FENOMENA NEGARA DARI STRONG STATE KE SHADOW STATE Studi Kasus : Perlawanan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Kekuasaan (aparat) Negara.

FENOMENA NEGARA DARI ”STRONG STATE KE SHADOW STATE”
Studi Kasus : Perlawanan Front Pembela Islam (FPI) terhadap
Kekuasaan (aparat) Negara
Muhammad Ali Azhar
Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik
Universitas Udayana
E-mail: muhammad23ib@yahoo.co.id
ABSTRACT;
The important point that will be told in this short paper is the unbelievement of FPI (Front
Pembela Islam) towards the role of state apparatus on the implementaton of law in this country.
Based on the above condition, then FPI starts implementing their agenda through extraparlementary movement by forcing some law products, for instance, changing making product of
state law in security and order aspect. In fact, this ability makes FPI changes the condition of
Indonesia from ”strong state into shadow state” successfully.

Key words; FPI, Pluralism, strong state and shadow state.

Pendahuluan
Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam tidak
pernah sepi dari gejolak keinginan pembentukan negara Islam. Wacana negara
Islam sangat berkaitan dengan sejarah awal pembentukan negara, dimana

muncul gagasan beberapa tokoh untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara
sekaligus mendirikan negara Islam. Karena itu, setelah Indonesia merdeka,
perdebatan yang sangat krusial dikalangan founding fathers adalah perdebatan
mengenai dasar negara didalam sidang BPUPKI.
Pada

awal-awal

Orde

Baru,

mainstream

pemikiran

tokoh

dan


cendekiawan tidak setuju terhadap konsep negara Islam. Secara kontekstual, hal
ini dapat dipahami dari menguatnya peran TNI pasca kegagalan Darul Islam.
Tetapi pasca reformasi 1998 sedikit banyak memberi peluang bagi munculnya
kembali kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan
yang bercita-cita untuk mewujudkan negara Islam Indonesia.

1

Salah satu organisasi kemasyarakatan yang mencoba mewujudkan citi-cita
tersebut adalah Front Pembela Islam (FPI) yang hadir di Indonesia pada tahun
1998 dengan tujuan menegakkan syariat Islam di Indonesia. Klaim yang
disampaikan FPI bahwa pendirian Front Pembela Islam ini dilatar belakangi oleh
beberapa faktor. Yang pertama, adanya penderitaan panjang umat Islam di
Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat
banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. Kedua,
adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh
sektor

kehidupan,


ketiga,

adanya

kewajiban

untuk

menjaga

dan

mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam.
FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak
tahun 1998 dan sangat ditakuti oleh para pengusaha terutama pengusaha
hiburan di Jakarta, terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni
Laskar Pembela Islam atau Laskar FPI. Rangkaian aksi penutupan klab malam,
tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat-tempat
maksiat, menjadi ancaman terhadap warga negara lain, sweeping terhadap
warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah

wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media masa baik elektronik
maupun cetak. Tindakan-tindakan kriminal dan kekerasan yang dilakukan oleh
FPI telah menciptakan keresahan masyarakat, melanggar hukum yang berlaku di
negara ini serta melecehkan aparat negara. Alih-alih membuat ketentraman,
ormas yang mengatasnamakan Islam itu justru membuat keresahan bahkan
mengancam keabsahan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lewat aksiaksinya yang mirip peran yang dimainkan oleh aparatur negara. Namun dibalik
aksi-aksinya ternyata FPI juga banyak melibatkan diri dalam aksi-aksi
kemanusiaan baik di dalam negeri maupun luar negeri antara lain pengiriman
relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh dan ke negara-negara Islam yang
terkena bencana maupun sedang dilanda perang saudara seperti; Palestina, Irak,
Lebanon, Afghanistan dan Filipina. Semua itu dilakukan atas nama mengangkat
harkat dan martaubat umat Islam.
Lewat analisa tulisan singkat ini penulis ingin menyampaikan inti pokok
permasalahan, apakah munculnya FPI ini merupakan fenomena baru bagi
2

munculnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara shodow
state? Apakah ini menunjukkan bahwa FPI tidak lagi percaya kepada
kemampuan negara dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatusnya
(state apparatus)?

