Studi Deskriptif Mengenai Value of Children pada Ibu dari Siswa yan Menderita Cerebral Palsy di SLB-D "X" Bandung.

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran Value of Children (VOC) pada ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung. Penelitian ini dilakukan kepada ibu yang memiliki anak yang menderita Cerebral Palsy di SLB-D “X” sebanyak 27 orang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Alat ukur yang digunakan disusun berdasarkan aspek-aspek Value of Children dari Fred Arnold (1975). Pengujian validitas alat ukur menggunakan construct validity melalui judgement experts dan data yang didapat diolah dengan perhitungan statistic persentase.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa 63% ibu dari siswa yang menderita CP memiliki VOC yang positif dan 37% ibu dari siswa yang menderita CP memiliki VOC yang negatif. Selain itu, diketahui sebanyak 94% ibu yang memiliki VOC positif terhadap anak CP-nya ternyata juga memandang kehadiran anak CP-nya tersebut sebagai economic cost dan 100% ibu yang memiliki VOC negatif juga memandang kehadiran anak CP-nya sebagai self-enrichment and development dan identification with children secara bersamaan.

Kesimpulan yang diperoleh adalah sebagian besar ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung memiliki Value of Children yang positif dalam memaknakan kehadiran anak CP-nya. Saran yang diberikan peneliti adalah melakukan penelitian kontibusi dari faktor usia saat menikah, latar belakang pendidikan dan tingkat perekonomian dengan VOC.


(2)

Abstract

This research was conducted to find out the Value of Children (VOC) in mothers of students who suffer from Cerebral Palsy (CP) in SLB-D "X" Bandung. This research was conducted to mothers who have a child with Cerebral Palsy amounted to 27 people. The method used in this research is descriptive method with survey techniques. The instrument which was prepared by researcher based on the aspects of Value of Children from Fred Arnold (1975). Instrument validity obtained through construct validity using judgment by experts and the data obtained is processed by calculating the percentage statistic.

Based on the results of data processing, it is known that 63% mothers of students who suffer from CP have a positive VOC and 37% mothers of students who suffer from CP have a negative VOC. In addition, it is known that 94% of mothers who had a positive VOC was also looked at the presence of her child who suffer from CP as economic costs and 100% of mothers who had a negative VOC also looked at the presence of her child who suffer from CP as self-enrichment and development and identification with children simultaneously.

The conclusion is most of mothers students who suffer from Cerebral Palsy (CP) in SLB-D "X" Bandung has a positive VOC toward her children who suffer from CP. Advice from researcher is to conduct research about contribution of the factors like age at marriage, educational background and economic level with the VOC.


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar isi ... v

Daftar Bagan ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 17

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 18

1.4 Kegunaan Penelitian ... 18

1.5 Kerangka Pemikiran ... 19


(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Value of Children ... 34

2.1.1 Pengertian Value of Children ... 34

2.1.2 Dimensi – dimensi Value of Children ... 36

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Value of Children ... 41

2.2 Masa Dewasa Awal ... 44

2.3 Masa Dewasa Madya ... 45

2.4 Orangtua ... 46

2.4.1 Tugas Perkembangan Orangtua ... 47

2.4.2 Tugas Perkembangan Ibu ... 47

2.5 Cerebral Palsy ... 48

2.5.1 Pengertian Cerebral Palsy ... 48

2.5.2 Gejala Cerebral Palsy ... 49

2.5.2 Jenis-jenis Cerebral Palsy ... 51

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 55

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 55


(5)

3.4 Alat Ukur ... 59

3.4.1 Alat Ukur Value of Children ... 59

3.4.2 Prosedur Pengisian ... 62

3.4.3 Cara Skoring ... 62

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 64

3.4.5 Kuesioner Data Pribadi dan Data Penunjang ... 64

3.5 Populasi Sasaran dan Karakteristik Populasi ... 65

3.6 Teknik Analisis Data ... 65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 67

4.2 Hasil Penelitian ... 70

4.3 Pembahasan ... 77

4.4 Diskusi ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 88

5.2 Saran ... 89


(6)

DAFTAR RUJUKAN ... 92 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemiikiran ... 31 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 55


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kerangka kuesioner Value of Children dimensi positive general

values ………... 60

Tabel 3.2 Kerangka kuesioner Value of Children dimensi negative general values ………... 61

Tabel 3.3 Skor Jawaban ……….. 62

Tabel 3.4 Norma Mutlak ………. 63

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ……….... 67

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Saat Menikah …….... 68

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Rata-rata Penghasilan Per Bulan ……….. 68

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ……….. 69

Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak …….. 69

Tabel 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Cerebral Palsy pada Anak ……… 70

Tabel 4.7 Gambaran Value of Children Ibu dari Siswa yang Menderita Cerebral Palsy ……… 70

Tabel 4.8 Gambaran Aspek-aspek Positive General Values Pada Ibu yang Memiliki VOC Positif ………. 71


(9)

Tabel 4.9 Gambaran Jumlah Aspek Positive General Values Yang

Mendominasi Pada Ibu yang Memiliki VOC Positif ……….... 72 Tabel 4.10 Gambaran Aspek-aspek Negative General Values Pada Ibu

yang Memiliki VOC Positif ………. 73 Tabel 4.11 Gambaran Aspek-aspek Negative General Values Pada Ibu

yang Memiliki VOC Negatif ………... 74 Tabel 4.12 Gambaran Jumlah Aspek Negative General Values Yang

Mendominasi Pada Ibu yang Memiliki VOC Negatif ……….... 75 Tabel 4.13 Gambaran Aspek-aspek Positive General Values Pada Ibu yang


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Lembar Persetujuan, Kuesioner Value of Children dan Kuesioner Data Penunjang

Lampiran B : Data Responden berdasarkan Value of Children yang dimiliki Lampiran C : Gambaran Responden Berdasarkan Data Penunjang

Lampiran D : Tabulasi Silang Data Penunjang dengan Value of Children Responden

Lampiran E : Tabulasi Silang Data Penunjang dengan Aspek-Aspek Value of Children

Lampiran F : Data – Data Responden Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus Selain Cerebral Palsy

Lampiran G : Profil Sekolah


(11)

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam suatu pernikahan, biasanya suami dan istri telah memikirkan dan merencanakan banyak hal untuk membangun dan membina keluarga sejak mereka memutuskan untuk menikah. Beberapa hal yang dipikirkan oleh pasangan pengantin baru biasanya dimulai dari memikirkan dan merencanakan finansial keluarga, tugas dan tanggungjawab dalam keluarga, sampai pada merencanakan untuk memiliki anak. Memiliki anak tentunya merupakan keinginan setiap keluarga, karena memiliki buah hati dapat membuat hidup pasangan semakin lengkap dan berwarna. Kehadiran mereka juga sanggup membuat rumah tangga menjadi semakin erat dan menyenangkan. Nilai seorang anak dimata orangtua memiliki arti yang luas tanpa batas karena anak merupakan anugerah Tuhan yang dapat memberikan banyak arti dalam kehidupan setiap orang didunia, terutama bagi para orangtua.

Selain itu menurut Arnold (1975), anak tidaklah hanya menjadi sebuah objek yang dapat membuat orangtua gembira dan lebih dari sekedar obyek perhatian dan kasih sayang orangtua tetapi mereka juga merupakan suatu kebutuhan biologis dan sosial dari orangtua mereka. Maksud dari anak berperan sebagai pemenuh kebutuhan biologis orangtua, yaitu sebagai penerus garis keturunan dari orangtua. Selain itu, maksud dari anak berperan sebagai pemenuh


(12)

kebutuhan sosial dari orangtua, yaitu dengan adanya anak maka orangtua dapat mengajarkan dan menanamkan nilai, tradisi, kebudayaan dan agama yang mereka anut kepada anak-anak mereka (Arnold, 1975). Dengan demikian, setiap keluarga tentu memiliki harapan-harapan tersendiri terhadap anaknya ketika mereka merencanakan untuk memiliki anak.

Ketika anak hadir ditengah-tengah keluarga, orangtua perlu memperhatikan, menyayangi, mencintai dan menjaga anak-anaknya. Akan tetapi tugas ayah dan ibu tidak hanya itu saja, melainkan juga harus melaksanakan tanggungjawab sebagai pendidik. Oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak. Pada tahap awal maupun tahap-tahap kritis anak, yang paling berperan sebagai pendidik anak-anaknya adalah ibu. Peran utama seorang ibu dalam keluarga terkait anak adalah merawat, mendidik dan menjaga anak-anaknya dari usia bayi hingga dewasa, karena anak tidak jauh dari pengamatan orangtua terutama ibunya (Duvall, 1977). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Inggris oleh “The Understanding Society” pada 6.441 wanita, 5.384 pria dan 1.268 anak, menemukan bahwa kebahagian yang dirasakan ibu dapat mempengaruhi kebahagian anak, sedangkan kebahagian ayah tidak terlalu menentukan kepuasan hidup anak

(

http://wolipop.detik.com/read/2011/04/05/100009/1608678/857/penelitian-kebahagiaan-anak-tergantung-pada-ibunya). Hal tersebut menunjukkan bahwa

ibu lebih banyak mempengaruhi kebahagian anak dibandingkan ayah.

