Trias Eka Nurlela BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Terapi Intravena 1. Pengertian Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan

  dengan cara memasukkan cairan melalui intravena dengan bantuan infus set yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh (Tamsuri,2008). Pemasangan infuse adalah tindakan pemasangan kateter intravena pada vena tertentu untuk memberikan terapi intravena. Terapi intravena digunakan untuk mengoreksi berbagai kondisi pasien, terutama dalam hal pemasukan peroral tidak adekuat, ketidakseimbangan elektrolit, kurangnya nutrient tubuh, untuk medikasi secara IV dan untuk memasukkan produk darah (Craven &Hirnle, 2000).

  Selain itu terapi intravena diberikan untuk memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada penyakit akut dan kronis dan juga digunakan untuk pemberian obat intravena (Potter dan Perry, 2005).

2. Tujuan Terapi Intravena

  Tujuan utama terapi intravena diberikan pada pasien menurut Sugiarto (2006) adalah: a. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.

  

11 b. Memberikan obat-obatan dan kernoterapi.

  c. Transfusi darah dan produk darah.

  d. Memberikan nutrisi parenteral dan suptemen nutrisi.

3. Indikasi Terapi Intravena

  Selain untuk pemberian cairan, pemasangan intravena juga berfungsi untuk pemberian obat IV dengan indikasi yaitu: a. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya, pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit rnemberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dan segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan. dan lamanya perawatan.

  b. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalarn sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap rnelalui jalur gastrointestinal di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.

  c. Pasien tidak dapat minum obat karena rnuntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertirnbangkan pemberian rnelalui jalur lain sepe rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).

  d. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak atau obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.

  e. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik atau vena).

  Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes melitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus atau suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavailabilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.

  Dari uraian di atas dapat diketahui hahwa pemberian atau pemasangan terapi intravena harus sesuai indikasi pada keadaan-keadaan tertentu dan berfungsi untuk pemberian obat intravena. Secara garis besar, Sugiarto (2006) menyimpulkan bahwa indikasi pemasangan terapi intravena, yaitu:

  1) Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).

  2) Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.

  3) Pemberian kantong darah dan produk darah. 4) Pemberian obat yang terus-menerus (continiu). 5) Upaya profilaksis (tindakan pencegahan sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat).

  6) Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya resiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba). sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

4. Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena

  a. Keuntungan Menurut Sugiarto (2006), terapi intravena mempunyai keuntungan sebagai berikut :

  1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat.

  2) Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan.

  3) Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi.

  4) Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari.

  5) Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidak stabilan dalam traktus gastrointestinalis.

  b. Kerugian Sugiarto (2006) mengatakan hahwa terapi intravena mempunyai kerugian sebagai berikut:

  1. Tidak bisa dilakukan “drug recall” dan rnengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi.

  2. Kontrol pemberian yang tidak baik bisa rnenyebabkan “speed shock”.

  3. Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vaskular seperti flebitis mekanik dan kimia, inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terapi intravena

  a. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sisi Penusukan Vena Menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) ada beherapa faktor yang mempengaruhi pemilihan sisi penusukan vena, yaitu:

  1) Umur pasien; misalnya pada anak kecil. pemilihan sisi adalah sangat penting dan mempengaruhi berapa larna IV perifer berakhir.

  2) Prosedur yang diantisipasi; misalnya jika pasien harus menerirna jenis terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan. pilih sisi yang tidak terpengaruhi apapun. 3) Aktivitas pasien; misalnya gelisah, bergerak. tak bergerak dan perubahan tingkat kesadaran.

  4) Terapi IV sebelumnya; flebitis sebelumnya membuat vena tidak baik untuk digunakan. Kemoterapi juga dapat membuat vena menjadi buruk (mudah pecah). 5) Sakit sebelumnya, misalnya jangan digunakan ekstrimitas yang sakit pada pasien stroke.

  6) Kesukaan pasien; jika mungkin pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk sebelah kiri atau kanan.

  7) Torniquet; gunakan 4 sampai 6 cm di atas titik yang diinginkan. 8) Membentuk genggaman; minta pasien membuka dan menutup genggaman berulang-ulang.

  9) Posisi tergantung; gantung lengan pada posisi menggantun (rnisalnya di bawah batas jantung).

  b. Pemilihan Kanula untuk Infus Perifer Menurut Prajitno dalam Sugiarto (2006), pemilihan kanul dapat mempengaruhi terapi infus perifer, antara lain:

  1) Kanula plastik boleh digunakan untuk IV secara rutin, pemasangan tidak boleh Iebih dan 48-72 jam.

