Suatu Penelitian Mengenai Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Derajat Stres Kerja pada Guru Sekolah Luar Biasa Bagian C di Bandung.

(1)

Universitas Kristen Maranatha ii

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru SLB bagian C di Bandung.

Sesuai dengan maksud, tujuan, dan kegunaan penelitian, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan korelasional. Subyek pada penelitian ini adalah guru SLB bagian C yang berusia 28-50 tahun, dengan menggunakan metode purposive sampling maka diperoleh subyek penelitian sebanyak 30 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner Kecerdasan Emosional berdasarkan konsep kecerdasan emosional dari Daniel Goleman, dan kuesioner Derajat Stres Kerja yang merupakan modifikasi dari alat ukur Stress Diagnostic Survey dari Ivancevich dan Matteson.

Berdasarkan pengolahan statistik korelasi Spearman dengan menggunakan SPSS, diketahui bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru SLB bagian C di Bandung. Artinya, semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki guru, maka derajat stres kerja yang dihayati guru semakin rendah. Guru dengan kecerdasan emosional tinggi lebih mampu menjaga kestabilan emosinya dan mengarahkan energinya untuk mengatasi berbagai sumber stres kerja, sehingga tugas mengajar dan mendidik yang dapat menjadi sumber stres kerja tidak dinilai sebagai ancaman dan derajat stres kerja guru menjadi rendah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui dari 16 guru yang menghayati derajat stres kerja rendah, sebagian besar memiliki aspek-aspek kecerdasan emosional yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa selain tingkat kecerdasan emosional, terdapat faktor-faktor lain yang berkaitan dengan derajat stres kerja guru yang rendah. Faktor-faktor tersebut adalah harapan guru dalam mengajar dan mendidik anak didik, keyakinan dapat mengatasi dan mengoptimalkan kemampuan anak didik, tingkat pendidikan, kemampuan dalam menghadapi kesulitan mengajar dan mendidik, perasaan terbebani oleh tugas mengajar dan mendidik, dan masa kerja.

Saran dari penelitian ini adalah mengadakan penelitian lebih mendalam mengenai kecerdasan emosional dan penelitian lanjutan mengenai hubungan derajat stres kerja dengan faktor-faktor lainnya. Selain itu perlu adanya antisipasi dari pihak SLB bagian C terhadap munculnya stres kerja pada guru melalui pemberian informasi kepada guru-guru mengenai manfaat kecerdasan emosional, serta informasi mengenai perkembangan pengajaran dan pendidikan anak tunagrahita, dan perlunya diadakan pelatihan-pelatihan bagi guru mengenai bagaimana cara menghadapi berbagai permasalahan di sekolah yang berpotensi menjadi sumber stres kerja pada guru.


(2)

Universitas Kristen Maranatha iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… ii

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR ISI……….. v

DAFTAR BAGAN………. viii

DAFTAR LAMPIRAN………. ix

DAFTAR TABEL……….. x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2. Identifikasi Masalah ……… 8

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ……….... 8

1.3.1. Maksud Penelitian ………. 8

1.3.2. Tujuan Penelitian ……….. 9

1.4. Kegunaan Penelitian ………... 9

1.4.1. Kegunaan Ilmiah ………... 9

1.4.2. Kegunaan Praktis ……….. 9

1.5. Kerangka Pemikiran ……… 10

1.6. Asumsi Penelitian ………... 17

1.7. Hipotesis Penelitian ………. 17

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosional………. 18

2.1.1. Dua Jenis Pikiran ……… 18

2.1.2. Kecerdasan Pribadi Menurut Howard Gardner ……….. 19

2.1.3. Definisi Kecerdasan Emosional……….. 20

2.1.4. Model Kecerdasan Emosional………. 21

2.1.5.Kemampuan Menyadari Emosi ……….. 25


(3)

Universitas Kristen Maranatha iv

2.1.7. Kemampuan Memotivasi Diri ……… 27

2.1.8. Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain / Empati … 28 2.1.9. Kemampuan Membina Hubungan dengan Orang Lain 29 2.1.10. IQ dan Kecerdasan Emosional……….. 30

2.2. Teori Stres………. 31

2.2.1. Definisi Stres………... 31

2.2.2. Sumber-Sumber Stres………. 32

2.2.3.Teori Tentang Penilaian Kognitif……… 34

2.2.4. Bentuk-bentuk Dasar dari Penilaian Kognitif…………. 35

2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Appraisal…………. 36

2.2.6. Emosi dan Appraisal………... 38

2.2.7. Stres Dalam Pekerjaan………. 40

2.2.7.1. Pengertian Stres Dalam Pekerjaan……….. 40

2.2.7.2. Moderator Stress………. 41

2.2.7.3. Sumber-sumber Stres dalam Pekerjaan………... 43

2.3. Teori Perkembangan………. 46

2.4. Profesi Guru……….. 48

2.4.1. Karakteristik Tunagrahita 48 2.4.2 Persyaratan Guru SLB Bagian C……….. 51

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian………... 54

3.2. Variabel Penelitian………... 54

3.3. Definisi Operasional………. 55

3.4. Alat Ukur………. 56

3.4.1. Kuesioner Kecerdasan Emosional………... 56

3.4.2. Kuesioner Derajat Stres………... 58

3.4.3. Data Penunjang……… 60

3.5. Pengujian Alat Ukur………. 61

3.5.1. Validitas Alat Ukur………. 61

3.5.2. Reliabilitas Alat Ukur……….. 62


(4)

Universitas Kristen Maranatha v

3.6.1 Teknik Pengambilan Sampel……… 63

3.6.2.Karakteristik Populasi……….. 63

3.7 Teknik Analisis……….. 63

3.8. Hipotesis Statistik………. 65

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Sampel………. 66

4.1.1. Usia... 66

4.1.2. Jenis Kelamin... 66

4.1.3. Pendidikan... 66

4.1.4. Masa Kerja... 66

4.2. Hasil Penelitian……… 67

4.3. Pembahasan……….. 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………... 77

5.2. Saran………. 78

5.2.1. Saran Teoritis……….. 78

5.2.2. Saran Praktis……… 78

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RUJUKAN LAMPIRAN


(5)

Universitas Kristen Maranatha vi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Kerangka Alur Pikir……… 16


(6)

Universitas Kristen Maranatha vii

DAFTAR TABEL

TABEL 3.1 :Rancangan Alat Ukur Kecerdasan Emosional……….. 56

TABEL 3.2 : Rancangan Alat Ukur Derajat Stres Kerja……… 59

TABEL 4.1 : Usia………... 66

TABEL 4.2 : Jenis Kelamin……… 66

TABEL 4.3 : Pendidikan………. 66

TABEL 4.4 : Masa Kerja……… 66 TABEL 4.5 : Distribusi Tingkat Kecerdasan Emosional dan Derajat Stres Kerja 67


(7)

Universitas Kristen Maranatha viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Data Penunjang

Lampiran 2 : Alat Ukur Kecerdasan Emosional Lampiran 3 : Alat Ukur Derajat Stres Kerja

Lampiran 4 : Validitas Hasil Try Out Kuesioner Kecerdasan Emosional Lampiran 5 : Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Kecerdasan Emosional Lampiran 6 : Validitas Hasil Try Out Kuesioner Derajat Stres Kerja Lampiran 7 : Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Derajat Stres Kerja Lampiran 8 : Data Pribadi Guru SLB bagian C di Bandung

Lampiran 9 : Analisis Korelasi Kecerdasan Emosional dan Derajat Stres Kerja Lampiran 10 : Gambaran Hasil Penelitian

Lampiran 11 : Aspek Stres Kerja

Lampiran 12 : Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja dengan Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Lampiran 13 : Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja dengan Data Penunjang Keseluruhan

Lampiran 14 : Tabulasi Silang antara Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah dengan Data Penunjang


(8)

RAHASIA

Lampiran 1

DATA PRIBADI

1. Usia :

2. Jenis kelamin : L / P

3. Latar belakang pendidikan :

4. Status marital : menikah/ belum menikah

5. Lokasi kerja :

6. Lama menjabat sebagai Guru SLB/C : 7. Tugas-tugas Saya di SLB bagian C ini :

……… ……… ………

8. Apakah Saudara merasa kesulitan dalam mengajar dan mendidik anak didik terkait dengan berbagai karakteristik khas yang dimiliki anak didik?

A. Sangat kesulitan B. Sedikit kesulitan C. Tidak merasa kesulitan

9. Apakah Saudara merasa terbebani oleh tugas Saudara sebagai guru SLB C khususnya dalam mengajar dan mendidik anak didik terkait dengan berbagai karakteristik khas yang dimiliki anak didik?

A. Sangat terbebani B. Sedikit terbebani C. Tidak merasa terbebani

10. Apa harapan Saudara sebagai guru SLB bagian C terhadap anak didik? ……… ……… ………

11. Sejauhmana harapan tersebut sudah terwujud?


(9)

RAHASIA

12. Menurut Saudara, Saudara………. bahwa Saudara dapat mengatasi semua perilaku khas anak didik selama Saudara mengajar dan mendidik mereka. A. Yakin B. Kurang Yakin C. Tidak Yakin

13. Menurut Saudara, Saudara………. bahwa Saudara dapat mengajar dan mendidik anak didik ke arah yang lebih optimal

A. Yakin B. Kurang Yakin C. Tidak Yakin

14. Apakah Saudara merasa pengetahuan yang Saudara miliki saat ini mengenai pendidikan luar biasa sudah cukup untuk bisa mengoptimalkan kemampuan anak didik?

A. Lebih dari cukup B. Cukup C. Masih kurang

15. Apakah Saudara merasa pengalaman mengajar Saudara selama ini sudah cukup untuk dapat mengatasi semua perilaku khas anak didik selama Saudara mengajar dan mendidik mereka?


(10)

RAHASIA

Lampiran 2

KUESIONER KECERDASAN EMOSIONAL

Petunjuk pengisian :

Pernyataan-pernyataan ini membantu Saudara untuk mengenali perasaan, sebagaimana Saudara melihat diri sendiri. Jawablah pernyataan ini seakan-akan Saudara sedang menggambarkan diri Saudara sebagaimana adanya. Jawablah dengan respom Saudara. Jangan ada yang terlewati. Bacalah setiap pernyataan baik-baik, lalu pilihlah salah satu dari 4 alternatif jawaban yang tersedia dengan memberikan tanda (X) pada kotak yang menggambarkan diri Saudara. Arti keempat pilihan tersebut adalah sebagai berikut :

(SS) Sangat sesuai : untuk pernyataan yang sepenuhnya sesuai dengan

gambaran diri Saya

: untuk jawaban sebagian besar sesuai dengan gambaran diri Saya

: untuk jawaban sebagian besar tidak sesuai dengan gambaran diri Saya

sama sekali tidak sesuai dengan

gambaran diri Saya

Perlu diperhatikan bahwa semua jawaban Saudara tidak ada yang salah, semuanya benar. Terima kasih atas kesediaan Saudara untuk mengisi angket ini.


