Vokalisasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada Rentang Suara Terdengar sebagai Dasar Perakitan Teknologi Pengendalian

VOKALISASI TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer)
PADA RENTANG SUARA TERDENGAR SEBAGAI DASAR
PERAKITAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN

AGUS WAHYANA ANGGARA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul vokalisasi tikus
sawah (Rattus argentiventer) pada rentang suara terdengar sebagai dasar perakitan
teknologi pengendalian adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Agus Wahyana Anggara
NIM G362100031/BSH

RINGKASAN
AGUS WAHYANA ANGGARA. Vokalisasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
pada Rentang Suara Terdengar sebagai Dasar Perakitan Teknologi Pengendalian.
Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, WASMEN MANALU, dan
IRZAMAN.
Vokalisasi merupakan sinyal bioakustik berisi pesan yang dikodekan. Oleh
karena itu, penelitian komunikasi hewan pada dasarnya bertujuan untuk
memecahkan kode hewan dalam berkomunikasi sesamanya. Penelitian vokalisasi
bioakustik tikus sawah dilakukan dengan tujuan akhir merakit teknologi
pengendalian. Hasil akhir penelitian dititikberatkan pada pemanfaatan suara
panggil (attractant) untuk menarik dan mengarahkan tikus sawah ke lokasi
tertentu. Metode tersebut sejalan dengan konsep pengendalian menggunakan trap
barrier sistem (TBS) yang telah dirakit Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB
Padi) sebelumnya. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi eksplorasi,
purifikasi, karakterisasi, dan pembuatan database vokalisasi terdengar tikus

sawah di lapangan dan dalam laboratorium. Selanjutnya vokalisasi alami tikus
sawah yang telah dimurnikan dipaparkan kembali kepada tikus percobaan di
tingkat individu dan populasi dalam laboratorium. Tahap penelitian tersebut untuk
memperoleh pola vokalisasi yang bermakna komunikasi intraspesies, yang
selanjutnya diuji keefektifannya dalam kondisi populasi tertutup di lapangan.
Penelitian tahap pertama adalah eksplorasi vokalisasi bioakustik alami tikus
sawah dalam rentang suara terdengar (frekuensi 20Hz sampai 20.000Hz) di
lapangan dan dalam laboratorium. Sejumlah 6 pola vokalisasi tikus sawah
diperoleh selama MK 2012 di lapangan, meliputi vokalisasi saat olah lahan, padi
anakan maksimum, padi bunting, padi berbunga, dan seminggu pascapanen.
Frekuensi 1-2kHz disertai 5-9kHz dominan digunakan pada pelantangan
vokalisasi di lapangan. Vokalisasi berlangsung relatif singkat (berdurasi 12,41
detik) dan lembut (taraf intensitas 43,91dB). Dalam laboratorium, diperoleh 13
pola vokalisasi yang sebagian besar (10 pola) berhubungan dengan perilaku
agonistik. Vokalisasi perkelahian dan kanibalisme dominan dilantangkan pada
frekuensi 5,3-6,0kHz, vokalisasi ketakutan tikus muda pada fekuensi 4,8-6,8kHz,
vokalisasi penolakan kawin tikus betina berfrekuensi 4,6kHz, dan vokalisasi
ketika tikus diganggu pada frekuensi 5,3-5,6kHz.
Vokalisasi alami yang telah dipurifikasi dengan perangkat lunak Cool Edit
Pro 2.1 dipaparkan kembali pada individu tikus sawah di dalam kondisi

laboratorium. Semua aktivitas tikus percobaan dipantau kamera CCTV dan
dilakukan pengamatan saksama untuk membuat ethogram. Aktivitas normal tikus
sawah sepanjang periode aktifnya pada malam hari meliputi istirahat (dalam
lubang atau di sekitar rumpun padi), menjelajah, makan dan minum,
membersihkan badan (groom), mengendus udara dan tanah, mengawasi sekeliling,
dan menggali tanah. Sebagian besar aktivitas dilakukan pada periode petang hari
(pukul 17:30-22:00 WIB). Beberapa vokalisasi menimbulkan respons perilaku
tikus sawah pada tingkat individu, terbukti terjadi perubahan alokasi waktu,
jumlah aktivitas, dan durasi pelaksanaan aktivitas. Vokalisasi tikus sawah yang
bermakna komunikasi intraspesies, meliputi vokalisasi agonistik (sebelum dan

saat perkelahian, serta kanibalisme), perkembangbiakan aktif (padi stadia
bunting), dan respons perubahan hari (senja hari saat bera pratanam).
Kelima pola vokalisasi tersebut selanjutnya dipaparkan pada populasi tikus
sawah dalam laboratorium. Vokalisasi terbukti menyebabkan perubahan respons
perilaku tikus pada tingkat populasi. Vokalisasi perkembangbiakan aktif dan
kanibalisme menyebabkan tikus sawah lebih aktif menjelajah dan mengurangi
alokasi waktunya dalam lubang sehingga berpotensi sebagai suara panggil.
Vokalisasi agonistik perkelahian terbukti membuat tikus sawah meningkatkan
alokasi waktunya dalam lubang sehingga sesuai sebagai suara usir. Dalam

laboratorium, pemaparan ultrasonik menyebabkan tikus sawah memberikan
respons serupa vokalisasi perkelahian sehingga digunakan untuk uji lebih lanjut di
lapangan. Vokalisasi pergantian hari menyebabkan penurunan total aktivitas tikus
sawah sehingga juga dipakai untuk uji keefektifan di lapangan.
Pemaparan vokalisasi bioakustik alami tikus sawah di lapangan terbukti
mampu menimbulkan perubahan respons perilaku individu dan populasi tikus
sawah yang dipaparkan vokalisasi tersebut. Vokalisasi agonistik perkelahian dan
kanibalisme menyebabkan tikus sawah mengalokasikan lebih banyak waktu untuk
beraktivitas di luar petak pertanaman untuk menjelajah mencari sumber
vokalisasi. Pemaparan vokalisasi reproduksi aktif menyebabkan tikus sawah
jantan lebih aktif menjelajah untuk menemukan tikus betina siap kawin. Oleh
karena itu, ketiga vokalisasi tersebut dinyatakan potensial sebagai suara panggil
untuk menarik tikus mendatangi sumber vokalisasi. Aktivitas tikus sawah
menjelajah, mengendus, dan istirahat di pinggir petak pertanaman juga meningkat
pada pemaparan vokalisasi pergantian hari. Meskipun demikian, tikus sawah
terlihat lebih santai dan tidak berusaha mencari sumber vokalisasi. Oleh karena
itu, vokalisasi pergantian hari dinyatakan sebagai suara usir karena mampu
menstimulus tikus sawah untuk beraktivitas di luar petak pertanaman. Pemaparan
ultrasonik di lapangan menunjukkan respons perilaku tikus sawah serupa dengan
kontrol sehingga dinyatakan tidak berpengaruh pada aktivitas tikus sawah di

