Pandangan Dunia Orang Sunda dalam Cerita

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM CERITA HANTU:
ANALISIS TERHADAP CERITA KUNTILANAK SEBAGAI LEGENDA
ALAM GAIB DI KABUPATEN BANDUNG
Indrawan Dwisetya Suhendi
NIM 1100602
ABSTRAK
Makalah ini mencoba untuk melihat bagaimana pandangan dunia orang Sunda
dalam cerita lisan mengenai hantu Kuntilanak. Cerita hantu merupakan bagian dari
legenda alam gaib. Legenda alam gaib biasanya adalah pengalaman pribadi seseorang
yang dianggap benar-benar terjadi (lihat Danandjaja, 2007:71). Jadi, dalam makalah
ini, sumber data merupakan cerita pengalaman seseorang yang bertemu/berinteraksi
dengan Kuntilanak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Di mana data yang berupa teks cerita akan dideskripsikan berdasarkan:
1) pandangan dunia orang Sunda yang tercermin dalam struktur cerita Kuntilanak,
2) proses penciptaan cerita Kuntilanak, 3) konteks penuturan cerita Kuntilanak,
4) fungsi cerita Kuntilanak, dan 5) makna cerita Kuntilanak. Sedangkan batasan
wilayah dalam penelitian ini adalah wilayah Kabupaten Bandung, tepatnya di
Kecamatan Rancaekek.
Kata kunci: pandangan dunia, orang Sunda, Kuntilanak.
1. PENDAHULUAN
Cerita hantu merupakan salah satu jenis cerita rakyat yang selalu ada dalam

setiap kebudayaan. Iskandarsyah (2012:1) mengatakan bahwa cerita hantu sudah
menjadi bagian tidak terpisahkan dari cerita-cerita rakyat (folkstale) dan budaya serta
ritual di dunia. Cerita hantu merupakan bagian dari legenda alam gaib. Legenda alam
gaib biasanya adalah pengalaman pribadi seseorang yang dianggap benar-benar
terjadi (lihat Danandjaja, 2007:71). Legenda alam gaib seringkali menceritakan
pengalaman seseorang bertemu atau berinteraksi dengan makhluk-makhluk gaib.
Brunvand mengatakan berhubung legenda alam gaib merupakan pengalaman pribadi
seseorang, ahli folklor Swedia, C.W. von Sydow, memberikan nama lain, yaitu
memorat (Danandjaja, 2007:71).
Tradisi cerita hantu tumbuh subur di Indonesia disebabkan oleh kepercayaan
rakyat yang masih mengakar kuat di masyarakat. Fungsi dari cerita hantu pun adalah
untuk meneguhkan kebenaran takhayul atau kepercayaan rakyat (Danandjaja,
2007:71). Selain itu, kreatifitas masyarakat Indonesia juga turut menyuburkan tradisi

1

cerita hantu. Hal tersebut dapat dilihat dari maraknya industri perfilman yang
menjadikan cerita hantu sebagai komoditas utama.
Dari sekian banyak hantu yang ada di Indonesia, Kuntilanak adalah salah satu
hantu yang paling populer. Kuntilanak adalah sosok hantu wanita yang meninggal

dalam persalinan (Bianca, 2013:80). Hantu perempuan yang meninggal karena
melahirkan bukan hanya ada di Indonesia. Di Malaysia, hantu perempuan yang
meninggal karena melahirkan disebut Pontianak. Di Jepang dikenal dengan nama
Ubume. Sedangkan di Thailand dikenal dengan Phi Tai Tong Glom. Bahkan di
Thailand terdapat sebuah cerita Nang Nak yang sangat melegenda. Nang Nak sendiri
adalah nama seorang perempuan yang ditinggal perang oleh suaminya dalam keadaan
mengandung. Saat melahirkan, Nang Nak meninggal dan menjadi hantu. Setelah
menjadi hantu, Nang Nak menunggu suaminya pulang dengan setia. Penantian itu
berbuah manis, suaminya pulang dari medan perang. Suami Nang Nak sama sekali
tidak mengetahui bahwa istrinya sudah meninggal. Mereka hidup seperti layaknya
sepasang suami-istri sampai suatu hari datanglah pendeta yang memberitahu bahwa
Nang Nak sudah lama meninggal. Hal tersebut membuat hantu Nang Nak marah dan
membunuh semua penduduk desa Phra Kanong yang memberitahukan bahwa dia
telah meninggal pada suaminya. Legenda ini sangat terkenal di Thailand. Bahkan ada
sebuah kuil yang dipersembahkan untuk hantu Nang Nak.
Akibat sangat populernya cerita mengenai hantu perempuan yang meninggal
akibat melahirkan inilah banyak muncul film-film yang terinspirasi dari cerita
tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Bianca (2013:78)

dalam


bukunya yang berjudul Ensiklopedi Hantu dan Makhluk Gaib Nusantara. Bianca
mengatakan:
Kuntilanak atau sering disebut Pontianak adalah sosok makhluk gaib
yang sering dieksploitasi. Wujudnya mudah dikenali, yaitu wanita
berambut panjang menutupi mata, badan setengah membungkuk,
melayang-layang, dan mengeluarkan suara tawa seram.
Setelah melakukan pengamatan kepustakaan, peneliti menemukan 25 judul film dari
tiga negara (lihat lampiran). Dari Indonesia ditemukan 17 judul dengan rentang tahun

2

1961 sampai 2013. Dari Malaysia ditemukan tiga judul dengan rentang tahun 1957
sampai 2005. Di Thailand ditemukan lima judul dengan rentang tahun 1959-2013.
Banyaknya film-film yang mengangkat cerita Kuntilanak adalah bukti bahwa
cerita tersebut masih diminati. Salah satu upaya untuk terus menghidupkan cerita
Kuntilanak dalam film adalah dengan memberikan suguhan pornografi terhadap film
tersebut. Film-film bermuatan pornografis kini marak mengangkat cerita Kuntilanak.
Sederet artis-artis yang dikenal sensual pun turut membintangi film-film tersebut.
Kini cap film “panas” pun melekat dalam film yang mengangkat cerita Kuntilanak.

Cap film “panas” terhadap film tentang Kuntilanak kini mulai bergeser kepada sosok
Kuntilanak sendiri. Seringkali Kuntilanak divisualkan dengan erotis dan memakai
pakaian yang sensual. Hal tersebut semakin menjauhkan cerita Kuntilanak yang
sebenarnya merupakan warisan tradisi lisan yang tentu saja memiliki nilai di
dalamnya. Zaimar (2008:338) mengatakan bahwa di dalam tradisi lisan terpancar
nilai, gagasan, norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki baik oleh individu
maupun masyarakat
Dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981)
Clifford Geerts, seorang ahli religi Jawa mengungkapkan bahwa informannya adalah
seorang tukang kayu muda. Tukang kayu tersebut secara umum membagi makhluk
halus dalam kepercayaan Jawa ke dalam tiga jenis: Memedi (tukang menakut-nakuti),
Lelembut (makhluk halus), dan tuyul (1981:19). Namun dalam penjabaran
selanjutnya, Geerts lebih condong membagi makhluk halus Jawa ke dalam empat
golongan besar, yakni: Memedi (makhluk gaib yang menakutkan), Lelembut
(makhluk gaib yang dapat memasuki tubuh kasar manusia), Thuyul (makhluk gaib
yang dapat diperbudak), dan Dhanyang (makhluk gaib penjaga keselamatan
seseorang) (Geerts, 1981:21-35; Danandjaja, 2007:158). Mengacu pada klasifikasi
dari Geerts, peneliti memasukkan Kuntilanak ke dalam golongan Memedi. Berbeda
dengan Geerts, Rusyana dan Raksanagara (1978) meneliti dan membagi makhlukmakhluk gaib Sunda menjadi Karuhun (ruh leluhur), Kajajaden (makhluk jadijadian), dan Dedemit (hantu atau siluman). Bila mengacu pada terminologi Rusyana
dan Raksanagara, Kuntilanak digolongkan ke dalam Dedemit. Bila mengacu pada dua


