hidup dalam ketegangan dalam ketegangan

HIDUP DALAM KETEGANGAN
Oleh : Maliki
Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Klas I Semarang

Perjalanan Menuju Petugas Lapas
Menjadi seorang petugas Lapas sepertinya memang sudah digariskan oleh Tuhan

dan

rahasia Tuhan ini nampaknya sudah dapat diprediksi sejak saya masih duduk di klas III sekolah Dasar
di Desa Mojoranu,kecamatan Dander, kabupaten Bojonegoro. Sejak kecil saya sering bermain di
penjara pertanian ( penjara terbuka) bojonegoro. Di penjara terbuka yang biasanya digunakan untuk
warga binaan pemasyarakatan yang sedang menjalani asimilasi ini terdapat pohon cermai.sayapun
senang mengambil buah cermai, hingga akirnya beberapa petugas lapas menangkap saya. Saya
dibawa diruang penjagaan untuk diinterogasi. Mungkin karena saya masih kecil ,petugas lapasyang
tadinya terlihat marah justru meredam emosinya dan sambil bercanda menanyakan kepada saya
apakah saya memiliki kakak perempuan yang bisa dikenalkan pada mereka. Sejak itu saya semakin
akrab dengan petugas-petugas lapas.
Hampir setiap hari saya bermain-main di lapas, saya melihat penderitaan yang dialami oleh
narapidana. Tadinya saya tidak percaya jika orang tua mengatakan bahwa tahanan di lapas hanya
makan seadanya. Namun setelah saya bergaul dengan mereka, saya melihat sendiri mereka yang

setiap hari bekerja fisik hanya makan nasi jagung. Mereka juga menjadi orang yang terpinggirkan,
dianggap jahat dan hina oleh masyarakat. Padahal anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Walaupun
dulu pernah melakukan kejahatan namun mereka seperti manusia biasa, kadang sedih dan kadang
bahagia. Kesalahan yang pernah diperbuat merupakan kekhilafan, ada penyesalan dalam diri mereka
yang menjadi tekat untuk berubah, namun tekat tersebut kurang diapresisi oleh masyarakat bahkan
keluarga mereka sendiri.

Di titik yang berbeda di dalam lapas, saya melihat upas mbui( petugas lapas pada tempo
dulu) yang begitu di segani. Walaupun secara penghasilan bisa dikatakan sangat kecil, namun
kesederhanaan tersebut tidak menutup wibawa seorang upas mbui (petugas lapas).petugas lapas
yang datang dan pergidengan sepeda ontel tetap dihormati oleh narapidana yang berpenampilan
angker. Pemandangan ini menjadi menjadi hal yang sangat menarik bagi saya. Saya ingin menjadi
petugas lapas,bisik hati kecil saya.berpenampilan sederhana tetapi disegani oleh “premanpreman”yang secara fisik lebih kuat dari petugas lapas. Pembunuh,perampok,pencuri ada di
lapas.saya terobsesi ingin menaklukan mereka, saya ingin menjadi raja atas mereka,sesuai dengan
nama saya “MALIKI” yang dalam bahasa Arab berarti “RAJA”.
Dengan menjadi seorang “raja” di lapas maka saya yakin saya bisa mengendalikan
narapidana-narapidana tersebut. Mengendalikan mereka artinya saya bisa menolong dan
menyadarkan mereka sehingga tidak ada lagi preman atau setidak-tidaknya saya berhasil mengurangi
jumlah preman yang selama ini dinilai menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Keinginan yang kuat
ini saya wujutkan melalui keikutsertaan saya dalam menjalani tes di Departemen Kehakiman

(sekarang Kementerian Hukum dan Ham). Saya beruntung, dengan tekat, usaha dan doa orang tua
saya, saya berhasil diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil,saya ditempatkan di Lapas klas IIb
Bojonegoro, kota kelahiran saya.

