Peran center for dialogue and cooperation among civilisation dalam rangka pengiuatan ruang publik yang bebas

(1)

PERANCENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILISATIONS (CDCC) DALAM RANGKA PENGUATAN RUANG

PUBLIK YANG BEBAS

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh : Amir Fiqi NIM: 105032201061

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H / 2011


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Amir Fiqi, Peran Center for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang Bebas, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011. Pasca keruntuhan Orde Baru yang otoriter dan terbentuknya era baru, yaitu era roformasi, ruang publik yang bebas terbuka bagi masyarakat dengan memberikan tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka dengan wujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan kebebasan berkumpul untuk berdiskusi dan berdialog.

Pada skripsi ini penulis berusaha menjelaskan bagaimana peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas khususnya dalam segmen dialog. Pada skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dengan mengamati data-data yang diperoleh di lapangan. Pada skripsi ini, penulis menggunakan observasi partisipasi, wawancara dan dokumen sebagai teknik mengumpulkan data.

Peran yang dilakukan oleh CDCC adalah memfasilitasi ruang publik yang bebas dan independent kepada warga yang berbeda latar belakang agama atau budaya untuk berbicara, berdiskusi dan berdialog untuk membincangkan masalah-masalah agama bahkan masalah-masalah negara guna melakukan kritik dan kontrol terhadap pemerintah guna terbentuk good governancd.

Dalam melakukan dialog CDCC mengambil segmen masyarakat elit seperti tokoh-tokoh agama, kalangan pemerintahan, aktivis dan budayawan, bukan masyarakat akar rumput. Meskipun mengambil segmen elit akan tetapi mereka tidak bersikap elitis karena pertemuan-pertemuan (dialog) yang diadakan CDCC selalu mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat bawah yang selalu tersisihkan dengan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. CDCC juga konsen dalam dialog-dialog yang berkenaan dengan agama dan keyakinan dengan selalu melakukan pertemuan-pertemuan antar pemeluk agama yang berbeda guna terwujud masyarakat yang pluralis dan toleran.

Sebagai bentuk dari implementasi peran CDCC dalam upaya pembentukan ruang publik yang bebas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka CDCC melakukan dialog atau diskusi. Bentuk dari dialog atau diskusi yang dilakukan CDCC adalah dialog antar umat beragama, dialog tentang politik, dialog budaya dan dialog berkaitan tentang ekonomi.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur terhatur ke hadirat Dzat Yang Maha Ghofur, atas karunia, rahmat, hidayah dan inayah-Nya, diri ini masih sempat menghirup udara segar dan menatap juntai panorama yang indah. Atas kebesaran-Nya diri ini masih tabah menghadang pongahnya kehidupan yang bertabur debu problematika. Atas bimbingan-Nya, terbatik rasa sadar bahwa hidup ini adalah sebuah ujian bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Syahdan, atas pertolongan-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan.

Salawat dan salam teriring mahabbah terindah semoga tercurahkan keharibaan Nabi Agung Muhammad SAW, suri tauladan sepanjang hayat. Semoga kita semua di padang mahsyar nanti termasuk ke dalam barisan yang berada di balik liwaul hamdani, di bawah naungan syafa’ah uzma-Nya, sebagai hamba-hamba yang diberi inayah untuk mengikuti segenap petunjuk risalah-Nya.

Penulis sadar bahwa sepenuhnya diri ini berhutang budi kepada banyak pihak yang telah memberikan dukungan, motifasi, bimbingan dan arahan untuk terselesaikannya skripsi ini. Lebih dari itu, skripsi merupakan seteguk air segar dalam kemarau studi yang penulis tempuh selama ini.

Sembah bakti, penulis haturkan kepada Ayah (Kasduri) dan Ibu (Suritah) yang telah membesarkan dan membimbing penulis hingga sampai sekarang. Mohon maaf jika anak Ayah dan Ibu belum bisa menjadi apa yang engkau harapkan. Terimakasih Ayah, karena engkau penulis menjadi anak yang bertanggung jawab dalam menghadapi masalah dalam hidup ini. Terima kasih Ibu, kasih sayang Ibu tak pernah lekang oleh waktu telah membuat anakmu mampu bertahan di bawah


(7)

terik mentari kehidupan dengan do’a-do’a yang selalu ibu panjatkan kepada Allah SWT di sela-sela sholat mu.

Tak lupa, penulis juga menyampingkan terima kasih tak terhingga kepada orang-orang yang telah menanamkan jasa dalam diri penulis antara lain:

1. Prof. Dr. Baktiar Efendi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2. Bapak Ahmad Abrori, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah sabar

membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Keluarga besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik beserta segenap dosen, karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam rentang waktu selama di kampus tercinta ini. 4. Terima kasih kepada kakak ku, mba Nur Hidayati yang selalu memberikan

bantuan baik moril dan finansial selama adikmu kuliah, semoga Allah membalas kebaikan mba, adikmu janji tidak akan mengecewakan mu. Terima kasih juga untuk mas Guntur, mas Rohidin, mba eti, mba Eli, mas Firman, dan mba Fatimah, mas Wahyu (kakak ipar) dan adik ku Rifa, kau lah adalah permata hati ku yang paling berharga dalam hidup ini.

5. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat: terima kasih IMM, engkaulah adalah kampus kedua bagiku. Kerenamu, diri ini mengerti arti penting dari organisasi. Terima kasih juga untuk teman sejatiku Jajang dan Toto yang selalu menemananiku di kala susah dan senang, walaupun kadang sengit kepada tingkah-tingkahmu, tapi rasa sengit itu terkalahkan dengan rasa sayang sebagai sahabat. Terima kasih kepada teman seperjuanganku, Indra, Rizal, Ipin, Tarsih, Ayu, Sita, dan Ningsih yang selalu


(8)

setia berjuang mengembangkan IMM dan teman-teman yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

6. Adik-adikku yang sedang berjuang: Fahmi, Mayang, Amel, Farah, Rina, Dimas, Beni dan seluruh Pengurus angkatan Fahmi. Jaga komitmen dan kesolidan untuk kejayaan IMM.

7. Teman-teman mahasiswa Sosiologi Agama angkatan 2005: Jajang, Ade, Alfan, Ariel, Rosidi, Oji, Wahyu, Iwes, Harum, Zakiyah, Sri, Nuri, Uli, Nursakinah, dan teman-teman yang lain yang tak tercantum. Penulis bangga dengan teman-teman, tetap jaga persahabatan kita.

8. Terimakasih yang tak terlupakan kepada Wahyu Ardila (Ia) yang selalu membantu penulis dalam mencari buku dan selalu memberi motivasi dan mengingatkan penulis agar cepat-cepat lulus kuliah. Dorongan dari mulah penulis selalu semangat ketika diri ini lemah.

Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis memohon, semoga amal shalih yang telah dilakukan senantiasa memperoleh inayah dan ridha dari Allah SWT, Amien.


(9)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Abstrak

Kata Pengantar Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

A. ... Latar Belakang Masalah ... 1 B. ... Pemb

atasan dan Perumusan Masalah ... 4 C. ... Tujua

n dan Manfaat Penelitian ... 5 D. ... Meto

dologi Penelitian ... 5 E. ... Liter

atur Review ... 8 F. ... Siste

matika Penulisan ... 9

Bab II Kajian Teori

A. Peran

1. ... Defin isi Peran ... 12


(10)

2. ... Tinja uan Sosiologis Tentang Peran ... 13 B. ... Ruan

g Publik dan Civil Society ... 16 C. ... Dialo

g Antar Umat Beragama

1. ... Defin isi Dialog ... 27 2. ... Urge

nsi Dialog Antar Agama ... 30 3. ... Bent

uk-Bentuk Dialog ... 31

Bab III Gambaran Umum Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC)

A. Profile CDCC

1. ... Latar Belakang CDCC ... 35 2. ... Misi

CDCC ... 36 3. ... Visi


(11)

4. ... Progr am CDCC ... 37 5. ...

Nilai-Nilai Perjuangan CDCC ... 40 6. ... Struk

tur Organisasi ... 42

Bab IV Peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik.

A. ... Latar

Belakang CDCC Membangun Dialog ... 45 B. ... Imple

mentasi Dialog CDCC Dalam Penguatan Ruang Publik ... 54 1. ... Mem

bangun Dialog Antar Umat Beragama ... 57 2. ... Mem

bangun Dialog Politik ... 67 3. ... Mem

bangun Dialog Budaya ... 74 4. ... Mem

bangun Dialog Ekonomi ... 81

Bab V Penutup

A. ... Kesi mpulan ... 92


(12)

B. ... Saran 93

Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Muhammad AS. Hikam, konsep Civil Society merupakan wawasan yang berasal dari Eropa Barat. Menurutnya, pengertian Civil Society (dengan memegang konsep de’ Tocquiville) adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self supporting) dan kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya1.

Sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material dan tidak terserap dalam jaring-jaring kelembagaan politik resmi. Oleh dari itu maka di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa

1

Muhammad AS. Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia: Mencari Konsep, Keberadaan dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia (Jakarta: LP3ES,1998), h.5-8


(13)

dilakukan oleh warga masyarakat.2 Dalam penegakan civil society pada suatu bangsa maka diperlukan pilar-pilar penegak untuk mewujudkan nya. Pilar penegak tersebut adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritiki kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan Civil Society, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.3

Pada pembahasan ini kami hanya menekankan pada salah satu dari lima pilar penegak tersebut, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorang ataupun kelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintahan (bahasa Inggris: Non Governmental Organization; NGO).4

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam sebuah komunitas negara mempunyai fungsi mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan negara (Policy of State) yang cenderung memposisikan warganya sebagai subjek yang lemah. Untuk itu, maka diperlukannya penguatan masyarakat sebagai prasyarat untuk mencapai kekuatan bargaining

2 Dede Rosyada, dkk,

Pendidikan Kewarganegaraan (civic education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat (Jakarta: Kencana,2003), h. 141

3

Dede Rosyada , dkk. h. 250-252

4

Herdi SRS, LSM Demokrasi dan Keadilan Sosial: Catatan Kecil Dari Arena Masyarakat Dan Negara ( Jakarta:LP3ES dan YAPPIKA, 1999).


(14)

masyarakat yang cerdas di hadapan negara tersebut. Oleh karena itu dengan adanya komponen yang penting berupa adanya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mampu berdiri secara mandiri di hadapan negara, terdapat ruang publik dalam mengemukakan pendapat, menguatkan posisi kelas menengah dalam komunitas masyarakat.

Pada skripsi kali ini, penulis akan membahas sebuah tema, yaitu Peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang Bebas.

Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) adalah sebuah LSM yang didirikan pada bulan Juni tahun 2007 oleh para sarjana dan aktivis dari berbagai lembaga baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan pemerintah. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) bertujuan untuk memajukan pemahaman yang lebih baik dan hubungan perdamaian antara agama, budaya, bangsa dan peradaban yang luas. Centre for dialogue and cooperation among Civilisations (CDCC) dalam melihat perbedaan peradaban merupakan suatu ancaman dan pertentangan, oleh karena itu CDCC berupaya menyatukan pandangan yang berbeda itu menjadi sebuah kesempatan, kesempurnaan dan penyatuan komponen untuk tumbuh, sehingga tercapainya perdamaian dunia.

Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) menyediakan tempat yang lebih untuk berdialog antara elite dan forum publik yang mendiskusikan isu yang berkaitan antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Centre for Dialogue and


(15)

Cooperation among Civilisations (CDCC) juga menjembatani konflik yang ada seperti mencegah beberapa kemungkinan konflik dengan mempertemukan dan memfasilitasi ruang untuk melakukan dialog dan diskusi berkenaan dengan masalah yang sedang dihadapi.

Sebagaimana disebutkan dalam profile CDCC, maka CDCC sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempunyai perhatian dalam upaya memberikan ruang publik yang bebas untuk melakukan dialog dan diskusi yang berkenaan dengan masalah-masalah yang relevan untuk segera ditangani. Walaupun CDCC dalam pembentukan ruang publik yang bebas menurut pandangan penulis lebih bersifat elitis akan tetapi mempunyai peran, khususnya terhadap para tokoh agama, aktivitis dan akademisi yang aktif dalam diskusi dan dialog.

Sesuai dengan tujuannya, yaitu berusaha mengupayakan terwujudnya perdamaian dunia dengan menghilangkan sekat-sekat yaitu berupa agama, kebudayaan dan peradaban, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) juga mengupayakan terciptanya masyarakat yang toleran dan demokratis melalui segmen dialog dan kerjasama dengan membuka ruang publik yang seluas-luasnya bagi warga yang ingin melakukan dialog dan berdiskusi untuk membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi untuk segera ditangani.


(16)

Dari penjelasan latar belakang masalah di atas maka penulis ingin mengetahui bagaimana peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas. Agar pembahasan skripsi ini tidak terlalu melebar, maka dalam skripsi ini penulis menekankan dalam sebuah pembatasan dan perumusan masalah yaitu,

1. Bagaimana peran CDCC dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas terhadap masyarakat dengan mengedepankan sikap toleran dalam kehidupan beragama melalui segmen dialog dan kerjasama.

2. Sejauh mana peran CDCC dalam melakukan kritik terhadap pemerintah.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan bagaimana peran yang dilakukan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas terhadaap warga masyarakat guna terbentuknya masyarakat yang toleran dan pluralis serta kritis terhadap pemerintah yang sesuai dengan karakteristik dari civil society.


(17)

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi para akademisi, dapat memberikan sumbangan teoritis untuk menambah literatur atau bahan, referensi pada studi tentang LSM

2. Bagi para aktivis, khususnya aktivis LSM sebagai masukan atau saran dalam mengembangkan program-program kegiatan dalam penguatan ruang publik yang bebas.

D. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.5 Untuk mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan, maka penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan melalui proses penelitian lapangan. Pada pendekatan ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Dengan metode ini penulis akan mengemukakan dan menggambarkan bagaimana peran Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas, yaitu dengan menjelaskan bagaimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CDCC dan cara-cara yang dilakukan CDCC dalam upaya menciptakan masyarakat yang toleran, pluralis dan kritis terhadap pemerintah.

5 Bungin, B,


(18)

2. Unit Analisis.

Pada penelitian kali ini sebagai subjek dalam penelitian adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) sebagai lembaga yang selulu memfasilitasi ruang untuk berdialog dan berdiskusi guna terbentuknya ruang publik yang bebas.

3. Teknik Pengumpulan Data. A. Observasi Partisipasi.

Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan di mana observer atau peneliti terlibat dalam subjek yang akan diteliti.6 Pada penilitian ini, penulis melakukan pendekatan observasi partisipasi dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh CDCC yaitu berupa kegiatan dialog dan diskusi yang diadakan oleh CDCC.

B. Interview

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dengan teknik wawancara. Menurut Imam Suprayogo dan Tabroni wawancara merupakan metode penggalian data yang paling banyak digunakan, baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah, terutama untuk penelitian

6

Bungin, B, Analisis Data Penelitian Kualitatif ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2003 ) h. 115


(19)

yang bersifat kualitatif.7 Pada penelitian kali ini, penulis akan mewawancari pengurus dari CDCC dan lembaga-lembaga lain yang aktif dalam dialog dan diskusi yang diselenggarakan oleh CDCC. C. Dokumentasi :

Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, foto, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan dokumentasi guna untuk keberhasilan dan kevalidan data yang penulis gunakan, yakni dengan menggunakan catatan-catatan yang telah ada dan mencari artikel-artikel yang bisa membantu dalam penelitian kali ini.

4. Analisis Data

Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data. Analisis data adalah adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena memilki nilai sosial, akademis dan ilmiah.8

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan analisa kualitatif dengan data-data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi secara mendalam untuk mendapatkan data yang diharapkan dalam penelitian ini. Wawancara yang peneliti lakukan, berdasarkan hal-hal yang kami inginkan dan bersifat tidak terstuktur. Pengamatan yang

7

Suprayogo, Imam dan Tobrani, Metodologi Penelitian Sosial-Agama,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2003)

8 Suprayogo dan Tohorani,


(20)

peneliti lakukan adalah hanya mencari data yang berkaitan tentang peran yang dilakukan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas dan program kerja apa yang dilakukan untuk mencapai semua itu baik di Indonesia mauapun di luar negeri. Setelah data-data yang telah kami kumpulkan kemudian kami olah dalam narasi, kemudian kami analisis dan disajikan secara deskriptif.

Sedangkan data-data dari buku, jurnal, artikel, makalah, dan karya-karya ilmiah lainnya adalah data-data sekunder yang penulis gunakan untuk mendukung dan melengkapi data-data primer. Dalam penelitian yang penulis lakukan adalah análisis data dimulai dari penetapan masalah, pengumpulan data, penyajian data sampai kepada penarikan kesimpulan.

E. Literatur Review

Sepanjang penelusuran penulis, sudah ada skripsi yang membahas tentang CDCC akan tetapi tidak terkait tentang penguatan ruang publik yang bebas. Pada skripsi yang ditulis oleh Fauzia Ningtyas, mahasiswi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan judul Skripsi “Perspektif Komunikasi Antar Budaya Untuk Perdamaian Kasus The 2nd World Peace Forum CDCC” hanya membahas tujuan CDCC yang


(21)

mengusung nilai-nilai perdamaian dan berusaha melawan berbagai tindak kekerasan yang terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain.

Skripsi yang ditulis oleh Fauzia Ningtyas lebih membahas tentang peran CDCC sebagai penyelanggara Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum) yang membahas tentang tindak kekerasan dan konflik yang terjadi di berbagai negara, pada forum itu menyimpulkan bahwa kekerasan dan konflik itu terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor melainkan oleh beberapa faktor berbeda yang saling mendukung, seperti faktor agama, politik, bangsa, budaya dan bahkan faktor ideologi pribadi.

Pada penulisan skripsi kali ini, penulis akan membahas tentang hal yang berbeda. Pada penulisan skripsi ini, Penulis akan memposisikan tentang peran CDCC sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas bagi masyarakat melalui segmen dialog dan kerjasama demi terciptanya masyarakat yang toleran dan kritis terhadap pemerintah.

F. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini akan dituangkan dalam bentuk karya tulis skripsi dengan sistematika penulisan seperti dibawah ini :

1. Bab I : Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjelaskan hal- hal seputar

latar belakang yang menerangkan alasan utama kami mengangkat tema ini. Pembatasan dan rumusan masalah ini berfungsi agar penelitian kami tidak


(22)

terlalu melebar dalam penulisan dan dapat menangkap isu dengan jelas sehingga tidak menimbulkan pertanyaan pertanyaan yang keluar dari konteks yang sedang kami bahas. Tujuan dan manfaat penelitian menjelaskan tentang apa tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini. Metodelogi penelitian menjelaskan tentang bagaimana cara penulis mengumpulkan data-data yang untuk memperoleh data yang valid. Diskripsi konsep menjelaskan tentang sekilar teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Pada bab I penulis juga mencantumkan Review studi terdahu guna menentukan posisi penulis dalam penelitian ini. Dan sistematika penulisan menjelaskan bagaimana penulis menjelaskan bagaimana skripsi ini ditulis dari Bab I sampai Bab V

2. Bab II : Kajian Teori. Pada Bab ini penulis membahas tentang definis peran, dan definisi civil society. Pada ini penulis juga menjelas tentang ruang publik menurut habermas dan menjelaskan tentang dialog antar umat beragama. Pada Bab II penulis gunakan sebagai pisau analis penulis pada Bab IV.

3. Bab III : Gambaran Umum CDCC ( Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations ). Pada pembahasan bab ini kami membahas tentang latar belakang berdirinya CDCC, tujuan dan struktur CDCC, dan Visi dan misi dari CDCC dalam rangka penguatan ruang publik yang bebas.

4. Bab IV: Bab IV ini penulis membahas tentang peran CDCC dalam rangka penguatan ruang publik. Pada bab ini penulis akan menuangkan data-data yang diperoleh dari penelitian menggunakan diskripsi data dengan


(23)

menjelaskan program- program kerja yang dilakukan oleh CDCC dalam penguatan ruang publik.

5. Bab V : Penutup. Pada pembahasan bab ini kami akan menjelaskan hasil dari penelitian yang kami lakukan, berupa kesimpulan. Pada bab ini kami akan menuangkan berupa saran- saran yang mungkin harus kami sampaikan dalam penelitian ini.

6. Terakhir kami mencantumkan daftar pustaka sebagai bahan acuan selama kami menyusun skripsi ini, serta lampiran-lampiran berupa pertanyaan-pertanyaan yang kami berikan kepada responden untuk memperoleh kevalidan data.


(24)

BAB II KAJIAN TEORI A. Peran

1. Definisi Peran

Dalam kamus Bahasa Indonesia, peran diartikan beberapa tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan di masyarakat dan harus dilaksanakan.9 Sedangkan menurut Gross, Mason dan A.W.MC, sebagaimana yang dikutip oleh David Barry mendefinisikan peran sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.10

Sebagaimana yang telah diterangkan dalam definisi peran diatas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa definisi peran adalah sesuatu yang lahir dari interaksi dalam masyarakat, melalui partisipasi dalam memainkan peran tertentu yang pada akhirnya ada proses penempatan status peranan seseorang dalam keluarga, masyarakat dan sebagainya.

Seseorang dapat dikatakan berperan atau memiliki peran karena seseorang tersebut mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan ini berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain, akan tetapi masing-masing diri memiliki peran yang sesuai dengan statusnya. Tentunya peran tersebut tidak dapat

9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 667

10

N. Gross W.S. Mason and A.W. Mc Eachern, Exploritations Role Analysis,

dalam David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-3, h. 99


(25)

dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan antara satu sama lainnya. Karena yang satu dengan yang lainnya sangat bergantung, maka peran diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak mungkin bisa dipisahkan.

Dalam hal ini, Sarlito Wirawan Sarwono juga memberikan pengertian bahwa harapan tentang peran itu adalah harapan-harapan lain yang pada umumnya mengartikulasikan tentang prilaku-prilaku yang pantas, dan seyogyanya ditentukan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.11

2. Tinjauan Sosiologis Tentang Peran

Manusia adalah makluk sosial yang tidak bisa dilepaskan dari sikap ketergantungan pada manusia lain. oleh kerena itu pada posisi semacam ini peran sangat menentukan kelompok sosial masyarakat tersebut, dalam artian diharapkan masing-masing dari sosial masyarakat yang berkaitan agar menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan masyarakat dan lingkungan di mana mereka tinggal.

Gross, Mason, dan Mc Eachern mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.12 Dengan kata lain peranan-peranan tersebut ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat yang mempunyai makna setiap individu dalam setiap pekerjaannya diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat, keluarga dan pada peranan-peranan yang lain.

11

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (CV. Rajawali: Jakarta,1984), Cet. Ke-1, h.235

12 David Berry,


(26)

Di dalam peran terdapat dua macam harapan, yaitu:13

1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran.

2. Harapan-harapan yang dimilki oleh si pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.

Sebagaimana penjelasan di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud peran merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan yang dilakukan seseorang kerena kedudukannya dalam status tertentu pada lingkungan di mana dia berada. Dan setiap yang mempunyai peran itu biasanya bisa menyesuaikan dengan peranan tersebut. Misalnya, seseorang ketika berada di rumah ia mempunyai peran sebagai sebagai kepala rumah tangga, namun ketika di kantor ia berperan sebagai karyawan dan sebagainya. Peran seperti ini sangat kompleks tergantung pada mobilitas sosialnya.

Peran mencakup tiga hal, yaitu:14

1. Peran yang meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Peran merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

13

Ibid., h. 101

14

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.244


(27)

3. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Perlu disinggung mengenai fasilitas-fasilitas bagi peran individu. Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada invidu untuk dapat menjalankan peran. Lembaga-lembaga kemasyarakatan atau organisasi merupakan bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk pelaksanaan peran. Kadang-kadang perubahan struktur suatu golongan kemasyarakatan menyebabkan fasilitas-fasilitas bertambah.

Bertolak dari sudut-sudut pandang di atas, peran sosial dapat didefinisikan sebagai bagian dari fungsi sosial masyarakat yang dilaksanakan oleh orang atau kelompok tertentu, menurut pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang telah ditentukan.

Dari ganbaran di atas tentang peran, dapat disimpulkan beberapa aspek yaitu:15

1. Peran sosial adalah bagian dari keseluruhan fungsi masyarakat. Fungsi pada umumnya adalah suatu pengertian yang menunjukan pengaruh khas dari satu bagian terhadap keseluruhan. Masyarakat sebagai keseluruhan kesatuan hidup bersama mengemban tugas umu, ialah mencakupi kepentingan umum yang berupa kesejahteraan spiritual dan material, tata ketentraman dan keamanan.

2. Peran sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan. Jika peran sosial ditinjau dari sudut lain yakni bagaimana pelaksanaannya,

15 Hendropuspito,


(28)

peran sosial adalah seperangkat pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang harus diikuti oleh individu yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana seseorang pengurus lembaga sosial yang fokus terhadap permasalahan anak jalanan dengan mampu memahami karakter anak-anak jalanan, bagaimana harus bersikap terhadap mereka.

3. Peran sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu, misalnya sebuah LSM atau Yayasan.

4. Pelaku peran sosial mendapatkan tempat tertentu dalam tangga masyarakat. Seperti halnya dengan suatu pementasan sebuah drama, pelaku-pelaku yang menjalankan peran sosial diberi tempat dalam tangga masyarakat.

5. Dalam peran sosial terkandung harapan-harapan yang khas dari masyarakat. Setiap peranan sosial adalah sejumlah harapan yang hendak diwujudkan, juga harapan dari orang banyak yang realisasinya diserahkan kepada seorang atau beberapa pelaku. Isi harapan dari masyarakat adalah supaya peran (tugas) sosial tersebut dilakukan menurut norma dan peraturan yang telah ditentukan.

6. Dalam peran sosial ada gaya khaas tertentu. Setiap peran yang dipegang oleh individu atau kelompok memiliki harapan yang berbeda sesuai dengan konsennya. Misalnya lembaga yang menangani masalah kerukunan antar umat beragama, maka penjiwaannya harus seperti karakterisik orang-orang yang menghargai toleransi dan pluralitas.


(29)

CDCC merupakan bagian dari civil society yang mempunyai peran dalam penguatan ruang publik yang bebas. Oleh kerena itu pada kajian teori ini penulis ingin membahas tentang Ruang Publik dan civil society guna membantu dalam penulisan skripsi ini.

Menurut penulis untuk mewujudkan ruang publik yang bebas maka harus terbentuknya dulu civil society. Dalam pengembangan konsep civil society dalam sebuah bangsa akan sangat terkait dengan prakondisi-prakondisi atau modalitas domestik yang bangsa itu miliki. Sejarah membuktikan, bangsa-bangsa di dunia yang memiliki tradisi civil society bagus selalu didahului oleh pengalaman sejarah yang panjang dalam mendefinisikan civil society sesuai dengan konteks ruang dan waktu masing-masing. Artinya, pengembangan tradisi kehidupan civil society tidak mungkin dilakukan ditengah-tengah ruang historis yang kosong. Pengaplikasian civil society pada hari ini akan terkait dengan kajadian historis kemarin, dan pengaplikasian civil society kedepan akan sangat tergantung pada pengembanagn konsep pada hari ini.16

Untuk mendefinisikan terma civil society sangat bergantung pada kondisi sosial kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep civil society merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat.

