Kritik terhadap Neoliberalisme Posisi Ne (1)
Tugas Review 2 Teori Hubungan Internasional I (Liberalisme)
NPM
: 1506685233
Kelas
: THI B
Sumber Utama
: Review oleh Jon Shefner, “A Brief History of Neoliberalism, by David
Harvey” dalam The Annals of the American Academy of Political and
Social Science, Vol. 610 (Sage Publications, Inc. 2007), hlm. 260—263.
Kritik terhadap Neoliberalisme: Posisi Negara dalam Sistem Ekonomi
Konsep neoliberalisme berangkat dari konsep yang sudah lebih dari dulu ada yakni,
liberalisme yang untuk pertama kali dipopulerkan oleh ahli filsafat etika dan ekonomi, Adam
Smith, melalui bukunya The Wealth of Nation. Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme
kontemporer melihat neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru
dari praktik imperialisme. Fase ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi
neo-klasik yang masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah.” Dengan memberikan titik
tekan pada “regulasi pemerintah” untuk menghindari kekeliruan asumsi bahwa dengan praktik
neoliberalisme maka peran negara dihabisi. Negara sekiranya pada posisi tertentu sebenarnya
justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neoliberalisme.
Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai ulasan neoliberalisme
dan posisi negara di dalamnya yang akan dibagi menjadi tiga bagian; pertama, penulis akan
memaparkan secara ringkas isi dari review Jon Shefner yang merujuk pada bukunya David
Harvey, A Brief History of Neoliberalism; kemudian, bagian kedua akan dipaparkan terkait
perbandingan pendapat neoliberalisme berdasarkan scholars lain diikuti dengan analisis
penulis terhadap perbandingan tersebut; lalu, bagian ketiga akan diakhiri dengan kesimpulan.
Posisi State dalam Sistem Neoliberalisme
Pemikiran neoliberal di dalam lingkup ekonomi telah mendominasi proses pembuatan
kebijakan selama lebih dari tiga puluh tahun dan terjadi pada negara-negara yang sudah
mumpuni secara kemampuan ekonomi, dengan kata lain negara-negara maju di belahan bumi
utara seperti Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa Barat. Penerapan neoliberal dalam sistem
ekonomi sebenarnya telah memundurkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri secara global,
dibuktikan dengan perkembangan ekonomi negara yang melemah kemudian melaju ke tingkat
1
regional dan berdampak pada sistem ekonomi global.1 Menurut Shefner, akibat dari penerapan
sistem neoliberalisme membuat pertumbuhan menjadi tidak merata yang menimbulkan
stratified class lines dan adanya polarisasi kekuasaan ekonomi pada pihak-pihak tertentu. Hal
ini berdampak kepada masyarakat yang berasal dari lower-middle-income, secara jelas,
penerapan sistem ekonomi neoliberalisme telah berdampak pada penurunan jumlah gaji
pekerja yang tidak sesuai dengan tingkat kerja serta mengecilkan akses masyarakat terhadap
public services seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lainnya. Shefner berpendapat bahwa
bukti ini secara tegas menyampaikan bahwa neoliberalisme memiliki dampak yang negatif bagi
masyarakat yang berasal dari lower-middle-income namun, kebijakan sistem neoliberalisme
masih menjadi yang paling kuat dalam pengimplementasian ekonomi sebuah negara.
Shefner juga berpendapat bahwa kelas-kelas kapitalis yang berada di Amerika Serikat
dan Inggris cenderung bekerja dengan para kalangan ekonom yang tinggi sebagai bentuk dari
sikap probusiness intelectuals dengan menggunakan institusi keuangan internasional untuk
menyampaikan pesan bahwa hal paling buruk dalam sistem ekonomi ialah intervensi negara di
dalam sistem ekonomi tersebut dan mengatakan bahwa biarkan sistem pasar bekerja secara
independen dalam mengatasi kebutuhan masyarakat di dalm sektor sosial dan ekonomi.