3

klasifikasi tersebut, Memedi dan Dedemit sebenarnya sama saja yakni merupakan
makhluk gaib yang menakutkan, tidak dapat memasuki tubuh manusia, tidak bisa
diperbudak manusia, tidak menjaga keselamatan manusia, bukan ruh leluhur, dan
bukan jelmaan manusia. Selain dua klasifikasi di atas, Koentjaraningrat (1984:339)
mengemukakan bahwa memang sukar untuk membuat suatu klasifikasi yang baik
mengenai semua jenis roh dan setan yang dikenal orang Jawa. Dalam bukunya yang
berjudul Kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat berusaha membagi makhluk halus Jawa
secara umum ke dalam dua golongan: roh nenek moyang (makhluk gaib bersifat
baik/menjaga) dan roh, jin, setan, dan raksasa (makhluk gaib bersifat mengganggu).
Oposisi biner dalam klasifikasi makhluk halus menurut Koenjtaraningrat juga
tersebut sejalan dengan pendapat Ahmadi. Ahmadi (2013:233) membagi hantu ke
dalam dua tipologi: sakral dan profan. Hantu yang sakral adalah hantu yang bersifat
baik dan berkaitan dengan ritual keagamaan atau religiusitas, sedangkan hantu yang
profan adalah hantu yang bersifat jahat, mengganggu, nonreligi, dan tidak
menjalankan ritual keagamaan.
Penelitian-penelitian terhadap cerita hantu sebagai legenda alam gaib masih
sedikit dilakukan orang. Dari pengamatan awal terhadap penelitian-penelitian

terdahulu, peneliti menemukan tujuh penelitian mengenai cerita hantu. Penelitian
pertama adalah penelitian Rusyana dan Raksanagara yang berjudul Sastra Lisan
Sunda: Ceritera Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit (1978). Penelitian ini meneliti
mengenai cerita-cerita makhluk jadi-jadian (kajajaden), leluhur (karuhun), dan hantu
(dedemit). Penelitin ini merupakan penelitian tradisi lisan Sunda yang berupa legenda
alam gaib. Tujuan dari penelitian ini adalah pengumpulan cerita lisan Sunda lalu
menyalin dan menterjemahkannya. Selain itu, struktur cerita juga handak dicari.
Simpulan yang peneliti dapatkan dari penelitian ini adalah Rusyana dan Raksanagara
berhasil membuat klasifikasi mengenai makhluk gaib Sunda. Rusyana dan
Raksanagara membuat pengklasifikasian tersebut berdasarkan cerita yang berhasil
mereka rekam. Makhluk-makhluk gaib Sunda diklasifikasikan menjadi: Karuhun
(leluhur), Kajajaden (makhluk jadi-jadian), dan Dedemit (hantu atau siluman).

4

Penelitian kedua adalah penelitian Diessy Hermawati Bravianingrum dari
Universitas Pesantren Tinggi Darul’Ulum Jombang. Penelitian ini berjudul
Perbandingan Mitos yang Terdapat pada Legenda (Ko-Sodate Yuurei) (Jepang) dan
Legenda Kuntilanak (Indonesia) (Kajian Sastra Bandingan). Penelitian yang
berangka tahun 2011 ini berusaha membandingkan sosok Kuntilanak dengan sosok

Ko-Sodate Yuurei dari Jepang. Data dalam penelitian ini bukan merupakan data lisan,
tetapi merupakan data tertulis yang berupa cerpen. Simpulan yang didapat dari
penelitian ini adalah cerita Kuntilanak dengan cerita Ko-Sodate Yuurei memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaan kedua cerita ini adalah sama-sama merupakan
mitos simbolis dan kedua sosok hantu ini merupakan hantu perempuan. Sedangkan
perbedaannya sendiri adalah orang Indonesia memandang Kuntilanak adalah sosok
hantu yang jahat dan menakutkan, sedangkan orang Jepang memandang Ko-Sodate
Yuurei merupakan sosok hantu yang baik hati dan bersifat keibuan.
Penelitian ketiga adalah penelitian Tassa Ary Maheswarina. Mahasisiwi
Universitas Negeri Malang ini membuat penelitian yang bejudul Kepercayaan
Masyarakat Jawa dalam Film Kuntilanak (2012). Penelitian ini membicarakan
kepercayaan masyarakat Jawa terhadap sosok Kuntilanak dalam film Kuntilanak
(2006). Data dalam penelitin ini adalah film yang merupakan alih wahana dari
legenda alam gaib tentang Kuntilanak. Simpulan penelitian ini adalah Kepercayaan
masyarakat Jawa terhadap makhluk halus dalam film Kuntilanak, yaitu meliputi
kepercayaan adanya sosok makhluk halus, kemunculan makhluk halus, kepercayaan
bahwa makhluk halus mendiami tempat tertentu, dan sesajian untuk makhluk halus.
Sosok kuntilanak yang dihadirkan dalam film Kuntilanak adalah wanita tua, berambut
putih, wujudnya setengah manusia dan setengah kuda. Selain itu, makhluk halus
dipercaya muncul saat menjelang malam (magrib), sehingga orang tua melarang

anak-anak keluar rumah saat menjelang malam (magrib).
Penelitian keempat adalah penelitian Ratih Sukarsini yang berangka tahun
2012. Penelitian mahasiswi Unpad ini berjudul Struktur Mitos Cerita Hantu dalam
Acara Nightmare Side Radio Ardan 105.9 FM Bandung: Kajian Strukturalisme
Claude Lévi-Strauss. Penelitian ini meneliti cerita hantu sebagai teks tertulis bukan

5

merupakan tradisi lisan. Analisis dalam penelitian ini difokuskan hanya pada struktur
cerita dengan menggunakan teori strukturalisme Lévi-Strauss. Simpulan dari
penelitian ini adalah nalar yang terdapat dalam sembilan cerita Nightmare Side Radio
Ardan 105.9 FM Bandung merupakan simbolisasi dari masyarakat Sunda yang masih
memercayai adanya makhluk gaib.
Penelitian kelima adalah penelitian M. Iskandarsyah yang berjudul Hantu
Merah: Melihat Konstruksi Budaya dan Telaah Fungsi dalam Memaknai Cerita
Legenda Alam Gaib Kampus UI (2012). Data penelitian ini adalah hasil rekaman
civitas Akademika kampus UI mengenai cerita hantu merah. Simpulan dari penelitian
ini adalah adanya pembenaran terhadap kemistisan suasana kampus dan tingkat
keseraman yang diakibatkan oleh hantu merah.
Penelitian keenam adalah penelitian Anas Ahmadi yang berjudul Legenda

