Studi Korelasional Mengenai Hubungan Antara Self-Compassion dan Kecerdasan Emosional pada Guru SLB-C di Kota Bandung.

(1)

viii

Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara Self-Compassion dan Kecerdasan Emosional pada Guru SLB-C di Kota Bandung. Responden dalam penelitian ini berjumlah 76 orang. Guru SLB-C menghadapi kesulitan-kesulitan mengajar yang membuat guru membutuhkan pengelolaan emosi yang disebut dengan kecerdasaan emosional. Untuk memicu tumbuhnya kecerdasan emosional guru SLB-C membutuhkan kemampuan memberi pengertian pada diri sendiri ketika menghadapi kesulitan yang disebut dengan Self-Compassion.

Berdasarkan pengolahan data didapatkan hasil r=0,479 dengan p≤0,5, artinya Self-Compassion berkorelasi positif secara signifikan terhadap Kecerdasan Emosional pada Guru SLB-C di Kota Bandung. Penelitian ini menyarankan agar guru SLB-C menjalani pelatihan Self-Compassion Setelah menjalani pelatihan, diharapkan guru SLB-C dapat meningkatkan kecerdasan emosionalnya dalam aspek kesadaran diri, motivasi, dan keterampilan sosial.


(2)

ix

Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This research is conducted to learn about the correlation between Self-Compassion and Emotional Intelligence of SLB-C Teachers in Bandung. The respondents of this research are 76 teachers which are active teachers from 6 SLB-C in Bandung. SLB-C teachers facing a lot of teaching difficulties that make

teacher need ability to regulate one’s emotion called Emotional Intellegent. As a

result of increasing Emotional Intelligent, SLB-C teachers need abiity to handle suffering related emotions tenderly, with great interest and consciously called Self-Compassion.

Based on the data analysis, r=0,479 - p≤0,5 are obtained as a result, which mean that Self-Compassion is positively and significantly correlated towards Emotional Intelligence of the SLB-C teacher in Bandung. In the other words, the higher Self-Compassion of the SLB-C teacher in Bandung has, the more Emotional Intelligence ability of the teacher has, and vice versa. This research is suggested to the teacher of SLB-C to do some Self-Compassion training. After Self-Compassion training teacher expected increase the Emotional Intelligence in the aspects of self awareness, motivation, and social intelligence.

.


(3)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...ii

Pernyataan Orisinalitas Laporan Penelitian...iii

Pernyataan Publikasi Laporan...iv

KATA PENGANTAR...………...v

ABSTRAK...viii

ABSTRACT...ix

DAFTAR ISI...………...…………...x

DAFTAR TABEL ..………...xiii

DAFTAR BAGAN.………...ix

DAFTAR LAMPIRAN . ...xv

DAFTAR TABEL LAMPIRAN...xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……...………..……..….1

1.2. Identifikasi Masalah………...………....…....10

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian………...………...…...10

1.3.2. Tujuan Penelitian…...………...……….10 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis ...…………..………..……...10 1.4.2. Kegunaan Praktis …………...……….…..…...11


(4)

xi

Universitas Kristen Maranatha 1.5. Kerangka Pemikiran...………...………....11 1.6. Asumsi Penelitian…...………...21 1.7. Hipotesis Penelitian...22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecerdasan Emosional

2.1.1. Pengertian Kecerdasan Emosional………...23 2.1.2. Aspek Kecerdasan Emosional…………...………...24 2.1.3. Faktor –Faktor Kecerdasan Emosional ………...27 2.2. Self-Compassion

2.2.1. Pengertian Self-Compassion...29 2.2.2. Komponen-Komponen Self-Compassion

2.2.2.1. Self-Kindness versus Self-Judgment...30 2.2.2.2. Common Humanity versus feelings of isolation...31

2.2.2.3. Mindfulness versus Over-identification with painful thoughts and emotions...32

2.3. Guru Pendidikan Khusus

2.3.1. Pengertian dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus…...33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian………...37 3.2. Bagan Prosedur Penelitian…………...…………...37 3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


(5)

xii

Universitas Kristen Maranatha 3.3.2. Variabel Self-Compassion...………...…...……...40 3.4. Alat Ukur

3.4.1. Alat Ukur Kecerdasan Emosional…………...42

3.4.2. Alat Ukur Self-Compassion...44

3.4.3. Data Pribadi dan Data Penunjang ………...……....…...46

3.4.4. Validitas dan Reabilitas Alat Ukur 3.4.4.1 Validitas Alat Ukur...47

3.4.4.2. Reabilitas Alat Ukur...47

3.5. Populasi dan Karakteristik Populasi 3.5.1. Populasi Sasaran………..………...……...48

3.5.2. Karakteristik Populasi ...………...49

3.6. Teknik Analisis Data………....…………....……...49

3.7. Hipotesis Statistik...………....…………....……...49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian...50

4.1.1 Data Demografis Responden...50

4.2 Data Utama Responden...51

4.2.2. Kecerdasan Emosional...51

4.2.3. Self-Compassion...52

4.3 Uji Hipotesis...52

4.4 Pembahasan...53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan...61


(6)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran Teoretis...61

5.3 Saran Praktis...61

Daftar Pustaka………...………...……..………...63

Daftar Rujukan………...………...……....64


(7)

xiv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

3.1. Tabel Kisi – Kisi Alat Ukur Kecerdasan Emosional………...43

3.2. Tabel Sistem Penilaian Kecerdasan Emosional...44

3.3. Tabel Kisi – Kisi Alat Ukur Self-Compassion...45

3.4 Sistem Penilaian Setiap Komponen Self-Compassion...46

4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...50

4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bekerja...51

4.3 Derajat Kecerdasan Emosional Responden...51

4.4 Derajat Self-Compassion Responden...52


(8)

xv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

1.1 Bagan Kerangka Pemikiran………..….…...21


(9)

xvi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alat Ukur Self-Compassion ... xx

Lampiran 2 Alat Ukur Kecerdasan Emosional ... xxiii

Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Self-Compassion ... xxix

Lampiran 4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Kecerdasan Emosional ... xxx