Sebagai titik tolak, di sini akan penulis kemukakan beberapa definisi civil society sebagaimana yang di paparkan Dede Rosyada.17

16 Masdar Hilmy,

Islam Profetik; Substansi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang Publik (Yogyakarta: Kanisius,2008), h. 41

17

Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Edukation): Demokrasi, Hak AsasiManusia dan Masyarakat Madani, h. 238-240


(30)

pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar

belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan civil society merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing, satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap Negara. Oleh karenanya, maka yang dimaksud civil society adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh dan kekuasaan Negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara dalam masyarakat ini diekspresikan dalam gambaran masyarakat yang individualisme, pasar dan pluralisme.

Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung-Joo dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa civil society merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari Negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengkuti norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.

Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk, juga dalam kontek

Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan civil society adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat secara relatif


(31)

otonom dari Negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan menunjukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.

Menurut Muhammad AS Hikam, pengertian civil society dengan memegang konsep de Tocquiville adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaaan, dan keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.18

Sejalan dengan penjelasan definisi civil society yang penulis paparkan di atas, penulis akan menghubungkan dengan penulisan skripsi ini yang berkaitan dengan penguatan ruang publik yang bebas. Definisi civil society dalam penelitian ini adalah suatu lembaga yang murni dibentuk oleh masyarakat sipil yang menyediakan ruang publik yang bebas dari pengaruh negara dan independent untuk membicarakan atau mendiskusikan hal-hal yang relevan yang sedang dihadapi oleh warga negara, baik dalam hal ekonomi, agama dan politik.

Sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjalin berlangsungnya prilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terperangkat di dalam jaring-jaring kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa

18

Muhammad AS Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia; Mencari Konsep , Keberadaan, dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia (Jakarta: LP3ES,1998), h. 5-8


(32)

dilakukan oleh warga masyarakat. Hanya dalam ruang publik yang bebas, secara normatif tiap individu dalam posisi yang setara dapat melakukan transaksi wacana dengan dialog atau diskusi dan praksis politik secara sehat, tanpa distorsi dan represi, baik fisik maupun psikis.

Ruang publik (public sphare) merupakan bagian dari karekteristik Civil Society. Untuk merealisasikan wacana tersebut diperlukan prasyarat-prasyarat lain yang menjadi nilai universal dalam penegakan Civil Society. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi wacana tersebut. Karakteristik tersebut antara lain adalah adanya Free Public Sphare, Demokrasi, Toleransi, Pluralisme, dan keadilan sosial.19 Tapi pada pembahasan kali ini penulis lebih menekankan pada masalah ruang publik.

Gagasan ruang publik atau Public Sphere merupakan gagasan yang belum cukup tua. Dalam hal ini filsuf Jerman Jurgen Habermas (lahir 1929) dianggap sebagai pencetus gagasan tersebut, sekalipun sebagian orang menganggap benih-benih pemikiran ruang publik sudah dikemukakan oleh sosilogis dan ekonomis Jerman Maximilian Carl dan Emil Weber (1864-1920). Jurgen Habermas mengenalkan gagasan ruang publik melalui bukunya Strukturwandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft. Edisi bahasa Inggris buku ini, The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, diterbitkan pada 1989.


(33)

Sebenarnya apa arti dari publik itu? Apakah setiap kerumunan massa dengan sendirinya dapat diidentifikasi sebagai publik? Apakah massa yang diam dapat disebut publik? Apakah publik dilahirkan secara alamiah, ataukah perlu dibangun?

Jawaban dari pertanyaan alenia di atas sebagai berikut, Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Publik bukan kerumunan massa yang diam (mass of silent), dan publik itu tidak timbul secara alami, publik harus dibangun dengan kesadaran warga yang kritis terhadap masalah yang dihadapi.20

Sedangkan ruang publik adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, kebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum.

Konsep ruang publik dalam filsafat politik Habermas banyak mendapat inspirasi dari konsep tindakan politiknya Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition. Tetapi Habermas mengkritik Arendt bahwa konsep politiknya terlalu sempit. Kekuasaan seperti kata Arendt “terjadi di antara manusia-manusia,

20

Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), h. 269-270


(34)

jika mereka bertindak bersama, dan lenyap jika mereka bubar”.21 Kekuasaan komunikatif itu terbentuk dalam forum-forum diskusi publik, dalam gerakan-gerakan sosial, dan juga di dalam DPR/MPR saat legislasi hukum. Di samping itu, menurut Habermas, Arendt tidak sensitif terhadap kemungkinan adanya manipulasi komunikasi di antara mereka yang mengaku berjuang demi kedaulatan rakyat dan HAM. Menurut Habermas, kekuasaan komunikatif itu baru terbentuk lewat pengakuan faktual atas klaim-klaim kesahihan yang terbuka terhadap kritik dan dicapai secara diskursif. Dengan kata lain, legitimitas suatu keputusan publik diperoleh lewat pengujian publik dalam proses deliberasi yang menyambungkan aspirasi rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi hukum oleh lembaga legislatif dalam sistem politik.22

Ruang publik dalam pemikiran Habermas bertujuan untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dalam tradisi teori politik, kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah dicurigai sebagai bungkus kehendak kelompok elit untuk berkuasa. Generalisasi yang dimaksud Habermas sama sekali bukan dalam arti statistik, melainkan filosofis karena bersandar pada etika diskursus.23

Ruang publik dalam pemikiran Habermas lebih condong pada ruang publik politik. Jurgen Habermas mengakui bahwa politik memang mengandung

21

Hannah Arendt, The Human Condition, (Chicago : The Chicaco University Press, 1958), h. 252

22 F. Budi Hardiman,

Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyaraakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009) h. 140

23

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik Dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009)


(35)

ruang serba mungkin yang besar, tetapi ini tidak berarti bahwa politik hanya bisa dilegitimasikan. Politik bisa dirasionalkan, sekurang-kurangnya dewasa ini kecenderungan untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi keputusan kehendak politis itu menunjukan gejala yang disebutnya “pengilmiahan politik”.24Habermas membaca kecenderuangan ini yang dituangkan dalam sebuah esai The Scientizition of Politics and Public Opinion. Yang menjadi keprihatinan yang mendasari analisanya adalah terciptanya masyarakat yang demokrasi dan rasional, artinya membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka dan memulihkan kedudukan manusia sebagai subjek-subjek yang mengelola sejarahnya.25

Berbicara mengenai “politik” demikian lazimnya anggapan orang, adalah berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Politik dalam arti yang seluas-luasnya adalah dimensi kekuasaan yang mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial sebagai keseluruhan. Persoalan yang terus muncul disini adalah siapakah yang berhak mengatur atau mengarahkan kehidupan sosial itu, dan sebagaimana pengaturan dan pengarahan tersebut dilaksanakan. Secara lebih mendasar, persoalannya adalah manakah politik yang diterima oleh semua pihak dalam sebuah masyarakat. Ini menyangkut legitimasi. Sebuah kekuasaan harus diligitimasi agar efektif pada semua pihak. Kekuasaan itu sekurang-kurangnya harus tampak benar dihadapan pihak-pihak yang dikuasai.26

Mengapa politik harus dilegitimasikan? Ada banyak jawaban, akan tetapi kita akan digiring ke sebuah jawaban mendasar bahwa politik itu irasional, dalam

24

Jurgen Habermas, Toward a Rational Socity, (London: Heinemann,1971) h.62

25

F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, h. 145


(36)

artian unsur-unsur kehendak manusia mengatasi unsur pengetahuannya. Dalam kehidupan sosial, ada segi kehidupan rutin yang bisa diantisipasi, terjadi dalam pola-pola yang mapan dan diandaikan begitu saja, tapi ada juga segi kehidupan yang menghadapkan manusia pada pilihan-pilihan yang serba mungkin untuk mengubah atau mempertahankan kehidupan sosial itu. Karena serba mungkin, maka segi politik kehidupan sosial ini menuntut keputusan kehendak. Supaya keputusan kehendak ini memasuki segi kognitif yang dikuasai, dibutuhkan legitimasi. Akan tetapi dengan legitimasi, politik bisa saja tetap irasional, sebab bagaimanapun, ruang serba mungkin yang menuntut keputusan kehendak itu tetap besar, dan keputusan kehendak tidak selalu didasari oleh pertimbangan rasional.

Rasionalisai kekuasaan pada gilirannya mengangkat isu demokrasi dalam arti bentuk-bentuk komunikasi umum dan publik yang bebas dan terjamin secara institusional. Dalam pandangan Habermas, hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi publik yang kritislah yang merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan. Diskusi semacam itu hanya mungkin dilakukan dalam suatu wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Dalam esainya, The public Sphare, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial semacam itu dalam sejarah masyarakat modern. Wilayah itu disebutnya “Ruang publik”. Semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik dapat disebut ruang publik.27

Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis


(37)

sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif.28 Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?

Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu.

Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka.

Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan". Penulis dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun.

Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika penulis berfikir seperti analisis Habermas, penulis membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan

28

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009) h.132-134


(38)

solidaritas sosial (masyarakat). Lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri baik dari pasar maupun dari negara.

Pada era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif", yaitu ruang publik itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.

Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks seperti yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktor-aktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor-aktor dalam ruang publik


(39)

politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat.

Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar).

C. Dialog Antar Umat Beragama.

Dalam rangka pengutan ruang publik yang bebas terhadap warga, CDCC lebih mengambil segmen dialog dan kerjasama antara agama yang berbeda dan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu, pada kajian teori ini penulis mengangkat tentang dialog antar umat beragama. Dengan melakukan dialog maka ruang publik akan mudah terbentuk.

1. Definisi Dialog.

Dialog dapat diartikan sebagai komunikasi antara dua orang atau lebih atau dua pihak yang berbeda pandangan.29 Dalam keperbedaannya masing-masing pihak saling belajar dan berbagai pengalaman satu terhadap yang lainnya. Sedangkan menurut Swidler, dialog bukanlah debat, bukan pula saling mengancam, tetapi merupakan suatu percakapan antara dua orang atau lebih

29 Sutan Rajasa,


(40)

tentang suatu masalah bersama namun memiliki pandangan yang berbeda yang mempunyai tujuan pokok untuk saling mendengar, dan saling belajar satu sama lain secara terbuka dan simpatik sehingga diharapkan terjadi perubahan sikap kearah yang lebih positif.30

Mengacu pada definisi kata dialog diatas maka penulis mendefinisikan dialog merupakan suatu cara dimana dua orang atau lebih (masyarakat) untuk membicarakan perbedaan atau persamaan dari masing-masing dengan tujuan untuk saling belajar dan mengetahui dengan cara damai sehingga tercipta masyarakat yang toleran terhadap perbedaan.

Apabila penulis kaitkan dengan dialog antar umat beragma dari tujuan dialog yang yang telah dijelaskan oleh Swidler, penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa dialog juga mempunyai tujuan yang lain, yaitu untuk menunjukan rasa hormat terhadap agama yang berbeda dan perhatian terhadap kepercayaan dan para pemeluk agama lainnya. Dengan cara ini, sebagai umat beragama harus senantiasa bersikap hati-hati dalam menentukan pemikiran-pemikiran apa saja berkenaan dengan pemahaman akan Tuhan yang serupa, memilki kesamaan ataupun sama sekali berbeda.

Dari sinilah kehadiran forum dialog antar agama menjadi relevan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dialog sangat dibutuhkan dalam menjalani hidup ditengah pluralisme. Pluralisme itu muncul dalam berbagai macam ragam dan bentuk yang meliputi: pluralisme kebutuhan, pluralisme keyakinan, pluralisme keyakinan, pluralisme kepentingan, pluralisme etnis, pluralisme status sosial,

30

Leonard Swidler, After the Absolute: The Dialogical Future of Religion Reflection (Philadelpia: Augsburg Fortess,1990), h.3


(41)

pluralisme agama dan lainnya. Dalam kontek pluralisme agama misalnya, pluralisme ini juga berkaitan dengan pluralisme kebutuhan dan keyakinan yang sesekali menampilkan pluralisme budaya sebagai latar belakang yang menjadi basis pemahaman akan tuhan dan keyakinan keagamaan.31

Penulis dalam memahami pluralisme bukan sekedar bermakna statis, yaitu dengan adanya kemajumukan atau keberagaman, melainkan juga bermakna dinamis, yaitu adanya keterlibatan dalam upaya memahami perbedaan dan kesamaan yang ada, dan sekaligus keterlibatannya dalam kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama. Pluralisme bukan mengingkari adanya perbedaan, sebaliknya pluralisme mengakui adanya perbedaan namun tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai penghalang terhadap kebersamaan dan harmoni kehidupan.

Dari uraian diatas menghantarkan penulis pada salah satu sendi kehidupan pluralis, yaitu adanya kesadaran kemajemukan (plural awareness) yaitu kesadaran yang mendalam bahwa kita hidup dalam kemajemukan, dan ingkar kepada kemajemukan berarti ingkar terhadap ciptaan Tuhan.

Kesadaran akan kemajemukan akan mengikis sikap kemutlakan, subjektif dan ekslusif, dan akan menimbulkan sikap saling memahami. Berkembangnya sikap ini akan memungkinkan lahirnya sendi kehidupan pluralis yang lain, yaitu sikap saling percaya. Sesungguhnya modal trust ini bukan hanya menghindari timbulnya konflik, melainkan juga memungkinkan terjadinya sinergi antar komunitas yang berbeda.

31

Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Umat Beragama


(42)

Sendi dari kehidupan pluralis adalah dialog. Dialog merupakan instrument utama dalam pengelolaan kehidupan plural yang sehat dan produktif, karena tanpa ada dialog masing-masing komunitas yang berbeda sangat rentan untuk menjadi eksklusif dan jatuh jatuh dalam fanatisme yang sempit. Dengan dialog dapat melahirkan sikap toleran, saling percaya, dan saling menghormati.

Esensi dari dialog adalah adanya penghargaan dan pengenalan timbal balik (reciprocal recognition) antara pihak yang berdialog . dengan adanya sikap saling mengenal dan menghargai ini maka mereka benar-benar dapat memahami pendapat, nilai-nilai kebenaran dan keyakinan mitra dialognya.32

2. Urgensi Dialog Antar Agama.

Dialog lebih memanisfetasikan dirinya sebagai suatu pendirian, orientasi, atau penunjang komunikasi daripada sebagai suatu metode,teknik atau pola yang spesifik.33

Ada hal yang harus diingat, kadang kala karakteristik dari dialog disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab. Kejujuran yang blak-blakan dapat dilakukan untuk menghina orang lain dengan tujuan untuk memuaskan ego sendiri dan perasaan mementingkan diri sendiri.

32 Ahmad Watik Pratinya, “Pluralisme,

Trust dan Dialog” dalam Ahmad Syafii Maarif, dkk., Ethics and Religious Dialogue In a Globalized World (Jakarta: The Habibie Centre,2010), h. 62

33

Richard L Johannesen, Etika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1996) h.64


(43)

Apabila seseorang yang sadar akan nilai kemanusiaan, maka pasti dia tidak akan mengganggu atau mengancam manusia lain. penulis teringat yang diutarakan oleh filsuf moral Frans Magnis Suseno, bahwa “Humanisme tak pernah bisa menjadi ancaman bagi humanisme lain” artinya, bahwa humanisme Kristiani tidak mengancam humanisme Islam, begitu sebaliknya humanisme Islam tak mengancam humanisme Kristiani.34 Demikian juga hal ini berlaku bagi humanisme yang lain yang ada dalam masing-masing agama, baik humanisme yang terdapat dalam individu maupun kelompok. Konsekuensinya adalah agama yang tidak humanis bisa menjadi ancaman bagi orang yang tidak beragama, ancaman bagi orang yang beragama lain, dan bagi saudara-saudari seagama.

Dari sinilah kehadiran forum dialog antar agama menjadi relevan dalam kehidupan masyarakat kita. Dialog sangat dibutuhkan dalam di tengah-tengah pluralisme. Pluralisme ini muncul dalam berbagai macam ragam dan bentuk yang meliputi: pluralisme kebutuhan, pluralisme keyakinan, pluralisme kepentingan, pluralisme etnis, pluralisme status sosial, pluralisme agama, dan lainnya.

Berkaitan dengan pemahaman pluralisme, berkembanglah upaya-upaya dialog dalam konteks agama-agama. Dialog antar agama, yang hakekatnya adalah pertemuan hati dan pikiran antar berbagai macam agama, merupakan aktualisasi sekaligus pelembagaan semangat pluralisme keagamaan.

Dialog antar agama menjadi ajang komunikasi dua orang atau lebih dalam tingkatan agamis. Dengan dialog, jalan bersama menuju kebenaran semakin

34

Frans Magnis Suseno, dalam Ibnu Mujib dan Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog; Membangun Fondasi Dialog Agama-agama Berbasis Teologi Humanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), h. 92-93


(44)

terbuka.35 Dialog bukan debat, melainkan saling memberi informasi tentang agama masing-masing baik mengenai persamaan maupun perbedaannya.

Dialog sama sekali tidak mengurangi loyalitas dan komitmen seseorang terhadap kebenaran keyakinan agama yang sudah ia pegang, akan tetapi lebih memperkaya dan memperkuat keyakinan itu. Dialog juga jauh dari kemungkinan orang untuk terjerumus ke dalam pandangan sinkretisme. Sebaliknya, dialog mencegah orang dari sinkretisme karena dengan dialog seseorang akan semakin mendalami pengetahuannya tentang agama atau kepercayaan lain, dan pada saat yang sama keyakinannya terhadap kebenaran ajaran agama yang ia peluk akan semakin teruji dan tersaring.