(11)

RAHASIA

No. Pernyataan SS S TS STS

1. Saya tahu hal apa yang membuat saya marah saat mengajar 2. Saya merasa bangga bisa menjadi guru di SLB C

3. Saya mampu memahami sudut pandang yang berbeda dari rekan kerja saya mengenai anak didik

4. Saya menghindari terlibat dalam kegiatan-kegiatan di luar jam pelajaran di sekolah tempat saya mengajar

5. Saya tidak tahan berlama-lama mendengarkan keluh kesah rekan kerja saya mengenai kesulitannya dalam mengajar 6. Saat tahun ajaran baru dimulai, saya merasa sulit

menyesuaikan diri dengan para anak didik di kelas baru 7. Saya kurang begitu menghiraukan perasaan anak didik saya

ketika saya tegur di hadapan teman-temannya 8. Saya tidak tahu mengapa saya merasa bingung saat

menghadapi anak didik

9. Jika saya merasa bosan mengajarkan materi yang sama, saya tetap bersemangat mengajarkan materi tersebut hingga anak didik mengerti

10. Saya mengerti bagaimana sulitnya orangtua anak didik mengajar dan mendidik anaknya di rumah

11. Saya senang bertemu dengan kenalan-kenalan baru di lingkungan sekolah tempat saya mengajar

12. Saat mengajar anak didik, saya dapat menyadari bahwa saya kesal

13 Jika saya merasa kesal pada seorang anak didik, saya akan lampiaskan saat itu juga dengan cara memarahinya di hadapan teman-temannya

14. Walaupun kemampuan daya ingat anak didik saya kurang, saya tidak merasa putus asa untuk terus berusaha

mengajarkan mereka dengan berbagai cara.

15. Saya membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menerima pendapat rekan kerja saya

16. Saya sudah berkali-kali mengajarkan materi yang sama kepada anak didik, sehingga saya tidak dapat mentolerir anak didik yang masih salah mengerjakan tugasnya

17. Menurut saya menyelesaikan masalah anak didik yang saling menyerang dengan cara kompromi dengan orang tua anak didik, hanya membesar-besarkan masalah

18. Saya mampu mengurangi kegelisahan saya selama mengajar 19. Saya merasa sangat bosan sehingga terasa sulit

meningkatkan keterampilan mengajar saya

20. Saya tidak merasa keberatan mendengarkan keluh kesah anak didik, rekan kerja atau orangtua anak didik

21. Saya lebih baik menghindari rekan kerja yang meminta bantuan saya terkait dengan masalah anak didik

22. Jika anak didik yang telah saya tegur jadi menjauhi saya, maka tidak sulit bagi saya untuk mendekatinya kembali

23. Saya mampu mengatasi perasaan marah yang muncul pada saat saya sedang mengajar


(12)

RAHASIA

No. Pernyataan SS S TS STS

24. Walaupun saya sedang marah saat mengajar di kelas, saya berusaha untuk tetap objektif dalam memandang masalah 25. Saya cukup mampu mengendalikan kekesalan saya dalam

setiap kejadian yang saya hadapi saat mengajar

26. Saya mampu mengungkapkan kemarahan saya kepada anak didik yang tidak mau diam di kelas dengan cara yang lebih bijaksana

27. Saya tidak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi antara saya dan rekan kerja

28. Saya merasa sulit berdiskusi dengan rekan kerja mengenai masalah yang sama yang kami hadapi saat mengajar

29. Saat mengajar saya terkadang tidak sadar bahwa saya sedang marah

30. Saya menjadi tegang setiap kali dihadapkan pada anak didik yang tiba-tiba menyerang temannya

31. Saya mampu bekerja sama dengan guru-guru yang lain dalam menentukan materi yang akan diajarkan

32. Saya memilih untuk merundingkan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang terjadi diantara anak didik 33. Saya berusaha sebaik mungkin membantu rekan kerja yang

meminta bantuan saya

34. Bila saya jengkel saat mengajar, saya tahu apa yang harus saya lakukan

35. Saya merasa sulit mengendalikan ucapan saya saat di kelas sehingga anak didik cenderung menjauhi saya

36. Saat saya marah kepada anak didik, sulit bagi saya untuk menahannya

37. Jika saya dikecewakan rekan kerja, maka sulit bagi saya untuk memaafkannya

38. Jika saya marah saat mengajar, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan

39. Saya merasa bingung dengan apa yang harus saya lakukan saat berada diantara rekan-rekan kerja saya

40. Saya sulit menerima kritikan dari rekan kerja saya 41. Saya tidak segera menyadari bahwa saya sedang merasa

bosan ketika saya sedang mengajar

42. Saat saya merasa kesal selama berada di sekolah, saya secara tidak sengaja memarahi rekan kerja saya tanpa alasan

43. Kegiatan mengajar saya seringkali terganggu jika suasana hati saya sedang sedih

44. Saya tidak peduli menanggung akibat dari teguran yang saya sampaikan kepada anak didik saat anak didik tersebut melakukan kesalahan di kelas

45. Saya merasa keluarga saya mendukung pekerjaan saya sebagai guru SLB C

46. Saya dapat mengetahui hal apa saja yang perlu diperhatikan agar dapat menjadi guru sekaligus teman bagi anak didik saya

47. Saat jam istirahat, saya dapat berbagi pengalaman saya selama mengajar bersama rekan kerja saya


(13)

RAHASIA

No. Pernyataan SS S TS STS

48. Saat saya mengalami masalah di luar pekerjaan saya, sulit bagi saya untuk berpikir jernih selama mengajar di kelas 49. Saya mampu mengontrol ucapan saya saat mengajar,

sehingga anak didik tidak merasa tersinggung

50. Saya tidak segera menyadari saat saya merasa tegang ketika mengajar

51. Saya lebih baik menghindari anak didik yang sedang bertikai di luar kelas

52. Saya mampu memahami perasaan anak didik yang begitu kesulitan menulis suatu huruf

53. Saat mengajar, saya merasa pekerjaan saya menjadi kacau jika saya harus bekerja sama dengan guru lain

54. Saya mengerti mengapa saya merasa cemas ketika mengajar anak didik

55. Saat saya menghadapi hambatan dalam mengajar, saya tidak menjadi mudah marah

56. Saat di kelas, saya mampu mengatasi rasa kesal yang saya hadapi saat mengajar anak didik yang tidak mau memperhatikan

57. Saya merasa sulit meredam kemarahan saya ketika menghadapi anak didik yang sulit diatur

58. Saya mampu menenangkan diri saya selama mengajar anak didik saya yang sulit diatur

59. Walaupun saya sedang marah dengan urusan sekolah, saya masih berusaha menjaga diri

60. Saya merasa bahagia bisa menolong anak tunagrahita dengan menjadi guru di SLB C ini

61. Saya merasa sulit mengatasi kecemasan saya selama berhadapan dengan orangtua anak didik

62. Sebagai guru SLB C, saya akan terus berusaha semaksimal mungkin mengoptimalkan kemampuan anak didik walaupun akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mewujudkannya

63. Sulit bagi saya memusatkan pikiran saat mengajar anak didik jika saya sedang merasa bosan

64. Saya mampu mengatasi kekhawatiran saya saat mengajar agar saya tidak menjadi panik

65. Ketika saya mengalami kesulitan saat mengajar anak didik, hal ini justru meningkatkan semangat saya dalam mencari cara baru untuk dapat meningkatkan kemampuan anak didik 66. Saya segera mengetahui jika anak didik saya sedang merasa

sedih

67. Saya menghindari rekan kerja saya yang akan mengungkapkan keluh kesahnya

68. Saya mampu menyelesaikan perkelahian yang terjadi di antara anak didik saya di kelas dengan mudah

69. Tidak mudah bagi saya menyelesaikan masalah yang timbul antara saya dan rekan kerja saya

70. Saya sulit menolak pendapat rekan kerja saya jika menurut saya pendapatnya tersebut kurang tepat


(14)

RAHASIA

Lampiran 3

Kuesioner Stres Kerja

Berikut ini terdapat beberapa pernyataan yang menggambarkan apa yang Saudara alami saat Saudara melaksanakan beberapa tugas mengajar dan mendidik. Saudara diminta untuk menjawab setiap pernyataan tersebut dengan seberapa sering (frekuensi) Saudara mengalami kondisi-kondisi berikut ini yang Saudara alami saat Saudara menghadapi berbagai sumber stres dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik di sekolah.

Bacalah setiap pernyataan, lalu pilihlah salah satu dari 5 alternatif jawaban yang tersedia dengan memberikan tanda silang (X) pada pilihan jawaban yang tersedia. Arti kelima pilihan jawaban tersebut adalah :

SL : Jika kondisi tersebut selalu dirasakan

SR : Jika kondisi tersebut sering dirasakan

K : Jika kondisi tersebut kadang-kadang dirasakan

P : Jika kondisi tersebut pernah dirasakan

TP : Jika kondisi tersebut tidak pernah dirasakan

Tidak ada jawaban yang salah. Jawaban yang diminta adalah jawaban yang Saudara anggap paling sesuai dengan apa yang Saudara rasakan. Jika kategori yang diberikan tidak dapat menggambarkan perasaan Saudara dengan tepat, pilihlah yang paling mendekati. Terimakasih atas kesedian Saudara untuk mengisi kuesioner ini dan selamat bekerja.


