Pembangunan Sektor publik dan Swasta
Pembangunan Sektor Swasta
Analisis Rantai Nilai Kerajinan Mutiara, Emas dan Perak di Kota Mataram, NTB
Mengidentifikasi Dukungan Potensial bagi Pengembangan Rantai Nilai Kerajinan MEP
Program Pengembangan Ekonomi Daerah
Analisis Rantai Nilai Kerajinan Mutiara, Emas dan Perak di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat
Mengidentifikasi Dukungan Potensial bagi Pengembangan Rantai Nilai Kerajinan MEP
Laporan Akhir
Maret 2012
Hak cipta 2012
Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH - German International Cooperation - Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Direktorat Perkotaan dan Pedesaan
Semua hak dilindungi undang-undang/Dicetak di Indonesia
Penerbit
Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH - Regional Economic Development (RED) - Wisma Bakrie 2, Lantai 5 Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B2 Jakarta 12920 Indonesia Tel.
+62 21 5794 5740 Faks. +62 21 5794 5740 Email. jakarta@red.or.id Internet. www.red.or.id
Penyusun
Hidayat Albanjari
Reproduksi
Dilarang mereproduksi publikasi ini baik seluruhnya maupun sebagian dalam bentuk apa pun tanpa izin dari pemegang hak cipta, kecuali untuk tujuan pendidikan atau nirlaba, dengan ketentuan bahwa pengakuan sumber harus dibuat dan salinannya diberikan kepada GIZ.
Disclaimer
Informasi yang terdapat dalam publikasi ini diambil dari sumber-sumber yang diyakini dapat diandalkan. Namun, tidak ada pernyataan atau jaminan yang diberikan sehubungan dengan keakuratan, kelengkapan atau keandalannya. GIZ tidak bertanggung jawab atas setiap akibat/kerugian karena penggunaan isi publikasi ini
Ringkasan Eksekutif
Pada tahun 2011 Provinsi NTB terpilih melalui keputusan bersama antara BAPPENAS, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Program RED untuk menjadi wilayah percontohan bagi Pengembangan Ekonomi Daerah (Regional Economic Development/RED). Kerajinan muitara, emas dan perak di Kota Mataram dipilih sebagai komoditas unggulan yang akan dikembangkan melalui payung pendekatan RED.
Analisis rantai nilai dilakukan guna mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai komoditas kerajinan mutiara, emas dan perak (MEP), sejak dari konsep awal, proses produksi, sampai kepada konsumen akhirnya. Hasil-hasil analisis selanjutkan dijadikan acuan bagi pengembangan kerajinan MEP, dimana semua pelaku rantai nilai bisa mendapatkan manfaat dari penguatan komoditas ini, pada akhirnya bisa memberikan kontribusi bagi pengurangan kemiskinan.
Tujuan dilaksanannya kajian analisis rantai nilai ini adalah untuk:
1. Melakukan analisis rantai nilai secara mendalam terhadap kerajinan MEP;
2. menyediakan basis data untuk acuan pengembangan rantai nilai MEP;
3. menyusun rekomendasi bagi strategi pengembangan yang komprehensif (masukan bagi master plan) kedua komoditas MEP.
Kota Mataram merupakan ibukota Provinsi NTB yang terletak di Pulau Lombok, dengan jumlah penduduk sebanyak 375.506 jiwa atau 18% dari total jumlah penduduk Provinsi NTB (BPS, 2009) yang tersebar di 6 kecamatan. Jumlah KK miskin di Kota Mataram mencapai 25.686 KK atau 89.647 jiwa atau 24% dari total jumlah penduduk Kota Mataram.
Sentra produksi kerajinan MEP terdapat di dua lokasi yaitu di Kawasan Sekarbela (Kelurahan Karang Pule, Kecamatan Sekarbela), serta Karang Masmas dan Kampung Kamasan Kelurahan Monjok Kecamatan Selaparang yang sebagian besar pengrajinnya fokus pada kerajinan perak. Kawasan Sekarbela merupakan sentra produksi utama kerajinan MEP dengan jumlah perajin sekitar 800 an orang, sedangkan pada Kecamatan Selaparang (Kawasan Kampung Kamasan) sejumlah 68 orang. Kapasitas produksi kerajinan MEP di dua sentra produksi utama sebagai berikut:
No Lokasi sentra
74.220 Gram Sumber: Profil Klaster MEP Kota Mataram, 2009
2 Kamasan
18.060 butir
Kerajinan Mutiara, Emas dan Perak (MEP) secara umum berbentuk produk perhiasan, yang materialnya terdiri dari mutiara, emas, perak atau kombinasi dari dua atau tiga material tersebut menjadi sebuah produk perhiasan. Sesuai dengan pohon industri yang dirumuskan oleh Kementerian Perindustrian, kerajinan MEP termasuk dalam industri hilir dalam pohon industri perhiasan emas.
Pasar untuk produk hasil kerajinan MEP yang dihasilkan dari dua sentra produksi di Kota Mataram didominasi oleh pasar domestik (Jakarta, Bali, Surabaya, dan Lombok). Hasil survey lapangan menemukenali bahwa produk kerajinan MEP dari sentra produksi di Kota Mataram mayoritas dijual kepada pasar dalam negeri/lokal (sekitar 90%), dan hanya sebagian kecil yang dijual ke pasar luar negeri (ekspor). Pembeli terbesar dalam negeri selama ini berasal dari Jakarta, Bali, Surabaya dan dari Lombok sendiri. Untuk pasar ekspor butiran mutiara dan dalam bentuk perhiasan didominasi ke tiga negara yaitu Hongkong, Amerika Serikat dan Jepang.
Isu utama dari industri kerajinan MEP di Kota Mataram adalah keterbatasan modal yang dimiliki oleh perajin skala kecil, yang mengakibatkan ketidakmampuan mereka untuk membeli bahan baku dalam jumlah banyak, meremajakan alat produksi dan menambah stok produk, serta masih kecilnya nilai tambah yang diperoleh para perajin dan pengusaha dikarenakan belum berkembangnya desain sesuai tuntutan pasar.
Dari analisis rantai nilai teridentifikasi para pelaku utama di sepanjang rantai nilai kerajinan MEP meliputi produsen (penyedia bahan baku, perajin), pemilik toko (perajin-pengusaha), pedagang ritel.
Beberapa isu strategis yang ditemukenali adalah masih rendahnya kualitas Infrastruktur pendukung, ketidakstabilan pasokan energi listrik dan peraturan untuk mendukung persaingan sehat. Sementara Beberapa isu strategis yang ditemukenali adalah masih rendahnya kualitas Infrastruktur pendukung, ketidakstabilan pasokan energi listrik dan peraturan untuk mendukung persaingan sehat. Sementara
Analisis rantai nilai mengidentifikasi beberapa hambatan utama di sepanjang rantai nilai, meliputi Hambatan 1: Keterbatasan modal perajin berpengaruh pada upaya untuk pembelian bahan baku
serta peremajaan dan pembaruan peralatan produksi, sehingga peningkatan usaha sulit dilakukan karena hanya menggantungkan penyediaan bahan baku dari para pemesan serta pengembangan desain produk tidak berjalan.