Siap bertugas
Karier saya sebagai petugas lapas dimulai dari bawah, saya sendiri memang tidak masuk dari jalur
akademi yang memang disiapkan untuk menjadi pejabat Lapas,saya menjadi pegawai lapas dengan
berbekal ijasah SLTA dengan pangkat pengatur muda. Saya sangat menikmati pekerjaan saya. Sehari –
hari saya bergaul dengan warga binaan, saya berkomunikasi dengan mereka layaknya sahabat atau
bahkan keluarga. . Awalnya saya ingin membuktikan anggapan orang bahwa narapidana adalah
sekumpulan orang jahat yang harus dihukum. Setelah membaurkan kehidupan saya dengan mereka,

saya mengetahui bahwa mereka sekali lagi adalah manusia biasa yang juga punya perasaan dan rasa
ingin berubah. Bahkan seringkali saya katakan kepada teman-teman bahwa
warga binaan juga manusia yang sesungguhnya masih banyak orang di luar lapas yang justru lebih
jahat daripada warga binaan yang terstigmatisasi sebagai orang jahat.

Bekerja di lapas membuat saya mengerti mengapa orang-orang mengatakan bahwa masuk ke
lapas sama dengan masuk ke dunia yang keras. Perkelahian sepertinya yang diberitakan di media
kerap kali terjadi di lapas. Sedikit tersinggung mereka bisa saling membunuh. Kondisi tersebut

merupakan kondisi yang wajar ketika manusia yang secara kodrat terlahir bebas, namun
kenyataannya harus terkukung dengan segala keterbatasan di balik tembok-tembok penjara. Situasi
ini akan menimbulkan stres dan gangguan emosional lainnya.

Saat pertama kali bertugas di Bojonegoro, saya yang sangat menyukai tantangan,walaupun
saya masih pegawai baru tetapi saya berani masuk blok- blok hunian dan berbicara dengan
narapidana, Hal ini saya lakukan untuk mengetahui bagaimana perilaku narapidana dan karena saya
masih bujangan saya selepas dinas sebagai petugas penjagaan saya tidak pulang kecuali setelah dinas
malam, mulai masuk dinas siang kemudian esuknya dinas pagi dan dilanjutkan dinas malam saya
berada di kantor kalau makan di dapur Lapas karena di dapur Lapas disediakan makan nasi putih dan
sambel oleh petugas dapur. Makan makanan yang sama dengan warga binaan lainnya dengan
melakukan aktivitas yang sama dengan mereka. Rasanya sangat tersiksa. Hidup yang tadinya bebas
tiba-tiba berubah menjadi sangat terbatas. Tak hanya makanan tetapi juga pandangan mata yang
hanya berhadapan dengan temboktembok. Dengan pengalaman ini saya bisa memaklumi jika kadar
emosi warga binaan cukup tinggi, dan tentunya saya tahu bagaimana harus mengendalikan orangorang dengan kondisi psikologis seperti itu.

Perjalanan menjadi petugas lapas tentu sangat menyenangkan. Pekerjaan yang penuh
tantangan, dan dimana ada tantangan yang besar maka disanalah saya akan berada. Bagi saya,
kemampuan untuk menjawab permasalahan yang besar akan membuat kita semakin bijaksana. Saya
sangat mencintai pekerjaan saya. Bisa dikatakan saya sudah mendedikasikan hidup saya sepenuhnya

untuk pekerjaan saya ini. Kata teman-teman saya termasuk pekerja keras. Sejak SD klas IV saya sudah
terbiasa bekerja, saya mulai berdagang kecil-kecilan. Orang tua saya adalah seorang petani di desa,
jadi saya harus membantu mereka bekerja. Saya menghabiskan waktu remaja saya untuk menjadi
pengembala di saat teman-teman sebaya sudah mulai pacaran.

Kehidupan petugas lapas yang sangat sederhana seperti yang saya ceritakan di awal sudah
mulai berubah. Hal tersebut tidak lepas dari perhatian pemerintah terhadap petugas lapas. Petugas
lapas bukan hanya mendapatkan gaji saja, melainkan juga remunerasi, tunjangan, uang makan dan
uang jaga malam. Satu hal yang menarik menurut saya, sejak peningkatan pendapatan tersebut,
semakin jarang ditemukan petugas lapas yang meminta ceperan kepada pengunjung. Kondisi ini
tentu sangat baik dalam meningkatkan citra institusi Lembaga Pemasyarakatan.

