasi jika menolak untuk menjadi responden,
selain itu ada prinsip-prinsip etik yang meliputi: informed consent, yaitu lembar
persetujuan yang diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi
kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subjek
menolak maka peneliti tidak dapat memaksa dan tetap menghormati hak-hak
subjek. Confidentiality, yaitu kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti,
hanya akan diberi kode tertentu dan peneliti tidak mencantumkan nama
(anonimyty) (Nursalam, 2003). Penelitian ini dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari komisi etik Keperawatan berupa surat ethical clearance.
5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan lembar
intensitas nyeri yang didasarkan pada tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari dua
bagian yaitu data demografi dan data untuk mengidentifikasi koping nyeri.
Sementara untuk intensitas nyeri digunakan lembar intensitas nyeri.
Kuesioner merupakan alat ukur berupa angket atau daftar pernyataan.
Pembuatan kuesioner ini mengacu pada parameter yang sudah dibuat oleh peneliti
(40)
sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. Adapun data yang terkumpul
dikelompokkan menurut variabel masing-masing dengan hasil ukur sebagai
berikut.
5.1Data demografi
Terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, status pernikahan,
suku bangsa, dan diagnosa penyakit. Data demografi ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik responden, deskripsi frekuensi dan persentasi demografi
responden.
5.2Data mengidentifikasi koping nyeri
Untuk mengidentifikasi koping nyeri klien, peneliti menggunakan The
Chronic Pain Coping Inventory (CPCI) scales. Kuesioner koping nyeri terdiri dari
42 pernyataan yang dibedakan atas 9 pernyataan penjagaan, 12 pernyataan latihan
dan peregangan, 11 pernyataan menyemangati diri sendiri, 8 pernyataan mencari
dukungan sosial dan 2 pernyataan istirahat. Semakin tinggi skor yang diperoleh,
maka semakin baik koping yang digunakan dalam mengatasi masalah nyeri.
Bentuk pernyataan kuesioner menggunakan skala likert dengan pilihan jawaban:
tidak pernah (TP): 1, kadang-kadang (KK): 2, sering (S): 3, dan sangat sering
(SS): 4. Maka nilai tertinggi yang diperoleh adalah 168 dan nilai terendah 42. Lalu
jawaban responden diakumulasikan dan dikategorikan menjadi: buruk bila nilai
dari 42-84 dab baik bila nilai dari 85-168.
Kuesioner koping nyeri ini terdiri dari pernyataan positif yang berjumlah
31 pernyataan yaitu pada kuesioner butir 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, dan
(41)
pernyataan negatif yang berjumlah 11 pernyataan yaitu pada kuesioner butir 1, 2,
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 41, 42. Jenis skala pengukuran pada instrumen penelitian ini
adalah ordinal dan rasio. Pernyataan yang terkait dengan penjagaan pada nomor
1-9. Pernyataan yang terkait dengan latihan dan peregangan pada nomor 10-21.
Pernyataan yang terkait dengan menyemangati diri sendiri pada nomor 22-32.
Pernyataan yang terkait dengan mencari dukungan sosial pada nomor 33-40.
Pernyataan yang terkait dengan beristirahat pada nomor 41-42.
Semua jawaban dari kuesioner yang sudah dikumpulkan akan diberi
nilai/skor. Untuk jawaban pernyataan positif diberi nilai 1: untuk jawaban tidak
pernah, nilai 2: untuk jawaban kadang-kadang, nilai 3: untuk jawaban sering, nilai
4: untuk jawaban sangat sering. Sedangkan untuk pernyatan negatif diberi nilai 1:
untuk jawaban sangat sering, nilai 2: untuk jawaban sering, nilai 3: untuk jawaban
kadang-kadang, nilai 4: untuk jawaban tidak pernah.
5.3Lembar intensitas nyeri
Lembar penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri
menurut Bourbanis. Skala nyeri menurut Bourbanis ini terdiri dari 5 item meliputi
tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat dan nyeri sangat berat. Jumlah
skor intensitas nyeri dibagi menjadi 0: tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri
sedang, 7-9: nyeri berat, 10: nyeri sangat berat. Jenis skala pengukuran pada
instrumen penelitian ini adalah ordinal dan rasio.
