ANALISIS PERBANDINGAN PERUBAHAN ANTARA U

ANALISIS PERBANDINGAN PERUBAHAN ANTARA
UU NO.5 TAHUN 1986, UU NO. 9 TAHUN 2004, DAN UU
NO.51 TAHUN 2009
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I.

UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tersebut telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh
perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Pembentukan atau perubahan
perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan

kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman yang
telah dilakukan adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan UndangUndang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan perubahan. Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan
bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun

Hukum Acara PTUN

non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara antara lain sebagai berikut :
1. syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara;
2. batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim;
3. pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
4. pengaturan pengawasan terhadap hakim;
5. penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga
dalam suatu sengketa;
6. adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan terhadap
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.

Hukum Acara PTUN


PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah
membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga
membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan
di bidang kekuasaan kehakiman.
Pembentukan atau perubahan perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha
memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan
salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung.
Perubahan kedua yag dilakukan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai
Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu
urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung
maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi

Hukum Acara PTUN

Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim;

2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata
Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain
melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan
partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
5. kesejahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban
biaya perkara;
8. bantuan hukum; dan
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem
peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih pengadilan tata usaha negara
secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang

mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha
negara.
Indonesia sendiri mengaku sebagai negara hukum dan memiliki peradilan
administrasi untuk mendukung terwujudnya cita-cita rechtstaats. UU No. 5 Tahun 1986
menjadi dasar awal munculnya peradilan administrasi di Indonesia yang dikenal dengan UU
Peradilan Tata Usaha Negara. UU ini sudah disempurnakan dua kali yakni dengan UU No. 9
Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009. Terkait dengan pelaksanaan putusan peradilan
administrasi dalam UU PTUN telah diubah juga selama tiga kali. Pengaturannya sendiri
diatur dalam pasal 116. Berikut adalah perbandingan antara pasal 116 mengenai pelaksanaan
putusan pengadilan.

Hukum Acara PTUN

a. Perbandingan UU PTUN
Tabel
Perbandingan Tiga Undang-Undang PTUN di Indonesia.
UU No. 5 Tahun 1986

UU No.9 Tahun 2004


UU No.51 Tahun 2009

(1) Salinan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada
para pihak dengan surat tercatat
oleh Panitera Pengadilan
setempat atas perintah Ketua
Pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktuempat
belas hari;

(1)Salinan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak
dengan surat oleh panitera
pengadilan setempat atas perintah
Ketua Pengadilan yang
mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat-lambatnya dalam

waktu 14 (empat belas) hari;

(1) Salinan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada
para pihak dengan surat oleh
panitera pengadilan setempat atas
perintah Ketua Pengadilan yang
mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat-lambatnya dalam
waktu 14 (empat belas) hari
kerja;

(2) Dalam hal empat
bulan setelah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(1) dikirimkantergugat tidak
melaksanakan kewajibannya

sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka
Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat
ditetapkan harus melaksanakan
kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(9) huruf b dan c, dan kemudian
setelah tiga bulan ternyata
kewajibannya tersebut tidak
dilaksanakannya, maka
penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), agar
Pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan
tersebut;


(2) Dalam hal 4 (empat)
bulan setelah Putusan Pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikirimkan,tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan
itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi;
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan
harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c,
dan kemudian setelah 3 (tiga)
bulan ternyata kewajiban tersebut
tidak dilaksanakannya, penggugat
mengajukan permohonan kepada

Ketua Pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pengadilan
memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan pengadilan
tersebut;

(4) Jika tergugat masih tidak
mau melaksanakannya, ketua
Pengadilan mengajukan hal ini
kepada instansi atasannya
menurut jenjang jabatan;

(4) Dalam hal tergugat tidak
bersedia melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum
tetap, terhadap pejabat
bersangkutan dikenakan upaya
paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan atau
sanksi adminsitratif;

(5) Instansi atasan

(5) Pejabat yang tidak

Hukum Acara PTUN

(2) Apabila setelah 60 (enam
puluh ) hari kerjaputusan yang
telah memperoleh kekuatan hokum
tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud pada ayat
dalam pasal 97 ayat (9) huruf a
keputusan tata usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan
harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c,
dan kemudian setelah 90 (sembilan
puluh) hari kerjaternyata
kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) agar
Pengadilan memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan pengadilan
tersebut;
(4) Dalam hal tergugat tidak
bersedia melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum
tetap, terhadap pejabat
bersangkutan dikenakan upaya
paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan atau

sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), dalam waktu dua
bulan setelah pemberitahuan
dari Ketua pengadilan harus
sudah memerintahkan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut;

melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dimumkan pada media massa
cetak setempat oleh panitera sejak
tidak terpenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat

(6) Dalam hal instansi atasan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), tidak mengindahkan
ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5), maka
Ketua Pengadilan mengajukan
hal in kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk
memerintahkan pejabat
tersebut melaksanakan putusan
pengadilan tersebut.

sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dimumkan pada media massa
cetak setempat oleh panitera sejak
tidak terpenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
(6) Disamping diumumkan pada
media massa cetak setempat
sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), ketua pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan
pengadilan, dan kepada lembaga
perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan
(7) Ketentuan mengenai besaran
uang paksa, jenis sanksi
administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang
paksa dan/ atau sanksi
administrative diatur dengan
peraturan perundang-undangan

Sumber : UU Peradilan Administrasi dan Perubahannya.
Penyempurnaan pengaturan dalam pasal diatas dilakukan agar pelaksanaan putusan
dapat efektif dilaksanakan oleh pemerintah (sebagai tergugat dalam Sengketa Tata Usaha
Negara). Mengingat kendala yang dialami di Indonesia bahwa putusan pengadilan seringkali
tidak dipatuhi oleh pemerintah. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa di Indonesia,
jaminan terhadap akses keadilan warga negara sebagai penggugat untuk memperoleh
keadilan terhambat (Justice Delay) karena putusan hakim yang telah (inkracht van gewijde)
tidak dilaksanakan. Disamping itu, pengaturan pelaksanaan upaya paksa tidak efektif untuk
memaksa pemerintah (tergugat dalam Kasus TUN) untuk melaksanakan putusan pengadilan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakanlah mekanisme upaya paksa yang relatif
baru dalam pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara yang terus disempurnakan
teknis pelaksanaannya dalam ketiga pasal dalam undang-undang diatas.
Eksekusi putusan Peradilan TUN yang dilaksanakan sebelum adanya revisi UU
Nomor 5 Tahun 1986 lebih dipengaruhi oleh asas self respect/self obicence dan sistem
floating execution, yaitu kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap, sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat yang berwenang
tanpa adanya kewenangan bagi Peradilan TUN untuk menjatuhkan sanksi. Proses
pelaksanaan putusan Peradilan TUN, setelah UU No. 5 Tahun 1986 direvisi melalui UU No.
9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009, memperlihatkan dipergunakannya system fixed
Hukum Acara PTUN

execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui
sarana-sarana pemaksa yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.
Kondisi hukum di Indonesia yang seringkali tidak mematuhi putusan pengadilan Tata
Usaha Negara berbeda dengan kondisi negara lain yang cenderung sudah mapan dalam
praktek negara hukumnya. Dalam studi perbandingan antara pengadilan administrasi di
Prancis,
Belanda,
Belgia
dan
Luksemburg
(Conseil
D’Etat),
Jerman
(Bundesverwaltungsgericht), Yunani (Symvoulion Epikratias), Italia (Consiglio di Stato),
Spanyol (Tribunal Supremo), Swiss (Tribunal Federal) dan Mahkamah Uni Eropa (European
Union Court of Justice), Frank Esparraga mendapatkan salah satu kesimpulan bahwa
pelaksanaan putusan pengadilan administrasi di negara-negara tersebut tidak mengalami
kendala yang berarti, disebabkan pada umumnya otoritas publik melaksanakan putusan
pengadilan “…however, it can be said that in the countries examined, public authorities
generally apply the decisions of the courts”. Kendati ketaatan pejabat publik terhadap putusan
pengadilan terbilang tinggi, jarang putusan pengadilan tidak dipatuhi, namun jika otoritas
yang terkait masih enggan melaksanakan putusan pengadilan, kerangka penyelesaian
sengketa administrasi disana menawarkan beberapa prosedur agar putusan ditindaklanjuti
oleh pihak yang terkait seperti pengenaan denda atau dimungkinkannya gugatan ganti rugi ke
peradilan umum seperti di Prancis dan Belgia.
b. Analisis UU PTUN
Analisis :
Bahwa pada Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 segala
Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat klausa untuk segala tata usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN berubah menjadi segala
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia tidak dapat
menjadi kompetensi Peradilan TUN pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hal ini
disebabkan adanya perkembangan Nama dari Setelah bergulirnya reformasi 1998, maka
sesuai keputusan pimpinan ABRI yang memutuskan mulai 1 April 1999 adanya pemisahan
POLRI dari ABRI dan ABRI menjadi TNI.
Sedangkan pada Pasal 2 huruf (g) bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi terhadap
segala keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum. Panitia Pemilihan Umum ini berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1985 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15
TAHUN 1969 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA-ANGGOTA BADAN
PERMUSYAWAARATAN/PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1975 DAN UNDANGUNDANGNOMOR 2 TAHUN 1980 menyebutkan bahwa, Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemflihan Umum Pusat, Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I,
Panitia Peng-awas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II, dan Panitia Pengawas
Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan masing-masing berturut-turut sesuai dengan
tingkatannya terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota yang dijabat oleh pejabat
Pemerintah dan 5 (lima) orang Wakil Ketua merangkap anggota serta beberapa orang
Hukum Acara PTUN

