Materi Kuliah Jurusan Hukum tentang Hukum Internasional Dunia Kuliah East Timor Case








Bagia Nugraha (110110060051)
Retno Puspita Sari (110110060033)
Nova Angelina (110110060034)
Erna Hermawati
(110110060050)
Putri Yuliani
(110110060025)
Amelia Afifah (110110060042)

PENDAHULUAN


Dalam pengertian “Suksesi Pemerintahan” ( Succession of
Government) itu sendiri yang menjadi permasalahannya

ialah sampai sejauh mana hak-hak dan kewajibankewajiban pemerintah lama terhapus dan sejauh mana
pemerintah baru berhak atas hak-hak dan kewajibankewajiban tersebut.



Dalam pengertian “Suksesi Negara” (State Succession)
bersangkut paut dengan penalihan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban negara-negara yang telah berubah
atau kehilangan identitasnya kepada negara-negara atau
kesatuan-kesatuan lain. Yang perubahannya baik secara
keseluruhan atau sebagian kedaulatan atas bagian-bagian
wilayahnya.

Implikasi dari suksesi negara
1. Terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pengganti;
2. Terhadap keterikatan negara pengganti pada perjanjian
internasional maupun kontrak yang dibuat oleh negara
pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian antara negara
pendahulu dengan negara ketiga;
3. Terhadap nasionalitas;

4. Terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak milik,
termasuk dana negara dan arsip negara;
5. Terhadap tanggung jawab negara pengganti atas hutang
negara pendahulu.

Persoalan-persoalan hukum internasional
yang berkaitan dengan kasus yang kita
kaji, yaitu :


Sampai sejauh mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban
negara yang digantikan (predecessor State) akan
terhapus, atau apabila hanya ada perubahan
kedaulatan terhadap sebagian dari wilayah negara itu –
sampai sejauh mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tersebut masih tetap melekat pada negara itu.



Sampai sejauh mana negara pengganti (successor

state), yaitu negara yang diserahi seluruh atau
sebagian kedaulatan tersebut, berhak atas hak-hak
atau tunduk pada kewajiban-kewajiban demikian.

DASAR SUKSESI TIMOR LESTE
Dalam Pasal 2 angka 1b Konvensi Wina 1978 menentukan bahwa
"succestion of states means the replacement of one state by
another in the responsibility for the international relations of
territory." Selanjutnya menurut Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal
30 angka 1 dan Pasal 34 Konvensi Wina 1978, suksesi negara
dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu:
1. Apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam
hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara tersebut
kemudian berubah menjadi wilayah negara baru.
2. Apabila negara pengganti sebagai negara baru yang beberapa
waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan wilayah yang
tidak bebas yang dalam hubungan internasional di bawah tanggung
jawab negera (negara-negara) yang digantikan.
3. Negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah
atau lebih menjadi suatu negara merdeka.

4. Terjadi sebagai akibat dipecah-pecahnya suatu negara menjadi
beberapa negara baru.

Dapat dikatakan bahwa berdirinya Timor Timur sebagai negara baru yang merdeka
termasuk dalam salah satu bentuk suksesi negara menurut hukum inernasional
karena memenuhi salah satu cara adanya suksesi, yaitu apabila suatu wilayah
negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi tanggung
jawab negara tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru, sehingga
akan berpengaruh terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban Indonesia atas Timor
Timur secara internasional.
Terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara Timor Leste menurut hukum
internasional, munculnya negara baru ini akan membawa banyak konsekuensi
internasional, seperti hutang-hutang negara lama, arsip-arsip, pengakuan dan
keterikatannya pada perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh negara lama.
Hal itu tidak terkecuali Timor Timur yang menjadi negara baru yang merdeka
terlepas dari Indonesia. Kondisi di atas akan dihadapi baik oleh Timor Timur sendiri
sebagai negara yang baru merdeka maupun Indonesia yang telah kehilangan
kedaulatannya di wilayah Timor Timur.




