MEMBANGUN INDUSTRI RITEL YANG SEHAT

FOKUS: MEMBANGUN INDUSTRI RITEL YANG SEHAT
Persaingan ketat dalam industri eceran (retail) di Indonesia telah kembali memakan
korban. Salah satu merek ternama mini market yaitu Seven Eleven (Sevel) atau
yang juga banyak dikenal dengan convinience store telah resmi ditutup. Sebagai
salah satu pemain baru dalam industri retail, strategi yang dijalanlan oleh Sevel
sebenarnya cukup agresif. Pada hampir setiap gerai yang dibukanya, tidak hanya
menawarkan berbagai makanan dan minuman, namun juga disediakan fasilitas
sepert WIFI, bangku-bangku lengkap dengan meja dan tenda. Hal ini ditujukan agar
para pengunjung dapat berlama-lama menikmati apa yang telah mereka beli di
dalam mini market tersebut. Begitu pula dengan berbagai makanan dan minuman
yang dijual di dalam mini market ini. Pengunjung diberikan keleluasaan untuk dapat
melayani sendiri (swalayan) bebagai minuman atau memberikan berbagai saus
pada makanan yang telah dibelinya. Berbagai layanan istimewa yang diberikan oleh
Sevel ini ternyata juga tidak serta merta menjadikan mereka dapat terus
berkompetisi dengan pemain lainnya di pasar mini market di Indonesia.
Perkembangan ritel di Indonesia
Perkembangan persaingan dalam industri retail di Indonesia khususnya di tingkat
mini market hingga saat memang terbilang sangat ketat. Beberapa merek mini
market seperti Indomaret dan Alfamart, merupakan dua pemain yang melakukan
penetrasi secara besar-besaran hampir seluruh pelosok daerah di Indonesia. Namun
bukan berarti tidak ada pemain lain yang masih bertahan di tengah persaingan

yang sangat ketat tersebut. Beberapa kelompok bisnis yang telah ada sebelumnya
kemudian juga mencoba membuka gerai-gerai mini market.
Keberadaan industri retail di Indonesia sebenarnya telah berjalan dalam waktu yang
panjang. Dimulai ketika di tahun 1960an, pemerintah ketika itu membuka pertokoan
Sarinah di Jakarta sebagai retail besar pertama di Indonesia dengan bentuk toko
serba ada (departement store). Dalam perjalanannya, kemudian di tahun 19701980an, keberadaan berbagai pasar swalayan besar (supermarket) dan
departement store semakin menjamur khususnya di kota-kota besar. Beberapa
merek pasar swalayan yang mulai dikenal saat itu adalah Hero, Matahari dan
Ramayana. Memasuki dekade 1990an, mulai bermuculan berbagai mini market
(convinience store). Hal tersebut juga diikuti masuknya departement store besar
asing seperti Metro dan Sogo. Pada periode ini juga mulai berkembang berbagai
swalayan terutama untuk tingkat grosir (hypermarket) seperti Makro, Goro,
Alfa[ CITATION Eui08 \l 1033 ]. Terjadinya krisis ekonomi di tahun 1997-1998 yang
diikuti dengan runtuhnya Orde Baru, juga telah mengubah tatanan persaingan retail
di Indonesia. Beberapa swalayan grosir tersebut juga ada yang mengalami
penutupan.
Sementara di sisi lain pada saat yang bersamaan juga mulai bermunculan pemain
baru di dalam industri pasar swalayan. Beberapa pemain baru misalnya Carrefour
(gerai pertama dibuka Oktober 1998) dan Hypermart (mulai operasi tahun 2004),
terus tumbuh menjadi pemain retail besar di Indonesia. Pemain lainnya melakukan

perubahan strategi bisnisnya. Misalnya group Hero yang mengubah beberapa gerai
supermaket Hero menjadi swalayan besar yang dinamakan Giant. Merek Giant
mulai diperkenalkan pada tahun 2002. Merek Giant sebenarnya berasal dari
Malaysia, Di negara asalnya, memiliki kekuatan pada produk-produk fresh product,
grocery, obat-obatan dan basic fashion[CITATION htt2 \l 1033 ]. Semenjak akhir

