Ketegangan Di Semenanjung Korea.

K ET EGAN GAN DI SEM EN AN J U N G K OREA

Oleh:
Yanyan Mochamad Yani

Ketegangan di Semenanjung Korea memuncak kembali. Hal itu dipicu oleh tindakan Korea
Utara (Korut) yang mengusir sebelas pejabat pemerintah Korea Selatan dari kantor bersama
Zona Industri Kaesong. Aksi Korut ini sebagai reaksi atas isi pidato Menteri Unifikasi Korsel
Kim Ha Joong yang menyampaikan bahwa tanpa adanya kemajuan dalam proses denuklirisasi
Korea Utara akan mempersulit perluasan kompleks industri kerjasama antar Korea yakni Zona
industri Kaesong yang bertempat di utara garis perbatasan antar Korea. Tindakan sepihak Korut
ternyata belum berhenti. Hanya satu hari setelah aksi pengusiran tersebut, Korut kembali
mengejutkan masyarakat internasional dengan melakukan uji coba rudal di pantai barat barat
negara itu. Beberapa rudal secara sengaja ditembakkan Korut ke arah Laut Kuning yang persis
di depan wilayah territorial Korsel.
Tak pelak lagi tingkah laku Korut ini menuai kecaman dari negara lain, khususnya Amerika
Serikat (AS) dan Korsel. Itu berarti untuk sementara waktu tampaknya kesepakatan mengenai
denuklirisasi Semenanjung Korea dalam Perundingan Enam Pihak - Amerika Serikat (AS),
Rusia, Cina, Jepang, Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) - di Beijing tahun lalu
akan kembali tersendat-sendat, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menemui jalan buntu.
Juru runding Amerika Serikat (AS) Christopher Hill menyatakan bahwa negaranya tidak

akan melakukan tawar menawar lagi dengan Korut mengenai program nuklirnya. Kemudian,
Presiden Korsel baru dari kubu konservatif, Lee Myung-bak, menyatakan bahwa Seoul akan
akan mengambil sikap tegas terhadap Pyongyang berkenaan dengan keberlangsungan kerjasama
antar-Korea bagi kemajuan dalam perundingan multilateral mengenai denuklirisasi Korea Utara.
Perubahan sikap pemerintahan Lee Myung-bak ini sangat berbeda dengan pemerintahan Koresl
sebelumnya yang lebih mengedepankan sikap liberal dalam menyelesaikan perselisihannya
dengan Korut. Tak pelak lagi perang retorika diantara Korut dengan Korsel yang didukung AS
makin memanaskan situasi di Semenajung Korea.
Pertanyaannya adalah untuk move politiknya kali ini, faktor-faktor apa yang kiranya
diperhitungkan para elit pemerintahan Korut dalam melancarkan kebijakan keras dan menantang
terhadap Korsel dan sekutunya?. Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan itu dengan
membatasi diri dari perspektif strategis eksistensi kompleks industri Kaesong dalam hubungan
antar Korea serta dinamika politik global kontemporer.
1

Eksistensi Komplek Industri Kesong
Dalam pertemuan konferensi Tingkat Tinggi Antar-Korea 13-15 Juni 2000 telah
ditandatangani Deklarasi Bersama Korea Selatan-Korea Utara (South-North Joint Declaration)
yang diharapkan dapat menjadi landasan utama bagi babak baru hubungan antar Korea dengan
melaksanakan kerjasama di berbagai bidang. Salah satu bentuk kerjasamanya adalah di bidang

ekonomi dimana Korea Utara menyediakan beberapa distrik ekonomi khusus

(Special

Economic Zone/SEZ) untuk dijadikan komplek industri, yaitu Gaesong (Kaesong), Shinuju, dan
Najin/Sonbong.
Penetapan Komplek Industri Kaesong sebagai salah satu zona ekonomi khusus bukan hanya
menjadi simbol persatuan Korea tetapi juga menandai sebuah upaya membangun hubungan
antar Korea yang akan mengarah pada percepatan proses reunifikasi secara damai kedua Korea.
Kaesong adalah kompleks perindustrian di wilayah Korea Utara dan dikelola oleh Hyundai Asan
Corporation yang merupakan salah satu chaebol di Korea Selatan. Investasi yang dilakukan
Korea Selatan ini tergolong sebagai bentuk investasi asing langsung (foreign direct investment)
karena Korea Selatan di samping sebagai penanam modal, ia jugamengelola operasionalisasi
kompelk industri ini. Korsel menggunakan Korea Land Corporartion pengembang dari Korea
Selatan sebagai tenaga ahli dalam membangun Komplek Insustri Kaesong (KIK).
Dalam perencanaannya Komplek Industri Kaesong dibangun dalam tiga tahap. Tahap
pertama ditujukan bagi perusahaan-perisahaan Korea Selatan yang berskala kecil hingga
menengah. Tahap kedua ditujukan bagi perusahaan-perusahaan yang produknya diterima di
pasaran dunia, dan tahap ketiga dibangun industri-industri dengan berbasis teknologi tinggi.
Dari sisi Korea Utara, Komplek Industri Kaesong menyediakan lapangan kerja bagi orangorang Korea Utara tanpa harus menyeberang perbatasan secara ilegal menuju Korea Selatan atau

negara-negara tetangga lainnya untuk mendapatkan standard hidup yang lebih baik. Selain itu,
eksistensi KIK di Korea Utara juga mengarahkan suatu reformasi atau upaya pembangunan
ekonomi Korea Utara agar lebih bersifat liberal dan moderen. Hal itu dikarenakan perusahaanperusahaan di KIK yang memperkerjakan orang-orang dari Korea Utara menggunakan bisnis
dan teknologi moderen serta pola kerja masyarakat industri Barat.
Bagi Korea Selatan, keberadaan Komplek Industri Kaesong ini bukan hanya dapat
membantu perekonomian Korea Utara, tapi KIK juga merupakan sebuah factor utama dalam
pembangunan dan mereformasi ekonomi Korea Utara yang menuju ke arah terciptanya
reunifikasi kedua Korea. Secara demikian, dapat dimaknakan bahwa eksistensi Komplek
Industri Kaesong ini sangat menguntungkan Kedua pihak, terutama bagi pemulihan ekonomi
Korea Utara. Apalagi dalam makro strategi KIK memiliki makna baik ekonomi (pembangunan
industri) maupun politik (reunifikasi korea).
2

