BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisasi Kepemudaan - Resistensi Masyarakat Terhadap Organisasi Kepemudaan (Studi Kasus Tentang Keberadaan Organisasi Pemuda Pancasila Di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Organisasi Kepemudaan

  Kata “organisasi” mempunyai dua pengertian umum. Pengertian pertama menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional seperti organisasi perusahaan, rumah sakit, perwakilan pemerintah atau suatu kumpulan olahraga. Pengertian kedua berkenaan dengan proses pengorganisasian, sebagai suatu cara dimana kegiatan organisasi dialokasikan dan ditugaskan di antara para anggotanya agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien (Handoko 2000: 167). Menurut James A.F. Stoner (1996: 6), organisasi adalah dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran spesifik atau sejumlah sasaran. Jadi organisasi merupakan sekumpulan orang yang bekerja sama dengan sistem tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.

  Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat. Organisasi yang dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh masyarakat disekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti; pengambilan sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga menekan angka pengangguran.

  Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2005-2025 yang dilakukan BPS berdasarkan pada SUPAS 2005, jumlah pemuda tahun 2009 mengalami pasang surut. Pada tahun 2009, jumlah pemuda sebanyak 62,77 juta jiwa. Angka tersebut terus mengalami kenaikan sampai dengan tahun 2011 menjadi 62,92 juta jiwa (kppo.b

  

appenas.go.id/files/-1Proyeksi%20Jumlah%20Pemuda.pdfm diakses

pada tanggal 1 April 2012, pukul 15.37 WIB).

  Dengan jumlahnya yang mencapai 62,92 juta jiwa, pemuda merupakan salah satu kekuatan terbesar bagi bangsa Indonesia. Jumlah ini merupakan populasi yang sangat besar, karena itu pemuda memiliki posisi yang strategis bagi bangsa Indonesia. Dengan jumlah sebesar itu, pemuda terbagi dalam berbagai organisasi, baik organisasi kepemudaan seperti KNPI yang telah tersusun rapi dari tingkat pusat hingga ke daerah maupun yang lainnya (Sholehuddin 2008: 10).

  Organisasi kepemudaan adalah lembaga nonformal yang tumbuh dan eksis dalam masyarakat antara lain ikatan remaja masjid, kelompok pemuda (karang taruna) dan sebagainya (Warastuti, 2006). Pengertian lain menyatakan organisasi kepemudaan adalah organisasi sosial wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat terutama generasi muda di desa/kelurahan atau komunitas adat sederajat yang bergerak dibidang usaha kesejahteraan sosial.

  Organisasi kepemudaan diorientasikan untuk menjadi organisasi pelayanan kemanusiaan penyelenggara usaha kesejahteran sosial yang memiliki pendekatan dan standar pada pendekatan pekerja sosial yang memadai

  

diakses pada tanggal 22 April 2012, pukul

20.05 WIB).

  Pada dasarnya organisasi kepemudaan memiliki tujuan terarah yang sesuai dengan program kerja dari organisasi tersebut, namun secara khusus yang terlihat pada saat sekarang sangat berbeda bila dibandingkan dengan tujuan dari organisasi kepemudaan yang ada pada awal kemerdekaan. Hal ini sesuai dengan kemajuan zaman yang dinamis dengan kinerja dan program pemerintah yang bekuasa. Satu organisasi terbentuk berdasarkan atas suatu perencanaan yang memiliki visi dan misi serta memiliki aturan yang mengikat atau berbadan hukum yang diakui. Dalam organisasi juga tercantum suatu tujuan yang harus dicapai sesuai dengan bentuk organisasi tersebut bergerak pada bidang apa dan bagaimana cara kerjanya.

  Bila dilihat dari tujuan organisasi kepemudaan yang ada pada saat awal kemerdekaan, suatu organisasi pemuda hanya bergerak dalam pendidikan dan seni budaya dan tidak terlalu jauh dari pada itu. Seperti halnya pada organisasi Boedi Oetomo yang direkrut sebagai angota hanya terbatas dalam suatu wilayah. Namun seiring dengan berjalanya waktu suatu oraganisasi berubah dan berkembang tujuannya dan terbuka mengenai hal-hal yang mersifat umum, namun suatu oraganisasi di tuntut untuk sangat peka terhadap lingkungan, kebijakan pemerintah, aparatur Negara, sosial dan keagamaan.