(15)

RAHASIA

Petunjuk Jawaban:

SL : Jika kondisi tersebut selalu dirasakan SR : Jika kondisi tersebut sering dirasakan

K : Jika kondisi tersebut kadang-kadang dirasakan P : Jika kondisi tersebut pernah dirasakan

TP : Jika kondisi tersebut tidak pernah dirasakan

No. Pernyataan SL SR K P TP

1. Saya menjadi lelah harus mengajar sekaligus menjadi teman bermain bagi anak didik saya

2. Saya merasa cemas dalam menjelaskan kepada anak didik, cara menjaga keselamatan dirinya

3. Saya merasa lelah saat harus mengajar di beberapa kelas atau tingkatan

4. Saya merasa sedih karena sulit mengajari anak didik saya untuk merawat diri

5. Saya merasa kecewa dengan beberapa rekan kerja saya karena sulit diajak kerjasama dalam mengajar

6. Saya merasa lelah, karena harus mengatasi sendiri anak didik yang sulit sekali menerima pelajaran tanpa ada yang menolong

7. Saya merasa pusing karena disamping saya harus mengajar, saya juga harus memperhatikan setiap gerak-gerik anak didik saya agar tidak terjadi sesuatu yang mengganggu pelajaran

8. Saya merasa bingung menjelaskan pada anak didik mengenai perilaku yang benar dan salah, yang baik dan buruk

9. Saya merasa pusing harus mengajar kelas yang jumlah anak didiknya lebih dari 5 orang

10. Saya merasa kesal setiap saya kesulitan mengajarkan anak didik saya melakukan penjumlahan sederhana

11. Saya merasa pusing setiap harus mendengar keluhan-keluhan dari orangtua anak didik mengenai perilaku anaknya di rumah

12. Saya merasa kesal cara kerja para rekan saya tidak teratur saat mengurus kegiatan di sekolah

13. Saya merasa pusing tidak memperoleh dorongan dari siapa pun saat berusaha mengatasi kesulitan yang saya hadapi saat mengajar

14. Saya bingung karena di satu sisi anak didik begitu lambat dalam menerima pelajaran, di sisi lain saya harus mengejar target kurikulum yang telah ditetapkan

15. Saya merasa bingung cara mendidik anak didik agar mereka lebih bisa mengendalikan emosi mereka

16. Saya merasa bosan harus mengajar materi yang sama berulang-ulang


(16)

RAHASIA

No. Pernyataan SL SR K P TP

17. Saya merasa putus asa karena sulit mengajarkan anak didik saya membaca

18. Saya merasa bingung saat harus menginformasikan kegiatan yang berlangsung di sekolah kepada orangtua anak didik

19. Saya merasa sedih tidak dapat berbagi tugas kerja saya bersama rekan kerja saya

20. Saya merasa kecewa dengan rekan kerja yang kurang peduli terhadap kesulitan saya dalam mengajar

21. Saya merasa cemas ketika sewaktu-waktu harus melaksanakan tugas mengajar yang tidak sesuai dengan kurikulum yang berlaku

22. Saya merasa pusing bagaimana mengajarkan anak didik saya agar tidak memboroskan uang jajannya

23. Saya merasa tidak bersemangat karena banyak anak didik saya yang masih belum mengerti materi yang saya ajarkan 24. Badan saya terasa pegal-pegal setiap kali saya merasa

kesulitan mengajarkan anak didik saya untuk menulis huruf atau angka

25. Saya merasa cemas karena apa yang saya ajarkan dapat mempengaruhi masa depan anak didik saya

26. Saya merasa pusing saat kelompok kerja saya yang terdiri dari karyawan dan beberapa guru kurang kompak dalam bekerja sama

27. Saya merasa sedih karena sulit memperoleh rekan seprofesi yang dapat diajak untuk bisa berbagi mengenai kesulitan-kesulitan yang saya hadapi saat mengajar

28. Saya merasa kesal harus menahan amarah saya saat mengajar anak didik yang sulit agar dia masih mau meneruskan pelajarannya

29. Saya merasa lelah karena tidak tahu pasti bagaimana mengajarkan anak didik agar menjadi individu yang siap kerja sekaligus disiplin

30. Saya merasa kesal harus berkali-kali menyuruh anak didik menjawab pertanyaan yang saya ajukan

31. Saya merasa lelah karena sulit mengajarkan keterampilan pada anak didik saya

32. Saya merasa bosan terus-menerus menegur anak didik yang seringkali melakukan perbuatan yang tidak baik 33. Saya merasa lelah menghadapi para rekan kerja saya yang

kurang peduli terhadap kegiatan yang berlangsung di sekolah

34. Saya kesal, dalam rapat, kepala sekolah kurang membahas mengenai kasus-kasus atau kesulitan yang saya dan rekan kerja saya hadapi saat mengajar

35. Tubuh saya mejadi mudah sakit ketika materi yang saya ajarkan menjadi terhambat karena adanya salah satu anak didik yang sulit sekali mengerti dibandingkan teman-teman sekelasnya.

36. Saya sulit berkonsentrasi saat mengajarkan materi karena saya harus mengawasi setiap gerak-gerik anak didik


(17)

RAHASIA

No. Pernyataan SL SR K P TP

37. Saya merasa lebih berkeringat saat harus mendidik anak didik saya untuk lebih bisa mengendalikan dorongan biologisnya.

38 Saya merasa lebih berkeringat setelah berkali-kali harus mengajarkan beberapa anak didik memahami materi yang saya ajarkan tetapi mereka tetap belum mengerti

39. Saya merasa tidak bersemangat harus mengajarkan materi yang sama dengan yang kemarin saya ajarkan

40. Saya merasa pusing saat kesulitan menemukan cara lain agar anak didik saya lebih cepat menangkap materi yang saya ajarkan

41. Saya merasakan keringat dingin jika sewaktu-waktu anak didik saya tidak bisa mengendalikan emosi dan dorongan biologisnya saat di sekolah

42. Saya merasa tidak bersemangat saat harus bertemu dengan orangtua anak didik tentang masalah anaknya di sekolah 43. Saya merasa lebih mudah sakit ketika tidak ada rekan

kerja saya yang menawarkan bantuan saat saya harus menyelesaikan tugas sekolah yang cukup banyak 44. Saya merasa kecewa dengan kurangnya kekompakan

antara rekan kerja saya dalam menyusun acara di sekolah 45. Saya menjadi lebih mudah sakit karena pihak sekolah

kurang menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan yang dialami para guru di sekolah tempat saya mengajar

46. Saya merasa bingung mengatasi kesulitan yang saya hadapi di sekolah sendirian

47. Saya menjadi sulit tidur jika sewaktu-waktu menghadapi anak didik yang sulit mengikuti pelajaran di kelas dibandingkan anak lain di kelasnya.

48. Saya merasa tidak enak badan jika anak didik saya masih tidak memahami pentingnya menjaga diri padahal saya telah menjelaskannya berkali-kali.

49. Saya menjadi mudah sakit jika masih tersisa banyak sekali materi yang belum saya ajarkan

50. Saya merasa tidak bersemangat dalam mengajar jika sudah menemukan anak didik yang sedang sulit untuk ditegur 51. Saya menjadi sulit tidur jika saya menemukan kesulitan

dalam mengajar dan mendidik anak didik saya.

52. Saya menjadi sulit tidur setiap kali harus menghadapi orangtua anak didik untuk memberitahukan keadaan anaknya di sekolah

53. Saya menjadi sulit tidur jika kegiatan sekolah kurang berjalan lancar karena kurangnya kekompakan antar rekan-rekan guru di sekolah saya

54. Saya merasa kesal harus terus-menerus menegur anak didik saya tetapi mereka tetap tidak mengerti

55. Pola makan saya terganggu jika menghadapi anak yang sulit mengikuti pelajaran di kelas karena terlalu hiperaktif atau terlalu menarik diri.


(18)

RAHASIA

No. Pernyataan SL SR K P TP

56. Saya menjadi sulit tidur setiap kali memikirkan cara agar anak didik saya bisa bekerja secara mandiri dan disiplin. 57. Saya merasa sulit berkonsentrasi saat harus mengajar

beberapa tingkatan sekaligus

58. Pola makan saya terganggu jika masih banyak tugas mengajar yang belum saya selesaikan.

59. Saya merasa lebih mudah sakit jika mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi kepada anak didik saya 60. Saya merasa cemas jika saya tidak bisa mengatasi

kesulitan yang saya hadapi saat mengajar

61. Saya merasa kurang enak badan setiap kali harus menemui orangtua anak didik yang ingin berkonsultasi dengan saya tentang masalah anaknya

62. Persiapan yang kurang kompak antar rekan kerja saya dalam menyusun acara di sekolah membuat saya merasa tidak enak badan

63. Saya merasa bingung bagaimana harus mengajak rekan-rekan kerja saya agar mau bekerjasama dalam menyusun kegiatan di sekolah

64. Pola makan saya menjadi terganggu setiap kali harus menyelesaikan sendiri masalah yang saya hadapi saat mengajar

65. Saya merasa kurang dapat berkonsentrasi pada pekerjaan saya saat tidak ada rekan kerja yang cukup perhatian dengan kesulitan yang sedang saya hadapi di sekolah


(19)

Lampiran 4

VALIDITAS HASIL TRY OUT

KUESIONER KECERDASAN EMOSIONAL

No. Item Validitas Kesimpulan

1 0,447 DITERIMA

2 0,754 DITERIMA

3 0,726 DITERIMA

4 0,542 DITERIMA

5 0,756 DITERIMA

6 0,54 DITERIMA

7 0,662 DITERIMA

8 0,471 DITERIMA

9 0,616 DITERIMA

10 0,332 DITERIMA

11 0,605 DITERIMA

12 -0,065 DITOLAK

13 0,505 DITERIMA

14 0,889 DITERIMA

15 0,445 DITERIMA

16 0,709 DITERIMA

17 0,713 DITERIMA

18 0,757 DITERIMA

19 0,842 DITERIMA

20 0,629 DITERIMA

21 0,484 DITERIMA

22 0,63 DITERIMA

23 0,763 DITERIMA

24 0,889 DITERIMA

25 0,887 DITERIMA

26 0,562 DITERIMA

27 0,62 DITERIMA

28 0,55 DITERIMA

29 0,575 DITERIMA

30 0,301 DITERIMA

31 0,784 DITERIMA

32 0,571 DITERIMA

33 0,571 DITERIMA

34 0,527 DITERIMA

35 0,382 DITERIMA

36 0,587 DITERIMA

37 0,06 DITOLAK

38 0,924 DITERIMA

39 0,668 DITERIMA

40 0,409 DITERIMA

41 0,361 DITERIMA

42 0,892 DITERIMA

43 0,89 DITERIMA

44 -0,28 DITOLAK

45 0,357 DITERIMA


(20)

47 0,924 DITERIMA

48 0,301 DITERIMA

49 0,784 DITERIMA

50 0,553 DITERIMA

51 0,621 DITERIMA

52 0,788 DITERIMA

53 0,82 DITERIMA

54 0,748 DITERIMA

55 0,489 DITERIMA

56 0,489 DITERIMA

57 0,61 DITERIMA

58 0,889 DITERIMA

59 0,648 DITERIMA

60 0,833 DITERIMA

61 0,842 DITERIMA

62 0,605 DITERIMA

63 0,717 DITERIMA

64 0,842 DITERIMA

65 0,454 DITERIMA

66 0,765 DITERIMA

67 0,588 DITERIMA

68 0,562 DITERIMA

69 0,291 DITOLAK

70 0,65 DITERIMA

71 0,412 DITERIMA

72 0,748 DITERIMA

73 0,399 DITERIMA

74 0,837 DITERIMA

75 0,013 DITOLAK

Aspek Kecerdasan Emosional

Jumlah Item Awal

Jumlah item yang

digunakan Keterangan

Self Awareness 9 9 Seluruh item valid

Manage Emotions 21 21 Seluruh item valid

Motivating Oneself 12 10 Dua item dibuang (44,37)

Empathy 9 8 Satu item dibuang (69)

Handling Relationship 24 22 Dua item dibuang (12,75) Total item yang digunakan : 70


(21)

Lampiran 5

Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Kecerdasan Emosional

Aspek dan Konstruk

Jumlah

Item Nilai Reliabilitas Keterangan

Self Awareness 9 0,761 Reliabel

Manage Emotions 21 0,955 Sangat reliabel

Motivating Oneself 10 0,88 Reliabel

Empathy 8 0,818 Reliabel

Handling Relationship 22 0,94 Sangat reliabel 70 0,957 Sangat reliabel Case P

rocessi

10 100.0

0 .0

10 100.0 Valid

Excluded a Tot

al Cases

N %

Listwise delet

variables in a.