Pertanyaan ini didasari atas tindakan-tindakan sepihak dan aktifitas yang
dilakukan oleh FPI yang dapat mengancam keabsahan tindakan negara dalam
menegakan hukum, utamanya dalam isu pemberantasan kemaksyatan di negara
ini.
FPI dalam pusaran Pluralisme
Pasca kejatuhan rejim Orde Baru, pluralisme muncul sebagai sebuah
realitas yang harus diakui keberadaannya. Pluralisme yang selama ini dibungkam
oleh negara melalui kekuasaannya yang monolitik, sekarang mampu menemukan
momentumnya untuk bersaing melawan (vis a vis) dengan negara.
Dalam

sebuah

negara

yang

pluralist,

negara


dipaksa

harus

mendistribusikan kekuasaannya secara lebih luas kepada antar kelompok,
elemen dan organisasi masyarakat yang masing-masing bisa memiliki
kepentingan cara pandangan dan upaya yang berbeda untuk mencapai tujuan
mereka.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh FPI semakin memperkuat adanya
kecenderungan kearah tersebut, dimana di Indonesia telah terjadi pergeseran
arena politik Indonesia dari state ke political society, sekaligus menggeser secara
dramatis sudut pandang dan tata cara perumusan tentang kepolitikan Indonesia
(Lay;2006).
Dominasi pendekatan yang berpusat pada negara (state centered) dengan
intra-bureaucratic analysis-nya memudar secara dramatis dan digantikan oleh
social-based approach, yang lebih menekankan pada sentralitas kekuatan actor
non-negara civil society dan political society dalam menentukan perubahanperubahan besar politik Indonesia. Actor non-negara dengannya menggantikan
posisi monopolistik negara dalam pewacanaan publik.
Munculnya pluralisme dalam suatu negara menandai pergeseran kondisi

dalam masyarakat dimana kekuasaan terdistribusi secara luas antar kelompok
3

dan organisasi yang masing-masing bisa pula mempunyai tujuan masing-masing.
Pluralisme memandang kekuasaan tidak dalam konsep Zero-sum game yang
habis dibagi seperti pandangan kaum Marxisme tetapi pluralisme memandang
kekuasaan dalam jumlah yang tidak tetap, tetapi jumlah bisa diperbanyak dan
diperluas.
Merujuk pada Robert Dahl (1961) yang menyatakan perluasan kekuasaan bisa
dibuat dalam empat pola kompetisi dalam pluralisme yaitu;
1. influential active group banyak kelompok-kelompok (parpol, kelompok
kepentingan dll) mempunyai pengaruh signifikan dalam proses pengambilan
keputusan
2. formal democracy, terjadi kompetisi antar kelompok-kelompok yang
terorganisir (parpol)
3. competitive oligarcy pemerintah dimana antar kelompok elit (penguasa
partai, penguasa ekonomi dll) berkompetisi berebut kekuasaan
4. inclusive hegemony; pemerintahan oleh satu partai yang terdapat kompetisi
sebatas dalam birokrasi pemerintah, serta antar anggota partai dan antar
pengurus partai.

Pergeseran kekuasaan dari aktor tunggal (negara) ke multi-aktor pada
akhirnya mempersulit manajemen pluralisme itu sendiri. Pluralisme justru
menjadi dilemma (dilemma pluralisme). Pluralisme di Indonesia misalnya justru
mengarah pada tindakan-tindakan masyarakat yang sudah tidak bisa lagi di
kontrol oleh negara. Negara tidak lagi sebagai aktor yang harus dipatuhi dan
ditaati tetapi negara justru ditempatkan sebagai aktor yang harus dilawan.
Disatu sisi pluralisme kita perlukan sebagai salah satu pilar membangun
demokrasi ke depan, namun pada sisi lain pluralisme membahayakan demokrasi
itu sendiri. Maksudnya munculnya kekuatan-kekuatan pluralisme dengan
kekuatan otonomnya melakukan aktivitasnya menyebabkan negara tidak mampu
mengendalikan konfigurasi kekuatan tersebut. Kondisi demikian tentu sangat
berbahaya dan mengakibatkan kondisi negara melemah tanpa peran yang berarti
didepan publiknya sendiri.
Di Indonesia dewasa ini munculnya kekuatan-kekuatan diluar kontrol
negara menjadi fenomena menarik sekaligus membahayakan seiring dengan
4

menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara.
Kekuatan-kekuatan ini muncul karena adanya rasa ketidakpuasan terhadap
kemampuan negara menyelesaikan suatu permasalahan yang dianggap sebagai