Hal tersebut adalah menjadikan Timor Timur sebagai negara baru yang telah
memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, berhak menentukan kebijakan
politik di dalam maupun luar negerinya.



Bagi Indonesia sendiri merdekanya Timor Timur tersebut berakibat tidak
memilikinya kedaulatan atas wilayah tersebut. Konsekuensi selanjutnya
adalah bahwa setiap kebijakan internasional yang telah dibuat Indonesia yang
berkaitan

dengan

wilayah Timor Timur

termasuk

perjanjian-perjanjian


internasional harus ditinjau kembali atau menjadi tidak berlaku menurut hukum
internasional.



Salah satu perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Indonesia yang
berobyek atau yang berkaitan dengan dengan Timor Timur adalah perjanjian
mengenai Zona Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian
Utara.

Dalam kasus ini sebelumnya Indonesia dan Australia
telah mengadakan perjanjian yang mengkaitkan timtim namun sekarang tim-tim telah lepas dari wilayah
kesatuan RI. Maka dapat kita simpulkan berkaitan
dengan ketentuan dalam Hukum Internasional karena
dalam hal ini kasus pemisahan Tim-Tim adalah hanya
merupakan bagian-bagian wilayah suatu negara ( RI )
yang artinya negara lama tidak lenyap sama sekali
maka prima facie beralihnya hak-hak dan kewajibankewajiban traktat akan bergantung pada sifat hakikat
traktat tersebut.


Maka

mengenai

suksesi

yang

menyangkut

sebagian

wilayah, pada Pasal 15 Konvensi Wina 1978 menentukan,
bahwa apabila bagian wilayah tersebut dimasukkan ke
dalam wilayah negara lain, maka :



Traktat-traktat negara yang digantikan tidak berlaku lagi
dalam kaitan wilayah yang beralih tersebut; dan




Traktat-traktat negara suksesor harus berlaku di wilayah
yang beralih tersebut, kecuali “tampak dari traktat tersebut
atau ditentukan lain bahwa berlakunya traktat tersebut
terhadap wilayah itu tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan traktat atau akan mengubah sama sekali syaratsyarat berlakunya”.

Selain itu, keterkaitan dengan “suksesi terhadap Hak-Hak dan
Kewajiban-Kewajiban Traktat. Sebenarnya tidak ada kaidah umum
yang menyatakan bahwa semua hak dan kewajiban traktat beralih,
begitu pula tidak ada prinsip yang diterima secara umum yang
menyatakan

adanya

kemungkinan

berlanjutnya


hubungan-

hubungan traktat tersebut. Dalam sejumlah Konvensi pun hanya
sedikit yang menyangkut hal mengenai suksesi yaitu suksesi dalam
arti sempit. Yang berarti suksesi melalui berlakunya hukum, dan
dalam hal ini tidak terdapat garis perbedaan yang jelas yang dapat
ditarik antara pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban melalui
berlakunya hukum di satu pihak dan di pihak lain, pengalihan hakhak atau kewajiban-kewajiban melaui penetapan atau Novasi yaitu
suatu perjanjian baru antara negara yang digantikan, negara
suksesor dan pihak atau pihak-pihak lainnya dalam perjanjian
terkait, atau pembuatan traktat baru.

Menurut Bagian VI Konvensi Wina 1978 ( Pasal 31-38) memuat
ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan kasus-kasus
dimana dua negara atau lebih menyatukan diri membentuk satu
negara suksesor, atau dimana sebagian atau bagian-bagian wilayah
suatu negara memisahkan diri untuk membentuk satu negara atau
lebih. Prinsip umum yang dipakai dalam kaitan ini adalah bahwa
traktat-traktat yang ada dan yang relevan akan tetap berlaku, baik

dalam hubungannya dengan negara suksesor atau dengan negara
yang digantikan, kecuali para pihak terkait mempunyai pendapat
lain, atau jika tampak dari traktat itu sendiri atau ditentukan lain
yaitu bahwa berlakunya traktat terhadap negara suksesor atau
terhadap negara yang digantikan, sesuai kasusnya, mungkin
kurang sesuai dengan maksud dan tujuan traktat tersebut atau
syarat-syarat berlakunya akan diubah sama sekali.

