Prospek penggunaan sarcocystis singaporensis untuk pengendalian biologis populasi tikus sawah (rattus argentiventer)

PROSPEK PENGGUNAAN Sarcocystis singaporensis
UNTUK PENGENDALIAN BIOLOGIS POPULASI
TIKUS SAW AH (Rattus argentiventer)

MUCHRODJI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2006

PERNYATAAN MEN GENAl TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prospek Penggunaan Sarcocystis
singaporensis untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus
argentiventer) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor,

Maret 2006

Muchrodji
NRP. E05104022

ABSTRAK

MUCHRODJI. Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis

untuk
Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer). Dibimbing
oleh YANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI.
Tikus sawah merupakan hama penting tanaman padi di Indonesia, karena
banyak tanaman padi yang gagal panen karena diserang oleh tikus. Berbagai jenis
rodentisida banyak diproduksi khususnya jenis rodentisida kimia, temyata
membawa akibat yang kurang baik bagi lingkungan. Jenis rodentisida biologis
(bio rodentisida) masih sangat sedikit dikembangkan bahkan masih sangat jarang,

padahal jenis bio rodentisida termasuk ramah lingkungan.
Salah satu jenis bio rodentisida yang dikembangkan oleh PPPG Pertanian
Cianjur adalah Sarcocystis singaporensis. Sarcocystis singaporensis merupakan
jenis mikroorganisme parasit yang spesifik hidup dalam tubuh tikus. Mikroba
tersebut dapat berkembang biak dalam tubuh ular python (python reticulatus).
Organisme tersebut bereproduksi seksual dalam usus halus ular python dan
menyebar lewat feses (dalam bentuk sporocyst) melalui air ke berbagai spesies
tikus. Dalam tubuh tikus, parasit tersebut melipatgandakanjumlahnya di dalam sel
pembuluh darah hingga membentuk cyst (kista) dalam otot, yang berakibat tikus
mati. Parasit ini tidak membahayakan baik bagi ular maupun manusia.
.
Dosis Sarcocystis singaporensis dalam membunuh tikus betina maupun
jantan tidak dipengaruhi kelas umur tikus. Lama kematian pada tikus betina akibat
pemberian Sarcocystis singaporensis tidak berbeda nyata baik pada anak maupun
dewasa. Lama kematian tikus jantan kelas umur anak lebih cepat daripada tikus
jantan dewasa.
セ@

ABSTRACT
MUCHRODJI. Prospect of Sarcocystis singaporensis for the Population Control

Biologically of Field Rats (Rattus Argentiventer). Under the direction of YANTO
SANTOSA and ABDUL HARIS MUST ARI.
Rice field rats are important pests of paddy crop in Indonesia, because many
unsuccessful paddy crop attacked by rats. Many rodenticide types are produced,
specially chemical rodenticide type, actually bring effect of unfavourable to
environment. Biological rodenticide types (bio rodenticide) are still developed
slimmest even still very rare, though bio rodenticide types are environmental
friendliness.
.
Bio rodenticide type that developed by PPPG Pertanian is using Sarcocystis
singaporensis. It is specific parasite microorganism type lives in rats body. S.
singaporensis reproduces sexually in the intestine of reticulated python (Pyhton
reticulatus) and transmitted via faeces (in form of sporocyst) to various rats
species (Jaekel, 2001). In rats body, the parasite mUltiplies inside the cell of blood
vessel until it forms cyst in muscle, causing rats become death. This parasite not
endanger both for human being and also snake.
Dosage of S. singaporensis in killing male and also female rice field rats do
not related by age class rats. So effect on giving Sarcocystis singaporensis on day
of death at female rice field rats do not related by age class rats, but day of death
the young male rats quicker than adult rats.

Key words: Sarcocystis singaporensis, rodenticide, biological rodenticide, Rattus
argentiventer.

© Hak cipta milik Muchrodji, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
In.vtitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
Bentuk apapun, baik cetak, !otocopy, mikrojilm, dan sebagainya

PROSPEK PENGGUNAAN Sarcocystis singaporensis
UNTUK PENGENDALIAN BIOLOGIS POPULASI
TIKUS SAW AH (Rattus argentiventer)

MUCHRODJI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi
pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Tesis

Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk
Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus
argentiventer)

Nama Mahasiswa

Muchrodji

NRP

E 051040255


Program Studi

llmu Pengetahuan Kehutanan

Sub Program Studi

Konservasi Biodiversitas

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
Ketua

Dr. Ir. Abdul Haris ustari, MScF.
Anggota

Diketahui,

Ketua


Pr0rm Studi

セ@
Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc.F

Tanggal Ujian: 27 Maret 2006

Tanggal Lulus: 1 7 APR 2006

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
ini adalah pengendalian populasi tikus, dengan judul Prospek Peogguoaao

