Peran polisi dalam keamanan nasional

PERAN UTAMA KEPOLISIAN DALAM PENCEGAHAN TERORISME
Oleh: Kombes Pol. HMS Urip Widodo., M.M., M.Si.

Kepolisian memiliki peran sentral dalam pencegahan, penindakan, dan
deradikalisasi terorisme di Indonesia. Dalam memandang terorisme itu sendiri, misi besar
dan kondisi yang paling ideal untuk dicapai adalah mencegah tindakan terorisme itu
dapat atau sempat terjadi. Terkait tugas pencegahan tersebut, kepolisian memiliki
kemampuan untuk memahami kondisi di lingkungan masyarakat dengan lebih efektif.
Hal ini bersumber dari sifat dasar kepolisian yang adalah pengayom dan pelayan
masyarakat, sehingga pemahaman atas sumber masalah di masyarakat dapat lebih efektif.
Kelebihan tersebut merupakan keunggulan alamiah yang dimiliki kepolisian (Polri)
dibandingkan dengan militer (TNI), yang membuat Polri begitu dominan dalam segi
pencegahan terorisme.
Berdasarkan landasan pemahaman peran kepolisian dalam segi pencegahan
tersebut, maka perlu dilakukan adanya pemahaman kompleksitas sosial yang merupakan
akar dari permasalahan terorisme. Menurut Edward Newman (2010) dalam Critical
Human Security Studies, keamanan manusia atau human security adalah bentuk

keamanan kontemporer yang lahir dari tuntutan negara untuk semakin melindungi
masyarakat. Berbeda dengan situasi perang, maka pasca Perang Dingin, pendekatan ini
semakin berkembang, antara lain dengan mengglobalnya demiliterisasi dan penguatan

kepolisian sebagai institusi pertahanan sipil. Merefleksikan ke Indonesia, maka Polri
memiliki urusan menanggulangi ancaman atas manusia. kontras dengan TNI yang
mengurusi ancaman atas teritori. Polri memiliki kemampuan untuk dekat dengan akar
permasalahan masyarakat masa kini, antara lain masalah konflik horizontal maupun
konflik kelas vertikal.
Pemahaman mendasar dari keamanan manusia, menurut United Nation
Development Program (UNDP) berlandaskan pada dua jenis kebebasan setiap manusia
yang tertuang dalam “Four Freedom”. Dua dari empat kebebasan itu, yang
dikonseptualisasikan dalam keamanan manusia, adalah freedom from want dan freedom

from fear . Freedom from want menegaskan bahwa setiap manusia harus memiliki standar

hidup (ekonomi, kultural) yang layak yang berlaku universal. Sementara itu, freedom
from fear menekankan bahwa tidak boleh ada lagi ketakutan atas ancaman kekerasan

yang dapat menimpa manusia. Terorisme begitu erat terkait keduanya, karena aksi
kekerasan ini, di level lokal sedikit banyak adalah ekses dari berbagai masalah yang luas,
mulai dari standar hidup hingga ancaman konflik dan kekerasan.
Bila melihat dari perspektif negara, Newman juga menyebut pentingnya studi
kritis agar para pengambil kebijakan tidak terjebak dalam lingkaran problem-solving

yang salah. Untuk itu, kemudian Newman juga menyebut pentingnya hubungan sebab
akibat sebagai pisau analisis studi keamanan manusia, karena dengan ini akan jelas
mengapa

fenomena

ketidakamanan

dapat

terjadi

dan

bagaimana

fenomena

ketidakamanan tersebut dapat ditanggulangi. Dalam urusan terorisme misalnya,
pemerintah sebagai pengambil keputusan harus memahami relasi sebab akibat di seputar