Hambatan 2: Keterbatasan alat produksi dan ketrampilan perajin yang mendukung tren serta metode produksi yang baru menghambat para perajin dalam mengembangkan produk serta desain sesuai dengan permintaan dan tren pasar.
Hambatan 3: Keterbatasan akses perajin dan perajin-pengusaha ke sumber-sumber informasi pasar dan tren desain menyebabkan produk dan desain produk tidak berkembang sejalan dengan perkembangan pasar (desain monoton).
Hambatan 4: Keengganan perajin untuk melakukan pencatatan usaha (pembukuan sederhana) mengakibatkan tidak diketahuinya perkembangan usaha mereka serta tidak dimilikinya dokumen pendukung yang bisa digunakan untuk mengakses sumber-sumber pemodalan.
Hambatan 5: Lemahnya pengelolaan kelembagaan usaha (kelompok perajin dan koperasi) menyebabkan kurangnya manfaat yang dirasakan oleh anggota, khususnya dalam penyediaan solusi permasalahan yang dihadapi oleh anggota.
Hambatan 6: Tidak stabilnya pasokan listrik berpengaruh pada produktivitas perajin Rekomendasi bagi penguatan rantai nilai kerajinan MEP di Kota Mataram meliputi:
1. Sasaran pengembangan: “Peningkatan pendapatan, produktivitas dan akses pasar pelaku utama dalam rantai nilai kerajinan MEP”
2. Strategi pengembangan:
2.1. Strategi Pengembangan Produk diarahkan untuk mengembangkan produk yang telah ada selama ini melalui perbaikan kualitas, eksplorasi material-material bahan baku alternatif, dan inovasi desain. Pengembangan produk juga diarahkan untuk menciptakan produk-produk untuk segmen pasar kelas atas ( high-end market ) yang bernilai jual lebih tinggi.
2.2. Strategi Pengembangan Pasar diarahkan untuk perluasan akses ke sumber-sumber pasar potensial, baik secara langsung maupun melalui perantara pemasaran (agen, pedagang), serta pemasaran ke pasar wisatawan yang berkunjung ke sentra produksi kerajinan MEP.
3. Area-area intervensi utama: • Segera melakukan sosialisasi dan peningkatan kepedulian terhadap penggunaan air
raksa dalam penambangan dan pengolahan emas. • Peningkatan Kapasitas Pelaku dan Stakeholder Rantai Nilai (capacity building)
• Penguatan Kelembagaan (institutional building) • Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif (enabling business environment) • Peningkatan Sarana dan Prasarana Pendukung MEP • Peningkatan kualitas dan kuantitas Produk
4. Outcome yang diharapkan dapat tercipta dari penguatan rantai nilai kerajinan MEP di Kota Mataram adalah:
• Terciptanya pengembangan produk (Product Development) • Terbukanya akses ke pasar-pasar yang baru (Access to New Markets) • Meningkatnya iklim usaha yang kondusif (Improves business enabling envirotment) • Terciptanya platform dialog pemerintah – swasta. • Terbukanya akses ke sumber-sumber permodalan bagi pelaku usaha (Access to
Financial)
Executive Summary
In 2011, the province of NTB was selected by BAPPENAS, the Ministry of Cooperatives and SMEs, and the RED Program to become a pilot region for Regional Economic Development. The crafts of Gold, Silver and Pearl (GSP) in Mataram were chosen as the priority commodity that will be developed through the umbrella of the RED approach.
A value chain analysis was conducted to gain an overall overview of the both commodities from initial concept, the production process, to the end consumer. The analysis results later on will be used as a reference for the development of the commodities, where all the actors in the value chain can benefit from the strengthening of these commodities, and at the end could contribute to poverty reduction.
The purpose of this value chain analysis study is to:
A. Conduct in-depth value chain analysis of GSP;
2. provide a reference database for the development of the value chain of GSP;
3. formulate recommendations for a comprehensive development strategy (input to the master plan) for GSP.
Mataram is the capital city of the province on the island of Lombok, with a population of 375 506 inhabitants or 18% of the total population of the province (BPS, 2009) spread over in 6 districts. The number of poor households in the city of Mataram reached 25 686 households or 89 647 people or 24% of the total population of the city of Mataram. Meanwhile, the poverty rate in West Lombok reached 208 000 people (34.48%). Although the contribution of pottery’s exports in the province’s GDP less than 1%, but its role is very strategic to the local economy because absorb a lot of employment and becomes the main livelihood of most residents.
GSP handicraft production centers located in two locations, namely in the area of Sekarbela (Karang Pule Village, District Sekarbela), and Karang Masmas and Kamasan Village (District of Selaparang) which most of the craftsmen focus on the silver. Sekarbela region is a major production center with a number of GSP’s artisan around 800 people, while the District of Selaparang (Kamasan Village area) around 68 people. GSP handicraft production capacity in the two main production centers as follows:
No Location
74.220 Gram Source: Profil Klaster MEP Kota Mataram, 2009
2 Kamasan
18.060 pcs
The GSP crafts is generally in the form of jewelry products, with the material consists of pearls, gold, silver or a combination of two or three materials into a jewelry product. In accordance to the tree industry formulated by the Ministry of Industry, GSP is included in the downstream industry in the tree of gold jewelry industry.
The market of the GSP from two production centers in the city of Mataram is dominated by the domestic market (Jakarta, Bali, Surabaya and Lombok). The results of field surveys identified that GSP craft products from production centers in the city of Mataram majority are sold to domestic markets / clients (approximately 90%), and only a small portion is sold to foreign markets (exports). The largest buyers in the country are coming from Jakarta, Bali, Surabaya and from Lombok itself. For export market are dominated by three countries, namely Hong Kong, the United States and Japan.
The main issue of the GSP craft industry in Mataram is the limitation of capital for the small-scale artisans, which resulted in their inability to buy raw materials in large quantities, rejuvenate the production equipment and to increase the production stock, and also low added value obtained by the craftsmen and businessmen caused by undeveloped design suitable to market demands.
The value chain analysis identified the main actors along the value chain of GSP crafts are the producers (raw material providers, artisans), shopkeepers (artisan-entrepreneurs), and retail traders.
Some of the strategic issues identified are the low quality of infrastructure support, instability of electrical supply and regulation to support fair competition. Meanwhile, the opportunity of the GSP industry is related to the development of the tourism industry. Lombok's tourism industry is well aligned with the centers of craft that has a lot packed into a tourist handicrafts Lombok, one of which is a GSP craft center in Mataram.