Kuesioner ini diperoleh oleh peneliti dalam Bahasa Inggris. Oleh karena
itu, agar dapat digunakan untuk responden masyarakat Indonesia maka kuesioner
ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan teknik back translation.
(42)
Penerjemah pertama dari LIA (Lembaga Indonesia Amerika), yang
menerjemahkan kuesioner dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Penerjemah
kedua dari BBC yang menerjemahkan kuesioner Bahasa Indonesia ke Bahasa
Inggris. Dan penerjemah ketiga dari Professional In-House Training yang
membandingkan kedua kuesioner Bahasa Inggris. Item kuesioner koping nyeri
tidak ada mengalami perbaikan karena terdapat persamaan arti sesuai dengan teori
koping nyeri.
6. Reliabilitas Instrumen
Data kuesioner disusun sendiri oleh peneliti sendiri maka penting dilakukan
uji reliabilitas yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar derajat atau
kemampuan alat ukur secara konsisten sasaran yang akan diukur pada kelompok
subjek yang sama. Menurut Arikunto (2002), rumus uji formula Chronbach Alpha
dapat dilakukan untuk menguji reliabilitas instrumen dengan skala likert pada
pertanyaan tertutup (closed ended) dengan skor tidak pernah (TP): 1,
kadang-kadang (KK): 2, sering (S): 3, dan sangat sering (SS): 4. Dalam penelitian ini
digunakan uji reliabilitas instrumen eksternal yaitu pemberian instrumen hanya
satu kali dengan satu bentuk instrumen yang diuji cobakan diluar kelompok
responden. Uji reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan formula Chronbach
Alpha untuk kuesioner koping nyeri pada nyeri kronik. Uji reliabilitas dalam
penelitian ini dilakukan dengan memberikan kuesioner pada 30 orang nyeri kronik
seperti kanker (kanker payudara, kanker serviks, kanker ovarium, kanker
maksila), effusi pleura, diabetes melitus kronis dan tumor di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Pirngadi. Kuesioner ini dikatakan reliabilitas bila hasil reliabilitas
(43)
bernilai > 0,632 (Arikunto, 2006). Hasil uji reliabilitas pada penelitian ini adalah
0.858 (lampiran 7 hasil uji reliabilitas Cronbach Alpha).
7. Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan setelah mengajukan permohonan izin
pelaksanaan penelitian didapatkan dari institusi pendidikan (Fakultas
Keperawatan USU), kemudian mengajukan permohonan izin pelaksanaan pada
bagian penelitian RSUP H. Adam Malik Medan. Setelah mendapat izin dari
Kepala Ruangan untuk melakukan penelitian sesuai dengan kriteria sampel
penelitian maka dilakukan pengumpulan data. Peneliti mendatangi langsung
responden, kemudian peneliti menentukan responden sesuai dengan kriteria yang
telah dibuat sebelumnya, apabila peneliti telah menemukan calon responden,
selanjutnya peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat
penelitian dan prosedur pengumpulan data. Jika calon responden memahami
prosedur penelitian dan bersedia dengan sukarela menjadi responden penelitian,
selanjutnya peneliti meminta calon responden menandatangani lembar persetujuan
(informed consent) sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden.
Peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner demografi, kuesioner koping nyeri,
dan lembar intensitas nyeri. Peneliti meminta responden untuk mengisi kuesioner
data demografi, kuesioner koping nyeri dan lembar intensitas nyeri. Waktu yang
diperlukan 15-20 menit, bila ada pernyataan yang tidak jelas dapat langsung
menjelaskan kepada responden dengan tidak bermaksud mengarahkan jawaban
responden. Setelah seluruh data dari semua instrumen terkumpul, peneliti mulai
mengolah/ menganalisa data.
(44)
8. Analisa Data
Setelah semua kuesioner terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui
beberapa tahap. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2010) pertama editing, yaitu
pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner tersebut serta memastikan
bahwa semua jawaban telah di isi sesuai petunjuk. Kedua coding, yaitu mengubah
data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan tertentu
dengan memberi kode pada kuesioner. Ketiga entry data, yaitu jawaban-jawaban
dari masing-masing responden yang dalam bentuk kode dimasukkan ke dalam
program software komputer. Keempat cleaning, yaitu pengecekan ulang dan
pembersihan data dari kesalahan. Dan kelima saving, yaitu proses penyimpanan
data. Langkah selanjutnya yaitu pengolahan data dengan menggunakan program
statistika, yaitu: SPSS.
Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis secara univariat dan bivariat.
1. Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi
dan persentasi dari semua variabel penelitian yaitu: intensitas nyeri (variabel
dependen) serta koping nyeri pada pasien nyeri kronis (variabel independen)
dengan jenis data kategorik dan numerik dengan skala pengukuran ordinal dan
rasio.
2. Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen, sehingga dapat diketahui faktor-faktor
(45)
yang berhubungan dengan koping nyeri pada pasien nyeri kronik. Uji statistik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji korelasi Pearson untuk
mengetahui hubungan antara variable koping nyeri dan intensitas nyeri. Batas
kemaknaan yang digunakan adalah 0,05. Pengambilan keputusan statistik
dilakukan dengan membandingkan nilai p (p value) dengan nilai α(0,05), dengan ketentuan:
a. Bila p value ≤ nilai α (0,05), maka ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
b. Bila p value > nilai α (0,05),maka tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Untuk menafsirkan hasil pengujian statistik tersebut digunakan kriteria
penafsiran (Dahlan, 2001) sebagai berikut:
Tabel 1 Hasil uji interpretasi korelasi
No Parameter Nilai Interpretasi
1 Kekuatan Korelasi 0.000-0.199 0.200-0.399 0.400-0.5.99 0.600-0.799 0.800-1.000 Sangat rendah Rendah Sedang Kuat Sangat kuat
2 Nilai p P<0.05
p>0.05
Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.
Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.
3 Arah korelasi + (positif)
- (negatif)
Searah. Semakin besar nilai suatu variabel, makin besar pula nilai variabel lainnya.
Berlawanan arah. Semakin besar nilai suatu variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya.
(46)
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai hubungan
koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam
Malik Medan. Penelitian ini telah di lakukan mulai Maret sampai April 2014
dengan jumlah responden 54 orang. Penelitian ini memaparkan hasil penelitian
dan pembahasan antara lain deskripsi karakteristik responden, deskripsi koping
nyeri, deskripsi intensitas nyeri, serta analisa hubungan koping nyeri dengan
intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan.
1.1 Deskripsi karakter demografi responden
Karakteristik demografi responden yang diperoleh dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (33.3%) usia responden adalah lanjut
usia awal dengan rentang umur 46-55 tahun (M=48.4, SD=10.5). Berdasarkan
jenis kelamin lebih dari duapertiga (72.2%) adalah responden perempuan.
Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir responden lebih dari sepertiga (33.3%)
adalah SMA dan kurang dari seperempat (18.5%) adalah SD. Mayoritas
responden (94.4%) sudah menikah. Berdasarkan suku responden dalam penelitian
ini lebih dari setengah (59.3%) adalah suku Batak. Responden pada penelitian ini
dengan diagnosa kanker lebih dari setengah (57.4%), dan kurang dari seperempat
(20.4%) dengan diagnosa tumor. Distribusi karakter demografi responden dapat
dilihat pada tabel 1.1.
(47)
Tabel 1.1 Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik demografi responden (n=54).
No Karakteristik Responden Frekuensi Persentasi
1 Umur
Dewasa awal (26-35) Dewasa akhir (36-45) Lanjut usia awal (46-55) Lanjut usia akhir (56-65)
Manula (65-sampai ke atas)
(Mean=48.4, SD=10.5, Min=26 th, Max=67 th) 9 10 18 16 1 16.7 18.5 33.3 29.6 1.9
2 Jenis Kelamin
Perempuan Laki-laki 39 15 72.2 27.8 3 Pendidikan Terakhir
Tidak sekolah SD SMP SMA SMK D2 D3 Sarjana Pasca sarjana 1 10 9 18 1 1 5 7 2 1.9 18.5 16.7 33.3 1.9 1.9 9.2 12.9 3.7 4 Status Perkawinan
Menikah Belum menikah 51 3 94.4 5.6 5 Suku
Batak Aceh Minang Jawa Melayu 32 7 6 5 4 59.3 13.0 11.1 9.2 7.4 6 Diagnosa Penyakit
Kanker Tumor Ginjal Diabetes Melitus Effusi Pleura Hepatitis Kelenjer tiroid Sumbatan empedu Kelebihan cairan Lupus TB Paru 31 11 3 2 1 1 1 1 1 1 1 57.4 20.4 5.5 3.7 1.9 1.9 1.9 1.9 1.8 1.8 1.8
(48)
1.2Koping nyeri pada pasien nyeri kronis
Koping nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan di
identifikasi dengan menggunakan kuesioner dimana setiap pernyataan ditanyakan
langsung kepada responden. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
mayoritas (83.3%) koping nyeri responden yang mengalami nyeri kronis adalah
koping nyeri baik dan diikuti kurang dari seperempat (16.7%) memiliki koping
nyeri buruk. Distribusi koping nyeri pada pasien nyeri kronis dapat dilihat di tabel
1.2.
