Terorisme dan Politik di Indonesia

TUGAS PRESENTASI KELOMPOK
Terorisme dan Politik di Indonesia:
Kebijakan Kontra-Terorisme Indonesia Diantara Dua Tekanan

Tema Kuliah: Diskusi Isu-Isu Politik
Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Politik (PIP)
Dosen Pengampu: Bapak Bambang Sunaryono, S.IP., M.Si.

PENYAJI:
KELOMPOK II - KELAS REGULER A
Oleh:
Siti Meurah Dani
Regina Maharani
Ganendra Widigdya
Anakiowa Padmandaru
Hasna Rasikha Putri
Muhammad Fathur Reza
Khairul Munzilin

(Ketua)


20130510002
20130510005
20130510007
20130510015
20130510017
20130510041
20130510062

SEMESTER I
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEFINISI & SEJARAH TERORISME

Siti Meurah Dani
NIM: 20130510003

DEFINISI TERORISME (1)
Terrorism dari bahasa Latin: terrere: to frighten, to terrify, to scare away, or
to deter.


Definisi PBB (dalam Djelantik, 2010):
“T
is the act of destroying or injuring civilian lives or the act of
destroying or damaging civilian or government property wihotur the expressly
chartered permission of a specific government, this by individual or groups
acting
y”„ in the attempt to effect some political
”.
UK Prevention of Terrorism Act / PTA Act (1974):
“ use of violence for political end (including) any use of violence for the
purpose of putting the public or any section of the public in


DEFINISI TERORISME (2)
US Department of Defense (Muhammad, 2012):
“ unlawful or threatened use of force or violence against individual or property to
coerce and intimidate governments or societies, often to achieve political, religious
and ideological
”.
US State Department (Muhammad, 2012):


, politically motivated violence perpetrated against non-combatant
targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended to influence
an
”.
Organisasi Konferensi Islam (Muhammad, 2012):

is an act carried out to achieve an inhuman and corrupt objective, and
involving threat to security of any kind, and violation of rights acknowledged by
religion and


DEFINISI TERORISME DI INDONESIA
UU No. 15 Tahun 2003 (Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme):
“ y
y
violence to create a widespread atmosphere of terror or fear
in general population or to create mass casualties, by
forcibly taking the freedom, life or property of others or

causing damage or destruction to vital strategic
installations or the environment or public facilities or
”.

SEJARAH TERORISME & ISTILAH TERORISME
Kegiatan terorisme yang tercatat pertama kali terjadi pada tahun 996 Masehi ketika
lahir kelompok kaum Yahudi yang bernama Zealot (dikenal oleh pasukan Romawi
sebagai sicarii / pasukan belati) yang membunuh para pasukan dan pejabat Romawi
agar mereka meninggalkan Kota Suci Yerusalem.

Istilah Terorisme muncul dalam buku karangan ahli politik Perancis, Robespierre
dengan judul “Reign of Terror” yang menceritakan bagaimana pemerintahan di
bawah kuasa kelompok Jacobin setelah Revolusi Perancis tahun 1789 menggunakan
teror untuk melestarikan kekuasaan dengan menghabisi bangsawan dan kerabatnya.
Konsep awal ini justru memperlihatkan bagaimana awalnya definisi terorisme justru
muncul dari perbuatan NEGARA terhadap MASYARAKAT.

Tahun 1960-an tindakan terorisme global yang terlihat lebih kepada latar belakang
konteks konflik Arab dan Israel.


PERDEBATAN SUBJEK TERORISME

Regina Maharani
NIM: 20130510005

NEGARA SEBAGAI PELAKU TERORISME
Namun banyak yang berargumen bahwa penggunaan KEKERASAN atau pemaksanaan
oleh pemerintah itu bukanlah teror melainkan sebuah hak dasar pemerintah.

Konsep “ a ” oleh Weberian (Max Weber): “a set of organization invested with the
authority to make binding decision for the people and organization juridically located in a
particular territory an d implement these decision using, if necessary force” (Muhammad,
2012).
Report of The United Nations Secretary-G
’ High Level Panel on Threats,
Challenges and Changes (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya telah ada wadah yang
dapat menghukum pemerintah yang melakukan tindakan kekerasan tidak pada
tempatnya terhadap masyarakat, seperti: Peradilan Genosida dan Peradilan Kejahatan
Perang. Sehingga berdasarkan pertimbangan itu banyak negara (terutama USA dan
UK) menganggap bahwa istilah terorisme hanya bisa diperuntukan bagi aktor nonnegara.