Sarcocystis singaporensis uotuk PeogeodaJiao Biologis Populasi Tikus Sawah
(Rattus argentiventer). Penelitian dilakukan di Pusat Pengembangan Penataran
Guru (PPPG) Pertanian mulai bulan Agustus sampai bulan Oktober 2005.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa,
DEA. dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MScF selaku komisi pembimbing.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Giri Suryatmana, selaku

kepala PPPG Pertanian, Ibu Dr. Ir. Paristiyanti N, MP, Bapak Ir. Adang S, M.Si,
Bapak Ir. Cahyana YA., serta berbagai pihak yang telah banyak memberikan
bantuan saran selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
istri dan anak-anakku tercinta, serta ibu alas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor,

Maret 2006

Muchrodji

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Temanggung Jawa Tengah pada tanggal 5 April 1970
dari ayah Amat Sapari dan ibu Suliyah. Penulis merupakan putra ke-tujuh dari
tujuh bersaudara.
Tahun 1989 penulis lulus dari STM Pembangunan Temanggung jurusan
Teknologi Hasil Pertanian. Tahun 1992 melanjutkan pendidikan pada jurusan
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka dan'lulus pada tahun 1999.

Tahun 2001

penulis mengikuti

pendidikan AKTA

mengajar IV yang

diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surakarta.
Penulis bekerja pada PPPG Pertanian Cianjur sejak tahun 1990 sampai
sekarang. Beberapa unit kelja yang pemah menjadi tempat tugas penulis antara
lain adalah Instalasi Teknologi Hasil Pertanian (Unit Pengawasan Mutu Hasil
Pertanian dan Unit Budidaya Jamur), Unit Resorce Center (Lab. Komputer), dan
Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (Sub Divisi Standardisasi dan
Serti fikasi).

DAFTAR lSI
Halarnan
OAFTAR lSI .......................................................................................................... x
OAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

OAFTAR GAM BAR .......................................................................................... xiii
PENOAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................... I
Perurnusan Masalah .................................................................................... 3
Kerangka Pernikiran ................................................................................... 4
Hipotesis .................................................................................................... 5
Tujuan Penelitian ............................................................... ;........................ 5
Manfaat Penelitian ...................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Tikus Sawah ............................................................................. 7
Pengendalian Populasi Tikus secara Urnurn ................................................ 9
Tekno logi Pengendalian Tikus Sawah dengan Sarcocystis singaporensis .. I I
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Ternpat Penelitian ................: .................................................. 13
Bahan dan Alat-alat ........ セ@ ........................................................................ 13
Jenis dan rnetode pengurnpulan data ........................................................ 19
Rancangan Percobaan ............................................................................... 19
Metode Analisis Oata ............................................................................... 21
. HASIL OAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis terhadap Tingkat

Kernatian Tikus Betina ............................................................................. 25
Tingkat Kernatian Tikus Betina pada Berbagai Oosis ................................ 26
Kernatian Tikus Betina Kelas Urnur Anak dan Oewasa ............................. 27
Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis ........................... .
Terhadap Lama Kernatian Tikus Betina ................................................. .
Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis tcrhadap ................ 30
Tingkat Kernatian Tikus Jantan ................................................................. 30
Tingkat Kernatian Tikus Jantan pada Berbagai Oosis ................................ 31
Tingkat Kernatian Tikus Jantan pada Kelas Urnur Anak dan Oewasa ........ 32
Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis .............................. 33
Terhadap Lama Kernatian Tikus Jantan .................................................... 33
Gejala Urnurn yang Terjadi Akibat Pernberian Sarcocystis singaporensis. 36
Analisis Biaya Produksi Bio Rodentisida .................................................. 38
Biaya Produksi Pelet ................................................................................. 38
Biaya Aplikasi Bio Rodentisida ................................................................ 40

XI

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan .................................................................................................. 42
Saran ........................................................................................................ 42
DAFTAR PUST AKA ........................................................................................ 43
LAMPIRAN ............................................................................. .. .45

DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel I Pembagian kelompok tikus uji ............................................................... 15
Tabel 2 BentukILay out data .............................................................................. 20
Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam .................................................................. 22
Tabel4 Jumlah dan persentase kematian tikus betina ......................................... 26
Tabel5 Hasil uji LSD perlakuan dosis terhadap kematian tikus betina ............... 27
Tabel 6 Rata-rata lama kematian tikus betina ..................................................... 28
Tabel 7 Jumlah dan persentase kematian tikus jantan ......................................... 31
Tabel 8 Hasil uji LSD terhadap tingkat kematian tikus jantan ............................ 32
Tabel 9 Rata-rata lama kematian tikus jantan ..................................................... 33
Tabel \0 Hasil uji LSD pengaruh kelas umur terhadap kematian tikus jantan ..... 34

