Pengaruh Pemilihan Alternatif Kebijakan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhadap Besarnya PPh Terutang (Studi Kasus Pada PT Himpurna Karya Mandiri, Jakarta).

(1)

iv

ABSTRAK

Perusahaan sebagai suatu unit usaha yang mempekerjakan karyawan-karyawan diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 terhadap karyawan-karyawannya. Berdasarkan Undang-undang Perpajakan RI No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, PPh Pasal 21 merupakan pajak yang ditanggung karyawan. Tetapi, jika perusahaan mempunyai kebijakan untuk menanggung PPh Pasal 21 tersebut, maka ada tiga alternatif kebijakan lainnya yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan pajak oleh perusahaan dan PPh Pasal 21 di gross up

Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah perbandingan antara keempat alternatif kebijakan PPh Pasal 21 yaitu kebijakan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pegawai, ditanggung oleh perusahaan, ditunjang oleh perusahaan dan di gross up serta pengaruhnya terhadap pajak penghasilan terutang pada PT Himpurna Karya Mandiri.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian ini dilakukan pada PT Himpurna Karya Mandiri, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa Pengerahan Tenaga Kerja.

Berdasarkan hasil penelitian, PT Himpurna Karya Mandiri selama ini menerapkan kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up lebih menguntungkan daripada penerapan kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung pegawai, ditanggung perusahaan, diberikan dalam bentuk tunjangan pajak oleh perusahaan, khususnya dalam hal pajak penghasilan terutang dan jumlah gaji yang dibawa pulang oleh pegawai (take home pay).


(2)

viii DAFTAR ISI ABSTRAK………...…………..iv KATA PENGANTAR………...…....v DAFTAR ISI……….………..viii DAFTAR TABEL...xi

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1 Latar Belakang Penelitian………...1

1.2 Identifikasi Masalah……….3

1.3 Tujuan Penelitian………..……....4

1.4 Kegunaan Penelitian ………..…...4

1.5 Kerangka Pemikiran...…….………..……..….5

1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian……….…….………….... ..9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...10

2.1 Pengertian Umum Pajak………10

2.1.1 Definisi Pajak………..………...10

2.1.2 Ciri- Ciri Pajak………...14

2.1.3 Fungsi Pajak………….………..15

2.1.4 Asas-asas Pemungutan Pajak……….16

2.1.5 Teori Pendukung Pemungutan Pajak……….19

2.1.6 Pengelompokan Pajak………21

2.1.7 Tata Cara Pemungutan Pajak……….22

2.1.8 Tarif Pajak………...25

2.1.9 Timbulnya Utang Pajak………..26

2.1.10 Hapusnya Utang Pajak………...………27

2.2 Pajak Penghasilan………..29

2.2.1 Definisi Pajak Pengahasilan………...29

2.2.2 Subjek Pajak………..29

2.2.3 Pengecualian Subjek Pajak………...31


(3)

ix

2.2.5 Pengecualian Objek Pajak………..35

2.3 Pajak Penghasilan Pasal 21………37

2.3.1 Definisi Pajak Penghasilan Pasal 21………..37

2.3.2 Wajib Pajak PPh Pasal 21 ……….38

2.3.3 Objek Pajak PPh Pasal 21………. …. ………..43

2.3.4 Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21………..46

2.3.5 Pemotongan Pajak PPh Pasal 21……....………48

2.3.6 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21………...54

2.3.7 Cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21…………....56

2.4 Penerapan Kebijakan PPh Pasal 21………65

2.4.1 Alternatif Penghitungan PPh Pasal 21………...65

2.4.2 Pajak Penghasilan Terutang………..…….72

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN……….74

3.1 Objek Penelitian……….74

3.1.1 Latar Belakang Perusahaan…………...74

3.1.2 Visi, Misi Perusahaan………...…….75

3.1.3 Lingkup Kegiatan Perusahaan Perusahaan…...…...73

3.1.4 Struktur Organisasi Perusahaan………...……...78

3.1.5 Uraian Tugas dan Tanggung jawab...79

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………89

4.1 Data Perusahaan PT Himpurna Karya Mandiri………..……..….89

4.2 Kebijakan PPh Pasal 21 yang Dijalankan oleh Perusahaan…...…92

4.3 Penerapan PPh Pasal 21……….93

4.3.1 Perhitungan PPh Pasal 21………..…93

4.3.2 Penerapan Kebijakan PPh Pasal 21 dan Pengaruhnya Terhadap PPh Terutang…………...………...105


(4)

