PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA (1)

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA KUNTILANAK
SEBAGAI LEGENDA ALAM GAIB DI KOTA BANDUNG
Indrawan Dwisetya Suhendi
Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berkembangnya cerita kuntilanak di masyarakat
Sunda bahkan di Indonesia. Fenomena cerita kuntilanak telah bertransformasi menjadi
film, baik yang mengangkat akar budaya dan kepercayaan suatu masyarakat, maupun yang
hanya menyuguhkan erotisme berbalut cerita kuntilanak belaka. Penelitian ini bertujuan
untuk mengungkap struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, makna, dan
pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam cerita pengalaman mereka saat
berinteraksi dengan kuntilanak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode etnografi untuk mendeskripsikan fenomena kebudayaan di
masyarakat tempat cerita kuntilanak tumbuh dan metode formal untuk mendeskripsikan
struktur cerita kuntilanak. Temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) struktur
cerita kuntilanak memunculkan oposisi-oposisi seperti watak tokoh yang takut dan berani
saat berinteraksi dengan kuntilanak yang terjalin dengan pengaluran progresif. (2)
Penciptaan cerita terjadi secara spontan mengacu pada skema-skema komposisi cerita dan
ingatan dari penutur. (3) Kebudayaan Sunda kekinian turut berpengaruh terhadap cerita

kuntilanak yang terlihat dari analisis konteks penuturan cerita. (4) Cerita kuntilanak
memiliki fungsi pengesah kebudayaan, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan. (5) Makna
yang terkandung dalam cerita kuntilanak adalah adanya interaksi antara manusia, alam,
dan kekuatan adikodrati. (6) Adanya oposisi pandangan orang Sunda terhadap kuntilanak:
takut dan berani. Berdasarkan hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang Sunda
memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai
perempuan berambut panjang, memakai baju berwarna putih, bertempat tinggal di tempat
yang lembap dan pohon-pohon. Selain itu, orang Sunda juga memiliki oposisi sikap saat
bertemu dengan kuntilanak, yakni berani dan takut.
Kata kunci: pandangan dunia orang Sunda, cerita kuntilanak, legenda alam gaib
1) Pendahuluan
Cerita hantu merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang selalu ada dalam setiap
kebudayaan. Iskandarsyah (2012, hlm. 1) mengatakan bahwa cerita hantu sudah menjadi
bagian tidak terpisahkan dari cerita-cerita rakyat (folks tale) dan budaya serta ritual di
dunia. Cerita hantu merupakan bagian dari legenda alam gaib. Legenda alam gaib adalah
pengalaman pribadi seseorang yang dianggap benar-benar terjadi (lihat Danandjaja, 2007,
hlm. 71). Legenda alam gaib seringkali menceritakan pengalaman seseorang bertemu atau
berinteraksi dengan makhluk-makhluk gaib. Brunvand mengatakan berhubung legenda
alam gaib merupakan pengalaman pribadi seseorang, ahli folklor Swedia, C.W. von Sydow,
memberikan nama lain, yaitu memorat (Danandjaja, 2007, hlm. 71).

Tradisi bertutur cerita hantu tumbuh subur di Indonesia disebabkan oleh
kepercayaan rakyat yang masih mengakar kuat di masyarakat. Fungsi cerita hantu pun
adalah untuk meneguhkan kebenaran takhayul atau kepercayaan rakyat (Danandjaja, 2007,
hlm. 71). Selain itu, kreativitas masyarakat Indonesia juga turut menyuburkan tradisi
bertutur cerita hantu. Hal tersebut dapat dilihat juga dari maraknya industri perfilman yang
menjadikan cerita hantu sebagai komoditas utama dan banyaknya reality show yang
menayangkan fenomena penampakan hantu dengan segmen uji nyali untuk mengukur
1

sejauh mana tingkat keberanian peserta yang mengikutinya. Acara-acara semacam itu
banyak ditayangkan di Indonesia. Salah satu yang paling terkenal adalah Dunia Lain yang
tayang di saluran Trans TV dari tahun 2003 sampai tahun 2010 dan (Masih) Dunia Lain
yang tayang di saluran Trans 7 dari tahun 2010 dan masih tayang sampai sekarang. Dari
sekian banyak hantu yang ada di Indonesia, kuntilanak adalah salah satu hantu yang paling
populer. Kuntilanak adalah sosok hantu wanita yang meninggal dalam persalinan (Bianca,
2013, hlm. 80). Hantu perempuan yang meninggal karena melahirkan bukan hanya ada di
Indonesia. Di Malaysia, hantu perempuan yang meninggal karena melahirkan disebut
pontianak. Di Jepang dikenal dengan nama ubume. Sedangkan di Thailand dikenal dengan
phi tai tong glom.
Akibat sangat populernya cerita mengenai hantu perempuan yang meninggal akibat

melahirkan inilah banyak muncul film-film yang terinspirasi dari cerita tersebut.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Bianca (2013, hlm. 78) dalam bukunya yang
berjudul Ensiklopedi Hantu dan Makhluk Gaib Nusantara. Bianca mengatakan:
Kuntilanak atau sering disebut pontianak adalah sosok makhluk gaib yang
sering dieksploitasi. Wujudnya mudah dikenali, yaitu wanita berambut
panjang menutupi mata, badan setengah membungkuk, melayang-layang,
dan mengeluarkan suara tawa seram.
Setelah melakukan pengamatan kepustakaan, peneliti menemukan 25 judul film dari tiga
negara. Dari Indonesia ditemukan 17 judul dengan rentang tahun 1961 sampai 2013. Dari
Malaysia ditemukan tiga judul dengan rentang tahun 1957 sampai 2005. Di Thailand
ditemukan lima judul dengan rentang tahun 1959-2013.
Banyaknya film-film yang mengangkat cerita kuntilanak adalah bukti bahwa cerita
tersebut masih dan akan terus diminati. Salah satu upaya untuk terus menghidupkan cerita
kuntilanak dalam film adalah dengan memberikan suguhan pornografi dalam film tersebut.
Film-film bermuatan pornografis kini marak mengangkat cerita kuntilanak. Sederet artisartis yang dikenal sensual pun turut membintangi film-film tersebut. Kini cap film “panas”
pun melekat dalam film yang mengangkat cerita kuntilanak. Cap film “panas” terhadap
film tentang kuntilanak kini mulai bergeser kepada sosok Kuntilanak sendiri. Seringkali
kuntilanak divisualkan dengan erotis dan memakai pakaian yang sensual. Hal tersebut
semakin menjauhkan cerita kuntilanak yang sebenarnya merupakan warisan tradisi lisan
yang tentu saja memiliki nilai di dalamnya. Zaimar (2008, hlm. 338) mengatakan bahwa di