3. Bentuk-Bentuk Dialog

Dialog antar agama dapat berlangsung dalam beberapa bentuk diantaranya: dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis (dialog iman), dan dialog spritual.36Disamping itu juga ada dialog perbuatan, dialog kerukunan, dialog sharing pengalaman agama, dialog doa bersama, interfaith dialogue, dialog terbuka, dialog tanpa kekerasan, dialog aksi dan sebagainya.37

Pertama, dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan bentuk paling sederhana dari pertemuan-pertemuan antar agama yang dilakukan oleh umat beragama. Disini pemeluk agama yang berbeda-beda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari, berbaur, dan melakukan kerjasama dalam berbagai bidang kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing.

35 Burhanuddin Daya,

Agama Dialogis; Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya,2004), h. 20

36

Mun’im A Sirry, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-pluralis, (Jakarta: Paramadina,2004), h. 208

37 Burhanuddin Daya,


(45)

Kedua, dialog kerja sosial. Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari

dialog kehidupan dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan. Dasar sosiologisnya adalah pengakuan akan pluralisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya. Dalam konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif dalam kemajemukan itu.

Ketiga, dialog teologis atau dialog iman. Dialog teologis merupakan pertemuan-pertemuan, baik reguler ataupun non reguler untuk membahas persoalan-persoalan teologis. Tema yang diangkat misalnya pemahaman kaum Muslim dan Kristen tentang Tuhan masing-masing atau tentang tradisi keagamaan seseorang dalam konteks pluralisme dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran bahwa diluar keyakinan dan keimanan dari tradisi agama-agama selain kita. Jika dalam dialog sosial berangkat dari problem bagaimana kita menempatkan agama kita di tengah-tengah agama-agama orang lain, maka dialog teologis berusaha memposisikan iman kita di tengah-tengah iman orang lain.

Keempat, dialog spiritual. Dialog spiritual bertujuan untuk menyuburkan

dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama. Dialog ini bergerak dalam wilayah esotoris yaitu sisi dalam agama-agama. oleh karena itu para pesertanya melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama.

Dialog antar agama paling tidak berlangsung dalam tiga level. Pertama, dialog wacana, yaitu dialog yang membahas masalah-masalah teologis yang muncul. Misalnya, konsep Tuhan Allah dengan paham Trinitas Kristen. Kedua, membagi (sharing) pengalaman spiritual, misalnya sama-sama puasa untuk


(46)

menghayati kehidupan orang miskin. Ketiga, dialog dalam level aksi, yaitu dialog yang para peserta dialog tanpa membeda-bedakan agamanya sama-sama menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

Dapat digarisbawahi, muara dialog adalah memberi kesadaran secara teologis bahwa perbedaan itu bukan buatan manusia tapi desain Tuhan. Oleh karena itu, saling menghargai dalam perbedaan sangat diperlukan. Bertolak dari pandangan inklusif-pluralis ini, para pemeluk agama yang berbeda dapat menjalani kerja sama. Jadi pada prinsipnya dialog antar agama dengan kerja antar agama adalah dua hal yang sambung-menyambung. Yang satu mengandaikan yang lain. tidak ada kerja sama tanpa didahului oleh dialog, dan dialog berlanjut pada kerja sama dan memberikan penguatan bagi kerja-kerja sosial. Aksi-aksi kolaboratif melibatkan berbagai kalangan agama dalam merespon kebutuhan aneka kebutuhan umat beragama.


(47)

BAB III

GAMBARAN UMUM CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILISATIONS ( CDCC ) A. Profil Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations

(CDCC)

Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) adalah sebuah LSM internasional yang bermarkas besar di Jakarta, yang didirikan pada bulan Juni tahun 2007 oleh para sarjana dan aktivis dari berbagai lembaga baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat, perguruan tinggi dan pemerintahan, diantaranya adalah Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, Hajrianto Y. Tohari, Didik J. Rachbini, Rizal Sukma, Fahmi Darmawansyah, dan Said Umar.

Para tokoh pendiri CDCC meskipun berbeda-beda profesi seperti Din Syamsudin sebagai akademisi dan sekaligus menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Bahtiar Effendy sebagai akademisi dan mantan Ketua Bidang Hikmah PP Muhammadiyah, Hajrianto Y. Tohari sebagai Wakil Ketua MPR dan sebagai mantan ketua Pemuda Muhammadiyah, Rizal Sukma Sebagai Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS), Didik J. Racbani sebagai politisi dari partai PAN (Partai Amanat Nasional) dan Fahmi Darwansah dan Said Umar sebagai pengusaha akan tetapi mereka semua mempunyai latar belakang organisasi yang sama, yaitu Muhammadiyah.


(48)

Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) bertujuan untuk memajukan pemahaman yang lebih baik dan hubungan perdamaian antara agama, budaya, bangsa dan peradaban yang luas, sehingga tercipta masyarakat yang harmonis dan toleren tarhadap sesama.

1. Latar Belakang CDCC

Berdirinya Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) didasarkan oleh beberapa sebab. Sebab yang paling mendasar adalah seiring dengan meningkatnya jumlah tindakan kekerasan baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya, yang disebabkan oleh faktor politik, agama, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Hal itu disebabkan karena ada alasan yang utama, yakni bahwa tindakan kekerasan itu ada karena adanya benturan peradaban yang berbeda antara satu masyarakat, budaya, dan agama yang satu dengan yang lain nya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Tapi sebenarnya teori itu tidak sepenuhnya benar, karena setiap peradaban memiliki nilai universalitas sendiri yang bisa diterima oleh peradaban lainnya. Oleh karena alasan itulah CDCC kemudian berusaha untuk memahami berbagai perbedaan tersebut dan berusaha untuk mencari titik temunya. Dialog dan kerjasama pun dijadikan CDCC sebagai jalan untuk mewujudkaan tata dunia yang damai.

Selama ini, berbagai dialog yang ada hanya bersifat konseptual saja, hanya sebatas pertukaran pikiran, oleh karena itu


(49)

CDCC berusaha membuat dialog yang konseptual dan menjadi praktis, sehingga berbagai kerja sama bisa diadakan untuk melawan tindak kekerasan dan menghindari benturan-benturan peradaban, sehingga dapat terwujud masyarakat dunia yang damai dan toleran terhadap peradaban lain.

2. Misi CDCC

Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) bertujuan untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik dan hubungan damai antar agama, budaya, bangsa, dan peradaban pada umumnya. Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) berusaha untuk memediasi pemisahan yang selama ini ikut didukung oleh adanya ketakutan dan ketidakpahaman pada dua belah pihak.38 Maka dibentuklah beberarapa inisiatif untuk membangun dan memperluas dialog dan kerja sama antar agama, antar budaya, internasional dan antar peradaban, serta memberikan prioritas tinggi dalam menanggapi permasalahan-permasalahan utama mengenai kesalahpahaman dan kekerasan melalui beberapa ketentuan studi permasalahan yang terkait yang komprehensif, objektif, dan tepat.

3. Visi CDCC


(50)

Daripada memandang perbedaan sebagai suatu ancaman dan selalu berbenturan, CDCC menganut sebuah pandangan bahwa perbedaan adalah sebuah kesempatan, kekayaan dan sebuah komponen integral yang tumbuh, dengan tujuan untuk menciptakan dunia yang damai. Perbedaan harus diterima, tapi pada saat yang sama seseorang tidak harus mempertahankan pandangan seperti yang selama ini dianut oleh dunia Muslim dan Barat yang bisa menciptakan konflik yang tiada henti-hentinya.

Bagaimanapun juga, usaha-usaha untuk menjembatani jurang pemisah antar masyarakat, bangsa dan peradaban dunia seringkali gagal jika tidak disertai oleh partisipasi, dialog dan kerja sama dari komunitas internasional. Dewasa ini, sangatlah penting untuk melakukan sebuah gerakan global untuk menjembatani jurang pemisah itu dan mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas dan saling menghormati antar berbagai budaya dan peradaban.39

4. Program CDCC

CDCC berusaha untuk mencapai tujuannya melalui aktifitas-aktifitas berikut:

a. Kuliah Umum (Public Lecture)

CDCC berusaha untuk mengadakan dialog-dialog antar peradaban dengan mengumpulkan para elit dan masyarakat dalam sebuah forum yang mendiskusikan isu-isu tentang antar agama, antar

39

Visi CDCC, artikel ini diakses pada 18 juni 2010 dari http://www.cdccfoundation.org


(51)

budaya, dan hubungan internasional. Diantara contoh forum-forum tersebut adalah Lecture on Civilizations (Kuliah Peradaban), seminar internasional, dan konferensi internasional tahunan. Para peserta yang hadir mewakili sebuah kelompok luas meliputi diplomat, pemerintah, politisi, akademisi, aktifis, pengusaha, jurnalis, tokoh agama, tokoh pemuda, dan perwakilan media.

b. Jaringan dan Kerja Sama

Dalam melaksanakan program sebagaimana yang telah direncanakan dalam tujuannya, CDCC melakukan usaha yang besar untuk mengembangkan jaringannya yang bisa menguntungkan dalam usaha menciptakan atmosfer perdamaian dan dalam rangka membuat dialog-dialog yang efektif dan meningkatkan kepedulian masayarakat akan perlunya untuk membangun jembatan antar bangsa, untuk mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas, dan saling menghormati dan tuntuk menyusun harapan-harapan politik bersama dalam menanggapi perbedaan-perbedaan di dunia.