masalah nasional.
Sebagai contoh yang telah disebutkan diatas fenomena lahirnya gerakan
organisasi Front Pembela Islam (FPI) ditengah-tengah masyarakat Indonesia.
Gerakan ini didirikan merupakan respon para ulama yang mengkhawatirkan
realitas sosial, moral dan akhlak yang rusak ditengah-tengah umat Islam.
Indikasi kerusakan akhlak itu terbaca dengan meningkatnya volume dan
intensitas

kemaksiatan

yang

terjadi

dimasyarakat,

seperti

prostitusi,


perampokan, narkotika, dan tindakan-tindakan criminal yang melanggar syari’a.
Sementara pihak aparat penegak hukum (POLRI), tidak dapat diharapkan secara
memuaskan menyelasaikan problema-problema sosial ini, sehingga inisiatif para
ulama dan habaib bersatu dalam Front Pembela Islam (FPI) ini, menjadi sesuatu
yang dibutuhkan. Waktu itu FPI mengklain, The FPI justifies these raids on the
grounds that the police are unable to uphold laws on gambling and prostitution.
Ditambah lagi dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap POLRI yang
sudah lama terasa menurun, membuat reputasi FPI memiliki tempat tersendiri
dihati masyarakat. (Hidayatullah, Januari: 2001)
Pengakuan Habib Rizieq Shyhab, ketua Umum FPI bahwa organisasi ini
didirikan secara spontan tanpa melalui proses formal, menguatkan FPI, lahir
secara spontanitas yang muak melihat kezaliman yang kelewat batas dan
kemungkaran yang telah merajalela. Fenomena ini menjadi ilustrasi yang cukup
untuk melihat negara sudah berada dalam fase kegagalan untuk menjamin rasa
aman terhadap warga negaranya (Suara Keadilan : 2000).
Lahirnya kelompok kelompok kepentingan apabila dilihat dari segi latar
belakang berdirinya di Indonesia, semenjak jatuhnya rejim Soeharto tahun 1998
lalu menjadi terbukanya lebar-lebar partisipasi masyarakat dalam segala
kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam partisipasi masyarakat dalam
menangani masalah keamanan yang tidak mampu ditangani oleh aparat negara

yaitu Kepolisian. Sebagaimana diketahui bahwa masalah keamanan selalu
menjadi otoritas dari yang namanya TNI dan Kepolisian.
5

Ledakan partisipasi masyarakat sipil disektor keamanan dalam bentuk
lahirnya warga untuk mengambil alih peran keamanan semakin meningkat
dengan seiringnya bermacam-macam konflik dan kekerasan ditengah-tengah
masyarakat.

Timbulnya

kelompok-kelompok

ini

membentuk

organisasi-

organisasi keamanan yang berfungsi sebagai agen keamanan sipil baik yang
dilakukan oleh partai politik, ormas, maupun kelompok-kelompok kepentingan
yang berbasis keagamaan atau etnik, mulai berkembang pesat.
Menguatnya

pengorganisasian

sipil

dengan

berlindung

dibalik

kepentingan keamanan menurut Arie Sujito dkk (2002 : 249) disebabkan karena
dua level, yaitu:
a. Sebagai reaksi ketidakpercayaan kepada aparat hukum dan keamanan
dalam menangani berbagai permasalahan social dan politik yang mereka
hadapi, sehingga pengambilan tugas secara sepihak.
b. Masih menguatnya problem militerisasi dan militerisme dalam tubuh
masyarakat sipil yang direproduksi secara terus menerus.
Begitu pula dengan terbentuknya Front Pembela Islam atau FPI,
timbulnya adanya semangat pemberdayaan masyarakat secara mandiri terutama
dalam

menciptakan

stabilitas

dan

keamanan,

dengan

semangat

ingin

menciptakan stabilitas keamanan yang semakin tidak kondusif didalam
kehidupan

masyarakat

sehingga

tercetuslah

keinginan

untuk

bersatu

menanggulangi masalah keamanan.
Keberadaan FPI ini memberikan rasa aman bagi masyarakat karena
dengan lahirnya FPI ini dapat menekan tingkat amoral masyarakat utamanya
perbuatan