x

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan…..…………..………..125

5.2 Saran……...……….127

DAFTAR PUSTAKA……….129 LAMPIRAN I………I


(5)

I

Lampiran I

STRUKTUR ORGANISASI PT HIMPURNA KARYA MANDIRI

KOMISARIS UTAMA

KOMISARIS

DIREKTUR UTAMA

DIR.ADM.KEUANGAN DIR. OPERASIONAL DIR. PEMASARAN

Bagian:

- Perencanaan Pemasaran - Pelaksanaan

Pemasaran Bagian:

- Rekrut CTKI

- Seleksi &Wawancara - Medical Check Up - Keimigrasian - Depnakertrans - Visa & Handle - Pelatihan - Transportasi Bagian:

- Adm. Umum - Adm. Keuangan - Adm. Pelaporan


(6)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tarif PPh Pasal 21 Orang Pribadi…………...54

Tabel 2.2 Tarif PPh Pasal 21 Wajib Pajak Badan dan BUT………….……...55

Tabel 2.3 Rumus Penghitungan PPh Pasal 21………...64

Tabel 2.4 Perhitungan PPh Pasal 21………...….68

Tabel 2.5 PTKP dan PPh Pasal 21 setahun……….…...…..71

Tabel 4.1 Daftar Gaji Tahun 2006....………...91

Tabel 4.2 Perhitungan PPh Pasal 21, Kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung Pegawai………95

Tabel 4.3 Perhitungan PPh Pasal 21, Kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung Perusahaan………...………98

Tabel 4.4 Perhitungan PPh Pasal 21, Kebijakan PPh Pasal 21 ditunjang Perusahaan………..…...101

Tabel 4.5 Perhitungan PPh Pasal 21, Kebijakan PPh Pasal 21 di Gross Up...104

Tabel 4.6 Perhitungan PPh Terutang, Kebijakan PPh Pasal 21 Ditanggung Pegawai/Perusahaan………..106

Tabel 4.7 Perhitungan PPh Terutang, Kebijakan PPh Pasal 21 ditunjang Perusahaan……….108

Tabel 4.8 Perhitungan PPh Terutang, Kebijakan PPh Pasal 21 di Gross Up.…110 Tabel 4.9 Laporan Laba Rugi, Kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung Pegawai...113

Tabel 4.10 Laporan Laba Rugi, Kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung Perusahaan ……….l15 Tabel 4.11 Laporan Laba Rugi, Kebijakan PPh Pasal 21 ditunjang Perusahaan.117 Tabel 4.12 Laporan Laba Rugi, Kebijakan PPh Pasal 21 di Gross Up…………119

Tabel 4.13 Perhitungan Take Home Pay, Biaya Fiskal dan Biaya Komersial setahun………122 Tabel 4.14 Ikhtisar Take Home Pay, Biaya Fiskal, Biaya Komersial dan


(7)

(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengelola pajak dengan baik karena merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional.

Pembebanan pajak oleh pemerintah pada wajib pajak (WP), pada hakekatnya merupakan perwujudan dari kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan penerimaan negara dari dalam negeri terutama dari sektor pajak harus tetap dijalankan secara konsisten dengan tetap berpegang pada peraturan pajak yang berlaku.

