PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG.

(1)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra

oleh

Indrawan Dwisetya Suhendi NIM 1100602

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

DEPARTEMEN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


(2)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 2015

Pandangan Dunia Orang Sunda

dalam Cerita Kuntilanak sebagai

Legenda Alam Gaib di Kota Bandung

oleh

Indrawan Dwisetya Suhendi

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra

© Indrawan Dwisetya Suhendi 2015 Universitas Pendidikan Indonesia


(3)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa izin dari penulis.

HALAMAN PENGESAHAN

INDRAWAN DWISETYA SUHENDI

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

disetujui dan disahkan oleh pembimbing:

Pembimbing I,

Drs. Memen Durachman, M.Hum. NIP 196306081988031002

Pembimbing II,

Dr. Tedi Permadi, M.Hum. NIP 197006242006041001

mengetahui


(4)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Dr. Dadang S. Anshori, M.Si.


(5)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG


(6)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Indrawan Dwisetya Suhendi 1100602

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berkembangnya cerita kuntilanak di masyarakat Sunda bahkan di Indonesia. Fenomena cerita kuntilanak telah bertransformasi menjadi film, baik yang mengangkat akar budaya dan kepercayaan suatu masyarakat, maupun yang hanya menyuguhkan erotisme berbalut cerita kuntilanak belaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, makna, dan pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam cerita pengalaman mereka saat berinteraksi dengan kuntilanak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode etnografi untuk mendeskripsikan fenomena kebudayaan di masyarakat tempat cerita kuntilanak tumbuh dan metode formal untuk mendeskripsikan struktur cerita kuntilanak. Temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) struktur cerita kuntilanak memunculkan oposisi-oposisi seperti watak tokoh yang takut dan berani saat berinteraksi dengan kuntilanak yang terjalin dengan pengaluran progresif. (2) Penciptaan cerita terjadi secara spontan mengacu pada skema-skema komposisi cerita dan ingatan dari penutur. (3) Kebudayaan Sunda kekinian turut berpengaruh terhadap cerita kuntilanak yang terlihat dari analisis konteks penuturan cerita. (4) Cerita kuntilanak memiliki fungsi pengesah kebudayaan, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan. (5) Makna yang terkandung dalam cerita kuntilanak adalah adanya interaksi antara manusia, alam, dan kekuatan adikodrati. (6) Adanya oposisi pandangan orang Sunda terhadap kuntilanak: takut dan berani. Berdasarkan hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang Sunda memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai perempuan berambut panjang, memakai baju berwarna putih, bertempat tinggal di tempat yang lembap dan pohon-pohon. Selain itu, orang Sunda juga memiliki oposisi sikap saat bertemu dengan kuntilanak, yakni berani dan takut.


(7)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

WORLD VISION SUNDANESE PEOPLE ON KUNTILANAK STORY AS THE SUPERNATURAL LEGEND IN BANDUNG

Indrawan Dwisetya Suhendi 1100602

ABSTRACT

This research was motivated by the development of the story kuntilanak in Sundanese people. Kuntilanak story has been adapted into a film, which raises the cultural roots and beliefs of the society, and also only presents a story of Kuntilanak wrapped with eroticism. This study aimed to reveal the structure, the process of creation, the speech context, function, meaning, and the view that is reflected in the experience of Sundanese people when they interact with Kuntilanak. This study employed qualitative research using ethnographic methods to describe the phenomenon of culture in the communities where the story of Kuntilanak grows and formal methods for describing the structure of the story of Kuntilanak. The findings of this study showed that: (1) the structure of the Kuntilanak story raises some kind of oppositions like the coward and brave character when they interact with Kuntilanak intertwined with progressive plot. (2) The creation of the story occurs spontaneously. It refers to schemes stories and memories composition of speakers. (3) Sundanese culture’s presentation of Kuntilanak also affects the story, as seen from the analysis of the context of storytelling. (4) The story of Kuntilanak certifies function of culture, education functions, and entertainment functions. (5) The meaning in Kuntilanak story is the interaction between man, nature and supernatural powers. (6) The opposition view of the Sundanese against Kuntilanak: fear and daring. Based on the findings above, it can be concluded that the Sundanese views Kuntilanak as supernatural beings that has physical characteristics as a long-haired woman, wearing a white shirt, residing in damp places and trees. In addition, the Sundanese also has opposition attitude when meeting with Kuntilanak, brave and scared.


(8)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan Skripsi... i

Lembar Pernyataan... ii

Kata Pengantar... iii

Ucapan Terima Kasih... iv

Abstrak... vii

Daftar Isi... ix

Daftar Gambar... xiii

Daftar Bagan... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Penelitian... 1

B. Rumusan Masalah Penelitian... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

D. Manfaat Penelitian... 5

1. Manfaat Akademik... 5

2. Manfaat Praktis... 5

E. Struktur Organisasi Skripsi... 6

BAB II LANDASAN TEORI... 7

A. Cerita Kuntilanak sebagai Legenda Alam Gaib... 7

B. Hantu dan Kuntilanak... 8

C. Struktur Cerita Kuntilanak... 12

1. Semiotika... 13

2. Tiga Aspek Semiotika... 14

a. Aspek Sintaksis: Alur... 14

b. Aspek Semantik: Tokoh, Ruang, dan Waktu... 17

c. Aspek Verbal: Kehadiran Pencerita dan Tipe Penceritaan... 20

D. Proses Penciptaan... 18

E. Konteks Penuturan... 18


(9)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2. Konteks Budaya... 20

F. Fungsi... 21

G. Makna... 22

H. Pandangan Dunia... 23

I. Penelitian Terdahulu... 23

BAB III METODE PENELITIAN... 27

A. Desain Penelitian... 27

1. Metode Etnografi... 28

2. Metode Formal... 28

B. Partisipan dan Tempat Penelitian... 29

1. Partisipan... 29

2. Tempat Penelitian... 30

C. Data dan Pengumpulan Data... 30

1. Objek Penelitian... 30

2. Teknik Pengumpulan Data... 30

a. Perekaman... 30

b. Pendokumentasian... 30

c. Kepustakaan... 31

d. Wawancara... 31

e. Pengamatan... 31

3. Instrumen Penelitian... 31

D. Prosedur Penelitian... 31

E. Pendekatan Penelitian... 32

F. Definisi Operasional... 32

G. Kerangka Berpikir Penelitian... 34

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN... 35

A. Analisis Cerita I... 35

1. Struktur Cerita I... 35

a. Analisis Sintaksis: Alur... 35


(10)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

c. Analisis Verbal: Kehadiran Pencerita dan Tipe Penceritaan... 68

d. Analisis Keterkaitan Antarunsur Pembentuk Struktur Cerita I... 72

2. Proses Penciptaan Cerita I... 75

3. Konteks Penuturan Cerita I... 81

a. Konteks Situasi... 81

b. Konteks Budaya... 85

4. Fungsi Cerita I... 106

5. Makna Cerita I... 111

a. Hubungan Manusia dengan Kekuatan Adikodrati... 112

b. Hubungan Manusia dengan Alam... 114

c. Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia 114 6. Pandangan Dunia Orang Sunda yang Tercermin dalam Cerita I... 116

B. Analisis Cerita II... 123

1. Struktur Cerita II... 123

a. Analisis Sintaksis: Alur... 123

b. Analisis Semantik: Tokoh, Ruang, dan Waktu... 128

c. Analisis Verbal: Kehadiran Pencerita dan Tipe Penceritaan... 172

d. Keterkaitan Antarunsur Pembentuk Struktur Cerita II... 176

2. Proses Penciptaan Cerita II... 180

3. Konteks Penuturan Cerita II... 184

a. Konteks Situasi... 185

b. Konteks Budaya... 188

4. Fungsi Cerita II... 211

5. Makna Cerita II... 215

a. Hubungan Manusia dengan Kekuatan Adikodrati... 216

b. Hubungan Manusia dengan Alam... 218

c. Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia... 219

6. Pandangan Dunia Orang Sunda yang Tercermin dalam Cerita II... 221

C. Analisis Cerita III... 228


(11)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

a. Analisis Sintaksis: Alur... 229

b. Analisis Semantik: Tokoh, Ruang, dan Waktu... 233

c. Analisis Verbal: Kehadiran Pencerita dan Tipe Penceritaan... 270

d. Keterkaitan Antarunsur Pembentuk Struktur Cerita III... 274

2. Proses Penciptaan Cerita III... 276

3. Konteks Penuturan Cerita III... 281

a. Konteks Situasi... 281

b. Konteks Budaya... 285

4. Fungsi Cerita III... 300

5. Makna Cerita III... 304

a. Hubungan Manusia dengan Kekuatan Adikodrati... 304

b. Hubungan Manusia dengan Alam... 306

c. Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia... 307

6. Pandangan Dunia Orang Sunda yang Tercermin dalam Cerita III... 308

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI... 315

A. Simpulan... 315

B. Implikasi dan Rekomendasi... 324

Referensi... 325

Lampiran... 326


(12)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Cerita hantu merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang selalu ada dalam setiap kebudayaan. Iskandarsyah (2012, hlm. 1) mengatakan bahwa cerita hantu sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari cerita-cerita rakyat (folks tale) dan budaya serta ritual di dunia. Cerita hantu merupakan bagian dari legenda alam gaib. Legenda alam gaib adalah pengalaman pribadi seseorang yang dianggap benar-benar terjadi (lihat Danandjaja, 2007, hlm. 71). Legenda alam gaib seringkali menceritakan pengalaman seseorang bertemu atau berinteraksi dengan makhluk-makhluk gaib. Brunvand mengatakan berhubung legenda alam gaib merupakan pengalaman pribadi seseorang, ahli folklor Swedia, C.W. von Sydow, memberikan nama lain, yaitu memorat (Danandjaja, 2007, hlm. 71).

