Peredaan Ketegangan Di Semenanjung Korea.

PEREDAAN K ET EGAN GAN DI SEM EN ANJ U N G K OREA

Oleh:
DR. Yanyan Mochamad Yani, Drs., M.A.

Akhirnya setelah melalui pasang surut yang penuh ketegangan, masyarakat dunia kini perlu
merasa lega. Sementara waktu tampaknya kesepakatan mengenai denuklirisasi Semenanjung
Korea dalam Perundingan Enam Pihak - Amerika Serikat (AS), Rusia, Cina, Jepang, Korea
Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) - di Beijing telah tercapai. Sebelumnya juru runding
Amerika Serikat (AS) Christopher Hill menyatakan bahwa negaranya tidak akan melakukan
tawar menawar lagi dengan Korut mengenai program nuklirnya. Sebaliknya juru runding Korea
Utara (Korut) Kim Kye-Gwan menyatakan bahwa

kompensasi yang dberikan AS untuk

penghentian program nuklirnya sangat tidak sepadan, khususnya dalam bantuan energi untuk
perlucutan fasilitas nuklir Korea Utara.
Namun, setelah pembicaraan bilateral kedua juru runding yang diikuti pembicaraan antara
pejabat-pejabat keuangan AS dan Korut di Berlin perkembangan positif muncul yang berakhir
pada disepakatinya beberapa elemen penting dalam pembicaraan enam pihak di Beijing pada
tanggal 13 Februari 2007 yang meliputi: pertama, Korea Utara setuju untuk menutup dan

mensegel fasilitas nuklir di Yongbyon, termasuk fasilitas pemrosesan kembali bahan nuklir,
untuk pada tahap berikutnya nanti membongkar fasilitas nuklir tersebut. Korea utara juga akan
mengijinkan masuknya kembali ni spektur-inspektur IAEA (International Atomic Energy
Association) untuk melakukan inspeksi terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Korea Utara.
Kedua, sebagai imbalannya, para Negara Pihak akan memberikan bantuan kepada Korea
Utara di bidang ekonomi, energi dan bantuan humaniter. Paket bantuan ini bernilai US$ 300
juta. Ketiga, Korea Utara harus melaksanakan langkah-langkah awal pelaksanaan kewajibannya
dalam waktu enam puluh hari. Sedangkan waktu untuk membongkar senjata-senjata nuklirnya
dan bahan bakar untuk membuat senjata nuklir tersebut akan ditentukan kemudian melalui
perundingan. Keempat, AS dan Jepang masing-masing akan melakukan perundingan bilateral
dengan Korea Utara untuk mewujudkan normalisasi hubungan masing-masing dengan korea
Utara menuju ke hubungan diplomatik. Kelima, AS akan memulai proses untuk menghapus
nama Korea Utara dari daftar negara yang mensponsori teror dan mengakhiri sanksi
perdagangan dan finansial yang dikenakan terhadap Korea Utara September 2006 lalu. Keenam,
pembicaraan enam pihak akan dilanjutkan pada tanggal 19 Maret 2007 di Beijing.

1

Pertanyaannya kini adalah sampai dimana pelaksanaan kesepakatan ini akan efektif?.
Apakah


Korea

Utara

akan

sungguh-sungguh

bersedia

menyampaikan ke

masyarakat

internasional semua fasilitas nuklirnya untuk diinspeksi IAEA?. Apakah AS akan “ikhlas”
mencabut pernyataan kepala negaranya sendiri , George W. Bush Jr, yang pernah secara lantang
dan arogan menyatakan ke dunia bahwa AS tidak akan pernah kompromi dengan negara-negara
pendukung terorisme termasuk Korea Utara yang merupakan bagian dari negara-negara poros
setan (the axis of evil)?

Kiranya perlu dikaji secara saksama bahwa dalam jangka waktu dua dekade ini AS telah
berselish dengan Korea Utara berkenaan dengan program nuklirnya. AS khawatir kepemilikan
senjata pemusnah massal termasuk senjata nuklir akan jatuh ke tangan para teroris dan atau
negara-negara yang dianggap pendukung teroris misalnya Korea Utara. Maka itu di era paska
Perang Dingin salah satu bentuk tantangan yang dihadapi AS adalah upaya pembendungan
proliferasi nuklir.
Persepsi demikian telah memaksa Amerika Serikat menjadikan isu nuklir Korea Utara
sebagai salah satu agenda politik luar negerinya sejak tahun 1990. AS berposisi bahwa
Pyongyang menggunakan isu senjata nuklir strategisnya (nuclear brinkmanship) sebagai
manuver politik untuk meningkatkan posisi tawar menawar (bargaining position) di dunia
internasional, khususnya terhadap AS dan aliansinya agar tidak terus menekan Korea Utara dan
memaksa penghentian bantuan militer dan ekonomi AS kepada Korea Selatan. Kemudian AS
juga berpandangan bahwa Korea Utara menolak intervensi Washington dalam masalah proses
reunifikasi Semenanjung Korea selama ini.
Pada tahun 1994 telah disepakati perjanjian bilateral yang dikenal dengan The Agreed
Framework antara AS dan Korea Utara. Menurut perjanjian ini Pyongyang harus membekukan
seluruh aktivitas program nuklimya dan bekerjasama dengan IAEA untuk menginspeksi seluruh
fasilitas nuklir Korut. Namun, kesepakatan ini berakhir dengan kegagalan sebab AS merasa
bahwa Korut tidak dapat bekerjasama dengan sungguh-sungguh dengan IAEA. Bahkan akhirnya
pernerintah Korea Utara. menyatakan pengunduran dirinya dari keanggotaan Nuclear