Tabel 1.2 Distribusi frekuensi dan persentasi koping nyeri pada pasien nyeri kronis (n=54).
Tingkatan Koping Frekuensi Persentasi
1 2
Koping nyeri baik (85-168) Koping nyeri buruk (42-84)
(Mean=95.6, SD=11.0, Min=79, Max=129)
45 9
83.3 16.7
Kuesioner yang digunakan untuk mengukur koping nyeri terdiri dari 42
item pernyataan yang meliputi: penjagaan, latihan dan peregangan, pernyataan
menyemangati diri sendiri, mencari dukungan sosial, dan istirahat. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa pernyataan dengan nilai paling tinggi adalah
pernyataan nomor 4 (berjalan pincang untuk mengurangi sakit) dengan
mean=3.91 dan SD=0.486. Sementara pernyataan dengan nilai paling rendah
adalah pernyataan nomor 15 (lakukan latihan aerobik (latihan yang membuat
jantung berdetak lebih kencang dan membuat badan berkeringat) setidaknya
selama 15 menit) dengan mean=1.00 dan SD=0.000 dan pernyataan nomor 18
(latihan untuk mengencangkan otot perut setidaknya selama 1 menit) dengan
(49)
mean=1.00 dan SD=0.000. Pernyataan dengan nilai tertinggi mewakili koping
nyeri penjagaan pasien terhadap penyakitnya (M=17.2, SD=7.35). Pernyataan
dengan nilai terendah mewakili koping nyeri latihan dan perengangan pasien
terhadap penyakitnya (M=32.2, SD= 4.96). Distribusi komponen koping nyeri
pada pasien nyeri kronis dapat dilihat pada tabel 1.3.
Tabel 1.3 Distribusi nilai mean, standar deviasi, minimal dan maksimal komponen koping nyeri pada pasien nyeri kronis (n=54).
No Koping Nyeri Mean SD Min Max
1 Latihan dan peregangan 32.2 4.96 12 33
2 Mencari dukungan sosial 22 2.90 16 32
3 Pernyataan menyemangati diri sendiri 20.4 3.41 20 44
4 Penjagaan 17.2 7.35 9 36
5 Istirahat 3.7 1.45 2 7
1.3Intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis
Intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan
di identifikasi dengan menggunakan lembar intensitas nyeri. Berdasarkan hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (37.0%) intensitas nyeri
pada pasien nyeri kronis adalah intensitas nyeri ringan dan intensitas nyeri sedang,
dan diikuti kurang dari seperempat (18.5%) adalah intensitas nyeri berat.
Distribusi intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis dapat dilihat pada tabel 1.4.
Tabel 1.4 Distribusi frekuensi dan persentasi intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis (n=54).
Intensitas Nyeri Frekuensi Persentasi
1 2 3 4
Intensitas tidak Nyeri (0) Intensitas nyeri ringan (1-3) Intensitas nyeri sedang (4-6) Intensitas nyeri berat (7-9)
(M=3.72, SD=2.15, Min=0, Max=7)
4 20 20 10 7.4 37 37 18.5
(50)
1.4Hubungan koping nyeri dan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis
Sebelum menentukan uji korelasi untuk mengidentifikasi hubungan antara
koping nyeri dengan intensitas nyeri, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data
dengan menggunakan metode analitis Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan hasil
uji, didapat bahwa variable koping nyeri terdistribusi normal dengan nilai p=0.063
dan intensitas nyeri terdistribusi tidak normal dengan nilai p=0.003.