kelompok teroris dan aksi teroris. Memahami hubungan kausalitas seperti ini akan
membantu dalam memprediksi aksi teroris hingga eradikasi menyeluruh.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban dan merupakan salah satu
ancaman serius terhadap keamanan dan keselamatan masyarakat. Terorisme juga
merupakan salah satu kejahatan Trans-Organized Crime (TOC) yang menimbulkan
bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat
sehingga perlu dilakukan pencegahan dan penanganan khusus serta berkesinambungan
sehingga hak asasi warga negara dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Makna terorisme
mengalami pergeseran dan perluasan paradigma yaitu sebagai suatu perbuatan yang
semula dikategorikan sebagai crime againt state, sekarang meliputi perbuatan-perbuatan
yang disebut sebagai crime againt humanity dimana yang menjadi korban adalah
masyarakat yang tidak berdosa, semuanya dilakukan dengan delik kekerasan (kekerasan
sebagai tujuan), kekerasan (violence) dan ancaman kekerasan (threat of violence). Tindak
pidana terorisme juga merupakan extraordinary crime, atau pelanggaran berat HAM
yang juga merupakan crime againts humanity dan genoside, sesuai dengan Statuta Roma,
karena sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan
melibatkan jaringan internasional.

Kemudian, setelah memahami latar belakang permasalahan yang ada, reaksi cepat
atas aksi teror kemudian ditanggapi dengan hukum tindak pidana kriminal. Indonesia

menjadi salah satu dari banyak negara yang menaruh yurisdiksi atas tindak kriminal
terorisme. Menurut Sri Yunanto (2017) yang mengutip Farouk Muhammad, terorisme
merupakan sebuah tindakan kriminal sebagai reaksi jahat atas apa yang dianggap lebih
jahat. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka ada logika dasar dari terorisme bahwa
motivasi tindakan pelaku adalah kebencian. Seorang teroris adalah pelaku hate crime
dalam kadar yang lebih tinggi, yang bertindak atas dasar persepsi kejahatan dari orang
lain. Di sini, dapat dipahami dengan sungguh bahwa seorang teroris memiliki alasan
kebencian akan kelompok tertentu, yang membuat mereka dapat bertindak di luar nalar
seperti melakukan aksi teror. Kebencian menjadi oli pelumas yang terus memuluskan
pikiran seorang teroris untuk dapat menyerang target yang telah dituju olehnya.
Sehingga, dari sini dapat dilihat pula pentingnya membedakan teroris dengan tindak
kriminal biasa lainnya. Bila tindak kriminal lain dengan bentuk teror dapat berakar pada
tujuan ekonomi, maka terorisme yang dimaksud di sini adalah terorisme dengan motivasi
kebencian yang mendalam, berakar dari kompleksitas masalah sosial-politik yang unik di
setiap kasus yang ditemukan.
Ini

yang

juga


disebut

oleh

Yunanto

sebagai

faktor

interactionism

(interaksionisme) di dalam pergulatan masalah terorisme. Sebuah aksi teror akan selalu
merupakan reaksi dari tindakan-tindakan lain yang dipersepsikan oleh teroris sebagai
tindakan jahat kepada mereka. Oleh karena merasa dirugikan dengan adanya tindak
kejahatan pada mereka, mereka kemudian mengambil jalan teror sebagai balas dendam
kepada pihak antagonis mereka. Terorisme tidak pernah dapat berdiri sendiri, melainkan
interaksionisme, karena kejahatan tersebut merupakan bentuk balas dendam atas apa
yang lebih jahat. Definisi lebih jahat ini sendiri memang merupakan persepsi subyektif,

dimana individu/kelompok merasakan adanya sikap kelompok lain ataupun penguasa
negara yang semena-mena, diskriminatif, dan secara umum jahat kepada mereka.
Kebencian itu pun dapat berubah-ubah seiring dengan waktu. Perubahannya
terjadi bergeser dari satu target ke target lainnya. Misalnya, ketika di tahun 2002 terjadi
Bom Bali di Paddy’s Club dan Sari Club, dapat dilihat bahwa musuh para teroris adalah