Reliab il

.957 70

Cronbach'


(22)

Lampiran 6

VALIDITAS HASIL TRY OUT KUESIONER STRES KERJA

No. Item Validitas Kesimpulan

1 0,755 DITERIMA

2 0,439 DITERIMA

3 0,76 DITERIMA

4 0,683 DITERIMA

5 0,05 DITOLAK

6 0,624 DITERIMA

7 0,744 DITERIMA

8 0,5 DITERIMA

9 0,409 DITERIMA

10 0,331 DITERIMA

11 0,512 DITERIMA

12 0,786 DITERIMA

13 0,775 DITERIMA

14 0,715 DITERIMA

15 0,73 DITERIMA

16 0,412 DITERIMA

17 0,726 DITERIMA

18 0,818 DITERIMA

19 0,538 DITERIMA

20 0,893 DITERIMA

21 0,698 DITERIMA

22 0,846 DITERIMA

23 0,681 DITERIMA

24 0,612 DITERIMA

25 0,862 DITERIMA

26 0,647 DITERIMA

27 0,832 DITERIMA

28 0,869 DITERIMA

29 0,783 DITERIMA

30 0,682 DITERIMA

31 0,709 DITERIMA

32 0,871 DITERIMA

33 0,781 DITERIMA

34 0,779 DITERIMA

35 0,784 DITERIMA

36 0,763 DITERIMA

37 0,674 DITERIMA

38 0,435 DITERIMA

39 0,248 DITOLAK

40 0,938 DITERIMA

41 0,777 DITERIMA

42 0,647 DITERIMA

43 0,176 DITOLAK

44 0,776 DITERIMA

45 0,869 DITERIMA


(23)

47 0,857 DITERIMA

48 0,814 DITERIMA

49 0,758 DITERIMA

50 0,405 DITERIMA

51 0,509 DITERIMA

52 0,739 DITERIMA

53 0,694 DITERIMA

54 0,433 DITERIMA

55 0,594 DITERIMA

56 0,445 DITERIMA

57 0,601 DITERIMA

58 0,469 DITERIMA

59 0,575 DITERIMA

60 0,529 DITERIMA

61 0,419 DITERIMA

62 0,948 DITERIMA

63 0,781 DITERIMA

64 0,836 DITERIMA

65 0,022 DITOLAK

66 0,784 DITERIMA

67 0,834 DITERIMA

68 0,717 DITERIMA

69 0,798 DITERIMA

70 0,17 DITOLAK

Aspek Stres Kerja

Jumlah Item Awal

Jumlah item yang

digunakan Keterangan

Konflik Peran 10 10 Seluruh item valid

Kedwiartian Peran 10 9 Satu item dibuang (39)

Beban Tugas 10 10 Seluruh item valid

Beban Kesulitan 10 9 Satu item dibuang (43)

Tanggung Jawab 10 8 Dua item dibuang (5,65)

Kekompakan Kerja 10 10 Seluruh item valid

Dukungan Kerja 10 9 Satu item dibuang (70)


(24)

Lampiran 7

Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Derajat Stres Kerja

Aspek dan

Konstruk Jumlah Item Nilai Reliabilitas Keterangan

Konflik Peran 10 0,898 Reliabel

Kedwiartian Peran 9 0,815 Reliabel

Beban Tugas 10 0,888 Reliabel

Beban Kesulitan 9 0,924 Sangat reliabel

Tanggung Jawab 8 0,927 Sangat reliabel

Kekompakan Kerja 10 0,931 Sangat reliabel

Dukungan Kerja 9 0,938 Sangat reliabel

STRESS KERJA 65 0,981 Sangat reliabel Case P

rocessi

10 100.0

0 .0

10 100.0 Valid

Excluded a Tot al Cases

N %

Listwise delet

variables in a.

Reliab il

.981 65

Cronbach'


(25)

Lampiran 8

Data Pribadi Guru SLB bagian C di Bandung

No. Usia Jenis

kelamin Pendidikan Status Marital Lama Kerja

1 44 P S1 MENIKAH 20

2 37 L SGPLB MENIKAH 10

3 46 P SGPLB MENIKAH 20

4 43 L S1 MENIKAH 22

5 43 P D3 MENIKAH 18

6 50 P S1 MENIKAH 23

7 43 P D3 MENIKAH 19

8 43 P D3 MENIKAH 19

9 33 P S1 MENIKAH 12

10 33 L D3 MENIKAH 10

11 49 P S1 MENIKAH 22

12 32 L S1 BELUM MENIKAH 10

13 35 P S1 MENIKAH 11

14 35 P S1 MENIKAH 13

15 44 P S1 MENIKAH 20

16 34 L S1 MENIKAH 10

17 35 L S1 MENIKAH 11

18 35 P SGPLB MENIKAH 12

19 38 P S1 MENIKAH 16

20 41 P S1 MENIKAH 11

21 36 P S1 MENIKAH 10

22 34 P S1 MENIKAH 10

23 42 P D3 MENIKAH 19

24 40 L D3 MENIKAH 16

25 39 P S1 MENIKAH 12

26 42 P SGPLB MENIKAH 14

27 39 P D3 MENIKAH 13

28 41 L S1 MENIKAH 16

29 43 P SGPLB MENIKAH 21


(26)

Lampiran 9


(27)

Lampiran 10

Gambaran Hasil Penelitian

Skor Kecerdasan Emosional dan Derajat Stres Kerja Skor Keterangan Skor Keterangan

1 130 Sedang 163 Cenderung rendah

2 124 Sedang 154 Cenderung rendah

3 148 Tinggi 116 Rendah

4 149 Tinggi 111 Rendah

5 108 Sedang 246 Cenderung tinggi

6 175 Tinggi 163 Cenderung rendah

7 145 Tinggi 133 Cenderung rendah

8 145 Tinggi 128 Rendah

9 187 Tinggi 70 Rendah

10 140 Tinggi 121 Rendah

11 147 Tinggi 97 Rendah

12 175 Tinggi 69 Rendah

13 152 Tinggi 124 Rendah

14 132 Sedang 101 Rendah

15 154 Tinggi 90 Rendah

16 152 Tinggi 81 Rendah

17 151 Tinggi 71 Rendah

18 152 Tinggi 102 Rendah

19 130 Sedang 159 Cenderung rendah

20 163 Tinggi 103 Rendah

21 115 Sedang 178 Cenderung rendah

22 151 Tinggi 121 Rendah

23 141 Tinggi 140 Cenderung rendah

24 125 Sedang 133 Cenderung rendah

25 148 Tinggi 154 Cenderung rendah

26 119 Sedang 87 Rendah

27 138 Sedang 111 Rendah

28 164 Tinggi 96 Rendah

29 143 Tinggi 87 Rendah

30 121 Sedang 104 Rendah


(28)

Lampiran 11 Aspek Stres Kerja

11.1. Tabulasi silang antara Derajat Stres Kerja dengan Aspek Stres Kerja

Derajat stres kerja yang bersumber dari dalam diri Derajat stres kerja yang bersumber dari kelompok kerja Aspek

Stres Kerja Derajat

Stres Kerja

Rendah Cenderung Rendah

Cenderung

Tinggi Tinggi Rendah

Cenderung Rendah

Cenderung

Tinggi Tinggi

Rendah 20 66,67% - - - 20 66,67% - - -

-Cenderung

Rendah 8 26,67% 1 3,33% - - - - 8 26,67% 1 3,33% - - -

-Cenderung Tinggi - - 1 3,33% - - - 1 3,33% - - -


(29)

-11.2. Tabulasi silang antara Aspek Stres Kerja dengan Kecerdasan Emosional

Kecerdasan Emosional Aspek

Stres Kerja

Rendah Sedang Tinggi

Rendah - - 8 80% 20 100%

Cenderung Rendah - - 2 10% -

-Cenderung Tinggi - - -

-Derajat stres kerja yang bersumber dari dalam diri

Tinggi - - -

-Total - - 10 100% 20 100%

Rendah - - 8 88,89% 20 95%

Cenderung Rendah - - 1 11,11% 1 5%

Cenderung Tinggi - - -

-Derajat stres kerja yang bersumber dari kelompok kerja

Tinggi - - -


(30)

Lampiran 12

Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja dengan Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

12.1. Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja dengan Aspek-aspek Kecerdasan Emosional pada Guru yang memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi

Kemampuan Mengenali Emosi Diri

Kemampuan Mengelola Emosi Diri

Kemampuan Memotivasi Diri Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain/ Empati

Kemampuan Membina Hubungan Aspek pada

KE tinggi Derajat Stres Kerja

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rend

ah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

Rendah 3 15% 13 65% - - - - 1 5% 15 75% - - 2 10% 14 70% - - 3 15% 13 65% - - 2 12,5% 14 87,5%

Cenderung

Rendah - - 4 20% - - - - 1 5% 3 15% - - - - 4 20% - - - - 4 20% - - 1 25% 3 75%

Cenderung

Tinggi - - - -Tinggi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


(31)

-12.2. Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja dengan Aspek-aspek Kecerdasan Emosional pada Guru yang memiliki