lapangan.
Kata kunci: vokalisasi, suara terdengar, tikus sawah, perilaku

SUMMARY
AGUS WAHYANA ANGGARA. Audible Vocalization of the Ricefield Rat
(Rattus argentiventer) as a Base for Assembling of the New Method for
Controlling Rat.Guided by DEDY DURYADI SOLIHIN, WASMEN MANALU,
and IRZAMAN.
Vocalization is a bioacoustic signal containing the encoded message.
Therefore, the study of an animal communication is basically aims to decode the
animals communicating to each other. Research on the rice-field rat vocalizations
was conducted with the ultimate goal to assemble a method to control rat. The
final result of research focused on the use of voice call to attract and direct the
rice-field rat to a specific location. The method is suitable with the concept of
control using trap barrier sistem (TBS) which has been previously assembled by
Indonesian Center for Rice Research (ICRR). The research was done step by step
on the exploration of the rice-field rat vocalization in the field and in the
laboratory, to purify, characterize, and make the audible vocalizations database of
the rice-field rat. The next step was the exposure of the pure natural vocalizations
for the rice-field rat at individual and population levels in the laboratory. The

objective of the research was to obtain vocalizations which would be used as an
acoustic communication signal of the rice-field rat. These vocalizations will be
tested in the next experiment to find out their effectiveness toward behavioral
response of closed populations of the rice-field rat at enclosure.
The first stage research was an exploration of the natural vocalizations
produced by rice-field rat in an audible sound range (20Hz - 20.000Hz) in the
field and laboratory. Six vocalization patterns of rice-field rat were obtained
during rice crop wet season 2012 in the field, i.e., dusk vocalizations during land
preparation phase and maximum tillering, vocalization of active reproduction
during booting and flowering rice stage, and vocalization a week after harvest.
The dominant acoustic frequency was 1-2kHz accompanied by 5-9kHz during
emitted vocalizations in the field. Vocalization lasted a relatively short in average
duration of 12.41 seconds and sounded softly in average of 43,91dB intensity
level. Inside laboratory experiment, the research obtained 13 vocalization patterns
that most of them (10 patterns) associated with the rat agonistic behavior.
Vocalization during rat fight and cannibalism were emitted at dominant frequency
of 5,3-6,0kHz, vocalization of stress young rats on 4,8-6,8kHz, vocalization of
female's rejecting copulation on 4,6kHz, and vocalization of the adult rat
disturbed on 5,3-5,6kHz.
The vocalizations of the rice-field rat which were purified by using Cool

Edit Pro2.1 software were presented back to the individual and population of the
rice-field rat at laboratory. The entire daily activities of the rice-field rat in the
evening (17:00pm-06:00am) were monitored by using CCTV to make their
ethogram. Normal activities of the rice-field rat during their active period
throughout the night, includes resting inside their burrows or around rice crop,
exploring their territorial, feeding and drinking, grooming, sniffing the air and the
land surface, inspecting around their environment, and digging a new burrow.
Most of the rat activities were carried out in the evening period (17:30pm22:00pm). Some vocalizations caused change rice-field rat behavioral responses

in individual level. The time allocation to conduct activities, the total amount of
activity, and duration of each activity showed change when exposed to specific
vocalization. Vocalizations of the rice-field rat which used as acoustic
communication signal, were agonistic vocalizations (before and during fight, and
cannibalism), active reproduction (during rice booting stage), and dusk
vocalization (early evening during fallow period).
Five vocalization patterns which could make change response of the ricefield rat behavior, then presented back to the rat in a population level at
laboratory. The result showed that vocalization could cause changes in behavioral
responses of rats at the population level. Vocalizations during active reproduction
period and cannibalism could make rice-field rat more active to roam and reduce
their time inside the burrow. Vocalizations during active reproduction period and

cannibalism could make rice-field rat more active to roam and reduce their time
inside the burrow. Based on these facts, both vocalizations grouped had potential
voice call that could be attract rat closer to sound source. Agonistic vocalizations
of fighting rat proved to make the rice-field rat increases the time inside their
burrow, so that it suitable as a repellant voice. In laboratory condition, response of
the rice-field rat exposed to ultrasonic is similar with rat behavior that presented
fight vocalization, so the ultrasonic also used for further test in the field.
Vocalization at dusk time causes decrease in total activities of the rice-field rat at
night, so it was used for further test in the field.
Exposure of the rat vocalizations in the rice-field enclosure was proven to
cause changes in rat behavioral responses at the level of individual and
population. Agonistic vocalizations of fighting rat and cannibalism caused the
rice-field rat allocate more time to move outside the rice crop plot for roaming
looking for the source of vocalizations. Exposure of vocalization of the rat
reproductively active caused male rice-field rat more active to spend his time to
find an adult rat females for mating. Therefore, these three vocalizations are
potential as voice-call to attract the rice-field rats come closer to the source of
vocalizations. Activities of the rice-field rat, i.e. explore, sniff, and resting on the
edge of the rice crop plots, also increased when exposure by the dusk vocalization.
Nonetheless, the rice-field rat looks more relaxed and not trying to find the source

of vocalizations. Therefore, the dusk vocalizations expressed as repellant sound
for being able to stimulate the rice-field rat to move beyond the rice crop plot
without looking for the source of vocalization. Ultrasonic that was presented to
the rice-field rat in the field enclosure showed a behavior responsse of rice-field
rat similar with control (without vocalization exposure), i.e., it has no effect on
daily activities of the rice-field rat in the field.
Keywords: vocalization, voice sounds, ricefield rat, behavioral

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

VOKALISASI TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer)
PADA RENTANG SUARA TERDENGAR SEBAGAI DASAR

PERAKITAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN

AGUS WAHYANA ANGGARA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup: r Prof. Dr. Ibnu Maryanto
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi.
(Fakultas Kehutanan IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. I Nyoman Widiarta

(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Badan Litbang Kementan RI)
Dr. Swastiko Priyambodo
(Departemen HPT, Fakultas Pertanian IPB)

Judul Disertasi : Vokalisasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) pada Rentang
Suara Terdengar sebagai Dasar Perakitan Teknologi
Pengendalian
Nama
: Agus Wahyana Anggara
NIM
: G362100031 / BSH

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Dedy Duryadi Solihin DEA
Ketua

Prof Wasmen Manalu PhD
Anggota

Dr Ir Irzaman MSi
Anggota
Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biosains Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dyah Perwitasari MSc

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian: 17 -2- 2015
(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:
(tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana)