2.2 Keberadaan Organisasi Kepemudaan di Masyarakat

  Secara umum organisasi kepemudaan mempunyai tujuan sebagai berikut : 1.Merangkul setiap pemuda untuk bersatu.

  2.Memperkokoh persatuan dan kesatuan serta mempererat persaudaraan.

  3.Mengembangakan pola pikir para pemuda untuk peka terhadap segala hal, baik itu lingkungan secara fisik maupun nonfisik.

  4.Melatih dan mempersiapkan skil para pemuda.

  5.Ikut membantu dan mengoreksi setiap kebijakan pemerintah. Sedangkan secara khusus organisasi kepemudaan mempunyai tujuan tersendiri yaitu tujuan untuk kepentingan organisasi itu sendiri seperti:

  1.Memajukan dan membesarkan nama organisasi.

  2.Mengutamakan kesejahteraan anggota organisasi.

  3.Mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan masyarakat (http://e

  

nggangborneordiakses pada tanggal 13 April 2012, pukul 21.35

  WIB). Organisasi kepemudaan diharapkan menjadi wadah komunikasi dan pemersatu generasi muda, sebagai wadah penempatan diri bagi para pemuda dalam rangka persiapan memasuki kehidupan yang sebenarnya di tengah-tengah masyarakat, wadah untuk memberdayakan potensi dan mendukung kepentingan nasional, serta sebagai wadah untuk mengembangkan kepemimpinan, kewirausahaan, dan kepeloporan.

  Namun dalam beberapa hal organisasi kepemudaan kadang-kadang mengabaikan tugas dan kewajibannya. Bila dilihat dalam kehidupan sehari-hari organisasi pemuda tidak dimanfaatkan oleh pemuda sebagai wadah pembinaan dan pengembangan bagi para kaula pemuda dan juga jarang digunakan sebagai wadah penempatan diri bagi para pemuda dalam rangka persiapan memasuki kehidupan yang sebenarnya di tengah-tengah masyarakat. Organisasi kepemudaan seringkali digunakan sebagai wadah untuk melakukan hal-hal yang negatif yang dapat meresahkan masyarakat misalnya terjadi perkelahian antara masyarakat dengan organisasi kepemudaan yang mengambil korban jiwa, juga perkelahian antara organisasi kepemudaan yang satu dengan organisasi lainnya. Organisasi kepemudaan seolah-olah digunakan sebagai wadah memamerkan kekuatan. Sebagian masyarakat menganggap bahwa organisasi kepemudaan itu tempat kumpulan orang-orang yang brutal yang membuat keresahan masyarakat dan merusak generasi muda (Jhon 2008: 19)

2.3 Prasangka Prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin.

  Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan. Prasangka merupakan sikap negatif terhadap sesuatu, yang lebih berada pada taraf individual. Disebut individual karena pada dasarnya yang berprasangka itu adalah manusia individu, dan bukan manusia sebagai kelompok. Namun bila semakin banyak orang dalam kelompok dihinggapi prasangka yang sama, atau dengan kata lain, prasangka tadi semakin meluas di kalangan masyarakat, maka prasangka tadi disebut prasangka sosial (Atoshoki, 2002: 166). Prasangka (prejudice) ialah stereotip negatif dan ketidaksukaan atau kebencian yang kuat dan tidak rasional terhadap suatu kelompok (Wade 2008: 314). Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan konflik.

  Pada umumnya prasangka itu bersifat negatif. Yang menjadi korban adalah individu atau kelompok yang dikenai prasangka. Orang tidak begitu saja secara otomatis berprasangka terhadap orang lain. Tetapi ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan ia berprasangka. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka yaitu: a.

  Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak menyenangkan.

  b.

  Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum atau kebiasaan di dalam lingkungan tertentu. c.

  d. Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dalam berusaha, seseorang mengalami kegagalan atau kelemahan. Sebab dari kegagalan itu tidak dicari pada dirinya sendiri tetapi pada orang lain. Orang lain inilah yang dijadikan kambing hitam sebagai sebab kegagalannya.

  Prasangka timbul karena adanya perbedaan, dimana perbedaan ini menimbulkan perasaan superior. Perbedaan disini bias meliputi:

  • Perbedaan fisik/biologis, ras.
  • Perbedaan lingkungan/geografis.
  • Perbedaan kekayaan.
  • Perbedaan status sosial.
  • Perbedaan kepercayaan/agama.
  • Perbedaan norma sosial.

  e. Orang berprasangka, karena memang ia sudah dipersiapkan dalam lingkungannya atau kelompoknya untuk berprasangka (Ahmadi, 2007: 195).