maksyat

yang

dilakukan

sekelompok

masyarakat,

sehingga

masyarakat lebih percaya FPI dari pada Polisi. Oleh karena itu FPI berkembang
di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Sehingga FPI mendapat dukungan besar
dan menjadi organisasi kemasyarakatan yang anggotanya besar, dan yang
menjadi poin penting dalam perkembangannnya adalah loyalitasnya yang tinggi
terhadap ulamanya.
Dalam usianya yang relatif muda, FPI sudah merambah hampir ke
daerah-daerah dengan jumlah anggota yang fantastis, pembengkakan massa
yang cepat ini dalam sebuah organisasi yang relatif baru dalam kasus FPI
6

merupakan perkembangan menarik untuk menguji kemampuan negara dalam
wacana pengelolaan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti yang di
perjuangkan.
FPI dan Perjuangan Penegakan Syariat Islam
Sejak didirikannya pada tahun 1998, FPI telah memainkan peranannya
sebagai pembela harkat dan martaubat Islam dan umat Islam yang boleh
dikatakan sebagai salah satu terdepan. Pembelaannya terhadap Islam dan Umat
Islam tidak hanya terhenti pada konteks lokal maupun nasional, tetapi jauh
melampaui batas hingga situasi internasional.
Untuk kasus lokal sendiri seperti Jakarta, kesuksesannya dalam memaksa
Gubernur DKI Jakarta untuk mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan
membuka tempat hiburan maksyat selama bulan Ramadhan, menjadi sejarah
tinta emas FPI yang berjuang dalam pemberantasan maksyat (Sabili; Desember
2000).
Selain itu, peristiwa ketapang yang terjadi pada tanggal 22 November
1998, telah memberi momentum terhadap popularitas FPI sebagai ormas yang
militan, berbagai fokus pada upaya pemberantasan kemiskinan terus menjadi
trade mark FPI dalam gerakannya.
Hal yang sangat menarik, ketika terjadi

penangkapan anggota FPI

Surakarta di stasiun Senen tanggal 13 Oktober 2001 dimana polisi menuduh FPI
membawa senjata tajam (Tempo, November : 2001). Tetapi setelah disidangkan
oleh pengadilan Negeri Jakarta selatan dengan hakim tunggal, Abdul Kadir, pada
tanggal 5 November 2001, tuduhan polisi

itu tidak terbukti dan pihak FPI

dimenangkkan dalam perkara ini, meskipun pihak kuasa hukum kapolda ingin
melanjutkannya pada tingkat kasasi.
Oktober 2001, sesudah penyerbuan AS terhadap Afganistan benar-benar
terjadi, aksi-aksi permanent FPI menentang penyerbuan itu semakin intensif.
Tanggal 15 Oktober 2001, bentrok antara masa FPI dengan aparat kepolisian di
depan gedung MPR/DPR tidak dapat dihindarkan (Republika; Oktober 2001).
Aparat kepolisian secara kasar menghalau demontran masa FPI yang menentang
invasi Amerika terhadap Afganistan. Korban luka-luka dari anggota FPI dan
7

pengepungan markas besar FPI di Petamburan oleh Polisi membuat FPI merasa
perlu menuntut Kapolda Metro Jaya, Sofyan Yakub untuk bertanggungjawab atas
insiden

tersebut.