Hantu Kampus di Surabaya: Kajian Folklor Hantu (Ghostlore) Kontemporer.
Penelitian ini dimuat dalam buku Folklor Nusantara (2013) yang dieditori oleh Dr.
Suwardi Endraswara, M.Hum. Dalam penelitian Ahmadi ini, cerita-cerita hantu
dikumpulkan dari pelbagai kampus di Surabaya. Kemudian cerita-cerita hantu
tersebut diklasifikasikan berdasarkan tipologisnya: hantu sakral dan profan. Simpulan
dari penelitian ini adalah tipologi hantu kampus di Surabaya lebih berorientasi pada
hantu yang sakral. Hantu yang bertipologi profan hanya muncul pada hantu kampus
ITS dan PGRI Adi Buana.
Penelitian terakhir adalah penelitian yang ditulis oleh Indrawan Dwisetya
Suhendi. Penelitian yang berjudul Ciri-ciri Fantastik Dua Cerita Rakyat Kalimantan
dalam Buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Karya Kidh Hidayat tersebut dimuat
dalam jurnal Lokabasa volume 5, nomor 2, tahun 2013. Data dari penelitian ini
adalah dua teks cerita hantu (hantuen) dan makhluk jadi-jadian (burung roak) suku
Dayak Ngaju yang terangkum dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Karya
Kidh Hidayat (1999). Penelitian ini memandang cerita hantu sebagai cerita fantastik
dengan didasari oleh teori cerita fantastik Raymond Rogé. Simpulan penelitian ini
adalah dua cerita rakyat Kalimantan tentang hantuen dan asal mula burung roak

6


tersebut merupakan cerita fantastik bila dilihat dari struktur cerita dan peristiwaperistiwa fantastik yang terdapat di dalam teks cerita.
Dari judul-judul penelitian tersebut, belum ada penelitian yang membicarakan
kaitan cerita Kuntilanak dengan pandangan dunia orang Sunda. Itulah celah yang
akan peneliti garap untuk penelitian ini. Penelitian ini adalah penelitian tradisi lisan
dengan data berupa rekaman mengenai cerita Kuntilanak di Kabupaten Bandung.
Kabupaten Bandung dipilih karena dianggap oleh peneliti dapat mewakili masyarakat
Sunda secara umum. Hal tersebut dikarenakan Bandung adalah ibu kota Jawa Barat
dan pusat kebudayaan Sunda (Ekadjati, 1993:15). Penelitian ini dipayungi oleh ilmu
folklor, terutama folklor lisan. Penelitian ini akan membahas pandangan dunia orang
Sunda terhadap alam gaib yang tercermin dalam struktur cerita, konteks penuturan,
proses penciptaan, fungsi, dan makna cerita Kuntilanak sebagai legenda alam gaib.
2. LANDASAN TEORI
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) naratologi Todorov
(1985:12-13) untuk mengungkap struktur cerita Kuntilanak, 2) konteks situasi dan
budaya dari Bauman (dalam Badrun, 2003:40) untuk analisis konteks penuturan, 3)
skema komposisi cerita dari Sweeney (1987:39-40) untuk analisis proses penciptaan,
5) fungsi folklor Hutomo (1991:69) untuk analisis fungsi cerita, signifiksi Barthes
(2000:109-127) untuk menganalisis makna, dan 6) teori sudut pandang sebagai
keseluruhan imaji dan nilai sebagian besar tidak begitu disadari, tetapi menentukan
sikap individu maupun kelompok dari Zaimar (2008:43) untuk menganalisis

pandangan dunia orang Sunda.
3. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan secara rinci mengenai pandangan dunia
orang Sunda terhadap alam gain yang tercermin dalam struktur cerita Kuntilanak,
proses penciptaan cerita Kuntilanak, konteks penuturan cerita Kuntilanak, fungsi dari
cerita Kuntilanak, dan makna cerita Kuntilanak.

7

4. PEMBAHASAN
4.1 Sunda dan Orang Sunda

Dewasa ini, masalah kesundaan sudah banyak diperbincangkan orang, baik
sebagai obrolan biasa hingga perbincangan di mimbar akademik. Peneliti sebagai
orang

yang berkecimpung dalam masalah kebudayaan Sunda akan membahas

masalah kesundaan dari sudut pandang akademik, terutama tradisi lisan Sunda yang
peneliti geluti. Kata Sunda menurut R.W. van Bemmelen merupakan sebuah istilah
untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur (lihat Ekadjati, 1993).
Istilah ini tentu saja merujuk pada penamaan suatu wilayah secara goegrafis saja.
Istilah itu pun tentu merupakan istilah para sarjana barat yang mempelajari Indonesia.
Nama Sunda sebenarnya sudah lama ada jauh sebelum para sarjana barat memberikan
istilah tersebut untuk menunjukkan wilayah barat laut India. Sejarah mencatat bahwa
kata Sunda sudah muncul untuk menyebut wilayah yang lebih spesifik, yakni wilayah
barat kepulauan Jawa dan segala aktivitas kehidupan di dalamnya sejak abad ke-11.
Catatan tersebut termuat dalam prasasti yang ditemukan di Cibadak, Sukabumi.
Prasasti tersebut mengatakan bahwa Sri Jayabhupati (925 saka/1030 masehi)
merupakan salah satu raja Sunda. Sedangkan kerajaan Sunda sendiri didirikan oleh
Maharaja Tarusbawa (591-654 caka/669-723 masehi) yang merupakan penerus
kerajaan Tarumanegara. Catatan mengenai Maharaja Tarusbawa sendiri tercatat dalam
naskah Nagarakretabhumi (Atja dan Ayatrohaedi dalam Ekadjati, 1993:2-3).
Kata Sunda erat kaitannya dengan kebudayaan India beragama Hindu dan
berbahasa Sanskerta. Kata Sunda berasal kata Sund atau Suddha yang berarti bersinar,
terang, atau putih (lihat Hidayat, 2012:98). Kata Suddha sendiri merupakan nama
sebuah gunung yang putih bercahaya karena tertutup abu letusan gunung tersebut,
selanjutnya gunung tersebut menjadi gunung Sunda (1.850 meter). Dalam Adiparwa
Mahabharata atau bagian pertama kitab Mahabatara, terdapat gambaran mengenai
dua raja raksasa bernama Sunda dan Upasunda. Selain itu, di India bagian barat
bahkan terdapat sebuah kerajaan bernama Sunda dengan ibukota Ponda (lihat
Ekadjati, 1993:2-3).

8

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah Sunda juga dipakai sebagai sebutan
untuk kelompok manusia yang mendiami wilayah barat pulau Jawa, yakni orang
Sunda. Orang Sunda adalah orang yang mengaku dirinya dan diakui orang lain
sebagai orang Sunda (Warnaen dkk., 1987;1). Pengertian tersebut memberikan dua
kriteria orang Sunda: berdasarkan hubungan darah dan berdasarkan hubungan sosial
budaya. Dalam kriteria pertama orang Sunda adalah orang berdarah Sunda, ibu dan
bapaknya adalah orang Sunda. Sedangkan dalam kriteria kedua, orang Sunda adalah
orang yang secara sosial budaya mengikuti secara norma segala aktivitas sosial
budaya Sunda. Dia tinggal di wilayah Sunda, bergaul dengan orang Sunda, berbahasa
Sunda, dan mengikuti norma, nilai, dan budaya Sunda meskipun dia tidak berdarah
Sunda.
4.2 Hantu dan Kuntilanak dalam Perbincangan

Memperbincangkan hantu dewasa ini adalah hal yang dianggap ketinggalan
zaman, klenik, dan tidak rasional. Walau demikian, masih ada beberapa golongan
masyarakat yang menyukai bahkan mempercayai kehadiran makhluk halus tersebut.
Hantu kini menjadi begitu problematis, dia dicaci dan dipercayai. Walau ada beberapa
golongan masyarakat yang menolak hantu dan mengingkari eksistensinya, nasih
banyak pula masyarakat yang mempercayai, menyukai, dan bahkan menjadikan hantu
sebagai komoditas. Coba tengok fenomena perfilman Indonesia, perfilman saat ini
didominasi oleh judul-judul film mengenai hantu: baik film yang murni cerita hantu
atau film hantu yang dibumbui seks.
Dalam Ensiklopedi Hantu dan mahkluk Gaib Nusantara, Bianca mengatakan
bahwa kepercayaan masyarakat terhadap hantu dapat digolongkan ke dalam dua
jenis: (1) hantu yang diciptakan sebagai makhluk senjakala, dan (2) hantu yang
tercipta karena pengalaman personal masyarakat (2013:5). Hantu sebagai makhluk
senjakala dipercayai secara turun temurun oleh suatu kelompok masyarakat.
Keberadaannya di suatu masyarakat sudah sangat mapan karena biasanya hantu-hantu
digambarkan begitu kuat, sakti, dan sakral. Hantu yang tercipta karena pengalaman
masyarakat biasanya cenderung bersifat profan, nonreligi, dan temporal. Pengalaman