Selain itu, dengan adanya anak mampu memberikan alasan dan tujuan hidup bagi para ibu. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga nasional di Inggris, yaitu


(13)

Office for National Statistics mengungkapkan bahwa memiliki anak tidak serta-merta membuat seseorang bahagia atau lebih puas akan kehidupannya, tetapi juga memberikan arti kepada mereka semacam sebuah alasan untuk berjuang hidup. Menurut hasil laporan tersebut, meski kehadiran seorang anak tidak akan mengubah kepuasan hidup seseorang atau meningkatkan emosi harian, namun kehadiran anak bisa menambah arti dan tujuan hidup bagi seorang ibu. Oleh karena itu, kebanyakan ibu mendambakan kehadiran seorang anak. Pada kenyataannya, keberadaan anak di dalam keluarga memiliki banyak fungsi dan dapat memenuhi kebutuhan orangtua terutama ibu, sehingga mereka menginginkan anaknya terlahir dengan sempurna baik secara fisik maupun psikis agar keturunannya tidak mengalami gangguan kesehatan apapun dari hasil pernikahannya. Ibu juga menginginkan anaknya memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak agar anak mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dengan baik.

Namun, terkadang apa yang menjadi impian ibu tidak sesuai dengan kenyataan. Anak yang dinantikan oleh orangtua ternyata memiliki sesuatu yang berbeda dengan kebanyakan anak karena ada juga anak yang terlahir dengan ketidaksempurnaan (gangguan) baik secara fisik maupun psikis. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi maka tidak jarang di antara mereka yang kecewa bahkan tidak ingin menampilkan anaknya ke depan umum. Anak yang terlahir dengan gangguan fisik maupun psikis bias disebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Jumlah ABK di dunia tergolong cukup banyak dan begitu juga di Indonesia. Berdasarkan data yang dilansir oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dalam


(14)

rangka SUSENAS, diketahui pada tahun 1995 terdapat sebanyak 6.056.875 ABK

(www.ausaid.gov.au/.../pwd-sit-bahasa.pdf). Sedangkan menurut data BPS pada

tahun 2004 terdapat 6,4 juta ABK di Indonesia dan pada tahun 2005 sebanyak 6,7 juta ABK atau 3,11% dari keseluruhan penduduk Indonesia

(

http://www.scribd.com/doc/20301419/Profil-Perempuan-dan-Anak-Indonesia-Tahun-2007#download). World Health Organization (WHO) mencatat, jumlah

ABK di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 15% yang berarti terdapat sebanyak 51 juta jiwa ABK di Indonesia. ABK ini memiliki kekurangan dengan bentuk yang beraneka ragam (http://intanlinggaratri.blogspot.com/2011/12/kaum-difabel-dan-ham.html).

Berdasarkan data diatas, dapat terlihat secara populasi jumlah ABK di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Anak menjadi berkebutuhan khusus baik secara fisik maupun psikis disebabkan oleh banyak hal yang melatarbelakanginya dan salah satu penyebab ABK adalah adanya kelainan secara neurologis. Kelainan neurologis berat yang dapat dialami oleh anak adalah Cerebral Palsy, yang selanjutnya akan disebut dengan CP. CP adalah suatu gangguan atau gangguan kelainan yang terjadi pada kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak

yang belum selesai pertumbuhannya

(http://karyatulisilmiahkeperawatan.blogspot.com). CP juga dapat berarti paralisis

yang diakibatkan oleh kerusakan otak non-progresif yang dapat terjadi setiap waktu sebelum otak mencapai kematangan dari konsepsi sampai pada usia 5 atau


(15)

6 tahun (Garrison, 1995). Anak yang menderita CP akan mengalami kesulitan motorik dan mengalami kesulitan untuk memahami dan berkomunikasi. Gejala CP sebenarnya sudah dapat diketahui saat bayi berusia 3 sampai 6 bulan, yaitu saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan.

Dalam penelitian Gilroy menunjukkan bahwa 5 dari 1000 anak memperlihatkan deficit motorik yang sesuai dengan CP. Sebanyak 50% kasus termasuk ringan dan 10% termasuk berat, yang dimaksud ringan adalah anak masih dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat adalah anak yang memerlukan perawatan khusus. Sebanyak 25% mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30% kasus menunjukkan IQ di bawah 70, 35% disertai kejang, sedangkan 50% menunjukkan adangan gangguan bicara (dalam buku Ilmu Kedokteran Anak. 1985). Dr. Dwi P.Widodo, Sp.A (K)m MMed, dari divisi neurologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, juga menyebutkan bahwa jumlah anak Indonesia yang menderita CP mencapai seribu anak per satu juta kelahiran (Moore, 8 Jenis Kelainan Pada Anak, 2010).

Mengasuh anak yang menderita CP adalah sebuah tantangan bagi seorang ibu. Hal tersebut dikarenakan ibu adalah seorang perempuan yang harus menjalani multi peran sebagai istri, ibu dan individu di waktu yang bersamaan yang kemudian diharuskan untuk mengasuh anak penderita CP yang memiliki tingkat kemandirian cukup rendah dibandingkan anak berkebutuhan khusus lainnya. Beberapa kesulitan yang dialami anak penderita CP dapat berupa kesulitan menelan dan mengunyah yang disebabkan oleh gangguan motorik pada mulut, kesulitan memasukkan makanan ke dalam mulut, ketidakmampuan mengontrol


(16)

gerakan tubuh, menjulurkan lidah atau kelemahan otot mulut, dan ketidakmampuan untuk menggerakkan bibir (www.fisiosby.com). Hal tersebut membuat anak CP membutuhkan bantuan orang sekitarnya, misalnya ibu dalam melakukan aktivitas-aktivitas sehari-harinya.

Oleh karena itu, mengasuh dan mendidik anak CP memanglah tidak mudah, terutama bagi seorang ibu yang dianggap sebagai individu yang memiliki kedekatan emosional tertinggi dengan anaknya. Hal tersebut dikarenakan tugas-tugas yang harus dilakukan saling tumpang tindih. Di satu sisi mereka harus menjadi istri, disisi lain mereka harus menjadi ibu dengan segala kesibukan barunya (Duvall, 1977). Dalam mengasuh dan mendidik anak yang menderita CP dapat membuat ibu mengalami kelelahan fisik maupun psikis yang disebabkan oleh berkurangnya waktu istirahat ibu dan beban psikis lainnya dikarenakan bertambahnya tugas-tugas ibu juga kondisi anaknya yang tidak sempurna. Disisi lain, memiliki anak berkebutuhan khusus membuat orangtua tidak dapat melakukan aktivitas yang disukainya, seperti menghabiskan waktu dengan pasangan dan teman mereka atau fokus meneruskan karir di pekerjaan mereka terutama bagi ibu (Santrock, 2004).

Menurut Raudatul Aulia Farza dalam penelitiannya tentang Penerimaan Orangtua Terhadap Anak yang Menderita CP, menyebutkan bahwa salah satu dari kesulitan yang dihadapi orangtua dari anak penderita CP adalah sulitnya membagi perhatian yang adil antara anak yang menderita CP dengan anak-anaknya yang lain. Hal tersebut bertujuan agar anak yang lain dalam keluarga tidak merasa diabaikan. Selain itu, beban mental orangtua mengenai pandangan


(17)

orang lain terhadap anaknya yang berbeda dari kebanyakan anak juga merupakan kesulitan yang dihadapi orangtua dari anak penderita CP, terutama ibu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa beban fisik dan psikis yang dirasakan orangtua memiliki kecenderungan keterkaitan dengan bagaimana orangtua memperlakukan anaknya yang berkebutuhan khusus.

Hal tersebut terlihat pada fenomena yang terjadi di awal tahun 2013, dengan adanya kasus seorang ibu (warga Florida) yang menelantarkan 4 orang anaknya dan salah satunya menyandang CP sekaligus epilepsy karena malu untuk menghadiri sebuah pesta dengan membawa anak-anaknya terutama membawa anaknya yang menderita CP. Kasus seperti itu sudah cukup marak terjadi sehingga pemerintah merasa hukuman penjara saja tidak cukup. Oleh karena itu, ibu dari anak tersebut pun dihukum untuk tidak boleh hamil kembali sampai tahun 2025

(

http://ayohidupsehatalami.blogspot.com/2013/02/seorang-ibu-dihukum-tak-boleh-hamil.html). Kasus menelantarkan anak CP ini tidak hanya terjadi di

negara-negara Barat saja, tetapi di Indonesia juga pun terjadi. Berdasarkan pengakuan pengurus di sebuah tempat fisioterapi khusus penyandang CP di Jakarta Selatan, bahwa pada akhir bulan November 2011 ada orangtua yang pertama kali datang ke tempat terapi tersebut dan sengaja meninggalkan anak CP-nya di tempat terapi tersebut sampai dengan 2 hari sehingga pengurus tempat terapi tersebut melaporkan orangtua anak terebut ke pihak yang berwajib.