Semua perusahaan didirikan tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Sebagian besar perusahaan bertujuan memperoleh laba dengan cara mengefesienkan biaya maupun pajak serendah mungkin, dengan kebijakan yang digunakan. Pengenaan beban pajak dengan memaksimalkan pengurangan-pengurangan (maximizing deductions), dapat dilakukan pada Pajak Penghasilan Pasal 21. Hal ini dilakukan dengan mengalihkan pemberian dalam bentuk natura ke bentuk tunjangan-tunjangan yang dapat dikurangkan sebagai biaya sesuai prinsip yang dapat dipajaki (taxable) dan dapat dikurangkan sesuai dengan


(9)

2

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga dapat mengurangi jumlah Penghasilan Kena Pajak. Hal ini menjadi pertimbangan karena semakin besar Penghasilan Kena Pajak, semakin tinggi tarif pajaknya, dan semakin besar pula pajak penghasilan terutang.

Untuk dapat mencapai tujuannya yaitu memperoleh laba perusahaan diperlukan suatu sistem manajemen yang baik disertai pemahaman terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan serta perkembangan perubahannya. Sasaran dari manajemen pajak adalah menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar, dan bagaimana cara melakukan penghematan pajak yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akan mempengaruhi pencapaian laba yang optimal.

Membayar pajak merupakan kewajiban bagi wajib pajak yang seharusnya dilakukan dengan sukarela tanpa unsur paksaan. Berdasarkan sistem pemungutan pajak yang berlaku menurut undang-undang perpajakan di negara ini, pemerintah memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang (Self Assessment System). Oleh karena itu, setiap perusahaan dapat melakukan perhitungan pajak penghasilan sesuai dengan kebijakan strategi perhitungan pajak yang diambil.

Berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku, pajak penghasilan pasal 21 merupakan pajak yang harus ditanggung karyawan. Didalam penerapannya, strategi perhitungan PPh Pasal 21, ada empat alternatif yang dapat dilakukan perusahaan yaitu: (alternatif ke-1) PPh Pasal 21 ditanggung pegawai;


(10)

3

(alternatif ke-2) PPh pasal 21 ditanggung pemberi kerja; (alternatif ke-3) PPh Pasal 21 diberi dalam tunjangan pajak; (alternatif ke-4) PPh Pasal 21 di gross up. Apabila keempat alternatif ini diteliti dan dibandingkan, kita dapat mengetahui alternatif mana yang paling baik.

Besarnya PPh pasal 21 akan mempengaruhi besarnya pajak penghasilan terutang bagi perusahaan maka kebijakan pajak penghasilan tersebut akan mempengaruhi besarnya PPh terutang. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan suatu penelitian dengan mengangkat masalah diatas sebagai topik penelitian dengan judul: ”Pengaruh Pemilihan Alternatif Kebijakan Pajak

Penghasilan Pasal 21 Terhadap Besarnya Pajak Penghasilan Terutang”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan PPh Pasal 21 yang diterapkan perusahaan?

2. Bagaimana pengaruh pemilihan alternatif kebijakan PPh pasal 21 terhadap besarnya PPh terutang?


(11)

4

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kebijakan PPh Pasal 21 yang diterapkan perusahaan.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemilihan alternatif kebijakan PPh Pasal 21 terhadap besarnya PPh terutang.

1.4 Kegunaan Penelitian:

Penelitian yang penulis lakukan, diharapkan dapat berguna bagi:

 Perusahaan

Memberi masukan bagi perusahaan dalam menentukan penerapan kebijakan pajak yang paling menguntungkan melalui strategi perhitungan PPh 21.

 Penulis

Meningkatkan pemahaman mengenai masalah perpajakan khususnya PPh Pasal 21 yang nantinya dapat menjadi modal untuk terjun ke dunia usaha nyata dan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh sidang sarjana Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Kristen Maranatha.

 Bagi Konsultan pajak

Meningkatkan pelayanan bagi klien dalam meminimumkan beban pajak terhutang perusahaan.


(12)

5

1.5 Kerangka Pemikiran

Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan.