Tradisi bertutur cerita hantu tumbuh subur di Indonesia disebabkan oleh kepercayaan rakyat yang masih mengakar kuat di masyarakat. Fungsi cerita hantu pun adalah untuk meneguhkan kebenaran takhayul atau kepercayaan rakyat (Danandjaja, 2007, hlm. 71). Selain itu, kreativitas masyarakat Indonesia juga turut menyuburkan tradisi bertutur cerita hantu. Hal tersebut dapat dilihat juga dari maraknya industri perfilman yang menjadikan cerita hantu sebagai komoditas utama dan banyaknya reality show yang menayangkan fenomena penampakan hantu dengan segmen uji nyali untuk mengukur sejauh mana tingkat keberanian peserta yang mengikutinya. Acara-acara semacam itu banyak ditayangkan di Indonesia. Salah satu yang paling terkenal adalah Dunia Lain yang tayang di saluran Trans TV dari tahun 2003 sampai tahun 2010 dan (Masih) Dunia Lain

yang tayang di saluran Trans 7 dari tahun 2010 dan masih tayang sampai sekarang.

Dari sekian banyak hantu yang ada di Indonesia, kuntilanakadalah salah satu hantu yang paling populer. Kuntilanak adalah sosok hantu wanita yang meninggal dalam persalinan (Bianca, 2013, hlm. 80). Hantu perempuan yang


(13)

2

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

meninggal karena melahirkan bukan hanya ada di Indonesia. Di Malaysia, hantu perempuan yang meninggal karena melahirkan disebut pontianak. Di Jepang dikenal dengan nama ubume. Sedangkan di Thailand dikenal dengan phi tai tong glom. Bahkan di Thailand terdapat sebuah cerita Nang Nak yang sangat melegenda. Nang Nak sendiri adalah nama seorang perempuan yang ditinggal perang oleh suaminya dalam keadaan mengandung. Saat melahirkan, Nang Nak meninggal dan menjadi hantu. Setelah menjadi hantu, Nang Nak menunggu suaminya pulang dengan setia. Penantian itu berbuah manis, suaminya pulang dari medan perang. Suami Nang Nak sama sekali tidak mengetahui bahwa istrinya sudah meninggal. Mereka hidup seperti layaknya sepasang suami-istri sampai suatu hari datanglah pendeta yang memberitahu bahwa Nang Nak sudah lama meninggal. Hal tersebut membuat hantu Nang Nak marah dan membunuh semua penduduk desa Phra Kanong yang memberitahukan bahwa dia telah meninggal pada suaminya. Legenda ini sangat terkenal di Thailand. Bahkan ada sebuah kuil yang dipersembahkan untuk hantu Nang Nak.

Akibat sangat populernya cerita mengenai hantu perempuan yang meninggal akibat melahirkan inilah banyak muncul film-film yang terinspirasi dari cerita tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Bianca (2013, hlm. 78) dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Hantu dan Makhluk Gaib Nusantara. Bianca mengatakan:

Kuntilanak atau sering disebut pontianak adalah sosok makhluk gaib yang sering dieksploitasi. Wujudnya mudah dikenali, yaitu wanita berambut panjang menutupi mata, badan setengah membungkuk, melayang-layang, dan mengeluarkan suara tawa seram.

Setelah melakukan pengamatan kepustakaan, peneliti menemukan 25 judul film dari tiga negara (lihat lampiran). Dari Indonesia ditemukan 17 judul dengan rentang tahun 1961 sampai 2013. Dari Malaysia ditemukan tiga judul dengan rentang tahun 1957 sampai 2005. Di Thailand ditemukan lima judul dengan rentang tahun 1959-2013.

Banyaknya film-film yang mengangkat cerita kuntilanak adalah bukti bahwa cerita tersebut masih dan akan terus diminati. Salah satu upaya untuk terus


(14)

3

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

menghidupkan cerita kuntilanak dalam film adalah dengan memberikan suguhan pornografi dalam film tersebut. Film-film bermuatan pornografis kini marak mengangkat cerita kuntilanak. Sederet artis-artis yang dikenal sensual pun turut membintangi film-film tersebut. Kini cap film “panas” pun melekat dalam film yang mengangkat cerita kuntilanak. Cap film “panas” terhadap film tentang

kuntilanak kini mulai bergeser kepada sosok Kuntilanak sendiri. Seringkali kuntilanak divisualkan dengan erotis dan memakai pakaian yang sensual. Hal tersebut semakin menjauhkan cerita kuntilanak yang sebenarnya merupakan warisan tradisi lisan yang tentu saja memiliki nilai di dalamnya. Zaimar (2008, hlm. 338) mengatakan bahwa di dalam tradisi lisan terpancar nilai, gagasan, norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki baik oleh individu maupun masyarakat

Penelitian-penelitian terhadap cerita hantu sebagai legenda alam gaib masih sedikit dilakukan orang. Dari pengamatan terhadap penelitian-penelitian terdahulu, peneliti menemukan tujuh penelitian mengenai cerita hantu. Penelitian pertama adalah penelitian Rusyana dan Raksanagara yang berjudul Sastra Lisan Sunda: Ceritera Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit (1978). Penelitian kedua adalah penelitian Diessy Hermawati Bravianingrum (2011) dari Universitas Pesantren Tinggi Darul’Ulum Jombang. Penelitian ini berjudul Perbandingan Mitos yang Terdapat pada Legenda (Ko-Sodate Yuurei) (Jepang) dan Legenda

Kuntilanak (Indonesia) (Kajian Sastra Bandingan). Penelitian ketiga adalah penelitian Tassa Ary Maheswarina (2012). Mahasisiwi Universitas Negeri Malang ini melakukan penelitian yang bejudul Kepercayaan Masyarakat Jawa dalam Film Kuntilanak (2012). Penelitian keempat adalah penelitian Ratih Sukarsini (2012). Penelitian mahasiswi Unpad ini berjudul Struktur Mitos Cerita Hantu dalam Acara Nightmare Side Radio Ardan 105.9 FM Bandung: Kajian Strukturalisme Claude Lévi-Strauss. Penelitian kelima adalah penelitian M. Iskandarsyah yang berjudul Hantu Merah: Melihat Konstruksi Budaya dan

Telaah Fungsi dalam Memaknai Cerita Legenda Alam Gaib Kampus UI (2012).

Penelitian keenam adalah penelitian Anas Ahmadi yang berjudul Legenda Hantu Kampus di Surabaya: Kajian Folklor Hantu (Ghostlore) Kontemporer. Penelitian


(15)

4

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ini dimuat dalam buku Folklor Nusantara (2013). Penelitian terakhir adalah penelitian yang ditulis oleh Indrawan Dwisetya Suhendi (2013). Penelitian yang berjudul Ciri-ciri Fantastik Dua Cerita Rakyat Kalimantan dalam Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Karya Kidh Hidayat.

Dari judul-judul penelitian tersebut, belum ada penelitian yang membicarakan kaitan cerita kuntilanak dengan pandangan dunia orang Sunda. Itulah celah yang akan peneliti garap untuk penelitian ini. Penelitian ini adalah penelitian tradisi lisan dengan data berupa rekaman mengenai cerita kuntilanakdi kota Bandung. Kota Bandung dipilih karena dianggap oleh peneliti dapat mewakili masyarakat Sunda secara umum. Hal tersebut dikarenakan kota Bandung adalah ibu kota Jawa Barat dan pusat kebudayaan Sunda (Ekadjati, 1993, hlm. 15). Penelitian ini dipayungi oleh ilmu folklor, terutama folklor lisan. Penelitian ini akan membahas pandangan dunia orang Sunda terhadap alam gaib yang tercermin dalam struktur cerita, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi, dan makna cerita Kuntilanaksebagai legenda alam gaib.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Sejalan dengan latar belakang penelitian, peneliti akan merumuskan masalah yang nantinya akan dijawab pada penelitian. Rumusan-rumusan masalah tersebut adalah:

1. Bagaimana struktur cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung?

2. Bagaimana proses penciptaan cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung?

3. Bagaimana konteks penuturan cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung?

4. Apa saja fungsi cerita kuntilanaksebagai legenda alam gaib di Kota Bandung? 5. Apa makna yang terkandung dalam cerita kuntilanak sebagai legenda alam

gaib di Kota Bandung?

6. Bagaimana pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam cerita kuntilanaksebagai legenda alam gaib di Kota Bandung?


(16)

5

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran berbagai hal-hal berikut.

1. Struktur cerita kuntilanaksebagai legenda alam gaib di Kota Bandung.

2. Konteks penuturan cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung

3. Proses penciptaan cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung.

4. Fungsi cerita kuntilanaksebagai legenda alam gaib di Kota Bandung.

5. Makna yang terkandung dalam cerita kuntilanaksebagai legenda alam gaib di Kota Bandung.

6. Pandangan dunia orang Sunda dalam cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan memberikan manfaat akademik dan praktis. Berikut adalah manfaat-manfaat dalam penelitian ini.