kelompok ‘kafir’ atau ‘musyrik’ yang dipersepsikan sebagai barat maupun kebudayaan
barat seperti bar tersebut. Sehingga, target serangan adalah pusat keramaian yang berisi
orang-orang dari kelompok yang dibenci oleh mereka. Kemudian, seiring dengan
berjalannya waktu, terjadi pergeseran persepsi terhadap siapa musuh teroris tersebut,
misalnya kelompok Islam yang tidak mendukung aksi mereka. Kepada kelompok seperti
ini, teroris biasanya menyebut mereka “munafikun” karena seiman dengan mereka
namun tidak mau mengikuti jalan “jihad” versi mereka.
Lebih jauh lagi, terdapat motivasi yang tidak hanya personal, namun juga
komunal di dalam terorisme. Kebencian dapat disebarkan oleh seorang tokoh kunci dari
sebuah organisasi teroris, misalnya ideolog, sebagai orang yang mampu melakukan
radikalisasi terhadap anggota atau prajurit kelompok teroris. Dengan apa seorang yang
kharismatik dapat memengaruhi sekelompok massa untuk melakukan teror? Yang
termudah, berbasis sejarah, adalah dengan agama. Tak ayal, aksi teror di seluruh dunia
banyak sekali yang menggunakan radikalisasi ajaran agama (dibandingkan masalah etnis

atau ideologi yang jumlahnya lebih kecil). Pembatasan kita versus mereka, misalnya
menggunakan label “kafir” atau “rezim thogut” adalah cara ampuh yang kini banyak
digunakan untuk mencuci otak seorang prajurit teroris.
Metode teror kemudian digunakan karena tidak adanya jalur yang sah
(terlegitimasi secara legal) untuk memberikan reaksi terhadap perbuatan lebih jahat ini.
Menurut Sri Yunanto yang mengutip Michel Wieviorka dan Spencer Metta, terorisme
adalah bentuk dari pilihan strategis suatu gerakan insurgensi yang lahir dari akar
permasalahan sosial, ekonomi, psikologis, dan politik tersebut. Menurutnya, terorisme
merupakan tantangan asimetri dan ireguler yang menjadi kebutuhan bagi mereka yang
melakukan pemberontakan terhadap demokrasi. dengan tujuan dan arah tertentu.
Keresahan untuk memahami maksud dan arah dari suatu rangkaian aksi terorisme
kemudian membuat Max Abrahms (2008) melakukan penelitian untuk melacak apa
tujuan strategis dari seorang/sekelompok teroris. Menurutnya, dalam memahami
terorisme, perlu digunakan strategic model atau model strategis untuk membaca atau
memetakan arah politis sebuah aksi terorisme. Asumsi awalnya, seorang teroris
merupakan aktor rasional yang menyerang masyarakat sipil demi insentif atau demi

tujuan politis yang jelas. Dengan demikian, Abrahms menggagas mitigasi terorisme
berupa pemangkasan insentif politis yang mungkin didapat oleh teroris, melalui
kebijakan yang ketat ataupun peredaan ekses terorisme, maupun dengan mitigasi jangka

panjang seperti peace-building untuk menyelesaikan masalah sampai ke akarnya.
Sebagai asumsi awalnya, Abrahms menyebut model strategis yang digunakan
seorang aktor terorisme yang rasional, pertama-tama berangkat dari model aktor rasional
dalam ilmu ekonomi klasik. Pertama, memiliki tujuan yang konsisten dan stabil. Kedua,
menimbang untung-rugi dengan opsi-opsi yang pasti dan terukur. Ketiga, memilih salah
satu dari opsi yang memiliki utilitas optimal. Ketiga tahapan rasionalitas dalam ilmu
ekonomi itu yang sedikit banyak melandasi awal pemikiran para pelaku teroris.
Pertama, asumsi bahwa teroris termotivasi dengan tujuan politik yang stabil dan
konsisten untuk melandasi setiap aksinya. Landasan politis yang pasti ini berupa adanya
platform ideologis yang menaungi mereka, melindungi aksi mereka, dan dengan
sendirinya menjustifikasi aksi terorisme di dalam pikiran mereka. Sebut saja misalnya
kelompok Red Army Faction, dulu dari Jerman Barat, yang terus menerus menggunakan
Marxisme sebagai landasan pikiran dan tindakan mereka. Pola pikir dan aksi yang sama
juga banyak digunakan oleh kelompok teroris-anarkis di Eropa dengan menggunakan
gagasan Marxisme. Bagi mereka, ajaran atau ideologi Marx adalah landasan semangat
yang konsisten dan stabil memotivasi mereka. Ketika realita tidak atau belum sejalan
dengan apa yang digagas Marxisme, maka terus menerus terorisme dijadikan jalan oleh
kelompok ini untuk mendorong keinginan mereka.
Kedua, asumsi bahwa terorisme kemudian dijalankan dengan satu perangkat aksiaksi yang terkalkulasi. Diturunkan dari motivasi yang stabil dan konsisten sebelumnya,
maka terorisme kemudian dijadikan sebuah rencana aksi yang runut dan teratur. Menurut

