KEHIDUPAN PENGEMIS (Studi Kasus pada Pengemis di Panti Sosial Bina KaryaYogyakarta) SKRIPSI

KEHIDUPAN PENGEMIS

  

(Studi Kasus pada Pengemis di Panti Sosial Bina KaryaYogyakarta)

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Linda Santoso

NIM: 039114050

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

KEHIDUPAN PENGEMIS

  

(Studi Kasus pada Pengemis di Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta)

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Linda Santoso

NIM: 039114050

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

HALAMAN MOTTO

  Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah Firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yer 29 : 11)

  

Dipersembahkan untuk :

Orang - orang terdekat yang selalu ada di hatiku,

Serta bagi Mereka yang dipinggirkan, dilemahkan, dimiskinkan

  

INTISARI

  Berbagai upaya penanganan pengemis di Yogyakarta seperti razia atau penggarukan, penampungan untuk diberi keterampilan, rumah singgah hingga panti sosial yang memberikan pelayanan rehabilitasi sosial belum sebanding dengan laju kompleksitas dan heterogenitas permasalahan pengemis. Suatu kajian penelitian yang mampu memberikan deskripsi secara menyeluruh penting untuk dilakukan sebagai salah satu upaya pemahaman terhadap pengemis itu sendiri.

  Penelitian kualitatif deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan kehidupan pengemis di salah satu panti sosial milik pemerintah Yogyakarta, yaitu Panti Sosial Bina Karya (PSBK). Kehidupan pengemis secara utuh akan dilihat dari latar belakang hidup, motif yang mendasari mengemis, aktivitas dan makna hidup pengemis.

  Subjek penelitian adalah pengemis yang menjadi Warga Binaan Sosial (WBS) di PSBK. Tiga orang WBS yang teridentifikasi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dipilih menjadi subjek penelitian. Pengumpulan data dilakukan selama sebulan dengan teknik wawancara, obervasi dan studi dokumen yang melibatkan pengemis dan seluruh komponen PSBK.

  Hasil penelitian menggambarkan pengemis di PSBK memiliki latar belakang kehidupan yang sangat bervariasi. Motif mengemis, khususnya yang ditemukan di PSBK melalui ketiga subjek penelitian, dapat dibedakan menjadi dua yaitu motif ekonomi dan motif non ekonomi. Motif mengemis dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Aktivitas pengemis di PSBK sepenuhnya mengikuti aktivitas formal PSBK yang memang menjadi fokus pembinaan PSBK (mendidik pengemis dengan mengintervensi aktivitasnya). Di luar jam pembinaan, ketiga subjek dan WBS lain kembali pada pekerjaannya yaitu mengemis atau memulung atau aktivitas lain. Para pengemis kesulitan membangun makna hidupnya (meliputi arti hidup, tujuan hidup dan rencana hidup) secara utuh.

  Beberapa temuan penelitian perlu dikaji lebih lanjut, seperti manipulasi fisik yang dilakukan pengemis, pengelompokkan pengemis berdasarkan motifnya yaitu motif ekonomi dan non ekonomi. Pengkajian dapat meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi motif non ekonomi pengemis, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi pengemis dengan motif teologis. Kata Kunci : pengemis, latar belakang hidup, motif mengemis, aktivitas, makna hidup

  

ABSTRACT

  Every means of beggar management at Yogyakarta such as inspection or dragging, skill training in receiving station, the halting-place till the social rehabilitation house should bring them to the better life. A study which can give a comprehensive description is important to be done as a way to understand the beggars.

  This descriptive-qualitative study aimed to describe beggars life at one of social rehabilitation house belonged to the town government of Yogyakarta that is Panti Sosial Bina Karya (PSBK). The life of beggar will be totally observed from aspects including life background, begging motive, activity and meaning of life.

  The subjects of this study are the beggar who become the Social Educated Member (WBS) at PSBK. Three identified WBS has fullfilled the predetermined requirements of the study. The data collecting done for a month using the interview technic, observation and literature study which involve the beggars and whole PSBK’s component.

  The results of the study describe that the beggars in PSBK have a variated life background. The begging motive, especially which found at PSBK through the subjects, can be divided into two kinds those are economic motive and non economic motive. The motive influenced by variated factors. The whole beggars activities at PSBK follow the PSBK’s formal activities, which indeed become the focus of PSBK (PSBK educates the beggar by treat their activities). Outside the education time, subjects and the other WBS are back to their old work such as begging, collecting the secondhand goods, etc. The beggars have difficulty to build their whole meaning of life (involve their life concept, life mision and life planning).

  Some findings of the study must be followed up such as the physical manipulation and the classification of the beggar based on their motive. The follow up can involve the factors influencing the non economic motive, especially those factors influencing the theological motive of the beggar.

  Keywords: beggar, life background, begging motive, activity, meaning of life

KATA PENGANTAR

  Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Kehidupan Pengemis (Studi

  Kasus pada Pengemis di Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta).

  Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus kepada orang-orang yang telah menginspirasi penulis selama kuliah dan melakukan penelitian ini :

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis.

  3. Ibu Sylvia Carolina MYM, M.Si. dan Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.si. selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia memberikan masukan yang berharga untuk penelitian ini

  4. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pembimbing dan rekan diskusi penulis.

  5. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah membantu penulis selama studi, Matur Nuwun nggih .