Upaya

mempraperadilankan kapolda

jalur

hukum

tersebut

ditempuh

dengan

sekaligus menuntutnya untuk berhenti dari

jabatannya. Upaya ini berakhir dengan kesepakatan damai antara pihak FPI
dengan Kapolda Metro Jaya.
Kasus lain kontroversi seputar terbit dan beredarnya majalah Play Boy
yang diluncurkan pada bulan Maret dan April 2006 lalu, FPI mengambil peran
sebagai garda terdepan menentang penerbitan majalah itu, mengakibatkan
majalah tersebut terkena delik dengan berbagai masalah sehingga majalah
tersebut tidak dapat bertahan lama.
Aksi lain mengenai pernyataan Gus Dur dalam forum dialog lintas etnis
dan agama di Purwakarta-Jawa Barat, tentang kitab suci alqur’an merupakan
kitab yang paling porno, FPI tampil sebagai penentang Gus Dur dan
menganggapnya sebagai antek-antek non-muslim bahkan lebih tragis lagi FPI
menganggap Gus Dur sebagai kyai anjing dan murtad. Kejadian ini sempat
menjadi polemik nasional dengan munculnya sentiment-sentimen bernada keras
dengan menampilkan kritik-kritik tajam yang menyudutkan FPI sebagai Preman
yang berjubah agama tertentu.
Diaras Internasional, kecamannya terhadap Israel pada moment konfrensi
persatuan parlemen Internasional (IPU) ke 104 di Jakarta tanggal 15 sampai
dengan 21 Oktober 2000 dan ancaman aksi sweeping terhadap warga Amerika
yang terjadi bulan September 2001 sebagai reaksi terhadap ancaman serangan
AS terhadap Afganistan, memaksa Duta besar Amerika serikat di Jakarta, Robert
Gelbart bereaksi dengan memerintahkan warganya untuk kembali ke Amerika
dan waspada dengan ancaman itu (Republika;Oktober 2001).
Dilihat dari semua aksi yang dilakukan FPI tersebut, semua hampir
disetting dalam tema besar perjuangannya yakni pemberlakukan syari’at Islam di
bumi Indonesia. Dengan menggunakan motivasi gerakan berupa penegakan
amar ma’ruf nahi munkar, aksi-aksi tersebut, dilakukan dengan tidak mengenal
kata ”pantang menyerah”.

8

Diukur dengan cara kuantitatif tentu saja belum terhitung hasil yang
diperoleh, tetapi bila dihitung dengan ukuran kualitatif, sudah banyak hasil yang
didapat dari hasil gerakan FPI ini. Tumbuhnya kepercayaan masyarakat
utamanya umat tertentu kepada FPI bahwa kemaksyatan structural bisa
dihancurkan dengan pendekatan kekerasan merupakan salah satu dari beberapa
perjuangannya.
FPI Dalam Arena Peran Negara
Memaknai peran yang dilakukan FPI selama ini dalam negara yang
menganut system pluralisme dapat dikatakan, peran negara menjadi sangat
terbatas karena peran pluralis yang memandang konsep kekuasaan itu tidak
tunggal, oleh karena itu setiap elemen dapat saja mengambil peran otoritas
negara. Dalam hal ini negara yang menganut system plural society seperti yang
dikemukakan oleh J.S Furnival melihat bahwa dalam system masyarakat yang
plural ada dua atau lebih elemen (social order) yang hidup berdampingan satu
sama lain tetapi saling terpisah dan bersaing secara mendalam dalam satu
kesatuan unit politik yang berebut pengaruh menjalankan tujuan politik mereka
(Furnival; 1932).
Dalam hal aksi-aksi sweeping yang dilakukan oleh FPI selama ini, tentu
dapat dipandang sebagai salah satu elemen kekuatan pluralisme yang berusaha
menjalankan fungsi tujuan politik mereka untuk meraih kepentingan mereka.
Berkenaan dengan aktifitasnya, sejauh ini kita bisa melihat negara tidak dapat
mengambil tindakan tegas padahal sudah jelas tindakan-tindakan dan aksi FPI
dipandang telah mengambil peran-peran otoritas negara sebagai actor pelindung
masyarakat dalam hal perlindungan bidang keamanan dan ketertiban.
Sebagai konsekuensi dari lahirnya pluralisme di Indonesia, seiring dengan
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara. Kondisi seperti
ini merupakan justifikasi bahwa FPI dianggap sebagai penyelamat sehingga dia
mempunyai otoritas menjalankan fungsi negara dengan cara menggunakan atau
memanipulasi

dan

mencuri

otoritas

negara.

Gerakan

dan

tindakan

mengorganisasi diri dalam bentuk melawan dan menggerogoti kekuasaan negara
dengan jalan menolak adanya aturan dan prosedur negara dianggap sebagai
9