Anggota yang diambilkan dari unsur Pemerintah, Golongan Karya, Partai Demokrasi
Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Maka dapat disimpulkan berdasarkan undang-undang diatas pada tahun 1995, yakni setahun
setelah UUPTUN dicatat dalam lembaran Negara yang dikenal adalah panitia-panitia
pemilihan umum.
Panitia Pemilu yang sekarang dikenal sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak
reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999
yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan
dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10
Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan
dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.
Dalam praktek dan dalam pandangan beberapa pakar ahli bahwa Keputusan Komisi
Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum memang
tidak menjadi wewenang dari PTUN karena untuk segala perselisihan hasil pemilu menjadi
wewenang dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada Perubahan UUD 1945 yang juga
melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah
Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut: menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik; memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Bahwa pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada perbedaan mencolok
dan hanya menganti kotamadya yang sekarang berubah namanya menjadi kota yang mulai
diperkenalkan pada Undang-undang Otonomi Daerah. Namun secara konsep bahwa PTUN
berada pada setiap kotamadya dan kabupaten maka diperlukan biaya yang sangay besar atas
pengadaan fasilitas PTUN pada setiap kabupaten dan kotamadya. Sedangkan pada
prakteknya perkara PTUN yang masuk setiap tahunnya hanya berkisar antara 3 hingga 10
kasus per tahun, da sangat berbeada dengan PN yang bisa menyelesaikan sekitar 30 hingga
200 perkara per tahun. Dalam hal ini terlihat sangat tidak efisien untuk membentuk PTUN
pada setiap kabupaten atau kota.
Bahwa pada ayat (2) pasal yang sama menyebutkan kata propinsi menjadi provinsi. Analisis
terhadap pasal ini bukanlah analsis yang menekankan hukum, karena pada ayat (2) ini
hanyalah bertujuan untuk memperbaiki undang-undag secara gramatikal mengikuti suatu
panduan gramatikal mengnai kebakuan suatu kata sebagaimana diatur dalam Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (selanjutnya disingkat PUEBI), yakni
dengan menggunakan provinsi dan bukanlah propinsi. Hal ini juga sesuai dengan propinsi
dan provinsi dalam KBBI, tetapi yang baku adalah provinsi. Alasannya, kata tersebut berasal
dari province (Inggris). Selain itu dalam KBBI kata provinsi-lah yang mendapat penjelasan
tentang makna kata.

Hukum Acara PTUN

Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986

Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004

Pasal 2

Pasal 2

Tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara menurut
Undangundang

Tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara menurut
Undang-Undang

ini :

ini:

a. Keputusan Tata Usaha
Negara yang merupakan
perbuatan hukum perdata;

a. Keputusan Tata Usaha
Negara yang merupakan
perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha
Negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat

b. Keputusan Tata Usaha
Negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat
umum;

umum;
c. Keputusan Tata Usaha
Negara yang masih
memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan Kitab

c. Keputusan Tata Usaha
Negara yang masih
memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan Kitab

Undang-undang Hukum
Pidana atau Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Hukum
Pidana dan Kitab UndangUndang Hukum Acara
Pidana atau

atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat
hukum pidana;

peraturan perundangundangan lain yang bersifat
hukum pidana;

e. Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan atas
dasar hasil pemeriksaan

e. Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan
atas dasar hasil pemeriksaan
badan

badan peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha
Negara mengenai tata
usaha Angkatan Bersenjata
Hukum
Acara
PTUN
Republik
Indonesia;

g. Keputusan Panitia

peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha
Negara mengenai tata
usaha Tentara Nasional
Indonesia;
g. Keputusan Komisi
Pemilihan Umum baik di

Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986

Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004

Pasal 7

Pasal 7

(1) Pembinaan teknis
peradilan bagi Pengadilan
dilakukan oleh Mahkamah
Agung.

(1) Pembinaan teknis
peradilan, organisasi,
administrasi,
dan finansial Pengadilan

(2) Pembinaan organisasi,
administrasi, dan keuangan
Pengadilan dilakukan oleh

dilakukan oleh Mahkamah
Agung.

Departemen Kehakiman.
(3) Pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) tidak boleh

(2) Pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
tidak boleh mengurangi
kebebasan

Hakim dalam memeriksa
dan memutus sengketa Tata
mengurangi kebebasan Hakim Usaha Negara.”
dalam memeriksa dan
memutus sengketa Tata
Usaha Negara.

Hukum Acara PTUN

DAFTAR PUSTAKA

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta, STIH IBLAM,
2004.

Muchsin, makalah dengan judul “Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945” yang
disampaikan sebagai bahan kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya tahun
2009.

Anwar Kariem, Undang-Undang Dasar 1945: dari Awal Dibentuk Sampai Perubahan Era
Reformasi, Jakarta, Pustaka Bintang, 2004.

Pendapat akhir presiden yang diwakili menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta terhadap
RUU tentang Kekuasaan Kehakiman dan RUU badan peradilan (PU, PA, dan PTUN)
dihadapan sidang paripurna DPR RI tertanggal 29 September 2009.

Cetak Biru Blue Print) Pembaharuan Mahkamah Agung RI Tahun 2003.

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989,
Sinar Grafika, Jakarta, edisi kedua, 2007.

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com

http://www.google.co.id/#q=analisis+perubahan+UU+no.9+tahun+2004+menjadi+UU+no.51
+tahun+2009&hl=id&prmd=imvns&psj=1&ei=H7JWTq6O8isrAe2tKieBw&start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=7c2ed7d408a
61562&biw=1366&bih=667

Hukum Acara PTUN

Hukum Acara PTUN

Hukum Acara PTUN

Hukum Acara PTUN