9

bertemu hantu dapat begitu subjektif, sulit dibuktikan kebenarannya. Femonema
pengalaman personal seseorang saat bertemu hantu oleh Bianca dibagi menjadi
empat: (1) haunting (arwah penasaran), Poltergeist (kesurupan), Black magic (sihir
hitam), dan Psyche energy (kekuatan mental).
Dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981)
Clifford Geerts, seorang ahli religi Jawa mengungkapkan bahwa informannya adalah
seorang tukang kayu muda. Tukang kayu tersebut secara umum membagi makhluk
halus dalam kepercayaan Jawa ke dalam tiga jenis: Memedi (tukang menakut-nakuti),
Lelembut (makhluk halus), dan tuyul (1981:19). Namun dalam penjabaran
selanjutnya, Geerts lebih condong membagi makhluk halus Jawa ke dalam empat
golongan besar, yakni: Memedi (makhluk gaib yang menakutkan), Lelembut
(makhluk gaib yang dapat memasuki tubuh kasar manusia), Thuyul (makhluk gaib
yang dapat diperbudak), dan Dhanyang (makhluk gaib penjaga keselamatan
seseorang) (Geerts, 1981:21-35; Danandjaja, 2007:158). Mengacu pada klasifikasi
dari Geerts, peneliti memasukkan Kuntilanak ke dalam golongan Memedi. Berbeda
dengan Geerts, Rusyana dan Raksanagara (1978) meneliti dan membagi makhlukmakhluk gaib Sunda menjadi Karuhun (ruh leluhur), Kajajaden (makhluk jadijadian), dan Dedemit (hantu atau siluman). Bila mengacu pada terminologi Rusyana
dan Raksanagara, Kuntilanak digolongkan ke dalam Dedemit. Bila mengacu pada dua
klasifikasi tersebut, Memedi dan Dedemit sebenarnya sama saja yakni merupakan
makhluk gaib yang menakutkan, tidak dapat memasuki tubuh manusia, tidak bisa
diperbudak manusia, tidak menjaga keselamatan manusia, bukan ruh leluhur, dan
bukan jelmaan manusia. Selain dua klasifikasi di atas, Koentjaraningrat (1984:339)
mengemukakan bahwa memang sukar untuk membuat suatu klasifikasi yang baik
mengenai semua jenis roh dan setan yang dikenal orang Jawa. Dalam bukunya yang
berjudul Kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat berusaha membagi makhluk halus Jawa
secara umum ke dalam dua golongan: roh nenek moyang (makhluk gaib bersifat
baik/menjaga) dan roh, jin, setan, dan raksasa (makhluk gaib bersifat mengganggu).
Oposisi biner dalam klasifikasi makhluk halus menurut Koenjtaraningrat juga
tersebut sejalan dengan pendapat Ahmadi. Ahmadi (2013:233) membagi hantu ke

10

dalam dua tipologi: sakral dan profan. Hantu yang sakral adalah hantu yang bersifat
baik dan berkaitan dengan ritual keagamaan atau religiusitas, sedangkan hantu yang
profan adalah hantu yang bersifat jahat, mengganggu, nonreligi, dan tidak
menjalankan ritual keagamaan. Berikut adalah bagan klafikasi hantu/makhluk halus
dari para pakar tersebut.
Makhluk Gaib
Sunda (Rusyana
dan
Raksanagara,
1978): Karuhun,
Kajajaden, dan
Dedemit

Makhluk Gaib
Jawa (Geerts,
1981): Memedi,
Lelembut, Thuyul,
dan Dhanyang

Makhluk Gaib
Jawa
Hantu (Ahmadi,
(Koentjaraningra
2013): Sakral
t, 1884):
dan profan
Makhluk gaib
bersifat baik dan
mengganggu
Salah satu hantu yang sudah mapan eksistensinya di Indonesia, khususnya
kebudayaan Sunda adalah Kuntilanak. Kuntilanak adalah hantu berasal dari jiwa
perempuan yang meninggal saat melahirkan. Sosoknya begitu mudah dikenali dari
rambutnya yang panjang terurai, wajahnya pucat, menggunakan pakaian panjang
serba putih, sering bertengger di atas pohon, dan dapat mengeluarkan tawa cekikikan.
Dalam Kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat mengatakan bahwa Kuntilanak berwujud
cantik dan sering keluar malam untuk mencari mangsanya, yakni laki-laki yang
berjalan sendirian, dalam tulisannya, Kuntilanak digambarkan telanjang bulat (lihat
Koentjaraningrat, 1984:339-340).
4.3 Analisis Struktur Cerita Kuntilanak

Analisis struktur cerita akan didasarkan pada teori naratologi Todorov.
Todorov (1985:12-13) mengatakan masalah telaah sastra dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian: aspek verbal, sintaksis, dan semantik teks. Dalam penelitian ini,
ketiga aspek tersebut akan diteliti.

11

4.3.1 Analisis Aspek Sintaksis Cerita Kuntilanak
Dalam teori naratologi Todorov, aspek sintaksis harus dimulai dengan analisis
satuan isi cerita. Sebuah karya sastra dipilah menjadi sekuen-sekuen untuk dapat
dianalisis lebih lanjut. Namun dalam penelitian ini, hal tersebut tidak akan dilakukan,
mengingat cerita lisan tidak seketat dan serumit cerita rekaan. Analisis aspek sintaksis
akan difokuskan pada analisis hubungan logis. Dalam aspek sintaksis, alur menjadi
fokus penelitian. Analisis alur dilakukan dengan melihat hubungan logis dalam teks
cerita Kuntilanak. Zaimar (2008:21) mengatakan cerita tidak dibentuk oleh hubungan
waktu (kronologis) dan urutan teks, melainkan melalui hubungan logis. Hubungan
logis dapat dianalisis lewat hubungan sebab-akibat (kausalitas). Satuan cerita yang
memiliki kausalitas dengan satuan cerita lain disebut fungsi utama. Analisis fungsifungsi utamalah yang akan membentuk alur. Berikut adalah analisis alur cerita
Kuntilanak.
1. Pemenuhan kebutuhan tokoh ibu dan keluarganya
2. Tindakan tokoh ibu memancing ikan di sungai
3. Terpancingnya seekor ikan yang sangat besar
4. Tindakan tokoh ibu menjual ikan tersebut kepada ibu pencerita
5. Tindakan ibu pencerita yang menolak membeli ikan tersebut karena ikan tersebut
sangat besar
6. Tindakan tokoh ibu yang kembali menjual ikan tersebut kepada uak pencerita
7. Rasa suka uak pencerita terhadap ikan tersebut
8. Tindakan tokoh uak pencerita membeli ikan tersebut
9. Tindakan uak pencerita memukul kepala ikan dengan palu dan menyayati tubuh
ikan dengan golok untuk membuatnya mati
10. Matinya ikan
11. Jatuhnya karma yang menimpa tokoh anak (sedang hamil 8 bulan) dari si ibu
yang menjual ikan
12. Rasa sakit dibagian kepala dan perut tokoh anak
13. Meninggalnya tokoh anak

12

14. Tindakan keluarga yang menguburkan jasad tokoh anak tanpa mengeluarkan
terlebih dahulu janin yang dikandungnya
15. Menjelmanya tokoh anak (Almarhumah) menjadi hantu Kuntilanak
16. Tindakan Kuntilanak bergentayangan
17. Tokoh tetangga melihat Kuntilanak
18. Beredarnya kabar Kuntilanak yang bergentayangan di kampung
19. Kampung menjadi geger.