1. Manfaat Akademik

Adapun manfaat akademik dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Memberikan pemahaman bahwa sebenarnya cerita hantu adalah bentuk tradisi

lisan yang berupa legenda alam gaib.

2) Memberikan gambaran dan pemetaan mengenai cerita hantu, khususnya cerita kuntilanak.

3) Menambah kepustakaan penelitian mengenai legenda alam gaib, khususnya cerita hantu.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Memberikan sumbangan pada dunia film terkait cerita kuntilanak. Dengan adanya penelitian ini, para sineas diharapkan membuat film dengan konten yang sesuai agar nilai cerita kuntilanak dapat diwariskan dengan baik.


(17)

6

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2) Memberikan sumbangan agar para orang tua bijak dalam menceritakan hal-hal yang berbau horor. Di dalam cerita kuntilanak tentu terdapat nilai, namun adakalanya untuk dapat diceritakan kepada anak, diperlukan kebijakan dari orang tua.

3) Memberikan kontribusi terhadap pendokumentasian tradisi lisan, khususnya legenda alam gaib.

E. Struktur Organisasi Skripsi

Skripsi ini memiliki struktur/sistematika sebagai berikut.

Bab I: Pendahuluan, berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah peneleitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi. Bab II: Landasan Teori, berisi ringkasan penelitian terdahulu yang relevan dan teori-teori yang dipakai oleh peneliti. Bab III: Metode Penelitian, berisi desain penelitian, partisipan dan tempat penelitian, pengumpulan data, dan isu etik. Bab IV: Temuan dan Pembahasan, berisi hasil penelitian terhadap data yang dianalisis. Dalam bab ini, pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam rumusan masalah akan dijawab. Bab ini berisi hasil pembahasan terhadap struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, makna, dan pandangan dunia orang Sunda dalam cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di kota Bandung. Bab V: Simpulan dan Rekomendasi, berisi simpulan dan rekomendasi yang menyajikan penafsiran akan analisis sekaligus mengajukan hal-hal penting yang dapat dimanfaatkan dari hasil penelitian tersebut.


(18)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007, hlm.4) mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sejalan dengan pengertian tersebut, Kirk dan Miller (Moleong, 2007, hlm. 4) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Masih membahas definisi penelitian kualitatif yang relevan dengan penelitian ini, Moleong (2007, hlm 5) mengatakan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku baik individu maupun sekelompok orang. Ketiga definisi penelitian kualitatif di atas relevan dengan penelitian ini. Dalam definisi pertama, penelitian kualitatif menekankan aspek data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan. Hal ini sejalan dengan penelitian ini yang bermaksud mendeskripsikan sedetail mungkin data berupa tuturan cerita kuntilanak untuk selanjutnya dianalisis. Pada definisi kedua, penelitian kualitatif merupakan bagian dari tradisi ilmu pengetahuan sosial yang menjadikan manusia sebagai objek. Hal ini pun sejalan dengan penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian humaniora yang bermaksud mendeskripsikan pandangan dunia manusia Sunda lewat cerita kuntilanak yang ada dalam kolektif Sunda. Pada definisi ketiga, wawancara terbuka dapat menjadi teknik penelitian kualitatif dan data wawancara tersebut dapat dijadikan data untuk melihat, menelaah, dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku baik individu maupun sekelompok orang.

Dalam penelitian kualitatif, terdapat beberapa metode yang dapat dipakai untuk memperoleh data dan menganalisis data. Dalam bagian ini, peneliti


(19)

28

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

bermaksud menjabarkan metode-metode yang yang digunakan baik dalam pengumpulan data maupun analisis data. Berikut adalah beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Metode Etnografi

Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan (Spradley, 2006, hlm. 3). Metode ini bertujuan untuk menggambarkan kebudayaan dari sudut pandang pemilik kebudayaan tersebut. Malinowski (Spradley, 2006, hlm. 4) mengatakan bahwa tujuan etnografi adalah untuk memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya denga kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai duniannya. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti menganggap bahwa metode ini dapat diteterapkan untuk menganalisis pandangan dunia orang Sunda dalam cerita kuntilanak.

Metode etnografi dalam penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis berbagai fenomena-fenomena kebudayaan masyarakat Sunda yang tercermin dalam cerita kuntilanak. Oleh sebab itu, metode ini merupakan metode yang paling penting dan dominan diterapkan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai konteks penuturan, fungsi, makna, dan pandangan dunia orang Sunda dalam cerita kuntilanak, digunakanlah metode etnografi.

2. Metode Formal

Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra (Ratna, 2013, hlm. 49). Tujuan metode ini ialah untuk mendeskripsikan sifat-sifat artistik sebuah teks (lihat Ratna, 2013, hlm. 49). Pandangan tersebut menjelaskan bahwa metode formal memandang teks sastra sebagai sumber analisis dengan memperhatikan kaitan antar unsur-unsur teks sastra. Metode ini merupakan metode yang digunakan untuk membedah aspek kesastraan cerita kuntilanak, yakni struktur cerita dan proses penciptaan. Dalam penerapan metode ini, deskripsi mengenai struktur cerita dan proses penciptaan menjadi fokus utama kajian.


(20)

29

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu B. Partisipan dan Tempat Penelitian

1. Partisipan

Penelitian ini merupakan penelitian yang membutuhkan partisipan/informan sebagai sumber data. Partisipan dalam penelitian ini merupakan orang Sunda yang memiliki pengalaman berinteraksi dengan kuntilanak. Memang sulit untuk memastikan apakah seorang informan betul-betul memiliki pengalaman berinteraksi dengan kuntilanak, mengingat kuntilanak merupakan makhluk gaib yang tidak tampak. Namun, Danandjaja (2007, hlm. 73) mengatakan bahwa mengenai benar atau tidaknya legenda ini (pen, legenda alam gaib), bukan masalah kita untuk membuktikannya. Pendapat Danandjaja ini memberikan peneliti pemahaman bahwa masalah terpenting bukan benar atau tidaknya sebuah cerita kuntilanak, melainkan sesuatu yang ada di balik cerita tersebut.

Partisipan dalam penelitian ini memiliki beberapa kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Kriteria utama partisipan dalam penelitian ini adalah (1) merupakan orang Sunda, dan (2) tinggal di wilayah kota Bandung. Kriteria-kriteria tersebut dibuat dengan merujuk pada fokus penelitian, yakni mengungkap pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam cerita kuntilanak di kota Bandung. Selain itu, Spradley (2006, hlm. 68-77) mengememukakan lima syarat ideal informan, yakni (1) enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) cukup waktu, dan (5) nonanalitik. Syarat pertama dan kedua peneliti anggap sebagai syarat yang paling relevan dengan penelitian ini. Informan harus berenkulturasi penuh terhadap budaya Sunda. Hal ini dapat dilihat dari sejauh mana informan dapat menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, syarat ini dapat didukung dengan wilayah tinggal informan. Informan yang baik tentu harus bertempat tinggal di wilayah yang berbudaya Sunda serta tidak pernah tinggal lama di luar lingkungan budaya Sunda. Syarat kedua juga sangat penting mengingat penelitian ini merupakan penelitian legenda alam gaib (memorat) di mana data merupakan cerita nyata yang dialami oleh informan. Jadi, informan harus memiliki keterlibatan langsung dengan cerita. Selain kedua syarat utama


(21)

30

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

tersebut, syarat lain juga akan turut diperhitungkan dalam penentuan partisipan/informan.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan difokuskan di wilayah kota Bandung bagian utara dengan tiga kecamatan yang berbeda, yakni kecamatan Sukasari, Sukajadi, dan Cidadap. Pemilihan tempat penelitian didasarkan kepada pandangan Ekadjati (1993, hlm. 15) bahwa kota Bandung merupakan ibukota Jawa Barat dan pusat kebudayaan Sunda. Sebagai pusat kebudayaan Sunda, kota Bandung dapat dijadikan sebagai wilayah penelitian yang ideal. Selain itu, kedudukan kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat turut menjadikan kota Bandung sebagai wilayah penelitian yang ideal untuk melihat bagaimana pandangan dunia orang Sunda dalam cerita kuntilanak. Sedangkan mengenai tiga kecamatan di wilayah kota Bandung bagian utara lebih didasari oleh kepentingan praktis peneliti. Untuk menekan biaya penelitian, peneliti memilih wilayah yang berdekatan dengan domisili peneliti.

C. Data dan Pengumpulan Data: Objek, Teknik Pengumpulan Data, dan Instrumen Penelitian

1. Objek Penelitian

Data dalam penelitian ini merupakan data lisan berupa cerita mengenai pengalaman informan saat berinteraksi dengan kuntilanak. Data dikumpulkan dari tiga informan di tiga kecamatan yang berbeda di wilayah kota Bandung bagian utara, yakni kecamatan Sukasari, Sukajadi, dan Cidadap. Data yang didapat dari informan inilah yang selanjut dianalisis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, digunakan teknik-teknik sebagai berikut.

a. Perekaman

Perekaman dilakukan untuk mendapatkan data berupa tuturan cerita kuntilanak dari para informan. Perekaman dilakukan dengan menggunakan alat berupa telepon genggam.


