Partisipasi Petani dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi non Hibrida

  

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Tinjauan Pustaka

  Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk dan sistematika yang teratur.

  Program dapat dihasilkan melalui proses perencanaan program yang diorganisasikan secara sadar dan terus menerus, untuk memilih alternatif yang terbaik dalam mencapai tujuan (Mardikanto dan Sutarni, 1990).

  Tingkat pendidikan petani sering disebut sebagai faktor rendahnya tingkat produktivitas usahatani. Tingkat pendidikan yang rendah maka petani akan lambat mengadopsi inovasi baru dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan lama. Sedangkan seseorang yang berpendidikan tinggi tergolong lebih cepat dalam mengadopsi inovasi baru (Soekartawi, 2002).

  Petani yang mengusahakan luas lahan yang lebih tinggi akan lebih mudah merespon metode-metode penyuluhan pertanian karena mereka ingin memperoleh hasil-hasil pertanian yang lebih meningkat dari sebelumnya. Petani yang sudah lebih lama bertani memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada petani pemula, sehingga sudah dapat membuat perbandingan dalam mengambil keputusan terhadap anjuran penyuluh. Petani yang berusia lanjut berumur sekitar lebih dari 50 tahun biasanya fanatik terhadap tradisi dan sulit untuk diberikan pengertian- pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara bekerja dan cara hidupnya.

  Mereka ini bersikap apatis terhadap adanya teknologi baru (Kartasapoetra, 1991).

  Metode SLPTT merupakan metode dari Departemen Pertanian (Deptan) dengan cara memberi pengajaran kepada para petani mengenai pengendalian hama terpadu, sekolah lapang iklim, dan teknologi budidaya. Petani diajarkan melakukan pertanian terpadu meliputi pemberian benih, pengendalian hama, penyediaan teknologi budidaya, dan pupuk secara terpadu (Mar, 2010).

  Dalam Departemen Pertanian (2009) upaya pengembangan PTT secara nasional, Departemen Pertanian meluncurkan metode Sekolah Lapang PTT.

  Panduan SLPTT padi ini dimaksudkan sebagai: 1.

  Acuan dalam pelaksanaan SLPTT padi dalam upaya peningkatan produksi beras di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

  2. Pedoman dalam koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan metode peningkatan produksi padi melalui SLPTT antara di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

  3. Acuan dalam penerapan komponen teknologi PTT padi oleh petani sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola usahataninya untuk mendukung upaya peningkatan produksi.

  4. Pedoman dalam peningkatan produktivitas, produksi, pendapatan dan kesejahteraan petani padi Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) adalah sebuah tempat Pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh, 2012).

  Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) tidak terikat dengan ruang kelas, sehingga belajar dapat dilakukan di saung pertemuan petani dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan lahan belajar. Dalam SL-PTT terdapat satu unit Laboraturium Lapangan (LL) yang merupakan bagian dari kegiatan SL-PTT sebagai tempat bagi petani bagi anggota kelompoktani dapat melaksanakan seluruh tahapan SL-PTT pada lahan tersebut. Dalam melaksanakan LL kelompoktani dapat mengacu pada rekomendasi teknologi setempat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh, 2012).

  Pelaksanaan SL-PTT menggunakan sarana kelompoktani yang sudah terbentuk dan masih aktif. Kelompoktani yang dimaksud adalah kelompoktani yang dibentuk berdasarkan domisili atau hamparan, diusahakan yang lokasi usahataninya masih dalam satu hamparan. Hal ini perlu untuk mempermudah interaksi antar anggota karena mereka saling mengenal satu sama lainnya dan tinggal saling berdekatan sehingga bila teknologi SL-PTT sudah diadopsi secara individu akan mudah ditiru petani lainnya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh, 2012).

  Dengan adanya metode SLPTT ini, diharapkan para petani mendapatkan ilmu yang sama mulai dari pemberian benih, pengendalian hama, penyediaan teknologi budidaya, dan pemberian pupuk. Dalam kegiatan SLPTT para petani akan dibimbing oleh para petugas penyuluh pertanian, diantaranya Petugas Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (PPOPT) sehingga dapat lebih menuntun petani untuk mempelajari tata cara pertanian dengan baik guna peningkatan produksi pertanian (Mar, 2010).

  Landasan Teori

  Anggota masyarakat bukan merupakan objek pembangunan. Anggota masyarakat pedesaan sebagian besar terdiri dari petani yang sebagian besar dari padanya merupakan petani kecil dan bahkan sebagai buruh tani. Kedudukan petani yang lemah ini harus dirubah menjadi kuat, maju dan mandiri, sehingga peranannya dalam pembangunan menjadi subjek pembangunan. Bertambah pentingnya kedudukan anggota masyarakat tersebut dapat diartikan pula bahwa anggota masyarakat diajak unytuk berperan secara lebih aktif dan didorong untuk berpartisipasi, namun pemerintah tetap perlu dilibatkan (Adisasmita, 2006).

  Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah tentunya bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera sehingga posisi masyarakat merupakan posisi yang penting dalam proses pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat memepnagruhi keberhasilan proses pembangunan itu sendiri. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan hanyalah menjadikan masyarakat sebagai objek semata (Muryanto, 2011).

  Mikkelsen dalam Usman (2008), mengemukakan bahwa pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat dan sebaliknya kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program.

  Menurut Umboh dalam Irawaty (2009), pembangunan masyarakat desa merupakan gerakan pembangunan yang didasarkan atas peran serta dan swadaya gotong-royong masyarakat. Atas dasar hal tersebut maka kesadaran, peran serta dan swadaya masyarakat perlu ditingkatkan agar partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan dirasakan sebagai suatu kewajiban bersama. Dengan partisipasi dan peran serta di sini bukan berarti masyarakat itu hanya berfungsi untuk memberikan dukungan dan keikutsertaan dalam proses pembangunan atau ikut berpartisipasi secara aktif (sense of participation), tetapi juga menikmati hasil-hasil pembangunan itu sendiri. Dengan demikian akan tercipta rasa memiliki (sense of

  

belonging ) dan rasa tanggung jawab (sense of responbility) dalam proses

  pembangunan menuju tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

  Partisipasi memiliki konotasi yang berbeda-beda untuk berbagai orang, sebagaimana dirumuskan Van de Ban dan Hawkins (1999) dalam pokok-pokok tersebut: 1.

  Sikap kerja sama petani dalam melaksanakan program penyuluhan dengan cara menghadiri rapat-rapat penyuluhan, mendemonstrasikan metode baru untuk usaha tani mereka, mengajukan pertanyaan pada agen penyuluhan.

  2. Pengorganisasian kegiatan-kegiatan penyuluhan oleh kelompok-kelompok petani, seperti pertemuan-pertemuan tempat agen penyuluhan memberi ceramah, mengelola kursus-kursus demonstrasi, menerbitkan surat kabar tani yang ditulis oleh agen penyuluhan dan peneliti untuk petani.

3. Menyediakan informasi yang diperlukan untuk merencanakan program penyuluhan yang efektif.

  4. Petani tau para wakilnya berpartisipasi dalam organisasi jasa penyuluhan dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan- pesan dan metode, dan dalam evaluasi kegiatan.

  5. Petani atau organisasinya membayar seluruh atau sebagian biaya yang dibutuhkan jasa penyuluhan.

  6. Supervisi agen penyuluhan oleh anggota dewan organisasi petani yang memperkerjakannya.

  Partisipasi berarti keikutsertaan seseorang ataupun sekelompok masyarakat dalam suatu kegiatan secara sadar. Menurut Jnabrabota Bhattacharyya dalam Ndraha (1987) mengartikan partisipasi sebagai pengambian bagian dalam kegiatan bersama. Partisipasi masyarakat idealnya terjadi apabila masyarakat memang mau secara sukarela mendukung kegiatan tersebut. Kegiatan mendukung seuatu kegiatan memang berkembang dari masyarakat di tingkat bawah sampai pada proses pengambilan keputusan.

  Partisipasi tidak saja diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat yang menyumbangkan tenaga dan materil dalam merealisasikan suatu rencana, melainkan lebih luas lagi yaitu melibatkan masyarakat terutama yang akan memanfaatkan hasil pembangunan atau program pembangunan di dalam proses perencanaan. Partisipasi adalah tingkat keterlibatan anggota dalam mengambil suatu keputusan. Akan tetapi pengertiannya lebih luas dari itu yaitu meliputi proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi serta menikmati hasil pembangunan itu sendiri (Levis, 1996).

  Partisipasi menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan pembangunan, dilain pihak, juga dapat dikatakan bahwa pembangunan berarti kalau dapat meningkatkan kapasitas masyarakat termasuk dalam berpartisipasi. Secara harfiah, partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegatan”, “peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat didefenisikan secara luas sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan. Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara langsung dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian sejak dari awal, proses dan perumusn hasil (Ginting, 2011).