dalam tradisi lisan terpancar nilai, gagasan, norma, kepercayaan dan keyakinan yang
dimiliki baik oleh individu maupun masyarakat
Penelitian-penelitian terhadap cerita hantu sebagai legenda alam gaib masih sedikit
dilakukan orang. Dari pengamatan terhadap penelitian-penelitian terdahulu, peneliti
menemukan tujuh penelitian mengenai cerita hantu. Penelitian pertama adalah penelitian
Rusyana dan Raksanagara yang berjudul Sastra Lisan Sunda: Ceritera Karuhun,
Kajajaden, dan Dedemit (1978). Penelitian kedua adalah penelitian Diessy Hermawati
Bravianingrum (2011) dari Universitas Pesantren Tinggi Darul’Ulum Jombang. Penelitian
ini berjudul Perbandingan Mitos yang Terdapat pada Legenda (Ko-Sodate Yuurei)
(Jepang) dan Legenda Kuntilanak (Indonesia) (Kajian Sastra Bandingan). Penelitian
ketiga adalah penelitian Tassa Ary Maheswarina (2012). Mahasisiwi Universitas Negeri
Malang ini melakukan penelitian yang bejudul Kepercayaan Masyarakat Jawa dalam Film
Kuntilanak (2012). Penelitian keempat adalah penelitian Ratih Sukarsini (2012). Penelitian
mahasiswi Unpad ini berjudul Struktur Mitos Cerita Hantu dalam Acara Nightmare Side
Radio Ardan 105.9 FM Bandung: Kajian Strukturalisme Claude Lévi-Strauss. Penelitian
kelima adalah penelitian M. Iskandarsyah yang berjudul Hantu Merah: Melihat Konstruksi
Budaya dan Telaah Fungsi dalam Memaknai Cerita Legenda Alam Gaib Kampus UI
2

(2012). Penelitian keenam adalah penelitian Anas Ahmadi yang berjudul Legenda Hantu

Kampus di Surabaya: Kajian Folklor Hantu (Ghostlore) Kontemporer. Penelitian ini
dimuat dalam buku Folklor Nusantara (2013). Penelitian terakhir adalah penelitian yang
ditulis oleh Indrawan Dwisetya Suhendi (2013). Penelitian yang berjudul Ciri-ciri
Fantastik Dua Cerita Rakyat Kalimantan dalam Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara
Karya Kidh Hidayat.
Dari judul-judul penelitian tersebut, belum ada penelitian yang membicarakan
kaitan cerita kuntilanak dengan pandangan dunia orang Sunda. Itulah celah yang akan
peneliti garap untuk penelitian ini. Penelitian ini adalah penelitian tradisi lisan dengan data
berupa rekaman mengenai cerita kuntilanak di kota Bandung. Kota Bandung dipilih karena
dianggap oleh peneliti dapat mewakili masyarakat Sunda secara umum. Hal tersebut
dikarenakan kota Bandung adalah ibu kota Jawa Barat dan pusat kebudayaan Sunda
(Ekadjati, 1993, hlm. 15). Penelitian ini dipayungi oleh ilmu folklor, terutama folklor lisan.
Penelitian ini akan membahas pandangan dunia orang Sunda terhadap alam gaib yang
tercermin dalam struktur cerita, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi, dan makna
cerita Kuntilanak sebagai legenda alam gaib.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
bagaimana struktur cerita kuntilanak? (2) bagaimana proses penciptaan cerita kuntilanak?
(3) bagaimana konteks penuturan cerita kuntilanak? (4) apa fungsi yang terkandung dalam
cerita kuntilanak? (5) apa makna cerita kuntilanak, dan (6) bagaimana pandangan dunia
orang Sunda yang tercermin dalam cerita kuntilanak?

2) Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) naratologi Todorov (1985:1213) untuk mengungkap struktur cerita Kuntilanak, 2) konteks situasi dan budaya dari
Bauman (dalam Badrun, 2003:40) untuk analisis konteks penuturan, 3) skema komposisi
cerita dari Sweeney (1987:39-40) untuk analisis proses penciptaan, 5) fungsi folklor
Hutomo (1991:69) untuk analisis fungsi cerita, signifiksi Barthes (2000:109-127) untuk
menganalisis makna, dan 6) teori sudut pandang sebagai keseluruhan imaji dan nilai
sebagian besar tidak begitu disadari, tetapi menentukan sikap individu maupun kelompok
dari Zaimar (2008:43) untuk menganalisis pandangan dunia orang Sunda.
3) Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode formal
dan metode etnografi. Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspekaspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra (Ratna, 2013, hlm. 49).
Pandangan tersebut menjelaskan bahwa metode formal memandang teks sastra sebagai
sumber analisis dengan memperhatikan kaitan antar unsur-unsur teks sastra. Metode ini
merupakan metode yang digunakan untuk membedah aspek kesastraan cerita kuntilanak,
yakni struktur cerita dan proses penciptaan. Dalam penerapan metode ini, deskripsi
mengenai struktur cerita dan proses penciptaan menjadi fokus utama kajian.
Metode etnografi dalam penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis berbagai fenomena-fenomena kebudayaan masyarakat Sunda yang tercermin
dalam cerita kuntilanak. Oleh sebab itu, metode ini merupakan metode yang paling penting
dan dominan diterapkan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, untuk menjawab

pertanyaan penelitian mengenai konteks penuturan, fungsi, makna, dan pandangan dunia
orang Sunda dalam cerita kuntilanak, digunakanlah metode etnografi. Partisipan penelitian
ini adalah orang Sunda yang lahir dan tinggal di wilayah Kecamatan Cidadap, Kecamatan
Sukasari, dan Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung.