(22)

31

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu b. Pendokumentasian

Pendokumentasian dilakukan untuk mengumpulkan data seperti foto para informan, peta daerah informan berasal, dan lain-lain.

c. Kepustakaan

Kepustakaan mutlak dilakukan untuk mengumpulkan data dari sumber-sumber tertulis seperti buku, jurnal, dan media pustaka lain.

d. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan keterangan yang menunjang penelitian. Dalam proses wawancara, informan ditanya berdasarkan pola wawancara terstruktur dan tidak tersruktur (Moleong, 2007:190).

e. Pengamatan

Pengamatan dilakukan untuk melihat konteks dari penuturan cerita kuntilanak. Dari hasil pengamatan dapat terlihat sejauh mana cerita kuntilanak dituturkan beserta konteks-konteks sosial-budaya yang menyertainya.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah berupa benda dan manusia. Berupa benda seperti lembar pengamatan, lembar pertanyaan, pedoman wawancara, dan sebuah telepon genggam bermerek Mito A60 yang akan digunakan untuk merekam dan memotret dengan spesifikasi kamera 13 Mp (megapixel) serta instrumen berupa manusia yaitu peneliti sendiri. Moleong (2007:168) mengatakan bahwa manusia (peneliti) merupakan instrumen penelitian kualitatif karena manusia merupakan alat pengumpul data.

D. Prosedur Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini, ada serangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk dapat mencari jawaban dari rumusan-rumusan masalah yang sudah dirumuskan. Berikut adalah rangkaian kegiatan penelitian tersebut.

Pertama, melakukan perekaman penuturan cerita kuntilanak. Perekaman dilakukan untuk mendapatkan data utama berupa cerita kuntilanak. Perekaman dilakukan dengan menggunakan alat rekam berupa telepon genggam.


(23)

32

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kedua, melakukan transkripsi data. Data yang berupa hasil rekaman kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk tertulis. Acuan dalam melakukan pentranskripsian rekaman ke dalam bentuk lambang bunyi dilakukan dengan mengacu pada lambang-lambnag bunyi dalam bahasa Sunda.

Ketiga, melakukan penerjemahan data. Data yang berupa hasil transkripsi yang berbahasa Sunda kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Keempat, melakukan analisis data. Data yang sudah berupa transkripsi berbahasa Indonesia kemudian dianalisis menggunakan teori-teori seperti tercantum dalam landasan teori. Analisis ditekankan pada aspek struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi, dan makna cerita kuntilanak, pandangan dunia orang Sunda seperti tercermin dalam cerita kuntilanak.

Kelima, menyimpulkan isi penelitian. Data yang sudah dianalisis kemudian disimpulkan berdasarkan hasil dari penelitian. Penarikan kesimpulan dilakukan secara umum terhadap cerita-cerita kuntilanak yang dianalisis.

E. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah bagaimana suatu objek penelitian didekati. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan folklor modern. Pendekatan folklor modern berbeda dengan pendekatan folklor humanistik dan folklor antropologis. Bila folklor humanistik lebih menekankan aspek lore ketimbang folk

dan folklor antropologis lebih menekankan aspek folk ketimbang lore, maka folklor modern memandang keduanya sebagai hal yang penting (Danandjaja, 2008:61). Selain itu, pendekatan struktural dan semiotika digunakan untuk mendeskripsikan struktur cerita. Sebagaimana telah disebut dalam bagian landasan teori, strukturalisme dan semiotika merupakan suatu kesatuan. Bila analisis struktural memandang sebuah cerita sebagai struktur, maka semiotikaa memandang struktur tersebut merupakan sebuah tanda yang dapat diberi makna.

F. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa konsep maupun peristilahan. Konsep dan peristilahan tersebut akan diuraikan di bagian ini untuk


(24)

33

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mencegah terjadinya kekaburan makna. Berikut adalah definisi operasional dalam penelitian ini.

1) Cerita hantu, bagian dari legenda alam gaib yang biasanya menceritakan pengalaman seseorang berinteraksi dengan hantu.

2) Dedemit, salah satu jenis makhluk gaib Sunda menurut Rusyana. Dedemit

merupakan makhluk gaib yang menakutkan.

3) Dhanyang, salah satu jenis makhluk gaib Jawa menurut Geerts. Dhanyang

merupakan makhluk gaib yang merupakan penjaga keselamatan seseorang. 4) Fungsi, kegunaan sebuah cerita Kuntilanak bagi masyarakat pemilik cerita. 5) Kajajaden, salah satu jenis makhluk halus Sunda menurut Rusyana. Kajajaden

merupakan manusia yang dapat berubah menjadi hewan maupun makhluk lainnya.

6) Karuhun, salah satu jenis makhluk gaib Sunda menurut Rusyana. Karuhun

merupakan makhluk gaib yang merupakan roh nenek moyang.

7) Konteks penuturan, deskripsi mengenai konteks situasi dan budaya yang menyertai penuturan cerita Kuntilanak.

8) Kuntilanak, hantu yang berasal dari jiwa perempuan yang meninggal akibat persalinan.

9) Lelembut, salah satu jenis makhluk gaib Jawa menurut Geerts. Lelembut

merupakan makhluk gaib yang dapat merasuki manusia. 10)Makna, konotasi yang terdapat dalam cerita Kuntilanak.

11)Memedi, salah satu jenis makhluk gaib Jawa menurut Geerts. Memedi

merupakan makhluk gaib yang menakutkan.

12)Orang Sunda, salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Jawa Barat dan sekitarnya.

13)Pandangan dunia, nilai yang menentukan sikap pemilik cerita Kuntilanak

(orang Sunda).

14)Proses penciptaan, cara penciptaan sebuah cerita Kuntilanak.

15)Struktur, keterjalinan unsur-unsur yang membentuk sebuah cerita Kuntilanak.

16)Thuyul, salah satu jenis makhluk gaib Jawa menurut Geerts. Thuyul


(25)

34

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu G. Kerangka Berpikir Penelitian

1. Kurangnya literatur penelitian tradisi lisan yang membahas legenda alam gaib di Indonesia, khususnya tradisi Sunda.

2. Banyaknya transformasi cerita kuntilanak ke dalam bentuk film dan terdapat unsur pornografis dalam kontennya.

3. Semakin hilangnya tradisi bercerita cerita hantu sehingga pesan dan nilai yang hendak disampaikan oleh leluhur orang Sunda kepada generasi penerus kebudayaan Sunda lewat cerita kuntilanak kian memudar. 4. Kurangnya usaha orang Sunda untuk

menggali pesan yang terkandung dalam cerita kuntilanak.

1. Bagaimana struktur cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung? 2. Bagaimana konteks

penuturan cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung?

3. Bagaimana proses penciptaan cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung?

4. Apa saja fungsi cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung? 5. Apa makna yang terkandung

dalam cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung?

6. Bagaimana pandangan dunia orang Sunda dalam cerita kuntilanak sebagai legenda alam gaib di Kota Bandung? 7.

Metode penelitian Pengumpulan dan


(26)

35

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Bagan 3.1

Kerangka Berpikir Penelitian

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA


(27)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan ketiga teks cerita kuntilanak dari tiga kecamatan di Kota Bandung didapat kesimpulan bahwa tokoh-tokoh dalam cerita sebagai representasi orang Sunda memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai perempuan berambut panjang, memakai pakaian putih kumal, dan berwajah menyeramkan. Di samping itu, tokoh-tokoh dalam cerita memandang kuntilanak adalah hantu yang mendiami tempat-tempat lembap seperti bak penampungan air dan lahan bekas sawah. Selain itu, orang Sunda juga memandang kuntilanak sebagai hantu yang senang mendiami pepohonan, seperti pohon alpukat dan pohon kelapa. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan menguraikan jawaban dari enam pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam rumusan masalah.

1. Struktur

Cerita I menunjukkan bahwa dari analisis struktur cerita I dapat disimpulkan bahwa analisis sintaksis teks menunjukkan bahwa pengaluran cerita I cenderung linear. Lineraritas cerita tersebut dikarenakan cerita lisan bersifat sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan kontemporer.

Dari hasil analisis tokoh cerita I dapat disimpulkan beberapa hal penting. Pertama, terdapat oposisi antara tokoh manusia (Wawan dan mang Yaya) dengan tokoh hantu (kuntilanak). Oposisi ini juga dapat dimaknai lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan sesuatu di luar kekuatan manusia (adikodrati). Kedua, terdapat oposisi watak antara watak pemberani (mang Yaya) dan penakut (Wawan) saat berinteraksi dengan tokoh kuntilanak. Ketiga, terdapat oposisi hubungan antartokoh. Hubungan antartokoh dapat terjalin erat atau renggang. Keeratan dan kerengganggan tersebut dapat dilihat dari hubungan darah dan hubungan dalam cerita. Hubungan antartokoh secara keseluruhan menunjukkan adanya oposisi rapat dan renggang. Hubungan yang rapat ditandai dengan adanya


(28)

316

316

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

hubungan darah seperti tokoh Wawan dengan mang Yaya. Selain karena hubungan darah, kerapatan hubungan juga dapat ditandai dengan interaksi yang terjalin intensif dalam peristiwa. Kerapatan hubungan dalam cerita dapat dilihat dari adanya percakapan antartokoh maupun intensitas peristiwa yang menampilkan kedua tokoh tersebut. Kerapatan hubunga dalam cerita ditunjukkan oleh hubungan Wawan dengan mang Yaya yang memiliki percakapan dan intensitas peristiwa. Selain itu hubungan yang rapat dalam cerita juga ditunjukkan oleh Wawan dengan kuntilanak. Kedua tokoh tersebut memiliki intensitas peristiwa yang cukup intensif dalam cerita. Sedangkan hubungan yang renggang ditandai dengan tidak adanya hubungan darah antartokoh dan tidak adanya interaksi yang intensif dalam cerita. Tokoh mang Yaya dengan kuntilanak merupakan contoh hubungan yang renggang dalam cerita I. Kedua tokoh tersebut tidak memiliki intensitas cerita yang intensif.