Disisi lain, terdapat juga perlakuan seorang ibu terhadap anak CP-nya yang berbeda dari kasus-kasus sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu ibu yang merupakan istri dari seorang hakim pengadilan agama dan memiliki


(18)

anak menderita CP yang berusia 10 tahun. Ibu tersebut merasa mampu menerima kondisi anaknya yang CP dan merasa dengan kehadiran anak CP dalam keluarganya merupakan salah satu bentuk kepercayaan dari Tuhan kepada dirinya karena telah menitipkan anak yang istimewa tersebut. Walaupun ibu tersebut menerima kondisi anaknya, tetapi tidak dipungkiri olehnya bahwa memiliki anak CP tidaklah mudah. Hal tersebut dikarenakan anak CP-nya sangat bergantung dengan orang lain dan kebutuhan dalam mendidik juga mengasuh anak CP memerlukan biaya yang tidaklah sedikit. Oleh karena itu, perlakuan setiap ibu dalam mengasuh dan mendidik anaknya yang menderita CP akan berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Hal tersebut tergantung dari bagaimana ibu tersebut menilai kehadiran anak CP-nya didalam keluarga.

Fred Arnold cs (1975), menyatakan bahwa nilai seorang anak dimata orangtuanya dapat disebut sebagai Value of Children yang seterusnya akan disingkat menjadi VOC. VOC merupakan nilai keuntungan ataupun manfaat yang berasal dari seorang anak. VOC itu sendiri dikelompokkan menjadi empat dimensi, yaitu Positive General Values (benefits), Negative General Values (costs), Large Family dan Small Family. Hanya saja, Arnold (1975) lebih menekankan pada pemikiran yang berkaitan dengan kepuasan (satisfaction) orangtua terhadap kehadiran anaknya (positive general values) dan berkaitan dengan beban (cost) yang harus ditanggung oleh orangtua apabila memiliki anak (negative general values). Kemudian Positive General Values dan Negative General Values secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan keinginan orangtua untuk memiliki anak maupun ukuran keluarga yang berupa keluarga


(19)

besar (Large Family) ataupun keluarga kecil (Small Family). Oleh karena itu, pada penelitian ini, VOC ibu dari siswa yang menderita CP difokuskan pada dimensi Positive General Values (benefits) dan Negative General Values (costs).

Seberapa bernilainya seorang anak yang menderita CP dapat terlihat dari perlakuan ibu dalam mengasuh dan mendidik anak CP-nya untuk mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Ibu dari anak penderita CP perlu membantu anak CP-nya dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti membantu anak makan, minum, mandi, mengganti pakaian, dan membantu mobilitas anak CP-nya. Hal tersebut membuat ibu menjadi lebih dekat secara emosional dengan anak CP-nya dikarenakan waktu dan perhatian ibu banyak tercurah pada anak CP-nya, walaupun ibu akan mengalami kelelahan fisik dikarenakan kemandirian anak CP-nya yang rendah dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, ibu perlu membawa anak CP-nya untuk menjalani serangkaian terapi dan memberikan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan anak agar anak CP-nya dapat mengembangkan diri se-optimal mungkin. Akan tetapi untuk menjalani serangkaian terapi, periksa kesehatan secara rutin dan pendidikan khusus bagi ABK seperti penderita CP ini tidaklah murah sehingga orangtua yang memiliki ABK perlu mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk mengembangkan potensi anaknya dibandingkan dengan orangtua dari anak normal.

Positive general values yang dimaksud oleh Arnold (1975), yaitu pemikiran orangtua mengenai kepuasan (satisfaction) terhadap kehadiran anak dalam keluarga dikarenakan anak dapat memenuhi kebutuhan orangtua. Menurut Arnold,


(20)

anak tidaklah hanya menjadi sebuah objek yang dapat membuat orangtua gembira dan lebih dari sekedar obyek perhatian dan kasih sayang orangtua tetapi mereka juga merupakan suatu kebutuhan biologis dan sosial dari orangtua mereka. Maksud dari anak berperan sebagai pemenuh kebutuhan biologis orangtua, yaitu sebagai penerus garis keturunan dari orangtua. Selain itu, maksud dari anak berperan sebagai pemenuh kebutuhan sosial dari orangtua, yaitu dengan adanya anak maka orangtua dapat mengajarkan dan menanamkan nilai, tradisi, kebudayaan dan agama yang mereka anut kepada anak-anak mereka (Arnold, 1975). Positive general values pada ibu dari siswa yang menderita CP dapat dilihat dari bagaimana ibu menilai kehadiran anak CP-nya sebagai Emotional benefits, economic benefits and security, self-enrichment and development, identification with children, dan family cohesiveness and continuity.

Emotional benefits adalah anak dianggap sebagai sumber kebahagiaan, kasih sayang, dan kesenangan. Kemudian yang dimaksud dengan economic benefits and security, yaitu anak dapat memberikan keuntungan kepada orangtuanya dalam hal memberi pertolongan dalam mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana, memberikan perhatian dan menjaga saudara kandung, dan memberikan perlindungan psikologis pada orangtua berupa ketenangan. Self-Enrichment and development itu sendiri adalah merasa bahwa anak akan memberikan orangtua pembelajaran dalam membesarkan anak sehingga membuat orangtua menjadi lebih bertanggungjawab dan lebih dewasa sebagai orangtua. Identification with children lebih berkaitan dengan keberadaan anak dapat membuat orangtua menjadi bangga terhadap perkembangan dan prestasi anak karena adanya refleksi


(21)

diri orangtua dalam diri anaknya dan Family cohesiveness and continuity lebih berkaitan dengan keberadaan anak dapat berfungsi sebagai pengikat antara suami-istri, pelengkap dalam kehidupan keluarga, dan penerus nama keluarga.

Disisi lain, negative general values yang dimaksud oleh Fred Arnold dkk (1975), yaitu pemikiran orangtua mengenai beban (cost) yang harus ditanggung orangtua ketika anak hadir dalam keluarga. Negative general values pada ibu dari siswa yang menderita CP dapat dilihat dari bagaimana ibu menilai kehadiran anak CP-nya sebagai emotional costs, economic costs, restrictions or opportunity costs, phsycal demands, dan family costs. Emotional costs adalah anak dianggap dapat menjadi sumber penyebab adanya ketegangan emosional pada orangtua, adanya kekhawatiran yang berlebihan terhadap kesehatan anak. Economic costs lebih berkaitan dengan pemikiran terbebani akan biaya yang dikeluarkan dalam membesarkan anak, seperti biaya pendidikan dan kebutuhan sehari-hari anak. Restrictions or opportunity costs adalah keberadaan anak dapat membatasai orangtua dalam berhubungan sosial, pengembangan karir, kekurangan privasi dan berkurangnya waktu dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadi orangtua. Phsycal demands berkaitan dengan keberadaan anak membuat pekerjaan rumah tangga menjadi bertambah sehingga membuat orangtua mengalami kekurangan waktu tidur dan mengalami kelelahan fisik. Kemudian family costs adalah keberadaan anak membuat berkurangnya waktu untuk pasangan, adanya perbedaan pendapat dalam membesarkan anak dan berkurangnya afeksi dari pasangan.


(22)

Anak yang menderita CP selain memerlukan perhatian, perlakuan dan perawatan kesehatan yang khusus, juga memerlukan pendidikan yang khusus untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak CP secara optimal. Hanya saja, layanan pendidikan khusus bagi anak penderita CP memang termasuk langka. Salah satu sebabnya adalah bahwa anak-anak CP sebenarnya tidak memerlukan layanan pendidikan tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Di Indonesia sekolah yang membuka kelas khusus bagi anak tuna daksa dan anak penderita CP adalah Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC)

(

http://sdrizaltaufik11134.wordpress.com/2013/06/11/pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus/).

Yayasan tersebut dapat mengembangkan kemampuan anak-anak yang menderita CP, salah satunya yang berada di Bandung adalah SLB-D “X”. SLB-D “X” tersebut menerima murid-murid yang berkebutuhan khusus, rata-rata siswanya penyandang tunadaksa walaupun ada beberapa siswa yang mengalami autis dan down syndrome. Jumlah siswa yang menderita CP di SLB-D ini cukup banyak yang bertotal 29 siswa dan jenis CP yang diderita pun bervariasi, yaitu CP Spastic, CP Spastic Diplegia, CP Spastic Ataksia, CP Spastic Atetoid, CP Spastic Tetrapelgia, CP Spastic Drable Hemiplegi, CP Hemiparesa, CP paraparece, CP Disortic, CP Hipotonic delaydev, dan CP yang disertai dengan MR dan Friplegia.