Abrahms, terorisme perlu disandingkan dengan opsi-opsi lain yang dapat digunakan
untuk mencapai tujuan politis. Misalnya, opsi demonstrasi, audiensi dengan pejabat
tinggi negara, penggalangan dana dan massa, pembentukan partai politik, kemudian
berkampanye dan meraih suara, atau metode-metode lainnya. Dari sekian banyak opsi
cara yang dapat digunakan, mengapa terorisme yang dipilih? Bukti-bukti yang tidak
menguatkan bahwa terorisme adalah jalan satu-satunya yang dapat digunakan oleh

kelompok teror aktif, dapat menjadi suatu alternatif pemecahan masalah, bahwa ada cara
lain yang jauh dari kekerasan, yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik.
Ketiga, asumsi bahwa konsekuensi logis dari terorisme telah diukur sebaik-baik
mungkin dan dipilih berdasarkan efektivitas politik yang tertinggi. Ketika seorang teroris
melakukan serangan kepada masyarakat sipil di tempat dan waktu tertentu, sudah barang
tentu ada preseden yang menyebabkan pilihan aksi teror dilakukan. Misalnya, ketika
banyak terjadi gelombang serangan-serangan terorisme di Eropa pada tahun 2015-2016,
dapat dianalisis bahwa itu merupakan reaksi atas meningkatnya campur tangan negara
Eropa dalam konflik di Suriah, maupun eskalasi konflik Israel-Palestina yang terjadi pada
jangka waktu berdekatan.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para
pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti
peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa

serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki
justifikasi, oleh karena itu para pelaku teroris layak mendapatkan pembalasan yang
kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan
"terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang
pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Adapun makna
sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang
penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang.
Teroris yang beroperasi di Eropa tersebut mengambil tempat publik yang dapat
menyerang banyak korban, karena hal tersebut akan menambah perhatian berupa media
coverage yang merupakan misi dari aksi teror. Atau, misalnya pada kasus pemenggalan

kepala dan pembakaran hidup-hidup tahanan ISIS yang direkam dan diunggah di
Youtube. Melalui ekspos yang besar di dunia digital ini, maka eksploitasi terhadap
ketakutan masyarakat dapat dilakukan secara maksimal. Ini yang disebut oleh AM Young
dalam Carla Heese (2008) dan Jenkins dalam Taryn Butler (2011) sebagai image of
terror atau citra teror, yakni penggunaan simbol-simbol politik sebagai ancaman yang

terus menerus kepada masyarakat, bahkan ketika aksi teror belum akan dilakukan di


depannya. Aksi-aksi teror yang pernah terjadi dan terekam sebelumnya akan menjadi
ketakutan yang tertanam terus di benak masyarakat.
Sebagai kontra-argumen dari asumsinya tentang model rasional ilmu ekonomi
tersebut, Abrahms kemudian memaparkan tujuh puzzle tendensi (the seven puzzling
tendencies) dari organisasi teroris. Ini adalah temuan orisinilnya yang kemungkinan akan

memperkaya pandangan mengenai apa yang sebenarnya diinginkan oleh kelompok
teroris, ketimbang hanya melihat mereka sebagai aktor ekonomi rasional. Dari tujuh,
terdapat lima yang setidaknya relevan dengan kondisi Indonesia, yakni:
1. Organisasi teroris tidak dapat mencapai tujuan yang mereka maksud dengan
melakukan serangan
Pertama , dari perspektif ini seringkali ditemukan bukti anomali bahwa organisasi