Penerimaan yang diperoleh oleh negara Indonesia sebagian besar dari pajak, yang salah satunya adalah dari pajak penghasilan yang berasal dari penghasilan masyarakat, oleh karena itu, pajak memiliki peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan negara.

Pajak Penghasilan Pasal 21 selanjutnya disebut PPh Pasal 21, merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalan negeri. Pembayaran pajak penghasilan ini dilakukan dalam tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak-pihak tertentu. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan. Jumlah pajak yang telah dipotong dan disetorkan dengan benar oleh pemberi kerja dan pemotong lainnya dapat digunakan oleh Wajib Pajak untuk dijadikan kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun.

Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, salah satu sistem pemungutan yang berlaku dan pentingnya peran perusahaan adalah With


(13)

6

Holding System yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini bisa dilakukan dengan undang-undang perpajakan, keputusan presiden dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetorkan, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk.

Pada dasarnya, tidak seorang pun senang membayar pajak. Tujuan pemerintah atas penerimaan pajak tersebut berbeda dengan tujuan perusahaan yang berorientasi laba. Perusahaan umumnya menganggap semua kekayaan dan kewajiban perusahaan adalah hak dan kewajiban pemilik. Menurut pandangan tersebut semua pengeluaran yang mengurangi hak pemilik perusahaan dianggap sebagai beban atau biaya. Jadi untuk meminimalkan beban atau biaya tersebut, jalan yang dapat ditempuh adalah dengan cara penghematan pajak (tax saving) atau penghindaran pajak (tax avoidance) tetapi penyelundupan pajak yang bertujuan untuk meminimalkan beban pajak akan melanggar undang-undang dan tidak akan ditolerir.

Oleh karena itu wajarlah perusahaan berusaha untuk meminimalkan beban pajaknya. Agar tercapai maksud di atas perlu dilakukan suatu perencanaan pajak yang baik, artinya dapat memenuhi tujuan perusahaan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Kewajiban membayar pajak dianggap merupakan


(14)

7

kewajiban yang memperkecil laba setelah pajak (after tax profit), rate of return, dan cash flow, sehingga pengusaha akan berupaya menekan jumlah pajak serendah mungkin (meminimalkan beban pajak) dengan cara menggunakan alternatif-alternatif yang riil dan dapat diterima oleh fiskus tanpa melanggar undang-undang yang berlaku. Hal ini sama sekali tidak melanggar hukum, tetapi sebaliknya akan diperoleh penghematan pajak sehingga terhindar dari pengenaan pajak yang lebih besar. Seperti dikemukakan oleh Learned Hand (Mohammad Zain, 2003:4) sebagai berikut:

”Berulang-ulang kali pengadilan menyatakan bahwa tidak ada suatu ancaman hukuman apa pun yang dapat diberlakukan terhadap barang siapa yang mengatur pengenaan pajaknya seminimal mungkin. Setiap orang, apakah orang itu orang miskin atau orang kaya sekalipun akan berbuat hal yang sama, dan hal ini sesungguhnya merupakan haknya untuk berbuat demikian, karena tidak seorang pun berkewajiban memenuhi kewajiban perpajakannya melebihi apa yang ditentukan oleh perundang-undangan perpajakan secara benar dan bukan merupakan kontribusi yang sifatnya sukarela”

Negara Republik Indonesia menerapkan Self Assesment System, sebagai sistem pemungutan pajaknya, yaitu sistem pajak yang didasarkan kepada kepercayaan yang diberikan fiskus kepada wajib pajak untuk melakukan sendiri perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak, sesuai dengan yang diatur dalam perundang-undangan perpajakan.