Namun, Shefner merujuk pada eksperimen yang dilakukan oleh David Harvey saat penerapan
neoliberalisme gagal untuk mencapai keberhasilan di kota New York dan justru mengakibatkan
masalah ekonomi dan keuangan seperti munculnya slum area, meningkatnya pengangguran di
kota New York, semakin menurunnya akses social services¸dan lain sebagainya yang membuat
Harvey berargumen bahwa peraturan negara dan peran negara perlu dilibatkan dalam mengatur
liberalisasi hubungan dengan, fleksibilitas penanaman modal, dan sektor ekonnomi lainnya
karena negara dalam hal ini adalah yang memiliki kewenangan dalam mengkonstruksi
peraturan dan nilai, melakukan kegiatan ekspor dan impor, serta menerapkan kebijakan sistem
neoliberalisme itu sendiri.2
Dalam kasus ini, Shefner berpendapat bahwa pemerintah tidak dapat begitu saja
didorong untuk bisa patuh dalam memenuhi kebutuhan modal kapitalis di negaranya namun,
di sisi lain pemerintah tersebut tidak dilibatkan secara aktif dalam pengolahan sistem ekonomi
tersebut dalam upaya pembentukan dan ideologi baru dan kebijakan-kebijakan yang rasional.3
Hal ini memunculkan kembali apabila negara yang menganut sistem neoliberal tidak dapat
Jon Shefner, Review “A Brief History of Neoliberalism,” dalam The Annals of the American Academy of
Political and Social Science, Vol. 610 (Sage Publications, Inc. 2007), hlm. 260.
2
Ibid., hlm. 261.
3
Ibid., hlm. 262.
1
2
dibangun tanpa adanya kerja sama dari pemerintah, kelas-kelas yang dominan yang dapat
mengatur jalannya sistem negara, kaum intelektual, dan media yang berfungsi untuk menyorot
simpati rakyat kepada negara tersebut.
Kritik dan Pendapat Scholars Mengenai Neoliberalisme
Kemunculan neoliberalisme sebenarnya merujuk kepada bangkitnya kembali bentuk
aliran ekonomi liberalisme lama yang mulanya dipicu oleh tulisan Adam Smith, The Wealth of
Nations. Adam Smith yang menganut mazhab ekonomi klasik, mempropagandakan pentingnya
penghapusan intervensi negara atau pemerintah dalam mekanisme ekonomi, sebagai gantinya
Smith, menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan
logikanya sendiri, melakukan deregulasi, serta menghilangkan segala bentuk hambatan (tarif
dan non tarif) dan restriksi. Namun di sisi lain, teori keynesian yang dikemukakan oleh Keynes
mengungkapkan bahwa pemerintah dan negara penting dalam keterlibatannya mengatur sistem
ekonomi untuk menstabilkan keadaan ekonomi pada tingkat pengangguran yang tidak boleh
lebih tinggi atau lebih rendah (sebagai usaha menghindari inflasi). Keynes juga percaya apabila
pemerintah dapat mengamankan kesempatan kerja dan inflasi yang rendah secara bersamaan
dengan menggunakan kewenangannya dalam menjalankan kebijakan fiskal, kebijakan
moneter, dan instrumen lainnya yang digunakana sebagai upaya untuk menyesuaikan tingkat
harga, restrukturisasi sistem pajak, belanja dan pengeluaran pemerintah, mengatur hubungan
industrial, serta mengatur tarif dan besaran bunga.4 Hal-hal seperti ini kecil kemungkinannya
apabila di dalam sistem neoliberalisme keterlibatan pemerintah dan negara mendapatkan akses
yang sulit sehingga kontrol pasar hanya dikelola oleh segelintir kelompok yang memiliki
kepentingan bisnis di dalamnya.
Ungkapan senada juga dikemukakan oleh David Harvey dalam bukunya Neoliberalism
and The Restoration of Class Power, apabila terdapat alasan penting mengapa neoliberalisme
perlu dipertimbangkan untuk bisa menjadi pola dalam sistem ekonomi politik global yaitu,
dinamika neoliberalisme yang mengutamakan pasar untuk bisa dijadikan aktor utama dalam
kegiatan ekonomi negara perlu mejadi perhatian khusus karena pasar tidak bisa dan tidak
memiliki kewenangan yang setingkat dengan negara di saat menjalankan sebuah sistem
ekonomi.5 Lebih jauh lagi, pasar tidak bisa melakukan atau membuat regulasi-regulasi yang
4
Jomo, ed., Globalization under Hegemony: The Changing World Economy (Oxford: Oxford University Press.
2006), hlm.141.
5
David Harvey, Neoliberalism and The Restoration of Capitalist Class (Oxford: Oxford University Press, 2009),
hlm. 73.
3
berkaitan dengan pajak yang telah diatur oleh negara dan belum punya upaya preventif dalam
mengatasi inflasi karena pada dasarnya pasar mengedepankan profit-oriented system dalam
menjalankan perannya di sistem ekonomi. Hal ini yang menyebabkan dinamika neoliberalisme
memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi di dalam sistem ekonomi antara satu
negara dengan negara lain dengan tujuan untuk menyamakan persepsi di dalam sistem pasar.