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT, yang atas pertolongan-Nya, penulis mampu
menyelesaikan disertasi ini. Tema penelitian adalah perilaku alami hewan, dengan
judul Vokalisasi Tikus Sawah pada Rentang Suara Terdengar sebagai Dasar
Perakitan Teknologi Pengendalian. Topik diambil atas dasar latar belakang
penulis sebagai peneliti hama tikus di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hasil
penelitian diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya pengendalian tikus di
Indonesia, yang hingga saat ini masih menjadi hama utama pada pertanaman padi.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Prof. Wasmen
Manalu, Ph.D, dan Dr. Ir. Irzaman, MSi yang sejak persiapan, pelaksanaan
penelitian hingga penyelesaian penulisan disertasi memberikan bimbingan,
arahan, dan saran perbaikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada penguji
Sidang Tertutup Prof. Dr. Ibnu Maryanto dan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi,
dan Sidang Terbuka Dr. I Nyoman Widiarta dan Dr. Swastiko Priyambodo atas
penilaian, koreksi, dan saran perbaikan disertasi ini.
Program doktor yang telah ditempuh penulis di Institut Pertanian Bogor
dibiayai oleh Badan Litbang Kementerian Pertanian RI. Terima kasih kepada Dr.
Hasil Sembiring (mantan Kepala BB Padi) yang memberi kesempatan penulis
untuk menempuh pendidikan ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.
Sudarmaji (Kepala BPTP Yogyakarta) atas dukungan yang luar biasa pada
pengembangan SDM peneliti dan fasilitas Laboratorium Tikus BB Padi.
Kepada teman-teman yang membantu penelitian ini, Oo Taufik, Lely
Taufik, M Hari Rabuka, Gigin Ginanjar, dan Tantan Nurhandiansyah, penulis
sampaikan terima kasih dan penghargaan atas dedikasi yang tinggi dan bantuan
yang luar biasa. Semua teman-teman BSH 2010 dan Laboratorium Biologi
Molekuler PAU IPB, terima kasih atas persahabatan, dukungan, dan bantuannya.
Untuk ayah Sugiyarto dan ibunda Sumirah, tiada kata yang dapat ananda
sampaikan selain rasa terima kasih dan doa tulus yang dapat penulis haturkan.
Terima kasih istimewa penulis sampaikan kepada Tuti Wirdianingsih, SP, istriku
yang dengan tabah dan setia selalu mendampingi dan memberi dukungan yang
luar biasa tidak hanya selama menempuh pendidikan. Buat buah hatiku, Ayodhya
Agti Firdausa dan Gusti Raditya Wicaksono, kalianlah pemberi inspirasi dan
penyemangat Papa untuk terus maju. Untuk kakak dan adik, terima kasih atas
dukungan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar ini.
Akhirnya, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang membantu langsung maupun tidak
langsung sehingga penulis mampu menyelesaikan program doktor ini. Penulis
mendoakan semoga bantuan semua pihak mendapatkan balasan kebaikan dari
Allah S.W.T. Amin.
Bogor, Februari 2015
Agus Wahyana Anggara

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaharuan
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
4
4
4

2 EKSPLORASI VOKALISASI BIOAKUSTIK TIKUS SAWAH DI
LAPANGAN DAN DALAM LABORATORIUM
Abstract
Pendahuluan
Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan dan Saran

5
5
5
6
10
27
30

3 SELEKSI VOKALISASI BERMAKNA KOMUNIKASI AGONISTIK,
PERKEMBANGBIAKAN, DAN RESPONS PERUBAHAN HARI
Abstract
Pendahuluan
Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan dan Saran

31
31
31
32
33
44
47

4 VOKALISASI YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MEMANGGIL DAN
MENGUSIR TIKUS SAWAH
48
Abstract
48
Pendahuluan
48
Metode
50
Hasil
51
Pembahasan
59
Simpulan dan Saran
61
5 PROSPEK PEMANFAATAN SUARA VOKALISASI BERMAKNA
UNTUK PENGENDALIAN TIKUS SAWAH
Abstract
Pendahuluan
Metode
Hasil
Pembahasan

62
62
62
64
66
80

Simpulan dan Saran

82

6 PEMBAHASAN UMUM

83

7 SIMPULAN DAN SARAN

85

DAFTAR PUSTAKA

87

RIWAYAT HIDUP

91
15

DAFTAR TABEL
1 Vokalisasi tikus sawah pada pertanaman padi di lapangan
2 Vokalisasi bioakustik alami tikus sawah dalam laboratorium
3 Kuantifikasi aktivitas normal tikus sawah dalam kondisi laboratorium
dengan perlakuan tanpa pemaparan vokalisasi
4 Kuantifikasi alokasi penggunaan waktu (%) tikus sawah pada
kombinasi perlakuan pemaparan vokalisasi spesifik dalam kondisi
laboratorium
5 Kuantifikasi alokasi penggunaan waktu (%) tikus sawah pada
kombinasi perlakuan pemaparan vokalisasi spesifik dalam
kondisi laboratorium
6 Kuantifikasi alokasi penggunaan waktu (%) tikus sawah dengan
pemaparan vokalisasi spesifik dalam populasi laboratorium
7 Total aktivitas tikus sawah dengan pemaparan vokalisasi spesifik dalam
populasi laboratorium selama periode aktif (pukul 15:00-06:00 WIB)
8 Durasi waktu aktivitas (detik) tikus sawah dengan pemaparan
vokalisasi spesifik dalam populasi laboratorium
9 Kuantifikasi alokasi penggunaan waktu pukul 17:30-05:30 WIB oleh
tikus sawah pada pemaparan berbagai vokalisasi di lapangan
10 Durasi waktu aktivitas tikus sawah pada pemaparan berbagai vokalisasi
11 Tingkat kerusakan tanaman padi stadia pada MK 2013

10
16
38

41

43
57
58
59
74
78
79

DAFTAR GAMBAR
1 Eksplorasi vokalisasi alami tikus sawah di lapangan pada semua stadia
pertumbuhan padi dan peralatan perekaman yang digunakan
2 Penempatan TBS (kotak merah) dan LTBS (garis merah) di lahan sawah
BB Padi untuk menangkap tikus sawah guna eksplorasi vokalisasi alami
dalam laboratorium
3 Persiapan perekaman vokalisasi alami tikus sawah dalam laboratorium
4 Visualisasi (osilogram dan spektrogram) vokalisasi tikus menggunakan
perangkat lunak Cool Edit Pro 2.1
5 Kondisi lingkungan sawah pada saat bera pratanam dan olah lahan
6 Pola vokalisasi bioakustik tikus sawah pada saat bera pratanam
7 Pola vokalisasi tikus sawah saat bera pratanam di bantaran sungai
8 Kondisi lingkungan sawah pada saat tanaman padi anakan maksimum
9 Pola vokalisasi tikus sawah pada padi stadia anakan maksimum
10 Kondisi lingkungan sawah pada saat tanaman padi stadia bunting
11 Pola vokalisasi tikus sawah pada padi stadia bunting
12 Kondisi lingkungan sawah pada saat tanaman padi stadia berbunga
13 Pola vokalisasi tikus sawah pada padi stadia berbunga
14 Kondisi lingkungan sawah satu minggu setelah panen
15 Pola vokalisasi tikus sawah beberapa saat setelah panen
16 Tikus sawah jantan dewasa saat melantangkan vokalisasi senja hari
17 Pola vokalisasi tikus sawah jantan dewasa saat senja hari
18 Pola vokalisasi tikus jantan dewasa ketika kondisi laboratorium sepi
19 Tikus sawah jantan dewasa penghuni kandang (A) mengawasi tikus jantan
pendatang baru (B) yang sedang menjelajahi kandang
20 Pola vokalisasi tikus sebelum perkelahian sesama jantan dewasa
21 Pola vokalisasi tikus sawah jantan dewasa pada saat perkelahian
22 Pola vokalisasi tikus jantan dewasa yang kalah dalam perkelahian
23 Pola vokalisasi tikus jantan dewasa yang kalah sebelum dikanibal
24 Tikus jantan dewasa pemenang perkelahian (A) dan kondisi kerusakan
pada bagian kepala tikus yang dikanibal (B)
25 Pola vokalisasi tikus jantan muda tertekan kehadiran jantan dewasa
26 Pola vokalisasi tikus jantan muda saat ada jantan dominan
27 Posisi tubuh tikus jantan muda sebelum dikanibal jantan dominan
28 Pola vokalisasi tikus jantan muda sebelum dikanibal jantan dominan
29 Pola vokalisasi percumbuan tikus sawah dalam kondisi laboratorium
30 Pola vokalisasi tikus sawah jantan dewasa diberi gangguan
31 Pola vokalisasi tikus sawah betina dengan anak diganggu
32 Posisi badan tikus jantan muda yang tertekan dalam populasi
33 Pola vokalisasi tikus jantan muda yang tertekan dalam populasi
34 Penyiapan kandang perlakuan dan peralatan percobaan perilaku (kamera
CCTV, alat usir tikus ultrasonik, komputer, monitor pantau)
35 Postur tubuh tikus sawah ketika keluar dan masuk lubang sarangnya
36 Postur tubuh tikus sawah saat aktivitas makan dan minum
37 Postur tubuh tikus sawah saat aktivitas mengendus udara dan tanah
38 Postur tubuh tikus sawah ketika aktivitas mengawasi sesuatu
39 Postur tubuh tikus sawah saat aktivitas merawat tubuh (grooming)