13

1

Catatan:
Fungsi utama: 19 fungsi utama

2

1-10 alur berfokus pada tokoh ibu
3

11-19 alur berfokus pada tokoh anak
Garis putus: garis pemisah fokus alur

4

5

Alur cerita tokoh ibu

6

7

8

9

10

-------------------------------------11

12

13

14

15

16

17
14

18

19

Dalam teks cerita Kuntilanak ini terdapat 19 fungsi utama. Cerita diawali oleh
fungsi utama yang implisit yakni: Pemenuhan kebutuhan tokoh ibu dan keluarganya
(f 1). Cerita terus bergerak dan memperlihatkan tokoh ibu yang memancing ikan di
sungai lalu mendapatkan ikan yang sangat besar (f 2, 3). Ikan tersebut kemudian
dijual pada ibu pencerita (f 4) namun karena tidak menyukai ikan, ibu pencerita
menolak membeli ikan tersebut (f 5). Akhirnya tokoh ibu kembali menjual ikan
tersebut kepada uak pencerita (f 6), karena uak pencerita suka terhadap ikan, maka
dibelilah ikan tersebut (f 7, 8). Setelah ikan tersebut dibeli, diolahlah ikan tersebut
dengan cara dipukul kepalanya dengan palu yang bertujuan untuk membuat ikan itu
mati dan menyayat perut ikan tersebut dengan golok, matilah ikan itu (f 9, 10). Cerita
berlanjut pada alur tokoh anak. Fungsi utama 11 merupakan fungsi implisit dalam
teks. Setelah ikan mati, tokoh anak dari ibu yang memancing tertimpa karma (f 11).
Karma tersebut berupa rasa sakit di kepala dan perut (f 12) sehingga tokoh anak pun
meninggal (f 13). Tanpa mengeluarkan janin dalam kandungan tokoh anak, jasad
tokoh anak pun dikuburkan (f 14). Setelah peristiwa itu, tokoh anak (Almarhumah)
menjelma menjadi sesosok Kuntilanak (f 15). Kuntilanak pun bergentayangan dan
menampakkan diri pada tokoh tetangga (f 16, 17). Peristiwa tersebut membuat kabar
tentang bergentayangannya tokoh anak semakin berhembus kencang dan membuat
seluruh warga kampung panik (f 18, 19).
Hasil analisis aspek sintaksis menunjukkan bahwa teks cerita Kuntilanak di
atas cenderung linear dan bergerak maju. Dalam teks tersebut, terdapat alur yang
berfokus pada tokoh ibu (f 1-10) dan alur yang berfokus pada tokoh anak (f 11-19).
Terdapat pemisah yang jelas antara alur yang berfokus pada tokoh ibu dan alur yang
berfokus pada tokoh anak, yaitu fungsi utama 10-11. Matinya ikan tidak
mengakibatkan tokoh anak mengalami rasa sakit, maka ditambahkanlah fungsi utama
11.

15

4.3.2 Analisis Aspek Semantik Cerita Kuntilanak
Analisis aspek semantik berusaha untuk menunjukkan tokoh dan latar dalam
teks cerita ini. Analisis tokoh dan latar merupakan analisis aspek semantik dalam teks
naratif sebagaimana pendapat Zaimar (2008:336). Analisis tokoh dan latar sangat
penting karena dalam tokoh dan latar seringkali terdapat pemikiran, gagasan, dan
pandangan terhadap sesuatu. Berikut analisis semantik teks cerita Kuntilanak.
4.3.2.1 Analisis Tokoh
Dalam cerita Kuntilanak terdapat beberapa tokoh yang memiliki peran penting
dan ada tokoh yang bertransformasi dari asalnya manusia berubah menjadi hantu
Kuntilanak. Dalam analisis tokoh, hal yang akan dianalisis adalah potret (gambaran)
tokoh, baik secara fisik, psikis, dan sosial dan analisis nama tokoh. Berikut adalah
analisis tokoh cerita Kuntilanak.
1) Tokoh Ibu
Tokoh ibu merupakan salah satu tokoh penting dalam cerita ini. Dari analisis
alur bahkan ditemukan alur yang berfokus pada tokoh ini. Alur tersebut dapat dilihat
dari fungsi utama

1-10. Selain itu, tokoh ini merupakan motor penggerak cerita.

Kehidupannya dan pemenuhan kebutuhannya merupakan fungsi utama pertama
penggerak cerita. Secara fisik tidak ada sedikit pun gambaran yang mengenai tokoh
ini. Hanya terdapat tanda-tanda yang dapat dirujuk untuk dapat mengungkap lebih
jauh fisik tokoh ini. Dalam teks, terdapat gambaran mengenai keluarga tokoh ini.
Gambaran itu dapat dirujuk untuk melihat secara jelas tokoh ini. Dari teks, tokoh ini
merupakan seorang ibu yangempunyai tiga orang anak. Bila dicermati, seorang ibu
yang mempunyai tiga orang anak yang bahkan sudah mengandung adalah sosok ibu
yang sudah berumur dan tidak lagi muda. Berikut adalah kutipan dalam teks yang
menerangkan hal tersebut.
Baheula téh aya ibu-ibu, sebuah keluarga. Ibu-ibuna téh gaduh putra
tilu. Nu hiji eh, (informan sedikit kebingungan) nu hiji nuju hamil,
nuju ngandung. Anu dua alit kénéh. Nu hiji deui pameget kitu.
16

Dulu ada ibu-ibu, sebuah keluarga. Ibu-ibu tersebut mempunyai tiga
anak. Yang satu eh, (informan sedikit kebingungan) yang satu sedang
hami, sedang mengandung. Yang dua masih kecil. Yang satu lagi lakilaki begitu.
Dari teks tersebut, tokoh ibu digambarkan memiliki seorang anak yang sedang
mengandung dan dua orang anak yang masih kecil. Sekilas kutipan teks tersebut juga
dapat menggambarkan kehidupan keluarga bahkan psikis tokoh. Dalam kutipan lain
terdapat penggambaran aktivitas tokoh yang dapat diacu untuk mengungkap fisik
tokoh.
Nah, suatu hari si ibu éta téh nguseup lauk di balong. Aya balongna
deukeut bumi abdi. Terus téh meunang.
.Nah, suatu hari si ibu memancing ikan di kolam. Ada kolamnya dekat
rumah saya. Lalu dapat.
Dari kutipan teks di atas, terdapat gambaran aktivitas tokoh yang sedang
memancing. Hal ini dapat diartikan bahwa tokoh ini masih memiliki fisik yang sehat.
Jadi, secara fisik tokoh ibu memiliki fisik yang sudah tidak muda namun masih sehat.
Dari segi psikis tokoh, dua kutipan di atas dapat memberikan gambaran yang
sangat baik. Tokoh ibu digambarkan sangat bertanggung jawab dalam menghidupi
ketiga anaknya yang dibuktikan dengan aktivitas memancing untuk dijual hasilnya.
Selain itu, tokoh ibu sangat mandiri dengan tidak ada teks yang menerangkan bahwa
tokoh tersebut dibantu oleh suami dalam menghupi anak-anaknya. Namun, sekilas
teks sedikit mengungkap sosok suami dari tokoh ini.
“Eu, atos meninggal kitu putrana bapa Juju nu nuju hamil, nuju
hamilna tuh dalapan bulan duka tujuh bulan, dalapan bulan sigana”.
“Telah meninggal anak dari bapak Juju yang sedang hamil, yang usia
kandungannya entah delapan atau tujuh bulan, sepertinya delapan
bulan”.