Kemudian, neoliberalisme yang memaksa negara untuk bisa beradaptasi dengan sistem pasar
negara lain dinilainya sebagai sebuah transisi yang akan membawa pereekonomian justru
menjadi tidak stabil. Hal ini kemudian dilihat oleh Harvey sebagai disparitas yang semakin
nampak bahwa neoliberalisme menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi.6
Di sisi lain terdapat John Rawls yang melihat neoliberalisme dari sudut pandang
penataan ekonomi dan keadilan yang mengatakan bahwa konsepsi keadilan menuntut suatu
basis ekonomi yang fair melalui sistem perpajakan yang proporsional (dan bahkan pajak
progresif jika diperlukan) serta sistem menabung yang adil sehingga memungkinkan
terwujudnya distribusi yang adil pula atas semua nilai dan sumber daya sosial. Di sini perlu
ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menikmati nilai-nilai dan sumber daya
sosial dalam jumlah yang sama, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menciptakan
kemungkinan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan. 7 Prinsip ini
tidak hanya berlaku bagi anggota masyarakat dalam generasi yang sama, tetapi juga bagi
generasi yang satu dengan generasi yang lainnya. Bagi Rawls, kekayaan dan kelebihankelebihan bakat alamiah seseorang harus digunakan untuk meningkatkan prospek orang-orang
yang paling tidak beruntung di dalam masyarakat. Hal ini berlawanan dengan prinsip
neoliberalisme yang memandang bahwa pendekatan harus dilakukan kepada probusiness
intellectuals agar keberlangsungan pasar tetap terus dinamis tanpa menghiraukan masyarakat
dari golongan lain yang juga terdapat di dalam wilayah negara tersebut.
Analisis Penulis terhadap Kritik Neoliberalisme
Dari tulisan ini, penulis sejalan dengan pendapat Shefner yang menyatakan bahwa
harus ada keterlibatan negara di dalam sistem pereekonomian, walaupun negara tersebut
menganut sistem pemikiran ekonomi neoliberalisme campur tangan negara juga diikutsertakan
di dalamnya karena tidak semua sistem ekonomi yang dijalankan oleh pasar memiliki tingkat
kewenangan yang sama apabila hal tersebut dilaksanakan oleh negara.
6
7
Ibid., hlm. 76.
John Rawls, A Theory of Justice (London: Oxford University Press, 1971), hlm. 260—264.
4
Penulis berpendapat bahwa ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan
neoliberal menghambat segala upaya untuk merealisasikan kesetaraan hukum yang dibutuhkan
untuk membuat demokrasi kredibel. Korporasi besar memiliki sumber daya untuk
mempengaruhi media dan menguasai proses politik, dan hal itu mereka lakukan. Dalam politik
elektoral AS, sebagai satu contoh saja, seperempat dari satu persen warga terkaya di Amerika
memberikan 80% dari keseluruhan kontribusi politik individual; sedangkan korporasi
menghabiskan lebih banyak uang untuk itu dibandingkan buruh dengan perbandingan sepuluh
banding satu. Dalam neoliberalisme ini semua masuk akal; pemilihan umum mencerminkan
prinsip pasar, dengan besarnya kontribusi sebanding dengan investasi. Hasilnya, hal ini
memperkuat anggapan bahwa politik elektoral tidak relevan bagi kebanyakan orang dan
kekuasaan korporasi tetap terjaga tanpa digugat.
Selain itu, sejalan dengan yang diungkapkan oleh Keynes terkait intervensi negara di
dalam sistem ekonomi, penulis menganggap bahwa tidak adanya campur tangan negara
terhadap perekonomian merupakan salah satu hal yang dapat menunjukkan kelemahan
neoliberalisme. Hal ini dapat dilihat dari krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2007
hingga sekitar 2010 i yang menunjukkan kegagalan pasar yang tidak dapat menjalankan
fungsinya secara sempurna (market failure). Keadaan tersebut mendorong pemerintah Amerika
Serikat untuk memperbaiki keadaan dengan mengeluarkan dana talangan berjumlah ratusan
milyar dollar Amerika. Adanya campur tangan pemerintah menunjukkan bahwa sistem
perekonomian berdasarkan neoliberalisme tidak dapat benar-benar bertahan melewati krisis
tanpa bantuan dari pihak negara dan pemerintah.
Lebih lanjut lagi, penulis memandang bahwa neoliberalisme tidak dapat begitu saja
menentukan sistem pasarnya sendiri karena seperti yang dikatakan oleh David Harvey bahwa
terdapay transisi yang tidak berjalan dengan baik yang justru memundurkan pertumbuhan
ekonomi sebuah negara yang dapat digambarkan seperti negara-negara dunia ketiga dan
negara-negara berkembang yang aset-aset dalam negerinya dikuasai oleh pihak-pihak asing.