Non-Proliferation Treaty (NPT) pada tanggal 10 Januari 2003. Pada titik ini hubungan
diplomatik antara Washington dan Pyongyang menjadi semakin tegang.
Sejak saat itu pemerintah Amerika Serikat tidak mau lagi melakukan diplomasi bilateral
dengan Korea Utara. Washington menggantinya dengan pembangunan berbagai forum
pertemuan dan kerjasama multilateral yang melibatkan Rusia, China, Jepang dan Korea Selatan
(state actors) dan juga PBB, IAEA dan NGO (non-state actors) untuk menyukseskan proses
diplomasinya, dalam hal ini adalah penghentian aktivitas program senjata nuklir Korea Utara.
AS. Strategi yang dijalankan AS tersebut dikenal masyarakat internasional sebagai two path
2

strategy yang lebih mengutamakan cara-cara multilateralist (Idealist Approach) dengan
instrumen diplomasi dalam menangani krisis proliferasi nuklir Korea Utara. Setidaknya itulah
fakta yang terlihat di lapangan, dan sejauh ini Washington belum menunjukkan sinyal untuk
menyelesaikan kasus isu regional Asia Timur ini dengan instrumen militer.

Kalkulasi AS
Secara umum, strategi ini difokuskan kepada negara-negara yang dianggap melanggar
perjanjian Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dengan kepemilikan teknologi Weapons
Mass Destruction (WMD) dengan kriteria Nuclear, Biological and Chemical weapon (NBC),
dan Washington mengkategorikan negara semacam ini dengan istilah the rogue states. Suatu

negara akan dan dapat dikategorikan sebagai the rogue states apabila negara tersebut membenci
AS dan memiliki senjata pemusnah massal, merupakan rejim yang agresif serta melanggar
hukum internasional.
Berdasarkan kriteria ini AS mengkategorikan pemerintah Korea Utara sebagai The Rogue
State. Bahkan Korea Utara bersama Iran dan Iraq diberi label sebagai an axis of evil (negaranegara poros setan). Kedua konsep ini (roque states dan axis of evil) merupakan bagian dari
agenda strategi politik Washington dalam membangun opini publik (public opinion)
internasional untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintahan Pyongyang.
Washington juga memanfaatkan tekanan dari dunia internasional (international tensions)
yakni dengan instrumen diplomasi-multilateralis terhadap pemerintah Pyongyang. Hubungan
diplomatik yang cukup baik antara Amerika Serikat dengan pemerintah Rusia dan Cina sebagai
dua negara dengan kekuatan ekonomi, politik dan militer yang cukup berpengaruh terhadap
Korea Utara, tentunya memberikan peluang bagi strategi politik Amerika ini.
Lebih lanjut, dalam menangani isu nuklir Korea Utara, strategi ekonomi yang dijalankan
oleh AS adalah salah satunya dengan memanfaatkan kekuatan ekonomi internasionalnya, yaitu
melalui penerapan sanksi ekonomi internasional terhadap Korea Utara yang disahkan oleh
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang meliputi embargo ekonomi, membatasi
ruang gerak perdagangan internasional dan pemasukan investasi asing.
Pertanyaannya kini adalah mengapa pencapaian implementasi strategi-strategi AS untuk
memaksakan kehendaknya ke Korea Utara di atas ternyata tidak begitu memuaskan dan bahkan
cenderung dapat dianggap menorehkan suatu catatan kegagalan dalam sejarah keberhasilan

diplomasi Amerika Serikat kontemporer?.