17

Dari teks di atas, dapat diketahui bahwa Bapak Juju adalah mana suami dari
tokoh ibu karena pengumuman mengenai anaknya yang meninggal diumumkan
dengan nama bapaknya. Namun, teks dalam teks yang lebih utuh, tidak ada
penggambaran bahwa bapak Juju adalah tokoh berperan dalam keluarga. Jadi, secara
psikis, tokoh ibu adalah sosok perempuan kuat yang mandiri dan bertanggung jawab.
Setiap orang pasti memiliki nama. Nama tersebut tentu memiliki makna. Oleh
sebab itu makna nama akan diteliti pada analisis ini. Secara nama, tokoh ini tidak
memiliki nama diri yang jelas. Hal itu disebabkan karena cerita ini adalah cerita lisan
biasa yang hanya bersifat hiburan/gosip saja. Tidak mempunyai nilai religiusitas
apalagi kesakralan. Berbeda dengan cerita yang mapan dan memiliki tokoh-tokoh
yang sakral, tokoh-tokoh dalam cerita semacam itu pasti memiliki nama yang jelas,
seperti: Prabu Siliwangi, Sangkuriang, Dayang Sumbi, Batara Guru, dan Sunan
Ambu. Tokoh ini hanya disebut sebagai Si Ibu. Kata si ibu bukan merupakan nama
diri dan gelar kebangsawanan. Kata itu merupakan sebutan untuk perempuan yang
sudah memiliki anak. Dalam bahasa Sunda kata Si merupakan rarangkén hareup:
kata depan/sandang untuk orang, binatang, tanaman (Satjadibrata, 2011:320).
Sedangkan kata ibu setara dalam bahasa Indonesia. Kata ibu dalam bahasa Sunda
memiliki beberapa varian seperti: ema dan indung. Dalam konteks cerita ini, Si Ibu
adalah sebutan informan untuk menggambarkan bahwa tokoh tersebut memiliki anak.
2) Tokoh Anak/Almarhumah/Kuntilanak
Tokoh ini merupakan salah satu tokoh sentral dalam cerita, seperti tokoh si ibu
yang merupakan ibunya, tokoh ini juga mempunyai fokus alur tersendiri. Dalam
analisis fungsi utama, tokoh ini menempati fungsi utama 11-19. Selain itu, tokoh ini
merupakan tokoh yang bertransformasi dalam cerita. Awalnya tokoh ini merupakan
seorang perempuan yang sedang mengandung delapan bulan, akibat karma yang
menimpanya, tokoh ini meninggal dengan masih mengandung janin dalam rahimnya,
kemudian tokoh ini bertransformasi menjadi sesosok hantu Kuntilanak.
Secara fisik, tidak ada gambaran sedikitpun dalam teks mengenai fisik tokoh
ini. Hanya saja, ada tanda berupa usia kandungan yang sudah mencapai delapan

18

bulan. Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa tokoh ini adalah seorang
perempuan yang berusia matang. Secara psikis tokoh ini tentu sudah dewasa
mengingat tokoh ini sudah berumah tangga dan hamil tua. Dikarenakan sedikit sekali
informasi dalam teks mengenai tokoh ini, transformasi tokoh ini dari manusia
menjadi Kuntilanak-lah yang menarik dalam pembahasan tokoh ini. Bila kita kembali
melihat analisis alur, kita akan menemukan sebab dari bertransformasinya tokoh anak
menjadi sesosok Kuntilanak. Secara implisit, karma dari perbuatan ibunya menjual
memancing ikan yang mengakibatkan matinya ikan oleh tokoh uak mengakibatkan
meninggalnya tokoh anak yang kemudian menjelma menjadi Kuntilanak. Setelah
tokoh anak meninggal, dalam cerita ia disebut sebagai Almarhumah, lalu
bertransformasilah ia menjadi menjadi sesosok hantu Kuntilanak. Secara fisik, sosok
hanya ada sedikit gambaran dari informan mengenai sosok tersebut.
Tapina wajahna téh lemes, kumaha wéh siga anu aya di tv, jurig-jurig
anu dina tv. Tapi henteu nganggo kaen putih-putih, henteu.
Wajahnya lemas, seperti hantu-hantu yang ada di tv. Tapi tidak
memakai kain putih-putih.
Dalam teks kutipan di atas tergambar bahwa setelah menjadi Kuntilanak,
tokoh anak digambarkan memiliki (raut) wajah yang lemas, seperti gambaran hantuhantu di televisi. Hanya saja tanpa memakai pakaian (kain) putih. Seperti kita ketahui
bersama, sosok Kuntilanak di televisi memiliki gambaran yang hampir selalu sama,
yakni berwajah pucat, kadang dengan senyum yang dingin tanpa ekspresi, rambut
panjang terurai sepinggang, memakai pakaian panjang yang serba putih, dan selalu
tertawa nyaring.
Analisis nama akan difokuskan pada saat tokoh anak sudah meninggal, yakni
ketika ia disebut sebagai Almarhumah dan saat sudah bertransformasi menjadi
Kuntilanak. Kata Almarhumah berasal dari bahasa Arab Almarhum yang berarti: yang
dirahmati Allah; sebutan bagi orang Islam yangudah meninggal; mendiang.
Sedangkan Almarhumah berarti sebutan bagi orang Islam berjenis kelamin
perempuan yang sudah meninggal. Padanan kata lain dalam bahasa Sunda adalah

19

jenat. Dari analisis nama ini, dapat diketahui bahwa tokoh anak merupakan seorang
yang beragama Islam.
Dalam Kamus Sunda-Indonesia (Edisi ketiga, 2011) karangan R. Satjadibrata,
mengatakan bahwa Kunti atau Kuntilanak adalah sejenis makhluk halus yang
kononberasal ari perempuan yang mati karena tidak jadi beranak, Puntianak
(2011:189). Kata ini dipakai sebagai nama saat tokoh anak meninggal lalu
bergentayangan. Jadi, secara sederhana, peneliti membuat bagan siklus hidup tokoh
anak sampai ia bertransformasi menjadi Kuntilanak.
Saat masih hidup

Saat sudah meninggal

Anak

Almarhumah

Saat menjadi hantu
Kuntilanak

3) Tokoh Indung (Penutur)
Tokoh Indung merupakan ibu dari penutur yang secara kuantitas sangat minim
dalam teks. Hanya fungsi utama 4 dan 5 yang secara langsung bersinggungan dengan
tokoh ini. Dapat pula dikatakan tokoh ini merupakan tokoh bawahan. Namun, dalam
sebuah teks setiap tokoh walau sedikit sekali muncul dalam teks, tetap memberikan
pengaruh terhadap sebuah teks naratif. Oleh karena itu, tokoh ini tidak luput dari
analisis peneliti. Sulit untuk melihat tokoh ini dari segi fisik dan psikis karena hampir
tidak ada gambaran sedikit pun mengenai segi tersebut dalam teks. hanya saja dalam
fungsi utama 5 yang berbunyi: Tindakan ibu pencerita yang menolak membeli ikan
tersebut karena ikan tersebut sangat besar, dapat membawa kita pada sebuah
pemahaman bahwa tokoh ini tidak menyukai ikan, terutama ikan yang besar (gila).
Hal tersebut dapatdiartikan sebagai gambaran psikis tokoh yang takut akan hal-hal
yang tidak dianggap lazim, layaknya ikan yang sangat besar tersebut. Berikut adalah
gambaran mengenai tokoh ini dalam teks.
Dijual ka pun indung. Pun indung kan alimeun, da teu resep kana
lauk.
Dijual ke ibu saya. Ibu saya tidak mau karena tidak suka ikan.