Value chain analysis identified several major obstacles along the value chain, including;
Obstacle 1: Limited capital effect on efforts to the purchase of raw materials as well as rejuvenation and renewal of production equipment, so it is difficult to develop the business because only depend on the raw material supply and the development of product design is not improved.
Obstacle 2: Limitations of the production equipments and artisan skills to inline with the trend and also
a new production method that hampers the craftsmen to develop and design products according to demand and market trends.
Obstacle 3: Limited access for the craftsmen and artisans-entrepreneurs to the market information sources and trends lead to the product and product design which is not developed in line with market developments (monotonous design).
Obstacle 4: Reluctance to record the business (simple bookkeeping) causes they do not know the development of their business and also do not have supporting documents that can be used to access the capital.
Obstacle 5: Weak business institutional management (the artisans groups and cooperatives) causes
a lack of perceived benefits by the members, particularly in providing solutions to problems faced by members.
Obstacle 6: Unstable electricity supply effects to the artisans productivities
Recommendations to improve the value chain on GSP in Mataram:
1. Development target: "The increase in revenue, productivity and market access to key actors in the value chain of GSP craft "
2. Development strategy:
2.1. Product Development Strategy aimed to develop the existing product by improving the quality, explorations of alternative raw materials and design innovation. Product development is also directed to create products for the upscale market segment (high- end market) with the higher selling.
2.2. The Market Development Strategy is directed to the expansion of access to sources of potential markets, either directly or through marketing intermediaries (agents, dealers), as well as marketing to the visiting tourists to the handicraft production centers.
3. Main interventions: • Immediate information dissemination and awareness raising on the use of mercury in
gold mining and processing. • Capacity Building of the actors and stakeholder along the value chain Actors
• Institutional Strengthening (institutional building) • Developing a Conducive Business Climate (business enabling environment) • Increased GSP’s Facilities and Infrastructure • Improving the quality and quantity of products
4. Outcome expected to be created by strengthening the GSP’s value chain are: • Product Development • Access to New Markets • Improved Business Enabling Environment • Established dialogue platform between Public and Private sector. • Access to Finance
1. Pengantar
1.1 Latar belakang, Tujuan dan Metodologi
Pada pertengahan tahun 2011 Program Regional Economic Development (RED) melakukan inisiasi intervensi di wilayah pilot ketiganya yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Provinsi NTB terpilih melalui keputusan bersama antara BAPPENAS, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Program RED. Pada saat yang sama Provinsi NTB juga dipilih sebagai salah satu dari 6 daerah pilot dari LRED-Support Facility (LRED-SF). LRED-SF mendukung adanya “pendekatan koordinasi” diantara berbagai mitra atau instansi yang berbeda, baik dari tingkat lokal maupun nasional, dimana pelaksanaannya akan difasilitasi oleh BAPPENAS. Program RED akan mendukung “pendekatan koordinasi” ini serta akan bertindak selaku fasilitator lokal.
Selama proses seleksi berlangsung, juga dilakukan identifikasi serta pemilihan komoditas yang akan menjadi fokus intervensi serta fasilitasi bagi pengembangannya, dan terpilih 2 komoditas sebagai berikut:
Kerajinan Mutiara, Emas dan Perak (MEP) di Kota Mataram; Kerajinan Gerabah di Kabupaten Lombok Barat.
Sebagai bagian dari proses perumusan Strategi Regional, pada bulan Juli 2011 telah dilaksanakan workshop dengan menggunakan metode COMPASS (salah satu instrumen dari RED untuk melakukan assessment dan pengembangan strategi) untuk kedua komoditas diatas. Hasil dari workshop COMPASS ini membantu untuk memberikan gambaran kondisi yang ada pada saat ini serta menciptakan pemahaman yang sama diantara stakeholders terkait, serta mengidentifikasi area-area intervensi yang relevan.
Sebagai tindak lanjut dari workshop COMPASS, diperlukan kajian yang komprehensif terhadap dua komoditas diatas. Untuk itulah dilakukan kajian analisis rantai nilai ( value chain analysis ). Rantai nilai disini meliputi serangkaian kegiatan yang diperlukan guna membawa sebuah produk/komoditas sejak dari konsep awal, proses produksi, sampai kepada konsumen akhirnya. Pendekatan rantai nilai membantu mengembangkan produktivitas dari sebuah sektor/sub-sektor, dimana semua pelaku rantai nilai bisa mendapatkan manfaat dari penguatan sektor/sub-sektor tersebut. Sehingga, pendekatan ini akan memberikan
kontribusi bagi pengurangan kemiskinan.
Tujuan dilaksanannya kajian analisis rantai nilai ini adalah untuk:
1.Melakukan analisis rantai nilai secara mendalam terhadap kedua komoditas terpilih;
2. menyediakan basis data untuk acuan pengembangan rantai nilai kedua komoditas;
3. menyusun rekomendasi bagi strategi pengembangan yang komprehensif (masukan bagi master plan) kedua komoditas terpilih.
Guna mencapai tujuan diatas, serangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam proses kajian ini meliputi:
• Desk study dan kajian data sekunder; • Workshop dan pertemuan dengan stakeholders terkait guna mendapatkan informasi
terkini serta pengenalan terhadap analisis rantai nilai; • Mengembangkan desain studi/kuesioner untuk para pelaku rantai nilai: produsen/perajin, pengusaha (traders, entreuprener), dan instansi terkait (asosiasi,
perbankan, Pemda); • Kunjungan lapangan dan wawancara mendalam kepada para pelaku rantai nilai;
• Diskusi terbatas (FGD) dengan melibatkan perwakilan pelaku rantai nilai dan stakeholder terkait, untuk melakukan review terhadap temuan awal studi serta menggali masukan bagi perumusan strategi dan area-area intervensi potensial;
• Presentasi dan diskusi hasil studi dengan stakeholders serta Tim Program RED guna
menyetujui aktivitas bersama (a joint activity plan) bagi pelaksanaan strategi upgrading rantai nilai.
Laporan ini merupakan hasil integrasi berbagai temuan dan analisis serta usulan awal intervensi yang potensial untuk dilaksanakan Program RED bekerjasama dengan stakeholder dan mitra-mitranya.
1.2. Gambaran Umum Wilayah Studi
1.2.1. Provinsi NTB
Provinsi NTB merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan tingkat PDRB per kapita relatif rendah yaitu sebesar Rp. 10.957.000,- atau dibawah rata-rata nasional (rata-rata PDRB per kapita nasional Rp. 22.117.000,-). Struktur perekonomian Prov. NTB masih didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian yang mencapai 36,30 persen, disusul sektor pertanian yang mencapai 19,89 persen. Sementara sektor industri belum begitu berperan dalam perekonomian NTB karena peranannya baru mencapai sekitar 5 persen.