Dalam analisis ruang cerita I, dapat disimpulkan bahwa terdapat oposisi antara ruang terbuka dengan ruang tertutup. Ruang terbuka diwakili dengan bak penampungan air yang berada di hulu. Bak penampungan air yang berada di hulu tersebut dapat diberi makna sebagai sumber kehidupan. Ruang tertutup diwakili oleh rumah. Rumah menjadi sebuah tanda yang dapat dimaknai sebagai keterbatasan gerak dan mikrokosmos. Bila air sebagai sumber kehidupan mereka tidak mengalir karena mengalami kerusakan, mereka harus pergi ke ruang terbuka (bak penampungan air yang berada di hulu) untuk mendapatkan kembali air di rumah mereka. Dalam ruang terbuka, terdapat interaksi antara Wawan, mang

Yaya, dan kuntilanak. Hal ini dapat diberi makna, yaitu dalam ruang terbuka (makrokosmos) manusia dengan kekuatan adikodrati dapat berinteraksi. Hal tersebutlah yang menjadikan posisi ruang terbuka sangat penting dalam cerita ini.

Temuan dari hasil pembahasan waktu adalah terdapat beberapa hal berikut. Pertama, waktu cerita berlangsung pada malam Selasa, pukul 01.00 WIB, tahun 2015. Kedua, penutur beranggapan seperti orang Sunda pada umumnya yang mempercayai keangkeran malam Selasa. Ketiga, waktu penuturan terjadi pada 17 Februari 2015 pukul 12.06-12.10 WIB. Keempat, terdapat selisih tiga tahun dari waktu cerita dengan waktu penceritaan.


(29)

317

317

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Analisis aspek verbal teks cerita I menunjukkan bahwa terdapat dua tipe penceritaan dalam cerita: (1) wicara yang dilaporkan dan (2) wicara yang dinarasikan. Wicara yang dilaporkan berupa percakapan Wawan dan mang Yaya serta terdapat tuturan imperatif dan deklaratif yang di ucapkan mang Yaya kepada Wawan. Wicara yang dinarasikan tersebar di seluruh cerita, kecuali bagian percakapan dan tuturan langsung.

Struktur cerita II menunjukkan hal sebagai berikut. Analisis sintaksis teks cerita II menunjukkan bahwa pengaluran cerita cenderung progresif. Peristiwa-peristiwa dalam cerita disajikan berdasarkan urutan kronolgis. Pemililahan cerita berdasarkan satuan peristiwa dapat membuktikan hal tersebut. Fungsi utama-fungsi utama cerita II dipilah berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam cerita berdasarkan urutan kronologis. Setelah didapat fungsi utama-fungsi utama cerita, kemudian dicarilah hubungan logis yang membentuk alur cerita. Selain ihwal pengaluran yang cenderung bergerak maju (progresif), alur cerita II juga sangat sederhana. Kesederhanaan cerita ditampilkan lewat penyampaian peristiwa per peristiwa berdasarkan waktu kronologis peristiwa berlangsung. hal ini membuktikan bahwa cerita lisan memang cenderung sederhana dan tidak serumit cerita rekaan kontemporer.

Analisis semantik teks cerita II menunjukkan bahwa analisis tokoh menunjukkan adanya oposisi antara tokoh manusia dan tokoh bukan manusia, yakni tokoh hantu. Tokoh manusia diwakili oleh Dede, suami, dan anak. Sedangkan tokoh hantu diwakili oleh kuntilanak. Oposisi ini juga dapat dimaknai lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan sesuatu di luar kekuatan manusia (adikodrati). Selain itu, terdapat oposisi watak toko manusia saat berinteraksi dengan kuntilanak, yakni takut dan berani. Tokoh Dede yang pemberani dapat diartikan sebagai kekuatan dan penyeimbang dari watak penakut tokoh suami.

Analisis ruang menunjukkan adanya oposisi ruang terbuka dan ruang tertutup. Ruang terbuka adalah daerah Cirateun Wetan. Di dalm ruang terbuka Cirateun Wetan, tokoh manusia yakni Dede dan tokoh suami berinteraksi dengan tokoh bukan manusia yakni kuntilanak. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai ketiadaan batas. Hal tersebut menunjukkan bahwa ruang terbuka adalah semesta


(30)

318

318

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

yang tidak memiliki batas. Dalam ruang terbuka Cirateun Wetan, keterbatasan manusia dalam berinteraksi dengan makhluk adikodrati seolah melebur. Peleburan keterbatasan itulah yang mengakibatkan tokoh manusia bertemu dengan tokoh hantu. Terdapat tiga ruang tertutup dalam cerita II, yakni rumah Dede, rumah tokoh anak, dan rumah sakit. Ketiga ruang tertutup tersebut dapat bermakna sebagai keterbatasan gerak. Ketiga ruang tertutup tersebut tidak begitu dominan hadir dalam teks. Hal tersebut dikarenakan tidak banyaknya peristiwa dan hal yang terjadi di ruang tertutup. Namun, ruang tertutup rumah sakit dapat dimaknai sebagai ruang yang angker sehingga dapat menimbulkan ketakutan di benak tokoh suami. Hal tersebut terus muncul di benak tokoh suami sehingga saat perjalanan pulang, tokoh suami merasakan adanya hantu di sekitarnya.

Analisis waktu cerita II menunjukkan bahwa cerita hanya terjadi dalam satu malam, yakni malam Selasa. Waktu cerita memiliki efek ketakutan. Hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan orang Sunda yang meyakini bahwa malam Selasa dan malam Jumat adalah waktu-waktu yang dianggap angker.

Analisis aspek verbal menunjukkan bahwa kehadiran pencerita menunjukkan bahwa pencerita hadir secara langsung dalam cerita sebagai tokoh. Hal tersebut dapat dilihat dari dua kata ganti yang merujuk kepada pencerita, yakni ibu dan emak. Dalam terjemahan teks bahasa Indonesia, kedua kata tersebut mendapat catatan penerjemah, yakni penutur. Dengan kata lain, dalam cerita II, pencerita yang hadir adalah pencerita intern.

Hasil analisis tipe penceritaan menunjukkan bahwa terdapat dua tipe penceritaan dalam cerita II, yakni wicara yang dilaporkan dan wicara yang dinarasikan. Wicara yang dilaporkan merupakan dialog tokoh suami dan Dede. Konteks dialog tersebut adalah saat tokoh suami merasakan bahwa ada hantu di sekitar mereka. Untuk memperingatkan istrinya ia berkata bahwa ada hantu di sini. Dede merespons kalimat deklaratif tersebut dengan kalimat imperatif yang menyuruh agar suaminya tenang dan mengabaikan perasaannya tersebut. Selain itu, terdapat dua kalimat langsung yang dituturkan oleh Dede. Kalimat pertama merupakan kalimat imperatif yang menyuruh tokoh suami untuk tidak menengok ke belakang dan berjalan lurus. Kalimat kedua merupakan kalimat imperatif yang


(31)

319

319

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

berfungsi sebagai teguran Dede kepada kuntilanak. Wicara yang dinarasikan tersebar di seluruh teks kecuali bagian wicara yang dilaporkan.

Struktur cerita III menunjukkan bahwa alur cerita III terdapat 15 fungsi utama yang bila dirangkai akan membentuk hubungan yang logis dalam cerita. Aspek pengaluran menunjukkan bahwa bahwa cerita bergerak maju atau progresif. Selain itu, yang dapat dilihat dari alur cerita III adalah kesederhanaan cerita. Cerita lisan memang cenderung sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan kontemporer. Sifat kelisanan itulah yang membuat cerita menjadi sederhana. Pergantian satu peristiwa ke peristiwa lain terjadi secara kronologis dan jelas. Hanya peristiwa-peristiwa penting sajalah yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuklah alur cerita. Peristiwa-peristiwa yang tidak penting dan hanya sebagai sempilan, cenderung diabaikan oleh penutur. Hasil analisis alur ini akan dijadikan landasan analisis-analisis lain.

Hasil analisis sintaksis naratif cerita III menunjukkan bahwa cerita III memiliki 15 fungsi utama. Ke-15 fungsi utama tersebut kemudian dihubungkan secara logis sehingga terjalinlah alur cerita yang utuh. Dari aspek pengaluran, cerita III cenderung memiliki pengaluran yang progresif (bergerak maju). Hal tersebut menunjukkan bahwa cerita III sebagai cerita lisan cenderung memiliki pengaluran yang menampilkan urutan peristiwa secara progresif. Selain itu, cerita III memiliki kesederhanaan dari segi peristiwa. Hanya peristiwa-peristiwa penting saja yang terdapat dalam cerita. Hal tersebut juga merupakan indikasi bahwa cerita lisan cenderung sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan.