20

4) Tokoh Ua (Penutur)
Tokoh Ua juga merupakan tokoh bawahan dalam teks. Hanya terdapat 4
fungsi utama (6, 7, 8, dan 9) yang menerangkan tokoh ini. Sama seperti tokoh
sebelumnya, hampir tidak ada uraian dalam teks yang menjelaskan mengenai fisik
dan psikis tokoh. Hanya saja, setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, terdapat
sedikit gambaran mengenai tokoh ini. Tokoh ini merupakan kakak dari tokoh Indung
(penutur). Kata Ua dalam bahasa indonesia berarti bapak, mak tua, saudara bapak,
saudara ibu (Satjadibrata, 2011:362). Dalam bahasa Indonesia kata ini sepadan
dengan Uak. Peran tokoh Ua terlihat lebih banyak secara kuantitas ketimbang
adiknya. Hal ini dibuktikan dengan jumlah fungsi utama yang berkaitan dengan
dirinya. Fungsinya dalam crita adalah sebagai pembeli ikan setelah tokoh Indung
menolak membelinya. Setelah ikan tersebut dibeli, kemudian ikan tersebut dipukuli
oleh palu dan disayati oleh golok sampai mati. Hal ini mengakibatkan karma pada
tokoh anak yang sedang mengandung. Berikut adalah gambaran mengenai tokoh ini
dalam teks.
Dijual wéh ka ua abdi. Nya ua abdi téh resep lauk, nya ku ua abdi téh,
si laukna da ageung téa di ketrokan ku palu si sirahna téh. Terus
awakna téh digérésél-gérésél kitu ku bedogna.
Akhirnya ikan itu dijual ke uak saya. Karena uak saya suka ikan, oleh
uak saya ikan tersebut dipukul kepalanya oleh palu. Lalu badannya
disayat-sayat dengan golok.
4.3.2.2 Analisis Ruang
Dalam analisis ruang, tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa dalam teks
akan dibahas untuk menggali gagasan yang terkandung dalam teks. Berikut adalah
analisis ruang dalam teks cerita Kuntilanak.
1) Balong (Kolam)
Dalam teks, ruang balong sebagai latar tempat sangat penting karena
berkaitan dengan asal datangnya ikan besar yang ternyata mengandung tuah. Tidak
dijelaskan dalam teks mengenai ukuran, isi, dan jenis dari kolam tersebut. Penutur

21

hanya mengatakan kolam yang lokasinya berada di dekat rumahnya. Berikut adalah
teks yang menjelaskan tentang ruang kolam.
Nah, suatu hari si ibu éta téh nguseup lauk di balong. Aya balongna
deukeut bumi abdi.
Nah, suatu hari si ibu memancing ikan di kolam. Ada kolamnya dekat
rumah saya.
Seperti telah dijelaskan bahwa ruang ini memegang peranan penting dalam
cerita. Kolam ini adalah tempat di mana tokoh ibu memancing lalu mendapat seekor
ikan yang sangat besar yang ukurannya tidak wajar. Ikan inilah yang lalu dijual dan
kemudian membawa karma pada tokoh anak hingga akhirnya ia meninggal dan
menjadi Kuntilanak.
Bila dilihat lebih lanjut dengan menggunakan teori signifikasi dari Barthes
(2000:109-127), kolam yang secara denotasi adalah sebuah lubang di tanah yang
berisi sebagai tempat memelihara ikan, dapat diarikan lain bila dilihat dari segi
konotasi. Dari segi konotasi, kolam yang berisi air dapat diartikan sebagai sumber
kehidupan. Jadi, ada pesan yang ingin disampaikan lewat cerita ini. Namun, itu akan
dibahas pada bagian makna.
2) Pemukiman Kecil di Kampung Ciluncat Girang, Kecamatan Rancaekek,
Kabupaten Bandung
Ruang ini sebenarnya hanya disebut perumahan kecil dalam teks. Namun,
karena pemukiman kecil itu berada di Kampung Ciluncat Girang, Kecamatan
Rancaekek, Kabupaten Bandung, maka peneliti menganggap kedua tempat tersebut
sebagai sebuah kesatuan dan menjadikannya sebagai satu ruang terbuka yang utuh.
Pemukiman kecil sebagai ruang terbuka adalah tempat semua peristiwa dalam cerita
berlangsung. Berikut adalah kutipan teks yang menjelaskan hal tersebut.
Ageung pisan pokonamah siga anu teu wajarlah lamun lauk saageung
kitu di pemukiman kecil di kampung abdi.

22

Besar sekali pokoknya, seperti yang tidak wajar bila ikan sebesar itu
ada di pemukiman kecil di kampung saya.
Dalam teks terlihat bagaimana informan mengatakan bahwa pemukiman kecil
itu berada di kampungnya, yang dimaksud kampunya adalah kampung Ciluncat
Girang. Bila kembali kita gunakan teori signifikasi untuk memaknai frasa pemukiman
kecil ini, maka peneliti menganggap pemukiman kecil/kampung ini adalah sebagai
sebuah tatanan bermasyarakat yang di dalamnya hidup berbagai orang dengan kepala
yang berbeda. Sebagai sebuah latar makro dalam cerita, pemukiman kecil/kampung
memegang fungsi sosial yang kuat.
3) Walungan
Ruang ini merupakan ruang terbuka yang berfungsi sebagai tempat
bergenyatangannya Kuntilanak sehingga terlihat oleh tetangga dalam teks. Berikut
adalah kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut.
Nya sempet aya nu ninggal, aya nu ninggal si Almarhumah téh di
peuntas-peuntas walungan.
Sempat ada yang melihat, ada yang melihat si Almarhumah ada di
seberang sungai.
Dalam bahasa Indonesia walungan berarti sungai. Sama seperti kolam, peneliti
mengartikan sungai sebagai sumber kehidupan. Di sana orang biasa mencuci pakaian,
mandi, dan lain-lain. Fungsi adanya Kuntilanak di sungai adalah untuk menjaga
kelestarin sungai itu sendiri.
4) Masjid
Ruang lain yang ada dalam teks adalah masjid. Walau hanya berfungsi sebagai
pemberi pengumuman bahwa tokoh anak sudah meninggal, namun bila dilihat dari
konotasinya, masjid berarti sebuah perlambang religiusitas, perlambang nilai
ketuhanan. Dari masjid inilah segala aktivitas keagamaan berjalan. Sebagai ruang
tertutup dalam teks, masjid merupakan sebuah latar mikro yang berada dalam sebuah

23

pemukiman kecil/kampung. Berikut adalah teks yang menggambarkan eksistensi
masjid dalam teks.
Nah, pas kejadian éta téh eu, meninggal, aya kabar, ”Innalilahi wa
Innailahi rajiun”, ti masjid téh.
Setelah itu, terdengar pengumuman, “Innalilahi wa Innailahi rajiun”,
dari masjid.
Keempat ruang di atas adalah merupakan satu kesatuan yang padu. Kolam,
sungai, dan masjid merupakan latar mikro sedangkan pemukiman kecil/kampung
merupakan latar makro. Berikut adalah gambaran yang peneliti buat untuk
memudahkan penggambaran.
Pemukiman kecil/Kampung

Kolam

Masjid

Sungai

Visualisasi ruang di atas menempatkan latar mikro (kolam, sungai, dan
masjid) yang berada dalam ruang yang lebih besar (pemukiman kecil/masjid).
Keempat ruang tersebut mengisyaratkan bahwa kolam dan sungai sebagai
perlambang sumber kehidupan, masjid sebagai perlambang religiusitas harus diatur,
ditata, dan dikelola sebaik-baiknya oleh penguasa. Hal itu harus dilakukan demi
sebuah keseimbangan: dunia-akhirat.
4.3.2.3 Analisis Waktu
Dalam analisis waktu, akan dianalisis waktu yang terdapat dalam cerita untuk
mendukung analisis-analisis yang lain. Dalam teks terdapat beberapa waktu yang