dekade 1990an ini pula, perkembangan minimarket (convinience store) juga terus
meningkat tajam.
Salah satu pemain besar yang memulai saat itu adalah Indomaret. Meski
keberadaannya di Indonesia telah ada semenjak 1988[ CITATION htt3 \l 1033 ],
namun baru tahun 1997 Indomaret membuka kesempatan bagi masyarakat secara
luas untuk menjadi mitra waralaba mereka. Strategi inilah yang berhasil menjadikan
mereka sebagai salah satu pemain dalam industri retail skala menengah dan kecil
yang sangat berhasil. Begitu pula dengan keberadaan merek alfamart.
Keberadaannya sendiri telah ada semenjak tahun 1989 yang bergerak dalam bisnis
distribusi. Namun baru semenjak tahun 1999 masuk ke dalam bisnis industri
retail[ CITATION htt4 \l 1033 ]. Hingga saat ini terdapat beberapa pemain industri
ritel yang memiliki jaringan gerai di beberapa daerah di Indonesia (lihat profil daftar
beberapa pelaku ritel di Indonesia).
Kemunculan minimarket (convinience store) ini dilematis. Di satu sisi, sesuai

dengan nama konsepnya, gerai-gerai ini selalu berad pada lingkungan perumahan
atau di tengah-tengah dimana banyak orang beraktifitas. Hal ini tentu memberikan
rasa nyaman (convinience) kepada konsumen. Karena dengan demikian para
konsumen tidak lagi harus bersusah payah ke pasar untuk berbelanja kebutuhan
sehari-hari. Terlebih lagi beberapa gerai ini menawarkan layanan buka selama 24
jam. Hal ini tentu menambah kemudahan bagi konsumennya. Didukung oleh sistem
manajemen ritel yang modern, terutama dalam rantai pasoknya, menjadikan harga
barang-barang yang dijual juga semakin kompetitif.
Hal ini berbeda dengan warung-warung milik masyarakat lokal yang sebenarnya
juga berada di tengah-tengah lingkungan tempat tinggal itu pula. Berbagai
keterbatasan seperti modal hingga sistem penyediaan barang yang masih bersifat
tradisional, seringkali menjadikan mereka menjadi kurang dapat bersaing dengan
gerai-gerai tersebut. Karenanya, demi persaingan yang lebih sehat, di beberapa
daerah pemerintah daerah sudah campur tangan untuk mengeluarkan berbagai
regulasi termasuk untuk membatasi ekspansi yang berlebihan oleh gerai-gerai
minimarket modern tersebut.
Sebagai sebuah sektor industri, industri ritel memang memiliki karateristik khusus.
Posisinya yang langsung berhadapan dengan konsumen langsung, menyebabkan
industri ritel sangat rentan terhadap dinamika kebiasaan berbelanja masyarakat,
perubahan pendapatan serta gaya hidup. Munculnya minimarket ke berbagai

daerah terutama di luar Jawa, telah menyebabkan perubahan gaya hidup
masyarakat. Mereka melihat bahwa berbelanja di minimarket menjadi salah satu
indikator status sosial yang dimiliki oleh seseorang.
Sementara di kota-kota besar terutama di Jawa, berkembangnya pasar swalayan
yang dimulai karena adanya kebutuhan kepraktisan dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari, juga mengalami perubahan. Di kota-kota besar tersebut masyarakat
semakin banyak yang mencari tempat-tempat untuk dapat menjadi tempat
pertemuan (meeting point), baik untuk keperluan yang terkait dengan pekerjaan
maupun sekedar untuk kongkow. Hal inilah yang juga mendorong beberapa pasar
swalayan baik yang besar hingga minimarket seperti Sevel dan Indomaret,
melakukan inovasi untuk menjadikan gerai-gerai mereka sebagai tempat kongkow
dengan berbagai fasilitas yang ada. Dengan demikian, diharapkan gerai-gerai
mereka juga dapat bersaing dengan pertumbuhan cafe-cafe yang juga sangat