DAFT AR GAMBAR
Halaman
Gambar I. Kerangka pemikiran penelitian ........................................................... 5
Gambar 2. Tikus sawah ........................................................................................ 7
Gambar 3. Siklus hidup tikus ............................................................................... 8
Gambar 4 Siklus hidup Sarcocystis singaporensis ............................................. 12
Gambar 5 Tikus dalam wadah penampungan ..................................................... 13
Gambar 6 Ciri-ciri tikus jantan dan betina pada kelas umur anak dan dewasa..... 14
Gambar 7 Penimbangan tikus ............................................................................ 15
Gambar 8 Ular python dalam kandang ............................................................... 16
Gambar 9 Proses isolasi sporocyst dari feses ular python ................................... 17
Gambar I 0 Sporocyst.. ....................................................................................... 17
Gambar 11 Neubauer Haemocytometer.............................................................. 18
Gambar 12 Proses pembuatan pele!... ................................................................. 19
Gambar 13 Persentase kematian tikus ...................................................... ,......... 25
Gambar 14 Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis .......... 29
Gambar 15 Persentase kematian tikus jantan ...................................................... 30
Gambar 16 Lama kematian tikusjantan kelas umur anak dan dewasa ................ 34
Gambar 17 Gejala-gejala tikus saki!... ............................................................... 37
Gambar 18 Berbagai tanda kematian tikus akibat perlakuan percobaan ............ 37

DAFTAR LAMPlRAN
Halaman

Tabel I Pembagian kelompok tikus uji ............................................................... 15
Tabel 2 BentuklLay out data .............................................................................. 20
Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam .................................................................. 22
Tabel 4 Jumlah dan persentase kematian tikus betina ......................................... 26
Tabel5 Hasil uji LSD perlakuan dosis terhadap kematian tikus betina ................ 27
Tabel 6 Rata-rata lama kematian tikus betina ..................................................... 28
Tabel 7 Jumlah dan persentase kematian tikus jantan ......................................... 31
Tabel 8 Hasil uji LSD terhadap tingkat kematian tikus jantan ............................ 32
Tabel 9 Rata-rata lama kematian tikus jantan ..................................................... 33
Tabel 10 Hasil uji LSD pengaruh kelas umur terhadap kematian tikus jantan ..... 34

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Rodensia merupakan salah satu hewan yang tergolong sangat banyak
spesiesnya. Terdapat lebih dari 2700 spesies rodensia di dunia Menurut Aplin et
al. (2003), 42% dari semua spesies mamalia di bumi adalah rodensia. Salah satu

jenis rodensia yang ban yak terse bar di Asia adalah tikus. Beberapa jenis tikus
dimanfaatkan manusia sebagai sumber protein hewani (dikonsumsi) pada
beberapa negara, namun sebagian besar merupakan hama yang bersifat merusak
tanaman maupun gudang, salah satu diantaranya adalah tikus sawah (Rattus
argentiventer). Tikus tersebut menyerang tanaman pertanian di Indonesia maupun

beberapa negara Asia lainnya.
Menurut Prakash (1988), jenis tikus yang merupakan hama utama adalah
Rattus argentiventer, tersebar luas di Indonesia tetapi terbatas di daerah padang

rumput dan sawah. Tikus sawah merupakan hama penting pada tanaman padi
yang mulai menyerang sejak benih padi masih di gudang, bibit di persemaian,
tapaman vegetatif dan juga generatifnya. Laju perkembangan populasi tikus
termasuk tinggi karena siklus hidup tikus mencapai umur dewasa sangat cepa!,
masa kebuntingannya sang at pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak
yang banyak pada setiap kebuntingan (10-13 ekor). Tikus bisa makan jenis
makanan lainnya jika tidak ada padi, tikus bisa makan jagung, singkong, ubi,
kelapa, dan tebu. Kerusakan serius tanaman padi terjadi pada tahun 1915, 1931
dan 1933 di Cirebon Jawa Barat dimana beberapa ribu hektar tanaman padi rusak.
Ledakan populasi tikus pada lahan padi terjadi lagi pada tahun 1961 dan 1963 di
Jawa dan Madura dengan perkiraan kerusakan masing-masing mencapai 35% dari
1.000.000 ha dan 28% pada lahan 822.000 ha (Prakash 1988). Serangan hama
tikus di Kabupaten Tegal, pada bulan April 2004 telah merusak 214 ha lahan
tanaman padi, dimana 42 ha diantaranya mengalami puso (Anonim 2002).
Kerusakan padi akibat serangan tikus juga terjadi di Padang dengan luas wilayah
77 ha (Anonim 2003).
Pengendalian populasi tikus dilakukan secara fisik, kimialsenyawa beracun,
biologi, maupun mikrobiologi. Pengendalian secara fisik dilakukan rlengan cara