Negara-negara dunia pertama banyak menuntut negara-negara lain baik yang sudah
berkembang ataupun yang masih dalam proses berkembang untuk segera melakukan
liberalisasi perekonomian dalam negeri mereka sehingga negara-negara maju tersebut
memiliki pasar untuk memasarkan hasil industrinya. Di lain pihak, negara-negara maju tersebut
juga melakukan proteksi terhadap pasar pertanian dalam negeri sendiri. Hal ini menyebabkan
negara-negara berkembang yang masih harus beradaptasi dengan institusi ekonomi dan politik
dalam negerinya semakin tereksploitasi dan terdependensi terhadap negara-negara maju
tersebut.
5
Dalam sisi ekonomi penulis memandang apabila di dalam sistem neoliberalisme
terdapat implementasi pembebasan arus modal, akan tetapi tidak diiringi dengan pembebasan
arus tenaga kerja. Kebijakan neoliberal diangggap mendorong standar lingkungan dan buruh
menuju titik yang terendah. Contohnya dalam pengimplementasian NAFTA, perusahaanperusahaan yang ada di Amerika Serikat banyak yang memindahkan perusahaannya ke
Meksiko karena tergiur upah buruh yang jauh lebih rendah dan pasar yang dianggap cukup
menjanjikan. Sementara banyak pekerja di Amerika yang kehilangan pekerjaan, di Meksiko
upah buruh tidak mengalami perubahan yang berarti. Padahal seiring dengan arus modal yang
masuk ke dalam Meksiko maka biaya hidup meningkat drastis. Hal tersebut menyebabkan
kesejahteraan penduduk lokal mengalami penurunan yang cukup tajam.
Terakhir, merujuk pada teori keadilan yang diungkapkan oleh Rawls, pandangan
penulis terhadap penerapan neoliberalisme justru semakin mempertegas adanya kesenjangan
antara kelas atas dan kelas bawah. Kesenjangan antar kelas dalam negara akan semakin
melebar ketika orang yang sudah kaya dan memiliki modal dan alat-alat produksi dapat
semakin memperkaya diri, sementara orang yang miskin dan tidak memiliki modal akan
semakin terpuruk dalam perekonomian yang sangat kompetitif. Dalam lingkup global, negaranegara dunia ketiga akan mengalami kebergantungan terhadap negara-negara dunia pertama.
Negara-negara dunia ketiga akan menjadi sumber eksploitasi ekonomi maupun sumber daya
alam bagi negara-negara dunia pertama tanpa mendapatkan timbal balik yang sesuai. Sekalipun
negara-negara dunia ketiga ingin menghentikan ketergantungan terhadap negara-negara dunia
pertama, namun untuk melakukannya sangatlah sulit tanpa harus mengalami kejatuhan
ekonomi yang cukup parah.
Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai neoliberalisme di atas, penulis menyimpulkan bahwa
terdapat kritik-kritik terhadap neoliberalisme di dalam penerapannya. Keterlibatan negara di
dalam sistem pereekonomian yang menganut sistem neoliberalime lebih sedikit perannya
dibandingkan dengan sistem pasar yang diterapkan di dalamnya. Penulis juga menarik
kesimpulan keterlibatan negara perlu dimaksimalkan dalam pengimplementasian sistem
ekonomi neoliberal karena tidak semua sistem ekonomi yang dijalankan oleh pasar memiliki
tingkat kewenangan yang sama apabila hal tersebut dilaksanakan oleh negara.
Di dalam kesimpulan ini penulis juga ingin menambahkan bahwa Neoliberalisme juga
dapat menjadi solusi untuk memperbaiki perekonomian negara terutama seperti dalam kasus
krisis Asia pada tahun 1997-1998 yang menunjukkan kegagalan negara dalam menangani
6
perekonomiannya. Akan tetapi, dalam mengadaptasi ideologi ini sistem perekonomian dalam
negeri haruslah diawali dengan persiapan-persiapan terlebih dahulu, terutama dengan
memantapkan perekonomian dalam negeri sehingga mampu bersaing dalam kancah
internasional. Setelah negara siap, barulah pengimplementasian prinsip-prinsip neoliberalisme
dapat dilakukan secara bertahap.
7
Daftar Referensi
Harvey, David. 2009. “Neoliberalism and The Restoration of Capitalist Class.” Oxford: Oxford
University Press.
Jomi, ed. 2006. “Globalization under Hegemony: The Changing World Economy.” Oxford:
Oxford University Press.
Rawls, John. 1971. “A Theory of Justice.” London: Oxford University Press.
Shefner, Jon. 2007. “Review A Brief History of Neoliberalism, oleh David Harvey.” The
Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 610. USA: Sage
Publications, Inc.