Bagaimanakah eksistensi Perjanjian
antara Indonesia dan Australia
mengenai Zona Kerjasama di Daerah
antara Timor Timur dengan Australia
Bagian Utara dalam hal Timor Timur
menjadi negara merdeka……???

Berawal dari belum tercapainya kesepakatan batas landas kontinen antara RI
dan Australia di Selatan Timor Timur (Celah Timor) dan agar tidak mengganggu
hubungan bilateral yang baik dengan Australia, serta agar tidak tertundanya
pemanfaatan potensi sumber daya minyak dan gas bumi di Celah Timor, maka
pada tanggal 11 Desember 1989 ditanda-tangani perjanjian antara Indonesia

dan Australia mengenai Zona Kerjasama di daerah antara Timor Timur dan
Australia Bagian Utara, untuk selanjutnya disebut "Perjanjian".
Perjanjian tersebut merupakan pengaturan sementara yang bersifat praktis
untuk memungkinkan dimanfaatkannya potensi sumber daya minyak dan gas
bumi tanpa harus menunggu tercapainya kesepakatan batas landas kontinen,
yang akan terus diupayakan.

Dengan demikian Perjanjian tersebut bukan merupakan Perjanjian untuk
menetapkan batas landas kontinen kedua negara. Perjanjian tersebut mengatur
mengenai "Zona Pengembangan Bersama" (Joint Development Zone) di daerah
"tumpang tindih klaim" negara-negara yang bersangkutan (dispute area).
Lembaga "Zona Pengembangan Bersama" sebagai suatu pengaturan sementara
lebih diperkuat lagi dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi
Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

Pasal 83 ayat (3) Konvensi tersebut menentukan bahwa:
"Sementara persetujuan penetapan batas landas kontinen belum tercapai, negaranegara yang bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama
hendaknya berupaya untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat
praktis dan selama berlangsungnya masa transisi ini tidak boleh membahayakan
atau menghambat upaya untuk mencapai persetujuan akhir. Pengaturan semacam
ini tidak boleh merugikan penetapan garis batas landas kontinen yang final".



Prinsip
dasar
dalam
perjanjian
internasional
sebagaimana ditentukan dalam pasal 34 Konvensi Wina
1969 adalah bahwa suatu perjanjian tidak menciptakan
baik hak maupun kewajiban bagi negara ketiga tanpa
persetujuan daripadanya (negara ketiga tersebut).



Kewajiban pihak ketiga harus bertindak sesuai dengan
syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanji-an, dan ia
akan tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia
tidak menyatakan kehendaknya yang berlainan (Mieke
Komar, 1972: 19). Hal ini berkaitan dengan asas yang
menjadi dasar dan yang telah diterima secara umum
dalam hukum internasional, yaitu pacta tertiis nec
nocent nec procent, suatu asas yang berkaitan erat
dengan prinsip kedaulatan negara dan persamaan
negara.



Pasal 73 Konvensi Wina tahun 1969 mengatur bahwa
ketentuan-ketentuan
Konvensi
ini
tidak
akan
mempersoalkan dahulu setiap masalah yang mungkin
timbul mengenai suatu perjanjian dari suatu suksesi
negara-negara atau dari pertanggungjawaban interna
sional suatu negara atau dari pecahnya permusuhan di

Berkaitan dengan itu, Pasal 8 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1
Konvensi Wina tahun 1978 menentukan bahwa hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dari negara yang digantikan
berdasarkan

perjanjian

yang

mengikat

pada

saat

terjadinya suksesi negara, tidak menjadi hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari negara pengganti terhadap
peserta lain dari perjanjian itu, kecuali apabila antara
negara yang diganti dengan negara pengganti telah
diadakan perjanjian penyerahan yang menyatakan
bahwa

hak-hak

dan

kewajiban-kewajiban

diserahkan kepada negara pengganti.