2

gropyokan, pengemposan, perangkap dan lain-lain. Pengendalian dengan eara ini
memerlukan tenaga dan biaya yang cukup besar, tidak dilakukan secara teratur
dan tidak berkelanjutan sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Pengendalian
secara kimia dilakukan dengan pemberian umpan beracun dari bahan-bahan kimia
sintetis maupun baban-baban alami beraeun seperti akar tegari (Dianella sp), asam
bongkrek dan lain-lain. Pengendalian tikus dengan racun bahan kimia dapat
mengganggu keseimbangan lingkungan (Anonim 2003). Pengendalian biologi
dapat dilakukan dengan menggunakan predator tikus seperti ular dan burung
hantu yang telah dilakukan di kabupaten Tegal dan beberapa daerah lainnya.
Pengendalian secara biologi sangat dipengaruhi oleh kemampuan/kapasitas dan
selera predator. Pengendalian tikus secara mikrobiologi dilakukan dengan
menggunakan bakteri, virus, dan protozoa yang salah satunya adalah dengan
menggunakan Sarcocystis singaporensis.
Sarcocystis singaporensis merupakan mikroba parasit yang spesifik hidup
pada hewan perantara tertentu yaitu pada tikus (Rattus norvegicus). Mikroba
tersebut dapat berkembang biak juga pada ular python (Python reticulatus)
(Dubey et al. 1989). Organisme tersebut bereproduksi seksual dalam usus halus
ular python dan menyebar lewat feses dalam bentuk sporocyst (sporokista)
melalui air ke berbagai spesies tikus. Dalam tubuh tikus, parasit tersebut
melipatgandakan jumlahnya di dalam sel pembuluh darah hingga membentuk cyst
(kista) dalam oto!, yang berakibat tikus menjadi mati ([PPPG Pertanian] 2004).
Sarcocystis singaporensis dapat digunakan sebagai agen bio kontrol dan dapat
mengurangi populasi hama tikus sebesar 70-90% dalam jangka waktu 2 minggu.
Paras it ini tidak membahayakan baik bagi ular maupun manusia (Jaekel 1999).
Penelitian S. singaporensis sebagai agen bio kontrol masih sedikit dilakukan
khususnya di Indonesia. Penelitian ini merupakan lanjutan dari berbagai penelitian
yang telah dilakukan terhadap efektivitas S. singaporensis sebagai agen bio
kontrol. Disamping itu dalam penelitian ini juga dilakukan analisis biaya produksi
bio rodentisida dengan dosis yang tepat bagi pengendalian populasi tikus sawah.
Dengan demikian hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
mengendalikan populasi tikus secara efektif dan efisien.

3

Perumusan Masalab
Tikus sawah merupakan hama tanaman padi yang sangat penting di
Indonesia, karena mengakibatkan kerusakan yang cukup besar. Tikus dapat
merusak pesemaian yang baru disebar atau yang sudah berumur 1-2 minggu.
Disamping itu tikus juga merusak tanaman padi yang baru bunting dan tanaman
padi yang sudah berumur kira-kira I bulan. Satu ekor tikus dapat merusak 100
batang padi dalam I malam (Rismunandar 1981).
Pengendalian tikus sudah banyak dilakukan baik secara preventif maupun
kuratif.

Pengendalian

secara preventif biasanya dilakukan

dengan cara

pengaturan pola tanam, namun hasilnya masih kurang memuaskan karena tidak
semua petani serentak melakukan hal yang sarna. Pengendalian secara kuratif
dilakukan dengan berbagai cara baik secara mekanis misalnya "gropyokan",
secara kimia misalnya dengan menggunakan rodentisida kimia maupun non
kimia, maupun dengan pengendali biologi/mikrobiologi. Pengendalian secara
kuratif inipun dirasakan masih diperlukan teknologi yang efektif, efisien. serta
relatif aman terhadap lingkungan.
Salah satu teknologi pengendalian tikus yang saat ini mulai dikembangkan
di PPPG Pertanian adalah dengan menggunakan S. singaporensis. Pengendalian
tikus

dengan

teknologi

ini

termasuk ramah

lingkungan

serta metode

pelaksanaannya relatif mudah. Disamping itu S. singaporensis mempunyai
peluang yang sangat tinggi untuk dibudidayakan di

Indonesia dengan

menggunakan ular python sebagai hewan inang yang banyak tersebar di
Indonesia, sehingga ketersediaannya terjamin.
Namun demikian pengetahuan tentang penggunaan S. singaporensis sebagai
agen bio kontrol populasi tikus relatif masih sedikit. Terlebih lagi pengaruh dosis
pemberian S. singaporensis terhadap kematian pada berbagai kelas umur dan jenis
kelamin

tikus

permasalahan

sawah,
tersebut

masih

belum

merupakan

hal

banyak diketahui.
yang

perlu

Padahal diduga

dikaji

untuk

dapat

mengendalikan populasi tikus dengan hasil yang baik. Disamping efektivitas
ditinjau dari aspek persentase kematian maupun lama kematian. perlu juga
diketahui biaya produksinya. Hal tersebut perlu agar bio rodentisida tersebut

4

dapat diketahui efisiensi penggunaannya, sehingga bio rodentisida ini dapat
diaplikasikan bagi para petani khususnya.

Kerangka Pemikiran
Efektivitas

pengendaIian

populasi

tikus

dengan

menggunakan

S.

singaporensis diduga sangat dipengaruhi oleh kelas umur dan jenis kelamin tikus.

Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat efektivitas dosis S. singaporensis
tersebut maka tikus dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur.
Jenis kelamin tikus terdiri dari jantan dan betina, sedangkan kelas umur pada
penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu anak dan dewasa. 8ayi tikus tidak dikaji
dalam penelitian karena hidupnya sangat tergantung pada induknya. Penentuan
kelas umur didasarkan dengan pendekatan karakteristik reproduksi baik pada
jantan maupun betina.
Pengendalian

populasi

tikus

pada

dasarnya

dilakukan

dengan

mempengaruhilmengganggu struktur/piramida populasi tikus. Gangguan dapat
dilakuka!1 dengan beberapa cara antara lain:


Mengurangi sebanyak mungkin bayi yang lahir, yaitu dengan mengurangi
betina reproduktif.



Mengganggu proses reproduksi yaitu dengan mengganggu perbandingan antar
jenis kelamin (sex rasio) dengan mempengaruhi/mengurangi jumlah tikus
betina atau jantan.



Mengurangi jumlah populasi secara langsung dengan mengurangi jumlah
populasi pada berbagai kelas umur maupun jenis kelamin.

Penelitian ini diharapkan dapat lTlengetahui dosis tepatlefektif yang dapat
digunakan untuk pengendalian populasi tikus pada kelas umur tertentu. Dengan
mengetahui dosis yang tepat maka pengendalian populasi tikus dapat dilakukan
dengan lebih baik. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

5

r.f
r.f Jantan

I

Betina

f-+

l.t

Dewasa

セ@

·r

Anak

f-+

セ@

Dewasa

f-+

f

Tikus
Sawall

I.[

Anak

Pemberian S.
singaporensis
dengan dosis
• 0
• 100.000
• 200.000
• 300.000

I--.

Dosis efektif S.
singaporensis untuk
membunuh tikus

t
Populasi tikus
sawah
terkendali

I+-

Gangguan
struktur

populasi tikus

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Tingkat efektivitas S. singaporensis diduga berbanding lurus dengan dosis

2. Semakin tinggi kelas umur, diduga semakin tinggi dosis S. singaporensis yang
dibutuhkan untuk membunuh tikus.
セ@ 3. Setiap je·nis kelamin diduga membutuhkan dosis S. singaporensis yang

berbeda.
4. Biaya produksi pelet bio rodentisida diduga tidak lebih dari Rp 300,- per butir.
Tujuan Peuelitiau
Penelitian ini bertujuan untuk:
I. Menentukan dosis S. singaporensis yang tepat untuk mengendalikan populasi
tikus sawah bagi kelas umur terlentu.
2. Menghitung biaya produksi pelet bio rodentisida pada. tingkat dosis
pengendalian yang paling efektif dan efisien.

Maufaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menyusun:
1. Metode/prosedur/pedoman teknis pengendalian tikus sawah.

6

2. Panduan penggunaan dosis S. singaporensis dalam pengendalian populasi
tikus sawah.

TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Tikus Sawah

Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama utama tanaman di
daerah Asia Tenggara. Secara alami tikus menyukai tempat yang berair dengan
rumput yang tebal seperti tanaman padi (Aplin 2003). Tikus sawah dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Ounia

: Animalia

Filum

: Chordata

Sub Filum

: Vertebrata

Kelas

: Mammalia

Subklas

: Theria

Ordo

: Rodentia

Sub ordo

: Myomorpha

Famili

: Muridae

Sub famili

: Murinae

Genus

: Rattus

Spesies

: argentiventer

Gambar 2. Tikus sawah

Potensi reproduksi tikus sawah secara umum sangat tinggi. Tikus
berkembang biak ketika tanaman padi mulai berbunga, dan anak-anaknya mulai
ditemukan selama tahap awal pengisian butir padi. Oi daerah dengan dengan

8

panenan ganda, potensi reproduktif betina diperkirakan 5 kali lebih cepat
dibandingkan dengan di arealdaerah panenan tunggal (Twigg 1988). Hal terse but
sesuai dengan pendapat Rismunandar (1981) yang mengemukakan bahwa daya
reproduksi tikus sangat bergantung pada sistem pertanian di suatu daerah. Pada
daerah dengan penanaman padi hanya 1 kali setahun, untuk selanjutnya sawahnya
dibiarkan tandus (kosong), memberikan peluang kepada tikus untuk 2 kali bunting
dan paling banyak 3 kali. Robinson dan Kloss (1916) dalam Aplin et al. (2003)
ュセョケ。エォ@

bahwa aktivitas musim berkembang biak tergantung pada sistem
perputaran penanaman padi, dengan musim berkembang biak sekali pada area
panen sekali setahun dan dua kali musim berkembang biak pada area dengan dua

kali panen setahun. Menurut [Depkes1 (2005) siklus hidup tikus secara umum
dapat dilihat pada gambar 1

Lahir

Gambar 3. Siklus hidup tikus

Menurut Aplin et al. (2003), tikus sawah betina mulai ovulasi pada berat
badan 31-40 g, atau sekitar umur 28 hari. Namun demikian, sebagian besar betina
jarang mengalami kehamilan pertamanya sampai berat tubuhnya mencapai 60-120
g. Jantan terlihat matang lebih lambat (kira-kira umur 59 hari) dengan berat badan
lebih dari 90 g. Seekor tikus dalam 1 kali melabirkan dapat menghasilkan 10-13
ekor nyinying.
Tikus termasuk binatang noktumal, keluar sarang dan aktif pada malam hari
untuk mencari makan. Tikus mempunyai kemampuan alat indera untuk mencium,

9

menyentuh,

mendengar, melihat, dan mengeeap. Disamping mempunyal

kemampuan indera, tikus juga mempunyai kemampuan fisik antara lain menggali,
memanjat,

meloneat,

melompat,

menggerogoti,

berenang dan

menyelam

(Priyambodo 1995; [Depkes] 2005).