8
NPM
: 1506685233
Kelas
: THI B
Sumber Utama
: Review oleh Jon Shefner, “A Brief History of Neoliberalism, by David
Harvey” dalam The Annals of the American Academy of Political and
Social Science, Vol. 610 (Sage Publications, Inc. 2007), hlm. 260—263.
Kritik terhadap Neoliberalisme: Posisi Negara dalam Sistem Ekonomi
Konsep neoliberalisme berangkat dari konsep yang sudah lebih dari dulu ada yakni,
liberalisme yang untuk pertama kali dipopulerkan oleh ahli filsafat etika dan ekonomi, Adam
Smith, melalui bukunya The Wealth of Nation. Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme
kontemporer melihat neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru
dari praktik imperialisme. Fase ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi
neo-klasik yang masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah.” Dengan memberikan titik
tekan pada “regulasi pemerintah” untuk menghindari kekeliruan asumsi bahwa dengan praktik
neoliberalisme maka peran negara dihabisi. Negara sekiranya pada posisi tertentu sebenarnya
justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neoliberalisme.
Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai ulasan neoliberalisme
dan posisi negara di dalamnya yang akan dibagi menjadi tiga bagian; pertama, penulis akan
memaparkan secara ringkas isi dari review Jon Shefner yang merujuk pada bukunya David
Harvey, A Brief History of Neoliberalism; kemudian, bagian kedua akan dipaparkan terkait
perbandingan pendapat neoliberalisme berdasarkan scholars lain diikuti dengan analisis
penulis terhadap perbandingan tersebut; lalu, bagian ketiga akan diakhiri dengan kesimpulan.
Posisi State dalam Sistem Neoliberalisme
Pemikiran neoliberal di dalam lingkup ekonomi telah mendominasi proses pembuatan
kebijakan selama lebih dari tiga puluh tahun dan terjadi pada negara-negara yang sudah
mumpuni secara kemampuan ekonomi, dengan kata lain negara-negara maju di belahan bumi
utara seperti Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa Barat. Penerapan neoliberal dalam sistem
ekonomi sebenarnya telah memundurkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri secara global,
dibuktikan dengan perkembangan ekonomi negara yang melemah kemudian melaju ke tingkat
1
regional dan berdampak pada sistem ekonomi global.1 Menurut Shefner, akibat dari penerapan
sistem neoliberalisme membuat pertumbuhan menjadi tidak merata yang menimbulkan
stratified class lines dan adanya polarisasi kekuasaan ekonomi pada pihak-pihak tertentu. Hal
ini berdampak kepada masyarakat yang berasal dari lower-middle-income, secara jelas,
penerapan sistem ekonomi neoliberalisme telah berdampak pada penurunan jumlah gaji
pekerja yang tidak sesuai dengan tingkat kerja serta mengecilkan akses masyarakat terhadap
public services seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lainnya. Shefner berpendapat bahwa
bukti ini secara tegas menyampaikan bahwa neoliberalisme memiliki dampak yang negatif bagi
masyarakat yang berasal dari lower-middle-income namun, kebijakan sistem neoliberalisme
masih menjadi yang paling kuat dalam pengimplementasian ekonomi sebuah negara.
Shefner juga berpendapat bahwa kelas-kelas kapitalis yang berada di Amerika Serikat
dan Inggris cenderung bekerja dengan para kalangan ekonom yang tinggi sebagai bentuk dari
sikap probusiness intelectuals dengan menggunakan institusi keuangan internasional untuk
menyampaikan pesan bahwa hal paling buruk dalam sistem ekonomi ialah intervensi negara di
dalam sistem ekonomi tersebut dan mengatakan bahwa biarkan sistem pasar bekerja secara
independen dalam mengatasi kebutuhan masyarakat di dalm sektor sosial dan ekonomi.