24

dipakai dalam cerita. Terdapat frasa seperti suatu hari, dua jam kemudian, saminggu
kemudian, tujuh bulan, dan dalapan bulan (usia kandungan). Frasa-frasa tersebut
merupakan frasa yang dapat mengisi fungsi keterangan waktu pada sebuah kalimat.
Frasa-frasa di atas merujuk pada masa lalu di mana cerita tersebut diyakini pernah
terjadi. Frasa pada suatu hari merupakan sebuah awalan yang bisa diujarkan bila
seseorang menuturkan sebuah legenda/dongeng. Hal tersebut memang sesuai karena
cerita ini merupkan legenda alam gaib. Secara kelogisan waktu, frasa-frasa yang
terdapat cerita tidak menunjukkan suatu kurun waktu tertentu. Frasa- seperti suatu
hari, dua jam kemudian, saminggu kemudian, tujuh bulan, dan dalapan bulan dapat
terjadi kapan saja. Mengingat cerita ini merupakan cerita lisan yang bersifat
nonsakral, maka waktu seolah dianggap tidak penting oleh penutur.
4.3.3 Analisis Aspek Verbal Cerita Kuntilanak
Analisis pragmatik teks memusatkan perhatian pada pemakaian bahasa (la
langue en action) dan efek yang ditimbulkannya (Zaimar, 2008:41). Dalam analisis
verbal, peneliti akan memfokuskan kajian pada aspek penceritaan dan kehadiran
pencerita.
4.3.3.1 Tipe Penceritaan
1) Wicara yang Dilaporkan
Dalam teks cerita Kuntilanak, setidaknya terdapat tipe penceritaan wicara
yang dilaporkan dan wicara yang dinarasikan. Tipe penceritaan wicara yang
dilaporkan adalah berupa dialog-dialog tokoh atau kalimat-kalimat langsung. Dalam
teks cerita Kuntilanak tipe penceritaan ini sangat sedikit terdapat dalam teks. ada
dialog yang terjadi antartokoh dalam teks cerita ini, namun tipe wicara langsung
terdapat dengan kuantitas yang sedikit. Berikut adalah kutipan-kutipan dalam teks
yang menunjukkan tipe penceritaan wicara yang dilaporkan.
“Innalilahi wa Innailahi rajiun”.
“Eu, atos meninggal kitu putrana bapa Juju nu nuju hamil, nuju
hamilna tuh dalapan bulan duka tujuh bulan, dalapan bulan sigana”.
25

”Innalilahi wa Innailahi rajiun”.
“Telah meninggal anak dari bapak Juju yang sedang hamil, yang usia
kandungannya entah delapan atau tujuh bulan, sepertinya delapan
bulan”.
Wicara ini merupakan wicara langsung yang dituturkan oleh pengurus masjid
yang mengumumkan bahwa tokoh anak sudah meninggal. Dalam banyak tradisi,
terutama yang sudah bercorak Islam, kematian seseorang biasanya akan langsung
diumumkan dengan maksud agar tetangga datang berkunjung dan membantu pross
penguburan. Biasanya pengumuman diumumkan dengan menggunakan pelantang
milik masjid atau musala, sedangkan yang mengumumkan biasanya adalah pengurus
masjid. Dalam teks di atas tidak diketahui siapa yang mengumumkan, hanya saja
informan memberikan sedikit gambaran bahwa hal tersebut dilakukan dalam masjid.
Tipe wicara yang dilapokan lain dalam teks adalah percakapan singkat antara
tetangga dengan Kuntilanak. Dialog tersebut sangat sedikit, hal tersebut dikarenakan
bahwa lawan bicara tetangga adalah sosok hantu, bukan manusia seperti dirinya.
Berikut adalah dialog yang terdapat dalam teks.
Ditaros ku tatanggi abdi, “nuju naon di dieu?”, ceunah.
“Ah, nuju cicing wéh”.
Kemudian ditanya oleh tetangga saya, ”sedang apa di sana?”
”Ah, sedang diam saja”.
Dialog ini terjadi saat tetangga melihat tokoh anak sedang berada di seberang
sungai sambil menggendong bayi, tokoh tetangga tidak mengetahui bahwa
sebenarnya tokoh anak sudah meninggal dan yang dilihatnya adalah sosok
Kuntilanak.
2) Wicara yang Dinarasikan
Wicara yang dinarasikan adalah tuturan pemandang yang menceritakan
peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh. Tipe wicara ini banyak terdapat dalam teks.
Penutur sekaligus pemandang hampir selalu menceritakan peristiwa-peristiwa yang

26

dialami berbagai tokoh (lihat analisis sintaksis). Bahkan dalam awal teks cerita,
penutur sudah mengatakan: Jadi caritana téh kieu (Jadi ceritanya begini). Awalan
cerita tersebut kemudian dilanjutkan dengan wicara mengenai peristiwa-peristiwa
yang dialami tokoh. Berikut adalah contoh dari tipe penceritaan wicara yang
dinarasikan.
Nah, suatu hari si ibu éta téh nguseup lauk di balong. Aya balongna
deukeut bumi abdi. Terus téh meunang.
Geus wéh dijual ku ibu-ibu éta téh. Dijual ka pun indung. Pun indung
kan alimeun, da teu resep kana lauk.
Nya uwa abdi téh resep lauk, nya ku uwa abdi téh, si laukna da
ageung téa di ketrokan ku palu si sirahna téh. Terus awakna téh
digérésél-gérésél kitu ku bedogna.
Nah, suatu hari si ibu memancing ikan di kolam. Ada kolamnya dekat
rumah saya. Lalu dapat.
Akhirnya ikan tersebut dijual oleh si ibu. Dijual ke ibu saya. Ibu saya
tidak mau karena tidak suka ikan.
Karena paman saya suka ikan, oleh paman saya ikan tersebut dipukul
kepalanya oleh palu. Lalu badannya disayat-sayat dengan golok.
Masih banyak lagi sebenarnya tipe penceritaan wicara yang dinarasikan. Contohcontoh di atas hanya berupa gambaran singkat.
3.3.3.2 Kehadiran Pencerita
Dalam teks cerita Kuntilanak, pencerita adalah pencerita intern. Dalam teks
ini, pencerita adalah penutur/informan yang mendengar cerita ini dari orang tuanya.
Di samping hal tersebut, untuk membuktikan bahwa pencerita merupakan pencerita
intern, dapat digunakan analisis pronomina. Pronomina persona dalam sebuah teks
cerita merujuk pada kehadiran pencerita. Dalam teks, pronomina yang tampak adalah
Abdi. Kata abdi (saya) merupakan pronomina orang pertama tunggal. Jadi, dengan
kata lain, pencerita dalam teks adalah orang pertama yang terlibat langsung dalam
cerita (mendengar cerita dari orang tua dan menceritakan kembali kepada peneliti).
Berikut adalah kutipan teks yang menunjukkan penggunaan pronomina persona abdi.

27

Aya balongna deukeut bumi abdi.
Ageung pisan pokonamah siga anu teu wajarlah lamun lauk saageung
kitu di pemukiman kecil di kampung abdi.
Dijual wéh ka uwa abdi. Nya uwa abdi téh resep lauk, nya ku uwa
abdi téh, si laukna da ageung téa di ketrokan ku palu si sirahna téh.
Ada kolamnya dekat rumah saya.
Besar sekali pokok