3

4) Temuan dan Pembahasan
Dari hasil penelusuran data, didapatlah tiga cerita kuntilanak. Ketiga cerita tersebut
didapat dari tiga kecamatan berbeda di Kota Bandung, yakni Kecamatan Cidadap (cerita I),
Kecamatan Sukasari (cerita II), dan Kecamatan Sukajadi (cerita III). Dalam bab ini, ketiga
cerita tersebut akan dianalisis sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan
menggunakan seperangkat teori dan metode yang telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya. Berikut adalah pembahasan dari ketiga cerita tersebut.
a. Sinopsis Cerita Kuntilanak
Cerita I bermula saat penutur (Wawan, 35 tahun) diminta untuk menemani emang
(paman) untuk membenarkan bak penampungan air. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun
2012. Peristiwa tersebut dilakukan pada malam Selasa sekitar pukul 01.00 WIB. Dalam
perjalanan menuju tempat bak penampungan air, penutur merasakan adanya keanehan
seperti ada suara seperti tukang patri yang mengikutinya dan adanya suara anak ayam yang

bercicit. Keanehan tersebut membuat penutur penasaran dan mengarahkan lampu sorotnya
ke arah bak penampungan air. Ternyata, di atas bak tersebut duduk sesosok kuntilanak
yang kemudian terbang karena disorot oleh lampu.
Cerita II mengisahkan peristiwa yang dialami oleh ibu Dede (48 tahun) saat melihat
sosok kuntilanak. Saat itu penutur diminta oleh anaknya untuk mengantarkan suaminya
yang sedang sakit ke rumah sakit. Saat itu penutur pergi bersama suaminya. Di perjalanan
pulang dari rumah sakit, suami penutur merasa ada hantu yang ditandai dengan
meremangnya bulu kuduk. Tiba-tiba penutur melihat sesosok kuntilanak yang sedang
duduk di pohon alpukat.
Cerita III mengisahkan Taufik dan temannya, Asep Jamur, yang sedang mendiami
sebuah gubuk di sebuah lahan yang akan di bangun sebuah pesantren. Di lahan tersebut
banyak terdapat pepohonan. Suatu saat, Taufik dan Asep Jamur mendengar suara cekikikan
dari arah pohon kelapa. Kemudian mereka berdua keluar untuk melihat sumber suara
tersebut. Suara tersebut ternyata berasal dari suara tertawa kuntilanak. Saat dihampiri oleh
Taufik dan Asep jamur, kuntilanak tersebut lantas menghilang.
b. Struktur Cerita Kuntilanak
Analisis sintaksis teks cerita I menunjukkan terdapat 22 fungsi utama. Berikut
adalah fungsi utama-fungsi utama yang akan menjalin alur cerita I.
F.1. Kerusakan bak penampungan air.
F.2. Ketiadaan air untuk berbagai kebutuhan keluarga penutur.

F.3. Keputusan mang Yaya untuk segera memperbaiki bak penampungan air.
F.4. Waktu perbaikan bak: malam Selasa tengah malam.
F.5. Anggapan mang Yaya: mengajak seseorang tentu lebih baik dan lebih efektif.
F.6. Ajakan mang Yaya kepada penutur untuk memperbaiki bak penampungan air.
F.7. Tindakan mang Yaya dan penutur pergi ke tempat bak penampungan air.
F.8. Tindakan mang Yaya dan penutur memperbaiki sistem bak penampungan air.
F.9. Kepercayaan orang Sunda bahwa malam Selasa tengah malam merupakan waktu yang
angker.
F.10. Rasa takut yang menguasai penutur.
F.11. Sugesti penutur mengenai hal-hal yang aneh.
F.12. Keanehan yang dirasakan penutur: adanya suara seperti tukang patri “crik crik crik
crik” yang mengikutinya dan suara anak ayam yang bercicit.
F.13. Tindakan penutur mempertanyakan pendengarannya tersebut kepada mang Yaya.
F.14. Tindakan mang Yaya yang menyuruh agar penutur mengabaikan pendengarannya.
F.15. Rasa penasaran penutur: ada apa gerangan?

4

F.16. Tindakan penutur mencari asal suara dan menyorot bagian atas bak penampungan air
dengan senter.

F.17. Ketidaksengajaan penutur melihat sosok kuntilanak.
F.18. Perasaan kaget dan takut penutur.
F.19. Sosok kuntilanak terkena cahaya lampu senter.
F.20. Kekagetan kuntilanak: ia terbang dengan tergesa.
F.21. Tindakan kuntilanak terbang sambil tertawa.
F.22. Kondisi fisik penutur: ia merasa lemas.
Fungsi utama-fungsi utama tersebut menunjukkan sebuah hubungan logis yang
nantinya akan dijalin untuk menemukan alur cerita. Alur cerita I menunjukkan bahwa
pengaluran cerita I cenderung linear. Lineraritas cerita tersebut dikarenakan cerita lisan
bersifat sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan kontemporer.
Analisis semantik teks yang terdiri dari analisis tokoh, ruang, dan waktu
menunjukkan bahwa tokoh cerita I terdiri dari tiga orang tokoh, yakni Wawan, mang Yaya,
dan kuntilanak. Analisis tokoh tersebut menunjukkan beberapa temuan penting. Berikut
adalah temuan-temuan dalam analisis tokoh. Pertama, terdapat oposisi antara tokoh
manusia (Wawan dan mang Yaya) dengan tokoh hantu (kuntilanak). Oposisi ini juga dapat
dimaknai lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan sesuatu di luar kekuatan manusia
(adikodrati). Kedua, terdapat oposisi watak antara watak pemberani (mang Yaya) dan
penakut (Wawan) saat berinteraksi dengan tokoh kuntilanak. Ketiga, terdapat oposisi
hubungan antartokoh. Hubungan antartokoh dapat terjalin erat atau renggang. Keeratan dan
kerengganggan tersebut dapat dilihat dari hubungan darah dan hubungan dalam cerita.