  Ada beberapa alasan mengapa petani dianjurkan berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program penyuluhan, yaitu:

  1. Mereka memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan serta pengalaman mereka.

  2. Mereka akan lebih termotivasi untuk bekerja sama dalam program penyuluhan jika ikut bertanggung jawab di dalamnya.

  3. Setiap orang berhak untuk dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan yang ingin mereka capai.

  4. Banyak permasalahan pembangunan pertanian, seperti pengendalian erosi tanah, perolehan sistem usaha tani yang berkelanjutan dan pengelolaan pendekatan komersial pada pertanian, tidak mungkin lagi dipecahkan dengan pengambilan keputusan perorangan. Partisipasi kelompok sasaran kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat dibutuhkan.

  Partisipasi memungkinkan perubahan perubahan yang lebih besar dalam cara berfikir manusia. Perubahan dalam pemikiran dan tindakan akan lebih sedikit terjadi dan perubahan-perubahan ini tidak akan bertahan jika mereka menuruti saran-saran agen penyuluhan dengan patuh daripada bila mereka ikut bertanggung jawab (Van de Ban dan Hawkins, 1999).

  Bentuk partisipasi yaitu : 1. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan;

2. Partisipasi waktu adalah partisipasi yang diberikan dalam memberikan waktunya untuk menghadiri suatu kegiatan.

  3. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program; 4. Partisipasi ide lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat. (Murtiyanto, 2011).

  Menurut Davis (2005) yang dikutip oleh Stepan (2011), ada tiga unsur penting partisipasi, yaitu:

  1. Bahwa partisipasi atau keikutsertaan sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, tidak hanya semata-mata keterlibatan secara jasmaniah; 2. Kesediaan memberi sesuatu sumbanga kepada usaha mencapai tujuan kelompok. Ini berarti, bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok;

3. Unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota kelompok tani.

  Dalam makalahnya yang berjudul ” A Ladder of Citizen Participation” dalam Journal of the American Planning Association (1969), Sherry Arstein mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi. Kedelapan tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

  1) Manipulation

  Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ‟stempel karet‟ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa.

  2) Therapy

  Pada tingkat therapy atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental.

  Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya.

  3) Informing

  Dengan memberi informasi kepada masyarakat akan hak, tanggung jawab, dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun acapkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan media pemberitaan, pamflet,dan poster.

  4) Consultation

  Meminta pendapat masyarakat merupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jejak pendapat, pertemuan warga, dan dengar pendapat.

  Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah merupakan suatu partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi hanya diukur dari frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga dari seberapa banyak kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah merasa memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat.

  5) Placation

  Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan.

  Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan.

  Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggung jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka mereka akan dengan mudah dikalahkan dan diakali.

  6) Partnership

  Pada tingkat ini, kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan dengan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Partnership dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpinnya bertanggung jawab, masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya serta adanya sumber dana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar-menawar yang tinggi, sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan.

  7) Delegated Power

  Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas kursi, sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawar-menawar.

8) Citizen Control

  Pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.

  Manipulasi dan terapi termasuk kedalam level non-participation, inisiatif pembangunan tidak bermaksud untuk memberdayakan masyarakat akan tetapi membuat pemegang kekuasaan untuk “menyembuhkan” atau “ mendidik” komunitas. Informasi dan konsultasi (tokenism), komunitas bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi. Placation (level tertinggi tokenism), komunitas bisa memberikan saran kepada pemegang kekuasaan, akan tetapi kewenangan menentukan tetap ada pada pemegang kekuasaan. Partnership, membuat komunitas dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol, komunitas memegang mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan pengelolaan. Secara jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:

  

Gambar 1. Delapan Tangga Tingk at Partisipasi Masyarak at

  Hermanto dan Iwan (2010) mengemukkan bahwa partisipasi terhadap kegiatan yang dijalankan dalam sebuah program dipengaruhi oleh karateristik sosial ekonomi. Karateristik sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat partisipasi yang berasal dari petani itu sendiri. Karateristik sosial ekonomi tersebut meliputi: 1.

  Tingkat Pendidikan Tinggi rendahnya pendidikan petani akan menanamkan sifat yang menuju penggunaan praktek pertanian yang lebih modern. Mereka yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melakukan anjuran penyuluh. Tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya kurang menyenangi inovasi sehingga sikap mental untuk menambah pengetahuan khususnya ilmu pertanian kurang (Kesuma, 2006).

  Menurut Hasyim (2006), tingkat pendidikan formal yang dimiliki petani akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan yang luas untuk petani menerapkan apa yang diperolehnya untuk peningkatan usahataninya.

  Mengenai tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Tingkat pendidikan manusia pada umumnya menunjukkan kreatifitas manusia dalam berfikir dan bertindak. Pendidikan rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia (Kartasapoetra, 1991).