Pengendalian Populasi Tikus secara Umum
Pengendalian hama secara umum dapat dilaksanakan dengan beberapa cara
antara lain secara mekanis, mengatur pola tanam, membasmi tanaman inang yang
ditempati hama secara alami, secara biologis, dengan bahan kimia, dan karantina
(Rismunandar 1981).
Pengendalian hama secara mekanis
Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan beberapa cara misalnya
dengan mencari tikus sawah dan membunuhnya, memasang perangkap, atau
dengan mengeringkanlmenggenangi petakan-petakan sawah. Pengendalian secara
mekanis yang dilakukan secara perorangan dalam areal yang luas, tidak akan
berhasil dengan memuaskan. Pengendalian dengan cara ini dapat efektif dilakukan
secara bersama-samaJgotong royong, berencana dan terarah sepanjang ada
tanaman.
Pengendalian secara kulur teknis dengan mengatur pola tanam (rotasi)
Pengendalian dengan mengatur pola tanam (rotasi) dilakukan dengan
mengatur jadwal penanaman untuk menghindari serangan hama atau sering
disebut sebagai pengendalian secara alamiah. Pengendalian ini dapat juga
dilakukan dengan melakukan pengendalian tanaman inang yang ditempati hama
dilakukan untuk berkembang biak. Pengendalian dengan cara ini akan beIjalan
efektif j ika diusahakan bersama-sama dalam suatu daerah. Pengendalian dengan
eara ini tidak banyak mengeluarkan biaya, yang penting patuh kepada peraturan
yang telah digariskan dan dilaksanakan bersama-sama di seluruh daerah.

Pengendalian secara biologis
Pembasmian secara biologis dilakukan oleh manusia dengan bantuan
musuh-musuh (parasit atau predator) hama yang bersangkutan. Predator tersebut

10

dikembangbiakkan dalam laboratorium untuk kemudian disebarkan di daerah
tempat hama berjangkit. Hasil pengendalian dengan eara ini sangat bergantung
pada iklim dan bantuan para petani, dalam bentuk tidak akan menyemprot
tanamannya dengan insektisida yang dapat mematikan parasit yang sedang
disebarkan.
Pengendalian seeara kimia
Pembasmian dengan bahan kimia dilakukan dengan menggunakan umpan
beracun baik racun alami (akar tuba, tembakau, larutan biji bengkuang dan lainlain) maupun dengan bahan kimia sintetis.

Pengendalian tikus dengan

menggunakan umpan beracun atau perangkap berumpan racun dianjurkan
digunakan di daerahltempat yang tidak dapat dieapai oleh hewan domestik dan
anak-anak. Pestisida untuk pengendalian tikus (Rodentisida) yang terdaftar dan
diizinkan penggunaannya di Indonesia dapat dilihat pada lampiran I.
Pengendalian secara karantina
Pengendalian dengan eara karantina dilakukan dengan menjaga pelabuhan
udara dan laut agar tidak ada hama atau penyakit baru masuk ke dalam negeri.
Pemasukan hama dan penyakit tersebut biasanya "membonceng" pada buahbuahan, biji-bijian, beras, tepung dan berbagai barang yang diimpor. Bila terdapat
bahan pangan yang mengandung sesuatu hamaJpenyakit maka seluruhnya dapat
dihaneurkan atau segera diisolasi dan difumigasi dengan methylbromida atau
lainnya (disucihamakan). Jalur komunikasi antar negara melalui laut dan udara
yang sangat intensif serta arus manusia yang keluar masuk dari negara-negara
tetangga memudahkan dinas karantina kebobolan hama baru.
Menurut Rismunandar (1981), Pengendalian hama tikus pada prinsipnya
dilakukan dengan dua cara yaitu preventif dan kurati£ Kedua cara tersebut
mempunyai paling sedikit 4 target yaitu:
a. Menghindarkan adanya kerusakan tanaman padi musim hujan sebelum
bunting.
b. Menekan sebanyak mungkin populasi tikus hingga musim panen.
c. Menghindarkan perusakan pada tanaman padi sebelum fase generatif.

11

d. Mengendalikan tikus ketika padi sedang menguning atau palawija sedang
masak.