SLB-D “X” itu sendiri memberikan cukup banyak pelayanan yang dapat mengembangkan kemampuan dan kemandirian siswa penderita CP, seperti fisioterapi, olahraga, mengajarkan tentang aturan dan cara bersikap yang baik, pengembangan keterampilan dalam hal melukis, musik, dan melatih kemandirian


(23)

siswa sesuai kemampuannya. Selain itu, SLB-D ini juga mulai melatih dan mengembangkan keterampilan siswa agar mandiri dan dapat bekerja di masyarakat seperti menjahit dan melatih anak untuk mecuci motor sesuai dengan kemampuan anak sehingga untuk mendapatkan fasilitas yang dapat mengembangkan kemampuan siswa CP, orangtua memang perlu mengeluarkan biaya sekolah yang cukup mahal walaupun di SLB-D ini setiap siswa akan berbeda-beda jumlah biaya sekolahnya karena tergantung dari jenis kebutuhan yang diperlukan untuk pengembangan siswa yang bersangkutan. Beban biaya dan beban sosial yang ditanggung oleh orangtua siswa yang menderita CP cukuplah berat sehingga hal tersebut juga mempengaruhi bagaimana orangtua memperlakukan anak CP-nya.

Berdasarkan ungkapan Kepala Sekolah SLB-D “X” ini, bahwa di sekolah tersebut dapat dikatakan rata-rata orangtua siswa CP sudah mulai menerima kondisi anak mereka baik kedua orangtua maupun salah satu dari orangtua yang menerima. Walaupun mereka sudah menerima kondisi anaknya, tetapi cukup banyak orangtua yang masih mengeluhkan mengenai apapun yang berkaitan dengan anaknya yang mempengaruhi orangtua dan keluarganya. Tidak jarang ditemukan ada suaminya yang malu dengan kondisi anak yang CP tetapi istrinya terbuka dengan kondisi anak dan berusaha mengembangkan potensi anak, tetapi ada juga yang istrinya yang masih malu dengan kondisi anaknya yang CP sehingga suaminya yang lebih sering mengantar dan menemani anaknya di sekolah saat istirahat. Disisi lain, masih ada beberapa diantara orangtua siswa CP yang kedua orangtuanya baik ayah maupun ibu masih tidak bisa menerima kondisi


(24)

anaknya sehingga anak ditinggalkan dan dibiarkan hidup dengan sanak saudara yang lainnya.

Menurut psikolog di SLB-D “X” ini, meskipun cukup banyak orangtua di SLB ini yang sudah cukup terbuka terhadap kondisi anaknya yang CP karena dengan memasukkan anak mereka ke SLB maka mereka sudah memasuki tahap penerimaan terhadap kondisi anaknya. Walaupun mereka sudah memasuki tahap menerima, masih ada diantara orangtua yang mengeluh kelelahan mengurus anaknya yang CP baik secara fisik maupun psikis dan masih ada juga yang masih merasa terbebani dengan kehadiran anak CP-nya tersebut. Biasanya mereka merasa terbebani secara finansial karena kebutuhan anak CP tidakkah murah dan terbebani secara sosial karena memiliki anak CP yang berbeda dari anak normal lainnya membuat pandangan keluarga besar ataupun orang sekitar menjadi berbeda pula terhadap orangtua.

Kemudian Psikolog di SLB-D “X” tersebut menambahkan, bahwa bagi mereka yang perekonomian keluarganya baik maka mereka mampu menyewa oranglain yang dapat membantu dalam mengurusi anaknya yang CP dan beberapa diantara mereka juga sudah sangat terbuka dengan kondisi anaknya sehingga sering mengajak anak CP-nya ke pusat perbelanjaan (mall). Walaupun begitu, masih ada juga orangtua yang membiarkan anak CP-nya di Bandung hanya tinggal dengan supir dan pembantu, sedangkan orangtuanya tinggal di luar kota untuk bekerja sehingga anak terlihat kekurangan perhatian dari orangtuanya. Sedangkan bagi mereka yang perekonomian keluarganya kurang cukup baik, mereka lebih sering mengeluhkan kelelahan dikarenakan harus bekerja untuk


(25)

menghidupi keluarga serta anak CP-nya dan disisi lain mereka juga harus mengurus anak-anaknya termasuk anak CP-nya. Hal tersebut merupakan beban yang berat bagi orangtua sehingga ada beberapa dari orangtua yang meninggalkan anaknya, seperti seorang ayah yang pergi meninggalkan istri dan anak CP-nya sehingga istrinya berjuang sendiri untuk membesarkan anak-anaknya dan ada juga kedua orangtua yang meninggalkan anak CP-nya sehingga yang mengurus dan membiayai anak CP-nya adalah kakek-neneknya.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti terhadap 4 ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung didapatkan data sebagai berikut: Terdapat 3 orang ibu (75%) yang menganggap anak CP-nya sebagai suatu kebahagian dikarenakan telah dipercaya oleh Tuhan untuk menjaga dan ditemani oleh makhluk Tuhan yang istimewa tersebut (Emotional benefit). Hanya saja, terdapat 1 orang (25%) ibu lainnya lebih merasa bahwa anak CP-nya adalah salah satu penyebab seringnya pertengkaran dalam suami-istri dikarenakan salah satu pasangan merasa malu memiliki anak CP jika harus membawa anak CP-nya dikeramaian, misalnya Mall sehingga ibu lebih sering meninggalkan anak CP-nya dirumah jika ada sanak saudara yang membantu menjaga anak CP-nya (Emotional cost).

Kemudian, terdapat 2 orang (50%) ibu yang menganggap dengan adanya anak yang menderita CP dalam keluarganya maka dapat membantu orangtua untuk mengawasi anaknya yang lain yang masih balita (Economic benefits and security). Tetapi, 2 orang (50%) ibu lainnya lebih merasa dengan adanya anak CP pengeluaran rumah tangga menjadi melonjak tinggi dikarenakan untuk


(26)

pengobatan dan pendidikan anak CP yang sangatlah mahal sehingga orangtua harus bekerja keras meningkatkan biaya pemasukan dan menghemat biaya pengeluaran (Economic cost).

Terdapat 2 orang (50%) ibu yang menganggap arti kehadiran anaknya yang CP adalah suatu bentuk kesempatan yang diberikan Tuhan untuk mengembangkan kesabaran ibu dan semakin mendekatkan ibu kepada Tuhan. Selain itu, semakin membuat ibu lebih bertanggung jawab dan lebih baik dalam mendidik anak karena tidak semua ibu diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengasuh dan mendidik anak berkebutuhan khusus (Self-Enrichment and development). Selain itu, 2 orang (50%) ibu lainnya lebih merasa terbatasi sejak memiliki anak yang menderita CP. Ibu merasa tidak mudah berpergian kemana saja yang mereka inginkan karena harus memikirkan apakah harus membawa anak CP-nya atau tidak, jika anak ditinggal apa akan baik-baik saja, atau jika anak ikut akan membuat ibu menjadi repot atau tidak sehingga pada akhirnya ibu lebih memutuskan untuk tinggal dirumah menjaga anaknya dan jarang mengikuti kegiatan diluar rumah (Restrictions or opportunity cost).

Terdapat juga 1 orang (25%) ibu yang merasa bangga terhadap anak CP-nya yang dapat berprestasi dalam bidang akademik dan sering dipuji guru karena perilaku anak yang baik sehingga orangtua merasa bahwa dirinya telah sukses mendidik anak yang berbeda dari anak normal lainnya. Hal tersebut membuat ibu merasa bersyukur memiliki anak, walaupun anaknya tersebut menderita CP (Identification with children). Disisi lain, terdapat 3 orang (75%) ibu yang merasa terbebani dengan kehadiran anak CP-nya. Hal ini dikarenakan ibu merasa


(27)

kelelahan dalam mengurus anak CP-nya yang disebabkan oleh keterbatasan biaya untuk menyewa orang lain yang dapat membantu mengurus anak. Hal tersebut membuat ibu terjun langsung dalam mengurusi anak dan mengharuskan ibu untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan anaknya yang CP (Physical demands).

Selain itu juga, terdapat 2 orang (50%) ibu yang merasa dengan hadirnya anak yang menderita CP di pernikahannya membuat pasangan menjadi lebih sering dirumah dan membantu mengurus anak dibandingkan sebelum memiliki anak CP. Ibu merasakan adanya perubahan kearah yang lebih baik dari pasangan dalam membangun cooperative parenting (Family cohesiveness and continuity). Tetapi, terdapat juga 2 orang (50%) ibu yang merasa perhatian dari pasangannya berkurang sejak memiliki anak yang menderita CP karena pasangan merasa mudah khawatir dengan anak CP-nya dibandingkan kesehatan ibu yang mengurus anak CP tersebut (Family cost).

Berdasarkan hasil survey awal tersebut, dapat terlihat bahwa makna anak bagi setiap ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung berbeda-beda. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui mengenai gambaran Value of Children (VOC) pada ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Masalah yang ingin diteliti adalah mengenai gambaran Value of Children pada ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung.


(28)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Value of Children pada ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang Value of Children dalam positive general values (satisfaction) dan negative general values (cost) yang dimiliki oleh ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP) di SLB-D.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

•Untuk memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial dan Klinis.

•Untuk memberikan masukan bagi peneliti lain yang ingin mengetahui dan meneliti lebih lanjut mengenai Value of Children pada ibu yang memiliki anak yang menderita Cerebral Palsy (CP).