Lampiran 5 Kisi-Kisi Alat Ukur Kecerdasan Emosional ... xxxi Lampiran 6 Kisi-Kisi Alat Ukur Self-Compassion ... xliv Lampiran 7 Hasil Data Mentah Kecerdasan Emosional... ... xlix Lampiran 8 Hasil Data Mentah Self-Compassion...lviii Lampiran 9 Tabulasi Silang komponen Self-Compassion dan Kecerdasan Emosional ... lxiv Lampiran 10 Tabulasi Silang Kecerdasan Emosional dan Faktor Pengaruh...lxv Lampiran 11 Distribusi Frekuensi Aspek Kecerdasan Emosional ...lxvii


(10)

xvii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL LAMPIRAN

Tabel 1 Tabulasi Silang Self-Kindness dan Kecerdasan Emosional ... lxiv Tabel 2 Tabulasi Silang Common Humanity dan Kecerdasan Emosional... lxiv Tabel 3 Tabulasi Silang Mindfullness dan Kecerdasan Emosional ... lxv Tabel 4 Tabulasi Silang Jenis Kelamin dan Kecerdasan Emosional ... lxv Tabel 5 Tabulasi Silang Lama Bekerja dan Kecerdasan Emosional ... lxvi Tabel 6 Frekuensi Kesadaran diri ... lxvii Tabel 7 Frekuensi Pengaturan diri ... lxvii Tabel 8 Frekuensi Motivasi... lxvii Tabel 9 Frekuensi Empati ... lxvii Tabel 10 Frekuensi Keterampilan Sosial ... lxvii


(11)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS). Menurut UU No. 20 Tahun 2013 tentang sistem pendidikan di Indonesia salah satu jenis pendidikan di Indonesia adalah pendidikan khusus. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS).

Pendidikan tidak lepas dari guru sebagai salah satu komponennya agar siswa bisa belajar dengan baik. Dengan kata lain guru adalah pengelola proses belajar siswa (Winkel, 1983). Guru-guru yang mengajar pada jalur pendidikan khusus disebut guru pendidikan khusus. Guru pendidikan khusus adalah tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik bagi peserta didik berkebutuhan khusus karena


(12)

2

Universitas Kristen Maranatha kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, dan/atau satuan pendidikan kejuruan (Permendiknas,2008). Guru pendidikan khusus memiliki karakteristik dan kompetensi kemampuan khusus yaitu memahami ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), mampu mengidentifikasi ABK, mampu berempati, memiliki kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik luar biasa jenis tertentu (spesialis), dan memilih keahlian sesuai dengan minat masing-masing tenaga kependidikan (anakluarbiasa.com).

Peserta didik pendidikan khusus (ABK) memiliki perbedaan karakteristik dan hambatan, untuk itu ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Di Indonesia terdapat 6 jenis Sekolah Luar Biasa yaitu A (tunanetra), SLB-B (tunarungu), SLSLB-B-C(tunagrahita), SLSLB-B-D (tunadaksa), SLSLB-B-E (tunalaras), dan SLB-F (tunaganda) (edukasi.kompasiana.com). Setiap karakteristik ABK memiliki kesulitan yang berbeda, namun pada anak tunagrahita terdapat karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan karakteristik ketunaan lainnya yaitu hambatan kognitif. Hambatan kognitif membuat anak tunagrahita sulit sekali untuk menerima pelajaran. Hal tersebut sejalan dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara kepada seorang kepala sekolah SLB-C dan seorang guru SLB-B yang juga mengajar berdampingan di sekolah SLB-C. Guru SLB-B tersebut menyatakan bahwa pada ABK tunanetra, tunadaksa, dan tunalaras, guru mendidik dan melatih anak yang


(13)

3

Universitas Kristen Maranatha secara kognitif normal hanya saja memiliki kecacatan dalam organ fisiknya, sehingga anak lebih mudah untuk diajar. Beliau juga mengatakan bahwa beliau tidak tahan dengan bau tubuh anak tunagrahita yang menyengat. Alasan ini yang membuat beliau sejak awal tidak bersedia mengajar anak tunagrahita. Hal yang serupa juga diutarakan oleh kepala sekolah di salah satu SLB-C di Kota Bandung. Beliau menyatakan bahwa dari hasil diskusi dengan beberapa kepala sekolah berbagai SLB di kota Bandung, banyak yang berpendapat bahwa kesulitan terbesar adalah mengajar siswa tunagrahita yang disebabkan oleh hambatan kognitif yang dimiliki oleh siswa tunagrahita.

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kecerdasan dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam hal kemampuan menyesuaikan dengan tugas baru, belajar dari pengalaman, berpikir abstrak, kreatif, kemampuan menilaim secara kritis, menghindari kesalahan, dan mengatasi kesulitan. Kapasitas belajar anak tunagrahita sangat terbatas khususnya pada hal-hal yang abstrak sehingga anak tunagrahita lebih banyak belajar dengan meniru apa yang dikatakan gurunya dari pada dengan pengertian. Anak tunagrahita tidak dapat mengurus diri, memelihara dan memimpin diri (Somantri,2006).

Demi memenuhi kebutuhan pendidikannya anak tunagrahita dianjurkan untuk bersekolah di SLB-C. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki anak tunagrahita, guru SLB-C menghadapi kesulitan yang besar dalam mendidik anak yang sulit sekali menangkap pelajaran.


(14)

Kesulitan-4

Universitas Kristen Maranatha kesulitan yang dialami oleh guru SLB-C terungkap melalui hasil survei awal melalui wawancara pada 11 orang guru dari 4 sekolah SLB-C di Kota Bandung dan melalui observasi pada 3 sekolah SLB-C di Kota Bandung.

Berdasarkan hasil wawancara pada 11 orang guru dari empat SLB-C di Kota Bandung diperoleh hasil sebagai berikut. Seluruh responden guru SLB-C (100%) menyatakan bahwa mereka perlu kesabaran lebih untuk mengajar anak tunagrahita yang terhambat secara kognitif. Meskipun dalam kondisi lelah ataupun sedang menghadapi masalah pribadi, guru tetap bersabar mengajarkan materi pelajaran secara terus-menerus, berulang-ulang sampai anak mengalami perubahan sedikit demi sedikit, dan menunggu berjam-jam dengan satu materi tugas karena tempo bekerja anak tunagrahita sangat lambat.