Dalam melakukan kegiatan-kegiatan CDCC mempunyai jaringan baik nasional maupun internasional. Jaringan nasional,

CDCC melakukan kerjasama dengan NGO, misalnya IComRP (Indonesian Committee on Religion and Peace), Interfaith Day, dan organisasi-organisasi keagamaan seperti Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), WALUBI, Majelis Tinggi Agama Konghuju Indonesia (MATAGIN),


(52)

Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Persada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Pada level internasional CDCC mempunyai jaringan misalnya Chenghoo Multicalture Education Trush sebagai mitra sebanyak tiga kali secara berturut-turut dalam acara World Peace Forum. CDCC juga melakukan kerjasama dengan Departemen luar negri terutama untuk dialog-dialog internasional, misalnya mengundang pembicara-pembicara dari luar negeri, dan CDCC juga diundang sebagai pembicara pada forum-forum internasional . CDCC juga mempunyai jaringan kerja sama dengan duta besar-duta besar misalnya duta besar Inggris termasuk British Council, duta besar Rusia, dan duta besar Palestina.

c. Advokasi Kebijakan

Untuk memediasi konflik yang ada sebagaimana usaha untuk mencegah konflik yang mungkin terjadi, CDCC mengadvokasi segala kebijakan pemerintah atau pihak yang berwenang lainnya yang penting dalam usaha untuk mengurangi tekanan antar budaya dan kesalahpahaman yang ada. CDCC berusaha untuk mempengaruhi keputusan pemerintah atau pihak berwenang yang berakibat baik atau pun buruk pada dialog budaya atau peradaban.40


(53)

Dalam melakukan advokasi kebijakan, sepanjang sepengetahuan penulis CDCC belum melakukan advokasi secara serius dengan melakukan pembelaan yang secara konsisten, akan tetapi CDCC hanya lebih menekankan pada dialog belum pada tahap aksi tindak lanjut.

d. Publikasi

CDCC membuat setiap usaha untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat di Indonesia dan di luar negeri pada pentingnya untuk menjembatani jurang pemisah dan mengurangi persepsi antar budaya dan peradaban, sebagaimana memfasilitasi debat akademis tentang antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Dan atas alasan ini, CDCC menyebarkan informasi dan ide-ide melalui halaman web dan artikel di media secara terus-menerus.41

Sebagai contoh dari publikasi yang dilakukan oleh CDCC ialah dengan membuat berita-berita hasil dari kegiatan-kegiatann nya, seperti World Peace Forum, seminar-seminar dan diskusi-diskusi melalui web dengan alamat www.cdccfoundation.org, dan CDCC juga berkerjasama dengan media cetak dan elektronik untuk meliput semua kegiatan yang dilakukan.

e. Penelitian

CDCC melakukan berbagai usaha untuk memimpin studi yang memadai tentang materi-materi yang mengembangkan dialog dan kerja

41

Profile CDCC, artikel ini diakses pada 18 juni 2010 dari http://www.cdccfoundation.org


(54)

sama diantara masyarakat yang berbeda agama, ras atau etnik, dan bangsa.

Sejauh sepengetahuan penulis CDCC belum pernah melakukan kegiatan penelitian, CDCC dalam melakukan kegiatannya hanya lebih menekankan pada diskusi, dialog dan seminar-seminar belum sampai pada tahap penelitian.

5. Nilai-Nilai Perjuangan CDCC

CDCC mempunyai nilai-nilai yang mereka ingin perjuangkan, sesuai dengan namanya. CDCC mempunyai tiga nilai yang sangat mendasar dalam kontek perdamaiaan dan tata dunia yang terbuka, yaitu ;

a. Nilai Keterbukaan; CDCC berusaha mendorong bagaimana semua orang memiliki kesempatan dan memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiran-pikiran atau gagasan secara terbuka. Setiap diskusi-diskusi yang diadakan CDCC mengundang berbagai macam elemen masyarakat yang secara organisasi dan agama yang berbeda tetapi semua memiliki keberanian untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran secara terbuka dan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran dalam berpendapat, oleh karena dalam diskusi- diskusi yang diadakan oleh CDCC kadang-kadang sarat dengan kritik terhadap pemerintah atau masyarakat yang tidak sesuai dengan cita ideal dari sebuah masyarakat yang memiliki moralitas dan komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan.42

42


(55)

b. Kemanusiaan yang bersifat universal; kemanusiaan yang bersifat universal dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keluhuran umat manusia tanpa membedakan agama, latar belakang Negara, etnis, dan kebudayaan. Kerena pada dasarnya ada sebuah common agreement diantara berbagai peradaban dan agama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang sangat terhormat, oleh karena itu CDCC sangat konsen pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang selama ini menjadi salah satu problem baik di level nasional maupun level internasional, banyaknya tindak kekerasan, pada wilayah tertentu masih adanya perbudakan, dan eksploitasi manusia itulah persoalan-persoalan kemanusian yang terjadi pada tingkat global dan nasional.

c. Nilai Equality (nilai kesetaraan dan persamaan); CDCC tidak berada pada posisi yang menyatakan bahwa satu peradaban atau kebudayaan lebih tinggi dari satu kebudayaan dan peradaban yang lain, karena untuk terciptanya suatu dialog dan kerjasama harus ada prinsip equality dengan mengakui kelemahan-kelemahan dan keunggulan-keunggulan prestasi yang dicapai oleh peradaban-peradaban masyarakat-masyarakat yang ada di belahan dunia yang berbeda-beda. Karena itu pada aspek equality itu melekat dengan plurality atau pluralitas kerena mengakui adanya perbedaan agama, peradaban dan kebudayaan akan tetapi sesungguhnya


(56)

mereka memiliki kesetaraan atau bahkan dalam berbagai hal mereka mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya.43

6. StrukturOrganisasiCDCC

Ketua : M. Din Syamsuddin

Penasehat : 1. Didik J. Rachbini,

2. Bachtiar Effendy 3. Rizal Sukma

4. Hajriyanto Y. Thohari 5. Fahmi Darmawansyah 6. Said Umar

Pengawas : 1. Rustam Effendy

2. Edy Kuscahyanto Direktur Eksekutif : Abdul Mu’ti

Direktur Administrasi dan Keuangan : Indah Meitasari

Direktur Program : Piet Hizbullah Khaidir

Staff : 1. Artati Haris

2. Fauzia Ningtyas

3. Ilham Mundzir

Dalam struktur organisasi CDCC meskipun mereka mempunyai profesi yang berbeda-beda, seperti akademisi, aktivis, politisi dan pengusaha akan tetapi mereka mempunyai latar belakang organisasi yang sama, yaitu Muhammadiyah.


(57)

Seperti Din Syamsudin dan Bactiar Efendy adalah seorang akademisi akan tetapi mereka juga aktif dalam kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Didik J. Rachbini (politisi dari Partai Amanat Nasional), dan Hajrianto Y Thohari ( politisi dari partai Golkar dan sebagai Wakil Ketua MPR RI) juaga mantan aktivis Pemuda Muhammadiyah. Rizal Sukma sebagai mantan aktivis yang berasal dari Muhammadiyah dan sekarang menjabat Sebagai Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS). Fahmi Darwansah dan Said Umar sebagai pengusaha. Abdul Mu’ti, Piet Hizbullah dan Ilham Munzir sebagai mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Melihat kesamaan latar belakang dari struktur organisasi CDCC, maka penulis mempunyai pandangan bahwa struktur kepengurusan CDCC mempunyai kelemahan dan kelebihan dalam menjalankan perannya dalam melakukan perannya sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kelemahan dari lembaga yang ekslusif (kepengurusan mempunyai latar belakang organisasi yang sama) adalah kurang tebuka dalam melakukan managment organisasi. Dalam melakukan management hanya berdasarkan saling percaya antara pengurus yang satu dengan pengurus yang lain.

Kelemahan lembaga yang ekslusif juga mempunyai network yang terbatas dan searah karena mereka mempunyai latar belakang


(1)

Lampiran II

Hasil Wawancara

Nama: Abdul Mu’ti selaku direktur eksekutif CDCC P: Apakah CDCC merupakan bagian dari Civil Society?

J: Kalau dilihat sisi tujuan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, CDCC merupakan bagian dari Civil Sociey. CDCC merupakan sebuah lembaga non pemerintahan (NGO) yang memiliki tujuan untuk mendorong dialog dan kerjasama antara umat beragama, antar kebudayaan dan juga dialog-dialog yang bersifat public education dengan topik-topik yang berkaitan dengan ekonomi, politik dan terutama peradaban dan kebudayaan. Kalau dilihat dari sisi tersebut maka CDCC merupakan bagian dari Civil Society yang mengambil segmen dialog dan kerjasama antar peradaban.

P: Agenda-Agenda apa yang dilakukan CDCC dalam upaya pembentukan Civil Society?