teroris yang konstan melakukan serangan-serangan secara terencana kepada masyarakat
sipil, justru tidak pernah mencapai tujuan akhir mereka. Ini sangat kontras, misalnya
dengan kelompok pemberontak ataupun gerilya yang secara terstruktur dan terorganisasi
dengan baik mampu berkampanye, menggalang massa, melakukan protes, hingga sukses
merebut tujuan yang serupa, yakni merombak pemerintahan. Misalnya, Revolusi Islam di
Iran, yang mengganti monarki absolut dengan pemerintahan Republik Islam. Alih-alih
melakukan protes dengan metode teror terhadap monarki Shah Pahlavi, kelompok
Ayatullah Khomeini justru melakukan protes dengan demonstrasi yang konsisten.
Perlahan-lahan, sejak 1977 sampai 1979, mereka sukses memperbesar jumlah suporter.
Contoh buruknya adalah Irish Republican Army (IRA) yang melakukan teror
terus menerus kepada masyarakat Inggris. Apa yang terjadi justru adalah eskalasi
persepsi negatif akan perjuangan masyarakat Irlandia Utara, dan akan begitu
menghambat proses non-kekerasan seperti referendum, yang diinginkan oleh mayoritas
orang. Atau, dalam kasus di era Orde Baru, ada Komando Jihad yang kerap melakukan
teror kepada masyarakat untuk mengancam pemerintah. Akan tetapi, penggulingan
pemerintahan malah efektif dilakukan oleh kalangan akademisi, cendekiawan Islam,
buruh, maupun pemuda, yang secara teratur dan konsisten mengawasi pemerintahan dan
menggunakan kesalahan fatal pemerintah untuk akhirnya menggulingkannya.
2. Organisasi teroris tidak pernah menggunakan teror sebagai jalan terakhir mereka
dan jarang memanfaatkan peluang untuk menjadi partai politik

Asumsi mendasar dari lahirnya organisasi teroris adalah bahwa tidak ada jalur
politik lain yang dapat digunakan untuk menyuarakan kepentingan mereka selain teror.
Akan tetapi, studi yang didapat Abrahms menyebutkan bahwa kelompok teroris
sebenarnya tidak pernah kehabisan alternatif lain untuk menyampaikan aspirasi
politiknya. Temuannya adalah bahwa semakin represif dan otoritarian suatu rezim,
terorisme akan semakin kecil timbul. Terorisme justru hadir dengan subur di rezim yang
terbuka, yang memperbolehkan kebebasan politik. Dengan demikian, perlu diperhatikan
tentang bagaimana sebisa mungkin mempromosikan saluran ekspresi politik alternatif,
yang dapat meredam motivasi kekerasan yang dapat dilakukan oleh kelompok teror.
Walaupun, misalnya jalan menuju partai politik terlalu jauh bagi organisasi teroris,
setidaknya eksistensi mereka sebagai kelompok penekan yang memiliki komunikasi yang
sehat dengan pemerintah harus terus didorong. Ada dua alasan kelompok teroris
mengalami kesulitan, pertama mereka memiliki nilai fundamental yang benar-benar tak
dapat dinegosiasi, membuat mereka menjadi oposisi biner terhadap pemerintah bahkan
negara. Kedua, mereka sudah kadung menjadi kelompok ekstrimis di mata masyarakat,
sehingga tidak mudah bagi mereka untuk bertransformasi menjadi entitas politik yang
moderat.
3. Organisasi teroris kerap menolak proposal kebijakan kompromi yang signifikan
dari pemerintah
Sudah seperti hukum alam, bahwa teroris tidak dapat bernegosiasi dengan
pemerintah sebagai otoritas tertinggi negara. Kelompok teroris memiliki tembok pemisah
yang kokoh dan harus terus menerus keras melawan negara dengan aksi-aksi terornya.
Hanya sedikit sekali, menurut Crenshaw (1985) kelompok teroris yang setelah melalui
proses damai (peace-process) yang berhasil kemudian mau menegosiasikan kebijakan.
Dalam sejarah, pun beberapa kali sudah ada upaya negosiasi dengan kelompok yang
dilabel teroris oleh negara. Misalnya, teroris liberal di Uni Soviet, yang terus menerus
melakukan serangan kepada rezim komunis. Usaha kompromi, termasuk dengan
negosiasi mereka untuk mendorong kemerdekaan sipil dalam konstitusi berujung gagal,
baik karena rezim yang kuat, maupun watak organisasi mereka yang ekstrim bila
negosiasi gagal. Di Pakistan, dengan kelompok Taliban Pakistan di daerah FATA pun,
pemerintah beberapa kali melakukan perundingan damai, misalnya dengan menawarkan