Jumlah penduduk Provinsi NTB tahun 2010 sebanyak 4.500.212 jiwa, diantaranya 70,41 persen tinggal di Pulau Lombok (3.168.692 jiwa), sementara sisanya atau 29,59 persen tinggal di Pulau Sumbawa (1.331.520 jiwa). Persentase penduduk miskin mencapai 21,55% atau sebanyak 1.009.352 jiwa (Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010, BPS).
Provinsi NTB terdiri atas 2 (dua) pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa dan ratusan pulau-pulau kecil, dimana luas Pulau Sumbawa mencapai 2/3 dari luas Provinsi NTB, dan luas Pulau Lombok hanya mencapai 1/3 saja. Secara administratif Provinsi NTB terbagi dalam 10 (Sepuluh) daerah otonom yang terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 2 (dua) kota dengan pusat pemerintahan Provinsi NTB terdapat di Kota Mataram Pulau Lombok. Pulau Lombok sendiri memiliki 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) kota.
1.2.2. Kota Mataram
Kota Mataram merupakan ibukota Provinsi NTB yang terletak di Pulau Lombok, dengan jumlah penduduk sebanyak 375.506 jiwa atau 18% dari total jumlah penduduk Provinsi NTB (BPS, 2009) yang tersebar di 6 kecamatan. Jumlah KK miskin di Kota Mataram mencapai 25.686 KK atau 89.647 jiwa (hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (P3S) dari BPS Nasional, 2010), atau 24% dari total jumlah penduduk Kota Mataram.
Secara ringkas, informasi geografis dan demografis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data geografis dan demografis Kota Mataram Luas wilayah
6.130 Ha
Penggunaan lahan: - Tanah pertanian
- Lahan non pertanian
9.35,9 Ha
Populasi 375.506 Jiwa Populasi perempuan
190.185 Jiwa
Kecamatan (districts)
Kalurahan 50 Jumlah KK (households)
104.443 KK
PDRB Kota Mataram tahun 2009 atas dasar harga konstan 2000 tercatat sebesar 2,029,661.99 juta Rupiah, dengan PDRB per kapita sebesar Rp. 11,026,062.65 menurut PDRB atas dasar harga berlaku. Perekonomian Kota Mataram didominasi oleh 4 sektor utama yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi (27,09%), perdagangan, hotel dan restoran (18,87%), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (16,44%) serta industri pengolahan (12,23%). Dilihat dari pertumbuhannya (atas dasar harga konstan tahun 2000), sektor Pengangkutan dan Komunikasi memberikan sumbangan tertinggi terhadap ekonomi yaitu sebesar 27,09% dengan laju pertumbuhan sebesar 6,49 persen. Sektor Perdagangan dan Perhotelan juga memberikan sumbangan yang berati sebesar 19,93% dengan pertumbuhan riil sebesar 10,38 Persen. Sektor Industri pengolahan masih mempunyai peranan yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan 11,20 persen.
Ketenagakerjaan di Kota Mataram saat ini menghadapi problematika yang mendasar yaitu tingkat pertumbuhan angkatan kerja tidak seimbang dengan lapangan kerja yang
tersedia 1 .Berdasarkan hasil SP 2000, angkatan kerja di Mataram tahun 2000 mencapai 124.777 orang. Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk Mataram tercatat sebesar
57,25. Sektor jasa menyerap sekitar 44,18 persen pekerja dan merupakan sektor terbanyak menyerap pekerja. Sektor lain yang cukup banyak menyerap pekerja adalah sektor perdagangan dan sektor pertanian, masing-masing sebesar 24,49 persen dan 6,51 persen.
Berdasarkan kajian pengembangan kompetensi inti daerah ( Core Competency ) Departemen Perindustrian yang dilaksanakan oleh PT. Primakelola Agribisnis Agroindustri, didapatkan
bahwa produk kompetensi inti Kota Mataram adalah emas/perak dan mutiara 2 . Industri kerajinan emas/perak dan mutiara terkonsentrasi di Kecamatan Sekarbela dan Kamasan.
Tabel 2. Potensi Industri Unggulan Daerah Kota Mataram
Kapasitas No
Jumlah Jumlah
Nilai
Jenis Industri
(Rp. 000,-) (buah)
1 182 Emas/Perak & Mutiara 434 2.341.500 2.106.710 Kayu 2 57 Cukli 153 36.282 36.800 Sumber: Road Map Pengembangan Kompetensi Inti Industri Kota Mataram 2012-2015
Minimnya data dan inkonsistensi penyajian data terkait dengan industri kerajinan di Kota Mataram menjadi salah satu kendala untuk mengetahui kinerja industri ini. Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTB tahun 2007 menunjukkan sebanyak 24 komoditi ekspor kerajinan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan nilai US$ 679.042,51 atau
2 Profil Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Ciptakarya, PU Road Map Pengembangan Kompetensi Inti Industri Kota Mataram 2012-2015 2 Profil Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Ciptakarya, PU Road Map Pengembangan Kompetensi Inti Industri Kota Mataram 2012-2015
Volume ekspor mutiara ke Hongkong selama Semester I tahun 2010 mencapai 23 kilogram mutiara yang nilainya US $ 8.708. Ke Amerika Serikat sebanyak 3 kilogram nilainya US $ 5.000 dan ke Jepang sebanyak 101 kilogram nilainya mencapai US $ 659.547,100. Meskipun nilai ekspor mutiara adalah yang terbesar setelah hasil tambang, namun dari keseluruhan nilai ekspor NTB ekspor mutiara hanya menyumbang sebesar 0,07
persen 3 .Jumlah tersebut belum termasuk perdagangan di dalam negeri yang diperkirakan omsetnya bisa mencapai lebih dari Rp50 miliar dalam setahunnya. Secara nasional ekspor
mutiara Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 5 ton dengan nilai sekitar US$ 30 juta (Data Kementerian Kelautan dan Perikanan).
Penetapan industri kerajinan mutiara, emas dan perak sebagai komoditi unggulan di Kota Mataram didasarkan pada pertimbangan nilai tambah dan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh industri meliputi:
- Penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Saat ini jumlah tenaga kerja yang terlibat
langsung dengan pembuatan emas/ perak dan mutiara pada Kota Mataram, khususnya kecamatan Sekarbela, adalah sekitar 200 orang, sedangkan pada Kecamatan Selaparang sejumlah 68 orang;
- Keterkaitan yang cukup luas dengan para pelaku usaha lainnya (seperti pemasok
bahan baku, mesin dan peralatan produksi, pedagang, travel agent, pemandu wisata); - Memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Mataram; - Sentra industri ini menjadi salah satu daerah kunjungan wisatawan karena
terkenal dengan kekhasan dan harganya yang relatif murah dengan kualitas dan desain cukup baik;
- Sebagai ikon pariwisata Kota Mataram.
Dikutip dari pernyataan Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTB yang dimuat dalam Lombok News, 12 August 2010
2. Profil Komoditas
2.1. Produk
Kerajinan Mutiara, Emas dan Perak (MEP) secara umum berbentuk produk perhiasan, yang materialnya terdiri dari mutiara, emas, perak atau kombinasi dari dua atau tiga material tersebut menjadi sebuah produk perhiasan.