pesat. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab munculnya
permasalahan perizinan yang sempat dialami oleh Sevel.
Kebijakan ritel
Mencermati berbagai kenyataan yang disampaikan tersebut, peran pemerintah
menjadi penting dalam menciptakan iklim persaingan usaha eceran yang lebih
sehat. Kegagalan Sevel atau beberapa minimarket lain untuk bertahan dalam

persaingan industri eceran di Indonesia, tidak dapat diserahkan kepada mekanisme
pasar sepenuhnya. Industri eceran sebagaimana sektor industri lainnya, tentunya
pada suatu saat akan mencapai titik jenuh. Pengendalian atas titik jenuh inilah yang
perlu diciptakan agar persaingan di dalam industri retail tidak mengakibatkan
berkurangnya minat investor dalam sektor ini.
Sempat munculnya perdebatan persoalan perizinan antara izin restoran yang
dikeluaran oleh Kementerian Pariwisata dan izin penjualan ritel yang dikeluarkan
oleh Kementerian Perdagangan, pada dasarnya tidak perlu terjadi. Karena
bagaimanapun juga, inovasi bisnis akan selalu melampaui regulai yang telah ada.
Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah agar regulasi tidak
menjadi penghambat inovasi bisnis apalagi menjadi hambatan masuk (barrier to
entry) bagi pemain baru dalam sebuah industri.
Hingga saat ini regulasi yang menjadi acuan dalam industri ritel di Indonesia adalah
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) No. 70/M-DAG/PER/12/2013 Tentang Pedoman Penataan
dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Tradisional. Dalam
Perpres tersebut diatur sejumlah hal. Salah satunya adalah lokasi dan syarat-syarat
pendirian, luas bangunan, jam operasi, ketentuan pemasokan barang, perizinan,
serta pembinaan dan pengawasan untuk pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan

toko modern. Meski bertujuan untuk melindungi usaha kecil, namun aturan
semacam itu juga berpotensi untuk menjadi hambatan masuk bagi pemain baru
dan inovasi. Dampaknya, adalah terjadinya potensi terciptanya persaingan yang
juga tidak sehat dalam industri ritel. Jika hal itu terjadi, maka artinya hal tersebut
bertentangan dengan UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pertentangan seperti ini seharusnya dapat dihindari
apabila pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih diarahkan pada
peningkatan daya saing. Melalui peningkatan daya saing, maka diharapkan hal
tersebut juga dapat menjadi pemicu dalam melakukan inovasi di dalam industri
ritel.
Hal lain dalam kebijakan di bidang ritel ini adalah bagaimana regulasi yang ada
justru semakin mempermudah inovasi dalam menjalankan bisnis. Kemunculan
berbagai minimarket yang juga menyediakan berbagai “layanan kongkow” yang
mengakibatkan perlunya pengurusan izin dari dua kementerian, pada dasarnya
merupakan kurangnya pemerintah dalam menyediakan aturan yang mengikuti
perkembangan zaman. Dinamika sosial dan ekonomi serta teknologi yang berubah
secara cepat dan pesat di tengah masyarakat, pada akhirnya menuntut pemerintah
untuk cepat tanggap dalam mengeluarkan aturan. Dengan demikian industri ritel di
Indonesia akan tetap dapat berkembang dalam sebuah iklim persaingan usaha yang
sehat pula.

Nugroho Pratomo/ Peneliti PT. VTS.

Bibliography
http://corporate.alfamartku.com/visi-misi-perusahaan. (n.d.). Retrieved from
http://corporate.alfamartku.com/: http://corporate.alfamartku.com/
https://indomaret.co.id/korporat/. (n.d.). Retrieved from https://indomaret.co.id/:
https://indomaret.co.id/korporat/seputar-indomaret/peduli-danberbagi/2014/01/16/sejarah-dan-visi/
Ramdhania, G. (2014). Peranan Bauran Ritel dan Citra Merek Dalam Proses Keputusan
Pembelian Private Label "Giant" (Survei Kepada Konsumen Giant Hypermarket Pasteur
Hyperpoint di Bandung). Universitas Komputer Indonesia, Departemen Manajemen.
Bandung: Fakultas Ekonomi Unikom.
Soliha, E. (2008, September). Analisis Industri Ritel di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi ,
15(2), 128-142.