Seluruh responden guru SLB-C (100%) menyatakan bahwa mereka berpikir keras dan sekreatif mungkin untuk mengetahui bagaimana cara mengkonkritkan semua materi pelajaran yang harus diberikan di tengah kondisi kurangnya sarana dan prasarana mengajar seperti alat peraga. Ada kalanya materi pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan sulit sekali untuk dikonkritkan dan sulit untuk membuat anak mengerti materi pelajaran yang sifatnya abstrak.

Seluruh responden guru SLB-C (100%) menyatakan setiap hari guru bersiaga untuk mengamati perubahan ekspresi wajah anak dan peka terhadap perubahan perilaku anak untuk mengetahui bagaimana kondisi perasaan anak dan menentukan metode belajar seperti apa yang saat itu paling tepat untuk


(15)

5

Universitas Kristen Maranatha anak apakah dengan menyanyi, menari, duduk tenang dan mendengarkan, atau belajar sambil peregangan diluar kelas.

Seluruh responden guru SLB-C (100%) menyatakan mereka berusaha belajar cara mendekati dan memengaruhi anak secara personal karena setiap anak tunagrahita memiliki kebutuhan dan cara belajar yang berbeda-beda sampai mereka tahu bagaimana cara menenangkan anak ketika sedang tantrum. Guru SLB-C juga berusaha mempertahankan situasi kondusif dalam kelas dengan berpikir cara tetap menarik perhatian anak tunagrahita karena anak tunagrahita memiliki rentang waktu konsentrasi yang pendek.

Sebanyak 9 (82%) dari 11 orang guru menyatakan mendapat kesulitan dari orangtua murid yang tidak paham dengan kondisi anaknya dan memiliki harapan terlalu tinggi dengan kemampuan anaknya. Sehingga, orangtua murid ini sering mengeluh karena tingkat perkembangan anak yang lambat dan menyalahkan pada kurangnya kinerja guru dan mengatakan bahwa guru SLB-C tidak memberikan manfaat bagi perkembangan anak tunagrahita. Di sisi lain terdapat 2 (18%) dari 11 orang yang sudah mampu membangun hubungan baik dengan orangtua murid agar lebih berpartisipasi aktif untuk membantu pendidikan anak tunagrahita dan tidak segan mendatangi rumah muridnya satu per satu ketika orangtuanya tidak bersikap kooperatif dan aktif dengan pendidikan anak.

Sebanyak 10 (91%) orang dari 11 guru menyatakan sering disakiti oleh siswanya saat proses mengajar. Mereka disakiti dalam bentuk dipukul, dicakar, digigit, ditendang, dicengkram dengan kuat hingga menimbulkan


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha bekas pada kulit, dan ditusuk dengan pensil runcing hingga ada seorang guru yang memiliki lubang di tangannya. Ada kalanya guru merasa jenuh dan kesal dengan tingkah laku tunagrahita, sehingga ada kalanya guru menyalurkan emosi negatif mereka dengan memukul anak, membentak, meninggikan suara, dan mencubit anak dengan tujuan untuk menegur anak. Hingga terdapat seorang guru yang dikenal galak pernah mendapat kasus karena ia mencubit anak sampai memar karena menegur anak yang akan menyolok mata temannya dengan pensil tajam. Orangtua anak tersebut protes hingga memutuskan untuk pindah sekolah. Di sisi lain terdapat seorang guru (9%) yang sama-sama memiliki pengalaman disakiti oleh siswa, tetapi mampu mengelola emosi negatifnya dengan tetap tenang, sabar, dan menegur anak dengan lembut. Beliau juga menyatakan bahwa dirinya tidak pernah merasa kesal dengan anak tunagrahita.

Seluruh responden (100%) menyatakan jumlah guru pria jauh lebih sedikit dari wanita. Dalam proses belajar pun siswa jauh lebih senang berada didekat guru wanita dibandingkan guru pria. Biasanya guru pria berperan sebagai guru olahraga dan membantu guru wanita ketika ada siswa yang tantrum dan tidak bisa ditangani lagi oleh guru wanita. Sebanyak 2 (18%) dari 11 orang guru menyatakan bahwa mereka sendiri yang memilih bekerja sebagai guru SLB-C, tetapi dengan pilihan bekerja sebagai guru SLB-C mereka mendapat kecaman dari pihak keluarga, sehingga mereka harus meyakinkan keluarga dengan pilihan kerjanya. Disisi lain, sebanyak 9 (82%) dari 11 orang guru SLB-C menyatakan mendapat dukungan dari keluarganya


(17)

7

Universitas Kristen Maranatha untuk bekerja sebagai guru SLB-C. Sebanyak 3 (27%) dari 11 orang guru menyatakan bahwa pada awalnya mereka tidak berminat pada materi yang diajarkan pada pendidikan khusus sehingga mereka lebih merasakan kesulitan ketika mulai mengajar. Sebanyak 8 (73%) dari 11 orang guru menyatakan memang memilih jurusan Pendidikan Luar Biasa karena ketertarikan mereka. Berdasarkan hasil observasi pada 3 sekolah SLB-C di Kota Bandung didapatkan hasil bahwa guru tetap menunggu selama berjam-jam sampai anak tunagrahita selesai mengerjakan tugas yang diberikan, guru-guru pun begitu ekspresif dan ramah dalam mengajar. Guru SLB-C seringkali mengumbar senyum pada muridnya untuk membuat anak tetap dalam kondisi kondusif untuk belajar. Guru SLB-C yang berusaha menenangkan muridnya yang tantrum, hingga terdorong jatuh oleh anak tunagrahita. Sebagian besar guru SLB-C memiliki bekas luka pada bagian tangannya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, diperoleh gambaran bahwa guru SLB-C menghadapi kesulitan yang besar dalam mengajar.

Kesulitan-kesulitan yang tampak melalui wawancara dan observasi menimbulkan penghayatan bahwa guru perlu mengelola emosinya agar tetap dapat bertahan memenuhi tugas dan tanggung jawab mendidik anak tunagrahita, kemampuan mengelola emosi merupakan salah satu bagian dari kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2000).