Kecerdasan Emosional Sedang

Kemampuan Mengenali Emosi Diri

Kemampuan Mengelola Emosi Diri

Kemampuan Memotivasi Diri

Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain/ Empati

Kemampuan Membina Hubungan

Aspek pada KE sedang Derajat Stres Kerja

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

Rendah - - 4 40% - - - - 4 40% - - - - 2 20% 2 20% - - 1 10% 3 3% - - 3 30% 1 25%

Cenderung

Rendah - - 5 50% - - - - 5 50% - - - - 5 50% - - - - 3 30% 2 20% - - 5 50% - -Cenderung

Tinggi - - 1 10% - - - - 1 10% - - - - 1 10% - - - - 1 10% - - - - 1 10% - -Tinggi - - -


(32)

-12.3. Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja dengan Kecerdasan Intrapribadi dan Kecerdasan Antarpribadi

Kecerdasan Emosional Tinggi Kecerdasan Emosional Sedang

Kecerdasan Intrapribadi Kecerdasan Antarpribadi Kecerdasan Intrapribadi Kecerdasan Antarpribadi

Kecerdasan Emosional Derajat

Stres Kerja

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

Rendah - - 3 15% 13 65% - - 1 5% 15 75% - - 4 40% - - - - 3 30% 1 10%

Cenderung Rendah - - 1 5% 3 15% - - - - 4 20% - - 5 50% - - - - 5 50% - -Cenderung Tinggi - - - 1 10% - - - - 1 10% - -Tinggi - - -


(33)

-Lampiran 13

Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja dengan Data Penunjang Keseluruhan

13.1. Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja Guru dengan Terwujudnya Harapan Guru (Goal)

Terwujudnya Harapan Guru Derajat Stres Kerja Sudah

Terwujud

Sebagian Sudah Terwujud

Belum Terwujud

Total

Rendah - 0% 20 66,67% - 0% 20 66,67%

Cenderung Rendah - 0% 9 30% - 0% 9 30%

Cenderung Tinggi - 0% 1 3,33% - 0% 1 3,33%

Tinggi - 0% - 0% - 0% - 0%

Total - 0% 30 100% - 0% 30 100%

13.2. Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja Guru dengan Keyakinan dalam Pengoptimalan Kemampuan Anak Didik (Beliefs)

Keyakinan dalam Pengoptimalan Kemampuan Anak Didik Derajat Stres Kerja

Yakin Kurang Yakin Tidak Yakin

Total

Rendah 19 63,33% 1 3,33% - 0% 20 66,67%

Cenderung Rendah 8 26,67% 1 3,33% - 0% 9 30%

Cenderung Tinggi - 0% 1 3,33% - 0% 1 3,33%

Tinggi - 0% - 0% - 0% - 0%

Total 27 90% 3 10% - 0% 30 100%

13.3. Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja Guru dengan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Derajat Stres Kerja

SGPLB D3 S1

Rendah 4 80% 3 42,86% 13 72,22%

Cenderung Rendah 1 20% 3 42,86% 5 27,78%

Cenderung Tinggi 1 14,28% - 0%

Tinggi - 0% - 0% - 0%


(34)

13.4. Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja Guru dengan Penghayatan terhadap Pengetahuan dan Pengalaman dalam Mengajar

Penghayatan terhadap Pengetahuan dan Pengalaman dalam Mengajar

Derajat Stres Kerja

Lebih dari

Cukup Cukup Masih Kurang

Total

Rendah - 0% 7 23,33% 13 43,33% 20 66,67%

Cenderung Rendah 1 3,33% - 0% 8 26,67% 9 30%

Cenderung Tinggi - 0% 1 3,33% - 0% 1 3,33%

Tinggi - 0% - 0% - 0% - 0%

Total 1 3,33% 8 26,66% 21 70% 30 100% 13.5. Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja Guru dengan Kemampuan

dalam menghadapi Kesulitan Mengajar

Kemampuan dalam menghadapi Kesulitan Mengajar

Derajat Stres Kerja

Tidak Merasa Kesulitan Sedikit Kesulitan Sangat Kesulitan Total

Rendah 15 50% 4 13,34% 1 3,33% 20 66,67%

Cenderung Rendah 3 10% 6 20% - 0% 9 30%

Cenderung Tinggi - 0% 1 3,33% - 0% 1 3,33%

Tinggi - 0% - 0% - 0% - 0%

Total 18 60% 11 36,67% 1 3,33% 30 100% 13.6. Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja Guru dengan Penghayatan

terhadap Beban Mengajar

Penghayatan terhadap Beban Mengajar Derajat Stres Kerja Tidak Merasa

Terbebani Sedikit Terbebani Sangat Terbebani Total

Rendah 18 60% 2 6,67% - 0% 20 66,67%

Cenderung Rendah 8 26,67% 1 3,33% - 0% 9 30%

Cenderung Tinggi - 0% 1 3,33% - 0% 1 3,33%

Tinggi - 0% - 0% - 0% - 0%

Total 26 86,67% 4 13,33% - 0% 30 100%

13.7. Tabulasi Silang antara Derajat Stres Kerja Guru dengan Masa Kerja

Masa Kerja (tahun) Derajat Stres Kerja

10-15 16-20 21-25

Rendah 13 81,25% 4 40% 3 75%

Cenderung Rendah 3 18,75% 5 50% 1 25%

Cenderung Tinggi - 0% 1 10% - 0%

Tinggi - 0% - 0% - 0%


(35)

Lampiran 14

Tabulasi Silang antara Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah dengan Data Penunjang

14.1. Tabulasi Silang antara Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah dengan Terwujudnya Harapan Guru (Goal)

Terwujudnya Harapan Guru Sudah Terwujud Sebagian Sudah Terwujud Belum Terwujud Total Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah

- - 4 100% - 0% 4 100%

14.2. Tabulasi Silang antara Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah dengan Keyakinan dalam Pengoptimalan Kemampuan Anak Didik (Beliefs)

Keyakinan dalam Pengoptimalan Kemampuan Anak Didik Yakin Kurang Yakin Tidak Yakin

Total Kecerdasan

Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah

4 100% - 0% - 0% 4 100%

14.3. Tabulasi Silang antara Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah dengan Penghayatan terhadap Pengetahuan dan Pengalaman dalam Mengajar

Penghayatan terhadap Pengetahuan dan Pengalaman dalam Mengajar

Lebih dari

Cukup Cukup Masih Kurang

Total

Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah


(36)

14.4. Tabulasi Silang antara Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah dengan Kemampuan dalam menghadapi Kesulitan Mengajar

Kemampuan dalam menghadapi Kesulitan Mengajar

Tidak Merasa Kesulitan

Sedikit Kesulitan

Sangat Kesulitan

Total

Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah

3 75% 1 25% - 0% 4 100%

14.5. Tabulasi Silang antara Kecerdasan Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah dengan Penghayatan terhadap Beban Mengajar

Penghayatan terhadap Beban Mengajar Tidak Merasa

Terbebani

Sedikit Terbebani

Sangat Terbebani

Total Kecerdasan

Emosional Sedang dan Derajat Stres Kerja Rendah


(37)

Lampiran 15

Harapan Guru Sekolah Luar Biasa bagian C di Bandung

Anak didik dapat hidup mandiri, bisa menolong dirinya sendiri, mengurus dirinya sendiri dan mengurus keperluan sehari-hari yang sederhana, menjaga diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain.

Anak didik bisa menyesuaikan diri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan keluarga, dan masyarakat di lingkungan sekitarnya.

Anak didik dapat mengembangkan keterampilan dengan menggunakan sisa potensi yang dimiliki anak didik.

Anak didik memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Dapat mengembangkan potensi anak didik seoptimal mungkin

Terdapat perubahan perilaku pada diri anak didik berupa kemajuan atau perkembangan dalam kemampuannya.

Anak didik dapat bekerja seperti orang pada umumnya. Anak didik memiliki penghasilan sendiri.

Anak didik dapat berguna bagi masyarakat, negara, dan agama.  Anak didik bisa merasa bahagia.

Dapat mengembangkan model pembelajaran bagi anak luar biasa. Pemerintah segera memikirkan lapangan kerja kepada alumni SLB.

Adanya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan (alat peraga, buku sumber, dll).


(38)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang Masalah

Pendidikan Luar Biasa (PLB) merupakan bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional yang secara khusus diselenggarakan bagi anak didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental dan atau kelainan perilaku. (Mangunsong, 1998). Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa ditujukan untuk membantu anak didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994:7)

Guru memegang peranan penting dalam pendidikan. Tugas guru sebagai tenaga profesional meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Pelajaran apapun yang diberikan hendaknya dapat menjadi motivasi bagi anak didik dalam belajar (Drs. Moh. Uzer Usman, 2005). Namun lain halnya pada guru-guru Sekolah Luar Biasa (SLB), disamping tugas tersebut, guru SLB akan memilih bahan pelajaran dan metoda yang disesuaikan dengan kondisi anak “luar biasa”. Anak

“luar biasa atau berkelainan” adalah anak yang menyimpang dari rata-rata anak

normal dalam hal ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik, dan neuromuscular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasinya (Mangunsong, 1998). Kondisi anak luar biasa membuat penyampaian materi pelajaran yang dilakukan guru SLB menjadi jauh lebih sulit daripada guru dari


(39)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 2

sekolah biasa, sehingga pendidikan mengenai pengembangan perilaku menjadi jauh lebih ditekankan oleh guru SLB.

SLB bagian C dikhususkan bagi anak tunagrahita yang mampu didik dan mampu menerima pendidikan, dengan IQ antara 50-75. Dalam menjalankan tugasnya di sekolah, guru SLB/C berperan sebagai pengajar sekaligus mendidik anak tunagrahita. Dalam perannya sebagai pengajar, guru berpegang pada kurikulum untuk mencapai tujuan kurikuler yang ditargetkan (Natawidjaya, 1996). Sedangkan dalam perannya sebagai pendidik, guru perlu memperhatikan kebutuhan serta terbatasnya kemampuan yang dimiliki anak didik (Astati, 2001). Anak tunagrahita memiliki beberapa karakteristik yang khas, antara lain kesulitan dalam mengarahkan atensi, rendahnya daya ingat, kesulitan dalam mengatur tingkah lakunya sendiri (self regulation), perkembangan bahasa, sosial, dan kecakapan motorik yang terhambat, kesulitan dalam mempertimbangkan konsekuensi dari suatu perbuatan (Mangunsong, 1998). Guru SLB/C diharuskan dapat memahami keterbatasan anak didik tersebut dan memenuhi kebutuhan anak didik mereka. Guru perlu berusaha agar anak didik tertarik untuk belajar dan mendidik anak didik agar minimal dapat memelihara dan menjaga dirinya sendiri, dengan berusaha tidak menyinggung perasaan anak didik yang sangat peka, agar proses pengajaran dan pendidikan tidak terganggu.