TERORISME SEBAGAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN
Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme
(Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana
Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui
European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di
Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan
paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai
Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan
Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity,
dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[. Crimes against
Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran
HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang
diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public
by innocent), sebagaimana terjadi di Bali (Aji, 2001)

KESULITAN DALAM PERUMUSAN DEFINISI
Menurut Salmon & Imber (2008), penyebab kesulitan dalam perumusan
definisi yang sama terkait terorisme adalah:

1. Setiap negara memiliki kecenderungan tantangan kekerasan yang
spesifik sehingga menghasilkan beragam variasi (terlebih dengan
membesarnya keanggotaan PBB dari awal 51 negara pendiri menjadi
192 negara anggota);
2. Istilah terorisme adalah istilah yang pejorative (berkonotasi negatif)
sehingga definisi yang akan berakibat pada labeling sebuah kelompok
akan menjadi sebuah isu yang besar dalam sistem pergaulan
internasional;
3. Tantangan dari ungkapan “
’ terrorist is another

freedom
”.

BENTUK AKSI TERORISME

Anakiowa Padmandaru
NIM: 20130510015

TUJUAN TERORISME

Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang
lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat
menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa.
Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan
lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya.
Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk
menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan
ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu
untuk mentaati kehendak pelaku teror (Loqman, 1990).

TERORISME DAN KRIMINAL LAINNYA
Membedakan terorisme dan tindakan kriminal lainnya menurut Viotti dan Kauppi (2007):
“T
, as politically motivated violence, aims at achieving a demoralizing effect on
publics and
”.  Senantiasa mempunyai muatan politik.

Apabila digabungkan antara pemahaman Ganor (2005) dan Robertson (2007), mereka
melihat ada empat ciri utama terorisme yaitu:

1.
Menggunakan perjuangan melalui jalur kekerasan (essence of the action-the form of
violent struggle);
2.
Memaksimalkan orang-orang yang tidak bersalah sebagai target baik secara
langsung maupun tidak (the target of the damage is civilian) membedakannya dengan
penggulingan populer dan gerilya;
3.
The goal of underlying terrorism is always political (menggantikan rezim,
menggantikan pemimpin, merubah bentuk pemerintahan, penggantian kebijakan
sosial-ekonomi, menguasai atau membinasakan ideologi), apabila tidak ada maka
dapat disimpulkan sebagai kriminal biasa atau tindakan onar biasa;
4.
Berusaha menarik perhatian atas masksud-maksud dari tindakan mereka.

TAKTIK TERORISME
(unlawful/ public by innocent)












Pembajakan (terutama pesawat marak di tahun 1960-an);
Menyandera dan menculik;
Peledakan Bom;
Pembunuhan tokoh-tokoh politik;
Mengancam (threat) dan menyebarkan ancaman kosong (hoaxed);
Serangan bom bunuh diri;
Serangan militer pada fasilitas publik;
Sabotase;
Merampok bank;
Propaganda.

Semakin canggih metoda maka akan semakin mendapatkan perhatian publik karena

memang tujuannya bersifat psikologis (psy-war) untuk menyebarkan rasa panik,
takut dan kewaspadaan masyarakat.  media menjadi “sahabat” terorisme.

TIPOLOGI TERORISME

Muhammad Fathur Reza
NIM: 20130510041

TIPOLOGI TERORISME (Salmon, et al 2008)


Nationalist/ Separatist
Tujuan: Upaya untuk menentukan pendapat sendiri / disintegrasi
Contoh: Provisional Irish Republican Army (PIRA) di Irlandia, Euskadi ta
Astakansuna (ETA) di Spanyol, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Indonesia.


Left Wing and Right Wing
Tujuan: Upaya radikal untuk melakukan penataan ulang pada struktur nasional atau
struktur internasional.
Contoh: The Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC), di Kolombia Shining
Path di Peru, Anders Behring Breivik di Norwegia.



Religious
Tujuan: Upaya untuk mengatasi kekuatan yang dikategorikan jahat dengan kekuatan
yang dikategorikan lebih benar.
Contoh: 969 Movement di Myanmar, Ku Klux Klan di Amerika Serikat, Al Qaeda,.

TIPOLOGI TERORISME (Griffiths, et al 2008)


Transnational Organized Crime
Tujuan: Melakukan kegiatan terorisme untuk melindungi aset dan kepentingan serta
untuk menjaga pegaruh.
Contoh: Italia Mafioso, Mexican Drug Cartel


State-Sponsored Terrorism
Tujuan: Mendukung dan aktif membina kelompok-kelompok yang dianggap dapat
membantu mendukung tujuan negara dengan melakukan instabilitas di lokasi lain.
Contoh: Afghanistan, Irak dan Libya.