  2) Kanula logam digunakan bila kanula plastik tidak mungkin diganti secara rutin setiap 48-72 jam, namun untuk kasus tertentu yang memelihara fiksasi yang baik harus digunakan kanula plastik.

  c. Pemilihan Lokasi Pemasangan IV Pemilihan lokasi pemasangan infus menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) adalah :

  1) Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada lengan atas dan pada lengan bawah, bila perlu pemasangan dilakukan di daerah sub klavikula atau jugularis. 2) Vena tangan paling sering digunakan untuk terapi IV yang rutin. 3) Vena lengan, periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat 4) Vena lengan atas, juga digunakan untuk terapi IV. 5) Vena ekstremitas bawah, digunakan hanya menurut kebijaksanaan institusi.

  6) Vena kepala, digunakan sesuai kebija institusi, sering dipilih pada bayi dan anak.

  d. Persiapan Psikologis pada Pasien Persiapan psikologis pada pasien juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemasangan intravena (Sharon dalarn Sugiarto, 2006), yaitu:

  1. Jelaskan prosedur sebelum melakukan dan berikan penyuluhan jika diperlukan.

  2. Berikan instruksi tentang perawatan dan keamanan IV.

  3. Gunakan terapi bermain untuk anak kecil.

  4. Dorong pasien untuk mengajukan pernyataan atau masalah.

  e. Persiapan Pemasangan IV Adapun persiapan pemasangan IV menurut Prajitno dalam Sugiarlo (2006) adalah:

  1) Tempat yang akan dipasang kanula terdahulu didesinfeksi dengan antiseptik.

  2) Gunakan Yodium Tinture 1-2 % atau dapat juga menggunakan Klorheksidine, lodofer atau alkohol 70 %. Antiseptik secukupnya dan ditunggu sampai kering minimal 30 detik sebelum dilakukan pemasangan kanula. 3) Jangan menggunakan heksalurofen atau campuran semacam benzalkonium dalam air untuk desinfeksi tempat tusukan.

  f. Prosedur Pemasangan Infus Prosedur pemasangan terapi intravena menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) adalah:

  1) Lakukan pemilihan sisi dan pakai sarung tangan. 2) Pasang tourniquet di atas sisi pemasangan untuk meningkatkan pengisian vena yang lebih baik (jika aliran arteri tidak teraba dapat disebabkan karena tourniquet terlalu ketat). 3) Siapkan kulit sesuai kebijaksanaan institusi yang diterima.

  4) Pastikan kelengkapan produk misalnya jarum, kateter atau starter pack. 5) Tusukkan alat infus ke kulit, sisi potongan jarum ke arah atas dengan sudut kira kira 45 derajat terhadap kulit. Turunkan batang jarum sarnpai menjadi sejajar dengan kulit dan dorong jarum sarnpai vena tertembus. Aliran balik darah umumnya memastikan masuk kedalam vena. 6) Dengan perlahan angkat keseluruhan batang dan dorong ke dalam vena. 7) Untuk kateter ketika jarum introdukter, dorong kateter plastik melewati jarum ke dalam pembuluh sementara jarum tidak bergerak. Cabut jarum introdukter, patahkan, dan buang ke tempat yang aman. setelah mernastikan bahwa darah mengalir.

  8) Hubungkan set pemberian dan tentukan kecepatan aliran yang diinginkan.

  9) Fiksasi jarum atau kateter. 10) Adalah sangat membantu untuk memberi label pada sisi IV dengan tanggal dan ukuran alat yang digunakan dalam upaya untuk mempermudah keputusan mengenai infus atau darah.

  g. Prosedur Setelah Pemasangan Prosedur setelah pemasangan IV line menurut Prajitno dalarn Sugiarto (2006) yaitu:

  1. Beri antiseptik pada tempat pemasangan terutama pada teknik insisi.

  2. Kanula difiksasi sebaik-baiknya.

  3. Tutuplah dengan kasa steril.

  4. Cantumkan tanggal pemasangan di tempat yang rnudah dibaca (misalnya plester, penutup pipa infus) serta pada catatan pasien yang bersangkutan tuliskan tanggal dan lokasi pemasangan.

  h. Perawatan Tempat Pemasangan Infus Adapun cara perawatan tempat pernasangan IV line menurut Prajitno dalarn Sugiarto (2006) adalah :

  1) Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya komplikasi tanpa membuka kasa penutup yaitu dengan cara meraba daerah vena tersebut, Bila ada demarn yang tidak bisa dijelaskan dan ada nyeri tekan pada daerah penusukan, barulah kasa penutup dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi. 2) Cek setiap 8 jam apakah ada tanda-tan flebitis atau infeksi. 3) Pindahkan pemasangan IV line setiap 72 jam untuk mengurangi resiko flebitis atau infeksi lokal.