Menduduki Posisi Jabatan Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas
Kecintaan saya terhadap pekerjaaan saya membawa saya untuk mendapatkan
promosi jabatan sebagai Kepala Pengamanan Lapas. Suatu jabatan yang sesungguhnya jarang
didapatkan oleh petugas yang bukan berasal dari Akademi Ilmu Pemasyarakatan. Ini pula yang
menjadi salah satu kebanggaan bagi saya, bahwa dengan segala ketekunan dan kerja keras, kita
dapat meraih segala yang kita inginkan. Everything is possible (apapun bisa terjadi). Bagi saya,
menjadi Kepala Pengamanan Lapas adalah wujud diri saya sebagai MALIKI (raja). Seorang Kepala
Pengamanan Lapas adalah penentu kebijakan kalapas dan menjadi kunci dalam keberhasilan

pembinaan di lapas. Jika lapas tidak aman dan tertib maka pembinaan akan gagal.

Sampai saat ini saya sudah tiga kali menduduki jabatan sebagai Kepala kesatuan Pengamanan
Lapas. Pertama di Lapas IIa Kerobokan,Denpasar, Bali, kemudian Lapas Klas I Cirebon dan saat ini
saya bertugas di Lapas klas I Semarang. Masing-masing memberikan pengalaman baru yang penuh
tantangan. Suka dan duka saya lalui di tiga lapas tersebut.

Lapas Kerobokan adalah lapas pertama saya sebagai Kepala Kesatuan Pengamanan
Lapas.Lapas Krobokan mempunyai lima (5) funngsi lapas, yakni Lapas Narkotika karena banyak
penghuninya karena kasus narkoba, Lapas Wanita , Lapas Umum karena banyak napi kasus kriminal,
Lapas tersebut terdapat di kawasan pemukiman yang cukup padat di Provinsi Bali. Bisa dikatakan
Lapas ini memberikan kenangan yang sangat berarti dalam hidup saya. Bekerja di Bali sama dengan
berlibur, setiap jengkal memiliki kawasan wisata. Pemandangan indah dan pesona pulau Bali
nampaknya tidak berbanding lurus dengan kondisi Lapas Kerobokan. Di Bali banyak kelompok
preman besar. Ketika tersangka,terdakwa divonis maka tentu saja pembinaan terakhir dilakukan di
Lapas. Bayangkan bagaimana mengendalikan preman-preman di Lapas, di luar Lapas preman-preman
tersebut memang merupakan musuh bebuyutan. Hal tersebut merupakan tantangan besar dari saya,
dan memang semakin tinggi tantangannya maka saya akan semakin tertantang untuk
menyelesaikannya. Preman preman di Bali ( Laskar Bali, Baladika, Kelompok Dewa Syaraf, Kelompok
Minggik, Kadek ompong, dll) pada dasarnya memiliki garis komando yang kuat, maka untuk

mencegah mereka berkelahi di dalam lapas, saya harus berkomunikasi dengan pemimpinnya di luar
lapas. Jika pemimpinnya sudah menginstruksikan mereka untuk tidak membuat kekacauan di lapas
maka mereka akan mengikutinya. Saya sebagai Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas juga memiliki
kebijakan untuk berkomunikasi secara intens dengan kepolisian dan angkatan darat.

Berbagai macam warga binaan terdapat di Lapas Kerobokan ada yang berkewarganegaraan
asing dan berkewarganegaraan Indonesia. Keberadaan warga binaan asing membuat saya mau tidak

mau mempelajari bahasa asing. Karena keberadaan warga binaan ini pula, saya bisa berkesempatan
untuk bertemu dan mengikuti jamuan makan malam dari Konsulat negara sahabat. Menangani
warga binaan asing juga menimbulkan kesulitasn tersendiri, misalnya ketika menangani warga binaan
kasus narkotika asal Australia Schapelle Leigh Corby yang seringkali mengalami depresi di Lapas.
Pihak konsulat selalu melakukan intervensi dan meminta penanganan medis di ruang VIP Rumah
Sakit, sementara pihaknya tidak mau membayar. Lapas sendiri tidak memiliki dana untuk
menempatkan warga binaan yang sakit di ruang VIP. Memindahkan Corby ke Lapas lain juga menjadi
hal yang tidak mungkin mengingat adanya perjanjian antara Kedutaan Australia dengan Dirjen
Pemasyarakatan bahwa warga binaan Autralia di Lapas Kerobokan tidak boleh dipindahkan ke Lapas
lain.