Kalkulasi Korut
Kiranya terdapat beberapa argumen mengapa hal itu terjadi. Pertama, dari sejak awal para
perunding Korut tampaknya sudah mengkaji bahwa pijakan keterlibatan AS dalam

forum
3

pembicaraan enam negara sebagai bagian dari two path strategy adalah lemah dan cenderung
memaksakan diri. Logikanya yakni, terhadap Korea Utara yang secara faktual terang dan jelas
mengakui kepemilikan senjata nuklir dengan program nuklir dan program misil balistiknya,
pemerintah Amerika Serikat

hanya

menggunakan forum diplomasi multilateralis dan

menjalankan perjanjian Non-Proliferation Treaty untuk menekan pemerintah Korea Utara agar
membekukan seluruh aktivitas program nuklirnya. Sebaliknya, terhadap Iraq yang juga

dituduhkan Washington memiliki senjata pemusnah massal, ternyata Amerika Serikat
melakukan tindakan secara unilateral dengan menginvasi Iraq walaupun melanggar hukum
internasional karena tidak mendapatkan otorisasi dari Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa. Pemahaman ini menyiratkan bahwa para elite politik pemerintahan AS masih ragu-ragu
untuk bertindak lebih jauh ke Korut selain dari forum diplomasi multilateral belaka.
Kedua, berpijak pada perkembangan kondisi politik domestik AS dewasa ini, tampaknya
para perunding Korut berhitung bahwa kemarahan AS selama ini hanyalah merupakan gertakan
semata yang tidak akan ditindaklnajuti oleh suatu aksi serbuan militer AS ke Korea Utara.
Tampaknya Washington menyadari bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendanai perang
di Semenanjung Korea ini akan sangat besar apalagi pasca Perang Iraq dan Perang Afghanistan
telah membuat perekonomian nasional Amerika mengalami defisit anggaran yang mencapai
miliaran dollar AS. Ketika Perang Iraq meletus, Amerika memang bertujuan ,untuk menguasai
sumber daya minyak (petropolitics) di Irak, sementara dengan berperang dengan Korea Utara,
Amerika hanya akan melakukan hal yang sia-sia.
Selain itu, penggunaan instrumen militer terhadap Korea Utara dapat menyebabkan
memburuknya hubungan diplomatik Amerika Serikat dengan China dan Russia, bahkan dengan
dunia internasional karena probabilitas keterlibatan senjata nuklir dalam perang di semenanjung
Korea sangat besar. Dengan berbagai pertimbangan cost and benefits tersebut, setidaknya dapat
membatasi opsi penggunaan instrumen militer oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap Korea
Utara.
Ketiga, tampaknya para perunding AS terlalu percaya diri dengan slogan bahwa setelah

jatuhnya komunisme di Uni Soviet maka tidak ada lagi negara komunis di dunia ini. Karena itu
AS dapat dengan leluasa dan mudah menundukan negara-negara satelitnya Uni Soviet. Asumsi
ini mungkin tidak sepenuhnya tepat. Hal itu dikarenakan sejak merdeka pada tahun 1948,
Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK) di bawah kepemimpinan Kim Il-sung dikenal
sebagai negara penganut ideologi komunisme ortodoks dan terasing di tengah pergaulan
internasional. Komunisme di Korut merupakan suatu perpaduan antara tradisi Konfusius,
masyarakat yang konservatif, kontrol, dan proses indoktrinasi Komunisme yang dilakukan
secara terus menerus. Perpaduan itu telah menciptakan suatu praktek sistem politik totaliter yang
melebihi mantan negara Uni Soviet maupun RRC.
4

Dengan kata lain, di forum diplomasi multilateral enam negara itu AS sedang berhadapan
dengan sebuah negara yang nilai-nilai moral dan atau ideologi nasionalnya masih alami ala
Perang Dingin dan berkarakter tidak akan dapat secara mudah memenuhi keinginan AS. Secara
demikian, kalkulasi negosiasi tentu saja akan alot dan memerlukan upaya yang ulet dan tangguh
dari para perunding AS. Belum lagi, dalam sepanjang sejarah diplomasi AS sangat jarang AS
ketika sedang konflik dengan suatu negara menyerahkan pemenuhan kepentingan nasionalnya
kepada negara-negara lain melalui penyelesaian forum pembicaraaan multilateral.
Sebagai negara super power AS lebih menyukai cara negosiasi unilateral dibandingkan
multilateral. AS berhitung bahwa dalam forum multilateral akan bercampur berbagai

kepentingan nasional banyak negara yang mungkin diantaranya akan berbenturan kepentingan
nasionalnya dan mengambil keuntungan dari kondisi konflik AS dengan Korut. Karena itu
mungkin saja, di belakang layar Cina dan Rusia sebenarnya sedang ikut bermain terus mengipasi
Korut untuk membuat AS menjadi gerah dan geram. Kondisi ini telah mempermalukan AS di
mata dunia karena strategi diplomasinya di Semenanjung Korea selama ini tidak berhasil sesuai
kehendaknya.
Walaupun sampai saat ini strategi dan politik luar negeri yang diterapkan pemerintah
Amerika Serikat belum menunjukkan hasil yang dapat membawa perubahan yang signifikan,
para analis hubungan internasional optimis bahwa penggunaan instrumen diplomasi antara AS
dan Korea Utara tetap merupakan satu-satunya cara terbaik untuk menghindari perang nuklir di
muka bumi ini.***
==================================================================
Penulis adalah Staf Pengajar Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

5