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha Menurut Goleman kecerdasan emosional dapat terlihat dari lima aspek yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial. Kesadaran diri ditunjukkan ketika guru mampu menyadari bahwa menjadi guru SLB-C adalah pilihan dirinya dan merasa tertantang dengan segala kesulitan mengajar anak tunagrahita. Pengaturan diri ditunjukkan melalui kesabaran guru untuk mengajar materi pelajaran yang sama berulang-ulang dan mengelola emosinya saat disakiti oleh anak tunagrahita. Motivasi guru SLB-C ditunjukkan melalui alasan dasar mereka mau mengajar anak tunagrahita karena ingin membantu anak tunagrahita menjadi anak yang mandiri setidaknya dapat hidup tanpa ketergantungan pada orang lain. Empati guru SLB-C ditunjukkan dengan kepekaan mereka dengan perubahan ekspresi dan perilaku anak tunagrahita dalam belajar. Keterampilan sosial guru SLB-C terlihat ketika mereka mampu memengaruhi anak tunagrahita agar mau belajar, membangun hubungan kerja yang positif dengan rekan kerja, dan memengaruhi orangtua untuk berpartisipasi aktif dalam mendidik tunagrahita.

Penelitian yang dilakukan oleh (Hefferman M, Quinn Griffin MT, McNulty SR, Fitzpatrick JJ, 2010) pada perawat, menunjukkan adanya hubungan positif antara Self-Compassion dan kecerdasan emosional pada perawat yang bekerja secara langsung dengan pasien yang berada pada perawatan intensif. Penelitian ini sejalan dengan pernyataan Neff (2011) yaitu ketika individu lebih memberi pengertian kepada dirinya sendiri, individu tersebut akan lebih mampu mengelola emosinya dimasa sulit.


(19)

Self-9

Universitas Kristen Maranatha

Compassion adalah keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri

sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan kebaikan dan kepedulian pada diri sendiri, tidak menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff,2003).

Self-Compassion pada guru SLB-C Kota Bandung dapat terlihat

ketika guru tidak mengkritik diri atau menyalahkan diri secara berlebihan saat mengalami hambatan atau pun kegagalan dalam mendidik anak tunagrahita. Guru tetap percaya diri, memiliki keyakinan dalam mengajar, tetap berusaha mencari solusi dari setiap kegagalan, sehingga mereka mampu untuk menghibur diri mereka sendiri, rekan, dan murid yang membutuhkan bantuan. Guru juga menyadari bahwa kesulitan juga dialami guru-guru SLB-C lain. Hal ini membuat guru memiliki perspektif yang lebih luas dalam mengajar, sehingga dapat lebih bekerja sama dengan guru lain dalam mendidik anak tunagrahita dan lebih termotivasi untuk tetap bertahan dalam segala hal yang terjadi dalam dunia mengajarnya. Guru mampu bersadar diri untuk menghadapi kegagalannya dalam mengajar sehingga ia mampu untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan menjadi lebih mampu untuk mengatur dirinya dalam menangani emosi sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugasnya.

Berdasarkan pemaparan fenomena dan keterkaitan variabel, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.2.Identifikasi Masalah

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana hubungan antara

Self-Compassion dan Kecerdasan Emosional pada guru SLB-C di Kot a Bandung.

1.3.Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud

Untuk memperoleh gambaran mengenai derajat Self-Compassion dan derajat Kecerdasan Emosional pada guru SLB-C di Kota Bandung.

1.3.2. Tujuan

Untuk memperoleh gambaran mengenai seberapa kuat hubungan antara derajat Self-Compassion dan derajat kecerdasan emosional pada guru SLB-C di Kota Bandung.

1.4.Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoritis

Memberikan informasi mengenai hubungan antara derajat

Self-Compassion dan derajat kecerdasan emosional dalam Psikologi

Pendidikan dan Psikologi Positif.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai hubungan antara kedua variabel tersebut.


(21)

11

Universitas Kristen Maranatha 1.4.2. Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi bagi guru SLB-C melalui kepala sekolah untuk kemudian mendapatkan gambaran mengenai kecerdasan emosi dan self-compassion agar mereka dapat lebih mengenal dan melatih kecerdasan emosi dan Self-Compassionnya untuk kesuksesan di mengajar masa depan.

 Memberi informasi kepada pihak sekolah mengenai hubungan derajat Self-Compassion dan derajat kecerdasan emosional guru-guru SLB-C. Diharapkan mereka dapat mengembangkan atau mengoptimalkan kemampuan Self-Compassion dan kemampuan kecerdasan emosional mereka untuk mendukung kegiatan mengajar pendidikan khusus.

1.5.Kerangka Pemikiran

Dalam mengajar, guru SLB-C menghadapi banyak kesulitan dalam mengajar. Kesulitan tersebut antara lain guru SLB-C tetap bersabar mengajarkan materi pelajaran secara terus-menerus, dan berulang-ulang, guru-guru disakiti oleh anak muridnya yang sedang tantrum, guru berusaha keras dan sekreatif mungkin untuk mengkonkritkan semua materi pelajaran ditengah kondisi kurangnya sarana dan prasarana mengajar seperti alat peraga. Dalam kondisi lelah pun guru tetap berkonsentrasi mengamati perubahan ekspresi wajah anak dan perubahan perilaku anak untuk


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha menentukan metode belajar seperti apa yang paling tepat dilakukan saat itu. Guru SLB-C juga berusaha belajar cara mendekati dan memengaruhi anak secara personal hingga mereka tahu bagaimana cara menenangkan anak ketika sedang tantrum. Kesulitan yang dialami Guru SLB-C tidak hanya berasal dari murid tetapi juga berasal dari orangtua murid sering menyalahkan kurangnya kinerja guru dan mengatakan bahwa guru SLB-C tidak memberikan manfaat bagi perkembangan anak tunagrahita.

Untuk tetap bertahan dalam memenuhi tugas dan tanggung jawab mendidik dan menolong anak tunagrahita juga menangani kesulitan sebagai guru SLB-C, guru perlu memiliki kemampuan untuk mengasihi dirinya sendiri yang disebut dengan Self-Compassion. Self-Compassion adalah adanya keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan kebaikan dan kepedulian pada diri sendiri, tidak menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003).