  Prasangka juga umumnya lahir dalam kondisi dimana jarak sosial yang ada diantara berbagai kelompok cukup rendah. Apabila dua etnis dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Demikian juga jika antara pemeluk agama tidak bergaul cukup akrab, maka prasangka antar pemeluk agama akan cukup besar. Prasangka juga menyebabkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Seseorang tentu tidak ingin berakrab ria dengan orang lain yang dia prasangkai. Jadi antara prasangka dan jarak sosial terjadi lingkaran.

  Jarak sosial melahirkan prasangka, dan prasangka melahirkan jarak sosial, begitu seterusnya. Salah satu contoh masih adanya jarak sosial yang tinggi antar kelompok adalah masih mudah ditemui adanya keengganan orangtua bila anak-anaknya menikah dengan orang yang berbeda kelompok, misalnya berbeda kelompok etnik

  

diakses pada tanggal

15 April 2012, pukul 20.00 WIB).

  Robert Park dan Ernst Burgess mendefinisikan jarak sosial sebagai kecenderungan untuk mendekat atau menjauhkan diri pada suatu kelompok.

  Apabila individu anggota kelompok menaruh simpati terhadap suatu kelompok (misalnya kelompok A) maka kelompok A ini akan ditempatkan dalam posisi yang dekat dengannya, sedangkan kelompok B dimana tidak dikenal simpati tetapi bahkan antipati maka kelompok B ini akan ditempatkan pada posisi yang jauh darinya. Semakin bertentangan atau bermusuhan bahkan saling membenci di antara 2 kelompok itu maka makin jauh jarak sosial. Apabila situasi ini berlangsung cukup lama, jarak sosial ini akan menjadi norma di dalam kelompok.

  Jarak sosial yang sudah menjadi norma di dalam kelompok akan dapat menimbulkan suatu kejadian bahwa orang berprasangka tanpa bergaul dulu dengan individu atau kelompok yang dikenai prasangka itu (Ahmadi, 2007: 197).

2.4 Konflik dalam Kelompok Sosial

  Menurut Muzafer Sherif, kelompok sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur sehingga diantara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu (Santosa, 2009:36). Adapun persyaratan kelompok sosial (Soekanto, 2003:166) adalah :

  1. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan.

  2. Adanya hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lain.

  3. Terdapat suatu faktor yang dimilki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, ideologi yang sama dan lain-lain.

  Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal-balik yang saling pengaruh-mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong-menolong. Suatu kelompok sosial cenderung untuk tidak menjadi kelompok yang statis, akan tetapi selalu berkembang serta mengalami perubahan- perubahan baik dalam aktivitas maupun bentuknya. Kelompok tadi dapat menambahkan alat-alat perlengkapan untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsinya yang baru di dalam rangka perubahan-perubahan yang dialaminya, atau bahkan sebaliknya dapat mempersempit ruang lingkupnya (Soekanto, 2003:115). Dalam setiap kelompok sosial selalu ada benih-benih pertentangan antara individu- individu, kelompok dan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk nonfisik, tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasan, dan tidak berbentuk kekerasan.

  Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang tidak akan dapat terhindarkan dan bersifat kreatif. Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaitu configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi, perbedaan- perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya diakses pada tanggal 19/01/2012, pukul 19.50 WIB).

  Menurut Karl Marx, didalam masyarakat senantiasa ada konflik. Konflik ini adalah gejala yang melekat dan bersifat kekal pada masyarakat. Setiap masyarakat disusun berdasarkan diferensiasi sosial atau sistem bertingkat-tingkat (sistem kelas-kelas). Kondisi tersebut memungkinkan munculnya perbedaan- perbedaan yang dapat melahirkan kepentingan yang berbeda kelas antar kelas (Doyle, 1986 : 122). Dahrendorf dalam Johnson (1986:194) menjelaskan bahwa: 1.

  Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial ada di mana-mana.

  2. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik; konflik sosial ada dimana-mana.

  3. Setiap elemen dalam masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan.

  4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

  Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut oleh Dahrendof sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imperatively coorninated associtations). Beda antara kekuasaan dan wewenang adalah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan.

  Sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soekanto, 2003:266).

  Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasai. Kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial dan secara langsung diantara golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status- quo sedangan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan- perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan dalam setiap unsur.

  Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik atas tiga tipe kelompok, yaitu kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan (Dahrendorf, 1959:180). Kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest group). Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas, mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat (Ritzer, 2007:27).

  Dari berbagai jenis kelompok kepentingan inilah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual (Ritzer, edisi keenam 2008:156). Konflik yang terjadi menyebabkan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok tersebut akan melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah perubahan yang radikal, bila konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba (Ritzer, edisi keenam 2008:157).

2.5 Bentuk-Bentuk Resistensi Masyarakat

  Scott mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (misalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau kelompok superdinat terhadap mereka. Scott membagi perlawanan tersebut menjadi dua bagian yaitu: a.

  Perlawanan tertutup atau tersembunyi (hidden transcript) b. Perlawanan terbuka atau publik (public transcript)

  Kedua kategori tersebut oleh Scott dibedakan atas artikulasi perlawanan; bentuk, karakteristik, wilayah sosial dan budaya (http://www.scribd.com/doc/76690453/6/

  akses pada tanggal 20/07/2012, pukul 20.50 WIB)

  Perlawanan tertutup atau tersembunyi dikarakteristikan oleh adanya interaksi tertutup, tidak langsung antara kelas-kelas subordinat dengan kelas-kelas superdinat. Perlawanan tertutup disebut juga perlawanan simbolis atau ideologis seperti gossip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, dan penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa (Scott, 1993: 303). Perlawanan tertutup dapat dicirikan sebagai perlawanan yang bersifat: a) tidak terorganisasi, tidak sistematis dan individual, b) bersifat untung- untungan dan ‘berpamrih’ (nafsu akan kemudahan), c) tidak mempunyai akibat- akibat revolusioner, dan/ atau d) dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada (Scott, 1993: 305). Perwujudan dari perlawanan tertutup yaitu kejahatan-kejahatan seperti pencurian kecil-kecilan, hujatan, makian, bahkkan pura-pura patuh (tetap di belakang membangkang).

  Perlawanan terbuka atau publik dikarakteristikan oleh adanya interaksi terbuka antara kelas- kelas subordinat dengan kelas- kelas superdinat. Scott mencirikan perlawanan terbuka sebagai perlawanan yang bersifat: a) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif, b) berprinsip atau tanpa pamrih, c) mempunyai akibat- akibat revolusioner, dan/atau d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri (Scott, 1993: 305). Manifestasi dari bentuk perlawanan ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan seperti pemberontakan.

Dokumen yang terkait

Resistensi Masyarakat Terhadap Organisasi Kepemudaan (Studi Kasus Tentang Keberadaan Organisasi Pemuda Pancasila Di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok)

4 96 149

Persepsi Masyarakat Terhadap Organisasi Sosial Kepemudaan (Studi Deskriptif pada Majelis Pimpinan Cabang Organisasi Pemuda Pancasila di Jl. Rangkuti No.7 Kabupaten Simalungun)

4 97 99

View of Peran Organisasi Kepemudaan Dalam Meningkatkan Pemahaman Wawasan Nusantara Di Kalangan Pemuda Indonesia

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Organisasi 2.1.1 Defenisi Organisasi - Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota Pematangsiantar

0 2 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Iklim Organisasi II.1.1 Pengertian Iklim Organisasi - Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Semangat Kerja Pegawai Pada Kantor Kecamatan Medan Selayang

0 2 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Komitmen Organisasi 1.1 Definisi Komitmen Organisasi - Perbedaan Komitmen Organisasi ditinjau dari Budaya Organisasi pada Karyawan

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Budaya Organisasi - Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Studi Pada Pt Asam Jawa

0 1 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Organisasi 2.1.1. Pengertian Organisasi - Pengaruh Faktor-Faktor Organisasi dan Lingkungan Kerja Terhadap Stress Kerja pada PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Cabang Dumai

0 0 31

BAB II PEMUDA PANCASILA DARI ORGANISASI KEMASYARAKATAN PEMUDA MENJADI ORGANISASI KEMASYARAKATAN 2.1 Organisasi Pemuda Pancasila sebagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) - Srikandi Pemuda Pancasila Sumatera Utara (1982 – 2007)

0 1 12

B. Daftar Pertanyaan - Resistensi Masyarakat Terhadap Organisasi Kepemudaan (Studi Kasus Tentang Keberadaan Organisasi Pemuda Pancasila Di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok)

1 1 29