Nationalistic
Tujuan: Melakukan upaya untuk berpisah dari negara induk


Ideologistic (tidak saja agama, Cth: Abortion Law)
Tujuan: Melakukan upaya untuk memperjuangkan sebuah ide atau kepentingan..

NEGARA & KONTRA-TERORISME

Khairul Munzilin
NIM: 20130510062

NEGARA DAN KEBIJAKAN KONTRA-TERORISME
Menurut Muhammad (2012) negara adalah institusi yang “bidirectional valve”.
Negara adalah institusi yang berusaha menyeimbangkan antara pemenuhan target
kepentingan domestik dan target kepentingan internasional.
Menurut Kegley, et al (2004) keadaan negara yang menjadi “mediasi” antara
tekanan domestik dan tekanan internasional ini disebut dengan “intermestic politcs”.
Dalam kondisi ini, negara akan melakukan respon kepada tekanan yang lebih besar.
Terkadang negara akan “melepaskan” tekanan domestik ke internasonal dan
terkadang negara akan “melepaskan” tekanan internasional pada domestik.
Pada akhirnya situasi ini akan mempengaruhi kebijakan suatu negara, termasuk
kebijakan kontra-terorisme yang juga sarat dengan kepentingan internasional dan
kawasan di dalamnya, karena kebijakan bukan berada dalam “political vacuum”

KONTRA-TERORISME (1)


SOFT OPTIONS
Melakukan upaya langsung dan tidak langsung melalui negosiasi untuk mengatasi sumber
permasalahan yaitu pertentangan politik (biasanya karena kemiskinan ataupun tekanan
politik).

Kemiskinan biasanya terkait dengan ketidakadilan kesejahteraan sosial serta rendahnya
standar hidup. Sehingga perlu kesinambungan pembangunan daerah maupun
pembangunan internasional.
Namun kemiskinan tidak satu-satunya masalah, karena banyak para pelaku terorisme
berasal dari kelompok ekonomi menaengah dan cukup berpendidikan.
Untuk masalah tekanan politik, demokrasi diharapkan bisa menjadi solusi dengan
membuka jalur konsultasi dan partisipasi publik yang lebih luas. Namun demokrasi
sendiri dianggap sebagai “produk” Barat yang penerapannya kontradiktif (Guantanamo
dan Sadap).

KONTRA-TERORISME (2)


MILITARY COUNTER-TERORRISM
Konsep ini pada masa saat ini identik dengan Bush Doctrine pada masa “Wa on
”.
Tindakannya dilakukan melalui cara-cara:
1.
Prevention (mencegah kegagalan negara yang akan memicu lahirnya terorisme);
2.
Deterrence (membangun kewibawaan aparatur keamanan dan ketertiban agar tidak
diambil alih oleh kelompok teroris);
3.
Coercion (melakukan tindakan untuk memutus jalur-jalur pendukung dari kegiatan
terorisme tersebut);
4.
Disruption (melakukan tindakan untuk merusak sumber-sumber teroris seperti
sarana latihan);
5.
Destruction (upaya untuk melakukan tindakan pembinasaan menyeluruh terhadap
kekuatan teroris).
Metoda ini berdasakan pada 9/11 dan 2005 Pemboman London mengusung slogan:

,
y ”

TUJUAN KONTRA-TERORISME
Menurut Ganor (2005) kebijakan Kontra-Terorisme perlu dilakukan dengan
tujuan:
1.
Membinasakan terorisme yang dapat dilakukan dengan pemberantasan
langsung serta diiringi dengan upaya untuk mencegah adanya insentif
untuk para pelaku terorisme untuk dapat melakukan teror lagi
(pemutusan kesempatan, motivasi dan kapasitas), serta melakukan upaya
untuk menjawab persoalan politik dalam arena politik;
2.
Meminimalisir kemungkinan dari terjadinya, dampak buruk apabila
terjadinya terorisme;
3.
Mencegah untuk ekskalasi terorisme meningkat melalui: (1) Mencegah
konflik untuk menyebar, (2) Mencegah kemungkinan pihak yang dikelola
memiliki potensi peningkatan terorisme

KEBIJAKAN KONTRA-TERORISME INDONESIA

Hasna Rasikha Putri
NIM: 20130510017

LANDASAN HUKUM
PEMBERANTASAN TERORISME DI INDONESIA
 Pasal

5 Ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi
Undang-Undang;
 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan
International Convention for The Suppression of The Financing of
Terrorism, 1999 (Konvensi Nasional Pemberantasan Pendanaan
Terorisme, 1999);
 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme.