Self-Compassion terdiri dari tiga komponen utama: self-kindness versus self-judgment, a sense of common humanity versus feelings of isolation, dan mindfulness versus over-identification with painful thoughts and emotions (Neff, 2003b). Komponen-komponen dalam self-compassion

saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya (Barnard & Curry, 2011). Sehingga, jika guru SLB-C memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness maka


(23)

13

Universitas Kristen Maranatha dikatakan memiliki derajat self-compassion tinggi. Jika guru SLB-C memiliki derajat yang rendah pada salah satu komponen self-kindness, common

humanity, dan mindfulness atau memiliki derajat yang tinggi pada salah satu

atau lebih dari komponen self-judgement, isolation, dan over-identification maka dikatakan memiliki derajat self compassion rendah.

Self-Kindness versus Self-Judgment. Self-Kindness adalah kemampuan

guru SLB-C untuk memahami dan menerima diri apa adanya tanpa melakukan penilaian atau self-critism terhadap kekurangan, kegagalan, dan pengalaman yang menyakitkan. Guru SLB C yang kemampuan

self-kindness tinggi adalah guru SLB – C yang mampu bersikap baik dan memahami diri sendiri tanpa melakukan penilaian atau self-critism terhadap kekurangan, kegagalan, dan pengalaman yang menyakitkan saat sedang mendidik anak tunagrahita. Self-kindness bukan hanya tentang berhenti untuk menghakimi diri saja, tetapi juga menghibur diri seperti saat menghibur rekan kerja dan murid yang membutuhkan bantuan. Guru SLB-C yang

Self-Judgment menolak perasaan, pemikiran, dorongan, perilaku, dan keberhargaan diri mereka.

Common humanity versus feelings of isolation. Common humanity

adalah kemampuan guru SLB-C untuk melihat suatu kejadian yaitu kesulitan, kegagalan, dan tantangan sebagai bagian hidup manusia dan pengalaman yang dialami semua manusia. Guru SLB-C yang memiliki common humanity yang tinggi adalah guru SLB-C yang menyadari bahwa kesulitan-kesulitan yang ia hadapi selama mengajar anak tunagrahita juga mungkin dihadapi oleh


(24)

14

Universitas Kristen Maranatha semua rekan sesama guru. Salah satu masalah terbesar dengan guru yang melakukan Self-Judgment adalah cenderung membuat diri merasa terisolasi (self-isolation). Guru SLB- C yang Self-isolation akan berfokus pada kekurangan diri sehingga tidak bisa melihat apa-apa lagi serta merasa bahwa dirinya lemah dan tidak berharga. Jika guru melihat sesuatu dalam dirinya yang tidak disukainya, maka guru akan merasa guru lain lebih sempurna dari dirinya.

Mindfullness versus Over-identification with painful thoughts and emotions. Mindfullness adalah kemampuan guru SLB-C untuk menyadari dan

menghadapi perasaan yang ia rasakan saat mengalami suatu kegagalan atau pengalaman yang menyakitkan, tanpa menekan atau melebih–lebihkan perasaannya itu. Guru SLB-C yang memiliki mindfullness yang tinggi adalah guru SLB-C yang menyadari perasaannya saat mengalami kegagalan mengajar tanpa melebih-lebihkan perasaannya tersebut. Guru SLB-C yang

Over-identification akan menunjukkan reaksi ekstrem atau reaksi berlebihan

ketika menghadapi suatu permasalahan, terbawa suasana oleh emosi-emosi negatif yang dirasakan guru.

Guru SLB-C yang memiliki Self-Compassion tinggi adalah guru SLB-C yang mampu memenuhi ketiga komponen Self-Compassion yaitu guru yang memahami dan menerima diri apa adanya tanpa melakukan kritik yang berlebihan pada dirinya, menyadari bahwa kesulitan yang ia alami juga mungkin dialami oleh guru lain, dan tidak melebih-lebihkan perasaan saat mengalami kegagalan . Guru SLB-C yang memiliki Self-Compassion yang


(25)

15

Universitas Kristen Maranatha rendah adalah guru SLB-C yang seringkali merasa terpuruk dan menghakimi dirinya sendiri setiap kali berhadapan dengan anak tuna grahita. Memiliki masalah dalam hal perhatian dan berpikir dalam bentuk tidak mampu berpikir jernih dan tenang ketika menghadapi anak tuna grahita. Menarik diri dari pergaulan masalah sosial bentuknya tidak mau bekerja sama dengan guru SLB-C lain karena merasa sendirian, dan merasa tidak bahagia dengan pekerjaannya sebagai guru SLB-C.

Menurut Neff (2011) otak manusia lebih mudah menangkap informasi yang sifatnya negatif, hal ini membuat individu cenderung lebih banyak berfokus pada informasi yang sifatnya negatif. Ketika individu dapat lebih mengasihi dirinya dengan cara memberikan pengertian pada diri, menyadari bahwa kesulitan dapat juga dialami orang lain, dan tidak melebih – lebihkan kegagalan akan membuat individu lebih mampu mengelola emosinya saat menghadapi kesulitan. Kemampuan mengelola emosi merupakan salah satu bagian dari kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi diri dengan baik dan dalam hubungan dengan orang lain. (Goleman, 2000). Kecerdasan Emosional memiliki lima aspek yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.

Aspek kesadaran diri adalah mengetahui apa yang individu rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha diri dan kepercayaan diri yang kuat. Guru SLB–C yang kesadaran dirinya tinggi adalah guru yang mampu mengenali emosi yang sedang dirasakan serta penyebabnya dan mengetahui bagaimana perasaan guru mempengaruhi kinerjanya dalam mengajar; mampu untuk belajar dari pengalaman, menyadari kelemahan dan kelebihan pada dirinya dan terbuka terhadap umpan balik; dan mampu untuk yakin dengan kemampuan diri sendiri, berani dalam menyuarakan pendapat, dan bersikap tegas dalam membuat keputusan kendati dalam situasi mengajar yang menekan.