beberapa saja (tidak semua) permintaan mereka masuk ke dalam konstitusi. Akan tetapi,
setiap kali mengalami kegagalan, Taliban melanjutkan serangan teror ke masyarakat sipil.
Watak bahwa terorisme adalah cara politik dan bukan tujuan politik harus dipahami oleh
pengambil keputusan maupun aparat penegak hukum untuk menangani kelompok ini
dengan lebih efisien.
4. Organisasi teroris sering menggunakan platform berbeda-beda
Apabila menurut asumsi awal organisasi teroris menggunakan platform yang
sama berdasarkan tujuan yang stabil dan konsisten, maka temuan Abrahms tidak
mengatakan demikian. Banyak sekali kelompok teroris di negara-negara lain yang
berubah aliansi, berubah target serangan, hingga berubah aliran. Misalnya, kelompok
teroris Perancis Action Directe, yang berkali-kali mengubah musuh mereka, mulai dari
Israel, energi nuklir, sampai Gereja Katolik. Seiring dengan perubahan target, terdapat
pula perubahan aliansi mereka. Contoh lainnya adalah Al-Qaeda. Kelompok ini
berpindah aliansi dan berbalik menyerang aliansi lamanya, Amerika Serikat dan menjadi
teroris yang paling aktif melawan establishment Amerika Serikat di seluruh penjuru
dunia. Fakta bahwa pergeseran platform perjuangan terus menerus terjadi menunjukkan
adanya perubahan jenis ancaman yang harus terus diikuti dan dipahami oleh satuan
keamanan negara.
5. Organisasi teroris sering melakukan serangan anonym
Poin argumen Abrahms terakhir yang relevan dengan Indonesia, adalah bahwa
acap kali, serangan teror dilakukan oleh pelaku seorang diri, yang kemudian tidak
diklaim oleh organisasi teroris manapun. Pelakunya dibiarkan tanpa identitas, aksi
terornya dibiarkan tak diklaim kelompok manapun. Bahkan, dalam beberapa kasus
seperti Bom Panci atau Bom Buku, polisi lah yang harus bekerja melacak relasi kasus
dengan kelompok teroris tertentu. Fakta ini menjadi begitu anomi, karena seharusnya
kelompok-kelompok teroris saling berebut klaim atas suatu serangan, agar nama mereka
diliput di berita-berita nasional. Ada ketidakcocokan dengan asumsi bahwa teroris akan
secara konsisten menebar teror dengan memaksimalkan media coverage. Justru, di dalam
banyak kasus, kelompok teroris tidak mau berbicara dan benar-benar memberi jarak yang
tak terjangkau dengan pemerintah dan masyarakat secara umum.

Maka, dari adanya karakteristik puzzling yang melekat pada realita kelompok
teror, penyelenggara pertahanan negara, yakni kepolisian dapat memberi inisiatif
kebijakan yang lebih berbasis pada penguatan identitas negara sebagai kontra-narasi dari
ancaman terorisme. Konklusinya jelas, bahwa pengerdilan terhadap aksi terorisme adalah
upaya paling baik di antara yang terburuk untuk menyurutkan semangat para pejuang
teror. Menyatakan kepada mereka bahwa “aksi mereka hanya merusak tujuan politik
mereka, tanpa memengaruhi negara” adalah cara simbolik yang efektif melawan simbol
yang dikirim oleh kelompok teror. Kepolisian, dalam hal ini dapat turut menjadi alat
pemerintah untuk menyampaikan pesan ini melalui kekuatan unitnya. Akan tetapi,
terdapat permasalahan yang lebih mikro lagi, seperti relasi sosial di dalam komunitas
yang harus di-handle bersamaan dengan kontra-narasi dan kontra-simbol tersebut.
Organization for Security and Co-Operation in Europe (OSCE, 2014) kemudian
telah menawarkan perspektif yang lain guna mencegah terorisme terjadi sejak level
perencanaan di lingkungan terkecil masyarakat. Selalu ada dimensi lokal dari terorisme,
entah itu akar konflik lokal, penggunaan teritori tertentu oleh kelompok teroris, tempat
persembunyian pelaku dan senjata, hingga proses rekrutmen yang menggunakan ruang
sosial komunitas tertentu. Melalui pendekatan community policing yang diajukan di sini,
kepolisian akan berperan penting untuk mencegah terorisme.
Perlu dipahami bahwa community policing menekankan pada kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga kepolisian agar dapat terjadi sinergi publik-polisi yang
baik. Kepercayaan ini adalah modal dasar yang harus dimiliki. Polisi harus memahami
publik dan dipahami oleh publik, sehingga perlahan-lahan jembatan komunikasi dan
kerjasama sinergis dapat terbentuk. Nilai-nilai yang harus dibawa oleh kepolisian dalam
kebijakan ini adalah nilai-nilai yang mempromosikan keterbukaan/transparansi dengan
masyarakat. Perlu dipahami bahwa penghargaan terhadap hak privasi anggota masyarakat
tak dapat lagi menghambat proses pencegahan terorisme. Kontrol sosial yang bersifat
komunitarian perlu dilakukan terutama bila ada indikasi ancaman yang kuat.
Kemudian, setelah modal awal dan prinsip community policing dipahami,
kepolisian dapat menggunakan hak dan kemampuannya untuk menyadap maupun untuk
melakukan operasi intelijen. Strategi ini digunakan dalam rangka melakukan tindak
preemptif dan preventif terhadap ancaman terorisme. Diskresi dan sekresi menjadi kunci