  2. Luas Lahan Menurut Kuswardhani (1998) yang diikuti oleh Iwan (2010), luas lahan akan menentukan partisipasi petani terhadap proyek. Luas sempitnya lahan yang dikuasai akan mempengaruhi anggota untuk mengelola lahan.

  Petani yang mempunyai lahan yang luas akan lebih mudah menerapkan anjuran penyuluhan demikian pula halnya dengan penerapan adopsi inovasi dari pada yang memiliki lahan sempit. Hal ini dikarenakan keefisienan dalam penggunaan sarana produksi (Kesuma, 2006).

  Menurut Sokartawi (1999), luas lahan akan mempengaruhi skala usaha. Makin luas lahan yang dipakai petani dalam usaha pertanian, maka semakin tidak efisien. Hal ini disebabkan pada pemikiran bahwa luasnya lahan mengakibatkan upaya melakukan tindakan yang mengarah pada segi efisien akan berkurang. Sebaliknya pada lahan yang sempit upaya pengawasan terhadap penggunaan faktor produksi semakin baik. Sehingga usaha pertanian seperti ini lebih efisien. Meskipun demikian lahan yang terlalu kecil cenderung menghasilkan usaha yang tidak efisien pula.

  3. Pengalaman Bertani Menurut Soekartawi (1999), pengalaman seseorang dalm berusaha tani berpengaruh dalam menerima inovasi dari luar. Petani yang sudah lama bertani akan lebih mudah menerapkan inovasi daripada petani pemula atau petani baru.

  Petani yang sudah lama berusaha tani akan lebih mudah menerapkan anjuran penyuluhan demikian pula dengan penerapan teknologi.

  Lamanya berusahatani untuk setiap orang berbeda-beda oleh karena itu lamanya berusahatani dapat dijadikan bahan pertimbangan agar tidak melakukan kesalahan yang sama sehingga dapat melakukan hal-hal baik untuk waktu berikutnya (Hasyim, 2006).

  4. Umur Umur berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menerima sesuatu hal yang baru. Menurut Ajiswarman dalam Rona (1999), orang yang masuk pada golongan tua cenderung selalu bertahan dengan nilai-nilai yang lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang bersifat baru. Orang yang berusia lebih tua memepunyai partisipasi yang lebih rendah dibandingkan dengan yang berusia muda.

  Menurut Kesuma (2006), makin muda umur petani biasanya akan mempunyai semangat ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan anjuran dari kegiatan penyuluhan.

  Umur petani adalah salah satu faktor yang berkaitan erat dengan kemampuan kerja dalam melaksanakan kegiatan usahatani, umur dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat aktivitas seseorang dalam bekerja bilamana dengan kondisi umur yang masih produktif maka kemungkinan besar seseorang dapat bekerja dengan baik dan maksimal (Hasyim, 2006).

  5. Frekuensi mengikuti penyuluhan

  Menurut Soekartawi (1999), agen penyuluhan dapat membantu petani memahami besarnya pengaruh struktur sosial ekonomi dan teknologi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan menemukan cara mengubah struktur atas situasi yang menghalangi untuk mencapai tujuan tersebut. Semakin tinggi frekuensi petani mengikuti penyuluhan maka keberhasilan penyuluhan pertanian yang disampaikan semkin tinggi pula.

  Semakin tinggi frekuensi petani mengikuti penyuluhan maka keberhasilan penyuluhan pertanian yang disampaikan semakin tinggi pula.

  Frekuensi petani dalam mengikuti penyuluhan yang meningkat disebabkan karena penyampaian yang menarik dan tidak membosankan serta yang disampaikan benar-benar bermanfaat bagi petani dan usahataninya (Hasyim, 2003).

6. Jumlah tanggungan

  Semakin banyak jumlah anngota keluarga akan semakin besar pula beban hidup yang akan ditanggung atau harus dipenuhi. Jimlah anggota keluarga akan memepngruhi kepeutusan petani dalam berusaha tani (Soekartawi, 1999).

  Menurut Hasyim (2006), jumlah tanggungan keluarga adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan pendapatan dalam memenuhi kebutuhannya. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga akan mendorong petani untuk melakukan banyak aktivitas terutama dalam mencari dan menambah pendapatan keluarganya.

  Kerangka Pemikiran

  SL-PTT merupakan program yang berfungsi sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para petani/kelompok tani, sekaligus tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan manajemen kelompok serta percontohan bagi kawasan lainnya guna tercapainya peningkatan produktivitas tanaman pangan. Dalam hal ini petani berperan dan berpartisipasi sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek dalam pelaksanaan program SL-PTT. Petani sebagai subjek adalah petani sebagai pelaku penerima bantuan dan teknologi SL-PTT, dalam hal ini petani berpartisipasi dalam program SL-PTT yakni dalam penggunaan Bantuan dari SL-PTT untuk usaha produktif pertaniannya, yang meliputi benih, pupuk dan sarana produksi serta teknologi yang di bawa penyuluh dan peneliti.