Dengan hasil ini, maka uji yang dilakukan untuk menganalisa kedua
variable adalah uji parametrik Korelasi Pearson. Pada analisa data hubungan
koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam
Malik Medan diperoleh nilai p=0.000 dan hasil kekuatan korelasi -0.48 yang
artinya terdapat hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri dengan arah
hubungan negatif (-) dan kekuatan korelasi sedang. Ini berarti bahwa pasien
dengan tingkat koping nyeri yang tinggi menunjukkan intensitas nyeri yang
dialami rendah. Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri
kronis dapat dilihat pada tabel 1.5.
Tabel 1.5 Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis (n=54).
Variable Korelasi
Koping Nyeri Intensitas Nyeri
Koping Nyeri - r=-0.48 (p=0.000)
Intensitas Nyeri r=-0.48 (p=0.000) -
(51)
2. Pembahasan
Dari hasil penelitian, peneliti membahas mengenai koping nyeri, intensitas
nyeri dan hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri
kronis di RSUP H. Adam Malik Medan.
2.1 Koping nyeri pada pasien nyeri kronis
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (33.3%) usia
responden adalah lanjut usia awal dengan rentang umur 46-55 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa pada rentang usia ini, angka kejadian terkena penyakit kronis
cukup tinggi. Hasil ini sesuai dengan pendapat Brunner dan Suddarth (2001) dan
Anderson (2002) yang melaporkan bahwa penyakit kronis lebih sering terjadi
pada usia tua. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya usia, maka terjadi
penurunan fungsi organ tubuh (penuaan pada sel-sel tubuh).
Berdasarkan jenis kelamin lebih dari duapertiga (72.2%) adalah
perempuan dan diikuti lebih dari seperempat (27.8%) adalah laki-laki. Hasil
penelitian ini sesuai dengan pendapat Anderson (2002) yang menunjukkan bahwa
perempuan memiliki kecenderungan lebih sering menderita penyakit kronis
daripada laki-laki. Hal ini disebabkan karena harapan hidup perempuan lebih
besar daripada laki-laki sehingga perempuan berpeluang lebih besar untuk
menderita penyakit kronis dibandingkan laki-laki.
Tingkat pendidikan yang tinggi, perhatian terhadap kesehatannya lebih
baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah. Pendidikan menjadi
dasar yang penting karena pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir seseorang
tentang sesuatu hal yang nantinya akan berpengaruh dalam pengambilan
(52)
keputusan tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan
semakin banyak bahan, materi, atau pengetahuan yang dimiliki, dan tingginya
tingkat pendidikan seseorang akan berdampak pada kemudahan seseorang dalam
meningkatkan kesejahteraan hidup (Notoadmojo, 2003).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (33.3%)
responden koping nyeri dengan pendidikan SMA dan diikuti dengan kurang dari
seperempat (18.5%) responden berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan bahwa
responden dengan pendidikan SMA mempunyai pengetahuan tentang kesehatan
yang lebih dibandingkan dengan responden berpendidikan SD. Sehingga
responden dengan pendidikan tinggi menempati urutan terbanyak yang
memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan semakin tingginya
pendidikan formal responden maka semakin adaptif koping yang digunakan.
Tingkat pendidikan masyarakat yang lebih tinggi, meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk menerima pencegahan dan penanggulangan penyakit kronik
yang diderita pasien.
Berdasarkan dengan diagnosa penyakit responden, lebih dari setengah
responden menderita penyakit kanker (57.4%) dan diikuti kurang dari seperempat
responden menderita penyakit tumor (20.4%). Kanker merupakan diagnosa
penyakit yang dapat mengakibatkan pasien mengalami nyeri kronis maligna
(tumor ganas). Nyeri kronis maligna seperti Ca Mammae bersifat konstan yang
bertahan sampai pada periode waktu yang lama (Potter & Perry, 2006). Kedua
diagnosa tersebut menimbulkan intensitas nyeri yang ringan hingga berat.
(53)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki
koping nyeri baik (83.3%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden
memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengatasi nyeri kronik dengan usaha
penjagaan, latihan dan peregangan, pernyataan menyemangati diri sendiri,
mencari dukungan sosial dan istirahat terkait dengan aktivitas sehari-hari pasien.
Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kemampuan untuk mengatur stimulus tinggi.
2.2 Intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (33.3%) usia
responden adalah lanjut usia awal dan diikuti kurang dari sepertiga (29.6%) usia
responden adalah lanjut usia akhir. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian
tidak ditemukan adanya pengaruh usia terhadap intensitas nyeri. Hal ini
disebabkan karena adanya pengalaman yang sama dalam menghadapi nyeri
kronis.
Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang berarti antara jumlah
responden intensitas nyeri lanjut usia awal dan intensitas nyeri lanjut usia akhir.
Pada tahap perkembangan lanjut usia awal hingga lanjut usia akhir individu sudah
mampu mengatakan pengalaman nyeri dan kebutuhan mereka terkait dengan nyeri
yang dialaminya, berbeda dengan anak (usia dibawah 18 tahun) dan manula
(diatas 65 tahun) (Kozier, 2010).
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian menurut Potter & Perry
(2006) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara nyeri dengan seiring
bertambahnya usia, yaitu pada tingkat perkembangan. Perbedaan tingkat
perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok anak-anak dan lanjut usia
(54)
dapat mempengaruhi bagaimana cara bereaksi terhadap nyeri. Orang dewasa akan
mengalami perubahan neurofisiologis dan mungkin mengalami penurunan
persepsi sensorik stimulus serta peningkatan ambang nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (33.3%)
pendidikan responden adalah SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan berpengaruh dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu yang
datang dari luar. Dimana pada seseorang dengan pendidikan tinggi akan
memberikan respon lebih rasional daripada yang berpendidikan menengah atau
rendah. Hal ini selanjutnya menunjukkan kesadaran dan usaha pencapaian atau
peningkatan derajat kesehatan yang lebih baik pada yang berpendidikan tinggi
daripada yang berpendidikan menengah atau rendah.
Hasil penelitian ini didukung oleh Asri (2006), tingkat pendidikan
mempengaruhi persepsi seseorang dalam merasakan nyeri pada proses modulasi.
Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri
yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis disebut proses modulasi. Proses
modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi subyektif dan
ditentukan oleh makna atau arti suatu input nyeri.
Menurut Harsono (2009), tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor
yang mendukung peningkatan pengetahuan yang berkaitan dengan daya serap
informasi. Orang yang memiliki pendidikan tinggi diasumsikan lebih mudah
menyerap informasi. Pengetahuan tentang pengelolaan nyeri dapat diperoleh dari
pengalaman klien sendiri atau dari sumber lain. Sehingga tingkat pendidikan
bukan merupakan variabel yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri.
(55)
Mayoritas responden telah menikah (94.4%) menunjukkan adanya
dukungan dari lingkungan sosial yakni keluarga (pendamping hidup dan anak).
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka kepada
pasien juga merupakan faktor yang mempengaruhi respon nyeri. Salah satu adalah
pasangan hidup. Pasangan hidup mengambil peranan yang besar dalam penguatan
pasien akan nyeri yang dialami (Potter & Perry, 2001).
Pasien yang menghadapi nyeri sendiri tanpa dukungan dari orang lain akan
merasa bahwa nyeri yang dialami sangat berat (Kozier, et al 2010). Salah satu
manajemen nyeri nonfarmakologik yang efektif untuk menurunkan intensitas
nyeri adalah dengan mengalihkan perhatian individu terhadap hal yang lain
(distraksi) (Potter & Perry, 2006). Interaksi dengan keluarga terdekat dapat
mengalihkan perhatian pasien dari nyeri yang dihadapinya sehingga dapat
mengurangi kecemasan dan depresi.
Suku asal juga berperan penting dalam hal mempersepsikan dan merespon
nyeri. Lebih dari setengah (59.3%) responden bersuku Batak dikarenakan lokasi
penelitian yang berada di daerah yang mayoritas bersuku Batak. Data ini sesuai
dengan data yang didapat dari pemerintahan provinsi Sumatera Utara (2002)
bahwa penduduk Sumatera Utara mayoritas suku Batak. Di Indonesia Suza (2003)
menemukan bahwa nyeri yang dialami oleh pasien yang berasal dari suku Batak
dan Jawa ternyata berbeda. Berbeda dalam laporan nyerinya serta respon terhadap
nyeri itu sendiri.