7

8
9
9
10
11
11
12
12
13
13
14
14
15
15
17
18
18
19
20
20
21
21
22
22
23
23
24
25
26
26
27
33
34
34
35
35
36
36

40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51

52
53

54

55
56
57
58

59
60
61
62
63
64

Postur tubuh tikus sawah saat berjalan menjelajah dan bergelantungan
Postur tubuh tikus sawah jantan dewasa sedang istirahat
Postur tubuh tikus sawah sedang aktivitas menggali
Alokasi penggunaan waktu tikus sawah jantan dan betina pada perlakuan
seekor tikus dalam kandang tanpa pemaparan suara
Alokasi penggunaan waktu tikus sawah pada perlakuan seekor tikus dalam
kandang tanpa pemaparan suara dalam 3 periode waktu
Total aktivitas tikus sawah selama 13 jam pada perlakuan pemaparan 21
vokalisasi
Tikus jantan mencari sumber vokalisasi di atas kandang perlakuan:
memanjat, bertengger, meloncat, menjelajah dengan bergelantungan
Kerusakan kamera CCTV akibat serangan tikus sawah pada perlakuan
pemaparan suara jantan kalah dikanibal pemenang perkelahian
Penyiapan kandang perlakuan seleksi vokalisasi panggil dan usir tikus
sawah dalam laboratorium
Alokasi penggunaan waktu sepanjang malam oleh sepasang tikus sawah
(1♂+1♀) tanpa pemaparan vokalisasi dalam laboratorium
Postur khas tikus sawah ketika sedang kopulasi
Tikus sawah yang saling asing beraktivitas masing-masing beberapa saat
setelah disatukan dalam kandang perlakuan (kiri: ♂ menjilati badan, ♀
menjelajah, ♀ makan, ♀ mengendus; kanan: ♀ mengawasi, ♀ memanjat
batang padi, ♂ mengendus di sekitar rumpun padi)
Kelompok tikus betina bersama-sama pada perlakuan tanpa suara: keluar
lubang, mengawasi, mengendus, makan, menjilati badan
Perilaku tikus sawah pada pemaparan vokalisasi perkelahian jantan:
sekelompok tikus betina mengawasi aktivitas makan tikus jantan (kiri)
dan tikus betina beraktivitas permainan perkelahian (boxing position)
Respons tikus sawah pada pemaparan vokalisasi kanibalisme: 1♀ menggali
sementara 1♀ lain mengawasi (kiri), dan kelompok 3♀ bersama-sama
mengawasi kondisi sekitar (kanan)
Pemaparan vokalisasi courtship memicu tikus sawah jantan untuk kopulasi,
sedangkan betina tidak aktif reproduksi berusaha menghindar
Alokasi penggunaan waktu tikus sawah pada perlakuan pemaparan
berbagai vokalisasi pada pukul 17:00-06:00 WIB dalam laboratorium
Total aktivitas tikus sepanjang malam (pukul 17:00-06:00 WIB) pada
perlakuan pemaparan berbagai vokalisasi
Uji keefektifan vokalisasi di lapangan: penyiapan peralatan di sawah
berpagar seng (enclosure), pengukuran atribut biologi dan pelepasan tikus
sawah, tata letak kamera CCTV & speaker, & unit monitor pemantau
Skema pengambilan sampel tingkat kerusakan tanaman padi akibat
serangan tikus sawah dalam enclosure
Alokasi penggunaan waktu malam (17:30-05:30 WIB) oleh populasi tikus
sawah (3♂+3♀) tanpa pemaparan vokalisasi di lapangan
Umpan tambahan dan peletakkannya di lapangan
Postur tubuh tikus sawah ketika beraktivitas mengendus di lapangan
Postur tubuh tikus sawah saat aktivitas mengawasi di lapangan
Postur tubuh tikus sawah saat beraktivitas merawat tubuh dengan menjilati
seluruh badannya di lapangan

37
37
39
39
40
42
43
50
51
52
52

53
54

55

56
56
58
65

66
67
67
68
68
69
69

65 Postur tubuh tikus sawah ketika sedang makan gabah (disediakan) dan
tunas rumput di lapangan
66 Aktivitas tikus sawah beristirahat di lapangan: pinggir petakan lahan
dan di atas tembok pagar enclosure
67 Aktivitas tikus masuk menjelajah di pinggiran petak tanaman padi,
pematang, parit saluran air, dan berenang saat parit terisi air
68 Aktivitas perkelahian tikus sawah di lapangan dalam postur khas boxing
position
69 Seekor tikus yang sedang makan rumput di parit saluran air dikejar tikus
lain yang datang dari dalam petak pertanaman
70 Penampakan morfologi lubang aktif tikus sawah sedang aktif reproduksi
pada padi menjelang panen (95 HST) di petak enclosure
71 Alokasi penggunaan waktu tikus sawah pada pemaparan vokalisasi di
lapangan sepanjang periode aktifnya (pukul 17:30-05:30 WIB)
72 Alokasi penggunaan waktu tikus sawah di luar petak pertanaman pada
pemaparan vokalisasi di lapangan
73 Penampakan normal kamera CCTV (kiri), dan ketika seekor tikus naik di
atasnya (moncong kelihatan; kanan) ketika mencari speaker yang
melantangkan vokalisasi kanibalisme
74 Tikus sawah memindahkan kotak plastik umpan dari atas pematang ke
dalam pipa paralon saluran pemasukan air