  4) Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama, maka setiap 48-72 jam kasa penutup harus diganti dengan yang baru dan steril.

  5) Bila pada pemasangan kanula, tempat pemasangan diberi antiseptik maka setiap penggantian kasa penutup, tempat pemasangan diberi antise kembali. i. Penyulit Terapi Intra Vena

  Terapi intravena dapat menyebabkan beberapa penyulit yang ringan dan dapat menyebabkan kerusakan vena sampai yang fatal sehingga dapat menyebabkan kematian. Adapun gangguan yang dapat terjadi pada saat terapi intravena seperti flebitis tromboflebitis, purulenta, bakteri (Prajitno dalam Sugiarto, 2006).

  Selain penyakit, ada beherapa hal yang perlu diperhatikan pada pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena. Pemasangan jalur intravena memiliki kontraindikasi sebagai berikut:

  1) Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

  2) Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). 3) Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki). j. Komplikasi Pemasangan Infus

  Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan terapi IV menurut Sugiarto (2006), yaitu: 1) Flematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada daerah yang sama.

  2) Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pernbuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. 3) Flebitis, tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pernbuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.

  4) Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah. terjadi akibat masuknya udara yang ada dalarn cairan infus ke dalam pembuluh darah. 5) Ekstravasasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan ekstrasel.

B. Phlebitis 1. Pengertian

  Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002).

  Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut.

2. Klasifikasi Phlebitis

  Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post infus (INS, 2006).

  a.

   Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia)

  Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter yang digunakan.

  PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik.

  Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H20 (Sylvia, 1991). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280

  • – 310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006). Menurut Imam Subekti vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding.

  Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006).

  Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya phlebitis.

  Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut. (Darmawan, 2008) b.

   Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik)

  Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease

  Control and Prevention , 2002) c. Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)

  Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri. Berdasarkan laporan dari The Centers for

  

Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel

intravaskuler catheter

  • – related infection in adult and pediatric kuman

  6

  14 E coli

  3 Candida species

  4

  4 K pneumoniae

  4

  5 P aeruginosa

  5

  2 Enterobacter

  yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat. Tabel 2.1

  19

  8 Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor

  13 Gram-negatif rods

  8

  13 Enterococcus

  16

  37 S Aureus

  27

  Coagulase-negatif Staphylococcus

  Kuman pathogen yang sering ditemukan di aliran darah Pathogen 1986 - 1989 1992 - 1999

  8

  • – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain : 1) Tehnik cuci tangan yang tidak baik. 2) Tehnik aseptik yang kurang pada saat penusukan. 3) Tehnik pemasangan katheter yang buruk. 4) Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002) d.

Post Infus Phlebitis

  Phlebitis post infus juga sering di laporkan kejadiannya sebagai akibat pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah peradangan pada vena yang didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan dengan kejadian phlebitis post infus, antara lain :

  1) Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik. 2) Pada pasien dengan retardasi mental. 3) Kondisi vena yang baik. 4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam. 5) Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.

3. Diagnosa dan Pengenalan tanda Phlebitis

  Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian phlebitis, yaitu:

Tabel 2.2 VIP Score (Visual Infusion Phleitis Score) oleh andrew jacson, dalam PPI 2014)

  SKOR KEADAAN AREA PENUSUKAN PENILAIAN Tempat suntikan tampak sehat Tidak ada tanda phlebitis

  1 Salah satu dari berikut jelas Mungkin tanda dini

  a. Nyeri area penusukkan phlebitis

  b. Adanya eritema di area penusukkan

  2 Dua dari berikut jelas ; Stadium dini phlebitis

  a. Nyeri area penusukkan

  b. Eritema

  c. Pembengkakan

  3 Semua dari berikut jelas; Stadium moderat phlebitis

  a. Nyeri sepanjang kanul

  b. Eritema

  c. Indurasi

  4 Semua dari berikut jelas; Stadium lanjut atau awal

  a. Nyeri sepanjang kanul thrombophlebitis

  b. Eritema

  c. Indurasi

  d. Venous chord teraba

  5 Semua dari berikut jelas;

  a. Nyeri sepanjang kanul

  b. Eritema

  c. Indurasi

  d. Venous chord teraba

  e. Demam Stadium lanjut thrombophlebitis

  (INS, 2006 dalam PPI 2014) 4.