Kultur atau budaya memiliki peran yang kuat untuk menentukan faktor
sikap individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya. Sementara itu
(56)
sikap individu ini juga berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin dan ras.
Menurut penelitian McGuire (1984 dalam McGuire & Sheilder, 1993)
menemukan bahwa wanita berkulit non-putih dan yang berkulit putih memiliki
perbedaan yang signifikan dalam melaporkan nyerinya. Wanita berkulit bukan
putih melaporkan nyeri yang lebih rendah bila dibandingkan dengan wanita
berkulit putih ketika mengalami nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (37%) responden
menunjukkan intensitas nyeri ringan dan intensitas nyeri sedang dan diikuti
kurang dari seperempat (18.5%) responden memiliki intensitas nyeri berat.
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu (Tamsuri, 2007).
2.3 Hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara koping nyeri
dengan intensitas nyeri dengan arah korelasi negatif dan kekuatan korelasi sedang
dengan r=-0.48 dan p=0.000 artinya pasien dengan tingkat koping nyeri yang
tinggi menunjukkan intensitas nyeri yang rendah dan sebaliknya pasien dengan
tingkat koping nyeri yang rendah menunjukkan intensitas nyeri yang tinggi.
Individu yang mengalami penyakit kronis, akan mengalami nyeri sebagai
bagian dari proses penyakit, proses pemeriksaan dan pengobatan (Brunner &
Suddarth, 2000). Faktor kognitif dan perilaku efektif mengurangi intensitas nyeri
(Ersek et al, 2004). Peningkatan koping nyeri individu terhadap stimulus nyeri
(57)
akan meningkatkan kemampuan individu mengatasi intensitas nyeri sehingga
individu menunjukkan intensitas nyeri rendah.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian John Ektor – Andersen
(2002) mengatakan bahwa ada hubungan antara koping nyeri dengan intensitas
nyeri. Hasil penilaian dengan skala Chronic Pain Coping Inventory (CPCI)
menunjukkan bahwa koping pasien memiliki kekuatan yang tinggi dalam
menghadapi nyeri yang dialami pasien.
(58)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data, dapat diambil kesimpulan dan
saran mengenai hubungan koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri
kronis di RSUP H. Adam Malik Medan.
1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki
koping nyeri baik dan diikuti dengan kurang dari seperempat responden memiliki
koping nyeri buruk. Intensitas nyeri yang ditunjukkan lebih dari sepertiga
responden adalah intensitas nyeri ringan dan intensitas nyeri sedang. Untuk
menentukan hubungan kedua variabel, diuji dengan menggunakan uji korelasi
Pearson menunjukkan adanya hubungan antara koping nyeri dengan intensitas
nyeri. Arah korelasi penelitian ini negatif atau berlawanan arah dengan kekuatan
korelasi sedang. Individu yang memiliki koping nyeri rendah memiliki intensitas
nyeri yang tinggi, dan sebaliknya, jika individu memiiki koping nyeri tinggi,
intensitas nyeri yang dirasakan semakin rendah.
2. Saran
2.1Bagi praktik keperawatan
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri. Oleh karena itu diharapkan
perawat dapat mengkaji tingkat koping nyeri pasien dan memberikan intervensi
terapi kognitif terhadap nyeri yang dialami pasien sehingga pasien meningkatkan
koping nyeri dan menimbulkan intensitas nyeri rendah.
(59)
2.2Bagi penelitian keperawatan
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki keterbatasan yaitu
sifat nyeri yang subjektif, pengukuran intensitas nyeri kronis dengan Numeric
Pain Scale (NPS) dilakukan sebanyak satu kali pemeriksaan oleh satu orang
peneliti, tidak memperhitungkan derajat keganasan neoplasma benigna maupun
maligna. Untuk itu diharapkan pada penelitian selanjutnya dilakukan penelitian
dengan diagnosa yang lebih spesifik.
Selanjutnya masih adanya banyak faktor lain yang mempengaruhi tingkat
koping nyeri atau intensitas nyeri yang tidak diteliti seperti: lama menderita
penyakit, pengobatan yang sedang dijalani, dan lain-lain. Sehingga pada peneliti
selanjutnya disarankan agar melakukan penelitian dengan memperhatikan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi koping nyeri individu. Setiap individu unik
sehingga diharapkan selanjutnya ada penelitian kualitatif untuk mengekspresikan
bagaimana cara pasien melakukan model koping nyeri terhadap nyeri yang
dialaminya.