  7. Papa tersayang, Hong Hendro Santoso, yang mengajari penulis bagaimana hidup bersahaja dan disiplin.

  8. Mama, Nanik Kusumawati, seorang wanita hebat, yang selalu mengajari penulis arti belas kasih, berjuang tanpa kenal lelah dan menyerah, tekun, dan berpasrah.

  9. dr. Hong Paula da Gomez, S. Ked, Kakak penulis, teladan hidupmu menginspirasiku; David Santoso, adik tercinta penulis, I trust to you

  10. Natanael Rendy G., S.T., yang mendukung&berjuang dengan penulis supaya dapat kuliah psikologi di USD. Terima kasih yang tak terhingga untukmu.

  11. Ir. Fransiskus Budiyasa Winata beserta istri, terima kasih telah mengajari penulis untuk memilih keputusan hidup yang diimpikan.

  12. Keluarga Hadi Susilo, Ir. Ilham Subagio, Agoes Rachmat Santoso, terima kasih atas cinta kasih, teladan, nasehat dan dukungan saat suka&duka.

  13. Keluarga Drs. Sergius K. yang telah banyak menginspirasi penulis. VDA, terimakasih buat semuanya. You are the best! Get our future!

  14. Keluarga Mino dan Cilacap, terima kasih keterbukaan dan kebijaksanaannya.

  15. Pungkas dan Budi, sosok setia kala suka dan duka.

  16. Sahabat-sahabat penulis dari SMUK St. Yoseph Denpasar, Nina, Yohana, Shendy, Alex, Bernike, Novi, Shierly, Julianto, Shindu, Delfi, teman bermain dan berbagi persahabatan.

  17. Dhanny (baik), Diaz, Dee, Ana, Melan... Anak buah yang sering menjahili

  18. Monica Chandra Kristanti, S. Farm., Apt., dan Linawatik, my lovely sisters, bersama kalian, aku merasakan hangatnya keluarga.

  19. Ronny Chandra Kristanto, M. Th., pak pendeta yang menjadi teman berbagi banyak hal kepada penulis. Iwan Setiawan, S. Kom., konsultan komputer penulis sekaligus teman main dan makan bersama… have a nice family 20. Peter Adi Widjaja, my lovely bunny, thanks for your love, caring, support, praying, help, and all jokes that we’ve shared together.

  21. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis.

  Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

  Yogyakarta, Penulis

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL i

  HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii HALAMAN PENGESAHAN iii

  HALAMAN MOTTO iv

  HALAMAN PERSEMBAHAN v

  INTISARI vi ABSTRACT vii KATA PENGANTAR viii

  PERNYATAAN KEASLIAN KARYA xi DAFTAR ISI xii

  DAFTAR TABEL xv

  DAFTAR GAMBAR xvi

  DAFTAR LAMPIRAN xvii

  BAB I. PENDAHULUAN

  1 A.

  1 Latar Belakang B.

  4 Fokus Penelitian C.

  4 Batasan Penelitian D.

  5 Tujuan Penelitian E.

  5 Manfaat Penelitian F.

  5 Keterbatasan Penelitian

  BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

  7 A. Pengemis 7

  1. Pengertian pengemis

  7

  2. Tipologi pengemis

  13

  3. Karakteristik Pengemis

  15 B.

  16 Kehidupan Pengemis

  1. Latar Belakang

  17

  a) Latar Belakang Individu

  17

  b) Latar Belakang Sosial

  19

  2. Motif yang Mendasari untuk Mengemis

  22

  3. Aktivitas

  23

  a) Aktivitas Fisik

  24

  b) Aktivitas Mental

  24

  c) Aktivitas Sosial

  24

  d) Aktivitas Ekonomi

  24

  4. Makna Hidup

  25 C. Kehidupan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta

  25

  1. Latar Belakang

  26

  a) Latar Belakang Individu

  26

  b) Latar Belakang Sosial

  27

  2. Motif yang Mendasari untuk Mengemis

  28 d) Aktivitas Ekonomi

  29

  59 E. Prosedur Penyaluran

  51 B. Prinsip-Prinsip Pelayanan Rehabilitasi Sosial

  53

  1. Prinsip-Prinsip Umum

  53

  2. Prinsip-Prinsip Khusus

  54 C. Prosedur Penerimaan

  55 D. Prosedur Rehabilitasi

  56

  1. Tahap Awal

  56

  2. Tahap Pelaksanaan

  56

  3. Tahap Akhir

  59 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

  51

  60 A. Identitas dan Deskripsi Subjek Penelitian

  60

  1. Identitas Subjek Penelitian

  60

  2. Deskripsi Subjek Penelitian

  60

  a. Subjek 1

  60

  b. Subjek 2

  62

  c. Subjek 3

  63 B. Tahap Pengambilan Data

  65

  1. Observasi Pra Penelitian

  7. Struktur Organisasi

  6. Tugas Pokok

  4. Makna Hidup

  43

  30 D. Kerangka Penelitian

  30 BAB III. METODE PENELITIAN

  35 A. Jenis Penelitian

  35 B. Subjek Penelitian

  36 C. Batasan Istilah

  37 D. Alat Pengumpulan Data

  37

  1. Metode Pengumpulan Data

  37

  2. Format / Panduan

  42

  a) Panduan Wawancara

  42

  b) Format Catatan Lapangan

  c) Panduan Observasi

  50

  44

  3. Pertanggungjawaban Mutu

  45 E. Analisis Data

  46 BAB IV. PANTI SOSIAL BINA KARYA

  49 A. Kelembagaan

  49

  1. Identitas Panti

  49

  2.Pengertian 49

  3.Visi Misi

  49

  4. Tujuan

  50

  5. Sasaran

  65 C. Hasil Penelitian

  74

  1. Pembahasan Hasil Penelitian 113

  e. Makna Hidup 100

  4. Subjek 3 101

  a. Latar Belakang Individu 101

  b. Latar Belakang Sosial 102

  c. Motif yang Mendasari 107

  d. Aktivitas 107

  e. Makna Hidup 112

  D. Diskusi Umum 112

  a. Latar Belakang Individu 119

  d. Aktivitas

  b. Latar Belakang Sosial 123

  c. Motif yang Mendasari 125

  d. Aktivitas 127

  e. Makna Hidup 130

  2. Hal-Hal Baru dalam Penelitian 131

  a. Manipulasi Fisik 131

  b. Tipologi Pengemis 132

  BAB VI. PENUTUP 137 A.

  Kesimpulan 137 B. Saran 137

  97

  96

  1. Budaya PSBK

  85

  74

  2. Subjek 1

  79

  a. Latar Belakang Individu

  79

  b. Latar Belakang Sosial

  82

  c. Motif yang Mendasari

  d. Aktivitas

  c. Motif yang Mendasari

  86

  e. Makna Hidup

  91

  3. Subjek 2

  92

  a. Latar Belakang Individu

  92

  b. Latar Belakang Sosial

  94

  DAFTAR PUSTAKA 141

  DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel I Perbedaan pengemis dengan Gelandangan dan Anak Jalanan ...........12 Tabel II Karakteristik Pengemis dari Aspek Fisik, Psikologis, dan Sosial ......16 Tabel III Daftar Kode dalam Analisis Data.......................................................48 Tabel IV Identitas subjek penelitian ..................................................................60 Tabel V Ringkasan proses pengambilan data...................................................72 Tabel VI Perbandingan Subjek Penelitian .........................................................114

  DAFTAR GAMBAR Halaman

  Gambar 1: Kerangka Penelitian “Kehidupan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya”..............................................................................................34

  Gambar 2: Struktur Organisasi Panti Sosial Bina Karya ………………………52 Gambar 3: Denah kamar subjek AA..........………………………………………61 Gambar 4: Denah kamar subjek D………...…………...……………………….. 63 Gambar 5: Denah kamar subjek J..........................................................................64 Gambar 6: Alur proses pengurusan perijinan penelitian “Kehidupan Pengemis di

  Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta”…….......................…………..67

  

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

  Lampiran 1: Catatan Lapangan.................................................... ……….……..146 Lampiran 2: Hasil Wawancara................................................................……....193 Lampiran 3: Analisis Catatan Lapangan .................................................………412 Lampiran 4: Analisis Hasil Wawancara..................................................………428 Lampiran 5: Analisis Hasil Observasi ....................................................………597 Lampiran 6: Tabel Ringkasan Kehidupan Masing-Masing Subjek .......………698 Lampiran 7: Tabel Ringkasan Analisis Hasil Observasi..................................... 748 Lampiran 8: Bagan Hasil Penelitian....................................................................754 Lampiran 9: Dokumentasi Foto...........................................................................757 Lampiran 10: Dokumen PSBK............................................................................763

  

BAB I

PENDAHULUAN A.

Latar Belakang

”Om...” Hanya satu kata. Bersamaan dengan itu, tangan wanita

setengah baya pengucapnya menjulur ke jendela mobil. Menengadah.

Matanya yang sudah mulai keriput menatap sayu, seolah-olah sekian

hari tak tersentuh makanan. Rambutnya yang tertutup kerudung lusuh

terlihat acak-acakan. Ketika sekeping ratusan diulurkan pengemudi

mobil, kembali satu kata terucap. Sangat lirih. ”.....nggg kasih.” Lalu

berjalan gontai ke mobil lain. Beberapa menit kemudian....

”Om....” Kali ini bocah perempuan berumur kira-kira enam-tujuh

tahun. Tangan kecilnya menjulur. Tatapan matanya tak kalah memelas

dibanding wanita setengah baya sebelumnya. Si pengemudi kembali

menjulurkan keping seratusan rupiah. Tapi kali ini ending-nya berbeda.

”.....nggg kasih.” Si bocah berlari bak kijang menyusup diantara mobil-

mobil yang menunggu lampu merah.

  (Subarkah, 1995) Kisah di atas menggambarkan sekelumit potret kehidupan yang dapat dijumpai dengan mudah di perempatan jalan, emperan toko, pasar, pusat perbelanjaan, di depan tempat peribadatan atau tempat-tempat umum lainnya. “Pengemis”! Sebutan itulah yang lazim diberikan oleh orang kebanyakan bagi kelompok masyarakat seperti digambarkan di atas. Untoro (2005) menjelaskan pengemis sebagai orang yang meminta-minta dengan berharap belas kasihan orang lain. Penjelasan ini dipertajam oleh Dinas Sosial propinsi DIY yang menyatakan pengemis sebagai orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain (“Penyandang Masalah Kesejahteraan”, 2005; Winarno, 2005).