Namun, Shefner merujuk pada eksperimen yang dilakukan oleh David Harvey saat penerapan
neoliberalisme gagal untuk mencapai keberhasilan di kota New York dan justru mengakibatkan
masalah ekonomi dan keuangan seperti munculnya slum area, meningkatnya pengangguran di
kota New York, semakin menurunnya akses social services¸dan lain sebagainya yang membuat
Harvey berargumen bahwa peraturan negara dan peran negara perlu dilibatkan dalam mengatur
liberalisasi hubungan dengan, fleksibilitas penanaman modal, dan sektor ekonnomi lainnya
karena negara dalam hal ini adalah yang memiliki kewenangan dalam mengkonstruksi
peraturan dan nilai, melakukan kegiatan ekspor dan impor, serta menerapkan kebijakan sistem
neoliberalisme itu sendiri.2
Dalam kasus ini, Shefner berpendapat bahwa pemerintah tidak dapat begitu saja
didorong untuk bisa patuh dalam memenuhi kebutuhan modal kapitalis di negaranya namun,
di sisi lain pemerintah tersebut tidak dilibatkan secara aktif dalam pengolahan sistem ekonomi
tersebut dalam upaya pembentukan dan ideologi baru dan kebijakan-kebijakan yang rasional.3
Hal ini memunculkan kembali apabila negara yang menganut sistem neoliberal tidak dapat
Jon Shefner, Review “A Brief History of Neoliberalism,” dalam The Annals of the American Academy of
Political and Social Science, Vol. 610 (Sage Publications, Inc. 2007), hlm. 260.
2
Ibid., hlm. 261.
3
Ibid., hlm. 262.
1
2
dibangun tanpa adanya kerja sama dari pemerintah, kelas-kelas yang dominan yang dapat
mengatur jalannya sistem negara, kaum intelektual, dan media yang berfungsi untuk menyorot
simpati rakyat kepada negara tersebut.
Kritik dan Pendapat Scholars Mengenai Neoliberalisme
Kemunculan neoliberalisme sebenarnya merujuk kepada bangkitnya kembali bentuk
aliran ekonomi liberalisme lama yang mulanya dipicu oleh tulisan Adam Smith, The Wealth of
Nations. Adam Smith yang menganut mazhab ekonomi klasik, mempropagandakan pentingnya
penghapusan intervensi negara atau pemerintah dalam mekanisme ekonomi, sebagai gantinya
Smith, menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan
logikanya sendiri, melakukan deregulasi, serta menghilangkan segala bentuk hambatan (tarif
dan non tarif) dan restriksi. Namun di sisi lain, teori keynesian yang dikemukakan oleh Keynes
mengungkapkan bahwa pemerintah dan negara penting dalam keterlibatannya mengatur sistem
ekonomi untuk menstabilkan keadaan ekonomi pada tingkat pengangguran yang tidak boleh
lebih tinggi atau lebih rendah (sebagai usaha menghindari inflasi). Keynes juga percaya apabila
pemerintah dapat mengamankan kesempatan kerja dan inflasi yang rendah secara bersamaan
dengan menggunakan kewenangannya dalam menjalankan kebijakan fiskal, kebijakan
moneter, dan instrumen lainnya yang digunakana sebagai upaya untuk menyesuaikan tingkat
harga, restrukturisasi sistem pajak, belanja dan pengeluaran pemerintah, mengatur hubungan
industrial, serta mengatur tarif dan besaran bunga.4 Hal-hal seperti ini kecil kemungkinannya
apabila di dalam sistem neoliberalisme keterlibatan pemerintah dan negara mendapatkan akses
yang sulit sehingga kontrol pasar hanya dikelola oleh segelintir kelompok yang memiliki
kepentingan bisnis di dalamnya.
Ungkapan senada juga dikemukakan oleh David Harvey dalam bukunya Neoliberalism
and The Restoration of Class Power, apabila terdapat alasan penting mengapa neoliberalisme
perlu dipertimbangkan untuk bisa menjadi pola dalam sistem ekonomi politik global yaitu,
dinamika neoliberalisme yang mengutamakan pasar untuk bisa dijadikan aktor utama dalam
kegiatan ekonomi negara perlu mejadi perhatian khusus karena pasar tidak bisa dan tidak
memiliki kewenangan yang setingkat dengan negara di saat menjalankan sebuah sistem
ekonomi.5 Lebih jauh lagi, pasar tidak bisa melakukan atau membuat regulasi-regulasi yang
4
Jomo, ed., Globalization under Hegemony: The Changing World Economy (Oxford: Oxford University Press.
2006), hlm.141.
5
David Harvey, Neoliberalism and The Restoration of Capitalist Class (Oxford: Oxford University Press, 2009),
hlm. 73.
3
berkaitan dengan pajak yang telah diatur oleh negara dan belum punya upaya preventif dalam
mengatasi inflasi karena pada dasarnya pasar mengedepankan profit-oriented system dalam
menjalankan perannya di sistem ekonomi. Hal ini yang menyebabkan dinamika neoliberalisme
memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi di dalam sistem ekonomi antara satu
negara dengan negara lain dengan tujuan untuk menyamakan persepsi di dalam sistem pasar.