1.4.2 Kegunaan Praktis

•Untuk memberikan informasi mengenai Value of Children pada ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung. Diharapkan mereka dapat menggunakan informasi ini untuk memahami diri dan sebagai bahan pertimbangan bagaimana memperlakukan anaknya yang menderita Cerebral Palsy (CP).


(29)

•Untuk memberikan informasi kepada pihak sekolah mengenai Value of Children pada ibu yang memiliki anak penderita Cerebral Palsy (CP) di sekolah tersebut, agar informasi tersebut dapat digunakan oleh sekolah sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan pelatihan ataupun seminar kepada orangtua siswa mengenai bagaimana memberikan perlakuan yang tepat bagi anak penderita Cerebral Palsy (CP).

1.5 Kerangka Pemikiran

Cerebral Palsy (CP) adalah suatu kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan syaraf pusat, yang bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. CP ditandai oleh buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi syaraf lainnya. CP juga merupakan gangguan kelainan tonus otot. Kelainan otot yang dimaksud terdiri dari lemas, kaku atau tangan yang terus bergerak. Memiliki anak yang menderita CP merupakan sebuah tantangan bagi ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung, karena anak penderita CP memiliki tingkat kemandirian yang cukup rendah dibandingkan anak berkebutuhan khusus lainnya. Beberapa kesulitan yang dialami anak penderita CP dapat berupa kesulitan menelan dan mengunyah yang disebabkan oleh gangguan motorik pada mulut, kesulitan memasukkan makanan ke dalam mulut, ketidakmampuan mengontrol gerakan tubuh, menjulurkan lidah atau kelemahan otot mulut, dan ketidakmampuan untuk menggerakkan bibir (www.fisiosby.com). Hal tersebut membuat ibu dari siswa yang menderita CP perlu lebih banyak meluangkan waktu


(30)

dan tenaganya untuk mengasuh dan membantu anak CP mengembangkan diri secara optimal karena hal tersebut merupakan tugas pokoknya sebagai orangtua.

Bagi ibu dari siswa penderita CP, mengasuh dan mendidik anak CP memanglah tidak mudah karena dapat mengakibatkan kelelahan fisik maupun psikis ibu karena berkurangnya waktu istirahat ibu dan beban psikis lainnya. Beberapa kesulitan yang akan dihadapi ibu dari siswa penderita CP, salah satunya seperti beban mental mengenai pandangan oranglain terhadap anaknya yang berbeda dari kebanyakan anak, sulitnya membagi perhatian yang adil antara anak yang menderita CP dengan anak-anaknya yang lain, juga dengan pasangan (suami). Selain itu, anak yang menderita CP memerlukan bantuan yang lebih banyak dalam melakukan aktivitas sehari-harinya dibandingkan anak-anak lainnya, seperti membantu anak makan, minum, mandi, mengganti pakaian, dan membantu mobilitas anak CP-nya. Hal tersebut membuat ibu menjadi lebih dekat secara emosional dengan anak CP-nya dikarenakan waktu dan perhatian ibu banyak tercurah pada anak CP-nya, walaupun ibu akan mengalami kelelahan fisik dikarenakan kemandirian anak CP-nya yang rendah dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, ibu juga merasa tidak bebas karena hadirnya anak CP membuat bertambahnya tugas-tugas ibu. dan ibu menjadi tidak leluasa dalam melakukan aktivitas yang disukainya, seperti menghabiskan waktu dengan pasangan dan teman mereka atau fokus meneruskan karir di pekerjaan (Santrock, 2004). Hal tersebut mempengaruhi pandangan ibu terhadap anaknya yang menderita CP.


(31)

Perlakuan setiap ibu dalam mengasuh dan mendidik anaknya yang menderita CP akan berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, karena hal tersebut tergantung dari bagaimana ibu tersebut menilai kehadiran anaknya yang menderita CP dan terlihat berbeda dari kebanyakan anak berada di dalam keluarganya. Fred Arnold, dkk (1975), menyatakan bahwa nilai seorang anak dimata ibunya ini dapat disebut sebagai Value of Children (VOC). VOC merupakan nilai keuntungan ataupun manfaat yang berasal dari seorang anak. Hal yang lebih ditekankan dalam penelitian VOC oleh Arnold adalah pada pemikiran mengenai kepuasan (satisfaction) orangtua terhadap anaknya (positive values) dan berkaitan dengan beban (cost) yang harus ditanggung oleh orangtua apabila memiliki anak (negative values). VOC itu sendiri dikelompokkan menjadi empat dimensi, yaitu Positive General Values (benefits), Negative General Values (costs), Large Family dan Small Family. Hanya saja, Arnold (1975) lebih menekankan bahwa Positive General Values dan Negative General Values secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan keinginan orangtua untuk memiliki anak maupun ukuran keluarga yang berupa keluarga besar (Large Family) ataupun keluarga kecil (Small Family).

Oleh karena itu pada penelitian ini, VOC ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung lebih difokuskan pada dimensi Positive General Values (benefits) dan Negative General Values (costs). Ibu yang merasakan adanya manfaat memiliki anak yang menderita CP atau dapat dikatakan ibu yang cenderung memiliki positive general values pada anak CP-nya dapat terlihat apabila ibu lebih menilai kehadiran anak CP-nya tersebut sebagai emotional


(32)

benefits, economic benefits and security, self-enrichment and development, identification with children, dan family cohesiveness and continuity. Disisi lain, ibu yang merasa terbebani (costs) dengan memiliki anak yang menderita CP atau dapat dikatakan sebagai ibu yang memiliki negative general values pada anak CP-nya dapat terlihat apabila ibu menilai kehadiran anak CP-CP-nya tersebut sebagai emotional costs, economic costs, restrictions or opportunity costs, phsycal demand, dan family cost.

Positive General Values berkaitan dengan manfaat yang dirasakan oleh ibu atas kehadiran anak yang menderita CP di keluarganya. Ibu akan terlihat menilai kehadiran anak CP-nya sebagai emotional benefits, apabila ibu merasa keberadaan anak CP tersebut dianggap sebagai sumber kebahagian, kasih sayang, dan kesenangan. Misalnya, ibu merasa bahwa memiliki anak yang menderita CP sebagai sumber kebahagian karena ibu memandang anak yang menderita CP adalah anugerah Tuhan yang istimewa dan ibu merasa menjadi manusia terpilih untuk menjaga dan ditemani oleh anugerah Tuhan yang istimewa tersebut.

Disisi lain, Negative General Values lebih berkaitan dengan adanya perasaan terbebani yang dirasakan oleh ibu atas kehadiran anak yang menderita CP di dalam keluarganya. Ibu akan terlihat menilai kehadiran anak CP-nya sebagai emotional costs, apabila ibu merasa keberadaan anak CP tersebut dianggap dapat menjadi sumber atau penyebab adanya ketegangan emosional pada orangtua maupun adanya kekhawatiran yang berlebihan terhadap kesehatan anak. Misalnya, perdebatan yang muncul dalam pasangan suami-istri yang disebabkan oleh salah satu atau keduanya yang malu karena memiliki anak CP. Rasa khawatir


(33)

yang dirasakan ibu mengenai kondisi kesehatan dan ketidakmandirian anaknya yang menderita CP dapat menjadi beban pikiran ibu terkait kelangsungan hidup anak CP-nya jika hidup tanpa ada orang lain yang membantu. Hal ini membuat orangtua merasa anaknya yang menderita CP sebagai beban emosional.

Kemudian Positive General Values akan terlihat ketika ibu menilai kehadiran anak CP-nya tersebut sebagai economic benefits and security. Hal ini terlihat apabila ibu merasa keberadaan anak CP dapat memberikan keuntungan kepada orangtua. Keuntungan yang dimaksud adalah dalam hal memberi pertolongan dalam mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana, memberikan perhatian dan menjaga saudara kandung, dan memberikan perlindungan psikologis pada orangtua berupa ketenangan dengan menunjukkan bahwa anak CP-nya dapat hidup mandiri.

Negative General Values dapat terlihat ketika ibu menilai kehadiran anak CP-nya tersebut sebagai economic costs. Hal ini terjadi apabila ibu merasa terbebani dengan harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk memenuhi kehidupan anak CP-nya seperti fisioterapi, pendidikan, pengobatan serta kebutuhan-kebutuhan khusus lainnya seperti pengembangan keterampilan dan kemandirian. Hal tersebut membuat ibu merasa terbebani jika harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengasuh dan mengembangkan potensi anaknya yang menderita CP.

Selain itu, Positive General Values dapat terlihat bila ibu menilai kehadiran anak CP-nya tersebut sebagai self-enrichment and development. Hal ini terlihat apabila ibu merasa dengan keberadaan anak CP akan memberikan ibu


(34)

pembelajaran dalam membesarkan anak yang tidak sempurna sehingga membuat ibu menjadi lebih bertanggungjawab dan lebih dewasa sebagai orangtua. Contohnya, ibu dari siswa CP akan merasa lebih bangga karena dirinya mampu membesarkan anak yang menderita CP dengan baik dibandingkan orang lain dan merasa puas karena telah mendapatkan pengalaman yang banyak dan berharga selama membesarkan anak yang menderita CP.