Secara keseluruhan, analisis tokoh cerita III menunjukkan adanya oposisi tokoh manusia dan tokoh bukan manusia. Tokoh manusia dalam cerita III adalah Taufik dan Asep, sedangkan tokoh bukan manusia adalah kuntilanak yang merupakan hantu. Oposisi ini juga dapat dimaknai lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan sesuatu di luar kekuatan manusia (adikodrati).

Interaksi antartokoh terjalin rapat. Ketiga tokoh dalam cerita III bertemu dan berinteraksi secara langsung. ketiga tokoh dalam cerita III memang tidak memiliki hubungan darah, namun hubungan dalam cerita yang terjalin rapat membuat interaksi ketiga tokoh dalam cerita terjalin rapat.


(32)

320

320

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Analisis ruang menunjukkan bahwa terdapat oposisi ruang dalam cerita III, yakni ruang terbuka dan ruang tertutup. Ruang terbuka dalam cerita III adalah lahan bekas sawah yang ditumbuhi pepohonan, sedangkan ruang tertutup adalah gubuk. Ruang terbuka dapat dimaknai lebih lanjut menjadi makrokosmos karena sifatnya yang luas dan tidak terbatas sehingga tokoh manusia dan tokoh hantu dapat saling berinteraksi. Dalam ruang terbuka terjadi perancuan ruang sehingga batas-batas yang memisahkan ruang manusia dan ruang hantu menjadi kabur. Hal inilah yang menjadikan lahan bekas sawah adalah penanda dari makrokosmos. Ruang tertutup dalam teks adlah gubuk. Gubuk adalah tempat Taufik dan Asep melakukan uji nyali sebagai upaya pelestarian tradisi santri. Selain itu, di gubuklah untuk pertama kali taufik dan Asep mendengar suara kuntilanak. Gubuk sebagai ruang tertutup dapat dimaknai sebagai mikrokosmos. Dalam ruang tertutup segala aktivitas seolah terdapat sekat-sekat yang membatasi gerak. Hal tersebut terlihat saat Taufik dan Asep mendengar suara kuntilanak. Untuk mengetahui asal suara tersebut, mereka harus meninggalkan gubuk menuju lahan bekas sawah.

Analisis waktu menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tidak terdapat petunjuk waktu yang jelas dalam cerita III. Waktu cerita III terjadi dulu saat bangunan pesantren An-Nur tidak semegah sekarang. Dulu bangunan pesantren An-Nur adalah lahan bekas sawah yang ditanami pepohonan. Hanya itulah petunjuk waktu dalam teks. Hal ini mengisyaratkan adanya kerancuan waktu dalam cerita III.

Dari analisis kehadiran pencerita, dapat disimpulkan bahwa pencerita dalam cerita ini merupakan tokoh yang mengalami langsung peristiwa-peristiwa dalam cerita. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan pronomina orang pertama Abdi. Taufik selaku pencerita intern juga berperan sebagai tokoh, pemandang, dan penutur cerita.

Secara keseluruhan, teks cerita III menunjukkan bahwa terdapat dua tipe penceritaan, yakni wicara yang dilaporkan dan wicara yang dinarasikan. Wicara yang dilaporkan dalam cerita III adalah berupa teguran Taufik kepada kuntilanak dengan menggunakan kalimat interogratif Rék naon sia? Rék ngaganggu? (Mau


(33)

321

321

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

apa kamu? Mau mengganggu?). Kalimat interogratif tersebut sebenarnya merupakan teguran Taufik terhadap kuntilanak yang mengganggu aktivitasnya mendiami gubuk. Selain itu, terdapat wicara yang dinarasikan. Wicara ini tersebar di seluruh teks, kecuali teks wicara yang dilaporkan.

2. Proses Penciptaan

Dari hasil analisis proses penciptaan cerita I dapat disimpulkan bahwa penciptaan cerita terjadi secara spontan. Hal tersebut ditandai dengan terdapatnya partikel eu yang digunakan oleh penutur sebagai jeda bila terdapat bagian cerita yang dilupakannya. Selain itu, terdapat tiga tahap proses penciptaan dalam cerita I. Ketiga proses tersebut adalah (1) penutur berusaha mengingat cerita, (2) penutur menuturkan cerita, dan (3) penutur menuturkan cerita dengan didasari oleh sebuah skema yang terdiri dari lima bagian. Kelima bagian tersebut adalah (1) deskripsi waktu cerita, (2) peristiwa yang menjadi motor penggerak cerita, (3) keanehan yang dialami penutur, keanehan ini menimbulkan efek angker dan seram terhadap penutur, (4) penutur melihat sosok hantu yang menyeramkan, dan (5) penjelasan tokoh lain (mang Yaya) kepada penutur bahwa makhluk yang dilihatnya adalah kuntilanak. Kelima bagian itu dapat dirangkum ke dalam tiga tahap cerita. Tahap awal (bagian I), puncak cerita (bagian II, III, dan IV), dan tahap ahkir (bagian V).

Analisis proses penciptaan cerita II menunjukkan bahwa penciptaan cerita terjadi secara spontan. Hal tersebut ditandai dengan ekspesi penutur yang tampak seolah sedang berusaha mengingat peristiwa yang pernah dialaminya Selain itu, terdapat dua tahap proses penciptaan dalam cerita II. Kedua proses tersebut adalah (1) penutur berusaha mengingat cerita, dan (2) penutur menuturkan cerita. Dari penuturan cerita, akan tampat sebuah skema yang terdiri dari lima bagian. Kelima bagian tersebut adalah (1) deskripsi waktu cerita, (2) peristiwa yang menjadi motor penggerak cerita, (3) keanehan yang dialami penutur, keanehan ini menimbulkan efek angker dan seram terhadap penutur, (4) penutur melihat sosok hantu yang menyeramkan, dan (5) penegasan dari tokoh mengenai tempat berlangsungnya peristiwa. Kelima bagian itu dapat dirangkum ke dalam tiga tahap cerita. Tahap awal (bagian I), puncak cerita (bagian II, III, dan IV), dan tahap ahkir (bagian V).


(34)

322

322

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Analisis proses penciptaan cerita III menunjukkan bahwa penciptaan cerita terjadi secara spontan. Hal tersebut ditandai dengan ekspesi penutur yang tampak seolah sedang berusaha mengingat peristiwa yang pernah dialaminya Selain itu, terdapat dua tahap proses penciptaan dalam cerita II. Kedua proses tersebut adalah (1) penutur berusaha mengingat cerita, dan (2) penutur menuturkan cerita. Dari penuturan cerita, akan tampat sebuah skema yang terdiri dari lima bagian. Kelima bagian tersebut adalah (1) deskripsi tokoh cerita dan deskripsi ruang tempat peristiwa berlangsung, (2) peristiwa yang menjadi motor penggerak cerita, (3) keanehan yang dialami penutur, keanehan ini menimbulkan efek angker dan seram terhadap penutur, (4) penutur melihat sosok hantu yang menyeramkan, dan (5) penegasan bahwa sejak saat itu, penutur tetap tinggal di tempat itu dan masih saja mendengar suara-suara aneh yang cukup mengganggu. Kelima bagian itu dapat dirangkum ke dalam tiga tahap cerita. Tahap awal (bagian I), puncak cerita (bagian II, III, dan IV), dan tahap ahkir (bagian V).

3. Konteks Penuturan

Konteks penuturan yang terdiri dari konteks situasi dan budaya menunjukkan bahwa tidak terdapat waktu, tujuan, dan peralatan khusus dalam cerita kuntilanak karena sifatnya yang profan. Teknik penuturan terdiri dari tiga teknik, yakni prapenuturan, penuturan, dan pascapenuturan.

Lokasi penuturan cerita adalah di tiga kecamatan di Kota Bandung, yakni Kecamatan Cidadap, Kecamatan Sukasari, dan Kecamatan Sukajadi. Interaksi penutur dan audiens terjadi secara searah dari penutur ke audiens, namun saat prapenuturan, terjadikomunikasi dua arah antara penutur dan peneliti. Latar sosial-budaya menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam penuturan cerita adalah bahasa Sunda, walau terkadang bercampur dengan bahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris.

Sistem teknologi yang terdapat di tiga kecamatan tersebut menunjukkan adanya pergeseran dari teknologi tradisional ke teknologi modern. Sistem ekonomi masyarakat di tiga kecamatan tersebut menunjukkan bahwa pertanian sudah mulai ditinggalkan karena lahan pertanian baik berupa sawah maupun ladang sudah semakin berkurang.


(35)

323

323

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sistem organisasi sosial di tiga kecamatan tersebut adalah sistem organisasi sosial yang modern. Individu-individu yang memiliki hubungan darah membentuk kepala keluarga (KK). Himpunan dari KK-KK tersebut membentuk sebuah RT. RT-RT tersebut membentuk sebuah wilayah administratif yang lebih luas, yakni RW. Gabungan dari RW-RW membantuk wilayah administratif yang lebih luas, yakni kelurahan. Beberapa kelurahan tersebut kemudian berhimpun menjadi sebuah kecamatan.

Sistem pengetahuan yang terdapat di tiga kecamatan tersebut umumya adalah sistem pengetahuan modern. Walau demikian, masih terdapat juga sistem pengetahuan tradisional seperti kepercayaan rakyat akan tumbuh-tumbuhan obat.