Teknologi PengendaIian Tikus Sawah dengan Sarcocystis singaporensis
Menurut Dubey et al. (1989) Sarcocystis berasal dari bahasa Yunani
Sarcos= daging dan kystiF gelembung. Jenis Sarcocystis terdiri dari berbagai

spesies, namun yang digunakan dalam pengendalian populasi tikus pada saat ini
adalah Sarcocystis singaporensis. S. ;,ngaporensis merupakan protozoa parasit
yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum

: Apicomplexa

Kelas

: Sporozoasida

Ordo

: Eucoccidiorida

Sub ordo

: Eimeriorina

Famili

: Sarcocystidae

Sub famili : Sarcocystinae
Genus

: Sarcocystis

Secara alami inang dari

S. singaporensis adalah ular python (Python

reticulatus). Berdasarkan penelitian, S. singaporensis padajenis ular Python sebae

(Africa). Python timorensis (Timor). dan Aspidites melanocephalus (Australia)
mendukung perkembangbiakan parasit tersebut, walaupun pertumbuhannya sangat
terbatas. Dalam satu siklus infeksi. ular python biasanya dapat menghasilkan
sporocyst yang mampu membunuh 20.000 sampai 200.000 tikus (Jaekel 2005).
Siklus hidup S. singaporensis dapat dilihat pada Gambar 4.

12

"'-I .. セNL@
lion.., .. I • ..... \< F Tabel (a, dh>, db,)

minimal ada satuj dimana セェ@

HI

=

j

1,2

=

= セR@ = 0

*

0

Analisis sidik ragam dilakukan terhadap masing-masing jenis kelamin dengan
menggunakan Tabel Analisis Sidik Ragam (Ansira) sebagai berikut.

LL

Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam
Sumber
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total

Db

JK
JKP
JKK
JKG
JKT

dbp = t-I
dbk = b-I
dbg
dbt = tb-J

Faktor koreksi (FK) =

Y ..'

(L:rif)'

rJ

rJ

Fhit
KTP/KTG
KTKlKTG

KT
KTP
KTK
KTG

Perhitungan derajat bebas (db)
db"" = t·1

db,,, = b-I
db...セ@ = t(r-I)
db,oml

=

t. r·1

Perhitungan Jumlah Kuadrat (JK)

JK,oul = LLY;/ - FK
JK","

=

JK.,I

= (LY,'lt) - FK

(Iy;'/r) - FK

= JK,oul - JK,.,wru.. - JK""ompok
jセ@

Perhitungan Kuadrat Tengah (KT)
KT"" = JKp/dbp
KT"I

=

KT...セ]@

JK./db,
JKg/db.

Fh;hmg =KTp1KT.
F Tabel

=

Fo:(dbp; dbg)

Kesimpulan:
o

Untuk perlakuan pemberian dosis S. singaporensis: Bila Fh;_ > Fa (p, dbg) maka tolak

Ho, artinya perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap fespons
o

Untuk kelompok kelas umur tikus: Bila Fh;..ns > Fa

(k. dbs)

maka tolak Ho, artinya

kelompok memberikan pengaruh yang nyata terhadap fespons

23

Apabila Ho ditolak, maim dilakukan uji lanjut dengan uji LSD (Least Siginificant
Different)

Uji LSD

LSD = t =t af2 (db g

[KT;
)fb-b-

LSD=t= tan (dbg}..J2KTglb
Uj i hipotesis (Yi = Xi)


Ho:

'! = '2 =

0 セ@

IXi - Xl I
IXi -ii31
IXi -Xii
IXi-ii31
IXi -Xii

'! = '3 = 0 セ@
• Ho: '! = '4 = 0 セ@


Ho:




Ho:

'2

= '3 = 0 セ@

Ho:

'2

= '4 = 0 セ@

Kesimpulan:


Apabila pengujian hipotesis tersebut lebih besar dari LSD, maka

Ho ditolak,

artinya teljadi perbedaan yang nyata antara periakuan


Apabila pengujian hipotesis tersebut kurang dari LSD, maka Ho diterima,
artinya artinya pada perlakuan terse but tidak ada perbedaan yang iiyata

Analisis Biaya Produksi Bio Rodentisida
Analisis biaya produksi bio rodentisida dilakukan berdasarkan biaya
produksi peletJumpan yang dibuat dengan pemberian dosis S. singaporensis yang
paling efektif. Komponen biaya produksi terdiri dari:

I. Penyediaan ular
2. Pengolahan sporocyst

3. Pembuatan pellet
4. Pembuatan Bio Rodentisida
5. Pengemasan
6. Biaya Pemasaran 30%

7. Keuntungan 30%

24

Berdasarkan anal isis biaya produksi pelet tersebut maka akan diketahui
jumlah yang dihasilkan dan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi pelet
maupun sporocyst pada satuan tertentu. Dengan demikian biaya produksi bio
rodentisida dalam bentuk pelet pada dosis yang paling efektif dapat ditentukan
baik per butir maupun per satuan berat tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pernberian Dosis Sarcocystis Singaporensis terhadap Tingkat
Kernatian Tikus Betina