Negative General Values dapat dilihat ketika ibu menilai kehadiran anak CP-nya tersebut sebagai restrictions or opportunity costs. Hal ini terlihat apabila ibu merasa dengan memiliki anak yang menderita CP dapat membatasai dirinya dalam melakukan interaksi sosial, pengembangan karir, dan berkurangnya waktu dalam memenuhi kebutuhan serta keinginan pribadinya sehingga ibu merasa kebebasannya menjadi berkurang. Misalnya, ibu dari siswa CP yang memutuskan untuk berhenti bekerja dikarenakan ingin mengurus anaknya yang menderita CP atau ibu yang tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan anak CP-nya tetapi tetap memperhatikan dan mengurus anak CP-nya. Hal tersebut dapat membuat ibu menjadi lebih sibuk dan tidak ada waktu untuk memanjakan dirinya.

Kemudian ibu dapat dikatakan memiliki Positive General Values ketika ibu menilai kehadiran anak CP-nya sebagai identification with children. Hal ini dapat terlihat ketika ibu merasa dengan keberadaan anak CP dapat membuat dirinya menjadi bangga terhadap perkembangan dan prestasi anak. Hal tersebut dikarenakan ibu merasa apa yang terjadi pada anak CP-nya sebagai bentuk refleski diri orangtua pada diri anaknya yang menderita CP. Misalnya, ibu siswa CP akan merasa sukses dalam mendidik anak CP-nya ketika ibu mengetahui


(35)

bahwa anak CP-nya mampu menerapkan ajaran-ajaran yang diberikan ibu didalam lingkungan sehari-hari anak. Selain itu, ibu juga akan merasa bangga ketika melihat perkembangan yang positif pada anak CP-nya karena orangtua merasa berhasil telah mendidik dan mengasuh anak CP-nya dengan baik.

Disisi lain, ibu dapat dikatakan memiliki Negative General Values ketika ibu menilai kehadiran anak CP-nya sebagai phsycal demands. Hal ini dapat terlihat apabila ibu merasa dengan memiliki anak yang mendertia CP membuat pekerjaan rumah tangganya menjadi bertambah sehingga membuat ibu mengalami kekurangan waktu tidur juga keletihan. Mengasuh anak CP lebih memerlukan waktu, tenaga dan kesabaran yang lebih banyak dibanding mengasuh anak yang normal. Hal tersebut dikarenakan kemandirian anak yang penderita CP tergolong cukup rendah sehingga membuat ibu perlu sering membantu anak dalam beraktivitas sehari-hari.

Kemudian Positive General Values juga dapat dilihat ketika ibu menilai kehadiran anak CP-nya sebagai family cohesiveness and continuity. Hal tersebut dikarenakan ibu merasa dengan kehadiran anak CP dalam keluarganya dapat berfungsi sebagai pengikat antara suami-istri, pelengkap dalam kehidupan keluarga, dan penerus nama keluarga. Contohnya, ketika memiliki anak yang menderita CP, ibu diharuskan untuk saling bekerja sama dengan pasangan (suami) dalam mengasuh dan mendidik anak CP-nya sehingga hal tersebut akan membuat hubungan suami-istri menjadi lebih erat dikarenakan banyaknya komunikasi antara suami dan istri. Ibu juga menganggap anak CP merupakan pelengkap


(36)

dalam kehidupan keluarga karena adanya anak dapat meneruskan garis keturunan keluarga.

Selain itu, Negative General Values juga dapat dilihat ketika ibu menilai kehadiran anak CP-nya tersebut sebagai family costs. Hal tersebut dapat terlihat apabila ibu merasa dengan adanya anak CP membuat berkurangnya waktu untuk bersama pasangan ataupun membuat ibu dan pasangan menjadi lebih sering berbeda pendapat dalam mengasuh anak CP-nya sehingga ibu merasa kehilangan afeksi dari pasangan. Misalnya, ketika memiliki anak yang menderita CP membuat waktu dan perhatian ibu cukup banyak tersita dalam mengasuh anak CP-nya sehingga waktu dan perhatian kepada pasangan pun cukup baCP-nyak berkurang. Hal tersebut dapat menyebabkan pasangan merasa terabaikan dan dapat memicu munculnya konflik dalam rumah tangga.

Positive general values ataupun negative general values yang dimiliki oleh ibu dari siswa CP secara tidak langsung dapat mempengaruhi keinginan ibu untuk memiliki anak atapun besarnya ukuran keluarga. Arnold (1975) menyebutkan bahwa persepsi setiap individu dalam memandang besar atau kecilnya ukuran suatu keluarga akan berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan oleh budaya dan nilai yang mempengaruhi individu itu sendiri. Oleh karena itu, dalam menentukan besar atau kecilnya ukuran suatu keluarga yang diinginkan maka Arnold (1975) lebih menekankan pada alasan individu itu sendiri ketika merencanakan akan memiliki anak. Ibu yang menginginkan memiliki anak yang cukup banyak atau keluarga besar, dapat terlihat apabila alasan ibu memiliki anak lebih didasari oleh sibling relationships, sex preferences, ataupun child survival. Disisi lain, ibu yang


(37)

menginginkan memiliki anak yang tidak terlalu banyak atau keluarga kecil, dapat terlihat apabila alasan ibu memiliki anak lebih didasari oleh maternal health ataupun societal cost.

Selain itu, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi perbedaan Value of Children (VOC) pada ibu dari siswa yang menderita CP, yaitu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, usia, tingkat perekonomian, penghayatan terhadap nilai agama, serta harapan akan kehadiran anak. Latar belakang pendidikan yang dimiliki ibu akan mempengaruhi bagaimana ibu dari siswa yang menderita CP menilai anak CP-nya. Latar belakang pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi pola pemikiran dan wawasan ibu. Semakin tinggi jenjang pendidikan ibu, maka diharapkan pola berpikir ibu dan wawasan ibu mengenai bagaimana mengasuh dan mendidik anak yang menderita CP pun akan semakin luas. Misalnya, ibu yang berlatarbelakang pendidikan tinggi akan cenderung mencari tahu informasi-informasi mengenai bagaimana memperhatikan, memperlakukan dan mendidik anak CP dengan baik, guna untuk mengembangkan kemampuan anak CP-nya secara optimal. Oleh karena itu, dengan melihat perkembangan yang positif pada anak CP-nya membuat ibu merasa berhasil dalam mendidik dan membesarkan anak CP-nya dengan baik. Selain itu, menurut hasil penelitian Arnold cs (1975) menyebutkan bahwa orangtua yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah cenderung sulit mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga kehadiran anak dalam keluarga dianggap sebagai beban ekonomi yang besar karena biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi lebih besar (economic costs). Hal tersebut dapat


(38)

membuat ibu cenderung memiliki pandangan yang negatif terhadap kehadiran anak CP-nya.

Usia ibu pada saat menikah juga secara tidak langsung memberikan pengaruh dalam memaknai kehadiran anaknya yang menderita CP. Menurut Pakar Psikologi, Diane E. Papalia dan Sally Wendkos Olds dalam buku Human Development (1998), mengemukakan bahwa masa usia menikah adalah usia dewasa awal yaitu antara 20 hingga 40 tahun karena tugas perkembangan dewasa awal adalah untuk memasuki dunia pernikahan dan membina bahtera rumah tangga. Selain itu, Papalia mengemukakan bahwa dari segi kesiapan fisik dan psikis, usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki adalah usia 20-25 tahun. Jika ibu menikah dan kemudian memiliki anak ketika usia ibu dibawah dari 19 tahun, maka ibu akan merasa adanya pembatasan dalam kehidupan sosial, karir, dan menjadi kekurangan privasi.

Misalnya, ibu yang menikah ketika berusia dibawah 19 tahun dan kemudian memiliki anak yang menderita CP akan sangat merasa kehilangan kebebasan untuk beraktivitas bersama teman-teman ataupun memenuhi keinginan dan kebutuhan pribadinya karena anak yang menderita CP memerlukan perhatian dan perlakuan yang lebih banyak dibandingkan anak normal lainnya (restriction or opportunity costs). Hal tersebut dapat membuat ibu memiliki pandangan yang cenderung negatif terhadap kehadiran anak CP-nya. Disisi lain, jika ibu menikah ketika berusia 19-25 tahun akan merasa lebih siap untuk membangun dan menjalani kehidupan berumah tangga serta lebih siap untuk memiliki anak. Misalnya, ibu yang menikah di usia tersebut dan kemudian memiliki anak yang


(39)

menderita CP, kemungkinan besar akan lebih bertanggung jawab dan lebih baik dalam mengasuh dan mendidik anak CP-nya. Hal ini dapat membuat ibu cenderung memiliki pandangan yang positif terhadap kehadiran anak CP-nya. Tetapi berbeda lagi bagi ibu yang menikah diatas usia 35 tahun dan kemudian memiliki anak yang menderita CP. Ibu tersebut akan merasa mudah lelah dalam mengurus dan mendidik anak CP-nya karena kondisi fisik ibu yang sudah melemah harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang banyak dan mengasuh anak CP yang hampir sepenuhnya membutuhkan bantuan orang lain (physical demands). Hal tersebut dapat membuat ibu cenderung memiliki pandangan yang negatif terhadap kehadiran anak CP-nya.