Hubungan antartokoh secara keseluruhan menunjukkan adanya oposisi rapat dan renggang.
Hubungan yang rapat ditandai dengan adanya hubungan darah seperti tokoh Wawan
dengan mang Yaya. Selain karena hubungan darah, kerapatan hubungan juga dapat
ditandai dengan interaksi yang terjalin intensif dalam peristiwa. Kerapatan hubungan
dalam cerita dapat dilihat dari adanya percakapan antartokoh maupun intensitas peristiwa
yang menampilkan kedua tokoh tersebut. Kerapatan hubunga dalam cerita ditunjukkan
oleh hubungan Wawan dengan mang Yaya yang memiliki percakapan dan intensitas
peristiwa. Selain itu hubungan yang rapat dalam cerita juga ditunjukkan oleh Wawan
dengan kuntilanak. Kedua tokoh tersebut memiliki intensitas peristiwa yang cukup intensif
dalam cerita. Sedangkan hubungan yang renggang ditandai dengan tidak adanya hubungan
darah antartokoh dan tidak adanya interaksi yang intensif dalam cerita. Tokoh mang Yaya
dengan kuntilanak merupakan contoh hubungan yang renggang dalam cerita I. Kedua
tokoh tersebut tidak memiliki intensitas cerita yang intensif.
Dalam analisis ruang cerita I, dapat disimpulkan bahwa terdapat oposisi antara
ruang terbuka dengan ruang tertutup. Ruang terbuka diwakili dengan bak penampungan air
yang berada di hulu. Bak penampungan air yang berada di hulu tersebut dapat diberi
makna sebagai sumber kehidupan. Ruang tertutup diwakili oleh rumah. Rumah menjadi
sebuah tanda yang dapat dimaknai sebagai keterbatasan gerak dan mikrokosmos. Bila air
sebagai sumber kehidupan mereka tidak mengalir karena mengalami kerusakan, mereka
harus pergi ke ruang terbuka (bak penampungan air yang berada di hulu) untuk
mendapatkan kembali air di rumah mereka. Dalam ruang terbuka, terdapat interaksi antara
Wawan, mang Yaya, dan kuntilanak. Hal ini dapat diberi makna, yaitu dalam ruang terbuka
(makrokosmos) manusia dengan kekuatan adikodrati dapat berinteraksi. Hal tersebutlah
yang menjadikan posisi ruang terbuka sangat penting dalam cerita ini.
Temuan dari hasil pembahasan waktu adalah terdapat beberapa hal berikut.
Pertama, waktu cerita berlangsung pada malam Selasa, pukul 01.00 WIB, tahun 2015.
Kedua, penutur beranggapan seperti orang Sunda pada umumnya yang mempercayai
5

keangkeran malam Selasa. Ketiga, waktu penuturan terjadi pada 17 Februari 2015 pukul
12.06-12.10 WIB. Keempat, terdapat selisih tiga tahun dari waktu cerita dengan waktu
penceritaan.
Analisis aspek verbal teks cerita I menunjukkan bahwa terdapat dua tipe
penceritaan dalam cerita: (1) wicara yang dilaporkan dan (2) wicara yang dinarasikan.
Wicara yang dilaporkan berupa percakapan Wawan dan mang Yaya serta terdapat tuturan
imperatif dan deklaratif yang di ucapkan mang Yaya kepada Wawan. Wicara yang
dinarasikan tersebar di seluruh cerita, kecuali bagian percakapan dan tuturan langsung.
Struktur cerita II menunjukkan hal sebagai berikut. Analisis sintaksis teks cerita II
menunjukkan bahwa pengaluran cerita cenderung progresif. Berikut adalah fungsi utamafungsi utama cerita II.
F.1. Rasa sakit yang dirasakan oleh menantu penutur.
F.2. Tindakan anak penutur yang meminta penutur untuk mengantarkan suaminya ke
rumah sakit.
F.3. Tindakan penutur beserta suaminya pergi mengantarkan menantunya ke rumah sakit.
F.4. Rasa sungkan penutur dan suaminya untuk menginap di rumah sakit.
F.5. Tindakan penutur beserta suaminya pulang ke rumah.
F.6. Waktu peristiwa: malam Selasa.
F.7. Penutur dan suaminya melintasi rumah yang dianggap angker.
F.8. Kepercayaan orang Sunda bahwa malam Selasa merupakan malam yang angker.
F.9. Keyakinan suami penutur bahwa ada hantu di sekitarnya.
F.10. Perasaan takut suami penutur: bulu kuduknya meremang.
F.11. Tindakan suami penutur yang menyatakan kepada istrinya bahwa ada hantu di sekitar
mereka.
F.12. Tindakan penutur yang menyuruh suaminya untuk mengabaikan keyakinannya.
F.13. Penutur melihat sosok kuntilanak di atas pohon alpukat.
F.14. Tindakan penutur yang menyuruh suaminya untuk berjalan lurus.
F.15. Keberanian penutur.
F.16. Tindakan penutur menegur kuntilanak.
Peristiwa-peristiwa dalam cerita disajikan berdasarkan urutan kronolgis.
Pemililahan cerita berdasarkan satuan peristiwa dapat membuktikan hal tersebut. Fungsi
utama-fungsi utama cerita II dipilah berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam cerita
berdasarkan urutan kronologis. Setelah didapat fungsi utama-fungsi utama cerita,
kemudian dicarilah hubungan logis yang membentuk alur cerita. Selain ihwal pengaluran
yang cenderung bergerak maju (progresif), alur cerita II juga sangat sederhana.
Kesederhanaan cerita ditampilkan lewat penyampaian peristiwa per peristiwa berdasarkan
waktu kronologis peristiwa berlangsung. hal ini membuktikan bahwa cerita lisan memang
cenderung sederhana dan tidak serumit cerita rekaan kontemporer.
Analisis semantik teks cerita II menunjukkan bahwa analisis tokoh menunjukkan
adanya oposisi antara tokoh manusia dan tokoh bukan manusia, yakni tokoh hantu. Tokoh
manusia diwakili oleh Dede, suami, dan anak. Sedangkan tokoh hantu diwakili oleh
kuntilanak. Oposisi ini juga dapat dimaknai lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan
sesuatu di luar kekuatan manusia (adikodrati). Selain itu, terdapat oposisi watak toko
manusia saat berinteraksi dengan kuntilanak, yakni takut dan berani. Tokoh Dede yang
pemberani dapat diartikan sebagai kekuatan dan penyeimbang dari watak penakut tokoh
suami.
Analisis ruang menunjukkan adanya oposisi ruang terbuka dan ruang tertutup.
Ruang terbuka adalah daerah Cirateun Wetan. Di dalm ruang terbuka Cirateun Wetan,
tokoh manusia yakni Dede dan tokoh suami berinteraksi dengan tokoh bukan manusia
6