Di Bali saya juga sempat menerima warga binaan terorisme. Warga binaan kasus terorisme

ini memiliki karakteristik tersendiri. Mereka tinggal dalam blok khusus dengan kegiatan yang sangat
terbatas. Mereka juga cukup membatasi diri. Selain membatasi diri, mereka juga menjadi salah satu
golongan warga binaan yang tidak disukai baik oleh petugas lapas maupun oleh warga binaan lain.
Sebagian besar dari mereka tidak pernah merasa bersalah atas perbuatan yang sudah dilakukannya,
karena apa yang sesungguhnya dilakukan adalah sudah sesuai dengan Syariat Islam. Golongan ini
sungguh sulit dibina.

Warga binaan di Lapas Kerobokan memang sangat beragam. Ada napi wanita, anak,
narkotika, pidana umum dan tahanan titipan. Satu hal yang tidak terlupakan adalah ketika membina
warga binaan waria. Mereka memang cukup sulit untuk dikelompokkan ke dalam blok laki-laki atau
blok perempuan. Berbagai penolakan muncul kepada mereka karena banyak diantaranya yang
merasa risih. Akhirnya warga binaan tersebut dipindahkan ke blok anak. Warga binaan waria ini juga
cukup memberikan tantangan tersendiri bagi petugas lapas. Petugas lapas beberapa kali dicium

paksa oleh warga binaan waria ini. Petugas lapas yang terkesan gagah berani pun akhirnya agak takut
dengan aksi romantis dari warga binaan waria.

Cirebon menjadi kota kedua bagi saya sebagai Kepala Pengamanan Lapas. Awalnya
pemindahan tugas ini membuat saya cukup sedih, karena saya harus meninggalkan keluarga di Bali.
Keluarga saya memilih menetap di Bali. Kata anakanak (saya memiliki dua orang anak laki-laki, SD dan

SMP) mereka sudah lelah pindah sekolah mengikuti saya sejak mereka kecil. Saya juga harus
meninggalkan kuliah S2 saya di Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan
Pidana, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana yang hanya tinggal penyelesaian tesis.
Bimbingan pun akhirnya hanya bisa dilakukan ketika saya pulang ke Bali saya. Tentu saja waktunya
menjadi sangat terbatas karena saya juga harus menyesuaikan jadwal dengan pembimbing.

Sebaran warga binaan di Lapas Cirebon berbeda dengan pola sebaran warga binaan di Lapas
Kerobokan. Di Kota Wali ini, terdapat banyak warga binaan dengan pidana yang tinggi. Secara
psikologis, warga binaan dengan pidana tinggi lebih sulit untuk dibina daripada warga binaan dengan
pidana yang lebih rendah. Mereka merasa seluruh hidupnya akan berakhir di lapas sebagai penjahat
sehingga mereka tidak perlu lagi merubah diri ke arah yang lebih baik. Lapas Cirebon juga menjadi
lapas operan dari lapas lain yang memiliki warga binaan yang bermasalah. Warga binaan yang tidak
bisa dibina di lapas lain akan dipindahkan ke Lapas Cirebon. Khusus untuk menangani warga binaan
ini saya menggunakan pendekatan secara persuasif. Berbicara dari hati ke hati. Sehingga kekerasan
hanya menjadi upaya terakhir untuk membina mereka.

Salah satu hal yang menyenangkan menjadi Kepala Pengamanan Lapas Cirebonbadalah
kemudahan dalam membina warga binaan untuk beribadah. Mayoritas warga binaan sudah lancar
mengaji. Mereka juga maumenjalankan sholat. Temperamen warga binaan pun relatif lebih stabil. Di


Kota ini juga banyak kyai yang secara sukarela membantu saya untuk membina warga binaan melalui
bimbingan kerohanian. Hal ini tentu memudahkan kerja kami di Lapas Cirebon.

Februari 2013 lalu, saya dipindahkan ke Lapas Semarang. Di tempat ini saya kembali
menjabat sebagai Kepala Pengamanan Lapas. Sebelumnya saya pernah bertugas di Lapas Semarang
sebagai staf. Saya seperti kembali ke rumah lama. Di tempat ini, saya menemukan satu hal sangat
baik yang nantinya akan saya terapkan jika saya kembali dipindahtugaskan. Warga binaan dapat
melakukan seluruh aktivitas pembinaan dengan baik. Segala kegiatan seperti olah raga, baris
berbaris, upacara bendera, kegiatan kesenian, kegiatan rohani dan pembinaan kepribadian dapat
diikuti dengan baik oleh warga binaan. Petugas Lapas Semarang juga sangat solid. Dengan jumlah
penjaga 13 orang, kami mampu mengamankan 1200 warga binaan. Hal ini menjadi kebanggaan bagi
kami. Kami sudah seperti keluarga. Melakukan kegiatan secara bersama-sama tanpa merasa bahwa
sebenarnya kami sedang bekerja. Kantor seperti rumah tinggal yang nyaman.