2.3Bagi pendidikan keperawatan
Melalui pendidikan keperawatan diharapkan meningkatkan pengetahuan
mahasiswa melalui materi perkuliahan untuk meningkatkan koping nyeri di rumah
sakit yang berdampak pada penurunan intensitas nyeri pasien.
(60)
DAFTAR PUSTAKA
Asri, Suryaniati. (2006). Perbedaan pengaruh pemberian anestesi spinal dengan anestesi umum terhadap kadar gula darah. Karya tulis ilmiah, Universitas Diponegoro.
Andarmoyo, S. (2013). Persalinan Tanpa Nyeri Berlebihan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Andersen, J. E., Orbaek, P., Isacsson, S. O., et al. (2002). Behaviour-focused pain coping: Consistency and convergence to work capability of the Swedish version of the chronic pain coping inventory. Taylor & Francis, ISSN 1650-1977. Diakses pada tanggal 4 Desember 2013.
Anderson, C. (2002). Chronic Condition: Moking the case for ongoing care. Maryland: Fathom Creative, inc. Diakses dari
Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Asmadi. (2008). Teknik prosedur keperawatan: konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta: Salemba Medika.
Azizah, L. M. (2011). Keperawatan lanjut usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Backonja, Miroslav M., Dahl, J., Gordon, D., Nathan, R., Seghal, N., & Sullivan, Anne, G,. (2010). Pain management. School of Medicine and Public Health, University of Wisconsin. Diakses dari
Batubara, et al. (2008). Hubungan pengetahuan, nyeri pembedahan section caesaria dan bentuk puting dengan pemberian air susu ibu pertama kali pada ibu post partum. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal ofNursing),3 (2).
Dahlan, M. S. (2008). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
(61)
Ersek, M., Turner, Judith, A., Cain, Kevin, C., et al. (2004). Chronic pain self- management for older adult: a randomized controlled trial
[ISRCTN11899548]. BioMedical Central. Diakses dari
Fortinash & Holoday. (2000). Psychiatric mental health nursing. Missouri: Mosby.
Harapan, I. A. (2007). The relations among pain intensity, pain acceptance and pain behavior in patien with cronic cancer pain in Medan, Indonesia. Thailand: Copyright of Prince of Songkla University. Diakses dari 2013.
Keliat, B. A. (1999). Penata Laksanaan Stres. Jakarta: EGC.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., et al. (2010). Buku ajar fundamental
keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: EGC.
Lazarus, R.S & Folkman, S. (1989). Stres, appraisal, and coping. New York: Springer Publishing Company. Diakses dari
Luckmann & Sorensen. (1993). Medical surgical nursing; A psychophysiologic approach. Fourth Edition. Pennsylvania: W.B. Saunders Company.
McGuire, D. B & Sheildler, V. R. (1993). Pain. In S. L. Groen, M. H. Fragge, M. Goodman, and C. H. Yarbro (Edt.). Cancer nursing: Principles and practice (3rd Ed.) (pp. 499-556). Boston, NA: Jones and Bartlett Publisher. Diaksesdari Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 padatanggal 23 Juni 2014.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan system persarafan. Jakarta: EGC.
Mu’tadin. (2000). Konsep koping. Diakses dari http://www.koping.html. tanggal 23 Oktober 2013.
Pada
Niven, N. (1994). Psikologi kesehatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Desnalia Togiana Simamora
NIM : 101101073
Tempat/ Tanggal Lahir : Lubuk Sikaping, 16 Desember 1991 Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jalan Berdikari no.3 Padang Bulan, Medan
Hp. : 085763744733
Alamat Email
Status Pendidikan :
Semester : 8
Fakultas/ Jurusan : Keperawatan/ Ilmu Keperawatan Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Riwayat Pendidikan :
1. SDN 09 Pauh Lubuk Sikaping Lulus tahun 2004 2. SMP N 1 Lubuk Sikaping Lulus tahun 2007 3. SMA N 1 Lubuk Sikaping Lulus tahun 2010 4. Fakultas Keperawatan USU 2010 - 2014