70
70
71
72
72
75
75
76

77
77

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tikus sawah Rattus argentiventer (Robinson and Kloss, 1916) merupakan
salah satu hama utama penyebab kerusakan terbesar komoditas padi di Indonesia.
Serangan tikus sawah terjadi pada semua stadia tumbuh padi sejak pesemaian
hingga panen, bahkan menimbulkan kerusakan pascapanen dalam gudang
penyimpanan (Singleton dan Petch 1994; Sudarmaji et al. 2003; Dirjentan 2009).
Luas area pertanaman padi yang diserang tikus sawah selama periode 2009-2013
rata-rata 126.954 ha (1.781 ha puso) ha per tahun dengan intensitas kerusakan
18,03% (BPS 2003-2005; Dirjentan 2009). Sebaran serangan tikus sawah terjadi
di semua provinsi dengan tingkat kerusakan bervariasi dari ringan sampai puso
atau gagal panen. Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan NAD merupakan lima wilayah sentra produksi beras nasional yang
menempati luas serangan tertinggi (Dirjentan 2009). Hal tersebut menunjukkan
bahwa tikus sawah masih menjadi kendala dalam pengadaan bahan pangan pokok
di Indonesia.
Pengendalian tikus sawah adalah usaha menekan populasi tikus serendah
mungkin dengan berbagai metode pengendalian (Sudarmaji 2004). Tindakan
pengendalian yang umum dipraktikkan meliputi penggunaan rodentisida,
gropyokan, fumigasi, pembongkaran sarang, penggenangan, penjaringan,
pemerangkapan, penghalang fisik, bahkan pemakaian aliran listrik (Leung dan
Sudarmaji 1999; Sudarmaji dan Herawati 2008). Keberhasilan usaha pengendalian
tikus sawah tersebut masih bervariasi dan belum konsisten hingga saat ini
(Singleton et al. 2010). Partisipasi segenap petani dalam suatu kawasan hamparan
sawah dikerahkan untuk bersama-sama mengendalikan tikus. Apabila pelaksanaan
pengendalian tidak terorganisir dengan baik, hampir dapat dipastikan bahwa hasil
usaha pengendalian tikus kurang optimal (Singleton et al. 1999; Anggara dan
Sudarmaji 2008).
Perilaku merupakan respons senso-motorik makhluk hidup terhadap
beragam stimulus dan fluktuasi kondisi lingkungan. Komunikasi hewan adalah
setiap perilaku salah satu individu yang berdampak pada individu lain untuk
berperilaku saat ini atau berikutnya (Carson 1999). Tikus sawah memiliki otak
yang berkembang sehingga mampu berkomunikasi menggunakan suara dan secara
kimiawi dengan air seni dan feromon (Meehan 1984; Kimoto et al. 2005; Haskell
2010). Feromon merupakan senyawa kimia yang diproduksi oleh sistem endokrin
dan dilepaskan ke udara. Pada tikus dan mencit, feromon diproduksi oleh kelenjar
preputial pada bagian pangkal uretra (Kimoto et al. 2005). Komunikasi dengan
suara dilakukan tikus dengan indera pendengarannya yang memiliki dua puncak
tanggap akustik, yaitu pada kisaran suara terdengar dan ultrasonik (Meehan 1984;
Heffner dan Heffner 2007). Suara terdengar memiliki kisaran frekuensi 20Hz20kHz yang dapat didengar manusia, sedangkan ultrasonik berfrekuensi di atas
20kHz yang tidak mampu dideteksi indera dengar manusia (Meehan 1984;

2
Priyambodo 2003). Kisaran frekuensi suara untuk berkomunikasi pada tikus
berkisar 200Hz-90kHz (Fay 1988; Heffner dan Heffner 2007). Frekuensi suara
terdengar digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh, sedangkan frekuensi
ultrasonik untuk jarak dekat (Cox et al. 1988). Kemampuan indera tersebut sangat
berguna dalam aktivitasnya sebagai hewan nokturnal yang aktif pada intensitas
cahaya yang rendah. Meskipun demikian, hal tersebut belum banyak
dikembangkan dalam perakitan metode pengendalian tikus. Oleh karena itu,
dilakukan penelitian dengan pendekatan baru, yaitu manipulasi perilaku alami
tikus untuk melengkapi teknologi pengendalian yang telah ada. Teknologi
pengendalian dengan pendekatan manipulasi perilaku tikus dan penurunan
natalitas diharapkan dapat meningkatkan keefektifan dan keefisienan teknologi
berbasis peningkatan mortalitas yang telah ada.
Hewan yang mampu berkomunikasi melalui sinyal akustik pada umumnya
memiliki struktur penghasil dan penerima suara. Robert (1975) yang melakukan
pembedahan pada tikus muda dan dewasa menyatakan bahwa suara tikus
diproduksi pada bagian laring, baik suara terdengar maupun ultrasonik. Suara
terdengar dibuat dengan melewatkan udara dari sistem pernapasan ke laring, serta
menggunakan rongga mulut dan rongga hidung untuk resonansi penguatan suara
(Bradbury 1998). Suara ultrasonik dilengkingkan melalui mulut tanpa resonansi.
Menurut Brudzynski (2005), visualisasi suara pada spektrogram menunjukkan
bahwa suara bervariasi dalam frekuensi dan durasi, serta berubah pola dan
strukturnya dari waktu ke waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa vokalisasi
diduga membawa "pesan yang dikodekan" sehingga jumlah pengulangan dan
frekuensi yang digunakan bervariasi.
Beragam vokalisasi ultrasonik dan terdengar yang dilantangkan tikus dan
mencit bergantung pada usia, kondisi lingkungan, dan keadaan yang menimpanya.
Vokalisasi berperan memfasilitasi atau menghambat interaksi sosial (Portfors
2007), serta mengekspresikan perilaku defensif dan adaptasi antipredator
(Brudzynski 2009). Cox et al. (1988) melaporkan bahwa tikus tebu (Thryonomys
swinderianus, Temminck) dalam penangkaran melantangkan 5 tipe vokalisasi,
yaitu quirr, squeaks (cicit), wheet (desisan), whines (geraman), dan boom
(gertakan), serta 2 suara perkusi berupa hentakan tungkai belakang dan gesekan
antargigi (bruxxing). Terdapatnya perbedaan dalam keras lemahnya pelantangan
suara dan variabilitas pola suara mengindikasikan adanya struktur sosial pada
tikus tebu (Cox et al. 1988). Vokalisasi terdengar bertujuan untuk
menginformasikan kondisi sakit, pernyataan kesiapan berkelahi (pertahanan aktif),
atau mengintimidasi predator agar menghentikan langkahnya (Litvin et al. 2007),
mencegah perilaku agonistik, perilaku seksual, atau ketika tertangkap manusia
(Willott 2007). Lebih lanjut Litvin et al. (2010) menyatakan bahwa vokalisasi
bernada rendah mencerminkan sinyal agresif, sedangkan vokalisasi bernada tinggi
mengambarkan ketakutan atau mengetahui ada bahaya.
Perumusan Masalah
Alat pengendalian tikus berisi suara ultrasonik telah banyak dirakit dan
dipasarkan. Mekanisme kerja alat tersebut adalah memancarkan gelombang
ultrasonik untuk mencegah tikus mendekat dan mengusir tikus agar menjauh dari
jangkauan pengaruhnya. Apakah benar suara ultrasonik mampu mengusir tikus