J: Seperti yang telah kami paparkan diatas, CDCC merupakan bagian dari Civil Society. Untuk mencapai terbentuknya Civil Society maka CDCC mempunyai agenda-agenda. CDCC konsen pada tiga agenda yang sudah pernah dilakukan.

1. Dialog : dialog dimaknai dalam dua perspektif, pertama; memberikan ruang public bagi semua elemen masyarakat untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kebudayaan, keagamaan dan politik. Kedua; memberikan mediasi bagi berbagai kelompok untuk bisa berdialog, sehingga pada perspektif ini CDCC memberikan fasilitas pada level mikro sebagai jalan tengah atau titik temu ataupun solusi dari berbagai macam perbedaan-perbedaan public, tapi belum menyentuh pada tingkat konflik baru sampai pada tingkat ketegangan antar kelompok


(2)

yang terjadi padalevel mikro di Indonesia maupun pada level makro pada level Internasional.

2. CDCC melakukan kegiatan-kegiatan yang berupa meanstreaming kehidupan beragama atau kebudayaan yang bersifat moderat dan terbuka, oleh karena itu CDCC berusaha mendorong siapa saja untuk mampu berbicara apa saja, sehinga CDCC akan didorong atau membawa keranah public meanstreaming wawasan dan pandangan kehidupan keberagamaan dan kebudayaan yang mederat dan terbuka. Pada konsen yang kedua ini CDCC banyak melakukan upaya-upaya yang berupa penciptaan opini public yang selama ini kegiatan-kegiatan tersebut mendapat peliputan dari berbagai media yang begitu luas. 3. CDCC menjalin kerjasama-kerjasama yang bersifat lintas agama, lintas

organisasi dan lintas agama, misalnya kerjasama CDCC untuk melaksanakan World Peace Forum, yang sampai saat ini sudah dilaksanakan tiga kali. Pembentukan Interreligious Council Indonesia, dan kerjasama-kerjasama yang bersifat Empowering (pemberdayaan), misalnya melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Pada advokasi ini bukan pada tingkatan hukum tapi advokasi pada tingkat pembelaan yang bersifat politis, misalnya kepada kelompok-kelompok masyarakat atau agama yang mendapatkan perlakuan tidak adil, serta melakukan kerjasama lintas iman untuk pengentasan masalah-masalah kemiskinan dan ketidak adilan sosial.

P: Siapa saja yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh CDCC?

J: Selama ini kegiatan-kegiatan atau agenda-agenda yang dilakukan oleh CDCC tidak hanya konsen dalam takaran pewacanaan, akan tetapi sudah menyentuh masyarakat. CDCC tidak menyentuh masyarakat grass roots secara langsung, tetapi CDCC mengambil masyarakat kelas tertentu yakni sekmen masyarakat menengah keatas, misalnya sekmen intelektual, Policy maker dan aktivis.


(3)

P: apakah CDCC lebih bersifat elitis?

J: walaupun CDCC dalam mengundang kalangan tersebut bukan berarti tidak bersifat elitis karena elitis merupakan sikap atau prilaku yang tidak merakyat, sedangkan elit merupakan struktur sosial. Struktur sosial elit tidak selamanya berprilaku elitis mereka peduli kepada masyarakat bawah karena dia masuk pada struktur organisasi tingkat nasional yang sebagai pengambil kebijakan, policy maker, opinion maker dengan menuangkan gagasannya melalui tulisan dan pengambil keputusan maka mereka masuk dalam struktur sosial elit. CDCC mengambil sekmen elit akan tetapi tidak berperilaku elitis, kerena dialog-dialog yang dilakukan oleh CDCC dialog yang menyentuh secara secara luas yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan atau isu-isu yang bersifat nasional bahkan Internasional akan tetapi memiliki dampak kepada masyarakat secara keseluruhan.

P: dalam rangka pembentukan civil society, pasti CDCC mempunyai nilai-nilai dalam perjuangan, apa saja nilai-nilai yang diperjuangkan oleh CDCC? J: CDCC mempunyai nilai-nilai yang ingin perjuangkan, sesuai dengan namanya CDCC mempunyai tiga nilai yang sangat mendasar dalam kontek perdamaiaan dan tata dunia yang terbuka.

d. Nilai Keterbukaan; CDCC berusaha mendorong bagaimana semua orang memiliki kesempatan dan memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiran-pikiran atau gagasan secara terbuka. Setiap diskusi-diskusi yang diadakan CDCC mengundang berbagai macam elemen masyarakat yang secara organisasi dan agama yang berbeda tetapi semua memiliki keberanian untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran secara terbuka dan tanpa adanya ketakutan dan kekhawatiran dalam berpendapat, oleh karena dalam diskusi- diskusi yang diadakan oleh CDCC kadang-kadang sarat dengan kritik terhadap pemerintah atau masyarakat yang tidak sesuai dengan cita ideal dari sebuah masyarakat yang memiliki moralitas dan komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan.


(4)

e. Kemanusiaan yang bersifat universal; kemanusiaan yang bersifat universal dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keluhuran umat manusia tanpa membedakan agama, latar belakang Negara, etnis, dan kebudayaan. Kerena pada dasarnya ada sebuah comment agreement diantara berbagai peradaban dan agama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang sangat terhormat, oleh karena itu CDCC sangat konsen pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang selama ini menjadi salah satu problem baik di level nasional maupun level internasional, banyaknya tindak kekerasan, pada wilayah tertentu masih adanya perbudakan, dan eksploitasi manusia itulah persoalan-persoalan kemanusian yang terjadi pada tingkat global dan nasional. f. Nilai Equality (nilai kesetaraan dan persamaan); CDCC tidak berada

pada posisi yang menyatakan bahwa satu peradaban atau kebudayaan lebih tinggi dari satu kebudayaan dan peradaban yang lain, karena untuk terciptanya suatu dialog dan kerjasama harus ada prinsip equality dengan mengakui kelemahan-kelemahan dan keunggulan-keunggulan prestasi yang dicapai oleh peradaban-peradaban masyarakat-masyarakat yang ada di belahan dunia yang berbeda-beda. Karena itu pada aspek equality itu melekat dengan plurality atau pluralitas kerena mengakui adanya perbedaan agama, peradaban dan kebudayaan akan tetapi sesungguhnya mereka memiliki kesetaraan atau bahkan dalam berbagai hal mereka mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya.

P: apakah CDCC dalam melakukan agenda masih dalam tahap pewacanaan?

J: CDCC dalam melakukan kegiatan-kegiatan bukan hanya dalam takaran dialog atau pewacanaan, akan tetapi CDCC sudah melakukan upaya pembentukan organisasi prakasa persahaban Indonesia- Palestina, dalam upaya pembentukan ini CDCC sudah melakukan penghimpunan


(5)

dana dan menghimpun berbagai elemen untuk melakukan advokasi itu merupakan tindakan yang bukan hanya pewacanaan. CDCC juga membentuk Interreligius Council Indonesia dimana CDCC memfasilitasi terbentuknya organisasi-organisasi lintas iman dan yang memiliki konsen pada persoalan-persoalan terhadap keagamaan, kita memfasilitasi dan memediasi konflik, CDCC juga memberikan bantuan politis, moril dan materil itulah langkah nyata yang dilakukan CDCC. CDCC juga membentuk Interfaith Action dimana kita melakukan aksi-aksi Interfaith dimana CDCC memfasilitasi tumbuhnya prakasa-prakasa pada tingkat bawah (grass roots) untuk mengembangkan kerjasama lintas iman dalam rangka untuk mengembangkan kerjasama lintas iman dalam rangka untuk mengatasi berbagai macam persoalan kemiskinan dan ketidak adilan sosial.

Dalam melakukan kegiatan-kegiatan CDCC mempunyai jaringan baik nasional maupun internasional. Jaringan nasional CDCC melakukan kerjasama dengan NGO misalnya CSIS, IComRP, Interfaith Day, dan organisasi-organisasi keagamaan seperti KWI, PGI, WALUBI, MATAGIN, Muhammadiyah, MUI. Pada level internasional CDCC mempunyai jaringan misalnya Cheng hoo Multicalture Education Trush sebagai mitra sebanyak tiga kali secara berturut-turut dalam acara World Peace Forum. CDCC juga bermitra dengan Departemen luar negri terutama untuk dialog-dialog internasional misalnya mengundang pembicara-pembicara dari luar negeri dan CDCC juga diundang sebagai pembicara pada forum-forum internasional . CDCC juga mempunyai jaringan kerja sama dengan duta besar- duta besar misalnya duta besar Inggris termasuk British Council, duta besar Rusia, dan duta besar Palestina.

P: Apakah CDCC murni dalam upaya pembentukan Civil Society?

J: CDCC merupakan Organisasi Non Pemerintahan (NGO) yang murni untuk penguatan masyarakat sipil dan juga untuk memperdayakan dan menciptakan semua pihak yang konsen terhadap masalah perdamaian


(6)

untuk terciptanya tata dunia yang damai, jadi tidak ada sinyalemen atau motif bahwa CDCC sebagai kendaraan politik, katakanlah politik untuk Dien Syamsudin untuk melakukan upaya-upaya Bergaining, dan Gaming Power