  2 bahwa pengemis merupakan suatu penyakit sosial ataupun kondisi sosial yang sakit dalam masyarakat; suatu kondisi yang sesungguhnya tidak diharapkan keberadaannya. Pengemis juga dipandang sebagai kelompok yang mengalami penyimpangan perilaku dari norma, nilai, dan aturan-aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Pengemis sering dipandang sebagai sampah masyarakat dimana kehadirannya dapat mengganggu keindahan kota atau menyebabkan kesemrawutan, ketidaknyamanan, ketidaktertiban serta kerawanan sosial seperti pencurian, penjambretan, perjudian dan mabuk-mabukan (Adiwirahayu, 1996; Aminatun dan Sujanti, 2005; Salamah, 2004).

  Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) Departemen Sosial RI melaporkan populasi gelandangan dan pengemis di seluruh Indonesia pada tahun 2000, kecuali propinsi Maluku dan Nanggroe aceh Darussalam menurut berjumlah 72.646 orang. Pada tahun 2002 jumlah tersebut meningkat menjadi 85.294 orang (”Standar Pelayanan Minimal”, 2005).

  Fenomena pengemis juga tak lepas dari kehidupan masyarakat Yogyakarta sebagai salah satu propinsi di Indonesia. Pada era delapan puluh hingga sembilan puluhan, salah satu wilayah di Yogyakarta yaitu Dusun Karang Rejek, Desa Karang Tengah, Imogiri, Bantul memiliki stigma sebagai dusun pengemis di Indonesia (Anshoriy, 1987). Dinas Sosial Propinsi DIY mencatat jumlah pengemis di Yogyakarta pada tahun 2003 sebesar 251 orang. Pada tahun 2004 jumlah pengemis menjadi 243 orang (”Data PMKS”, 2005). Yogyakarta sendiri

  3 Beringharjo, emperan toko di Malioboro dan pusat-pusat keramaian lainnya (Aminatun dan Sujanti, 2005; ”Pengamen di Yogyakarta”, 2005).

  Pemerintah maupun masyarakat kota Yogyakarta telah melakukan berbagai upaya dalam menangani masalah pengemis. Hal tersebut dapat berupa razia atau penggarukan, penampungan untuk diberi keterampilan, rumah singgah hingga panti sosial yang memberikan pelayanan rehabilitasi sosial (Cahyono, 2000; ”Mengurus Kaum Marjinal”, 2007; Salamah, 2004). Berbagai upaya penanganan tersebut belum sebanding dengan laju kompleksitas dan heterogenitas permasalahan pengemis.

  Suatu kajian penelitian yang mampu memberikan deskripsi secara menyeluruh atas kehidupan pengemis menjadi penting untuk dilakukan sebagai sebuah upaya pemahaman terhadap pengemis itu sendiri. Pemahaman atas hidup pengemis dari deskripsi yang ada diharapkan mampu menjadi salah satu sumber informasi atas penanganan pengemis yang hendak dilakukan.

  Penelitian dilakukan di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Yogyakarta mengingat PSBK adalah salah satu bentuk nyata usaha pemerintah dalam menangani persoalan pengemis. Panti Sosial Bina Karya yang berada di bawah tanggung jawab Dinas Sosial Propinsi DIY berperan sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dalam melayani dan merehabilitasi para pengemis hingga menjadi sumber daya yang produktif dalam masyarakat. Adanya variabel keterlibatan pemerintah menjadikan penelitian ini bukan hanya bermanfaat bagi

  4 Daerah Prop. DIY sebagai elemen utama dalam penanganan pengemis di Yogyakarta.

  Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini akan memfokuskan untuk mengkaji kehidupan pengemis, dimana di dalamnya terkandung hal-hal seperti latar belakang kehidupan pengemis, motif yang mendasari untuk menjadi mengemis, aktivitas yang dijalani olehnya, dan pemaknaan pengemis terhadap hidupnya.

B. Fokus Penelitian

  Pemaparan latar belakang di atas mendorong penulis untuk mengkaji bagaimana kehidupan pengemis di PSBK Yogyakarta, dengan rincian sebagai berikut : 1.

  Seperti apa latar belakang kehidupan pengemis? 2. Apa motif yang mendasari subjek menjadi pengemis? 3. Apa saja aktivitas yang dilakukan pengemis? 4. Bagaimana pemaknaan pengemis terhadap hidupnya? C.

   Batasan Penelitian

  Penelitian dibatasi hanya pada pengemis yang menjadi warga binaan di PSBK Yogyakarta.

  Kajian penelitian dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan pengemis, motif yang mendasari untuk menjadi pengemis, aktivitas yang dijalani, dan pemaknaan pengemis terhadap hidupnya.

  5

D. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian kualitatif ini untuk memberikan deskripsi mengenai kehidupan pengemis di PSBK Yogyakarta, yang meliputi latar belakang kehidupan, motif yang mendasari untuk menjadi pengemis, aktivitas yang dijalani, dan pemaknaan pengemis terhadap hidupnya.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

  Penelitian ini memberikan wacana tambahan bagi ilmu-ilmu humaniora secara umum dan ilmu psikologi secara khusus, terutama psikologi sosial, psikologi perkembangan, dan psikologi kepribadian mengenai kehidupan pengemis di PSBK.

2. Manfaat praktis

  a. Bagi Pemerintah, khususnya PSBK Yogyakarta dan instansi sosial

  

yang menangani pengemis. PSBK serta instansi lainnya dapat menjadikan

  penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan maupun evaluasi program pembinaan pengemis.

  b. Bagi masyarakat umum. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam perubahan tradisi cara pandang dan perlakuan masyarakat terhadap pengemis yang selama ini cenderung menilai pengemis dalam stigma-stigma tertentu.