(15)

8

Perusahaan sebagai unit usaha yang mempekerjakan karyawan-karyawan berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21. PPh Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan seperti yang dinyatakan dalam pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-undang Perpajakan No. 17 Tahun 2000, PPh Pasal 21 merupakan pajak yang harus ditanggung pegawai. Namun di dalam penerapannya, strategi perhitungan PPh pasal 21, ada empat alternatif yang dapat dilakukan perusahaan yaitu:

 Alternatif ke-1 PPh pasal 21 ditanggung pegawai

Dalam hal ini perusahaan tidak dapat membebankan PPh Pasal 21 tersebut sebagai unsur beban, karena PPh Pasal 21 ini ditanggung sendiri oleh pegawai yang bersangkutan.

 Alternatif ke-2 PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja

termasuk dalam pengertian imbalan atau penghasilan berupa kenikmatan yang tidak dipotong PPh Pasal 21, sehingga dalam perhitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai yang bersangkutan, jumlah pajak yang ditanggung oleh perusahaan tersebut tidak ditambahkan pada penghasilan pegawai yang bersangkutan dan perusahaan tidak dapat membebankannya sebagai unsur beban.


(16)

9

 Alternatif ke-3 PPh Pasal 21 diberi dalam bentuk tunjangan pajak ini merupakan penghasilan bagi pegawai yang bersangkutan, sehingga dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji yang bersangkutan, tunjangan pajak tersebut ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya dan perusahaan dapat membebankannya sebagai unsur beban.

Alternatif ke-4 PPh Pasal 21 di Gross up

Dalam hal ini perusahaan juga dapat membebankan PPh Pasal 21 tersebut sebagai unsur beban.

1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis lakukan di PT HIMPURNA KARYA MANDIRI yang berlokasi di Jakarta. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan April 2007 sampai penulisan skripsi ini selesai.


(17)

125

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Sesuai dengan metode yang digunakan penulis dalam melaksanakan penelitian adalah metode deskriptif analitis, yaitu suatu metode yang menggambarkan keadaan perusahaan berdasarkan fakta yang ada. Metode yang menggambarkan suatu gejala yang ada pada waktu penelitian, yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan, menjelaskan serta menganalisis data yang diperoleh pada lokasi penelitian, maka diperoleh suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil analisis Bab 4:

1. Kebijakan PPh Pasal 21 yang diterapkan perusahaan adalah kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan.

2. Berdasarkan hasil penelitian, alternatif kebijakan PPh Pasal 21 yang lebih menguntungkan adalah kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, karena perusahaan dapat membebankan tunjangan pajak yang diberikan sebagai unsur beban dan tunjangan tersebut dikenakan PPh Pasal 21 bagi karyawan.

Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh pada besar kecilnya laba perusahaan yang dikenakan pajak, pajak penghasilan terutang, dan take home pay. Jika perusahaan menerapkan kebijakan PPh pasal 21 di gross up, maka tingkat laba sebelum pajak akan lebih rendah dibandingkan ketiga alternatif lainnya, ini akan berdampak pada pajak penghasilan perusahaan menjadi lebih kecil dan


(18)

126

perusahaan akan menanggung selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang tidak berbeda dengan alternatif pertama dan ketiga yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan, perusahaan akan menanggung selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang merupakan selisih terbesar. Ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar dari kebijakan PPh Pasal 21 di gross up tersebut tampaknya sebagai pemborosan, namun perlu diperhatikan, akibat biaya fiskal yang besar akan berdampak pada laba, laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya pajak penghasilan terutang perusahaan juga akan menjadi lebih kecil. Sedangkan dari sudut pandang karyawan, dengan menerapkan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, gaji yang dibawa pulang (take home pay) merupakan yang terbesar. Jika dilihat dari jumlah PPh terutang dan selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial dari kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, maka alternatif kebijakan ini menguntungkan perusahaan karena jumlah PPh terutang lebih kecil dan perusahaan menanggung selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang lebih kecil dari alternatif kedua yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan dan tidak berbeda dengan alternatif pertama dan ketiga yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung pegawai dan ditunjang perusahaan. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan yang paling menguntungkan bagi perusahaan dikaitkan dengan pajak penghasilan terutang perusahaan dan selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial adalah kebijakan PPh pasal 21 di gross up.