3
hama? Hasil penelitian Pierce (1993) dan Timm (1994) menunjukkan bahwa alat
ultrasonik pengusir hama tidak efektif untuk menghalau dan mengusir tikus liar.
Alat ultrasonik juga tidak membuat tikus pergi meninggalkan bangunan yang
ditempatinya atau meningkatkan kematian tikus (Timm 1994). Pernyataan serupa
juga disampaikan Koehler et al. (1990) serta lembaga advokasi konsumen
Amerika Serikat (Federal Trade Commission's / FTC) yang bahkan mensomasi 60
perusahaan dan distributor alat ultrasonik pengendali hama atas bahan tayang
online, katalog produk, dan iklan yang mengklaim bahwa produknya mampu
mengusir tikus dan serangga (Janice Frankle Bureau of Consumer Protection
2001). FTC menyatakan bahwa alat ultrasonik pengusir hama tidak efektif untuk
mengendalikan tikus setelah menerima hasil pengujian keefektifan alat-alat yang
dipasarkan dengan klaim mampu mengusir serangga, tikus, dan hewan liar lain.
Tikus dan mencit segera terbiasa (habituation) dengan bunyi berulang dan
mengetahui hal tersebut tidak berbahaya sehingga berangsur-angsur kembali
untuk makan dan bersarang. Hal serupa juga dilaporkan Shumake (1998) bahwa
alat ultrasonik pengusir tikus pada awal penggunaan hanya mampu mengurangi
30-50% aktivitas pergerakan tikus dan segera terhabituasi dan tidak menimbulkan
pengaruh lagi setelah 3-7 hari. Menghindarnya tikus di awal pemaparan suara
ultrasonik diduga akibat karakter neofobia, yaitu curiga terhadap kehadiran benda
asing di lingkungannya (Meehan 1984).
Suara terdengar diduga memiliki potensi lebih baik untuk dikembangkan
sebagai salah satu metode pengendalian tikus sawah. Di samping bersifat spesifik
spesies (Cox et al. 1988; Heffner dan Heffner 2007), jangkauan suara terdengar
lebih luas dibanding suara ultrasonik karena kisaran frekuensi suara terdengar
dapat dipantulkan oleh benda-benda padat (Smith 1993). Hal tersebut bertolak
belakang dengan karakter gelombang ultrasonik yang tidak dapat dipantulkan,
tetapi menembus sehingga terserap benda-benda padat sebagai akibat langsung
dari frekuensinya yang tinggi. Oleh karena itu, tikus yang bersembunyi di balik
tembok, pintu, atau perabot lain akan terhindar dari pengaruh gelombang
ultrasonik (www.glenbrook.k12.il.us/GBSSCI/PHYS/Class/sound). Selama aktif
dalam penelitian tikus sejak 1998, sering dijumpai tikus sawah melantangkan
beberapa vokalisasi terdengar pada kondisi tertentu, baik di lapangan maupun
dalam laboratorium (Anggara 2010, unpublish data). Pada pertanaman padi di
lapangan, beberapa kali terdengar vokalisasi tikus ketika senja hari atau saat
populasi tinggi. Dalam laboratorium, tikus sawah hasil tangkapan yang
dimasukkan ke dalam kandang aklimatisasi terkadang juga melantangkan
beberapa vokalisasi yang terdengar, seperti suara cit cit, dengan pola yang
berbeda-beda. Keberagaman pola vokalisasi suara terdengar tikus sawah belum
diketahui hingga saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi vokalisasi
terdengar, untuk selanjutnya dikarakterisasi dan disusun databasenya.
Tujuan Penelitian
1. Melakukan eksplorasi, purifikasi, karakterisasi, dan pembuatan database
vokalisasi terdengar tikus sawah di lapangan dan dalam laboratorium.
2. Memperoleh jenis vokalisasi untuk komunikasi intraspesies tikus sawah
berdasarkan respons perilaku dalam kondisi laboratorium.

4
3. Mempelajari keefektifan vokalisasi bermakna komunikasi tikus sawah sebagai
suara panggil (attractant) atau suara usir (repellant) dalam laboratorium dan
pada populasi tertutup di lapangan.
Manfaat Penelitian
Keanekaragaman pola vokalisasi tikus sawah pada rentang suara terdengar
dieksplorasi, selanjutnya diseleksi guna memperoleh ‘suara bermakna’ yang
digunakan tikus sawah untuk berkomunikasi intraspesies. Vokalisasi yang terbukti
efektif diteliti lebih lanjut untuk dikembangkan sebagai metode pengendalian
dengan pendekatan baru, yaitu respons perilaku hewan sasaran. Alat berisi suara
panggil (attractant) dapat dipasang pada trap barrier sistem (TBS) untuk
meningkatkan ketertarikan tikus terhadap petak tanaman perangkap, sedangkan
yang berisi suara usir (repellant) diletakkan di tengah petak sawah sehingga tikus
enggan mendekat. Keunggulan metode yang akan dirakit ini adalah ramah
lingkungan, spesifik target, dapat dikombinasikan dengan teknik pengendalian
tikus yang lain, dan dapat digunakan pada beragam agroekosistem budi daya padi.
Kebaharuan
Vokalisasi tikus sawah dalam rentang suara terdengar yang digunakan untuk
komunikasi intraspesies belum diungkap dengan pendekatan ilmiah, khususnya di
Indonesia. Terbatasnya kajian ilmiah tersebut membuat potensi pemanfaatan
vokalisasi terdengar untuk perakitan teknologi pengendalian belum banyak
dikembangkan. Penelitian yang dilakukan merupakan tahap awal untuk merakit
metode pengendalian yang ramah lingkungan dan spesifik target dengan
pemanfaatan vokalisasi alami tikus sawah pada rentang frekuensi terdengar.
Dengan mengetahui ragam suara terdengar yang bermakna komunikasi, akan
dirakit suatu alat berisi vokalisasi tikus untuk suara panggil atau suara usir. Model
pendekatan pengendalian hama tersebut dapat diterapkan pada spesies lain yang
juga menggunakan vokalisasi untuk komunikasi intraspesiesnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian vokalisasi bioakustik pada rentang frekuensi terdengar yang
secara alami dilantangkan tikus sawah mencakup kegiatan di lapangan dan di
dalam laboratorium. Eksplorasi vokalisasi di lapangan dilakukan sebelum
memasuki musim tanam (bera pratanam dan pengolahan lahan), sepanjang
terdapat pertanaman padi (pesemaian hingga panen), dan setelah panen (hingga
ratun bisa dipanen kembali). Kegiatan perekaman vokalisasi di dalam
laboratorium dilakukan dengan membuat habitat buatan semirip mungkin kondisi
lapangan di dalam kotak kaca besar. Semua vokalisasi terdengar yang diperoleh
dari lapangan dan laboratorium, dimurnikan dan dikarakterisasi untuk pembuatan
database. Vokalisasi tersebut selanjutnya dipaparkan kembali ke tikus sawah
untuk mengetahui vokalisasi yang digunakannya untuk komunikasi intraspesies,
berdasarkan respons perilaku tikus selama diberi pemaparan vokalisasi. Vokalisasi
yang terpilih kemudian diuji keefektifannya di lapangan, dalam kondisi populasi
tertutup di dalam sawah berpagar (enclosure).