yakni kuntilanak. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai ketiadaan batas. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ruang terbuka adalah semesta yang tidak memiliki batas. Dalam
ruang terbuka Cirateun Wetan, keterbatasan manusia dalam berinteraksi dengan makhluk
adikodrati seolah melebur. Peleburan keterbatasan itulah yang mengakibatkan tokoh
manusia bertemu dengan tokoh hantu. Terdapat tiga ruang tertutup dalam cerita II, yakni
rumah Dede, rumah tokoh anak, dan rumah sakit. Ketiga ruang tertutup tersebut dapat
bermakna sebagai keterbatasan gerak. Ketiga ruang tertutup tersebut tidak begitu dominan
hadir dalam teks. Hal tersebut dikarenakan tidak banyaknya peristiwa dan hal yang terjadi
di ruang tertutup. Namun, ruang tertutup rumah sakit dapat dimaknai sebagai ruang yang
angker sehingga dapat menimbulkan ketakutan di benak tokoh suami. Hal tersebut terus
muncul di benak tokoh suami sehingga saat perjalanan pulang, tokoh suami merasakan
adanya hantu di sekitarnya.
Analisis waktu cerita II menunjukkan bahwa cerita hanya terjadi dalam satu malam,
yakni malam Selasa. Waktu cerita memiliki efek ketakutan. Hal tersebut berkaitan dengan
kepercayaan orang Sunda yang meyakini bahwa malam Selasa dan malam Jumat adalah
waktu-waktu yang dianggap angker.
Analisis aspek verbal menunjukkan bahwa kehadiran pencerita menunjukkan
bahwa pencerita hadir secara langsung dalam cerita sebagai tokoh. Hal tersebut dapat
dilihat dari dua kata ganti yang merujuk kepada pencerita, yakni ibu dan emak. Dalam
terjemahan teks bahasa Indonesia, kedua kata tersebut mendapat catatan penerjemah, yakni
penutur. Dengan kata lain, dalam cerita II, pencerita yang hadir adalah pencerita intern.
Hasil analisis tipe penceritaan menunjukkan bahwa terdapat dua tipe penceritaan
dalam cerita II, yakni wicara yang dilaporkan dan wicara yang dinarasikan. Wicara yang
dilaporkan merupakan dialog tokoh suami dan Dede. Konteks dialog tersebut adalah saat
tokoh suami merasakan bahwa ada hantu di sekitar mereka. Untuk memperingatkan
istrinya ia berkata bahwa ada hantu di sini. Dede merespons kalimat deklaratif tersebut
dengan kalimat imperatif yang menyuruh agar suaminya tenang dan mengabaikan
perasaannya tersebut. Selain itu, terdapat dua kalimat langsung yang dituturkan oleh Dede.
Kalimat pertama merupakan kalimat imperatif yang menyuruh tokoh suami untuk tidak
menengok ke belakang dan berjalan lurus. Kalimat kedua merupakan kalimat imperatif
yang berfungsi sebagai teguran Dede kepada kuntilanak. Wicara yang dinarasikan tersebar
di seluruh teks kecuali bagian wicara yang dilaporkan.
Struktur cerita III menunjukkan bahwa alur cerita III terdapat 15 fungsi utama yang
bila dirangkai akan membentuk hubungan yang logis dalam cerita. Berikut adalah fungsi
utama-fungsi utama cerita III.
F.1. Kenyataan: Taufik dan Asep merupakan seseorang yang memiliki latar belakang
pendidikan pesantren.
F.2. Tradisi santri: mendiami suatu tempat untuk menguji keberanian.
F.3. Tindakan Taufik dan Asep mendiami sebuah lahan bergubuk yang nantinya akan
dijadikan pesantren.
F.4. Deskripsi ruang: sebuah gubuk yang dikelilingi oleh lahan bekas sawah dan
pepohonan.
F.5. Waktu peristiwa: malam hari.
F.6. Kemunculan kuntilanak.
F.7. Tindakan kuntilanak tertawa cekikikan untuk mengganggu Taufik dan Asep.
F.8. Kepenasaranan Taufik dan Asep mengenai suara cekikikan yang didengarnya.
F.9. Keberanian Taufik dan Asep.
F.10. Tindakan Taufik dan Asep keluar dari gubuk.
F.11. Tindakan kuntilanak turun dari pohon kelapa.
7

F.12. Taufik dan Asep melihat kuntilanak.
F.13. Tindakan Taufik dan Asep menghampiri kuntilanak.
F.14. Tindakan Taufik menegur kuntilanak.
F.15. Tindakan kuntilanak menghilang.
Aspek pengaluran menunjukkan bahwa bahwa cerita bergerak maju atau progresif.
Selain itu, yang dapat dilihat dari alur cerita III adalah kesederhanaan cerita. Cerita lisan
memang cenderung sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan kontemporer. Sifat
kelisanan itulah yang membuat cerita menjadi sederhana. Pergantian satu peristiwa ke
peristiwa lain terjadi secara kronologis dan jelas. Hanya peristiwa-peristiwa penting sajalah
yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuklah alur cerita. Peristiwa-peristiwa yang
tidak penting dan hanya sebagai sempilan, cenderung diabaikan oleh penutur. Hasil analisis
alur ini akan dijadikan landasan analisis-analisis lain.
Hasil analisis sintaksis naratif cerita III menunjukkan bahwa cerita III memiliki 15
fungsi utama. Ke-15 fungsi utama tersebut kemudian dihubungkan secara logis sehingga
terjalinlah alur cerita yang utuh. Dari aspek pengaluran, cerita III cenderung memiliki
pengaluran yang progresif (bergerak maju). Hal tersebut menunjukkan bahwa cerita III
sebagai cerita lisan cenderung memiliki pengaluran yang menampilkan urutan peristiwa
secara progresif. Selain itu, cerita III memiliki kesederhanaan dari segi peristiwa. Hanya
peristiwa-peristiwa penting saja yang terdapat dalam cerita. Hal tersebut juga merupakan
indikasi bahwa cerita lisan cenderung sederhana dan tidak sekompleks cerita rekaan.
Analisis tokoh cerita III menunjukkan adanya oposisi tokoh manusia dan tokoh
bukan manusia. Tokoh manusia dalam cerita III adalah Taufik dan Asep, sedangkan tokoh
bukan manusia adalah kuntilanak yang merupakan hantu. Oposisi ini juga dapat dimaknai
lebih jauh menjadi oposisi manusia dengan sesuatu di luar kekuatan manusia (adikodrati).
Interaksi antartokoh terjalin rapat. Ketiga tokoh dalam cerita III bertemu dan
berinteraksi secara langsung. ketiga tokoh dalam cerita III memang tidak memiliki
hubungan darah, namun hubungan dalam cerita yang terjalin rapat membuat interaksi
ketiga tokoh dalam cerita terjalin rapat.
Analisis ruang menunjukkan bahwa terdapat oposisi ruang dalam cerita III, yakni
ruang terbuka dan ruang tertutup. Ruang terbuka dalam cerita III adalah lahan bekas sawah
yang ditumbuhi pepohonan, sedangkan ruang tertutup adalah gubuk. Ruang terbuka dapat
dimaknai lebih lanjut menjadi makrokosmos karena sifatnya yang luas dan tidak terbatas
sehingga tokoh manusia dan tokoh hantu dapat saling berinteraksi. Dalam ruang terbuka
terjadi perancuan ruang sehingga batas-batas yang memisahkan ruang manusia dan ruang
hantu menjadi kabur. Hal inilah yang menjadikan lahan bekas sawah adalah penanda dari
makrokosmos. Ruang tertutup dalam teks adlah gubuk. Gubuk adalah tempat Taufik dan
Asep melakukan uji nyali sebagai upaya pelestarian tradisi santri. Selain itu, di gubuklah
untuk pertama kali taufik dan Asep mendengar suara kuntilanak. Gubuk sebagai ruang
tertutup dapat dimaknai sebagai mikrokosmos. Dalam ruang tertutup segala aktivitas
seolah terdapat sekat-sekat yang membatasi gerak. Hal tersebut terlihat saat Taufik dan
Asep mendengar suara kuntilanak. Untuk mengetahui asal suara tersebut, mereka harus
meninggalkan gubuk menuju lahan bekas sawah.
Analisis waktu menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tidak terdapat petunjuk
waktu yang jelas dalam cerita III. Waktu cerita III terjadi dulu saat bangunan pesantren AnNur tidak semegah sekarang. Dulu bangunan pesantren An-Nur adalah lahan bekas sawah
yang ditanami pepohonan. Hanya itulah petunjuk waktu dalam teks. Hal ini
mengisyaratkan adanya kerancuan waktu dalam cerita III.
Dari analisis kehadiran pencerita, dapat disimpulkan bahwa pencerita dalam cerita
ini merupakan tokoh yang mengalami langsung peristiwa-peristiwa dalam cerita. Hal
8

tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan pronomina orang pertama Abdi. Taufik
selaku pencerita intern juga berperan sebagai tokoh, pemandang, dan penutur cerita.
Secara keseluruhan, teks cerita III menunjukkan bahwa terdapat dua tipe
penceritaan, yakni wicara yang dilaporkan dan wicara yang dinarasikan. Wicara yang
dilaporkan dalam cerita III adalah berupa teguran Taufik kepada kuntilanak dengan
menggunakan kalimat interogratif Rék naon sia? Rék ngaganggu? (Mau apa kamu? Mau
mengganggu?). Kalimat interogratif tersebut sebenarnya merupakan teguran Taufik
terhadap kuntilanak yang mengganggu aktivitasnya mendiami gubuk. Selain itu, terdapat
wicara yang dinarasikan. Wicara ini tersebar di seluruh teks, kecuali teks wicara yang
dilaporkan.
c. Proses Penciptaan Cerita Kuntilanak
Dari hasil analisis proses penciptaan cerita I dapat disimpulkan bahwa penciptaan
cerita terjadi secara spontan. Hal tersebut ditandai dengan terdapatnya partikel eu yang
digunakan oleh penutur sebagai jeda bila terdapat bagian cerita yang dilupakannya. Selain
itu, terdapat tiga tahap proses penciptaan dalam cerita I. Ketiga proses tersebut adalah (1)
penutur berusaha mengingat cerita, (2) penutur menuturkan cerita, dan (3) penutur
menuturkan cerita dengan didasari oleh sebuah skema yang terdiri dari lima bagian.
Kelima bagian tersebut adalah (1) deskripsi waktu cerita, (2) peristiwa yang menjadi motor
penggerak cerita, (3) keanehan yang dialami penutur, keanehan ini menimbulkan efek
angker dan seram terhadap penutur, (4) penutur melihat sosok hantu yang menyeramkan,
dan (5) penjelasan tokoh lain (mang Yaya) kepada penutur bahwa makhluk yang dilihatnya
adalah kuntilanak. Kelima bagian itu dapat dirangkum ke dalam tiga tahap cerita. Tahap
awal (bagian I), puncak cerita (bagian II, III, dan IV), dan tahap ahkir (bagian V).
Analisis proses penciptaan cerita II menunjukkan bahwa penciptaan cerita terjadi
secara spontan. Hal tersebut ditandai dengan ekspesi penutur yang tampak seolah sedang
berusaha mengingat peristiwa yang pernah dialaminya Selain itu, terdapat dua tahap proses
penciptaan dalam cerita II. Kedua proses tersebut adalah (1) penutur berusaha mengingat
cerita, dan (2) penutur menuturkan cerita. Dari penuturan cerita, akan tampat sebuah skema
yang terdiri dari lima bagian. Kelima bagian tersebut adalah (1) deskripsi waktu cerita, (2)
peristiwa yang menjadi motor penggerak cerita, (3) keanehan yang dialami penutur,
keanehan ini menimbulkan efek angker dan seram terhadap penutur, (4) penutur melihat
sosok hantu yang menyeramkan, dan (5) penegasan dari tokoh mengenai tempat
berlangsungnya peristiwa. Kelima bagian itu dapat dirangkum ke dalam tiga tahap cerita.
Tahap awal (bagian I), puncak cerita (bagian II, III, dan IV), dan tahap ahkir (bagian V).
Analisis proses penciptaan cerita III menunjukkan bahwa penciptaan cerita terjadi
secara spontan. Hal tersebut ditandai dengan ekspesi penutur yang tampak seolah sedang
berusaha mengingat peristiwa yang pernah dialaminya Selain itu, terdapat dua tahap proses
penciptaan dalam cerita II. Kedua proses tersebut adalah (1) penutur berusaha mengingat
cerita, dan (2) penutur menuturkan cerita. Dari penuturan cerita, akan tampat sebuah skema
yang terdiri dari lima bagian. Kelima bagian tersebut adalah (1) deskripsi tokoh cerita dan
deskripsi ruang tempat peristiwa berlangsung, (2) peristiwa yang menjadi motor penggerak
cerita, (3) keanehan yang dialami penutur, keanehan ini menimbulkan efek angker dan
seram terhadap penutur, (4) penutur melihat sosok hantu yang menyeramkan, dan (5)
penegasan bahwa sejak saat itu, penutur tetap tinggal di tempat itu dan masih saja
mendengar suara-suara aneh yang cukup mengganggu. Kelima bagian itu dapat dirangkum
ke dalam tiga tahap cerita. Tahap awal (bagian I), puncak cerita (bagian II, III, dan IV), dan
tahap ahkir (bagian V).