Dua Sisi Kehidupan Petugas Lapas

Ketika harus menjawab pertanyaan “apakah anda menyukai pekerjaan sebagai petugas
lapas?” maka dengan tegas saya menyatakan, saya sangat menyukai pekerjaan ini. Walaupun sebagai
manusia tentu ada sisi yang terkadang membuat saya sedih. Saya sangat menyukai tantangan dan
menjadi petugas lapas adalah pekerjaan dengan tantangan yang berat. Saya harus menghadapi

orang-orang “jahat”, saya harus mengubah mereka ke arah yang lebih baik. Artinya saya harus
menjadi seorang pemimpin yang dapat dicontoh. Dengan menjadi petugas lapas, saya memiliki
banyak teman baik itu pejabat dalam dan luar negeri maupun warga binaan itu sendiri. Saya tidak
pernah menganggap warga binaan sebagai penjahat. Saya menganggap mereka adalah sahabat atau

keluarga saya. Saat mereka kembali ke masyarakat, saya masih tetap berkomunikasi bahkan sesekali
makan bersama dengan mantan warga binaan.

Saya menganggap pekerjaan saya adalah pekerjaan yang mulia karena saya diberikan
kesempatan oleh Tuhan untuk menolong orang lain. Saya diberikan kesempatan untuk menyadarkan
orang khilaf, kesempatan untuk menabung kebaikan itu belum tentu dimiliki oleh semua orang.
Maka dari itu saya menganggap saya adalah orang yang sangat beruntung. Di balik kecintaan saya
terhadap pekerjaan ini, tentu ada hal-hal yang terkadang kurang menyenangkan. Seorang petugas
lapas tidak memiliki tanggal merah. Semua kalender berwarna hitam, apalagi bagi saya sebagai
Kepala Pengamanan Lapas. Saya bekerja dari pukul 07.00-20.00 dan 22.00-24.00 setiap hari dan on
call selama 24 jam. Tentu saja ponsel saya tidak pernah of. Saya sendiri selalu berkomitmen untuk
tidak pergi lebih jauh dari radius 5 km dari lapas, sehingga jika terjadi sesuatu di luar kendali, saya
bisa kembali ke lapas dengan segera. Hal ini saya anggap sebagai bentuk tanggung jawab saya
sebagai Kepala Pengamanan Lapas. Dalam kondisi tersebut tentu tidak ada istilah rekreasi ke luar
kota (kecuali untuk pulang ke Bali menjenguk keluarga).


Pekerjaan sebagai petugas lapas adalah pekerjaan yang penuh ketegangan, apa pun bisa
terjadi dalam hitungan detik. Pekerjaan Kepala Pengamanan Lapas tidak bisa diukur dengan waktu,
tidak bisa direncanakan secara komprehensif. Saya harus berhadapan dengan hati manusia yang
setiap saat dapat berubah. Pelaksanaan tugas pelayanan ini membuat kita tidak tahu pukul berapa
pastinya kita akan dibutuhkan, sehingga petugas lapas seharusnya selalu siap kapan pun. Kapan pun
perintah pimpinan atau permintaan warga binaan harus dilaksanakan dengan segera. Kondisi yang
penuh ketegangan tersebut bisa semakin krodit jika warga binaan banyak yang melanggar peraturan.
Contoh sederhananya adalah ketika warga binaan berani menggunakan ponsel di dalam lapas.