5

BAB II
EKSPLORASI VOKALISASI BIOAKUSTIK TIKUS SAWAH
DI LAPANGAN DAN DALAM LABORATORIUM
ABSTRACT
The rice-field rat’s auditory sistem is perfectly function in an audible sound
frequency (20Hz-20kHz) and ultrasound (>20kHz) that is important to support
their activities as nocturnal animals. Explorative study was conducted to find out
the natural bioacustic of the rice-field rat during rice planting season and at
artificial condition in laboratory. Vocalizations obtained were purified and
characterized by using software Cool Edit Pro 2.1, then its database was made.
The results showed that the rice-field rat in the field did not emit their
vocalizations anytime during rice planting season. Six vocalization patterns of
rice-field rat were obtained during rice crop in wet season 2012 in the field, i.e.
dusk vocalizations during land preparation phase and maximum tillering,
vocalization of active reproduction during booting and flowering rice stage, and
vocalization a week after harvesting. The dominant acoustic frequency was 1-2
kHz accompanied by 5-9kHz during emitted vocalizations in the field.
Vocalization lasted in a relatively short time in average duration of 12.41 seconds
and sounded softly in average of 43,91dB intensity level. Inside laboratory
experiment, the research obtained 13 vocalization patterns that most of them (10
patterns) associated with the rat agonistic behavior. Vocalization during rat fight
and cannibalism were emitted at dominant frequency 5,3-6,0kHz, vocalization of
stress young rats on 4,8-6,8kHz, vocalization of female's rejecting copulation on
4,6kHz, and vocalization of the adult rat disturbed on 5,3-5,6kHz.
Key words: animal communication, behaviour, vocalization, rat
PENDAHULUAN
Hewan menggunakan pelantangan suara, gerak tubuh (gesture), atau
kombinasi keduanya dalam penyampaian informasi kepada individu lain atau
anggota kelompoknya (Carson 1999). Dalam lingkup bioakustik, pelantangan
suara hewan disebut vokalisasi (Brudzynski 2005). Penggunaan sinyal suara
tersebut sangat sederhana dibanding manusia yang mampu berkomunikasi verbal
menggunakan bahasa. Vokalisasi hewan berhubungan dengan status sosial,
kehadiran predator, penandaan wilayah kekuasaan, atau kondisi spesifik lain,
seperti stres, kesiapan reproduksi, percumbuan sebelum kawin, dan perkelahian
(Carson 1999). Dengan demikian, vokalisasi hanya berisi penyampaian status
emosional individu pada saat suara tersebut dilantangkan, dan kemungkinan
mengirim informasi kepada individu lain. Hewan liar melantangkan vokalisasi
ketika terancam bahaya, menemukan pakan, memikat pasangan saat musim
kawin, menjelang petang dan fajar, ketika berkelahi, dan saat bepergian dalam
kelompok. Hewan peliharaan juga melantangkan vokalisasi ketika lapar,
menyusui, dan tertekan (Jourdan et al.1995; Brudzynski 2005).

6
Tikus mampu berkomunikasi menggunakan sinyal kimiawi dan akustik.
Sinyal kimiawi disebarluaskan melalui air seni dan feromon, sedangkan sinyal
akustik melalui jalur indera pendengar (Meehan 1984; Priyambodo 2003). Sistem
pendengaran tikus berkembang sempurna dengan dua puncak tanggap akustik,
yaitu pada selang suara terdengar yang dapat didengar manusia dengan kisaran
frekuensi 20Hz-20kHz dan pada suara ultrasonik berfrekuensi di atas 20kHz yang
tidak terdengar manusia (Meehan 1984; Knutson et al. 2002; Lahvis et al. 2011).
Intensitas cahaya rendah pada malam hari tidak memungkinkan penggunaan
optimal sinyal visual dengan indera penglihat (Brudzynski 2005). Oleh karena itu,
kemampuan indera pendengar dan pencium tikus berkembang untuk membantu
navigasinya pada malam hari (Meehan 1984; Burn 2008; Smith1993). Untuk
berkomunikasi dengan sinyal akustik, tikus melantangkan beragam suara, seperti
cicitan, lengkingan/jeritan, dan geraman (Thomas et al. 1983, Jourdan et al.1995;
White et al.1998)
Penelitian bioakustik pada prinsipnya merupakan upaya manusia untuk
mengetahui dan memecahkan kode sinyal akustik hewan dalam berkomunikasi
dengan sesamanya (Brudzynski 2005). Hingga saat ini, vokalisasi untuk
komunikasi intraspesies belum banyak diketahui, khususnya di Indonesia.
Informasi ilmiah tentang vokalisasi terdengar masih terbatas sehingga belum
banyak diketahui potensi pemanfaatan fenomena tersebut untuk dirakit menjadi
metode pengendalian yang ramah lingkungan. Misalnya, vokalisasi dengan
karakter spesifik apa yang dilantangkan tikus sehingga mampu membuat tikus
yang lain datang mendekat atau lari menjauh. Vokalisasi tikus yang telah banyak
diteliti adalah pada rentang suara ultrasonik (Portfors 2007), bahkan telah dirakit
alat pengendalian berisi suara tersebut untuk mengusir tikus (Singleton et al.
2010). Meskipun demikian, keefektifan pengendalian dengan alat pengusir
ultrasonik masih banyak diperdebatkan. Vokalisasi tikus pada rentang suara
terdengar diduga berpotensi untuk dikembangkan sebagai pendekatan baru
metode pengendalian tikus sawah. Pengamatan pendahuluan di lapangan
menunjukkan bahwa tikus sawah melantangkan vokalisasi terdengar pada kondisi
tertentu, seperti suara “cit cit” di pertanaman padi atau saat senja ketika populasi
tinggi. Meskipun demikian, hingga saat ini belum diketahui pasti keberagaman
vokalisasi bioakustik tikus sawah tersebut. Oleh karena itu dilakukan penelitian
eksploratif untuk mengumpulkan dan mendeskripsi vokalisasi tikus sawah pada
rentang suara terdengar.
METODE
Eksplorasi vokalisasi tikus sawah di lapangan
Eksplorasi vokalisasi terdengar tikus sawah dilakukan sepanjang musim
tanam padi 2012, meliputi periode pratanam (saat bera pratanam dan pengolahan
lahan), selama terdapat pertanaman (pesemaian, tanam, stadia anakan, anakan
maksimum, bunting, bermalai, matang susu, pemasakan, hingga panen), dan
periode pascapanen (panen hingga tumbuh ratun), yang dimulai bulan Maret
hingga Oktober 2012. Kegiatan dilakukan pada hamparan sawah irigasi teknis
dataran rendah (15m dpl dan kelerengan 3%) dengan luas hamparan kurang lebih
200 ha di Kecamatan Ciasem, Patokbeusi, dan Pabuaran, Kabupaten Subang,
Jawa Barat (06 ο16’-06 ο20’LS dan 107 ο36’-107ο39’BT). Agar peluang untuk
memperoleh vokalisasi tikus lebih tinggi, dilakukan pemantauan habitat tikus