   Tindakan Pencegahan Phlebitis

  Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor

  • – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain ;

  a. Mencegah phlebitis bakterial Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Untuk pemilihan larutan antisepsis, CDC merekomendasikan penggunaan chlorhexedine 2 %, akan tetapi penggunaan tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan.

  b. Selalu waspada dan tindakan aseptic Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai jalan pmberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah) merupakan jala masuk kuman.

  c. Rotasi katheter May dkk (2005) melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral

  Nutrition (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas phlebitis.

  Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru – baru ini oleh webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72

  • – 96 jam untuk membatasi potensi infeksi.

  d. Antiseptic dressing

  INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang trnsparan sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam.

  e. Kecepatan pemberian Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah resiko phlebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam. Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

  f. Titrable acidity Titrable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable aciditys sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko phlebitisnya.

  g. Heparin dan hidrokortison Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter.

  Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium, klorida, lidocain, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yang diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukkan endapan kalsium.

C. Respon Nyeri 1. Pengertian Nyeri

  The International Association for the study of pain (1979) dalam Koizer (2000) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti kerusakan.

  Pengertian nyeri lainnya adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh stimulus spesifik seperti mekanik, termal, kimia, atau elektrik pada ujung ujung saraf serta tidak dapat diserahkan kepada orang lain menurut summer (1985) dalam Meliala (2004).

  Nyeri bersifat subyektif,serta hanya pasien yang dapat merasakan adanya nyeri nyeri.Perawat dapat mengetahui adanya dari keluhan pasien dan tanda-tanda umum atau respon fisiologi pasien tubuh terhadap nyeri.keluhan dan respon tubuh terhadap nyeri adalah: pasien tampak meringis kesakitan, nadi naik, berkeringat, nafas cepat, pucat, berteriak, menangis, tekanan darah naik (Aziz,2006).

  2. Klasifikasi Nyeri

  a. Nyeri akut yang berlangsung tidak melebihi 6 bulan, serangan mendadak dari sebab yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi yeri.

  b. Nyeri kronis,nyeri yang berlangsung 6 bulan atau lebih,sumber nyeri tidak diketahui dan tidak bisa ditemukan lokasinya.Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu nyeri menetap (Aziz,2006). Karakteristik nyeri menurut Aziz (2006):

  1) Pada nyeri akut dan kronis karakteristik nyeri meliputi:pengalaman sumber, serangan, waktu, pernyataan nyeri, gejala klinis, pola dan perjalanan. 2) Pada nyeri somatik dan nyeri viseral karakteristik nyeri meliputi: menjalar, stimulasi reaksi otonom, dan reaksi kontraksi otot.

  3. Fisiologis Nyeri

  Menurut Meliala (2004) proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi tiga:

  a. : Proses stimulasi singkat Jenis I

  Proses terjadinya nyeri disini sederhana, yaitu: stimulus mengenai reseptor dan reseptor mengeluarkan potensial aksi yang dijalarkan kekornu dorsalis, kemudian diteruskan ke otak sehingga timbul persepsi nyeri.Ciri khas ini adalah adanya korelasi yang erat antara kekuatan stimuli yang dapat diukur dari discharge yang dijalarkan nosiseptor dengan persepsi nyeri atau ekspresi subyektif nyeri. Contoh : Pukulan, cutan, dan aliran listrik yang mengenai jaringan tubuh tertentu akan menyebabkan timbulnya persepsi nyeri bila stimulus tidak begitu kuat dan tidak menimbulkan lesi maka timbulnya persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu singkat.

  b. : Proses stimulasi yang berkepanjangan, yang Jenis II

  menyebabkan lesi atau inflamasi jaringan Nyeri inflamasi mengenai jaringan cukup kuat dan menyebabkan fungsi berbagai komponen sistem nosiseptor berubah.Sehingga inflamasi dapat dikatakan penyebab utama nyeri akut atau kronis dan penyakit pada : faringitis, appendisitis, arthritis, artikularis dan otot. Inflamasi merupakan proses reaksi proteksi dari jaringan untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat, akibat dari trauma maupun infeksi. Ciri khas dari inflamasi ialah : rubor, kalor, tumor, dolor, dan fungsiolaesa.

  c. : Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.