Gambar 1. Sebagian produk kerajinan MEP dari Kawasan Sekarbela, Kota Mataram
Mutiara yang saat ini umum ditemukan di Lombok sebagian besar adalah mutiara hasil budidaya. Mutiara ini terbagi menjadi dua jenis berdasarkan tempat budidayanya yaitu mutiara air laut dan mutiara air tawar . Mutiara air laut dibudidaya diseputar perairan laut Pulau Lombok, sementara mutiara air tawar diidentifikasi berasal dari Cina. Mutiara air laut umumnya berukuran lebih besar dan bulat serta lebih berkilau dibandingkan dengan mutiara air tawar. Karena itu mutiara air laut memiliki harga yang jauh lebih mahal. Harga tergantung dari grade sebuah mutiara, dimana mutiara laut dengan grade dan kualitas yang bagus harga jualnya dihitung per gram. Sementara mutiara tawar dihitung per butir.
mutiara laut
mutiara tawar ( fresh water )
Klasifikasi kelas/ grade mutiara salah satunya ditentukan dengan menggunakan sistem A-D sebagai berikut:
A = Kualitas terbaik, kilau tajam dengan cacat kurang dari 10%.
B = Kualitas baik, kilau tajam dengan cacat kurang dari 30%.
C = Kualitas sedang, kilau sedang dengan cacat kurang dari 60%
D = Kualitas rendah, kurang berkilau dengan cacat kurang dari 60%. Cacat yang dimaksud ialah lubang-lubang kecil, guratan, bercak dan tonjolan-tonjolan kecil yang biasa ada pada permukaan mutiara. Bentuk-bentuk Mutiara
Bulat Baroque Oval Tetes Bapau Selain mutiara terdapat juga material dari jenis lain yang berasal dari kulit atau cangkang
kerang mutiara yaitu: kulit kerang, half pearl, mabe dan arcu.
Kulit kerang
Half pearl
Mabe
Arcu
Material emas dan perak digunakan sebagai bahan ikatan untuk merangkai mutiara menjadi produk perhiasan, yang biasanya terdiri dari:
• Emas 18 karat atau 75% dan emas 22 karat atau 92%. • Perak 925 Yaitu campuran perak murni dan tembaga dengan persentase 92,5%
perak + 7,5% tembaga.
2.2. Pasar
Menurut data dari BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional), impor perhiasan dunia mencapai nilai US$ 155,8 miliar. Jika dihitung dalam kurs rupiah Rp 9000/US$ saja angka itu berarti Rp 1.400 triliun. Sementara ekspor perhiasan Indonesia baru mencapai US$ 897 juta atau sekitar Rp 8 triliun, dan berada di urutan 152 negara pengekspor perhiasan dunia .
Pasar untuk produk hasil kerajinan MEP yang dihasilkan dari dua sentra produksi di Kota Mataram didominasi oleh pasar domestik (Jakarta, Bali, Surabaya, dan Lombok). Dari hasil wawancara dengan pengusaha kerajinan perhiasan di Kota Mataram diketahui bahwa
hampir 90% pasar kerajinan MEP adalah pasar lokal 4 . Pasar lainnya adalah wisatawan yang berkunjung ke sentra produksi di Sekarbela dan Kamasan.
Untuk pasar ekspor butiran mutiara dan dalam bentuk perhiasan didominasi ke tiga negara yaitu Hongkong, Amerika Serikat dan Jepang. Catatan perkembangan nilai ekspor kerajinan MEP NTB dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 3. Perkembangan nilai ekspor kerajinan mutiara, emas dan perak NTB
No Komoditi
Nilai Ekspor (dalam US$)
1 Kerajinan
4,253.70 - Emas/Perhiasan
2 Kerajinan Mutiara
3 Kerajinan Perak ---- 9,015.20 Sumber: Dinas Perindag Provinsi NTB, 2009
Data ekspor terbaru (periode Januari-Agustus 2011) menunjukkan nilai ekspor kerajinan perak tercatat sebesar US$ 985,380 dengan tujuan ekspor ke Amerika dan ekspor mutiara
sebesar US$ 387.089,000 ke negara Hongkong dan China 5 .
Sekitar 10-30 persen dari total produksi mutiara NTB setiap tahun diantarpulaukan ke Surabaya dan Jakarta untuk selanjutnya diekspor ke berbagai negara oleh 38 orang pengusaha mutiara 6 .
5 Hasil interview 15 pengusaha perhiasan di Kota Mataram, Okt-Nov 2011. 6 Dikutip dari Laporan Realisasi Ekspor Bulan Januari-Agustus 2011, Dinas Perindag Provinsi NTB Dikutip dari laporan Anwar Maga dalam berita Antara Mataram, 22 November 2011
2.3. Daerah Produksi
Sentra produksi kerajinan MEP tersebar di beberapa wilayah di Kota Mataram yaitu :
1. Kawasan Sekarbela. Kelurahan Karang Pule, Kecamatan Sekarbela, merupakan sentra/pusat kerajinan MEP terbesar di Kota Mataram bahkan di NTB.
2. Karang Masmas dan Kampung Kamasan Kelurahan Monjok Kecamatan Selaparang yang sebagian besar pengrajinnya fokus pada kerajinan perak.
Kawasan Sekarbela yang memiliki luasan ± 14 Ha merupakan sentra produksi utama kerajinan MEP yang berkembang secara turun temurun. Diperkirakan ketrampilan yang dimiliki oleh para perajin di kawasan ini telah ada sejak tahun 1938 atau sekitar zaman pemerintahan Anak Agung di Mataram, dimana pembuatan kerajinan dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Produk yang dihasilkan saat ini meliputi: bapang (kalung emas), pending (ikat pinggang emas), granrim (hiasan handle keris yang terbuat dari emas), keris dan pedang (dari besi), dan bokor (dari emas dan perak). Sehingga pada saat itu terdapat Lingkungan Pande Emas dan Lingkungan Pande Besi.
Pada tahun 1950-an, banyak perajin dari Kawasan Sekarbela ditarik oleh para pengusaha Cina untuk memproduksi kerajinan emas di toko-toko mereka di daerah Ampenan. Mayoritas dari para perajin ini akhirnya menjadi karyawan dari para pengusaha Cina tersebut. Sejalan dengan perubahan pola pikir dan jiwa wirausaha dari para perajin, sedikit demi sedikit para perajin yang menjadi karyawan pengusaha Cina tersebut membuka usaha mereka sendiri di Kawasan Sekarbela. Sebagian lainnya menjadi perajin mandiri yang tetap menjalin hubungan dengan para pengusaha Cina (pemilik toko perhiasan) di Ampenan. Berdasarkan data Diskoperindag Kota Mataram tercatat sebanyak 20 an pengusaha MEP (pemilik toko) yang ada di Kawasan Sekarbela.
