warna wallpaper dinding ruang angaksa

Ruang Angkasa
Sejarah dan Prinsip-Prinsip Ruang
Angkasa

Ariadne A. S. Ginting
110110100147

Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran

Di awal perkembangan ruang angkasa, kemampuan melakukan kegiatan di luar angkasa dikuasai oleh
dua negar superpower, yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet (sekarang Russia). Kedua Negara
superpower ini merupakan Negara yang lahir sebagai pemimpin setelah berakhirnya perang dunia
kedua. Negara-negara superpower ini kemudian membuat suatu aliansi, dan melindungi Negara-negara
yang lemah yang terdapat di aliansinya. Dengan terbaginya dua kutub ini, maka kemudian terjadi
persaingan di berbagai bidang seperti pengaruh penyebaran ideologi, militer, serta teknologi.
Terkait dengan perlombaan di bidang teknologi, sejara dimulai di tahun 1952 pada saat The International
Council of Scientific Unions (ICSU) mencanangkan bahwa tanggal 1 Juli 1957 hingga 31 Desember 1958
sebagai International Geophysical Year (IGY) karena para peneliti mengetahui bahwa pada kurun waktu
itu perputaran tatasurya sedang berada pada titik tertinggi. Baru kemudian pada tahun 1954, untuk
menstimulus hal tersebut, ICSU mengadopsi suatu resolusi yang menghimbau Negara-negara untuk

meluncurkan satelit buatan ke luar angkasa selama masa IGY untuk memetakan permukaan bumi.
Resolusi yang dikeluarkan oleh ICSU tersebut akhirnya membuat kedua Negara superpower menjadi
tertantang. Pada bulan Juli di tahun 1955, Amerika Serikat membuat suatu rencana dan mengirimkan
suatu proposal kepada berbagai departemen riset Negara-negara untuk meluncurkan satelit yang akan
mengorbit, yang diberi nama Vanguard. Namun kemudian pada tanggal 4 Oktober 1957 secara
mengejutkan justru Uni Sovyet yang meluncurkan satelit Sputnik I yang merupakan satelit yang lebih baik
dibandingkan dengan satelit Vanguard yang hanya bisa membawa beban seberat 3,5 pound (1,5 kg).
kemampuan meluncurkan satelit ini pun kemudian ditafsirkan pula oleh public bahwa Uni Sovyet telah
mampu untuk membuat misil balistik antar benua yang mampu membawa senjata nuklir dari Eropa
menuju Amerika Serikat. Keberhasilan meluncurkan satelit Sputnik I ini membuat Uni Sovyet kembali
meluncurkan satelit Sputnik II pada 3 November di tahun yang sama. Namun kali ini dengan membawa
serta hewan percobaan, yaitu seekor anjing yang diberi nama Laika. Hal ini memacu Amerika Serikat
untuk mengkonkretkan program luar angkasanya dan akhirnya berhasil meluncurkan sateli Explorer 1
pada 31 Januari 1958.

Meningkatnya perlombaan dalam bidang teknologi peluncuran satelit ke ruang angkasa membuat public
khawatir akan kemungkinan terjadinya perang nuklir melalui meduium ruang angkasa. Oleh karena
itulah kemudian pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendirickan ad hoc Committee on
the Peaceful Uses of Outer Space yang didirikan melalui General Assembly (GA) resolution 1348 (XIII). Di
dalam pembukaan resolusi ini kemukakan salah satunya harapan adalah, “Wishing to avoid the extension

of present national rivalries into this new field”. Negara-negara melalui PBB menginginkan agar jangan
sampai persaingan yang terjadi sebelumnya di bidang militer, terjadi pula di bidang teknologi di ruang
angkasa. Untuk itulah kemudian komite sementara ini berfungsi untuk meredakan ketegangan dan juga
memastikan bahwa terjalinnya komunikasi atau kerjasama antar Negara khususnya dalam pemanfaatan
ruang angkasa untuk tujuan damai (the peaceful uses of outer space). Kemudian di tahun 1959, komite
ini mendapatkan tempatnya tersendiri dibawah PBB melalui GA resolution 1472 (XIV), yaitu dengan
didirikannya United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCUPUOS).
Pada tahun 1963, diadakanlah suatu pertemuan antara tiga Negara (Amerika Serikat, Uni Sovyet, dan
Inggris) untuk membahas pelarangan percobaan senjata nuklir di atmosfer, di ruang angkasa, ataupun di
dalam air sebagai tindak lanjut atas kekhawatiran public ini. Hasil dari pertemuan itu kemudian
dituangkan ke dalam suatu perjanjian yaitu Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in
Outer Space, and Under Water, atau yang lebih sering dikenal dengan Limited Test Ban Treaty 1963.
Perjanjian tersebut merupakan usaha Negara-negara yang dinaungi oleh PBB untuk menetapkan prinsip
bahwa kegiatan di luar angkasa semata-mata hanyalah untuk tujuan damai. Prinsip pemanfaat ruang
angkasa untuk tujuan damai ini kemudian juga diadopsi di dalam Treaty on Principles Governing the
Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, incuding the Moon and Other Celestial
Bodies, 1967 atau yang sering disingkat dengan Outer Space Treaty 1967. Prinsip ini sebelumnya juga
dikemukakan dalam deklarasi di tahun 1963 melalui Declaration of Legal Principles Governing th
Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space (resolution 1962 (XVIII)). Dengan demikian
Negara-negara pada awal perkembangan kegiatan manusia di luar angkasa telah menyepakati bahwa