   Jenis III

  Lesi saraf tepi maupun sentral pada umumnya berakibat hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf yang sering disebut sebagai gejala negatif, pada umumnya terjadi pada pasien neuropatia diabetikum, atau lesi saraf sentral seperti pada pasien stroke akan menunjukkan gejala positip yang berupa disestesia, parestesia atau nyeri. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf. Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang memfleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunsn saraf pusat (cortex cerebri).

  1) Proses Transduksi Proses dimana stimulus noksius diubah ke implus elektrikal pada ujung syaraf suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum, paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana

  prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari

  reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri.

  Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer (Turk & Flor, 1999). 2) Proses Transmisi

  Proses penyaluran implus melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana implus tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalaicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps

  

interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.

  Selanjtnya implus disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortec cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Davis, 2003).

  3) Proses Modulasi Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusun saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses

  

ascenden yang dikontrol oleh otak. Hal inilah yang menyebabkan

persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang (Turk & Flor, 1999).

  4) Persepsi Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik (Turk & Flor, 1999).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

  Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri.

  a. Usia Menurut Potter & Perry (2005) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua dan perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri,2007) b. Jenis kelamin

  Laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekpresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk. (1989) dalam Potter & Perry (2005) mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.

  c. Kecemasan Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stress praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2001) 5.

   Pengukuran Intensitas Nyeri

  Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama di rasakan sangat berbeda. Pengukuran nyeri yang paling objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dalam teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

  Skala penilaian numerik (Numerial Rating Scale) adalah yang paling efektif (Potter & Perry, 2005). Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 poin (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Pengukuran tingkat nyeri dapat dilakukan dengan wawancara tentang nyeri pada pasien. Perawat bertanya pada pasien tentang bagaimana nyeri dirasakan dengan bantuan Skala Bourbonais.

  Intensitas nyeri dapat dapat diukur menggunakan alat yang berupa Verbal Discriptor Scale (VDS) dan Numerical rating scales (NRS), Visual analog scale (VAS).

a. Verbal Descriptor Scale (VDS)

  Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. VDS memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri .

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8

  9

  10 Tidak ada nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri berat tidak terkontrol

Gambar 2.1. Verbal Descriptor Scale (VDS) b.

   Numerical rating scales (NRS)

  Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8

  9

  10 Gambar. 2.2 Numerical rating scales (NRS) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Li, Liu & Herr (2007) dengan membandingkan empat skala nyeri yaitu Numeric Rating Scale (NRS), Face Pain Scale Revised (FPS-R), Verbal Descriptor Scale (VDS), dan Visual Analog Scale (VAS) pada pasien pasca bedah menunjukkan bahwa keempat skala nyeri menunjukkan validitas dan reabilitas yang baik. Uji reabilitas menggunakan Intraclass correlation

  coefficients (ICCs) dan keempat skala nyeri ini menunjukkan konsistensi

  penilaian pasca bedah setiap harinya (0,673 - 0,825) dan mempunyai hubungan kekuatan (r = 0,71-0,99).

c. Visual Analog Scale (VAS)

  Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

  Keandalan VAS ini telah dibuktikan oleh Intraclass korelasi

  koefisien (ICCs) dengan 95% confidence interval (95% CIS) dan Bland-

  Altman analisis yang digunakan untuk menilai keandalan diperoleh pasangan pengukuran VAS 1 menit terpisah setiap 30 menit selama dua jam. Hasil yang diperoleh dari ringkasan ICC untuk semua pasangan

  VAS skor adalah 0,97 [95% CI = 0,96-0,98]. Hal tersebut menunjukan bahwa VAS cukup handal digunakan untuk menilai nyeri.

  Tidak Nyeri Nyeri Sangat

Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)

  Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

D. Lidah Buaya (Aloe Vera) 1. Pengertian

  Lidah buaya (Aloe vera atau Aloe barbadensis Miller) sinonim dengan

  Aloe barbandenis Mill atau Aloe vulgaris. Tanaman ini merupakan family dari

  Liliaceae. Nama lainnya adalah crocodiles tongoes (Inggris), Jadam (Malaysia), Salvila (Spanyol), dan Lu hui (Cina). Lidah buaya merupakan sejenis tumbuhan yang sudah dikenal sejak ribuan tahun silam dan digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka, dan perawatan kulit. Tumbuhan ini dapat ditemukan dengan mudah di kawasan kering di Afrika.

  Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan tanaman lidah buaya berkembang sebagai bahan baku industri farmasi, serta sebagai bahan makanan dan minuman kesehatan. Secara umum, lidah buaya merupakan satu dari 10 jenis tanaman terlaris di dunia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan (Agoes, 2010 dalam Sari 2013)

  Lidah buaya (Aloe vera) merupakan tumbuhan berbatang pendek yang tidak terlihat karena tertutup oleh daun – daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Melalui batang inilah muncul tunas

  • – tunas yang selanjutnya akan menjadi tanaman anak. Aloe vera yang bertangkai panjang juga muncul dari batang melalui celah
  • – celah atau ketiak daun. Batang ini dapat distek untuk perbanyakan tanaman. Peremajaan tanaman ini dilakukan dengan memangkas habis daun dan batangnya, kemudian dari sisa tunggal batang ini, akan muncul tunas – tunas baru (Agoes, 2010 dalam Sari 2010).

  Tanaman lidah buaya dikenal sebagai bahan obat tradisional. Khasiat yang tersimpan dari lidah buaya untuk pembersih darah, penurun panas, obat wasir, batuk rejan dan mempercepat penyembuhan luka. Sejumlah nutrisi yang bermanfaat terkandung di dalam lidah buaya, berupa bahan organik dan anorganik, diantaranya vitamin, mineral dan beberapa asam amino, serta enzim yang diperlukan tubuh. Pemanfaatan lidah buaya dapat berfungsi sebagai antiinflamasi, antijamur, antibakteri dan regenerasi sel, untuk mengontrol tekanan darah, menstimulasi kekebalan tubuh terhadap serangan kanker, serta dapat digunakan sebagai nutrisi pendukung bagi penderita HIV. Penggunaan dapat berupa gel dalam bentuk segar atau dalam bentuk jadi seperi kapsul, jus, makanan, dan minuman kesehatan (Fredy, 2010) 2.

   Kandungan

  Menurut seorang pengamat makanan kesehatan (suplemen), fredy (2010) dari sekitar 200 jenis tanaman lidah buaya, yang baik digunakan untuk pngobatan adalah jenis Aloe vera Barbadensis miller. Lidah buaya jenis ini mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Di antarake-72 zat yang dibutuhkan tubuh itu terdapat 18 macam asam amino, karbohidrat, lemak, air, vitamin, mineral, enzim, hormon, dan zat golongan obat. Antara lain antibiotok, antiseptik, antibakteri, antikanker, antivirus, antijamur, antiinfeksi, antiperadangan, anti pembengkakan, antiparkinson, antiaterosklerosis, serta antivirus yang resisten terhadap antibiotik.

  Tanaman lidah buaya kaya akan kandungan zat-zat seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan antara lain aloin, barbaloin, isobarbaloin, aloe emodin, aleonin dan aloesin.

Tabel 2.3 Kandungan zat aktif lidah buaya (Aloe vera) yang sudah teridentifikasi

  Zat aktif Kegunaan Lignin Mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi sehingga memudahkan peresapan gel kedalam kulit atau mukosa

  Saponin Membersihkan dan bersifat antiseptik, serta bahan pencuci yang baik Kompleks Sebagai bahan laksatif, penghilang rasa sakit, mengurangi Anthraguinone racun, sebagai antibakteri, antibiotik. Acemannan Sebagai antivirus, antibakteri, antijamur dan dapat menghancurkan sel tumor, serta meningkatkan daya tahan tubuh. Enzim Mengurangi inflamasi, antialergi dan dapat mengurangi bradykinese, rasa sakit karbiksipeptidase Glukomannan, Memberikan efek imonomudalasi mukopulypeptidase

  Tenin, aloctin A Sebagai anti inflamasi Salisilat Menghilangkan rasa sakit, dan antiinflamasi Asam amino Bahan untuk pertumbuhan dan perbaikan serta sebagai sumber energi. Aloe vera menyediakan 20 asam amino dari 22 AA yang dibutuhkan tubuh. Mineral Memberikan ketahanan tubuh terhadap penyakit, dan berinteraksi dengan vitamin untuk fungsi tubuh.

  Vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, E, asam folat.

  Bahan penting untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal dan sehat. (Setiani, 2005).