F. Keterbatasan Penelitian

  1. Pengemis merupakan fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat

  6

  2. Jangka waktu pengambilan data ideal seharusnya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun peneliti hanya mampu melakukan pengambilan data selama satu bulan.

  3. Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara pada subjek yang memiliki karakteristik khusus, seperti keterbatasan dalam berkomunikasi atau sikap tertutup atas kondisi latar belakang hidupnya tidak dapat dilakukan secara maksimal. Peneliti hanya mampu memaparkan sampai batas-batas tertentu sehingga tidak dapat menjawab pertanyaan penelitian secara optimal.

  4. Studi dokumen tidak dapat dilakukan pada semua subjek karena salah satu dokumen hilang sehingga pihak PSBK tidak dapat menyediakan semua dokumen yang peneliti perlukan.

  5. Hasil penelitian tidak dapat sepenuhnya dikonfirmasi kembali kepada subjek penelitian karena dalam kurun waktu tersebut, subjek telah keluar dari PSBK dan tidak diketahui keberadaannya lebih lanjut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berikut ini adalah tinjauan pustaka yang mendasari penelitian ‘Kehidupan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta’. Tinjauan pustaka ini dibangun dari hasil-hasil penelitian terdahulu serta teori-teori yang ada. A. Pengemis 1. Pengertian Pengemis Pengemis dalam bahasa Inggris – Beggar menunjuk pada orang yang

  menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan uang, makanan, pakaian, obat- obatan dan minuman keras atau barang lainnya dari orang lain di sepanjang jalan yang mereka lalui. (“Begging”, 2005). Berbagai cara yang digunakan pengemis untuk mendapatkan uang, makanan, pakaian, atau barang lainnya antara lain sebagai berikut (“Begging”, 2005) : a. memberi pelayanan, seperti membersihkan kaca mobil atau menyanyikan lagu b. menjual barang tertentu untuk ditukar dengan uang c. menceritakan pengalaman hidup secara berlebihan dengan tujuan menarik belas kasihan orang lain yang mendengarkannya, misalnya bercerita bahwa dirinya sedang mengemban tugas mulia, namun tersesat sehingga tidak dapat pulang ke tempat asalnya d. meminta secara langsung

  8 f. melacurkan diri. Cara ini banyak dilakukan oleh pengemis wanita yang masih berusia muda.

  Berbeda dengan pengertian beggar di atas, pengemis di Indonesia dijelaskan sebagai orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain (“Penyandang Masalah Kesejateraan”, 2005; Winarno, 2005). Pengemis dijelaskan secara spesifik melalui kriteria sebagai berikut (“Definisi dan Kriteria”, 2005) : a.

  Anak sampai usia dewasa (laki-laki atau perempuan) usia 18-59 tahun.

  b.

  Meminta-minta di rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.

  c.

  Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan, berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu atau dengan menggunakan alat seperti tutup botol bekas untuk dijadikan bunyi-bunyian.

  d.

  Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya. Sebagian pengemis memiliki tempat tinggal, sebagian lainnya ada memiliki tempat tinggal tidak tetap.

  Pengemis bersama tuna susila, gelandangan dan bekas narapidana dikategorikan sebagai tuna sosial, yaitu seseorang yang karena faktor-faktor tertentu, tidak atau kurang mampu untuk melaksanakan kehidupan yang layak

  9 sosial merupakan salah satu dari delapan kelompok yang tergolong Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). PMKS adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan karenanya tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan wajar (“Definisi dan Kriteria”, 2005).

  Beggar , yang padanan katanya dalam bahasa Indonesia adalah pengemis

  menunjukkan makna yang berbeda dengan makna pengemis di Indonesia. Beggar adalah orang yang menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan uang, makanan, pakaian, ataupun barang-barang lainnya. Beggar mencakup semua kelompok sosial masyarakat yang bekerja secara informal. Pengamen, pelacur, pedagang asongan dan pekerja-pekerja informal lainnya digolongkan sebagai

  

Beggar . Hal ini berbeda dengan pengertian yang berlaku di Indonesia. Pengemis

  menunjuk secara spesifik pada orang yang meminta-minta (dengan atau tanpa alat). Orang yang mengamen dikelompokkan secara tersendiri sebagai pengamen dan orang yang melacurkan diri dikelompokkan secara tersendiri sebagai pelacur. Di Indonesia, ada kelompok masyarakat yang sering tumpang tindih dengan pengemis, yaitu gelandangan dan anak jalanan yang mana hal ini tidak dijumpai dalam pengertian beggar (di luar Indonesia, khususnya di negara-negara Barat).

1.1 Perbedaan pengemis dengan gelandangan

  10 masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharaian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum (“Penyandang Masalah Kesejahteraan”, 2005; Salamah, 2004; Winarno, 2005). Kriteria gelandangan sebagai berikut (“Definisi dan Kriteria”, 2005) : a. anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat- tempat umum, biasanya di kota-kota besar.

  b.

  Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya.

  c.

  Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas, dll Berdasarkan uraian di atas, pengemis berbeda dengan gelandangan. Hal ini dapat dilihat dari segi keberadaan dimana sebagian pengemis bertempat tinggal tetap, sebagian lainnya tidak tetap; sedangkan gelandangan secara pasti dapat didefinisikan memiliki tempat tinggal yang tidak tetap. Tidak tentunya tempat tinggal para gelandangan membawa konsekuensi logis yaitu lepas dari norma kehidupan masyarakat dan berperilaku kehidupan bebas atau liar. Gelandangan memiliki variasi aktifitas; mereka dapat menjadi pemulung (mengambil sisa makananan atau barang bekas) maupun mengemis, sedangkan pengemis hanya terbatas pada aktifitas meminta-minta.