INDONESIA:
SEJARAH SALAH ARAH PADA PENANGANAN TERORISME








Masa ORDE LAMA & BARU: Pendekatan militeristik dan intelijen dengan
dasar UU Anti-Makar terhadap Darul Islam yang beraktifitas pada sekitar
tahun 1948-1962 terbukti tidak benar-benar tuntas memberantas teroris yang
ada banyak cabang-cabang Darus Ilsam yang berada di pengasingan di Malaysia
dan malah kemudian memperkuat diri dengan membangun jejajring pelatihan
dengan pejuang di Afghanistan dan Filiphina, contoh: Al-Jamaah Al-Islamiyah;
Kelengahan aparat keamanan Indonesia menanggapi beberapa serangan teroris
sekitar tahun 1999-2001 yang dianggap sebagai serangan dari Gerakan
Separatis Aceh Merdeka dan Simpatisan Presiden Soeharto;
Indonesia mendapatkan tekanan dari negara kawasan (terutama Singapura dan
Malaysia) atas kelambatannya merespon penanganan terorisme di Indonesia
pasca serangan 9/11/2001;
Akibatnya terjadi Bom Bali I (2002) yang merupakan perubahan strategi dari
terorisme yang awalnya bersifat hard target menjadi soft target (titik balik)

INDONESIA:
MASA MEGAWATI SEBAGAI MASA HARD APPROACH (PENEGAKAN HUKUM)













Bom Bali I (2002), Bom Hotel J.W. Marriot (2003) dan Bom Kedutaan Australia (2004);
Langkah pemerintahan Megawati: Membentuk UU Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan melakukan reorganisasi pada lembaga Kepolisian.
Perpu No. 1/2002 dan Perpu No. 2/2002 tentang pemberlakukan Perpu No. 1 untuk kasus
Bom Bali.
Dianggap lemah karena motif politik Kelompok Megawati yang ingin mengikuti PEMILU
2004 sehingga membutuhkan dukungan Kelompok Muslim.
Badan Intelijen Negara (Keppres No. 6 Tahun 2003)
Pendekatan Penegakan Hukum (Law Enforcement Approach)
Karakteristik terorisme Indonesia: “I
” dan “
- w ” yang mayoritas
berkebangsaaan Indonesia. (Mbai, 2009).
2002: Satgas Anti Terror, 2003: Direktorat VI (Direktorat Anti-Terror), 2004: Detasemen
Khusus (Densus) 88.
Inpres No.4/2002: Desk Koordinasi Anto-Teror di Menpolhukam.
Inpres No. 5/2002: Fungsi koordinator Intelijen oleh Badan Inteliken Negara (BIN)
Tahun 2003: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

INDONESIA:
MASA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DENGAN PENAMBAHAN SOFT APPROACH










Bom Bali II (2005) dan Bom Marriot-Ritz Carlton Hotel (2009)
Melanjutkan kebijakan kontra terorisme yang telah diinisiasi pada zaman pemerintahan
Megawati Soekarnoputri;
Menambahkan dengan soft approach (ideological approach) yang tujuan utamanya adalah
untuk mengikis faktor ideologis dari pada pelaku terorisme terutama dari kelompok
terorisme yang berasal dai kelompok ekstrimis religius;
Melibatkan MUI, Muhammadiayah dan Nadhlatul Ulama (para Ulama dan Fatwa) untuk
membantu mengkampanyekan Islam sebagai agama yang cinta perdamaian;
Langkah pencegahan radikalisme: (1) Melarang publikasi buku-buku yang menyebarkan
rasa saling membenci dan mempengaruhi massa untuk melakukan pengajaran yang bseifat
radikal, (2) Mendukung dakwah dan publikasi yang mendorong menurunnya tindakan
radikan, (3) Mendukung lahirnya kelompok studi tentang radikalisme agama; (4) Bersama
media menyebarkan informasi tentang terorisme, melibatkan tokoh mantan pelaku
terorisme dan membingkai bahwa terorisme adalah musuh bersama.
Program deradikalisasi di penjara oleh POLRI (pendekatan sosial ekonomi untuk
membangun hubungan personal) dan kaum muda di pesantren melalui KEMENAG.