Kemudian, neoliberalisme yang memaksa negara untuk bisa beradaptasi dengan sistem pasar
negara lain dinilainya sebagai sebuah transisi yang akan membawa pereekonomian justru
menjadi tidak stabil. Hal ini kemudian dilihat oleh Harvey sebagai disparitas yang semakin
nampak bahwa neoliberalisme menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi.6
Di sisi lain terdapat John Rawls yang melihat neoliberalisme dari sudut pandang
penataan ekonomi dan keadilan yang mengatakan bahwa konsepsi keadilan menuntut suatu
basis ekonomi yang fair melalui sistem perpajakan yang proporsional (dan bahkan pajak
progresif jika diperlukan) serta sistem menabung yang adil sehingga memungkinkan
terwujudnya distribusi yang adil pula atas semua nilai dan sumber daya sosial. Di sini perlu
ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menikmati nilai-nilai dan sumber daya
sosial dalam jumlah yang sama, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menciptakan
kemungkinan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan. 7 Prinsip ini
tidak hanya berlaku bagi anggota masyarakat dalam generasi yang sama, tetapi juga bagi
generasi yang satu dengan generasi yang lainnya. Bagi Rawls, kekayaan dan kelebihankelebihan bakat alamiah seseorang harus digunakan untuk meningkatkan prospek orang-orang
yang paling tidak beruntung di dalam masyarakat. Hal ini berlawanan dengan prinsip
neoliberalisme yang memandang bahwa pendekatan harus dilakukan kepada probusiness
intellectuals agar keberlangsungan pasar tetap terus dinamis tanpa menghiraukan masyarakat
dari golongan lain yang juga terdapat di dalam wilayah negara tersebut.
Analisis Penulis terhadap Kritik Neoliberalisme
Dari tulisan ini, penulis sejalan dengan pendapat Shefner yang menyatakan bahwa
harus ada keterlibatan negara di dalam sistem pereekonomian, walaupun negara tersebut
menganut sistem pemikiran ekonomi neoliberalisme campur tangan negara juga diikutsertakan
di dalamnya karena tidak semua sistem ekonomi yang dijalankan oleh pasar memiliki tingkat
kewenangan yang sama apabila hal tersebut dilaksanakan oleh negara.
6
7
Ibid., hlm. 76.
John Rawls, A Theory of Justice (London: Oxford University Press, 1971), hlm. 260—264.
4
Penulis berpendapat bahwa ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan
neoliberal menghambat segala upaya untuk merealisasikan kesetaraan hukum yang dibutuhkan
untuk membuat demokrasi kredibel. Korporasi besar memiliki sumber daya untuk
mempengaruhi media dan menguasai proses politik, dan hal itu mereka lakukan. Dalam politik
elektoral AS, sebagai satu contoh saja, seperempat dari satu persen warga terkaya di Amerika
memberikan 80% dari keseluruhan kontribusi politik individual; sedangkan korporasi
menghabiskan lebih banyak uang untuk itu dibandingkan buruh dengan perbandingan sepuluh
banding satu. Dalam neoliberalisme ini semua masuk akal; pemilihan umum mencerminkan
prinsip pasar, dengan besarnya kontribusi sebanding dengan investasi. Hasilnya, hal ini
memperkuat anggapan bahwa politik elektoral tidak relevan bagi kebanyakan orang dan
kekuasaan korporasi tetap terjaga tanpa digugat.
Selain itu, sejalan dengan yang diungkapkan oleh Keynes terkait intervensi negara di
dalam sistem ekonomi, penulis menganggap bahwa tidak adanya campur tangan negara
terhadap perekonomian merupakan salah satu hal yang dapat menunjukkan kelemahan
neoliberalisme. Hal ini dapat dilihat dari krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2007
hingga sekitar 2010 i yang menunjukkan kegagalan pasar yang tidak dapat menjalankan
fungsinya secara sempurna (market failure). Keadaan tersebut mendorong pemerintah Amerika
Serikat untuk memperbaiki keadaan dengan mengeluarkan dana talangan berjumlah ratusan
milyar dollar Amerika. Adanya campur tangan pemerintah menunjukkan bahwa sistem
perekonomian berdasarkan neoliberalisme tidak dapat benar-benar bertahan melewati krisis
tanpa bantuan dari pihak negara dan pemerintah.
Lebih lanjut lagi, penulis memandang bahwa neoliberalisme tidak dapat begitu saja
menentukan sistem pasarnya sendiri karena seperti yang dikatakan oleh David Harvey bahwa
terdapay transisi yang tidak berjalan dengan baik yang justru memundurkan pertumbuhan
ekonomi sebuah negara yang dapat digambarkan seperti negara-negara dunia ketiga dan
negara-negara berkembang yang aset-aset dalam negerinya dikuasai oleh pihak-pihak asing.