1.2 Perbedaan pengemis dengan anak jalanan

  11 nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum (“Penyandang Masalah Kesejahteraan”, 2005; Winarno, 2005). Kriteria anak jalanan sebagai berikut (“Definisi dan Kriteria”, 2005) : a. anak (laki-laki / perempuan) usia 5-18 tahun b. melakukan kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan berkeliaran di jalanan atau di tempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu satu bulan, seperti pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanjaan di pasar, dll.

  c.

  Kegiatannya dapat membahayakan dirinya sendiri atau mengganggu ketertiban umum Berdasarkan penjelasan di atas, maka anak jalanan berbeda dengan pengemis. Mereka yang disebut anak jalanan adalah anak dengan usia 5-18 tahun, sedangkan pengemis memiliki rentang usia yang lebih luas yaitu anak hingga orang dewasa (18-59 tahun); dari segi keberadaan, anak jalanan secara pasti tidak memiliki tempat tinggal tetap, menggelandang begitu saja di tempat-tempat umum. Anak jalanan memiliki bentuk kegiatan aktif dalam upaya mencari penghasilan, seperti mengamen, mengelap mobil, mengojek payung, dsb; berbeda halnya dengan pengemis yang hanya bertindak secara pasif, yaitu dengan meminta-minta.

  12

  No Kriteria Pengemis Gelandangan Anak Jalanan

  1 Rentang usia Anak-anak (5- Anak-anak (5-18 Anak-anak (5-18 18 tahun) tahun) hingga tahun) hingga dewasa dewasa (18-59 (18-59 tahun) tahun)

  2 Tempat Sebagian tetap, Tidak tetap Tidak tetap tinggal sebagian tidak tetap

  3 Kehidupan Sebagian Liar (terlepas dari Liar (terlepas dari sosial membaur norma kehidupan norma kehidupan dengan sosial) sosial) penduduk sekitarnya, sebagian lainnya tidak

  4 Aktivitas Meminta-minta Bervariasi : Bervariasi : (dengan atau Mengumpulkan Mengamen, tanpa alat barang bekas atau mengojek payung, bantu) : sisa makanan, mengelap mobil, berpura-pura mengemis/meminta- membawa sakit, merintih, minta belanjaan pasar, membaca ayat dsb. suci, menggunakan alat bantu tutup botol bekas atau bunyi- bunyian lainnya)

  Tabel I. Perbedaan pengemis dengan Gelandangan dan Anak Jalanan

  Berdasarkan pemaparan di atas, pengemis dapat didefinisikan sebagai orang- orang, baik anak-anak maupun orang dewasa, baik yang memiliki tempat tinggal tetap maupun tidak, yang meminta-minta di rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah atau tempat umum lainnya yang tidak jarang disertai dengan tingkah laku merintih, berpura-pura sakit, membacakan doa maupun ayat-ayat suci, atau menggunakan alat seperti

  13

2. Tipologi Pengemis

  Pengklasifikasian pengemis masih minim dilakukan. Hal ini diakui oleh Baha’Uddin dan Gayung Kasuma ketika melakukan penelitian terhadap pengemis pada tahun 2004. Hasil penelitian yang dilakukan Engkus Koswara terhadap pengemis di Bandung membagi pengemis dalam tiga kelompok identitas pengemis, yaitu (“Uniknya Dunia”, 2004) : a. Pengemis berpengalaman adalah pengemis yang telah menetapkan hidupnya untuk selamanya menjadi pengemis. Keputusan ini lebih didasarkan pada masalah kebiasaan atau tradisi yang sudah melekat dalam dirinya. Pengemis jenis ini umumnya masih memiliki peluang untuk memilih alternatif lain, namun hal tersebut sering kali tidak dilakukan.

  b. Pengemis kontemporer adalah pengemis yang mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini atau dalam jangka pendek. Persentase pengemis kontemporer paling besar dibandingkan dengan jenis pengemis lainnya. Pengemis jenis ini tidak memikirkan bagimana pemenuhan kebutuhan hidup untuk hari esok. Engkus Koswara membagi pengemis kontemporer menjadi dua kelompok, yaitu 1) pengemis kontemporer kontinyu

  a) pengemis kontemporer kontinyu tertutup Pengemis jenis ini adalah pengemis yang melakukan kegiatan mengemis karena sulit melihat celah untuk memilih pekerjaan lain, antara lain cacat fisik, tidak

  14 b) pengemis kontemporer kontinyu terbuka

  Pengemis kontemporer kontinyu terbuka masih memiliki celah untuk memilih alternatif lain, namun tidak dimanfaatkannya.

  2) pengemis temporer Pengemis jenis ini adalah kelompok pengemis yang melakukan kegiatan mengemis benar-benar hanya pada saat tertentu atau yang sering disebut sebagai pengemis musiman. Pengemis kelompok ini mengemis di kota-kota besar biasanya pada saat-saat menjelang hari raya atau pada saat masa-masa sulit di musim kemarau. Menurut Engkus, di tempat asalnya pengemis kontemporer temporer ini biasanya bekerja sebagai petani.

  c. Pengemis berencana adalah pengemis yang melakukan kegiatan mengemis sebagai batu loncatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Pengemis kelompok ini biasanya memiliki rencana di masa depan dan kemampuan mengatur keuangan. Pengemis berencana ini biasanya memiliki kemauan untuk menabung. Engkus Koswara menyatakan mereka berharap suatu saat tabungannya akan cukup untuk dijadikan modal usaha seperti membuka warung, namun persentase pengemis golongan ini hanya sebagian kecil.