Kesenian yang berkembang di tiga kecamatan tersebut adalah kesenian tradisional dan modern. Kesenian tradisional sudah semakin terpojokkan oleh kesenian modern. Modernisasi juga membuat kesenian tradisional dapat dinikmat dalam kemasan yang lebih modern.

Sistem religi yang dianut oleh masyarakat di tiga kecamatan tersebut pada umumnya menganut agama-agama resmi seperti agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Budha. Namun, ajaran agama Islam sebagai agama yang paling banyak dianut pada umumnya bersinggungan dengan agama Hindu dan kepercayaan lokal.

4. Fungsi

Secara keseluruhan, ketiga cerita kuntilanak memiliki fungsi pengesah kebudayaan, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan. Fungsi pengesah kebudayaan yang tampak dalam cerita adalah adanya upaya peneguhan terhadap kepercayaan orang Sunda terhadap wujud kuntilanak, ciri-ciri kehadiran kuntilank, dan tampat yang disukai oleh kuntilanak. Selain itu, cerita juga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan. Nilai pendidikan yang diajarkan oleh teks adalah nilai budaya dan nilai kelestarian lingkungan. Fungsi ketiga yang tampak dalam teks cerita adalah fungsi hiburan. Penuturan cerita hantu di saat senggang memberikan efek hiburan. Efek hiburan tersebut timbul karena ketakutan-ketakutan dan gosip yang menyertai cerita hantu. Freud (dalam Endraswara, 2004, hlm. 34) mengatakan


(36)

324

324

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

bahwa sejak manusia primitif memang telah ada bekal rasa takut terhadap misteri. Bekal rasa taku inilah yang menimbulkan efek kepenasaranan akan hantu.

5. Makna

Perluasan makna dalam ketiga cerita kuntilanak menunjukkan adanya sebuah pola interaksi. Interaksi tersebut adalah hubungan manusia dengan kekuatan adikodrati, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dengan kata lain, terdapat harmonisasi antara manusia dengan kekuatan adikodrati, manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia. Hal inilah yang disebut pola tritangtu dalam budaya Sunda sebagaimana telah dikatakan Sumardjo seperti berikut. Sumardjo (2011, hlm. 12) mengatakan bahwa,

Orang Sunda membangun pola hubungan dengan manusia bukan Sunda, membangun pola hubungan dengan manusia Sunda yang lain, dengan alam lingkungannya, dengan nenek moyangnya, dengan Tuhan, dengan tempat tinggalnya, dengan kampungnya, dengan negaranya.

6. Pandangan Dunia Orang Sunda

Tokoh-tokoh dalam cerita kuntilanak sebagai representasi orang Sunda memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai perempuan berambut panjang, memakai pakaian putih kumal, dan berwajah menyeramkan. Di samping itu, tokoh-tokoh dalam cerita memandang kuntilanak adalah hantu yang mendiami tempat-tempat lembap seperti bak penampungan air dan lahan bekas sawah. Selain itu, orang Sunda juga memandang kuntilanak sebagai hantu yang senang mendiami pepohonan, seperti pohon alpukat dan pohon kelapa. Orang Sunda juga memiliki dua oposisi sikap saat berinteraksi dengan kuntilanak, oposisi sikap tersebut adalah takut dan berani. Rasa takut ditunjukkan oleh tokoh Wawan dan tokoh suami, sedangkan tokoh yang berani saat berinteraksi dengan kuntilanak adalah mang Yaya, Dede, Taufik, dan Asep.

B. Implikasi dan Rekomendasi

Setelah menyelesaikan penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang peneliti ajukan bagi peneliti lain dan masyarakat akademik secara umum yang


(37)

325

325

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

menaruh minat pada kajian tradisi lisan, khususnya legenda alam gaib. Adapun rekomendasi yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut.

1. Peneliti lain dapat mengangkat fenomena legenda alam gaib dari hantu-hantu lain, seperti genderuwo dan pocong.

2. Peneliti lain dapat menggunakan teori-teori yang lebih komprehensif dan fokus, seperti teori feminis untuk mengangkat fenomena-fenomena hantu-hantu perempuan.

3. Peneliti lain dapat mengkaji keterkaitan antara legenda alam gaib yang berkembang di masyarakat dengan film-film hantu dengan menggunakan teori yang relevan.


(38)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu REFERENSI

Adimihardja, K. (1984). ”Pertanian: Mata pencaharian hidup masyarakat sunda” dalam Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pustaka.

Ahmadi, A. (2013). “Legenda hantu kampus di surabaya: Kajian folklor hantu kontemporer” dalam Endraswara (Penyunting). Folklor nusantara.

Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Amir, A. (2013). Sastra lisan indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Badrun, A. (2003). Patu mbojo: Struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan, dan fungsi. (Disertasi). Program Studi Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Depok.

Barthes, R. (2000). Mythologies. London: Vintage.

Bianca, F. (2013). Ensiklopedi hantu dan mahkluk gaib nusantara. Yogyakarta: Narasi.

BPS Kota Bandung. (2014). Kecamatan cidadap dalam angka 2014.

[online]. Diakases dari http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/cidadap-2014.

BPS Kota Bandung. (2014). Kecamatan sukajadi dalam angka 2014. [online]. Diakses dari http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/sukajadi-2014.

BPS Kota Bandung. (2013). Kecamatan sukasari dalam angka 2013. [online]. Diakses dari http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/sukasari-2014.

Bravianingrum, D. H. (2011). Perbandingan mitos yang terdapat pada legenda (Ko-Sodate Yuurei) (Jepang) dan legenda kuntilanak (Indonesia) (Kajian Sastra Bandingan). (Skripsi). Universitas Pesantren Tinggi Darul’Ulum Jombang, Jombang.

Danandjaja, J. (2007). Folklore indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.


(39)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Danandjaja, J. (2008). “Pendekatan folklor dalam bahan-bahan penelitian tradisi lisan” dalam Pudentia (Penyunting). Metodologi kajian tradisi lisan.

Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Danasasmita, M. (2001). Wacana bahasa dan sastra sunda lama. Bandung: STSI Press.

Durachman, M, dkk. (2006). Cerita si kabayan: Transformasi, proses penciptaan, makna, dan fungsi. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif. Bandung: UPI. Endraswara, S. (2004). Dunia hantu orang jawa. Yogyakarta: Narasi.

Endraswara, S. (2010). Folklor jawa. Jakarta: Penaku.

Endraswara, S. (2011). Metodologi penelitian sastra. Yogyakarta: CAPS.

Endraswara, S. (Penyunting). (2013). Folklor nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ekadjati, E. S. (Penyunting). (1984). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pustaka.

Ekadjati, E. S. (2014). Kebudayaan sunda: Suatu pendekatan sejarah. Bandung: Pustaka Jaya.

Garna, J. (1984). “Pola kampung dan desa, bentuk serta organisasi rumah masyarakat sunda” dalam Edi S. Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pusaka.

Geerts, C. (1981). Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Geerts, C. (2003). Pengetahuan lokal. Yogyakarta: Merapi.

Hutomo, S. H. (1991). Mutiara yang terlupakan. Surabaya: HISKI.

Hidayat, S. (2012). Pandangan dunia orang sunda dalam tiga novel indonesia tentang perang bubat. (Tesis). Program Studi Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Depok.

Hoed, B. H. (2011). Semiotik dan dinamika sosial budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Iskandarsyah, M. (2012). Hantu merah: Melihat konstruksi budaya dan telaah fungsi dalam memaknai cerita legenda alam gaib kampus UI. (Skripsi). Departemen Antropologi Sosial Universitas Indonesia, Depok


(40)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Koenjtaraningrat. (1984). Kebudayaan jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar antropologi: Pokok-pokok etnografi II.

Jakarta: Rineka Cipta.

Komarasari, D. (2013). Kasenian bring-brung di kalurahan ledeng kacamatan cidadap kota bandung pikeun bahan pangajaran maca di sma. (Skripsi). Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Maheswarina, T. A. (2012). Kepercayaan masyarakat jawa dalam film kuntilanak. (Skripsi). Universitas Malang, Malang.

Moleong, L. J. (2007). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Rosda. Mustapa, H. H. (2010). Adat istiadat sunda. Bandung: PT. Alumni. Nurgiantoro, B. (2012). Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Pudentia. (Penyunting). (2008). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Rajagopalachari, C. (2013). Kitab epos mahabharata. Yogyakarta: IRCiSoD. Ratna, N. K. (2013). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Rozak, A. (2005). Teologi kebatinan sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Rusyana, Y. dan Raksanagara, A. (1978). Sastra lisan sunda: Ceritera karuhun, kajajaden, dan dedemit. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Suhamihardja, A. S. (1984). “Agama, kepercayaan, dan sistem pengetahuan” dalam Edi S. Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pusaka.

Suhendi, I. D. (2013). “Ciri-ciri fantastik dua cerita rakyat kalimantan dalam buku kumpulan cerita rakyat nusantara karya kidh hidayat”. Jurnal Lokabasa 5. (2). 122-135

Sukarsini, R. (2012). Struktur mitos cerita hantu dalam acara nightmare side radio ardan 105.9 fm bandung: Kajian strukturalisme claude lévi-strauss.

Skripsi. Unpad, Bandung.


(41)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Spradley, J. P. (2007). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sweneey, A. (1987). A full hearing: Orality and literacy in the malay world.