Aspek pengaturan diri adalah menangani emosi sedemikian sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya satu gagasan, maupun pulih kembali dari tekanan emosi. Guru SLB-C yang kemampuan mengatur dirinya tinggi adalah guru yang mampu untuk mengelola emosi yang menekan dalam mengajar, tetap bersikap positif dalam situasi mengajar, dan tetap berpikir jernih dan fokus meski mendapat tekanan mengajar; mampu untuk bertindak sesuai dengan aturan pendidikan yang berlaku, mengakui kesalahan diri sendiri ketika mengajar, dan menegur rekan yang menyalahi aturan mengajar; mampu bertanggung jawab untuk memenuhi tujuan pembelajaran dan terorganisir dan cermat dalam mengajar anak tunagrahita; mampu menangani beragamnya kebutuhan anak tunagrahita, menyesuaikan diri dalam setiap situasi mengajar siswa, dan terbuka (luwes) dalam memandang setiap situasi mengajar tunagrahita; mampu mencari infomasi baru dari berbagai sumber sehubungan dengan pengajaran anak tunagrahita


(27)

17

Universitas Kristen Maranatha dan berani mengambil risiko dalam mengajar untuk mengaplikasikan informasi baru yang didapat.

Aspek motivasi adalah mampu menggunakan dorongan (energi) dalam diri untuk menggerakkan guru menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. Guru SLB-C yang bermotivasi tinggi adalah guru yang mampu meraih tujuan mengajar, berani mengambil risiko yang telah diperhitungkan demi untuk meraih tujuan mengajar, mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mengajar tunagrahita, dan terus belajar untuk meningkatkan kinerja mengajar; siap berkorban demi memenuhi tujuan pendidikan khusus, menggunakan aturan pendidikan khusus untuk mengambil keputusan dalam setiap situasi mengajar, dan aktif mencari peluang untuk memenuhi tujuan pembelajaran; mampu memanfaatkan setiap peluang mengajar anak tunagrahita dan berusaha untuk dapat menggunakan potensi anak tunagrahita secara optimal; mengajar dengan harapan sukses, dan memandang kegagalan sebagai hal yang dapat diatasi.

Aspek empati adalah mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Guru SLB-C yang berempati tinggi adalah guru yang mampu menyadari perubahan-perubahan emosi orang lain dan menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap orang lain; mampu bertindak sesuai dengan kebutuhan murid dan dengan kerelaan menawarkan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan murid ;


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap perkembangan anak tunagrahita dan memberikan pengajaran yang tepat pada waktu yang tepat pada anak tunagrahita; mampu berinteraksi dengan orang yang berbeda latar belakang dan menentang adanya sikap membeda-bedakan. Dalam penelitian ini indikator kesadaran politis tidak termasuk karena tidak sesuai dengan

setting penelitian.

Aspek keterampilan sosial adalah menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, mampu berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk memengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan bekerja sama dalam tim. Guru SLB-C yang keterampilan sosialnya tinggi adalah guru yang mampu mempersuasi orang lain dan menyesuaikan cara mengajar agar menarik perhatian murid; mampu memberi dan menerima informasi dengan ekspresi emosi yang sesuai, mendengarkan dengan baik, dan bersedia memberikan informasi mengajar kepada orangtua dan rekan guru secara utuh; mampu memandu murid dalam belajar dan menjadi teladan untuk murid dan orangtua murid; mampu mengubah hal negatif pada dirinya yang terkait dengan situasi mengajar dan menjadi pelopor perubahan murid ke arah yang positif; mampu menangani murid yang sulit diatur dan mengidentifikasikan hal-hal yang dapat memicu masalah dalam proses mengajar; mampu menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dengan orangtua murid, membangun hubungan saling percaya dengan murid, dan memelihara persahabatan dengan


(29)

19

Universitas Kristen Maranatha rekan sekerja; mampu menciptakan iklim kerja yang saling mendukung (harmonis) dan melakukan kerjasama mengajar dengan rekan kerja dan orangtua murid dalam mengajar siswa.

Penelitian yang dilakukan oleh (Hefferman dkk, 2010) menyatakan terdapat hubungan positif antara self-compassion dan kecerdasan emosional artinya semakin tinggi derajat self-compassion yang dimiliki guru SLB-C yang ditunjukkan dengan memberikan pengertian kekurangan diri saat mengalami kesulitan, menyadari bahwa kesulitan mengajar yang guru alami juga dialami oleh rekan guru lainnya, dan tidak melebih-lebihkan saat mengalami kegagalan mengajar. maka semakin mampu juga guru mengenali perasaan dirinya, mengatur emosi diri, memotivasi diri, berempati, dan membina hubungan dengan orang lain melalui kemampuan kecerdasan emosional mereka yang ditunjukkan dengan keberhasilan mereka dalam mengajar dan memenuhi panggilan hatinya dengan tetap memberikan pengertian kepada dirinya sendiri.

Bila hal sebaliknya terjadi, yaitu ketika seorang guru SLB-C melakukan Self-Judgment, feelings of isolation, dan over-identification with

painful thoughts and emotions, maka guru SLB-C akan sulit mengelola emosi

negatifnya dengan menunjukkan perilaku menarik diri, tidak dapat mengatur dirinya, tidak mampu berkomitmen dengan tugas mengajar, tidak mampu merasakan apa yang muridnya rasakan karena sibuk dengan perasaan pribadi, dan tidak mampu membangun relasi sosial yang konstruktif sehingga guru SLB- C dapat merasa cemas atau bahkan menjadi depresi.


(30)

20

Universitas Kristen Maranatha Tinggi rendahnya kecerdasan emosional pada diri guru juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang terdapat pada diri Guru SLB – C sendiri yaitu jenis kelamin dan pengalaman bekerja. Penelitian yang dilakukan Khalili (2011) menyatakan bahwa wanita memiliki kemampuan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan pria. Penelitian yang dilakukan oleh King (1999); Sutarso (1999); Wing dan Love (2001); dan Singh (2002) (dalam Sarhad, 2009) juga menunjukkan bahwa wanita memiliki kecerdasan emosi yang lebih tinggi. Goleman (1995) mengatakan wanita lebih beruntung pada lingkungan sosial yang lebih menekankan kepada emosi daripada pria. Contohnya, orang tua lebih menggunakan kata-kata yang mengandung emosi ketika bercerita tentang anak perempuan mereka daripada anak laki-laki, dan ibu juga lebih banyak memperlihatkan emosi yang bervariasi ketika berinteraksi dengan anak perempuan, sehingga anak perempuan menerima lebih banyak pelatihan pada emosi. Goleman (2000) menyatakan bahwa kecerdasan emosi lebih banyak diperoleh lewat belajar, dan terus berkembang sepanjang hidup sambil belajar dari pengalaman sendiri. Semakin lama seorang guru bekerja sebagai guru SLB-C maka semakin banyak juga pengalaman yang ia dapatkan sehingga semakin terasah juga kemampuan kecerdasan emosional dalam dirinya. Dalam penelitian ini hal yang akan dilihat adalah seberapa kuat hubungan

Self-Compassion dengan kecerdasan emosional.