9

d. Konteks Penuturan Cerita Kuntilanak
Konteks penuturan yang terdiri dari konteks situasi dan budaya menunjukkan
bahwa tidak terdapat waktu, tujuan, dan peralatan khusus dalam cerita kuntilanak karena
sifatnya yang profan. Teknik penuturan terdiri dari tiga teknik, yakni prapenuturan,
penuturan, dan pascapenuturan.
Lokasi penuturan cerita adalah di tiga kecamatan di Kota Bandung, yakni
Kecamatan Cidadap, Kecamatan Sukasari, dan Kecamatan Sukajadi. Interaksi penutur dan
audiens terjadi secara searah dari penutur ke audiens, namun saat prapenuturan,
terjadikomunikasi dua arah antara penutur dan peneliti. Latar sosial-budaya menunjukkan
bahwa bahasa yang digunakan dalam penuturan cerita adalah bahasa Sunda, walau
terkadang bercampur dengan bahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris.
Sistem teknologi yang terdapat di tiga kecamatan tersebut menunjukkan adanya
pergeseran dari teknologi tradisional ke teknologi modern. Sistem ekonomi masyarakat di
tiga kecamatan tersebut menunjukkan bahwa pertanian sudah mulai ditinggalkan karena
lahan pertanian baik berupa sawah maupun ladang sudah semakin berkurang.
Sistem organisasi sosial di tiga kecamatan tersebut adalah sistem organisasi sosial
yang modern. Individu-individu yang memiliki hubungan darah membentuk kepala
keluarga (KK). Himpunan dari KK-KK tersebut membentuk sebuah RT. RT-RT tersebut
membentuk sebuah wilayah administratif yang lebih luas, yakni RW. Gabungan dari RWRW membantuk wilayah administratif yang lebih luas, yakni kelurahan. Beberapa
kelurahan tersebut kemudian berhimpun menjadi sebuah kecamatan.
Sistem pengetahuan yang terdapat di tiga kecamatan tersebut umumya adalah
sistem pengetahuan modern. Walau demikian, masih terdapat juga sistem pengetahuan
tradisional seperti kepercayaan rakyat akan tumbuh-tumbuhan obat.
Kesenian yang berkembang di tiga kecamatan tersebut adalah kesenian tradisional
dan modern. Kesenian tradisional sudah semakin terpojokkan oleh kesenian modern.
Modernisasi juga membuat kesenian tradisional dapat dinikmat dalam kemasan yang lebih
modern.
Sistem religi yang dianut oleh masyarakat di tiga kecamatan tersebut pada
umumnya menganut agama-agama resmi seperti agama Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katholik, Hindu dan Budha. Namun, ajaran agama Islam sebagai agama yang paling
banyak dianut pada umumnya bersinggungan dengan agama Hindu dan kepercayaan lokal.
e. Fungsi Cerita Kuntilanak
Secara keseluruhan, ketiga cerita kuntilanak memiliki fungsi pengesah kebudayaan,
fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan. Fungsi pengesah kebudayaan yang tampak dalam
cerita adalah adanya upaya peneguhan terhadap kepercayaan orang Sunda terhadap wujud
kuntilanak, ciri-ciri kehadiran kuntilank, dan tampat yang disukai oleh kuntilanak. Selain
itu, cerita juga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan. Nilai pendidikan yang diajarkan
oleh teks adalah nilai budaya dan nilai kelestarian lingkungan. Fungsi ketiga yang tampak
dalam teks cerita adalah fungsi hiburan. Penuturan cerita hantu di saat senggang
memberikan efek hiburan. Efek hiburan tersebut timbul karena ketakutan-ketakutan dan
gosip yang menyertai cerita hantu. Freud (dalam Endraswara, 2004, hlm. 34) mengatakan
bahwa sejak manusia primitif memang telah ada bekal rasa takut terhadap misteri. Bekal
rasa taku inilah yang menimbulkan efek kepenasaranan akan hantu.
f. Makna Cerita Kuntilanak
Perluasan makna dalam ketiga cerita kuntilanak menunjukkan adanya sebuah pola
interaksi. Interaksi tersebut adalah hubungan manusia dengan kekuatan adikodrati,
hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dengan
kata lain, terdapat harmonisasi antara manusia dengan kekuatan adikodrati, manusia
10

dengan alam, dan manusia dengan manusia. Hal inilah yang disebut pola tritangtu dalam
budaya Sunda sebagaimana telah dikatakan Sumardjo seperti berikut. Sumardjo (2011,
hlm. 12) mengatakan bahwa,
Orang Sunda membangun pola hubungan dengan manusia bukan Sunda,
membangun pola hubungan dengan manusia Sunda yang lain, dengan alam
lingkungannya, dengan nenek moyangnya, dengan Tuhan, dengan tempat
tinggalnya, dengan kampungnya, dengan negaranya.
g. Pandangan Dunia Orang Sunda
Tokoh-tokoh dalam cerita kuntilanak sebagai representasi orang Sunda memandang
kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai perempuan
berambut panjang, memakai pakaian putih kumal, dan berwajah menyeramkan. Di
samping itu, tokoh-tokoh dalam cerita memandang kuntilanak adalah hantu yang
mendiami tempat-tempat lembap seperti bak penampungan air dan lahan bekas sawah.
Selain itu, orang Sunda juga memandang kuntilanak sebagai hantu yang senang mendiami
pepohonan, seperti pohon alpukat dan pohon kelapa. Orang Sunda juga memiliki dua
oposisi sikap saat berinteraksi dengan kuntilanak, oposisi sikap tersebut adalah takut dan
berani. Rasa takut ditunjukkan oleh tokoh Wawan dan tokoh suami, sedangkan tokoh yang
berani saat berinteraksi dengan kuntilanak adalah mang Yaya, Dede, Taufik, dan Asep.
5) Simpulan
Secara keseluruhan, temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) struktur
cerita kuntilanak memunculkan oposisi-oposisi seperti watak tokoh yang takut dan berani
saat berinteraksi dengan kuntilanak yang terjalin dengan pengaluran progresif. (2)
Penciptaan cerita terjadi secara spontan mengacu pada skema-skema komposisi cerita dan
ingatan dari penutur. (3) Kebudayaan Sunda kekinian turut berpengaruh terhadap cerita
kuntilanak yang terlihat dari analisis konteks penuturan cerita. (4) Cerita kuntilanak
memiliki fungsi pengesah kebudayaan, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan. (5) Makna
yang terkandung dalam cerita kuntilanak adalah adanya interaksi antara manusia, alam,
dan kekuatan adikodrati. (6) Adanya oposisi pandangan orang Sunda terhadap kuntilanak:
takut dan berani. Berdasarkan hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang Sunda
memandang kuntilanak sebagai makhluk adikodrati yang memiliki ciri fisik sebagai
perempuan berambut panjang, memakai baju berwarna putih, bertempat tinggal di tempat
yang lembap dan pohon-pohon. Selain itu, orang Sunda juga memiliki oposisi sikap saat
bertemu dengan kuntilanak, yakni berani dan takut.
Referensi
Adimihardja, K. (1984). ”Pertanian: Mata pencaharian hidup masyarakat sunda” dalam
Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT.
Girimukti Pustaka.
Ahmadi, A. (2013). “Legenda hantu kampus di surabaya: Kajian folklor hantu
kontemporer” dalam Endraswara (Penyunting). Folklor nusantara. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Amir, A. (2013). Sastra lisan indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Badrun, A. (2003). Patu mbojo: Struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan, dan
fungsi. (Disertasi). Program Studi Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Depok.
Barthes, R. (2000). Mythologies. London: Vintage.
Bianca, F. (2013). Ensiklopedi hantu dan mahkluk gaib nusantara. Yogyakarta: Narasi.
BPS Kota Bandung. (2014). Kecamatan cidadap dalam angka 2014.
[online].
Diakases dari http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/cidadap-2014.
BPS Kota Bandung. (2014). Kecamatan sukajadi dalam angka 2014. [online]. Diakses dari
http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/sukajadi-2014.
11