Berdasarkan wawancara terhadap 5 guru, 80% mengatakan bahwa mereka terkadang dihadapkan oleh kondisi anak didik yang lambat menerima pelajaran dibandingkan teman sekelasnya atau adanya kejadian-kejadian yang tidak terduga di dalam kelas yang membuat mereka mengalami konflik antara mengikuti keadaan anak didik sehingga penyampaian materi menjadi terhambat, atau tetap


(40)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 3

mengajarkan materi sesuai target kurikulum, namun masih ada anak didik yang belum mengerti dan kurang diperhatikan. Hal ini menurut Ivancevich dan Matteson (2002) disebut sebagai konflik peran, yang dapat menjadi sumber dari

stres kerja yang berasal dari individu.

Selain itu berdasarkan wawancara terhadap 5 orang guru, 100% guru tersebut mengatakan dengan kondisi anak didik yang memiliki keterbatasan dalam mengurus dirinya sendiri dan mempertimbangkan hal yang baik dan yang benar, terkadang membuat guru mengalami ketidakjelasan mengenai tindakan yang harus mereka lakukan ketika tengah mengajar karena anak didik bisa dengan tiba-tiba keluar kelas, mengganggu atau menyerang teman ataupun tidak mau belajar. Keterbatasan yang dimiliki anak didik membuat pendidikan agar anak didik bisa disiplin dan mandiri menjadi hal yang jauh lebih penting. Hal ini dapat membuat guru mengalami ketidakjelasan mengenai perannya pada saat mereka menjalani tugasnya sebagai pengajar sekaligus pendidik, kondisi ini menurut Ivancevich dan Matteson disebut sebagai kedwiartian peran, dimana kedwiartian ini pun merupakan salah satu kondisi yang dapat menimbulkan stres kerja yang bersumber dari individu.

Berdasarkan wawancara, 80% dari 5 guru diharuskan mengajar beberapa tingkatan dalam satu kelas, bahkan mengajar anak didik dalam jumlah lebih dari lima orang, dimana melebihi jumlah seharusnya. Hal ini dapat menjadi beban kerja yang berlebihan, yang menurut Ivancevich dan Matteson, dapat menjadi sumber stres kerja. Dari hasil wawancara, 60% dari 5 guru masih mengalami kesulitan dalam mengajar dan mendidik anak didik walaupun rentang waktu masa kerja mereka cukup lama. Kondisi ini menurut Ivancevich dan Matteson


(41)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 4

merupakan beban yang berlebihan pada guru dari adanya kesulitan yang dihadapi saat mengajar dan mendidik, sehingga dapat menimbulkan stres kerja yang bersumber dari individu.

Selama di sekolah guru tidak hanya bertanggung jawab atas anak-anak didiknya, tetapi juga terhadap orang tua anak didik. Berdasarkan wawancara terhadap 5 orang guru, 60% terkadang merasa bingung pada saat harus mempertanggungjawabkan kondisi anak didik kepada orang tuanya, apalagi jika orang tua anak didik tersebut menuntut agar anak didiknya segera mengalami peningkatan dalam kemampuannya, sedangkan hal tersebut sulit untuk diwujudkan. Tanggung jawab terhadap orang lain seperti ini juga menurut Ivancevich dan Matteson bisa menjadi sumber stres kerja yang berasal dari

individu.

Demikian pula berdasarkan wawancara terhadap 5 orang guru mengenai hubungan guru dengan rekan kerja dan pihak sekolah, yang merupakan kelompok dimana guru bekerja, 40% orang guru mengatakan antara rekan kerjanya kurang kompak sehingga sulit diajak bekerjasama. Berdasarkan wawancara pula diperoleh bahwa 60% dari 5 orang guru merasa kurangnya dukungan dari rekan kerja pada saat mereka mengalami kesulitan dalam mengajar. Kurangnya kekompakan dan dukungan dari kelompok kerja menurut Ivancevich dan Matteson dapat menimbulkan stres kerja yang bersumber dari kelompok kerja

yang dalam hal ini terdiri dari kepala sekolah, rekan kerja dan karyawan sekolah. Beberapa sumber stres kerja tersebut dapat dinilai guru sebagai kondisi yang tidak menyenangkan namun tidak memberikan dampak apapun pada guru atau guru menilainya sebagai tantangan, maka kondisi-kondisi tersebut tidak akan


(42)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 5

menimbulkan stres kerja. Namun bila kondisi tersebut dinilai guru tidak seimbang dengan sumber daya yang dimilikinya sehingga mengancam atau membahayakan kesejahteraan guru, maka guru dapat menghayati adanya stres (Lazarus, 1976).

Dalam menilai kondisi yang dapat menimbulkan stres kerja, guru dipengaruhi oleh harapan guru untuk bisa mengoptimalkan kemampuan anak didik dan keyakinan guru terhadap sejauhmana guru merasa mampu mengatasi setiap kesulitan yang dihadapi selama mengajar dan mendidik. Namun berdasarkan wawancara, nyatanya saat guru menghadapi anak didik dengan berbagai karakteristik khasnya, harapan guru tersebut sulit untuk dicapai dan tidak mungkin dalam waktu yang singkat. Begitupun dengan keterbatasan anak didik dalam menangkap materi pelajaran membuat guru harus menjalani rutinitas mengajar materi yang sama berulang kali setiap harinya dalam rentang pengalaman kerja yang cukup lama, lambatnya kemampuan anak didik dalam menerima pelajaran dapat membuat target kurikulum yang ditetapkan biasanya tidak secara tepat waktu dapat terpenuhi, serta kesulitan anak didik dalam mempertimbangkan konsekuensi dari suatu perbuatan, membuat tugas mengajar guru terkadang menjadi terhambat karena adanya kejadian-kejadian yang tidak terduga, sulit diatasi dan sulit dikendalikan. Kondisi ini menuntut guru untuk terus meningkatkan kemampuan mengajar dan mendidik, sehingga guru lebih yakin dapat memprediksi, mengatasi dengan segera dan mengendalikan setiap permasalahan yang terjadi pada anak didik di sekolah.

Saat kondisi diatas menimbulkan stres kerja, guru dapat mengalami respon fisiologis antara lain kelelahan, pusing, hilangnya nafsu makan, mudah sakit, dan sulit tidur. Hal ini dapat mengganggu efektivitas guru dalam mengajar di kelas.


(43)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 6

Selain itu respon psikologis yang dapat muncul antara lain terganggunya konsentrasi saat mengajar, dan munculnya reaksi emosi yang negatif seperti merasa jenuh, bosan, kesal, marah, kecewa, cemas, dan sedih. Berdasarkan wawancara, guru mengaku bahwa reaksi emosi ini seringkali muncul selama guru mengajar dan mendidik. Namun ketika di kelas guru menunjukkan emosi yang sangat berbeda seolah-olah tidak merasakan adanya emosi-emosi yang negatif. Hal tersebut terjadi karena menurut para guru, perasaan anak didik yang sangat peka membuat guru sangat berhati-hati mengekspresikan emosinya agar anak didik mereka tidak merasa tersinggung. Di lain pihak ada pula guru yang tidak segan-segan memarahi anak didik agar mau menurut, walaupun kemarahan tersebut tidak berlangsung lama, tetapi hal ini justru terkadang membuat anak didik menjauhi guru tersebut sehingga mengganggu proses belajar mengajar.

Kemampuan guru untuk mengolah emosi yang ditimbulkan oleh stres kerja agar dapat mengendalikan emosi dan mengungkapkannya secara tepat tergantung pada bagaimana tingkat setiap aspek kecerdasan emosional yang dimiliki guru. Berdasarkan wawancara terhadap 5 orang guru SLB/C diketahui bahwa 100% guru menyadari munculnya suasana hati yang tidak menyenangkan saat menilai berbagai sumber stres baik yang berasal dari dalam diri maupun kelompok kerjanya. Berdasarkan wawancara terhadap 5 orang guru SLB/C diketahui bahwa 100% guru menyatakan bahwa mereka merasa tidak ada lagi yang bisa mereka perbuat untuk menghadapi perasaan yang tidak menyenangkan tersebut, sehingga mereka memilih pasrah. Artinya, ketika emosi yang tidak menyenangkan tersebut muncul saat mengajar dan mendidik di kelas, guru memilih untuk menekan emosinya tersebut. Dari hasil wawancara diketahui hanya


(44)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 7

60% dari 5 orang guru yang memandang emosi yang tidak menyenangkan yang dirasakannya tersebut digunakan sebagai pemicu untuk meningkatkan motivasi mengajar. Hal ini dapat membuat kondisi yang tidak menyenangkan selama mengajar dan mendidik, dapat dinilai sebagai tantangan yang dapat memunculkan emosi yang lebih positif. Selain itu 80% dari 5 orang guru, menyatakan mampu untuk memahami dan membina hubungan yang baik dengan anak didik dan rekan kerja selama mereka melakukan tugas mengajar dan mendidik. Hal ini dapat memudahkan guru untuk memperoleh dukungan sosial saat guru menilai berbagai sumber stres baik yang berasal dari dalam diri maupun kelompok kerjanya. sebagai kondisi yang tidak menyenangkan, sehingga dapat mengurangi tekanan emosional guru sebelum hal ini menimbulkan ketegangan pada guru dan memudahkan guru untuk melakukan penilaian kembali terhadap kondisi-kondisi tersebut.

Kemampuan-kemampuan yang tercakup dalam kecerdasan emosional sangat diperlukan oleh setiap guru ketika menjalankan tugas mengajar dan mendidik. Sebagaimana menurut Dr. E. Mulyasa, M. Pd., jika guru mengharapkan pencapaian kualitas pendidikan dan dan pembelajaran di sekolahnya secara optimal, perlu diupayakan bagaimana membina diri untuk memiliki kecerdasan emosional yang stabil. Melalui kecerdasan emosional diharapkan semua unsur yang terdapat dalam pendidikan dan pembelajaran dapat memahami diri dan lingkungannya secara tepat, memiliki rasa percaya diri, tidak iri hati, dengki, cemas, takut, murung, tidak mudah putus asa, dan tidak mudah marah (Menjadi Guru Profesional, 2005, hal 162)


(45)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 8

Begitupun dalam menilai berbagai sumber stres baik yang berasal dari dalam diri maupun kelompok kerjanya, kecerdasan emosional guru turut berperan dalam penghayatan terhadap derajat stres kerjanya. Kemampuan dalam kecerdasan emosional dapat mengurangi tekanan emosional yang dialami guru saat menilai setiap kondisi yang dapat menimbukan stres kerja selama mengajar dan mendidik, yang kemudian dapat menjauhkan guru tersebut dari stres kerja sehingga dapat berkonsentrasi dan pikirannya tetap jernih.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengkaji apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru sekolah luar biasa bagian C di Bandung.