(31)

21

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

1.6.Asumsi Penelitian

 Kecerdasan Emosional guru SLB-C dapat tergambar melalui 5 aspek yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.

 Guru SLB-C memiliki derajat Kecerdasan Emosional yang berbeda-beda.

 Kecerdasan Emosional yang dimiliki guru SLB-C memiliki peran Faktor :

-Jenis kelamin -Pengalaman bekerja

Self Compassion

Komponen:

-Self-Kindness - Mindfulness

-Common Humanity

Guru SLB – C di Kota Bandung

Kecerdasan Emosional

Aspek :

- kesadaran diri - pengaturan diri - motivasi - empati - keterampilan sosial


(32)

22

Universitas Kristen Maranatha yang aktif untuk menghadapi kesulitan saat mengajar anak tunagrahita.

Self-Compassion guru SLB-C dapat tergambar melalui 3 komponen

yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfullness.

Guru SLB-C memiliki derajat Self-Compassion yang berbeda-beda. Self-Compassion yang dimiliki guru SLB-C memiliki peran yang aktif

untuk membantu mengelola emosi negatif saat menghadapi kesulitan mengajar anak tunagrahita.

 Faktor-faktor yang juga mempengaruhi kecerdasan emosional guru SLB-C adalah jenis kelamin dan pengalaman mengajar anak tunagrahita.

1.7.Hipotesis Penelitian

HO : Tidak Terdapat hubungan positif antara derajat Self-Compassion dan derajat Kecerdasan Emosional pada guru SLB-C di Kota Bandung.

Hi : Terdapat hubungan positif antara derajat Self-Compassion

dan derajat Kecerdasan Emosional pada guru SLB-C di Kota


(33)

61

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Self-Compassion berkorelasi signifikan secara positif dengan

kecerdasan emosional pada guru SLB-C di Kota Bandung. Dengan kata lain, semakin tinggi self-compassion maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional yang dimiliki oleh guru SLB-C di Kota Bandung, begitu pula sebaliknya.

 Jenis kelamin dan lama bekerja tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan kecerdasan emosional.

5.2Saran Teoretis

Lakukan penelitian mengenai kontribusi komponen self-compassion pada kecerdasan emosional sehingga dapat menghasilkan gambaran yang lebih lengkap mengenai pengaruh komponen tiap komponen self-compassion terhadap tinggi rendahnya kecerdasan emosional.

5.3Saran Praktis

Guru SLB-C diharapkan dapat mendapatkan pelatihan Self-Compassion yang akan meningkatkan kemampuan guru untuk menerima dan memberi pengertian atas kemampuan dan kekurangan diri, menyadari bahwa kesulitan mengajar yang guru alami juga mungkim dialami oleh rekan guru lainnya, dan tidak melebih-lebihkan perasaan saat mengalami


(34)

62

Universitas Kristen Maranatha kesulitan bahkan kegagalan dalam mengajar. Pelatihan self-compassion ini pada akhirnya akan juga membantu guru SLB-C untuk meningkatkan kemampuan kecerdasan emosionalnya.

 Guru SLB-C juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kecerdasan emosional yaitu dalam aspek kesadaran diri dengan cara melatih merasakan bagaimana perasaan yang sedang dialami dan bagaimana dampaknya dalam kegiatan mengajar, dalam aspek motivasi dengan cara lebih bersemangat dan optimis dalam mengajar siswa, dalam aspek keterampilan sosial guru diharapkan dapat lebih membina hubungan dengan orangtua murid, rekan, dan siswa dengan tujuan membantu siswa belajar. Guru SLB-C diharapkan dapat mempertahankan kemampuan kecerdasan emosional dalam hal empati yaitu menyadari apa perasaan yang siswa atau rekan guru lain rasakan.

 Guru-guru yang akan bekerja sebagai guru SLB-C diharapkan dapat mengembangkan kemampuan menerima dan memberi pengertian atas kemampuan dan kekurangan diri, menyadari bahwa kesulitan mengajar yang guru akan dialami juga mungkim dialami oleh rekan guru lainnya, dan tidak melebih-lebihkan perasaan saat mengalami kesulitan bahkan kegagalan dalam mengajar.


(35)

63

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin, MA 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Barnard & Curry. 2011. Self-Compassion: Conceptualizations, Correlates, &

Interventions. Duke University.

Garliah, Lili dan Khaterina. 2012. Perbedaan kecerdasan emosi pada pria dan

wanita yang mempelajari dan yang tidak mempelajari alat musik piano.

Sumatera Utara : Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Goleman, Daniel 2000. Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Hefferrman, Griffin, Mc Nulty, Fitzpatrick . 2010. Self-Compassion and

emotional intellegencein nurses. International Journal of Nursing Practice

Khalili, Ashkan. 2011. Gender Differences in Emotional Intelligence Among

Employees of Small and Medium Enterprise: An Empirical Study.

Malaysia : Multimedia University

Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion Stop Beating Yourself Up and Leave

Insecurity Behind. New York: HarperCollins Publishers

Sarhad J. A. 2009. Emotional intelligence and gender difference. Journal of Research in Emotional Intelligence.

Somantri, T. Sutjihati, 2006. Metode Penelitian. Bandung : PT Refika Utama

Sugiyono.2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung : CV Alfabeta


(36)

64

Universitas Kristen Maranatha Sugiyono. 2011. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Uno, Hamzah. B, 2010. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara

Winkel, 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : PT Gramedia, anggota IKAPI


(37)

65

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Administrator,2011, Bekal Dasar dan Kompetensi Guru Khusus atau Terapis. http://www.anakluarbiasa.com/ArtikelAnakLuarBiasa/Detail/96/Bekal-Dasar-dan-Kompetensi-Guru-Khusus-atau-Terapis-.html Diakses tanggal 22 April 2013.