Hasil penelitian pada tikus betina secara urnum menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian berbagai dosis sporocyst mulai dari 100.000, 200.000 dan
300.000 memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kematian. Hasil tersebut
ditunjukkan dalam hasil analisis sidik ragam yang tersaji pada Lampiran 8.
Namun demikian berdasarkan hasil analisis terse but temyata kelompok kelas
umur tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kematian tikus.
Pemberian perlakuan berbagai dosis Sarcocystis singaporensis terhadap
tikus betina rata-rata menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis semakin
tinggi tingkat kematian tikus. Namun demikian sampai pada batas tertentu tingkat
kematian mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar 13. Penurunan
tersebut diduga tidak akan linier sejalan dengan peningkatan dosis bila dilihat dari
pola penurunan tingkat kematian yang relatif kecil (0, II). Tingkat kematian
tertinggi secara umum terjadi pada dosis 200.000 sporocyst.
120,00 :
100,00
c:

to

80,00

E

60,00

ii
セ@

'"

セ@
0

40,00
20,00
0,00

I
I
0

100.000

200.000

300.000

Oasis
!

I

-+- Anak _______ Dewasa セ@

Rata-rata

Gambar 13 Persentase kematian tikus

!

!

1.0

Tingkat Kernatian Tikns Betina pada Berbagai Dosis
Hasil pereobaan perlakuan berbagai dosis sporocyst mengakibatkan
kematian tikus, kecuali perlakuan dosis 0 sporocyst (kontrol) tidak ada tikus yang
mati. Hal ini membuktikan bahwa pelet yang diberikan tidak berpengaruh
terhadap kematian tikus. Namun demikian seeara umum perlakuan pemberian
berbagai dosis sporocyst mulai dari 100.000, 200.000 dan 300.000 memberikan
pengaruh sangat nyata seperti ditunjukkan pada hasil anal isis sidik ragam yang
tersaji pada Lampiran 8 dan hasil uji LSD yang tersaji pada Tabel 5.
Pemberian pelet dengan dosis 100.000 sporocyst mengakibatkan total
kernatian tikus sebanyak 61, II %, dengan kernatian tikus betina kelas umur anak
sebesar 66,67%, sedangkan tikus betina kelas urnur dewasa sebesar 55,56%.
Perlakuan dosis 200.000 sporocyst memberikan pengaruh yang sarna seperti
perlakuan dosis 100.000 sporocyst namun mengakibatkan jumlah kematian tikus
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis 100.000. Total kematian tikus
akibat perlakuan ini adalah sebesar 88,89% dari total tikus uji yang digunakan.
Kematian tertinggi teJjadi pada kelompok tikus betina kelas umur anak yaitu
sebesar 100%, sedangkan tikus betina kelas umur dewasa yaitu sebesar 77,78%.
Total kematian tikus akibat pcrlakuan dosis,JOO.OOO sporOcyst adalah sebesar
77.78% dari total tikus uji yang digunakan. Kernatian pada tikus betina kelas
umur anak sebesar 88,89% lebih tinggi dari pada tikus betina kelas umur dewasa
sebesar 66,67%. Persentase kematian pada dosis 200.000 dan 300.000 sesuai
dengan hasil penelitian Jaekel (2005) yang menyatakan dosis antara 200.000 400.000 sporocyst manlpu mengurangi populasi tikus sawah sebesar 70-90%.
Jumlah dan persentase kematian tikus betina disajikan pada Tabel4.
Tabe I 4 J urn lah dan persentase kematian tikus betina
Kelas
Umur
Anak
Dewasa
Jumlah

0

L
0
0
0

%
0,00
0,00
0,00

Dosis Sporocyst
100.000
200.000
%
%
L
L
6 66,67
9 100,00
5 55,56
7 77,78
II 61,11 16
88,89

300.000
%
L
8 88,89
6 66,67
14 77,78

Jumlah

L
23
18
41

%
63,89
50,00
56,94

Tingkat kematian cenderung sesuai dengan peningkatan dosis sporocyst (0,
100.000, 200.000 dan 300.000). Hasil tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa

27

semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus. Meskipun pada dosis
300.000 sporocyst terjadi penurunan tingkat kematian, namun diperkirakan tidak
akan terjadi secara linier dengan peningkatan dosis sporocyst yang diberikan.
Kondisi tersebut dapat dilakukan pendekatan dengan hasil penelitian terhadap
tikus jantan kelas umur anak juga mengalami penurunan pada dosis 300.000
sporocyst, namun pada tikus jantan dewasa mengalami peningkatan. Berdasarkan
hasil pengamatan tersebut diduga pada dosis mulai 200.000 sporocyst akan teIjadi
tingkat kematian tikus yang relatif stabil.
Uj i LSD pengaruh dosis terhadap tingkat kematian tikus menunjukkan
bahwa perlakuan 100.000, 200.000 dan 300.000 sporocyst berbeda sangat nyata
dengan perlakuan 0 sporocyst (kontrol), demikian juga antara perlakuan 100.000,
dan 200.000. Sedangkan perlakuan 100.000 maupun 200.000 dengan 300.000
sporocyst secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan seperti tersaji
pada Tabel 5. Berdasarkan dlita tersebut, dapat diketahui bahwa dosis yang
efektif daIi efisien dalam