Negara-negara dunia pertama banyak menuntut negara-negara lain baik yang sudah
berkembang ataupun yang masih dalam proses berkembang untuk segera melakukan
liberalisasi perekonomian dalam negeri mereka sehingga negara-negara maju tersebut
memiliki pasar untuk memasarkan hasil industrinya. Di lain pihak, negara-negara maju tersebut
juga melakukan proteksi terhadap pasar pertanian dalam negeri sendiri. Hal ini menyebabkan
negara-negara berkembang yang masih harus beradaptasi dengan institusi ekonomi dan politik
dalam negerinya semakin tereksploitasi dan terdependensi terhadap negara-negara maju
tersebut.
5
Dalam sisi ekonomi penulis memandang apabila di dalam sistem neoliberalisme
terdapat implementasi pembebasan arus modal, akan tetapi tidak diiringi dengan pembebasan
arus tenaga kerja. Kebijakan neoliberal diangggap mendorong standar lingkungan dan buruh
menuju titik yang terendah. Contohnya dalam pengimplementasian NAFTA, perusahaanperusahaan yang ada di Amerika Serikat banyak yang memindahkan perusahaannya ke
Meksiko karena tergiur upah buruh yang jauh lebih rendah dan pasar yang dianggap cukup
menjanjikan. Sementara banyak pekerja di Amerika yang kehilangan pekerjaan, di Meksiko
upah buruh tidak mengalami perubahan yang berarti. Padahal seiring dengan arus modal yang
masuk ke dalam Meksiko maka biaya hidup meningkat drastis. Hal tersebut menyebabkan
kesejahteraan penduduk lokal mengalami penurunan yang cukup tajam.
Terakhir, merujuk pada teori keadilan yang diungkapkan oleh Rawls, pandangan
penulis terhadap penerapan neoliberalisme justru semakin mempertegas adanya kesenjangan
antara kelas atas dan kelas bawah. Kesenjangan antar kelas dalam negara akan semakin
melebar ketika orang yang sudah kaya dan memiliki modal dan alat-alat produksi dapat
semakin memperkaya diri, sementara orang yang miskin dan tidak memiliki modal akan
semakin terpuruk dalam perekonomian yang sangat kompetitif. Dalam lingkup global, negaranegara dunia ketiga akan mengalami kebergantungan terhadap negara-negara dunia pertama.
Negara-negara dunia ketiga akan menjadi sumber eksploitasi ekonomi maupun sumber daya
alam bagi negara-negara dunia pertama tanpa mendapatkan timbal balik yang sesuai. Sekalipun
negara-negara dunia ketiga ingin menghentikan ketergantungan terhadap negara-negara dunia
pertama, namun untuk melakukannya sangatlah sulit tanpa harus mengalami kejatuhan
ekonomi yang cukup parah.
Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai neoliberalisme di atas, penulis menyimpulkan bahwa
terdapat kritik-kritik terhadap neoliberalisme di dalam penerapannya. Keterlibatan negara di
dalam sistem pereekonomian yang menganut sistem neoliberalime lebih sedikit perannya
dibandingkan dengan sistem pasar yang diterapkan di dalamnya. Penulis juga menarik
kesimpulan keterlibatan negara perlu dimaksimalkan dalam pengimplementasian sistem
ekonomi neoliberal karena tidak semua sistem ekonomi yang dijalankan oleh pasar memiliki
tingkat kewenangan yang sama apabila hal tersebut dilaksanakan oleh negara.
Di dalam kesimpulan ini penulis juga ingin menambahkan bahwa Neoliberalisme juga
dapat menjadi solusi untuk memperbaiki perekonomian negara terutama seperti dalam kasus
krisis Asia pada tahun 1997-1998 yang menunjukkan kegagalan negara dalam menangani
6
perekonomiannya. Akan tetapi, dalam mengadaptasi ideologi ini sistem perekonomian dalam
negeri haruslah diawali dengan persiapan-persiapan terlebih dahulu, terutama dengan
memantapkan perekonomian dalam negeri sehingga mampu bersaing dalam kancah
internasional. Setelah negara siap, barulah pengimplementasian prinsip-prinsip neoliberalisme
dapat dilakukan secara bertahap.
7
Daftar Referensi
Harvey, David. 2009. “Neoliberalism and The Restoration of Capitalist Class.” Oxford: Oxford
University Press.
Jomi, ed. 2006. “Globalization under Hegemony: The Changing World Economy.” Oxford:
Oxford University Press.
Rawls, John. 1971. “A Theory of Justice.” London: Oxford University Press.
Shefner, Jon. 2007. “Review A Brief History of Neoliberalism, oleh David Harvey.” The
Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 610. USA: Sage
Publications, Inc.
8