Pada titik ini kini timbul pertanyaan, faktor apa yang menyebabkan pemerintah Korea Utara
secara sepihak membuat kebijakan “permusuhan dengan Korea Selatan” sehingga dapat
menunda pengembangan Komplek Industri Kaesong yang secara hipotetik sebenarnya sangat
menguntungkan pembangunan ekonomi Korea Utara?.

Kalkulasi Korut
Kiranya terdapat beberapa argumen mengapa hal itu terjadi. Pertama, dari sejak awal Korea

Selatan berasumsi bahwa kerjasama ekonomi antar Korea di Zona Industri Kaesong akan
menghasilkan signifikansi geopolitik untuk mengimbangi meningkatnya pengaruh Cina di Korea
Utara. Namun sayangnya sesuai dengan berjalannya waktu harapan Korea Selatan ini mungkin
jauh dari kenyataan. Tampaknya, dewasa ini pengaruh Cina di Korea Utara justru makin
mencengkeram. Misalnya saja berdasarkan data statistik Cina di tahun 2004 investasi asing
langsung non finansial Cina ke Korea Utara adalah sebesar $14,1 juta. Itu lebih dari sepuluh kali
lipat bila dibandingkan dengan invesatsi Cina tahunh 2003 yang hanya sebesar $1,1 juta. Bulan
Maret 2005 Korea Utara dan Cina menandatangani kerjasama investasi dan persetujuan proteksi.
Kemudian, bulan Desember 2005 pemerintah Korea Utara dan Cina telah mencapai kesepakatan
eksplorasi minyak bersama di dasar Laut Kuning. Para analis memperkirakan, selama tiga tahun
terakhir ini kesepakatan eksplorasi minyak ini menunjukkan prospek yang menguntungkan bagi
Korea Utara. Dengan kata lain, pengaruh Cina di Korea Utara dalam bidang ekonomi makin
menguat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Cina yang spektakuler sebagai major power di
Asia-Pasifik..
Kedua, sebagai sebuah entitas negara-bangsa sejak merdeka pada tahun 1948 Republik
Demokrasi Rakyat Korea (RDRK) dikenal sebagai negara penganut ideologi komunisme
ortodoks dan terasing di tengah pergaulan internasional. Komunisme di Korut merupakan suatu
perpaduan antara tradisi Konfusius, masyarakat yang konservatif, kontrol, dan proses
indoktrinasi Komunisme yang dilakukan secara terus menerus. Perpaduan itu telah menciptakan
suatu praktek sistem politik totaliter yang melebihi mantan negara Uni Soviet maupun RRC.

Dengan kata lain, Korea Selatan dan sekutunya AS sedang berhadapan dengan sebuah
negara yang nilai-nilai moral dan atau ideologi nasionalnya masih alami ala Perang Dingin dan
berkarakter tidak akan dapat secara mudah memenuhi keinginan pihak lawan. Secara demikian,
kalkulasi proses denuklirisasi Korea Utara tentu saja akan alot dan memerlukan upaya yang ulet
dan tangguh dari para perunding negara-negara lain terhadap Korut.
Ketiga, berpijak pada perkembangan kondisi politik domestik AS dewasa ini, tampaknya
para elit pemerintahan Korea Utara berhitung bahwa untuk sementara waktu pemerintahan Bush
tidak lama lagi akan mengakhiri masa kepemimpinannya sedang disibukkan oleh persiapan
pemilihan Presiden AS. Secara begitu, pemerintahan Bush tidak akan leluasa menerapkan
3

kebijakan keras, termasuk penggunaan instrumen militer terhadap Korut yang kerap
dianggapnya sebagai bagian dari negara-negara poros kejahatan (axis of evil).
Selain itu, kondisi hubungan AS yang kian memburuk dengan Rusia tampaknya juga sedang
dimainkan Korut. Karena itu mungkin saja, di belakang layar Rusia sebenarnya sedang ikut
bermain terus mengipasi Korut untuk membuat AS menjadi gerah dan geram. Kondisi ini akan
mempermalukan AS di mata dunia karena strategi diplomasinya di Semenanjung Korea selama
ini tidak berhasil sesuai kehendaknya.
Dengan berbagai pertimbangan cost and benefits tersebut, setidaknya dapat membatasi opsi
penggunaan instrumen militer oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap Korea Utara walaupun

secara terang-terangan Korut telah menembakkan rudalnya ke Laut Kuning yang notabene tidak
jauh dengan posisi penggelaran pasukan AS secara besar-besaran di Semenanjung Korea saat
ini.
Berpijak pada paparan di atas dapat dimaknakan bahwa ketegangan yang terjadi di
Semenanjung Korea saat ini tidak terlepas dari kondisi politik global kontemporer yang
bernuansa layaknya suasana “era Perang Dingin”. Kaitannya dengan pandangan realis dalam
studi hubungan internasional, negara adalah sebuah aktor yang berupaya terus mengejar survival
di bawah sistem yang anarki. Tampaknya, itulah yang sedang dilakoni Korea Utara saat ini.***
==================================================================
Penulis adalah Dosen Jurusan Hubungan Internasional dan Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

4