Selain itu, tingkat perekonomian keluarga juga dapat memberikan pengaruh terhadap bagaimana ibu memaknakan anaknya yang menderita CP. Menurut penelitian Arnold cs (1975) dibeberapa negara menunjukkan adanya keterkaitan antara tingkat perekonomian keluarga yang tergolong rendah dengan tingginya nilai pada aspek economic cost. Misalnya, Ibu yang memiliki anak CP dan perekonomian keluarganya tergolong rendah, maka cenderung mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, ditambah dengan kondisi anak yang menderita CP yang membutuhkan biaya yang banyak untuk pengobatan, pendidikan khusus dan keperluan sehari-hari anak sehingga membuat ibu merasa terbebani dan memandang kehadiran anak CP-nya secara negatif. Disisi lain, ibu yang memiliki anak CP dan perekonomian keluarganya tergolong tinggi, cenderung kurang mempermasalahkan mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai pengobatan, pendidikan khusus, dan kebutuhan


(40)

sehari-hari anak CP-nya. Hal tersebut ibu lakukan agar dapat mengasuh dan mengembangkan kemampuan anak CP-nya secara optimal sehingga ibu merasa bangga dan memaknakan kondisi anak CP-nya secara positif.

Penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang di yakini oleh ibu juga menjadi salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap bagaimana ibu memaknakan keberadaan anaknya yang menderita CP. Setiap agama memandang bahwa anak adalah suatu anugerah dan berkah yang diberikan kepada pasangan suami-istri dan perlu dijaga juga dididik dengan baik. Penghayatan ibu pada ajaran agama tersebut membuat ibu memandang kehadiran anak CP-nya dapat membuat hidupnya senang dan bahagia dikarenakan mendapat anugerah dan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, ibu yang memiliki anak CP dan memiliki pengahayat nilai agama seperti itu akan memandang bahwa dirinya diberikan kepercayaan yang lebih oleh Tuhan untuk menjaga makhluk ciptaan-Nya yang istimewa yaitu anaknya yang menderita CP. Hal tersebut dapat membuat ibu memiliki pandangan yang positif akan kehadiran anak CP-nya.

Selain itu, harapan ibu terhadap kehadiran anak CP di tengah-tengah keluarganya secara langsung dapat memberikan pengaruh terhadap bagaimana ibu memaknai kehadiran anak CP-nya. Misalnya, ketika ibu mengharapkan anaknya terlahir dengan kondisi fisik maupun psikis normal sehingga kelak dapat membantu orangtua seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi ternyata ibu dikaruniai anak yang menderita CP dengan kemandirian yang rendah, maka ibu akan merasa terbebani karena tidak siap untuk mendapatkan tugas yang berat sebagai orangtua yang harus mengurus dan mendidik anak yang menderita


(41)

CP sehingga mereka mengalami keletihan saat harus menyesuaikan diri dengan tugasnya yang baru. Hal tersebut dapat membuat ibu memiliki pandangan yang cenderung negatif akan kehadiran anak CP-nya.

Disisi lain, ibu yang mengharapkan kehadiran anaknya sebagai pelengkap dalam kehidupan keluarga yang kemudian ibu mengandung dan melahirkan anak, maka kelahiran anaknya tersebut akan membuat ibu lebih berbahagia dan menjaga anak sepenuh hati walaupun anak tersebut menderita CP. Hal tersebut terjadi dikarenakan ibu merasa berhasil menghasilkan keturunan dan anak pun menjadi pengikat antara suami dan istri walaupun anak menderita CP sehingga ibu memandang kehadiran anak CP didalam keluarga cenderung positif. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat digambarkan dengan bagan kerangka pemikirian sebagai berikut :


(42)

Skema 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran Ibu yang memiliki anak

penderita Cerebral Palsy di SLB-D “X” di kota Bandung

Positive

Negative Value of Children

- Latar belakang pendidikan - Usia saat menikah

- Tingkat perekonomian

- Penghayatan terhadap nilai agama

- Harapan akan kehadiran anak

Dimensi-dimensi VOC : - Positive General Values :

1. Emotional Benefits

2. Economic Benefits and Security 3. Self-Enrichment and Development 4. Identification with Children 5. Family Cohesiveness and

Continuity

- Negative General Values : 1. Emotional Costs

2. Economic Costs

3. Restrictions or Opportunity Cost 4. Physical Demands

5. Family Costs - Large Family

1. Sibling Relationship 2. Sex Preferences 3. Child Survival - Small Family

1. Maternal Health 2. Societal Costs


(43)

1.6 Asumsi Penelitian

1. Value of Children pada ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung terdiri dari sepuluh aspek, yaitu emotional benefits, economic benefits and security, self-enrichment and development, identification with children, family cohesiveness and continuity, emotional costs, economic costs, restrictions or opportunity cost, physical demands, and family costs. 2. Ibu yang memiliki anak yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung

memiliki Value of Children yang berbeda-beda. Positive Values berupa kepuasan (satisfaction) ibu terhadap anaknya yang menderita CP atau Negative Values yang berupa beban yang harus ditanggung oleh ibu apabila memiliki anak yang menderita CP.

3. Perbedaan Value of Children pada ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, usia saat menikah, tingkat perekonomian penghayatan terhadap nilai agama, serta harapan akan kehadiran anak.

4. Positive General Values dan Negative General Values ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung dapat secara tidak langsung mempengaruhi ibu dalam menginginkan besar atau kecilnya ukuran dari keluarga intinya.

5. Besar atau kecilnya ukuran suatu keluarga yang diinginkan oleh ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung dapat dilihat dari lima alasan, yaitu sibling relationships, sex preferences, child survival, maternal health, dan societal cost.


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal berikut :

1. Sebagian besar ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP) di SLB-D “X” Bandung memiliki Value of Children yang positif dalam menilai kehadiran anak CP-nya. Disisi lain, sebagian kecil lainnya memiliki Value of Children yang negatif dalam menilai kehadiran anak CP-nya.

2. Sebagian besar ibu yang memiliki Value of Children yang positif, cenderung menilai kehadiran anak CP-nya sebagai emotional benefit, economic benefit and security, self-enrichment and development, identification with children, dan family cohesiveness and continuity. Selain itu, sebagian besar ibu yang memiliki Value of Children yang negatif, cenderung menilai kehadiran anak CP-nya sebagai emotional cost, economic cost, restrictions or opportunity cost, physical demand, dan family cost.

3. Hampir keseluruhan ibu yang memiliki Value of Children positif juga menilai kehadiran anak CP-nya sebagai economic cost. Begitu juga pada keseluruhan ibu yang memiliki Value of Children negatif, juga memandang


(45)

kehadiran anak CP-nya sebagai self-enrichment and development dan identification with children.

4. Faktor latar belakang pendidikan, penghasilan per bulan, dan usia ibu pada saat menikah menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan Value of Children pada ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung. Sedangkan faktor harapan ibu akan kehadiran anak dan penghayatan ibu terhadap agama yang dianut tidak memiliki kecenderungan keterkaitan dengan Value of Children.

5. Bagaimana ibu memaknakan kehadiran anak CP-nya di dalam keluarga juga tidak memiliki kecenderungan keterkaitan dalam besarnya ukuran keluarga yang diinginkan oleh ibu.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan

• Bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai Value of Children disarankan untuk meneliti kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi Value of Children terhadap Value of Children pada ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy di SLB – D “X” Bandung, khususnya faktor usia saat menikah, latar belakang pendidikan dan tingkat perekonomian. • Kepada peneliti lain yang ingin meneliti pada bidang yang sama,

disarankan untuk meneliti mengenai studi komparatif mengenai Value of Children pada ibu yang memiliki anak CP dengan ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus lainnya.


(46)

5.2.2 Saran Guna Laksana

• Bagi ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy di SLB-D “X” Bandung, diharapkan dapat menggunakan informasi mengenai makna anak (Value of Children) ini untuk memahami diri dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam mengubah pandangan ibu terhadap kehadiran anak CP-nya.

• Gambaran mengenai makna anak (Value of Children) pada ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy di SLB-D “X” Bandung, dapat digunakan oleh pihak sekolah terutama psikolog di sekolah tersebut sebagai pertimbangan dalam melakukan parents meeting ataupun konsultasi perorangan secara berkala terkait dengan bagaimana merubah pandangan ibu yang negatif terhadap anak CP-nya menjadi positif.


(47)

Arnold, Fred, Cs. 1975. The Value of Children, a cross-national study. Introduction and comparative, Volume One, East-West Population. Honolulu, Hawaii : Institute, East-West.

Duvall, Evelyn Ruth Millis. 1977. Marriage and Family Development. Philadelphia: J. B. Lippincott Company.