7
sawah pada siang hari sebelum perekaman. Keberadaan tikus diamati dengan
melihat tanda-tanda kehadirannya, seperti lubang aktif, jejak kaki, jalur jalan,
ceceran bekas makan, atau gejala serangan pada semua habitat, yaitu tanggul
irigasi, tanggul jalan, pematang besar, bantaran sungai, dan perbatasan dengan
perkampungan. Habitat dengan populasi tikus sawah tinggi, pada malam harinya
dilakukan eksplorasi dan perekaman vokalisasi yang dimulai menjelang senja
(pukul 17:00 WIB) hingga fajar (pukul 05:00 WIB). Pengamat berjalan perlahan
tanpa lampu penerangan pada habitat tikus sawah dengan membawa parabola
pengumpul suara (nature observing-recording and playback dish) untuk mencari
dan memastikan arah sumber vokalisasi hingga jarak 300m (Gambar 1).
Bera
Olah tanah

Veget at if
pesemaian

0 hari

tanam

20

anakan

40

Bera

Generat if
anakan
pemasakan
maksimumpr imor diabunting pembungaan
m atang susu
panen

60

80

100

ber a

120

Gambar 1. Eksplorasi vokalisasi alami tikus sawah di lapangan pada semua stadia
pertumbuhan padi dan peralatan perekaman yang digunakan.
Apabila terdeteksi vokalisasi tikus, perlahan pengamat mendekati sumber suara
hingga sedekat mungkin (sekitar 10-15m sesuai sensitivitas mikrofon) sambil
melakukan perekaman dalam format MP3 menggunakan Stereo IC Recorder
(Sony ICD-UX91F) yang memiliki kisaran frekuensi perekaman 40Hz-20kHz.
Untuk mendapatkan data jenis kelamin dan atribut biologi tikus pelantang
vokalisasi, diupayakan menangkap tikus seusai perekaman dengan cara fumigasi
dilanjutkan pembongkaran lubang aktif (tikus berada dalam lubang sarang) atau
ditembak senapan angin yang dipandu sinar laser inframerah (tikus di luar lubang
sarang). Data lain yang dicatat adalah deskripsi lengkap waktu perekaman, stadia
tanaman padi, kondisi cuaca, dan habitat tempat tikus melantangkan vokalisasinya
(Agranat 2005; Brudzynski 2005; Clemins dan Johnson 2003; Jourdan et al.1995).
Eksplorasi vokalisasi tikus sawah dalam laboratorium
Tikus sawah populasi liar (wildlife) ditangkap dalam kondisi hidup
menggunakan metode trap barrier sistem (TBS) dan linear trap barrier sistem
(LTBS) (Aplin et al. 2003). TBS merupakan kesatuan unit yang terdiri atas
tanaman perangkap berupa petak lahan berukuran 25m x 25m yang ditanam padi
2 minggu lebih awal untuk menarik kedatangan tikus, bubu perangkap sebagai
alat penangkap dan penampung tikus, dan pagar plastik untuk melindungi
tanaman perangkap dan mengarahkan tikus masuk bubu perangkap. TBS

8
ditempatkan pada 8 lokasi di lingkungan sawah Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi yang terletak di Sukamandi, Subang, Jawa Barat (Gambar 2). Sementara itu,
LTBS berupa bentangan pagar plastik setinggi 60cm, panjang 100m, dilengkapi
bubu perangkap pada selang 20m berselang-seling (Leung dan Sudarmaji 1999).
Selama percobaan, LTBS dipasang pada habitat perbatasan sawah dengan
permukiman untuk menangkap tikus dari kedua arah habitat (Gambar 2).

Gambar 2. Penempatan TBS (kotak merah) dan LTBS (garis merah) di lahan
sawah BB Padi untuk menangkap tikus sawah guna eksplorasi
vokalisasi alami dalam laboratorium.
Penyesuaian tikus tangkapan terhadap lingkungan laboratorium dilakukan
dalam kandang aklimatisasi berukuran 1m x 1m x 0,5m dengan kerapatan 20-40
ekor per kandang selama 2 minggu. Selama aklimatisasi, tikus diberi pakan gabah,
malai padi segar, ubi jalar, kepiting, dan keong mas, serta air minum disediakan
ad libitum. Tikus untuk perlakuan diseleksi berdasarkan umur dan jenis kelamin,
serta dicatat atribut biologi meliputi bobot badan, panjang kepala-badan, panjang
ekor, dan status reproduksinya (Aplin et al. 2003). Tikus sawah yang terseleksi
dimasukkan ke dalam kandang perlakuan dengan komposisi setiap kandang berisi
1♂ muda, 1♂ dewasa, 1♀ muda, 1♀ dewasa, 2♂ muda, 2♂ dewasa, 1♂ muda dan
1♂ dewasa, 2♀ muda, 2♀ dewasa, 1♀ muda dan 1♀ dewasa, 1♂ dewasa dan 1♀
dewasa, 1♂ dewasa dan 2♀ dewasa, 2♂ dewasa dan 2♀ dewasa, 1♂ dewasa dan
3♀ dewasa, 1♂ dewasa dengan gangguan, 1♀ dewasa menyusui dengan
gangguan, dan dalam populasi berisi 20 ekor tikus dewasa. Kandang perlakuan
berupa kotak kaca berukuran 100cm x 80cm x 60cm yang bagian atasnya ditutup
kawat kasa, serta dibuat pematang tiruan dari tanah di lantai kandang (Gambar 3).
Ruang perlakuan dibuat kedap suara dan semua jendela ditutup kain berwarna
merah tua agar tikus percobaan lebih nyaman dengan kondisi laboratoriu

Dokumen yang terkait

Efektivitas Sarcocystis Singaporensis Terhadap Mortalitas Tikus Sawah Rattus Rattus Argentiventer Rob & Kloss (Rodentia : Muridae) Di Laboratorium

2 53 47

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN BAHAN PENYEDAP PADA UMPAN BERACUN UNTUK MENINGKATKAN DAYA MAKAN TIKUS SAWAH (Rattus-rattus argentiventer)

3 39 31

Prospek penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk pengendalian biologis populasi tikus sawah (Rattus argentiventer)

1 5 9

Prospek penggunaan sarcocystis singaporensis untuk pengendalian biologis populasi tikus sawah (rattus argentiventer)

0 14 151

Tingkat Kejeraan Racun dan Umpan Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.), Tikus Rumah (Rattus rattus diardii Linn.), dan Tikus Pohon (Rattus tiomanicus Mill.)

0 11 59

Perancangan dan pengujian perangkap, pengujian jenis rodentisida dalam pengendalian tikus pohon [Rattus tiomanicus Mill], tikus rumah [Rattus rattus diardii Linn], dan tikus sawah [Rattus argentiventer Rob. dan Klo] di laboratorium

0 8 56

Pengujian umbi gadung (Doscorea hispida dennst.) sebagai rodentisida botanis siap pakai dalam pengendalian tikus rumah (Rattus rattus diardii linn.) Dan tikus sawah (Rattus argentiventer rob. & klo.)

0 10 69

Pengujian Antikoagulan Bromadiolon pada Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.)

0 2 99

“GRATISAN” granat tikus rakitan solusi pengendalian tikus sawah (RATTUS ARGENTIVENTER) pada tanaman padi (ORYZA SATIVA)

0 7 16

Prospek penggunaan sarcocystis singaporensis untuk pengendalian biologis populasi tikus sawah (rattus argentiventer)

1 5 81