itu



Bahwa

hak-hak

dan

kewajiban-kewajiban

berdasarkan

perjanjian yang berlaku pada saat terjadinya suksesi negara,
tidak menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara
pengganti atau negara peserta lain yang menjadi pihak dalam
perjanjian itu, kecuali apabila ada pernyataan dari negara
pengganti

itu

yang

menegaskan

mengenai

kelanjutan

berlakunya perjanjian itu di wilayahnya. Ketentuan tersebut
sesuai dengan asas res inter alios acta, yaitu bahwa pihak
yang bukan peserta dari perjanjian tidak terikat perjanjian
yang dibuat oleh negara peserta perjanjian itu.


Suksesi merupakan peristiwa yang terjadi dalam suatu negara
yang dalam peristiwa itu terdapat perubahan keadaan yang
fundamental (fondamental Change of circumstances )
atau lebih dikenal dengan doktrin " rebus sic stantibus".

Berdasarkan Pasal 62 ayat 1 Konvensi Wina 1969, jika terjadi
perubahan yang mendasar, baru dapat digunakan sebagai dasar
untuk menghentikan suatu perjanjian atau untuk menarik diri dari
perjanjian apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perubahan suatu keadaan tidak terdapat pada waktu pembentukan
perjanjian.
2. Perubahan

tersebut

adalah

perihal

suatu

keadaan

yang

fundamental bagi perjanjian tersebut.
3. Perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh para
pihak.
4. Keadaan yang berubah merupakan dasar yang penting atas mana
diberikan persetujuan terikatnya (concent) negara peserta.
5. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah
lingkup kewajiban yang harus dilaksanakan menurut perjanjian itu.

Namun demikian tetap terdapat beberapa macam
perjanjian tertentu tetap berlaku mengikat walaupun
terpenuhinya doktrin rebus sic stantibus antara lain:
1. Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan
wilayah yang telah berganti pemilik seperti, traktattraktat yang menetapkan rezim perbatasan, servitude,
atau quasi servitude, misalnya hak melintas, atau trak
tat-traktat netralisasi atau demiliterisasi wilayah terkait.
2. Konvensi-konvensi multilateral yang berkaitan dengan
kesehatan, narkotika, hak-hak manusia dan hal-hal
serupa, yang dimaksudkan untuk berlaku, meskipun
ada perubahan-perubahan wilayah.

Pendapat tersebut sesuai dan sejalan dengan Konvensi Wina tahun
1969 yang menentukan bahwa suatu perubahan keadaan-keadaan yang
mendasar yang telah terjadi terhadap keadaan-keadaan yang telah ada
pada saat pembuatan perjanjian, dan yang tidak terlihat oleh para
pihak, tidak dapat dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau
menarik diri dari perjanjian kecuali:
1.

Keberadaan keadaan-keadaan itu merupakan suatu dasar esensial bagi
persetujuan pihak-pihak untuk terikat pada

2.

perjanjian.

Pengaruh perubahan-perubahan itu adalah untuk mengubah secara
radikal luasnya kewajiban-kewajiban yang masih harus dilaksanakan
menurut perjanjian itu.

3.

Kemudian Pasal 62 ayat 1a, 1b dan ayat 2a Konvensi Wina 1969
menentukan bahwa suatu perubahan keadaan-keadaan yang mendasar
tidak boleh dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik
diri dari perjanjian apabila perjanjian itu menetapkan perbatasan.