dari operasi intelijen yang efektif. Serta, untuk tetap menjunjung nilai hak asasi manusia,
proses penangkapan hingga interogasi tidak boleh menggunakan metode kekerasan yang
di luar batas, terutama bila tidak ditemukan indikasi kuat adanya terorisme yang sudah
direncanakan.
Maka, terdapat simpulan-simpulan yang dapat diambil dari studi mengenai
landasan dan tujuan terorisme, yang kemudian dapat signifikan bagi strategi dan
kebijakan pencegahan terorisme. Pertama , adalah penting untuk memahami bahwa
teroris tidak akan pernah bisa bangkit menjadi kekuatan terorganisasi yang mampu
merombak pemerintahan. Aksi mereka yang sporadis, pergerakan mereka yang selalu
bawah tanah, operasi mereka yang sangat perlu kehati-hatian, akan membuat mereka
tetap menjadi organisasi kriminal. Fakta bahwa telah banyak digunakan ajaran ideologi
tertentu dalam organisasi teroris tidak sama sekali memperkuat posisi politik mereka di
hadapan pemerintah. Sehingga, bila kepolisian memiliki maksud dan tujuan untuk
melindungi kedaulatan negara dan pemerintah yang sah, pemberantasan terorisme bukan
arah yang tepat.
Pemberantasan terorisme jauh dari ‘sekedar’ melindungi kedaulatan negara dan
pemerintah yang sah. Pemberantasan, utamanya melalui pencegahan, hanya penting bagi
keselamatan masyarakat. Menurut penelitian Rand Corporation tahun 1980an, terorisme
telah secara tegas disebut “secara obyektif gagal mencapai tujuan fundamental mereka
dengan metode teror.” Begitu pula menurut Thomas Scheilling (1991) dimana
menurutnya teroris “tak pernah menjadi signifikan dalam perubahan politik.” Sekalipun
dilakukan dengan kalkulasi rasional, nyatanya tidak ada kemajuan berarti setiap kali aksi
terorisme dilancarkan. Sehingga, sekali lagi, penanganan masalah terorisme harus dilihat
dari perspektif human security saja, karena signifikansi terorisme bagi kedaulatan
konsistusi negara tidak pernah terbukti dalam sejarah.
Kedua , walaupun memiliki kekuatan legal untuk menindak aksi kriminal

terorisme, bentuk-bentuk pemikiran radikal tidak dapat ditindak dengan kerangka legalformal. Tidak ada yurisdiksi yang dapat digunakan untuk menyalahkan pikiran kriminal,
hanya tindakan kriminal yang dapat ditindak. Di sini, Polri tentu dihadapkan pada dilema
yang sulit: mendiamkan adanya pikiran radikal seperti itu, atau melihatnya sebagai
potensi ancaman terorisme, yang kemudian harus ditindak secara preemptif.