KETERBATASAN NEGARA &
MASA DEPAN TERORISME

Ganendra Widigdya
NIM: 20130510007

TEKANAN PUBLIK DALAM NEGERI








Demokrasi pasca Orde Baru yang melahirkan kembali banyak
kelompok sosial Islam (Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir
Indonesia, Front Pembela Islam, Forum Komunikasi Ahlusunnah wal
Jamaah) serta partai politik yang bernafaskan Islam seperti: PKS, PBB,
PKB dan PPP.
Skeptis dengan Kebijakan Kontra-Terorisme di Indonesia karena: (1)
Kampanye Global War on Terror seolah menjadi War Against Islam,
(2) Teori konspirasi tentnag upaya-upaya mencegah kembalinya
kekuatan Islam di Indonesia dan dunia.
Tekanan dari kelompok-kelompok HAM: Komisi Untuk Orang Hilang
dan Korban Kekerasan (KONTRAS), Imparsial, Tim Pengacara
Muslim.
Kecemasakan tentang UU Anti-Terorisme menjadi celah untuk kembali
pada zaman represif (kandungan dan penerapan)

DAMPAK TEKANAN PUBLIK DALAM NEGERI
1.
2.

3.

4.

Keragu-rzguan pemerintah dalam mensikapi upaya peradilan
pada Abubakar Ba’a y ;
Kegagalan untuk menjadikan Al-Jamaah Al-Islamiyah sebagai
organisasi sosial yang ilegal;
Keragu-reguan pemerintah dalam memperluas program
Ideological Approach: (pesantren, dakwah radikal dan bukubuku radikal);
Kegagalan untuk upaya mengadopsi UU Anti-Terorisme yang
lebih keras.
(Kepentingan terutama dalam PEMILU dari kelompok Muslim)

TEKANAN LUAR NEGERI
 Kampanye

Global War on Terrorism oleh Amerika
Serikat (Bush Doctrine – Neo Imperial Strategy);
 Anggapan Amerika Serikat bahwa Asia Tenggara
adalah “A Breeding Ground of Terrorism”;
 Tekanan pada Indonesia terutama pasca terjadinya
Bom Bali I dan ditemukannya jaringan Al-Jamaah
Al-Islamiyah di Indonesia.

DAMPAK TEKANAN LUAR NEGERI








Adopsi Indonesia pada standar luar negeri: UU AntiTerorisme.
Penangkapan Pemimpin Spiritual Al-Jamaah, Al-Islamiyah.
Langkah Diplomasi Intensif dari Perwakilan Asing (terutama
Amerika Serikat) di Indonesia bahkan dari misi dagang
sekalipun ataupun dalam skema “
yDa
”;
Dukungan terhadap upaya Anti-Terorisme;
Dukungan dana terhadap peningkatan kapasitas pertahanankemanan dan penguatan kapasitas ekonomi-sosial
Pencabutan embargo senjata oleh Amerika Serikat (19
September 2001);

HAMBATAN NATURAL PEMERINTAH
MEMBERANTAS TERORISME

Djelantik (2010) menyatakan bahwa dalam pemberantasan terorisme,
secara natural pemerintah suatu negara memiliki keterbatasan yaitu:
1. Kekuatan militer pemerintah terkadang hanya memberikan
harapan “palsu” kepada masyarakat sehingga merasa tidak perlu
melakukan kerjasama internasional, namun terorisme yang
dihadapi umumnya adalah gerakan yang memiliki aliansi dan
jaringan internasional yang solid;
2. Tidak ada kesepakatan secara internasional tentang definisi dan
pengelompokan teroris secara konsensus sehingga upaya
menghadapi terorisme menjadi hal yang tidak optimal;
3. Rentang waktu pemerintahan yang pada sistem liberal-demokrasi
menggunakan sistem pemilu sedangkan terorisme tidak, sehingga
ada hambatan dalam perencanaan jangka panjang.

POTENSI TERORISME MASA DEPAN
Kecemasaan penguasaan WMD (Weapons of Mass
Destruction) bagi para kelompok teroris.  Uranium
Iran dan Korea Utara, lalu juga senjata kimia dan
biologi. IAEA (International Atomic Energy Agency)
Postmodern Terrorism: menggunakan teknologi
informasi, komputerisasi, media digital, alat
komunikasi high-tech, dan data warehouse.

Muhammad Ali di Indonesia, Tahun 1996,
Quote: "Sebuah negara yang unik, di mana penduduknya sangat
bersahabat, dan selalu tersenyum kepada siapapun."

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24