Halim, Emmanuela Ariana. 2013. Studi Komparatif mengenai derajat

Self-Compassion pada wanita berkeluarga yang bekerja dan tidak bekerja di

Gereja “X” Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi Maranatha

Januarani, Dela. 2013. Studi Deskriptif mengenai derajat Self-Compassion pada

mahasiswa akademi keperawatan “X” semester 4 dan 6 program diploma III Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi Maranatha

Menteri Pendidikan Nasional. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia nomor 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus. Indonesia

Presiden Republik Indonesia. 2003. Undang – undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Indonesia

Tuslina, Tina. 2012. Perkembangan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di

Indonesia. http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/20/perkembangan-pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia-463559.html. Diakses tanggal 6 November 2013


(1)

22

Universitas Kristen Maranatha

yang aktif untuk menghadapi kesulitan saat mengajar anak tunagrahita.

Self-Compassion guru SLB-C dapat tergambar melalui 3 komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfullness.

Guru SLB-C memiliki derajat Self-Compassion yang berbeda-beda. Self-Compassion yang dimiliki guru SLB-C memiliki peran yang aktif

untuk membantu mengelola emosi negatif saat menghadapi kesulitan mengajar anak tunagrahita.

 Faktor-faktor yang juga mempengaruhi kecerdasan emosional guru SLB-C adalah jenis kelamin dan pengalaman mengajar anak tunagrahita.

1.7.Hipotesis Penelitian

HO : Tidak Terdapat hubungan positif antara derajat Self-Compassion dan derajat Kecerdasan Emosional pada guru SLB-C di Kota Bandung.

Hi : Terdapat hubungan positif antara derajat Self-Compassion dan derajat Kecerdasan Emosional pada guru SLB-C di Kota Bandung.


(2)

61

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Self-Compassion berkorelasi signifikan secara positif dengan kecerdasan emosional pada guru SLB-C di Kota Bandung. Dengan kata lain, semakin tinggi self-compassion maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional yang dimiliki oleh guru SLB-C di Kota Bandung, begitu pula sebaliknya.

 Jenis kelamin dan lama bekerja tidak menunjukkan kecenderungan keterkaitan dengan kecerdasan emosional.

5.2Saran Teoretis

Lakukan penelitian mengenai kontribusi komponen self-compassion pada kecerdasan emosional sehingga dapat menghasilkan gambaran yang lebih lengkap mengenai pengaruh komponen tiap komponen self-compassion terhadap tinggi rendahnya kecerdasan emosional.

5.3Saran Praktis

Guru SLB-C diharapkan dapat mendapatkan pelatihan Self-Compassion yang akan meningkatkan kemampuan guru untuk menerima dan memberi pengertian atas kemampuan dan kekurangan diri, menyadari bahwa kesulitan mengajar yang guru alami juga mungkim dialami oleh rekan guru lainnya, dan tidak melebih-lebihkan perasaan saat mengalami


(3)

62

kesulitan bahkan kegagalan dalam mengajar. Pelatihan self-compassion ini pada akhirnya akan juga membantu guru SLB-C untuk meningkatkan kemampuan kecerdasan emosionalnya.

 Guru SLB-C juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kecerdasan emosional yaitu dalam aspek kesadaran diri dengan cara melatih merasakan bagaimana perasaan yang sedang dialami dan bagaimana dampaknya dalam kegiatan mengajar, dalam aspek motivasi dengan cara lebih bersemangat dan optimis dalam mengajar siswa, dalam aspek keterampilan sosial guru diharapkan dapat lebih membina hubungan dengan orangtua murid, rekan, dan siswa dengan tujuan membantu siswa belajar. Guru SLB-C diharapkan dapat mempertahankan kemampuan kecerdasan emosional dalam hal empati yaitu menyadari apa perasaan yang siswa atau rekan guru lain rasakan.

 Guru-guru yang akan bekerja sebagai guru SLB-C diharapkan dapat mengembangkan kemampuan menerima dan memberi pengertian atas kemampuan dan kekurangan diri, menyadari bahwa kesulitan mengajar yang guru akan dialami juga mungkim dialami oleh rekan guru lainnya, dan tidak melebih-lebihkan perasaan saat mengalami kesulitan bahkan kegagalan dalam mengajar.


(4)

63

Universitas Kristen Maranatha

Barnard & Curry. 2011. Self-Compassion: Conceptualizations, Correlates, & Interventions. Duke University.

Garliah, Lili dan Khaterina. 2012. Perbedaan kecerdasan emosi pada pria dan wanita yang mempelajari dan yang tidak mempelajari alat musik piano. Sumatera Utara : Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Goleman, Daniel 2000. Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Hefferrman, Griffin, Mc Nulty, Fitzpatrick . 2010. Self-Compassion and

emotional intellegencein nurses. International Journal of Nursing Practice

Khalili, Ashkan. 2011. Gender Differences in Emotional Intelligence Among Employees of Small and Medium Enterprise: An Empirical Study. Malaysia : Multimedia University

Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: HarperCollins Publishers

Sarhad J. A. 2009. Emotional intelligence and gender difference. Journal of Research in Emotional Intelligence.

Somantri, T. Sutjihati, 2006. Metode Penelitian. Bandung : PT Refika Utama

Sugiyono.2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung : CV Alfabeta


(5)

64

Universitas Kristen Maranatha

Sugiyono. 2011. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Uno, Hamzah. B, 2010. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara

Winkel, 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : PT Gramedia, anggota IKAPI


(6)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Administrator,2011, Bekal Dasar dan Kompetensi Guru Khusus atau Terapis. http://www.anakluarbiasa.com/ArtikelAnakLuarBiasa/Detail/96/Bekal-Dasar-dan-Kompetensi-Guru-Khusus-atau-Terapis-.html Diakses tanggal 22 April 2013.

Halim, Emmanuela Ariana. 2013. Studi Komparatif mengenai derajat Self-Compassion pada wanita berkeluarga yang bekerja dan tidak bekerja di

Gereja “X” Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi Maranatha

Januarani, Dela. 2013. Studi Deskriptif mengenai derajat Self-Compassion pada

mahasiswa akademi keperawatan “X” semester 4 dan 6 program diploma III Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi Maranatha

Menteri Pendidikan Nasional. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus. Indonesia

Presiden Republik Indonesia. 2003. Undang – undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Indonesia

Tuslina, Tina. 2012. Perkembangan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia. http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/20/perkembangan-pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia-463559.html. Diakses tanggal 6 November 2013