Gambar 2. Lokasi sentra produksi kerajinan MEP di Kota Mataram
2.4. Pohon industri
Sesuai dengan pohon industri yang dirumuskan oleh Kementerian Perindustrian, kerajinan MEP termasuk dalam industri hilir dalam pohon industri perhiasan emas. Industri kerajinan MEP terkait erat dengan industri pertambangan sebagai industri pemasok bahan baku kerajinan MEP (khususnya pertambangan emas, budidaya mutiara, dan pertambangan tembaga). Ketersediaan bahan baku yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh pasokan dari industri pertambangan. Sementara nilai tambah yang bisa diperoleh akan sangat dipengaruhi oleh desain produk (perhiasan MEP) yang dihasilkan oleh perajin dan pengusaha perhiasan.
Gambar 3. Pohon industri perhiasan emas
Emas Bentuk
Rantai Pertambangan
Tembaga
Tembaga
• Jam tangan
Emas
• Gelang
• Kalung Penggosokan
Campuran
• Ikat Pinggang
Batu Mulia
Batangan
Batu Mulia
Budidaya Emas
Rantai
• Giwang
Penggosokan
• Cincin
Intan
Intan
• Bross • Liontin
• Gagang kacamata
Sumber: Kementerian Perindustrian
2.5. Kondisi Terkini
Tingginya harga bahan baku dan keterbatasan modal perajin/pengusaha
Industri kerajinan MEP termasuk industri hilir, sehingga perkembangannya akan sangat dipengaruhi oleh pasokan bahan bakunya yang berasal dari industri pertambangan, baik dari sisi kuantitas maupun harga beli. Harga beli bahan baku menjadi salah satu kendala bagi para perajin MEP di Kota Mataram, khususnya setelah terjadi peningkatan harga emas dan perak beberapa tahun terakhir. Kondisi ini mengakibatkan kapasitas produksi tidak bisa optimal dikarenakan terbatasnya modal para perajin untuk membeli bahan baku tersebut.
Kondisi masing-masing bahan baku kerajinan MEP dapat diuraikan sebagai berikut: • Mutiara
Produksi mutiara di NTB rata-rata sebanyak 600 kilogram/tahun yang dihasilkan oleh 36 perusahaan yang tersebar di Pulau Lombok dan Sumbawa 7 dengan luasan areal
budidaya mencapa 19.056 hektare. Hasil penelitian Departemen Kelautan dan Perikanan, mutiara produk NTB diklasifikasikan dalam golongan A (kualitas tinggi), B (sedang) dan C (rendah). Klasifikasi A memiliki nilai jual Rp1 juta/gram, B Rp150
ribu/gram dan klasifikasi C sebesar Rp100/gram 8 .
8 www.antaramataram.com Dikutip dari Kompas, 9 Juli 2011 , laporan Anwar Maga, 22 November 2011
• Emas Emas merupakan salah satu bahan baku utama dalam industri kerajinan MEP. Emas
juga menjadi bahan ikatan untuk perhiasan mutiara. Tingginya harga emas dan fluktuasi harganya merupakan salah satu kendala utama bagi para perajin MEP (dan pengusaha) dalam berproduksi. Harga emas batangan di Indonesia telah mencapai Rp. 500 ribuan per gram, demikian pula dengan emas batangan 5 gram.
Meningkatnya harga emas batangan mengakibatkan penjualan produsen perhiasan terkoreksi lebih dari 40 persen. Industri perhiasan terus turun tiap tahunnya, sejak pertama kali harga emas naik tinggi mulai tahun 2005, sampai tahun 2011 penjualan
perhiasan turun 30-40 persen. 9
• Perak Belum tersedianya bahan baku yang cukup, juga membuat harga perak terus
melambung dari tahun ke tahun. Upaya Pemerintah untuk mengatasi krisis bahan baku perak melalui permintaan alokasi dari PT Aneka Tambang (Antam) berupa bahan baku perak berkualitas sebesar 3.600 kg per tahun hingga kini belum terealisasi. Tercatat dalam bulan November 2011 harga bahan baku perak mencapai Rp10.000 per gram,
naik dari harga pada tahun sebelumnya yang berkisar Rp. 6000 per gram. 10 Kebutuhan bahan baku perak untuk setiap perajin mencapai 30 kg sampai satu kuintal
per bulannya. Dengan mahalnya harga bahan baku dan sulitnya mendapatkan produk lokal, kapasitas produksi kerajinan perak mengalami penurunan antara 20%-30% 11 .
Harga jual
Harga jual produk kerajinan MEP sangat bervariasi. Dari hasil interview diperoleh gambaran harga jual kerajinan MEP rata-rata antara Rp. 50.000 hingga puluhan juta rupiah/pcs nya. Harga jual disini dipengaruhi oleh mutu/kualitas mutiara dan nilai karat emas atau perak sebagai materi pengikatnya. Disamping itu aspek keindahan (desain) juga mempengaruhi, meskipun sifatnya sangat subyektif dari masing-masing pembeli.
Volume produksi
Data Pemerintah Kota Mataram menyebutkan kapasitas produksi kerajinan MEP di dua sentra produksi utama sebagai berikut:
No Lokasi sentra
665.777 Gram 501.684 Gram
74.220 Gram Sumber: Profil Klaster MEP Kota Mataram, 2009
2 Kamasan
18.060 butir
Jumlah tenaga kerja yang terlibat
Data yang diperoleh tidak secara konsisten menyatakan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri kerajinan MEP. Dari hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Perajin Karya Mutiara Mandiri diperoleh informasi jumlah perajin yang terdapat di sentra produksi di Kelurahan Karang Pule, Kecamatan Sekarbela sekitar 800 an orang. 12 Sementara data yang
Dikutip dari pernyataan David Hermanto, General Manager PT Hartono Wira Tanik, produsen perhiasan emas dalam http://bisnis.vivanews.com 10 , 19 Agustus 2011 Laporan Theresia Andayani, Tribun Jogja - 28 November 2011 11 Dikutip dari pernyataan Sekretaris Himpunan Pengusaha Mikro Kecil Indonesia (Hipmikindo) DIY dalam http://www.bisnis-
jateng.com 12 , 21 Maret 2011
Interview Bp. Suhaibi (perajin MEP) di Karang Pule, Kecamatan Sekarbela, tanggal 26 Oktober 2011 Interview Bp. Suhaibi (perajin MEP) di Karang Pule, Kecamatan Sekarbela, tanggal 26 Oktober 2011
Ketersediaan data sentra kerajinan MEP di Sekarbela dan Kamasan yang komprehensif dan terus diperbarui mutlak diperlukan untuk mengetahui kinerja industri kerajinan MEP di Kota Mataram. Pemkot Mataram perlu membuat database kedua sentra ini guna kebutuhan perencanaan dan monitoring program-program pengembangan UKM di kedua sentra.