1.2. Identifikasi masalah

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Seberapa jauh hubungan antara kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru sekolah luar biasa bagian C di Bandung

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dalam penelitian ini antara lain untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru sekolah luar biasa bagian C di Bandung.


(46)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 9

1.3.2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat seberapa jauh hubungan antara kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru sekolah luar biasa bagian C di Bandung.

1.4. Kegunaan

1.4.1. Kegunaan Ilmiah

Penelitian ini dapat digunakan untuk memahami bahasan mengenai psikologi pendidikan khususnya mengenai pentingnya kecerdasan emosional dalam menentukan derajat stres kerja dalam pendidikan luar biasa.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada guru Sekolah Luar Biasa Bagian C mengenai manfaat kecerdasan emosional agar guru mampu mengendalikan emosi dan mengungkapkan emosinya secara tepat selama menjalankan tugas mengajar dan mendidik.

Selain itu memberikan informasi yang bermanfaat kepada pihak Sekolah Luar Biasa Bagian C guna mengantisipasi munculnya stres kerja yang dapat menghambat keefektifan guru dalam mengajar dan mendidik dengan pemberian informasi mengenai pentingnya kecerdasan emosional dalam proses pengajaran dan pendidikan.


(47)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 10

1.5. Kerangka Pemikiran

Pendidikan bagi anak-anak tunagrahita memerlukan suatu keahlian khusus berupa penyesuaian metoda dan progam pengajaran, terutama bagi guru-guru yang mengelola proses belajar mengajar (Mangunsong, 1998:121). Dalam perannya mengajar dan mendidik anak tunagrahita, guru SLB/C perlu memahami dan mampu menghadapi setiap aspek karakteristik anak didik yang khas, yaitu kesulitan dalam mengarahkan atensi; daya ingat yang terbatas; kesulitan dalam mengatur perilakunya sendiri (self regulation); terhambat dalam perkembangan bahasa, perkembangan sosial, serta kecakapan motorik; lambat dalam memberikan reaksi; dan kesulitan dalam mempertimbangkan konsekuensi dari suatu perbuatan (Natawidjaya,1996).

Dalam mengajar, guru SLB/C bertugas mengajarkan keterampilan dasar belajar, meliputi membaca, menulis, matematika dan mengembangkan kemampuan keterampilan anak didik (Kirk, 2001). Adanya keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, membuat guru perlu memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan pemahaman kebutuhan anak tunagrahita dan kemampuan dalam menanggapi secara tepat kebutuhan anak tunagrahita dalam mengatasi persoalan yang dihadapinya, sehingga guru dapat membimbing anak didiknya ke arah yang positif dan mencapai tingkat kemampuan yang optimal. Di samping tugas mengajar, guru SLB/C juga bertugas mendidik anak didiknya untuk dapat mengembangkan kebiasaan hidup sehat, kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengendalikan emosional dan mengembangkan rasa aman di sekolah, serta kemampuan mendorong diri sendiri untuk dapat melakukan suatu kegiatan yang produktif (Kirk, 2001).


(48)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 11

Dalam menjalankan tugas, guru dapat menilai berbagai kondisi yang dihadapinya selama mengajar dan mendidik sebagai sumber stres kerja. Menurut Ivancevich & Mattesson (2002), hal-hal yang dinilai dapat menimbulkan stres

kerja bisa bersumber pada individu dan kelompok kerja. Berkaitan dengan tugas mengajar dan mendidik, kondisi individu yang dapat menjadi sumber stres kerja bagi guru antara lain, konflik peran yang merupakan konflik yang berasal dari dua atau lebih tekanan peran sebagai pengajar dan pendidik; kedwiartian peran khususnya sebagai pendidik; beban kerja yang berlebihan yang dilihat dari banyaknya tugas mengajar dan mendidik yang harus guru selesaikan; beban yang berlebihan yang dilihat dari tingkat kesulitan yang dirasakan oleh guru saat mengajar dan mendidik; serta tanggung jawab guru terhadap anak didik dan orangtua anak didik. Selain itu kondisi kelompok kerja yang dinilai dapat menimbulkan sumber stres kerja antara lain kekompakan guru dengan rekan kerja sesama guru, karyawan, dan kepala sekolah; serta dukungan kelompok kerja khususnya dari rekan kerja sesama guru, dan pihak sekolah.

Penilaian yang dilakukan guru tersebut terhadap berbagai sumber stres kerja disebut sebagai penilaian kognitif. Proses penilaian kognitif adalah proses yang menentukan mengapa dan dalam keadaan apa suatu interaksi antara individu dengan lingkungan menimbulkan stres (Lazarus & Folkman, 1984). Dalam menilai berbagai sumber stres kerja, adakalanya penilaian guru dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain meliputi harapan guru terhadap anak didik, keyakinan akan kemampuannya mengajar dan mendidik anak didik, serta sumberdaya yang dimiliki oleh guru yang meliputi intelektual, motivasi, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja. Sedangkan yang termasuk


(49)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 12

faktor eksternal antara lain seberapa besar tuntutan yang dirasakan oleh guru atas tugas-tugas mengajar dan mendidik yang dijalaninya, dan sejauhmana tugas mengajar dan mendidik yang dilakukan guru dapat dikendalikan, diprediksi, dan diatasi (Lazarus,1999).

Penilaian kognitif yang dilakukan guru tersebut terhadap berbagai sumber stres kerja merupakan penilaian primer. Pada penilaian primer ini, guru dapat menilai berbagai sumber stres kerja tidak memberikan implikasi apapun pada guru (irrelevant) ataupun diartikan secara lebih positif (positive benign), sehingga tidak dinilai mengancam dan tidak dihayati sebagai stres kerja. Namun jika berbagai sumber stres kerja tersebut dinilai tidak seimbang dengan sumberdaya yang dimilikinya dan dapat dinilai guru sebagai ancaman, bahaya, atau tantangan, maka guru dapat menghayati adanya stres (Lazarus & Folkman, 1984).

Stres kerja merupakan respon adaptif yang ditentukan oleh karakteristik individual dan atau proses psikologis, yang merupakan konsekuensi dari berbagai tindakan, situasi, atau kejadian yang berisi tuntutan tertentu baik secara fisik dan atau psikologis (Ivancevich & Mattesson, 1980). Dengan begitu kondisi di dalam diri guru dan berbagai kejadian yang dihadapi guru selama menjalankan tugas mengajar dan mendidik di sekolah dapat menjadi sumber stres kerja bagi guru, sehingga menimbulkan respon fisiologis dan psikologis yang merupakan respon adaptif guru terhadap tekanan yang dihadapinya saat mengajar dan mendidik.

Penilaian guru terhadap berbagai sumber stres kerja akan menimbulkan penghayatan emosi yang berbeda pada setiap guru. Jika kondisi tersebut dinilai dapat menimbulkan stres, selanjutnya akan menimbulkan tidak hanya respon fisiologis, tetapi juga respon psikologis berupa respon emosional khususnya emosi


(50)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 13

yang negatif (Lazarus, 1999). Stres kerja dapat mempengaruhi stabilitas emosi, dan akan mendorong seseorang yang mengalaminya untuk berusaha pulih dari kondisi tersebut (Ivancevich & Mattesson, 2002). Jika emosi yang muncul adalah emosi yang tidak menyenangkan, maka guru akan berusaha untuk lepas dari emosi yang tidak menyenangkan tersebut sebelum menimbulkan ketegangan pada diri guru dan guru akan berusaha pula untuk dapat mengungkapkannya secara tepat, sehingga tidak mengganggu efektivitas guru dalam mengajar dan mendidik. Untuk itu dibutuhkan kemampuan untuk mengolah emosi saat guru menilai berbagai berbagai sumber stres kerja sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman (2001) sebagai kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan-kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati; mengatur suasana hati, menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berharap (Goleman, 2001: 45). Kecerdasan emosional ini diuraikan ke dalam lima ciri kemampuan, yaitu :

1. Mengenali emosi diri : kesadaran diri—mengenali perasaan sewaktu-waktu perasaan itu terjadi, yang merupakan dasar dari kecerdasan emosional.

2. Mengelola emosi : menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat

3. Memotivasi diri sendiri : memimpin emosi untuk mencapai tujuan yang merupakan hal yang penting untuk menaruh perhatian, untuk memotivasi dan menguasai diri sendiri serta berkreasi.


(51)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 14

4. Mengenali emosi orang lain/empati : kemampuan bergantung pada kesadaran

diri emosional, merupakan dasar “keterampilan bergaul”.

5. Membina hubungan dengan orang lain: keterampilan mengelola emosi orang lain (Goleman, 2001, hal 58-59)

Seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi ditandai oleh kecerdasan intrapribadi yang meliputi kemampuan menyadari emosi diri, kemampuan mengelola emosi diri dan memotivasi diri yang tinggi dan diimbangi pula oleh kecerdasan antarpribadi yang meliputi kemampuan mengenali emosi orang lain atau empati dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain yang juga tinggi. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu untuk mengungkapkan perasaaan dalam takaran yang wajar, memandang dirinya secara positif, dan kehidupan memberikan makna pada mereka, melibatkan diri dengan permasalahan untuk memikul tanggung jawab dan memiliki pandangan moral, bersikap tegas, mudah bergaul, ramah, dan mampu menyesuaikan diri dengan beban stres (Goleman, 2001).