kegiatan manusia di ruang angkasa hanyalah untuk tujuan damai.

Prinsip-Prinsip Space Treaty 1967

a) Eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa, bulan dan benda-benda ruang angkasa lainnya bagi
semua Negara untuk tujuan damai dan kerjasama internasional Prinsip ini tercantum didalam pasal 1
dan 2 Space Treaty 1967. untuk merealisasikan kebebasan melakukan eksploitasi dan eksplorasi ruang
angkasa tidak boleh dijadikan sebagai objek kepemilikan yaitu dengan melakukan suatu klaim kedaulatan
oleh suatu Negara ( artikel 2 Space Treaty 1967 ).
b) Pelaksanaan Eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa harus sesuai dengan hukum internasional
dan piagam PBB ( artikel 3 Space Treaty 1967).
c) Larangan penempatan senjata – senjata di ruang angkasa. Sebagaimana diketahui bahwa
pemanfaatan ruang angkasa dan benda – benda langit lain jika mempunyai maksud dan tujuan damai
( artikel 4 Space Treaty 1967).
d) Pemberian Bantuan kepada astronot dan pemberitahuan mengenai adanya gejala – gejala yang
membahayakan di ruang angkasa. Prinsip ini adalah prinsip yang mengahagrai kemanusiaan ( artikel 5
Space Treaty 1967 ).
e) Tanggungjawab internasional harus dilakukan oleh Negara yang melaksanakan kegiatan di ruang
angkasa sebagaimana diketahui bahwa kegiatan ruang angkasa itu dapat dilakukan oleh pihak
pemerintah suatu Negara dan oleh pihak swasta atau non pemerintah. Kegiatan yang dilakukan oleh non

pemerintah harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah yang bersangkutan
sedangkan bagi organisasi internasional oleh organisasi itu sendiri dan pemerintah – pemerintah yang
menjadi anggotanya ( artikel 6 Space Treaty 1967).
f) Ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan ruang angkasa. Tercantum dalam artikel 7
Space Treaty 1967 sedangkan mengenai mereka yang berhak atas tuntutan ganti rugi tersebut adalah
Negara ke tiga yang secara langsung menderita kerugian.
g) Jurisdiksi atas person dan objek yang diluncurkn. Prinsip ini menetapkan bahwa manusia, objek,
ruang angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa merupakan yurisdiksi Negara peluncur tersebut, jika
manusia atau objek ruang angkasa yang diluncurkan itu jatuh harus mengembalikan Negara pemiliknya (
artikel 9 Space Treaty 1967).
h) Prinsip pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang angkasa dan benda-benda
ruang angkasa. Ini diperlukan agar tetap terjaga kelestarian lingkungan ( pasal IX Space Treaty)
i) Prinsip tentang keharusan untuk memberitahukan kepada sekjen PBB dan masyarakat internasional
mengenai meksud dan tujuan serta hasil dari kegiatan di ruang angkasa. Prinsip ini memungkinkan
terjadinya kerjasama internasional dalam rangka pemanfaatan sumber daya ruang angkasa ( artikel 11
Space treaty 1967).

j) Prinsip penggunaan system ruang angkasa secara bersama. Bahwa semua stasiun, instalasi dan
peralatan dan wahana ruang angkasa suatu Negara itu harus dapat pula dipergunakan oleh negaralain,
dan harus berpegangan pada prinsip atau asas timbal balik ( reciprocity) dengan catatan harus ada

pemberitahuan lebih dahulu dengan maksud agar tidak mengganggu jalannya program Negara pemilik
stasiun atau wahana antariksa tersebut ( artikel 12 Space Treaty).