Pemasaran
Hasil survey lapangan menemukenali bahwa produk kerajinan MEP dari sentra produksi di Kota Mataram mayoritas dijual kepada pasar dalam negeri/lokal (sekitar 90%), dan hanya sebagian kecil yang dijual ke pasar luar negeri (ekspor). Pembeli terbesar dalam negeri selama ini berasal dari Jakarta, Bali, Surabaya dan dari Lombok sendiri.
Hasil produksi dijual di toko-toko perhiasan di sepanjang jalan di Kelurahan Karang Pule - Kecamatan Sekarbela, toko-toko perhiasan di kawasan Cakra, Praya dan beberapa tempat di Lombok Timut. Para pengusaha pemilik toko lebih banyak melayani pembeli grosiran (75%), sedangkan 10% di ekspor ke luar negeri. Sisanya merupakan pembeli langsung yaitu para tamu yang mengunjungi sentra ini. Sekitar 40 % pembeli berasal dari wilayah Jawa. Alat promosi yang digunakan beragam, mulai dari katalog, pameran (dalam negeri dan luar negeri), promosi secara online, melalui BBM (Blackberry Messenger) serta informasi dari mulut ke mulut ( word of mouth ). Beberapa pengusaha menyatakan bahwa, keuntungan yang diperoleh melalui penjualan online bisa mencapai 200%. Sedangkan keuntungan penjualan di toko mencapai sebesar 50%.
Gambar 3. Toko-toko perhiasan di sepanjang Kawasan Sekarbela
Para perajin melayani pemesanan dari para pengusaha pemilik toko (baik dari Kawasan Sekarbela maupun toko-toko perhiasan di kawasan Cakranegara). Terdapat pula para pembeli individu yang melakukan pemesanan langsung ke perajin namun jumlahnya relatif kecil. Promosi yang digunakan masih sangat sederhana, yaitu melalui informasi dari mulut ke mulut ( word of mouth ) sesama pelanggan.
Proses dan teknologi produksi
Jenis-jenis industri perhiasan emas dapat dikelompokkan dalam empat kategori. Pertama, tipe handmade (pertukangan), yang menggunakan ukiran tangan tanpa mesin dengan modal bahan baku antara 100-200 gram. Kedua, level casting (cetakan), yang sudah menggunakan mesin dan memerlukan modal kerja sekitar Rp 100-200 juta. Ketiga, level stamping yang mengharuskan ada mesin stamping yang untuk membuat plat dengan Jenis-jenis industri perhiasan emas dapat dikelompokkan dalam empat kategori. Pertama, tipe handmade (pertukangan), yang menggunakan ukiran tangan tanpa mesin dengan modal bahan baku antara 100-200 gram. Kedua, level casting (cetakan), yang sudah menggunakan mesin dan memerlukan modal kerja sekitar Rp 100-200 juta. Ketiga, level stamping yang mengharuskan ada mesin stamping yang untuk membuat plat dengan
satu mesin sekitar Rp.150 juta 13 .
Pembuatan kerajinan MEP di sentra produksi di Kota Mataram termasuk dalam tipe kategori pertukangan (handmade). Desa Banyumulek sebagian besar masih dilakukan secara tradisional, dan dengan menggunakan alat-alat yang sangat sederhana. Alat-alat yang digunakan oleh Perajin masih sangat sederhana, sehingga dalam proses pembuatannya pun masih terbilang tradisional. Adapun alat-alat yang digunakan ialah:
− Penggilingan − Pengurut − Spit alit − Mesin Cor (Kipas, Kempes, Tangki) − Bor Gantung − Sungling − Tumbler − Kipas − Mesin poles − Timbangan elektrik − Alat krum − Beberapa alat kecil lainnya seperti tang, kikir, dsb.
Gambar 4. Suasana produksi para perajin di Sentra Produksi Sekarbela
Dukungan untuk pengembangan teknologi produksi telah diberikan oleh Kementerian Perindustrian melalui bantuan alat casting. Namun, penggunaan mesin casting tersebut belum optimal karena para perajin masih belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam pembuatan mal yang dibutuhkan untuk pembuatan komponen/produk dalam jumlah
banyak. 14
Gambar 5. Peralatan produksi para perajin di Sentra Produksi Sekarbela
Dikutip dari wawancara Leo Hadi Loe, Ketua Asosiasi Asosiasi Produsen Perhiasan Indonesia (APPI) yang dimuat dalam 14 http://www.fileinvestasi.com Catatan FGD Pengembangan Industri Kerajinan MEP, Bappeda Kota Mataram, 17 Desember 2011
Kelembagaan
Saat ini bentuk kelembagaan di tingkat perajin adalah berupa kelompok perajin (Kelompok Perajin Karya Mutiara Mandiri), yang telah mencapai 10 kelompok (tiap kelompok terdiri dari
10 orang perajin). Kegiatan kelompok perajin ini masih sebatas pada pertukaran informasi dan ketrampilan serta beberapa diantaranya melakukan sharing produksi apabila ada pesanan dalam jumlah cukup banyak. Pengelolaan kelompok dan koordinasi antar anggota masih sangat lemah.
Di tingkat nasional, terdapat asosiasi yang terkait dengan kerajinan MEP adalah ASBUMI (Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia) dan Asosiasi Produsen Perhiasan Indonesia (APEPI). Mayoritas pengusaha dan perajin MEP di Kota Mataram belum menjadi anggota dari kedua asosiasi tersebut. Namun, beberapa pengusaha menyatakan bahwa, meskipun tidak menjadi anggota organisasi tersebut, mereka merasakan manfaat dari organisasi ini, diantaranya adalah diikutsertakan pada beberapa pameran perhiasan.
Mutu/Standar produk
Produk yang diproduksi oleh para perajin sebagian besar memenuhi standar yang diminta oleh para pemesan (pembeli). Sebagian besar pembeli dari Kawasan Sekarbela (toko) menentukan standar kadar emas sebesar 91,6 % atau 22 karat. Sedangkan pembeli dari luar Kawasan Sekarbela biasanya meminta standar kadar emas sebesar 70% atau 16 karat. Kendala yang dihadapi oleh para perajin dalam memenuhi standar ini adalah tidak dimilikinya kompresor oleh sebagian besar perajin, dan mereka hanya menggunakan peralatan sederhana (kempes) yang mengakibatkan banyaknya kadar emas yang hilang
dalam proses produksi 15 .