Apabila guru cukup mampu menggunakan kecerdasan emosionalnya, maka ketika guru menilai berbagai kondisi diri dan kelompok kerjanya dapat menimbulkan stres kerja, guru akan mengevaluasi dirinya atau melakukan penilaian sekunder dengan menggunakan kecerdasan emosionalnya kemudian melakukan penilaian kembali (reappraisal) terhadap diri dan kelompok kerja, sehingga setiap kondisi baik di dalam diri dan kelompok kerja dinilai secara lebih positif dan tekanan emosi yang dirasakannya pun berkurang. Hal ini membuat derajat stres kerja menjadi lebih rendah. Sebagaimana yang diungkapkan Silvert & Wortman (dalam Lazarus & Folkman, 1984) apabila suatu pengalaman


(52)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 15

negatif dinilai sebagai suatu hal yang lebih positif, akan mengakibatkan tingkat stres lebih rendah. Sebaliknya apabila kecerdasan emosional guru kurang memadai, maka guru akan akan mengalami kesulitan menggunakan kecerdasan emosionalnya saat melakukan penilaian sekunder terhadap diri, begitu pun saat melakukan penilaian kembali terhadap diri dan kelompok kerja sehingga dapat menambah intensitas tekanan emosi yang dirasakannya. Hal ini dapat membuat derajat stres kerja yang dihayati guru semakin meningkat.


(53)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 16

Bagan Kerangka Alur Pikir (lihat di folder Gambar)


(54)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 17

1.6. Asumsi Penelitian

Berdasarkan urutan kerangka pemikiran di atas, peneliti mempunyai asumsi sebagai berikut:

Penghayatan masing-masing guru SLB/C terhadap berbagai tugas mengajar dan mendidik yang dapat menjadi sumber stres kerja berbeda-beda bergantung pada penilaian kognitifnya.

Stres kerja menimbulkan berbagai respon fisiologis dan psikologis pada guru Kecerdasan emosional meliputi kecerdasan intrapribadi dan kecerdasan

antarpribadi.

Kecerdasan emosional turut berperan dalam munculnya respon fisiologis dan psikologis pada guru saat menghadapi berbagai tugas mengajar dan mendidik yang dapat menjadi sumber stres kerja.

1.7. Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru sekolah luar biasa bagian C di Bandung.


(55)

Universitas Kristen Maranatha 77

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru SLB bagian C di Bandung. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki guru, maka derajat stres kerja yang dialami guru menjadi semakin rendah.

2. Guru yang memiliki kecerdasan emosional tinggi seluruhnya menghayati derajat stres kerja yang bersumber dari dalam diri yang tergolong rendah dan sebagian besar menghayati derajat stres kerja yang bersumber dari kelompok kerja yang tergolong rendah.

3. Sebagian besar guru yang menghayati derajat stres kerja yang rendah menunjukkan aspek-aspek kecerdasan emosional yang sebagian besar tergolong tinggi.

4. Derajat stres kerja guru yang rendah berkaitan dengan faktor internal dan eksternal yang dimiliki guru. Faktor-faktor tersebut adalah harapan guru dalam mengajar dan mendidik anak didik, keyakinan dapat mengatasi dan mengoptimalkan kemampuan anak didik, tingkat pendidikan, kemampuan dalam menghadapi kesulitan, perasaan terbebani oleh tugas mengajar dan mendidik, dan masa kerja.


(56)

Universitas Kristen Maranatha 78

5.2. Saran

Dilihat dari hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran yang diharapkan berguna bagi SLB bagian C yang terkait, penelitian sejenis, maupun penelitian lebih lanjut. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut :

5.2.1. Saran Teoritis

Melihat pentingnya informasi mengenai manfaat kecerdasan emosional dalam pengajaran dan pendidikan luar biasa, maka perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai kecerdasan emosional beserta aspek-aspeknya kaitannya dengan pengajaran dan pendidikan luar biasa. Penelitian tersebut bertujuan agar memperkaya penelitian mengenai kecerdasan emosional, khususnya bagi psikologi pendidikan.

Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan derajat stres kerja dengan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan stres kerja, agar diperoleh data yang lebih lengkap mengenai stres kerja.

5.2.2. Saran Praktis

Guru SLB bagian C disarankan untuk lebih banyak menambah pengetahuan mengenai pentingnya kecerdasan emosional agar setiap guru dapat menggunakan cara-cara yang lebih efektif dalam mengatur suasana hati yang tidak menyenangkan yang sewaktu-waktu muncul selama mengajar dan mendidik dan dapat mengungkapkannya secara lebih tepat..

Setiap Sekolah Luar Biasa Bagian C perlu mengantisipasi munculnya stres kerja yang dapat menghambat keefektifan guru dalam mengajar dan mendidik


(57)

Universitas Kristen Maranatha 79

melalui pemberian informasi mengenai manfaat kecerdasan emosional dalam proses pengajaran serta pendidikan kepada guru-guru, serta informasi terbaru mengenai perkembangan pengajaran dan pendidikan anak tunagrahita, selain itu juga perlunya diberikan informasi bagi guru mengenai bagaimana cara menghadapi berbagai permasalahan di sekolah yang berpotensi menjadi sumber stres kerja pada guru.


(58)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR PUSTAKA

Astati, Dra. M.Pd, 2001, Persiapan Pekerjaan Penyandang Tunagrahita, Bandung: CV. Pendawa

Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence : Why it can matter more than IQ. New York : Batam Books

Goleman, D. 2001. Kecerdasan Emosional : Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Ivancevich & Matteson, 2002, Organizational Behavior & Management. Ed.5. Boston : McGraw-Hill

Lazarus, R. S & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : Springer Publishing Co.

Lazarus, R. S. 1999. Stress and Emotion : New Synthesis. New York : Springer Publishing Co.

Mangunsong, Frieda, dkk. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa, Cetakan 1, Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Efektif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia

Natawidjaya, Rochman, DRS. 1982. Pengantar Pendidikan Luar Biasa untuk Sekolah Pendidikan Guru. Jakarta : Departemen P dan K

Santrock, John W., 2002, Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid II, Jakarta : Erlangga


(59)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Siegel, S. 1990. Statistik Non-Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Cetakan ke-4

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Usman, M.Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional. Edisi ke-2. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya


(60)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR RUJUKAN

Doloksaribu, Imelda F. 2002. Studi Mengenai Stres Kerja yang Dialami Guru yang Mengajar di Sekolah Luar Biasa Bagian C di Kota Bandung. Skripsi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Yuspendi, 1997. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Strategi Penanggulangan Stres pada Karyawan Grade 5 sampai Grade 8 di PT X Kodya Bandung. Skripsi Universitas Kristen Maranatha Bandung.


(1)

Universitas Kristen Maranatha 77

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dan derajat stres kerja pada guru SLB bagian C di Bandung. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki guru, maka derajat stres kerja yang dialami guru menjadi semakin rendah.

2. Guru yang memiliki kecerdasan emosional tinggi seluruhnya menghayati derajat stres kerja yang bersumber dari dalam diri yang tergolong rendah dan sebagian besar menghayati derajat stres kerja yang bersumber dari kelompok kerja yang tergolong rendah.

3. Sebagian besar guru yang menghayati derajat stres kerja yang rendah menunjukkan aspek-aspek kecerdasan emosional yang sebagian besar tergolong tinggi.

4. Derajat stres kerja guru yang rendah berkaitan dengan faktor internal dan eksternal yang dimiliki guru. Faktor-faktor tersebut adalah harapan guru dalam mengajar dan mendidik anak didik, keyakinan dapat mengatasi dan mengoptimalkan kemampuan anak didik, tingkat pendidikan, kemampuan dalam menghadapi kesulitan, perasaan terbebani oleh tugas mengajar dan mendidik, dan masa kerja.


(2)

Universitas Kristen Maranatha 78

5.2. Saran

Dilihat dari hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran yang diharapkan berguna bagi SLB bagian C yang terkait, penelitian sejenis, maupun penelitian lebih lanjut. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut :

5.2.1. Saran Teoritis

Melihat pentingnya informasi mengenai manfaat kecerdasan emosional dalam pengajaran dan pendidikan luar biasa, maka perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai kecerdasan emosional beserta aspek-aspeknya kaitannya dengan pengajaran dan pendidikan luar biasa. Penelitian tersebut bertujuan agar memperkaya penelitian mengenai kecerdasan emosional, khususnya bagi psikologi pendidikan.

Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan derajat stres kerja dengan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan stres kerja, agar diperoleh data yang lebih lengkap mengenai stres kerja.

5.2.2. Saran Praktis

Guru SLB bagian C disarankan untuk lebih banyak menambah pengetahuan mengenai pentingnya kecerdasan emosional agar setiap guru dapat menggunakan cara-cara yang lebih efektif dalam mengatur suasana hati yang tidak menyenangkan yang sewaktu-waktu muncul selama mengajar dan mendidik dan dapat mengungkapkannya secara lebih tepat..

Setiap Sekolah Luar Biasa Bagian C perlu mengantisipasi munculnya stres kerja yang dapat menghambat keefektifan guru dalam mengajar dan mendidik


(3)

Universitas Kristen Maranatha 79

melalui pemberian informasi mengenai manfaat kecerdasan emosional dalam proses pengajaran serta pendidikan kepada guru-guru, serta informasi terbaru mengenai perkembangan pengajaran dan pendidikan anak tunagrahita, selain itu juga perlunya diberikan informasi bagi guru mengenai bagaimana cara menghadapi berbagai permasalahan di sekolah yang berpotensi menjadi sumber stres kerja pada guru.


(4)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR PUSTAKA

Astati, Dra. M.Pd, 2001, Persiapan Pekerjaan Penyandang Tunagrahita, Bandung: CV. Pendawa

Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence : Why it can matter more than IQ. New York : Batam Books

Goleman, D. 2001. Kecerdasan Emosional : Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Ivancevich & Matteson, 2002, Organizational Behavior & Management. Ed.5. Boston : McGraw-Hill

Lazarus, R. S & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : Springer Publishing Co.

Lazarus, R. S. 1999. Stress and Emotion : New Synthesis. New York : Springer Publishing Co.

Mangunsong, Frieda, dkk. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa, Cetakan 1, Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Efektif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia

Natawidjaya, Rochman, DRS. 1982. Pengantar Pendidikan Luar Biasa untuk Sekolah Pendidikan Guru. Jakarta : Departemen P dan K

Santrock, John W., 2002, Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid II, Jakarta : Erlangga


(5)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Siegel, S. 1990. Statistik Non-Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Cetakan ke-4

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Usman, M.Uzer. 2005. Menjadi Guru Profesional. Edisi ke-2. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya


(6)

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR RUJUKAN

Doloksaribu, Imelda F. 2002. Studi Mengenai Stres Kerja yang Dialami Guru yang Mengajar di Sekolah Luar Biasa Bagian C di Kota Bandung. Skripsi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Yuspendi, 1997. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Strategi Penanggulangan Stres pada Karyawan Grade 5 sampai Grade 8 di PT X Kodya Bandung. Skripsi Universitas Kristen Maranatha Bandung.