Sehingga, moda atau cara yang perlu dilakukan secara maksimal oleh kepolisian
adalah operasi rahasia, intersepsi komunikasi, pemutusan logistik, hingga pembongkaran
lokasi persembunyian, yang kesemuanya hanya bisa dilakukan bersamaan dengan
kebijakan community policing yang berjalan efektif. Polri harus memiliki kepercayaan
dari masyarakat, agar dapat efektif bersama masyarakat mengontrol lingkungan dari
adanya ancaman teroris, untuk kemudian dapat melakukan tindakan preemptif terhadap
indikasi ancaman. Proses ini harus berjalan kontinyu dan tanpa henti.
Ketiga , sebagai cara untuk menyelesaikan terorisme ke jantung permasalahannya,

Polri dapat menjadi ujung tombak pemerintah untuk mengatasi akar masalah timbulnya
terorisme, atau perlawanan radikal secara umum. Beberapa poin peran yang dapat


dibebankan kepada Polri antara lain:
Mengatasi citra sosial-ekonomi yang sedang berjalan negatif, seperti korupsi dan bad
governance, serta tingginya tingkat kesenjangan kaya-miskin, terutama di kalangan kaum



muda yang agresif dan ekspresif serta mudah terpapar radikalisme;
Memperkuat kelembagaan demokrasi dan supremasi hukum, termasuk demokratisasi
sebanyak mungkin kebijakan publik, menjembatani dialog pemerintah dan masyarakat,



dan memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental;
Memerangi intoleransi dan diskriminasi, serta saling mempromosikan penghormatan,
koeksistensi, dan hubungan harmonis antara etnis, agama, linguistik dan kelompok



lainnya;
Mencegah konflik kekerasan, serta mempromosikan kohesi dan penyelesaian damai atas
konflik horizontal maupun vertikal yang ada.
Dari gambaran ancaman yang sudah dipaparkan terlihat jelas bahwa lingkungan

ancaman yang rentan terhadap terorisme adalah lingkungan sosial terkecil. Layaknya pelayan
masyarakat yang lain, Polri dapat menjadi jembatan pemerintah dengan kelompok
masyarakat dalam strategi nasional pemerintah untuk mengentaskan jarak dengan kelompok
radikal seperti kelompok teroris. Promosi kebijakan pemerintah yang menyentuh langsung
kelompok ‘rawan’ radikalisasi merupakan salah satu peran Polri yang utama. Teroris adalah
kelompok radikal yang memusuhi siapapun di luar kelompoknya. Tak peduli dengan
kelompok teroris lainnya, mereka dapat pula berkonflik. Mereka juga seringkali tidak peduli

tentang siapa target yang mereka sasar, selama mereka melakukan aksi, misi mereka tercapai.
Pun demikian, penjelasan dibalik aksi sering kali irasional, Kausal politik yang ingin dicapai
tidak pernah jelas disebutkan, lebih-lebih dicapai. Karenanya, aparat kepolisian yang
seringkali mendapatkan ancaman teror belakangan ini, harus memahami masalah ini dengan
lebih komprehensif, serta tetap awas dalam proses bertugas/patroli sehari-hari.
Penanggulangan terorisme bukan merupakan medan perang, karenanya TNI tidak
dibutuhkan dalam konteks pencegahan terorisme. Penanggulangan terorisme adalah medan
resolusi konflik, proses perdamaian, jaringan komunikasi, sinergi dengan masyarakat, dan
pengawasan yang konsisten oleh aparat, yang tetap layak diemban oleh Polri.
DAFTAR REFERENSI
Abrahms, Max. What Terrorists Really Want?

Terrorist Motives and

Counterterrorism Strategy. (Stanford University, 2010),

Newman, Edward. Critical Human Security Studies. (Volume 36, Issue 1 January
2010 , hal. 77-94)
Organization for Security and Co-Operation in Europe. Preventing Terrorism and
Countering Violent Extremism and Radicalization that Lead to Terrorism: A CommunityPolicing Approach (2014)

Yunanto, Dr. Sri dkk. Ancaman dan Strategi Penanggulangan Terorisme di
Dunia dan Indonesia . (Institute for Peace and Security Studies, 2017)