  Indrawati (2004) membagi pengemis ditinjau dari aspek psikologis ke dalam dua golongan, yaitu pengemis yang menikmati profesinya dan pengemis yang merasa malu atau terpaksa melakukan kegiatan mengemis.

  Pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial, membagi pengemis berdasarkan dua

  15 menggelandang adalah kelompok pengemis yang menjadi sasaran warga binaan panti sosial. (“Standar Pelayanan Minimal”, 2005).

  Tipe pengemis yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah pengemis yang menggelandang. Hal ini dikarenakan subjek penelitian adalah warga binaan Panti Sosial Bina Karya yang memiliki tipologi pengemis menggelandang.

3. Karakteristik Pengemis

  Hasil penelitian Endang Sri Indrawati terhadap 78 Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di jawa Tengah memamparkan bahwa masyarakat Gepeng bersifat heterogen, namun ada sejumlah pola perilaku yang sama sehingga dapat digolongkan menjadi karakteristik umum. Adapun sejumlah karakteristik tersebut antara lain (Indrawati, 2004) :

  16

  Karakteristik Pengemis

  Fisik Psikologis Sosial Berpenampilan kumal, Cenderung suka Sulit diatur dan lusuh, kotor berbohong bekerja sama Kesehatan cenderung Kurang taat beribadah Ikatan kekerabatan kurang terawat baik kurang baik atau lemah

  Gengsinya tinggi Suka mencari kambing hitam Cenderung melempar Suka melempar tanggung jawab tanggung jawab Mudah tersinggung Acuh tak acuh Bila marah, cenderung Penuh prasangka melakukan kekerasan fisik dalam keluarga Merasa tidak berguna, pasrah, nrimo, takut Wawasan sempit

  Over estimate

  kecerdasan cenderung kurang kepribadian cenderung labil cenderung malas, acuh tak acuh Kurang sabar Kurang tekun dalam berusaha Cenderung berpikir negatif Egois

  Tabel II. Karakteristik Pengemis dari Aspek Fisik, Psikologis, dan Sosial B. Kehidupan Pengemis

  Sebagaimana individu pada umumnya, seorang pengemis juga memiliki kehidupan yang terdiri dari latar belakang, motif yang mendasari untuk mengemis, aktivitas yang dijalani, dan makna atas hidupnya.

  17

1. Latar Belakang

  Latar belakang hidup pengemis menunjuk pada gambaran atas kondisi-kondisi yang ada pada diri pengemis baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Secara garis besar, latar belakang hidup pengemis dapat dibagi menjadi dua, yaitu latar belakang hidup pengemis selaku individu dan latar belakang sosial pengemis.

  a.

  Latar Belakang Individu. Hartono dan Aziz (1990) menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk biologis sekaligus merupakan individu yang memiliki kejiwaan dimana potensi-potensi yang ada di dalamnya harus dikembangkan. Berdasarkan pemikiran ini, maka latar belakang individu ini dapat dibagi menjadi latar belakang fisik dan mental.

  1) Fisik. Latar belakang fisik merupakan penjelasan atas individu sebagai makhluk biologis. Secara fisik, sebagian pengemis ada yang mengalami kecacatan, seperti buta, sumbing, pincang, lepra, ayan, gatal-gatal pada kulit dan sebagainya; Sebagian lain pengemis memiliki badan yang sehat, fisik yang sempurna (Adiwirahayu, 1996; Anshoriy, 1987, Winarno, 2005). Terlepas dari sehat atau tidaknya pengemis, sebagian besar dari mereka cenderung tidak merawat kesehatan dengan baik (Indrawati, 2004). Pengemis sering menampilkan diri sedemikian rupa agar orang menaruh belas kasihan padanya. Berbagai cara dilakukan seperti berpakaian compang-camping, membuat badan tampak dekil (kumal), rambut gembel, berbau busuk atau apek karena disengaja tidak mandi

  18 pengemis pada Dusun Karang Rejek, Desa Karang Tengah, Imogiri, Bantul supaya memancing belas kasihan orang lain. Pengemis memoleskan tape yang sudah dibusukkan pada kaki bayi yang digendongnya supaya menimbulkan kesan bahwa bayi tersebut terkena penyakit kulit yang sangat parah. Olesan tape busuk akan memancing lalat untuk berkerumun. Teknik lain adalah dengan memolesi mata dengan jenis daun tertentu sehingga membuatnya seperti buta. Cara lain yang agak konvensional adalah dengan menekuk kaki sedemikian rupa supaya terlihat pincang (Anshoriy, 1987).

  2) Mental. Aspek mental merupakan kondisi psikis yang ada dalam diri pengemis.

  Kecerdasan pengemis cenderung kurang (Indrawati, 2004). Perkembangan kognitif pengemis semakin terhambat dengan faktor pendidikan yang rendah.