Prinsip clean slate lebih sering dipakai dalam masalah suksesi ini terutama bagi
negara-negara baru hasil proses dekolonisasi, karena berdasarkan prinsip tersebut
negara baru sama sekali tidak terikat pada perjanjian internasional yang dibuat oleh
negara pendahulu



Tetapi

dalam

praktek

tidak

mutlak

demikian,

sebab

untuk

kelangsungan

eksistensinya, negara baru yang bersangkutan perlu mengadakan hubungan dengan
negara lain lewat perjanjian internasional. Di samping itu perlu juga menghindari
kesan bahwa negara baru tidak mau menghormati perjanjian internasional yang
berkaitan dengan wilayah negara baru, yang dibuat oleh negara pendahulu.


Karena alasan tersebut, maka sering dipergunakan prinsip pilihan bebas atau free
choice. Dalam melakukan pilihan umumnya negara baru tidak mengabaikan
kecenderungan

masyarakat

internasional

dalam

menentukan

kelangsungan

mengikatnya perjanjian internasional pada negara pengganti. Di samping itu negara
baru dapat memberitahukan pemilahan (pick-and-choose) terhadap perjanjianperjanjian yang sebelumnya berlaku

Suksesi terhadap sebagian wilayah negara, Pasal 15 Konvensi Wina tahun 1978
menentukan bahwa apabila terjadi suksesi negara sedemikian rupa, perjanjian
yang dibuat oleh negara yang digantikan berhenti mengikat terhadap wilayah
dimana terjadi suksesi, pada saat terjadinya suksesi itu. Dan perjanjian itu mulai
berlaku bagi negara yang menggantikan pada saat suksesi negara itu terjadi,
kecuali apabila nampak dari perjanjian itu, atau apabila ditetapkan bahwa
diberlakukannya perjanjian itu di wilayah tersebut akan bertentangan dengan
maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri, atau akan mengubah sama sekali
keadaan untuk dapat dijalankannya perjanjian itu. Kemudian Pasal 16
mengatakan, pada pokoknya negara baru tidak terikat untuk tunduk atau untuk
menjadi pihak pada suatu perjanjian, kecuali apabila perjanjian itu telah mengikat
pada saat terjadinya suksesi negara. Pasal ini dapat pula ditafsirkan bahwa
negara baru yang terbentuk dari hasil suksesi itu mempunyai kebebasan untuk
memilih atau mengadakan pemilahan perjanjian-perjanjian mana yang akan
mengikatnya.



Telah diketahui bahwa yang menjadi obyek penjanjian antara Indonesia dan Australia
tentang Zona Kerjasama adalah daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian
Utara. Dalam hal Timor Timur berdasarkan hasil jajak pendapat kemudian menjadi
negara baru, maka Timor Timur bukan lagi sebagai bagian wilayah Indonesia.
Berdasarkan Hukum Internasional khususnya Konvensi Wina 1969 dan Konvensi
Wina 1978, berdirinya negara Timor Timur Merdeka merupakan salah satu bentuk
suksesi negara. Berlakukah alasan untuk menerapkan doktrin rebus sic stantibus
(fundamental change of circumstences).



Hal itu berakibat bahwa Indonesia sudah tidak mempunyai kedaulatan lagi di Timor
Timur. Akibat lebih jauh lagi adalah bahwa segala perjanjian yang dilakukan oleh
Indonesia berkaitan dengan Timor Timur akan tidak berlaku lagi atau setidak-tidaknya
akan ditinjau kembali. Termasuk di dalamnya adalah perjanjian mengenai Zona
Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dan Australia Bagian Utara, yang jelas-jelas
obyek adalah daerah di Timor Timur.



Secara de jure Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Zona
Kerjasama di Daerah antara Timor Timur dan Autralia Bagian Utara menjadi
tidak berlaku atau tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat khususnya bagi
Indonesia karena adanya doktrin rebus sic stantibus atau perubahan
keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances)
dalam bentuk suksesi wilayah negara. Secara de facto perjanjian tersebut
akan ditinjau kembali secara bersama antara Indonesia, Australia dan Timor
Timur.



Negara Timor Timur Merdeka tidak secara otomatis menggantikan posisi
Indonesia dalam perjanjian tersebut karena beberapa alasan dan prinsip
dasar Hukum Internasional.