  Peran lain petani adalah sebagai jurutani dan pengelola. Petani sebagai jurutani yaitu memelihara tanaman guna mendapatkan hasil yang bermanfaat.

  Petani sebagai pengelola yaitu petani yang berperan untuk mengelola usahataninya, termasuk di dalamnya pengambilan keputusan ataupun penetapan pilihan atas usahatani yang mereka lakukan. Petani SL-PTT nantinya diharapkan mampu mengambil keputusan dasar pertimbangan teknis dan ekonomis dalam setiap tahapan budidaya usahataninya serta mampu mengaplikasikan teknologi secara benar sehingga meningkatkan produksi dan pendapatannya. Sedangkan petani sebagai objek yaitu petani merupakan sasaran program yang berpartisipasi dalam menerima dan menggunakan bantuan dan teknologi dalam program SL-PTT serta bertanggungjawab dalam usahataninya.

  Partisiapsi petani/kelompok tani pada program SL-PTT diharapkan dapat mendorong terwujudnya tujuan diadakannya program. Namun dalam pelaksanaannya partisipasi petani dalam mengikuti setiap kegiatan dipengaruhi oleh karateristik sosial ekonomi petani. Karateristik yang mempengaruhi petani dalam berpartispasi adalah karateristik sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendidikan, luas lahan, jumlah tanggungan, lama berusaha tani, umur dan frekuensi mengikuti penyuluhan.

  Partisipasi tersebut akan mendorong beberapa aspek yang perlu ditingkatkan yaitu tingkat partisipasi dalam program SL-PTT serta hubungan karateristik sosial ekonomi petani dengan pelaksanaan SL-PTT. Dalam pelaksanaan program tersebut, terdapat masalah yang dihadapi di daerah penelitian.

  Dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut:

  Keterangan : = Menyatakan Proses = Menyatakan Hubungan

  

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Partisipasi Petani Dalam Program

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Tingkat Partisipasi Individu

  Kelompok Tani I Kelompok Tani II

  Petani Petani

  Karateristik Sosial Ekonomi Petani pelaksana program SL-PTT:

  1. Tingkat Pendidikan

  2. Umur

  3. Pengalaman Bertani

  4. Jumlah Tanggungan

  5. Luas lahan

  6. Frekuensi mengikuti penyuluhan (pertemuan) Tingkat Partisipasi Kelompok

  SL - PTT

  Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan identifikasi masalah, maka yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah:

1. Tingkat partisipasi petani dalam program SL-PTT Padi non Hibrida di daerah penelitian adalah sangat tinggi.

  2. Terdapat hubungan karateristik sosial ekonomi petani program SL-PTT Padi non Hibrida (tingkat pendidikan, umur, pengalaman bertani, jumlah tanggungan, luas lahan dan frekuensi mengikuti penyuluhan) dengan tingkat partisipasinya dalam program SL-PTT Padi non Hibrida di daerah penelitian.

Dokumen yang terkait

Partisipasi Petani dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi non Hibrida

1 80 95

Partisipasi Petani Dalam Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)

5 34 118

Dampak Sebelum dan Setelah Penerapan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) Terhadap Biaya Produksi, Produksi dan Pendapatan Petani Padi Sawah Di Kabupaten SerdangBedagai

0 30 90

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Dengan Tingkat Adopsi Petani Padi Sawah Dalam Metode SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) (Studi kasus : Desa Paya Bakung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang)

3 58 57

Evaluasi Petani Terhadap Program Penyuluhan Pertanian Sl Ptt (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu): Hama Terpadu (Kasus : Petani Padi Sawah, Desa Paya Bakung, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

3 67 67

Analisis Program Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Padi Sawah Dalam Menciptakan Pembangunan Yang Berwawasan Lingkungan Di Kabupaten Deli Serdang

1 38 101

Konservasi Lahan Padi Sawah (Oryza Sativa, L) Dengan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat

0 39 76

Pengaruh Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Padi Hibrida Terhadap Pendapatan Petani

0 5 4

Hubungan Karakteristik Petani Dengan Tingkat Adopsi Petani Dalam Sekolah Lapang Iklim (Sli) Di Kabupaten Blora

0 0 95

Penampilan Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Kultivar Jagung Komposit pada Pendekatan Teknologi Non-Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu

0 0 12