  Pengemis tidak memiliki keterampilan dan wawasan yang luas (Adiwirahayu, 1996; Cahyono, 2000; Indrawati, 2004). Penelitian Anshoriy (1987) terhadap pengemis Dusun Karang Rejek, Desa Karang Tengah, Imogiri, Bantul menunjukkan 96% penduduk Karang Rejek buta huruf; 36,71% sama sekali tidak menyentuh bangku Sekolah Dasar; sebagian lainnya, rata-rata hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SD. Rendahnya tingkat pendidikan pengemis disebabkan oleh masalah biaya yang tidak mencukupi dan kurangnya kesadaran akan arti penting pendidikan dalam diri pengemis itu sendiri (Anshoriy,1987).

  Penelitian Indrawati (2004) terhadap 78 gelandangan dan pengemis di Jawa

  19 mereka cenderung negatif. Mereka rendah diri, kurang percaya diri, merasa tidak berharga, tidak berguna, tidak dikenal, serta acuh tak acuh. Kartono (1981) menyatakan masyarakat pengemis banyak yang mengidap kekalutan mental (mental disorder). Pengemis juga kurang mengembangkan motivasi diri khususnya motivasi dalam bekerja. Pengemis malas bekerja dengan menggunakan tenaga dan pikirannya (Winarno, 2005).

  Dalam aspek religiusitas-ketaatan seseorang untuk melaksanakan agama yang merupakan perasaan dan pengakuannya terhadap kekuatan tertinggi secara total- pengemis kurang taat beribadah (Setianingsih, 2003). Pengemis tidak memiliki pandangan hidup yang religius. Pendalaman agama yang kurang ini menyebabkan pengemis kurang memiliki ketahanan terhadap stress (Indrawati, 2004; Setianingsih, 2003).

  b.

  Latar Belakang Sosial. Individu tidak mampu berdiri sendiri, melainkan hidup dalam suatu hubungan antar manusia. Manusia dalam hidupnya harus selalu mengadakan kontak dengan manusia lain (Hartono dan Aziz, 1990). Demikian halnya pada pengemis, ia tidak mampu berdiri sendiri dan harus selalu mengadakan kontak dengan manusia lain dalam kehidupan sosial. Latar belakang sosial kehidupan pengemis merupakan kehidupan sosial yang terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, dan masyarakat.

  1) Keluarga. Keluarga merupakan satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi

  20 seseorang, dan kontrol sosial (Goode, 1983 dalam Soelaeman, 1989:56). Penelitian Indrawati (2004) terhadap 78 gelandangan dan pengemis di Jawa Tengah mengungkap bahwa secara fungsi pengaturan seks dan reproduksi, pengemis ada yang berasal dari pasangan resmi, namun ada juga yang terbentuk secara tidak resmi (kumpul kebo). Perilaku berganti-ganti pasangan dan seks bebas adalah hal yang biasa di temui dalam latar belakang keluarga pengemis.

  Fungsi sosialisasi, penempatan dalam masyarakat dan kontrol sosial dari keluarga pengemis menunjukkan adanya penurunan nilai perilaku berganti-ganti pasangan serta kurang pentingnya pendidikan. Pengemis yang memiliki orang tua pengemis, nilai-nilai untuk berperilaku mengemis diturunkan secara langsung maupun tidak langsung. Tingkat ekonomi keluarga pengemis relatif rendah. Mereka umumnya berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah (”Standar Pelayanan Minimal”, 2005). Tingkat sosial ekonomi yang rendah ini sering menjadi penghambat fungsi pemeliharaan dan tercapainya kepuasan pengemis akan kebutuhannya.

  Pengemis sering memiliki konflik dalam keluarga seperti broken home, kekerasan yang meliputi pertengkaran, perkelahian, penganiayaan hingga pengalaman trauma di masa lalu (Aminatun dan Sujanti, 2005; Cahyono, 2000)

  2) Lembaga. Lembaga diartikan sebagai norma-norma yang berintegrasi pada fungsi masyarakat. Sebuah lembaga mengandung aspek kultural dan struktural. Aspek kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai. Aspek struktural

  21 3) Komunitas. Komunitas merupakan satuan kebersamaan hidup sejumlah orang banyak yang memiliki ciri-ciri (Soelaeman,1989:67) : a) teritorialitas yang terbatas

  b) keorganisasian tata kehidupan bersama c) berlakunya nilai-nilai dan orientasi nilai yang kolektif.

  Pengemis memiliki komunitas di jalanan dengan pola hidup yang bebas dan sesukanya, seperti tidur di sembarang tempat. Hal ini menyebabkan komunitas pengemis terpisah dari kehidupan masyarakat pada umumnya (Cahyono, 2000). 4) Masyarakat . Masyarakat merupakan satuan lingkungan sosial yang bersifat makro. Aspek teritorial kurang ditekankan, namun aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar (Soelaeman,1989:67). Dalam kehidupan bermasyarakat, pengemis sering dinilai berperilaku non-normatif (Indrawati, 2004). Pengemis merupakan bagian dalam masyarakat yang dipandang sebagai sampah masyarakat, pihak yang mengotori atau merusak pemandangan dan tidak produktif.

  Berdasarkan pemaparan di atas, latar belakang pengemis dapat dipandang sebagai satu kesatuan utuh antara latar belakang individu dan latar belakang sosialnya. Perpaduan kedua hal ini membentuk identitas yang unik sekaligus kompleks dalam diri seorang pengemis. Pengemis membentuk identitas yang unik karena keberadaannya bukan hanya identitas pribadi, tetapi juga menjadi sebuah identitas sosial. Identitas pengemis juga menjadi kompleks karena pertemuan

  22