Saya harus mengakui bahwa pekerjaan ini menyita hampir seluruh waktu saya. Jika
dipersentasekan, hanya 10% dari waktu saya yang saya gunakan untuk kepentingan pribadi.
Intensitas hubungan dengan keluarga mau tidak mau agak berkurang. Pernah suatu ketika istri
mengirimkan sms yang bunyinya “seberapa sibukkah sampai ulang tahun istri sendiri dilupakan?”
Saya baru teringat jika saat itu istri berulang tahun dan saya melupakannya. Kado pun sampai
terlambat. Istri juga pernah berkata yang mengejutkan. Istri menawarkan hubungan persaudaraan
saja dengan saya, jangan lagi hubungan suami istri. Ini semua menjadi resiko dari pekerjaan saya.

Untuk menjaga hubungan komunikasi dengan keluarga, setiap hari saya menghubungi via
telepon (terkadang jika sangat sibuk saya pernah lupa). Saya mengunjungi keluarga 1sampai 2kali
dalam sebulan , itupun kalau Kalapasnya lagi mut. Perjalanan Cirebon-Denpasar, Denpasar - Cirebon
menghabiskan biaya kurang lebih dua juta rupiah, sehingga jika saya pulang 1kali maka saya harus
mengeluarkan biaya sebesar 2 juta rupiah setiap bulan, ditambah biaya pulsa setiap bulan yang
tentunya cukup tinggi. Hal ini tentu saja menguras anggaran rumah tangga. Betapa mahalnya harga
sebuah komunikasi jika keluarga terpisah-pisah.

Visi dan Misi ke Depan

Saya memiliki sebuah kalimat favorit yang sering saya jadikan personal message di BBM,
yaitu “Perjuangan tanpa akhir”. Perjuangan memang tidak boleh dihentikan, karena menghentikan
perjuangan sama dengan menghentikan keberhasilan. Saya sangat mencintai pekerjaan saya,
sehingga saya memiliki visi dan misi untuk memajukan lapas. Lapas harus menjadi tempat
pembinaan yang sesungguhnya bukan lembaga penjeraan. Lapas ibarat sekolah yang ketika lulus,
alumninya akan menjadi pangsa pasar yang diminati oleh banyak pihak. Stigma negatif terhadap
mantan warga binaan juga harus dihilangkan. Saya melihat saat ini justru sistem yang menghambat

perlakuan non diskriminatif bagi mantan warga binaan.

Dalam Undang-undang ditentukan bahwa salah satu syarat untuk menjadi seorang wakil
rakyat, pejabat negara atau pegawai negeri adalah seseorang belum pernah dihukum. Hal inilah yang
menurut saya bertolak belakang dengan konsep pembinaan dalam lapas. Pemerintah melalui
kebijakan-kebijakannya terindikasi belum mempercayai kualitas pembinaan yang dilakukan di lapas.
Mantan warga binaan seharusnya diterima oleh masyarakat, bahkan dicari karena mereka menjadi
lebih baik dan semakin cerdas setelah selesai dididik di lapas. Mantan warga binaan masih sulit untuk
mendapatkan tempat yang layak di masyarakat. Rata-rata mantan warga binaan hidupnya semakin
susah ketika sudah keluar dari lapas. Mereka kesulitan untuk mencari pekerjaan. Mantan warga
binaan masih dianggap penjahat. Tentang hal ini, saya tidak sependapat. Menurut saya, hati manusia
setiap detik bisa berubah. Orang yang berada di luar lapas belum tentu lebih baik daripada warga
binaan lapas. Setidaknya ini adalah hal positif yang saya pelajari sejak bekerja sebagai petugas lapas.

Suka dan duka sebagai petugas lapas mewarnai perjalanan hidup saya. Suatu saat saya
berharap menjadi seorang kepala lapas. Ya, kepala lapas yang berintegritas. Saya memang bukan
jebolan akademi pemasyarakatan, sehingga pola kemimpinan saya akan banyak mengadopsi
kebijakan kepala lapas yang saya anggap bagus selama bertugas dan para pemimpin - pemimpin
besar

Pengalaman tersebut akan menjadi landasan bagi saya untuk membuat kebijakan. Saya ingin
menghapus citra negatif tentang lapas yang sarat akan kekerasan dan pungutan liar. Caranya adalah
dengan meningkatkan kesejahteraan petugas lapas. Petugas harus tertib aturan dan berdedikasi
tinggi. Pendidikan petugas lapas juga harus ditingkatkan. Satu hal yang tidak dapat dikesampingkan

adalah semangat kerja. Karena semangat akan memberikan arahan menuju sukses. Semangat,
semangat dan semangat.