(19)

127

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisa keempat alternatif kebijakan PPh Pasal 21, yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung pegawai, kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan, kebijakan PPh Pasal 21 ditunjang perusahaan, dan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, peneliti menyarankan:

1. Bagi Perusahaan

Peneliti menyarankan perusahaan untuk menerapkan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up. Hal ini dikarenakan, kebijakan PPh Pasal 21 di gross up lebih menguntungkan daripada menggunakan kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan, yang selama ini diterapkan perusahaan, yang dikaitkan dengan pajak penghasilan terutang serta selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang harus ditanggung perusahaan. Bagi karyawan, dengan menerapkan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, gaji yang dibawa pulang (take home pay) merupakan yang terbesar dan menguntungkan bagi karyawan.

2. Bagi Peneliti selanjutnya

Peneliti menyarankan bagi peneliti selanjutnya, dalam melakukan perhitungan kebijakan alternatif PPh Pasal 21 harus teliti. Perusahaan yang memiliki sedikit karyawan atau banyak karyawan, rancangannya bervariasi menurut jumlah karyawan dan penghasilan karyawan dan sejauh mana komputer itu dipakai untuk perhitungan. Peneliti yang ingin melakukan penelitian di perusahaan kecil yang memiliki jumlah karyawan sedikit akan memudahkan perhitungan PPh Pasal 21 dan perhitungan tunjangan pajak dalam rangka


(20)

128

gross up sebab kebijakan-kebijakan alternatif ini harus teliti dalam perhitungannya sehingga dalam penerapan alternatif kebijakan PPh Pasal 21 akan berpengaruh pada besar kecilnya PPh terutang, tingkat laba perusahaan dan take home pay. Biaya komersial dan biaya fiskal atas pembayaran gaji karyawan juga merupakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam rangka pemilihan alternatif tersebut.


(21)

129

DAFTAR PUSTAKA

Waluyo. 2007. Perpajakan Indonesia, Edisi 7.

Brotodiharjo, R. Santoso. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Penerbit Refika Aditama, Bandung

Fitriandi, Primadila, dkk. 2006. Kompilasi Undang-undang Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.

Mardiasmo. 2003. Perpajakan, Andi, Yogyakarta.

Pudyatmoko, Y. Sri. 2002. Pengantar Hukum Pajak, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Suandi, Early. 2002. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta.

Waluyo. 2005. Perpajakan Indonesia, edisi kelima, jilid satu, Salemba Empat, Jakarta.

Zain, Mohammad. 2003. Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.

Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang Nomor 17 tentang Pajak Penghasilan.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/ PMK. 03/ 2005 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/ KMK/. 03/ 2002 tentang bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/ PMK. 03/ 2005. tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.


(22)

(1)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Sesuai dengan metode yang digunakan penulis dalam melaksanakan penelitian adalah metode deskriptif analitis, yaitu suatu metode yang menggambarkan keadaan perusahaan berdasarkan fakta yang ada. Metode yang menggambarkan suatu gejala yang ada pada waktu penelitian, yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan, menjelaskan serta menganalisis data yang diperoleh pada lokasi penelitian, maka diperoleh suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil analisis Bab 4:

1. Kebijakan PPh Pasal 21 yang diterapkan perusahaan adalah kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan.

2. Berdasarkan hasil penelitian, alternatif kebijakan PPh Pasal 21 yang lebih menguntungkan adalah kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, karena perusahaan dapat membebankan tunjangan pajak yang diberikan sebagai unsur beban dan tunjangan tersebut dikenakan PPh Pasal 21 bagi karyawan.

Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh pada besar kecilnya laba perusahaan yang dikenakan pajak, pajak penghasilan terutang, dan take home pay. Jika perusahaan menerapkan kebijakan PPh pasal 21 di gross up, maka tingkat laba sebelum pajak akan lebih rendah dibandingkan ketiga alternatif lainnya, ini akan


(2)

126

perusahaan akan menanggung selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang tidak berbeda dengan alternatif pertama dan ketiga yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan, perusahaan akan menanggung selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang merupakan selisih terbesar. Ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar dari kebijakan PPh Pasal 21 di gross up tersebut tampaknya sebagai pemborosan, namun perlu diperhatikan, akibat biaya fiskal yang besar akan berdampak pada laba, laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya pajak penghasilan terutang perusahaan juga akan menjadi lebih kecil. Sedangkan dari sudut pandang karyawan, dengan menerapkan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, gaji yang dibawa pulang (take home pay) merupakan yang terbesar. Jika dilihat dari jumlah PPh terutang dan selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial dari kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, maka alternatif kebijakan ini menguntungkan perusahaan karena jumlah PPh terutang lebih kecil dan perusahaan menanggung selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang lebih kecil dari alternatif kedua yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan dan tidak berbeda dengan alternatif pertama dan ketiga yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung pegawai dan ditunjang perusahaan. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan yang paling menguntungkan bagi perusahaan dikaitkan dengan pajak penghasilan terutang perusahaan dan selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial adalah kebijakan PPh pasal 21 di gross up.


(3)

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisa keempat alternatif kebijakan PPh Pasal 21, yaitu kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung pegawai, kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan, kebijakan PPh Pasal 21 ditunjang perusahaan, dan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, peneliti menyarankan:

1. Bagi Perusahaan

Peneliti menyarankan perusahaan untuk menerapkan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up. Hal ini dikarenakan, kebijakan PPh Pasal 21 di gross up lebih menguntungkan daripada menggunakan kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan, yang selama ini diterapkan perusahaan, yang dikaitkan dengan pajak penghasilan terutang serta selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial yang harus ditanggung perusahaan. Bagi karyawan, dengan menerapkan kebijakan PPh Pasal 21 di gross up, gaji yang dibawa pulang (take home pay) merupakan yang terbesar dan menguntungkan bagi karyawan.

2. Bagi Peneliti selanjutnya

Peneliti menyarankan bagi peneliti selanjutnya, dalam melakukan perhitungan kebijakan alternatif PPh Pasal 21 harus teliti. Perusahaan yang memiliki sedikit karyawan atau banyak karyawan, rancangannya bervariasi menurut jumlah karyawan dan penghasilan karyawan dan sejauh mana komputer itu dipakai untuk perhitungan. Peneliti yang ingin melakukan penelitian di perusahaan kecil yang memiliki jumlah karyawan sedikit akan memudahkan


(4)

128

gross up sebab kebijakan-kebijakan alternatif ini harus teliti dalam perhitungannya sehingga dalam penerapan alternatif kebijakan PPh Pasal 21 akan berpengaruh pada besar kecilnya PPh terutang, tingkat laba perusahaan dan take home pay. Biaya komersial dan biaya fiskal atas pembayaran gaji karyawan juga merupakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam rangka pemilihan alternatif tersebut.


(5)

129

DAFTAR PUSTAKA

Waluyo. 2007. Perpajakan Indonesia, Edisi 7.

Brotodiharjo, R. Santoso. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Penerbit Refika Aditama, Bandung

Fitriandi, Primadila, dkk. 2006. Kompilasi Undang-undang Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.

Mardiasmo. 2003. Perpajakan, Andi, Yogyakarta.

Pudyatmoko, Y. Sri. 2002. Pengantar Hukum Pajak, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Suandi, Early. 2002. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta.

Waluyo. 2005. Perpajakan Indonesia, edisi kelima, jilid satu, Salemba Empat, Jakarta.

Zain, Mohammad. 2003. Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.

Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang Nomor 17 tentang Pajak Penghasilan.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/ PMK. 03/ 2005 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/ KMK/. 03/ 2002 tentang bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.


(6)