Di tingkat pengusaha (pemilik toko) Standar emas yang ditetapkan dalam produk ini yaitu 22 karat yang merupakan pencampuran dari tembaga dan perak. Percampuran ini 11 : 1 dari emas murni 24 karat. Untuk standar mutiara, selama ini masih didasarkan pada standar yang berlaku (penampakan secara fisik) serta standar yang dianut oleh para perajin/pengusaha yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pengusaha Perhiasan Indonesia (APEPI) yang di publikasikan melalui jewelery indonesia magazine sebagai berikut:
tingkatan AAA AA A B C Low Grade kualitas
banyak cacat permukaan
kondisi sangat bersih
bersih bersih dengan cacat sedikik
cacat
sedikit cacat dan ada noda
sedang kurang bercahaya bentuk
kilau sangat sempurna sempurna
baik
sedang
beragam warna
sangat bulat
bulat
bulat
kurang bulat kentang
kurang harga/gr
sangat baik
Pemerintah telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mutiara (SNI nomor 4989:2011). Mengingat SNI mutiara ini masih relatif baru (diterbitkan pada bulan April 2011), sehingga sebagian besar perajin dan pengusaha (pemilik toko) belum banyak yang mengetahui mengenai SNI ini.
Stakeholders yang terlibat/Instansi pendukung
Stakeholders yang selama ini mendukung pengembangan industri kerajinan MEP di Kota Mataram adalah:
Instansi/Lembaga Bentuk dukungan
Dinas Koperasi, Perindustrian - Fasilitasi pembentukan koperasi kelompok usaha dan Perdagangan Kota
- Bantuan modal dana bergulir
15 Hasil interview perajin di Kawasan Sekarbela, Oktober 2011
Mataram
- Fasilitasi promosi: pameran - Pelatihan teknis produksi - Magang ke luar daerah
Dinas Perdagangan dan
- Pelatihan peningkatan mutu
Perindustrian Provinsi NTB - Fasilitasi pameran dalam dan luar negeri Dekranasda Kota Mataram
- Promosi - Pembinaan usaha kepada perajin
Dinas Kebudayaan dan
- Promosi melalui brosur pariwisata
Pariwisata Kota Mataram - Fasilitasi partisipasi pameran (sharing pendanaan ) - Cetak biru pariwisata Kota Mataram: perencanaan
Sekarbela sebagai tujuan wisata belanja Bappeda Kota Mataram
- Pelatihan manajemen usaha (kerjasama dengan
DED) - Pembangunan MCC
Kementerian Perindustrian
- Bantuan pengadaan alat casting
ASBUMI
- Informasi pameran - Fasilitasi partisipasi pameran
Koppontren Al-Raisiyah - Kegiatan simpan pinjam bagi UKM MEP di Sekarbela
Isu lingkungan
Isu utama yang terkait dengan aspek lingkungan adalah berupa limbah pengolahan lumpur yang diproses untuk mendapatkan kandungan emas. Mesin utama yang digunakan dalam proses ini disebut glondong. Proses pengolahan ini menggunakan campuran air raksa dimana pada saat pengolahan, para pekerja hanya menggunakan peralatan seadanya, sehingga sangat membahayakan kesehatan mereka. Selain itu limbah cair yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik (dibiarkan mengalir ke tanah pekarangan atau saluran air lingkungan), yang juga dapat membahayakan kondisi kesehatan dan lingkungan sekitar.
Gambar 6. Peralatan pemroses lumpur yang mengandung emas dan limbahnya
Sebuah artikel mengenai dampak lingkungan usaha emas di Sekarbela mengidentifikasi terjadinya pencemaran tanah dan air sebagai akibat dari pembuangan limbah emas yang menggunakan raksa (Merkuri /Hg) untuk memisahkan emas dengan pasir atau tanah hasil penggalian. Bahan raksa yang digunakan tersebut tergolong berbahaya dan beracun sehingga sangat berbahaya sekali jika air yang sudah tercemar tersebut sampai di konsumsi oleh manusia. Pencemaran tanah dan air juga disebabkan oleh tumpahan-tumpahan minyak
atau oli pada saat penggilingan batu emas 16 .
Dimensi Gender dan Sosial
Mayoritas perempuan di Sentra Produksi Sekarbela dan Kamasan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yang berdampak pada kemampuan yang sangat terbatas membantu suami dan keluarga mereka dalam melakukan kegiatan usahanya. Rata-rata
16 Kota Emas Sekarbela, Karniwati, 20 Juli 2009 16 Kota Emas Sekarbela, Karniwati, 20 Juli 2009
- Merangkai perhiasan (kalung, gelang), dan - Penjualan
2.6. Potensi Pengembangan
Provinsi NTB saat ini tengah fokus pada pengembangan industri kepariwisataan, yang diimplementasikan melalui program Visit Lombok Sumbawa 2012 (VLS) dan menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan. Industri pariwisata di Lombok memiliki keterkaitan yang erat dengan sentra-sentra kerajinan yang selama ini banyak dikemas menjadi wisata kerajinan Lombok, salah satunya adalah sentra kerajinan MEP di Kota Mataram.
Dengan target kunjungan melalui program VLS sebesar 1 juta wisatawan (total wisman dan wisnus), diharapkan dapat mendorong peningkatan kunjungan wisatawan ke sentra kerajinan MEP di Kota Mataram. Indikasi positif terhadap perkembangan kunjungan wisatawan tercermin dari peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Lombok pasca dibukanya Bandara Internasional Lombok (BIL) pada bulan Oktober 2011. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, tercatat peningkatan angka kunjungan wisatawan dalam satu bulan saja mencapai 3.000 orang (total wisman dan wisnus) sejak Bandara Internasional Lombok (BIL) beroperasi. Jumlah wisatawan yang menginap di akomodasi (wisman dan wisnus) di Lombok Barat dan Kota Mataram pada tahun 2009 tercatat sebanyak 73.329 orang, sementara total wisatawan yang menginap di akomodasi di NTB tercatat sebanyak 619.370 orang (Disbudpar Prov. NTB. 2010).
Pengembangan sentra kerajinan MEP di Kota Mataram menjadi destinasi wisata akan menumbuhkan peluang-peluang pengembangan baru bagi para pelaku usaha di sentra ini, selain diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dari hasil penjualan langsung yang dilakukan oleh wisatawan.
3. Analisis Rantai Nilai Kerajinan MEP di Kota Mataram
3.1. Lingkungan Usaha
Dari hasil interview dan diskusi terbatas dengan stakeholders ditemukenali beberapa isu strategis terkait dengan lingkungan usaha industri kerajinan MEP, diantaranya:
- Infrastruktur: Kualitas jalan: para pelaku usaha (perajin, pemilik toko) mengeluhkan kondisi kualitas jalan di Kawasan Sekarbela yang jauh dari memadai. Sebagai salah satu
sentra tujuan wisata di Kota Mataram, jalan di kawasan ini belum layak untuk dilalui oleh alat transportasi yang membawa tamu (pembeli).
- Pasokan energi listrik: Mayoritas perajin mengeluhkan kondisi pasokan listrik yang tidak stabil di sentra produksi kerajinan MEP. Sebagian besar alat produksi menggunakan energi listrik, sehingga ketidakstabilan pasokan listrik berdampak pada produktivitas mereka.