BPS Kota Bandung. (2013). Kecamatan sukasari dalam angka 2013. [online]. Diakses dari
http://bandungkota.bps.go.id/publikasi/sukasari-2014.
Bravianingrum, D. H. (2011). Perbandingan mitos yang terdapat pada legenda (KoSodate Yuurei) (Jepang) dan legenda kuntilanak (Indonesia) (Kajian Sastra
Bandingan). (Skripsi). Universitas Pesantren Tinggi Darul’Ulum Jombang,
Jombang.
Danandjaja, J. (2007). Folklore indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Danandjaja, J. (2008). “Pendekatan folklor dalam bahan-bahan penelitian tradisi lisan”
dalam Pudentia (Penyunting). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi
Tradisi Lisan.
Danasasmita, M. (2001). Wacana bahasa dan sastra sunda lama. Bandung: STSI Press.
Durachman, M, dkk. (2006). Cerita si kabayan: Transformasi, proses penciptaan, makna,
dan fungsi. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif. Bandung: UPI.
Endraswara, S. (2004). Dunia hantu orang jawa. Yogyakarta: Narasi.
Endraswara, S. (2010). Folklor jawa. Jakarta: Penaku.
Endraswara, S. (2011). Metodologi penelitian sastra. Yogyakarta: CAPS.
Endraswara, S. (Penyunting). (2013). Folklor nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ekadjati, E. S. (Penyunting). (1984). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT.
Girimukti Pustaka.
Ekadjati, E. S. (2014). Kebudayaan sunda: Suatu pendekatan sejarah. Bandung: Pustaka
Jaya.
Garna, J. (1984). “Pola kampung dan desa, bentuk serta organisasi rumah masyarakat
sunda” dalam Edi S. Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan
kebudayaannya. Jakarta: PT. Girimukti Pusaka.
Geerts, C. (1981). Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Geerts, C. (2003). Pengetahuan lokal. Yogyakarta: Merapi.
Hutomo, S. H. (1991). Mutiara yang terlupakan. Surabaya: HISKI.
Hidayat, S. (2012). Pandangan dunia orang sunda dalam tiga novel indonesia tentang
perang bubat. (Tesis). Program Studi Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Depok.
Hoed, B. H. (2011). Semiotik dan dinamika sosial budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Iskandarsyah, M. (2012). Hantu merah: Melihat konstruksi budaya dan telaah fungsi
dalam memaknai cerita legenda alam gaib kampus UI. (Skripsi). Departemen
Antropologi Sosial Universitas Indonesia, Depok
Koenjtaraningrat. (1984). Kebudayaan jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. (2005). Pengantar antropologi: Pokok-pokok etnografi II. Jakarta:
Rineka Cipta.
Komarasari, D. (2013). Kasenian bring-brung di kalurahan ledeng kacamatan cidadap
kota bandung pikeun bahan pangajaran maca di sma. (Skripsi). Jurusan
Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Maheswarina, T. A. (2012). Kepercayaan masyarakat jawa dalam film kuntilanak.
(Skripsi). Universitas Malang, Malang.
Moleong, L. J. (2007). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Rosda.
Mustapa, H. H. (2010). Adat istiadat sunda. Bandung: PT. Alumni.
Nurgiantoro, B. (2012). Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: UGM Press.
Pudentia. (Penyunting). (2008). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi
Lisan.
Rajagopalachari, C. (2013). Kitab epos mahabharata. Yogyakarta: IRCiSoD.

12

Ratna, N. K. (2013). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rozak, A. (2005). Teologi kebatinan sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Rusyana, Y. dan Raksanagara, A. (1978). Sastra lisan sunda: Ceritera karuhun, kajajaden,
dan dedemit. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Suhamihardja, A. S. (1984). “Agama, kepercayaan, dan sistem pengetahuan” dalam Edi S.
Ekadjati (Penyunting). Masyarakat sunda dan kebudayaannya. Jakarta: PT.
Girimukti Pusaka.
Suhendi, I. D. (2013). “Ciri-ciri fantastik dua cerita rakyat kalimantan dalam buku
kumpulan cerita rakyat nusantara karya kidh hidayat”. Jurnal Lokabasa 5. (2). 122135
Sukarsini, R. (2012). Struktur mitos cerita hantu dalam acara nightmare side radio ardan
105.9 fm bandung: Kajian strukturalisme claude lévi-strauss. Skripsi. Unpad,
Bandung.
Sumardjo, J. (2011). Sunda: Pola rasionalitas budaya. Bandung: Kelir.
Spradley, J. P. (2007). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sweneey, A. (1987). A full hearing: Orality and literacy in the malay world. Berkeley:
University of California Press.
Taum, Y. Y. (2011). Studi sastra lisan: Sejarah, teori, metode, dan pendekatan disetai
contoh penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.
Todorov, T. (1985). Tata sastra. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Warnaen, S. (1987). Pandangan hidup orang sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan
dan sastra sunda. Bandung: Depdikbud.
Zaimar, O. K.S. (1991). Menelusuri makna ziarah karya iwan simatupang. Jakarta:
Intermasa.
Zaimar, O. K.S. (2008). “Metodologi penelitian sastra lisan” dalam Pudentia (Penyunting).
Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Zaimar, O. K.S. (2008). Semiotika dan penerapannya dalam karya sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa

13