Goldenberg, I., & Goldenberg, H. 1985. Family Therapy: An Overview. Second Edition.Monterey : Cole Publishing Company.

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3. London: Sage Publication.

Moore, Aleycia. 2010. 8 Jenis Kelainan pada Anak. Kalamboti. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Papalia, Diane. E, & Sally Wendkos Olds. 1998. Human Development. Santrock, John W. 2004. Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.

_______________. 2007. Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985. Ilmu Kedokteran Anak.

Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII. Bandung: Rosda.


(48)

DAFTAR RUJUKAN

Monika dan Waruwu F. 2006. Anak Berkebutuhan Khusus; Bagaimana mengenal dan menanganunya. Jurnal Provitae. Vol. 2. No.2. Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta.

Tiur Stefanie Muljadi. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Value of Children Pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi “X” Bandung. Skripsi. Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Winda Rointan Tiurma Amelia Sianturi. 2010. Studi Kasus Mengenai Optimisme Pada Ibu yang Memiliki Anak Cerebral Palsy Tipe Spastic Dalam Menjalani Fisioterapi di Tempat “X” Jakarta. Skripsi. Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Kedeputian Bidang Koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan

Anak. 2008. Profil Perempuan dan Anak Indonesia 2007. Jakarta. (http://www.scribd.com/doc/20301419/Profil-Perempuan-dan-Anak-Indonesia-Tahun-2007#download), diakses pada tanggal 17 Januari 2013.

Linggaratri, Intan. 2011. Kaum Difabel dan HAM.

(http://intanlinggaratri.blogspot.com/2011/12/kaum-difabel-dan-ham.html), diakses pada tanggal 20 Januari 2013.

Kartikawati, Eny. 05 April 2011. Kebahagiaan Anak Tergantung Pada Ibunya. (http://wolipop.detik.com/read/2011/04/05/100009/1608678/857/peneliti an-kebahagiaan-anak-tergantung-pada-ibunya), diakses pada tanggal 03 Maret 2013.

Widodo, Joko. 02 Januari 2013. Seorang Ibu Dihukum Tak Boleh Hamil Hingga 2025. (http://ayohidupsehatalami.blogspot.com/2013/02/seorang-ibu-dihukum-tak-boleh-hamil.html), diakses pada tanggal 03 Maret 2013.

Taufi, Rizal. 11 Juni 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.


(49)

(http://sdrizaltaufik11134.wordpress.com/2013/06/11/pendidikan-anak-Asuhan Keperawatan Cerebral Palsy. 26 November 2008. (http://karyatulisilmiahkeperawatan.blogspot.com), diakses pada tanggal 04 Februari 2013.

Statistik Anak Penderita Gangguan Fisik dan Psikis. 2009. (http://www.ausaid.gov.au/.../pwd-sit-bahasa.pdf), diakses pada tanggal 17 Januari 2013.

Cerebral Palsy. 2010. (www.fisiosby.com), diakses pada tanggal 28 Februari 2013.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal berikut :

1. Sebagian besar ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy (CP)di SLB-D “X” Bandung memiliki Value of Children yang positif dalam menilai kehadiran anak CP-nya. Disisi lain, sebagian kecil lainnya memiliki Value

of Children yang negatif dalam menilai kehadiran anak CP-nya.

2. Sebagian besar ibu yang memiliki Value of Children yang positif, cenderung menilai kehadiran anak CP-nya sebagai emotional benefit,

economic benefit and security, self-enrichment and development,

identification with children, dan family cohesiveness and continuity. Selain

itu, sebagian besar ibu yang memiliki Value of Children yang negatif, cenderung menilai kehadiran anak CP-nya sebagai emotional cost,

economic cost, restrictions or opportunity cost, physical demand, dan

family cost.

3. Hampir keseluruhan ibu yang memiliki Value of Children positif juga menilai kehadiran anak CP-nya sebagai economic cost. Begitu juga pada keseluruhan ibu yang memiliki Value of Children negatif, juga memandang


(2)

89

kehadiran anak CP-nya sebagai self-enrichment and development dan

identification with children.

4. Faktor latar belakang pendidikan, penghasilan per bulan, dan usia ibu pada saat menikah menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan Value of

Children pada ibu dari siswa yang menderita CP di SLB-D “X” Bandung.

Sedangkan faktor harapan ibu akan kehadiran anak dan penghayatan ibu terhadap agama yang dianut tidak memiliki kecenderungan keterkaitan dengan Value of Children.

5. Bagaimana ibu memaknakan kehadiran anak CP-nya di dalam keluarga juga tidak memiliki kecenderungan keterkaitan dalam besarnya ukuran keluarga yang diinginkan oleh ibu.

5.2Saran

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan

• Bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai Value of Children disarankan untuk meneliti kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi

Value of Children terhadap Value of Children pada ibu dari siswa yang

menderita Cerebral Palsy di SLB – D “X” Bandung, khususnya faktor usia saat menikah, latar belakang pendidikan dan tingkat perekonomian. • Kepada peneliti lain yang ingin meneliti pada bidang yang sama,

disarankan untuk meneliti mengenai studi komparatif mengenai Value of

Children pada ibu yang memiliki anak CP dengan ibu yang memiliki


(3)

90

5.2.2 Saran Guna Laksana

• Bagi ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy di SLB-D “X” Bandung, diharapkan dapat menggunakan informasi mengenai makna anak (Value of Children) ini untuk memahami diri dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam mengubah pandangan ibu terhadap kehadiran anak CP-nya.

• Gambaran mengenai makna anak (Value of Children) pada ibu dari siswa yang menderita Cerebral Palsy di SLB-D “X” Bandung, dapat digunakan oleh pihak sekolah terutama psikolog di sekolah tersebut sebagai pertimbangan dalam melakukan parents meeting ataupun konsultasi perorangan secara berkala terkait dengan bagaimana merubah pandangan ibu yang negatif terhadap anak CP-nya menjadi positif.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, Fred, Cs. 1975. The Value of Children, a cross-national study. Introduction and comparative, Volume One, East-West Population. Honolulu, Hawaii : Institute, East-West.

Duvall, Evelyn Ruth Millis. 1977. Marriage and Family Development. Philadelphia: J. B. Lippincott Company.

Goldenberg, I., & Goldenberg, H. 1985. Family Therapy: An Overview. Second Edition.Monterey : Cole Publishing Company.

Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3. London: Sage Publication.

Moore, Aleycia. 2010. 8 Jenis Kelainan pada Anak. Kalamboti.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Papalia, Diane. E, & Sally Wendkos Olds. 1998. Human Development.

Santrock, John W. 2004. Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.

_______________. 2007. Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985. Ilmu Kedokteran Anak.

Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII.


(5)

DAFTAR RUJUKAN

Monika dan Waruwu F. 2006. Anak Berkebutuhan Khusus; Bagaimana mengenal

dan menanganunya. Jurnal Provitae. Vol. 2. No.2. Fakultas Psikologi

Universitas Tarumanegara Jakarta.

Tiur Stefanie Muljadi. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Value of Children Pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi “X”

Bandung. Skripsi. Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha.

Winda Rointan Tiurma Amelia Sianturi. 2010. Studi Kasus Mengenai Optimisme Pada Ibu yang Memiliki Anak Cerebral Palsy Tipe Spastic Dalam

Menjalani Fisioterapi di Tempat “X” Jakarta. Skripsi. Bandung :

Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Kedeputian Bidang Koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Anak. 2008. Profil Perempuan dan Anak Indonesia 2007. Jakarta. (http://www.scribd.com/doc/20301419/Profil-Perempuan-dan-Anak-Indonesia-Tahun-2007#download), diakses pada tanggal 17 Januari 2013.

Linggaratri, Intan. 2011. Kaum Difabel dan HAM.

(http://intanlinggaratri.blogspot.com/2011/12/kaum-difabel-dan-ham.html), diakses pada tanggal 20 Januari 2013.

Kartikawati, Eny. 05 April 2011. Kebahagiaan Anak Tergantung Pada Ibunya. (http://wolipop.detik.com/read/2011/04/05/100009/1608678/857/peneliti an-kebahagiaan-anak-tergantung-pada-ibunya), diakses pada tanggal 03 Maret 2013.

Widodo, Joko. 02 Januari 2013. Seorang Ibu Dihukum Tak Boleh Hamil Hingga 2025. (http://ayohidupsehatalami.blogspot.com/2013/02/seorang-ibu-dihukum-tak-boleh-hamil.html), diakses pada tanggal 03 Maret 2013.

Taufi, Rizal. 11 Juni 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.


(6)

(http://sdrizaltaufik11134.wordpress.com/2013/06/11/pendidikan-anak-93

Asuhan Keperawatan Cerebral Palsy. 26 November 2008.

(http://karyatulisilmiahkeperawatan.blogspot.com), diakses pada tanggal 04 Februari 2013.

Statistik Anak Penderita Gangguan Fisik dan Psikis. 2009.

(http://www.ausaid.gov.au/.../pwd-sit-bahasa.pdf), diakses pada tanggal 17 Januari 2013.

Cerebral Palsy. 2010. (www.fisiosby.com), diakses pada tanggal 28 Februari