Berkeley: University of California Press.

Taum, Y. Y. (2011). Studi sastra lisan: Sejarah, teori, metode, dan pendekatan disetai contoh penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.

Todorov, T. (1985). Tata sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Warnaen, S. (1987). Pandangan hidup orang sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastra sunda. Bandung: Depdikbud.

Zaimar, O. K.S. (1991). Menelusuri makna ziarah karya iwan simatupang.

Jakarta: Intermasa.

Zaimar, O. K.S. (2008). “Metodologi penelitian sastra lisan” dalam Pudentia (Penyunting). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Zaimar, O. K.S. (2008). Semiotika dan penerapannya dalam karya sastra.


(1)

324

324 Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

bahwa sejak manusia primitif memang telah ada bekal rasa takut terhadap misteri. Bekal rasa taku inilah yang menimbulkan efek kepenasaranan akan hantu.

5. Makna

Perluasan makna dalam ketiga cerita kuntilanak menunjukkan adanya sebuah pola interaksi. Interaksi tersebut adalah hubungan manusia dengan kekuatan adikodrati, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dengan kata lain, terdapat harmonisasi antara manusia dengan kekuatan adikodrati, manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia. Hal inilah yang disebut pola tritangtu dalam budaya Sunda sebagaimana telah dikatakan Sumardjo seperti berikut. Sumardjo (2011, hlm. 12) mengatakan bahwa,

Orang Sunda membangun pola hubungan dengan manusia bukan Sunda, membangun pola hubungan dengan manusia Sunda yang lain, dengan alam lingkungannya, dengan nenek moyangnya, dengan Tuhan, dengan tempat tinggalnya, dengan kampungnya, dengan negaranya.

6. Pandangan Dunia Orang Sunda

Tokoh-tokoh dalam cerita kuntilanak sebagai representasi orang Sunda memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai perempuan berambut panjang, memakai pakaian putih kumal, dan berwajah menyeramkan. Di samping itu, tokoh-tokoh dalam cerita memandang kuntilanak adalah hantu yang mendiami tempat-tempat lembap seperti bak penampungan air dan lahan bekas sawah. Selain itu, orang Sunda juga memandang kuntilanak sebagai hantu yang senang mendiami pepohonan, seperti pohon alpukat dan pohon kelapa. Orang Sunda juga memiliki dua oposisi sikap saat berinteraksi dengan kuntilanak, oposisi sikap tersebut adalah takut dan berani. Rasa takut ditunjukkan oleh tokoh Wawan dan tokoh suami, sedangkan tokoh yang berani saat berinteraksi dengan kuntilanak adalah mang Yaya, Dede, Taufik, dan Asep.

B. Implikasi dan Rekomendasi

Setelah menyelesaikan penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang peneliti ajukan bagi peneliti lain dan masyarakat akademik secara umum yang


(2)

325

325 Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

menaruh minat pada kajian tradisi lisan, khususnya legenda alam gaib. Adapun rekomendasi yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut.

1. Peneliti lain dapat mengangkat fenomena legenda alam gaib dari hantu-hantu lain, seperti genderuwo dan pocong.

2. Peneliti lain dapat menggunakan teori-teori yang lebih komprehensif dan fokus, seperti teori feminis untuk mengangkat fenomena-fenomena hantu-hantu perempuan.

3. Peneliti lain dapat mengkaji keterkaitan antara legenda alam gaib yang berkembang di masyarakat dengan film-film hantu dengan menggunakan teori yang relevan.


(3)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu REFERENSI

Adimihardja, K. (1984). ”Pertanian: Mata pencaharian hidup masyarakat sunda” dalam Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pustaka.

Ahmadi, A. (2013). “Legenda hantu kampus di surabaya: Kajian folklor hantu

kontemporer” dalam Endraswara (Penyunting). Folklor nusantara.

Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Amir, A. (2013). Sastra lisan indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Badrun, A. (2003). Patu mbojo: Struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan,

dan fungsi. (Disertasi). Program Studi Ilmu Susastra Universitas

Indonesia, Depok.

Barthes, R. (2000). Mythologies. London: Vintage.

Bianca, F. (2013). Ensiklopedi hantu dan mahkluk gaib nusantara. Yogyakarta: Narasi.

BPS Kota Bandung. (2014). Kecamatan cidadap dalam angka 2014.

[online]. Diakases dari

http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/cidadap-2014.

BPS Kota Bandung. (2014). Kecamatan sukajadi dalam angka 2014. [online]. Diakses dari http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/sukajadi-2014.

BPS Kota Bandung. (2013). Kecamatan sukasari dalam angka 2013. [online]. Diakses dari http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/sukasari-2014.

Bravianingrum, D. H. (2011). Perbandingan mitos yang terdapat pada legenda (Ko-Sodate Yuurei) (Jepang) dan legenda kuntilanak (Indonesia) (Kajian

Sastra Bandingan). (Skripsi). Universitas Pesantren Tinggi Darul’Ulum

Jombang, Jombang.

Danandjaja, J. (2007). Folklore indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.


(4)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Danandjaja, J. (2008). “Pendekatan folklor dalam bahan-bahan penelitian tradisi lisan” dalam Pudentia (Penyunting). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Danasasmita, M. (2001). Wacana bahasa dan sastra sunda lama. Bandung: STSI Press.

Durachman, M, dkk. (2006). Cerita si kabayan: Transformasi, proses penciptaan,

makna, dan fungsi. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif. Bandung: UPI.

Endraswara, S. (2004). Dunia hantu orang jawa. Yogyakarta: Narasi. Endraswara, S. (2010). Folklor jawa. Jakarta: Penaku.

Endraswara, S. (2011). Metodologi penelitian sastra. Yogyakarta: CAPS.

Endraswara, S. (Penyunting). (2013). Folklor nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ekadjati, E. S. (Penyunting). (1984). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pustaka.

Ekadjati, E. S. (2014). Kebudayaan sunda: Suatu pendekatan sejarah. Bandung: Pustaka Jaya.

Garna, J. (1984). “Pola kampung dan desa, bentuk serta organisasi rumah masyarakat sunda” dalam Edi S. Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda

dan kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pusaka.

Geerts, C. (1981). Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Geerts, C. (2003). Pengetahuan lokal. Yogyakarta: Merapi.

Hutomo, S. H. (1991). Mutiara yang terlupakan. Surabaya: HISKI.

Hidayat, S. (2012). Pandangan dunia orang sunda dalam tiga novel indonesia

tentang perang bubat. (Tesis). Program Studi Ilmu Susastra Universitas

Indonesia, Depok.

Hoed, B. H. (2011). Semiotik dan dinamika sosial budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Iskandarsyah, M. (2012). Hantu merah: Melihat konstruksi budaya dan telaah

fungsi dalam memaknai cerita legenda alam gaib kampus UI. (Skripsi).


(5)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Koenjtaraningrat. (1984). Kebudayaan jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar antropologi: Pokok-pokok etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta.

Komarasari, D. (2013). Kasenian bring-brung di kalurahan ledeng kacamatan

cidadap kota bandung pikeun bahan pangajaran maca di sma. (Skripsi).

Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Maheswarina, T. A. (2012). Kepercayaan masyarakat jawa dalam film

kuntilanak. (Skripsi). Universitas Malang, Malang.

Moleong, L. J. (2007). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Rosda. Mustapa, H. H. (2010). Adat istiadat sunda. Bandung: PT. Alumni. Nurgiantoro, B. (2012). Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Pudentia. (Penyunting). (2008). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Rajagopalachari, C. (2013). Kitab epos mahabharata. Yogyakarta: IRCiSoD. Ratna, N. K. (2013). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Rozak, A. (2005). Teologi kebatinan sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Rusyana, Y. dan Raksanagara, A. (1978). Sastra lisan sunda: Ceritera karuhun,

kajajaden, dan dedemit. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa.

Suhamihardja, A. S. (1984). “Agama, kepercayaan, dan sistem pengetahuan” dalam Edi S. Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan

kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pusaka.

Suhendi, I. D. (2013). “Ciri-ciri fantastik dua cerita rakyat kalimantan dalam buku kumpulan cerita rakyat nusantara karya kidh hidayat”. Jurnal Lokabasa 5. (2). 122-135

Sukarsini, R. (2012). Struktur mitos cerita hantu dalam acara nightmare side radio ardan 105.9 fm bandung: Kajian strukturalisme claude lévi-strauss. Skripsi. Unpad, Bandung.


(6)

Indrawan Dwisetya Suhendi, 2015

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Spradley, J. P. (2007). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sweneey, A. (1987). A full hearing: Orality and literacy in the malay world. Berkeley: University of California Press.

Taum, Y. Y. (2011). Studi sastra lisan: Sejarah, teori, metode, dan pendekatan

disetai contoh penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.

Todorov, T. (1985). Tata sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Warnaen, S. (1987). Pandangan hidup orang sunda seperti tercermin dalam

tradisi lisan dan sastra sunda. Bandung: Depdikbud.

Zaimar, O. K.S. (1991). Menelusuri makna ziarah karya iwan simatupang. Jakarta: Intermasa.

Zaimar, O. K.S. (2008). “Metodologi penelitian sastra lisan” dalam Pudentia (Penyunting). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Zaimar, O. K.S. (2008). Semiotika dan penerapannya dalam karya sastra. Jakarta: Pusat Bahasa