tindakan sah dalam upayanya menjaga dan mempertahankan harkat dan
martaubat umat Islam.
Jika hal ini dilakukan maka akan mempersulit negara dalam menjamin
kemampuannya dalam menjalankan hukum dan kebijakan yang ditelurkan untuk
ditaati oleh masyarakat. Jika elemen dasar yang ada pada negara yang kuat
adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Maka terjadinya pelanggaran atau
penentangan terhadap otoritas ini negara dapat mengatasinya. Namun dalam
pandangan pluralisme hal itu dapat ditepis karena peran kekuasaan itu tidak lagi
dimonopoli oleh negara. Jika negara tidak mampu menjaga otoritasnya semacam
itu, maka negara bisa saja disebut sebagai negara yang tinggal bayangan atau
(shadow-state).
Kondisi ini dapat saja menjadikan label Indonesia dari negara strong
State tidak lagi menjadi wacana yang dominan. Kemunculan FPI dapat saja
mengubah negara dalam bentuk konkritnya dari apa yang disebut dengan negara
‘shadow state”. Karena itu FPI menjadi kekuatan yang terorganisir yang
melawan serta menggunakan otoritas negara terutama dalam penegakan syariat
Islam di Indonesia.
Kesimpulan
Munculnya organisasi Front Pembela Islam Sebagai salah satu fenomena
menarik atas pluralisme di Indonesia. Indonesia dibawah kekuasaan rejim
otoritarian birokatik orde baru, selama kurang lebih 32 tahun. Wacana
pluralisme menjadi fenomena menarik, hal ini ditandai dengan lahirnya
organisasi Front Pembebasan Islam atau FPI diengah-tengah masyarakat
Indonesia.
Sesuai dengan, pluralisme memandang kekuasaan tidak dalam konsepsi
zero zum game yang habis dibagi-bagi, seperti pandangan Marxisme, tetapi
pluralisme memandang kekuasaan itu dalam jumlah yang tidak tetap namun bisa
diperbanyak dan diperluas.
Aksi-aksi yang dilakukan FPI selama ini dapat dianggap sebagai fenomena
menguatnya gerakan pluralisme yang memandang kekuasaan itu tidak monolitik
tetapi dapat pula dijalankan oleh kekuatan lain, buktinya FPI dalam aksinya
10

selama ini layaknya bagaikan sebuah negara dalam negara. Aksi ini dapat dilihat
dalam perjuangan menegakan syariat Islam dengan aksi-aksinya yang mirip
dengan kekuasaan yang dilakukan oleh negara.
Dalam pandangan pluralis negara dipandang hanya sebagai alat atau
sarana untuk memperebutkan pengaruh. Lahirnya kelompok kelompok
kepentingan merupakan konsekuensi dari sejak jatuhnya rejim Soeharto tahun
1998 lalu. Partisipasi masyarakat dalam semua aspek kehidupan segalanya
menjadi terbuka lebar-lebar, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah
semakin plural. Dalam situasi yang demikian, masing-masing kekuatan bersaing
menunjukkan jati dirinya dalam politik identitas askriptif. FPI yang kita kenal
selama ini hanya sebagai organisasi kemasyarakatan, lambat laun semakin
mendapatkan kepercayaan ditengah masyarakat, karena aksi-aksinya yang dapat
mewakili sebahagian besar kepentingan masyarakat utamanya dalam penegakan
syari’at Islam. Selain itu, ternyata organisasi ini mempunyai struktur yang rapih
layaknya sebuah negara.
Disatu sisi pluralisme dapat menjadi fenomena menarik karena dapat
membantu pilar penyangga demokrasi dalam sebuah negara yang menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi. Namun disisi lain pluralisme dapat membahayakan
demokrasi apalagi munculnya kekuatan-kekuatan pluralisme itu otonom dalam
melakukan tindakan askriptifnya, sehingga pada akhirnya mempersulit ruang
gerak negara.
Lahirnya FPI menjadi fenomena menarik dan mewakili dua wacana
diskusi dalam peta politik Indonesia dewasa ini. FPI dengan gerakan-gerakan
otonomnya mengakibatkan peran negara menjadi tidak jelas, utamanya dalam
penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.

11

Referensi :
1. Apter, David E (1997). Pengantar Analisa Politik, PT Rajawali Press,
Jakarta.
2. Arif, Saiful (Oktober 2003). Ilusi Demokrasi, Desantara Utama, Jakarta.
3. Fukuyama, Francis (2005). Memperkuat Negara Tata Pemerintahan dan
Tata Dunia Abad 21, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta
4. Efendi, Syahrul & Yudi Pramuka (2006). Habib-FPI Gempur Play Boy,
Rajanya Penerbit Islam, Jakarta.
5. Gaffar, Afan (1999). Politik Indonesia ; Transisi menuju Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
6. Lay, Cornelis (Januari 2006). Involusi Politik, Esai-esai transisi
Indonesia, PLOD, JIP Fisipol UGM, Yogyakarta.
Web site
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam
2. http://holydragon01.multiply.com/tag/fpi
3. http://www.hidayatullah.com/

12