[contoh] KASUS SUAP KEPABEANAN BEA CUKAI INDONESIA

(1)

MAKALAH TANGGUNG JAWAB DAN ETIKA BISNIS PERUSAHAAN

KASUS SUAP

KEPABEANAN BEA CUKAI INDONESIA

OLEH:

Ayu Eka Rakhmawati, 0606082226 Meiti Sulistika, 0606082895 Rizki Malinda I.P, 0606083185

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA


(2)

Statement of Authorship

“Saya/kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas yang terlampir adalah murni hasil pekerjan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menggunakannya.

Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumplkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Nama: Ayu Eka Rakhmawati NPM: 0606082226

Tandatangan:

Nama: Meiti Sulistika NPM: 0606082895 Tandatangan:

Nama: Rizki Malinda I P NPM: 0606083185 Tandatangan:

Mata Ajaran: Tanggung Jawab dan Etika Bisnis Perusahaan Judul Makalah/Tugas: Kasus Suap Kepabeanan Cukai Indonesia Tanggal: 10 Desember 2008


(3)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... 1

Bab I Pendahuluan Latar belakang masalah ... 2

Tujuan Penulisan ... 3

Ruang Lingkup Penulisan Pembatasan Masalah ... 3

Perumusan Masalah ... 3

Metode penulisan ... 3

Sistematika penulisan ... 3

Bab II Landasan Teori Etika Bisnis ... 4

Pengertian Korupsi ... 5

Alasan Orang Melakukan Korupsi ... 6

Suap Sebagai Salah Satu Bentuk Korupsi ... 6

Suap dalam Bisnis ... 7

Bisnis VS Suap ... 7

Bab III Pembahasan Definisi Masalah ... 9

Analisis Kasus ... 11

Bab IV Kesimpulan dan Saran ... 15


(4)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Maraknya kasus korupsi di Indonesia saat ini telah memberikan citra buruk bagi Indonesia di mata dunia internasional. Bukan hanya itu, tetapi budaya korupsi yang merajalela telah menyengsarakan masyarakat Indonesia sendiri. Rakyat kecil yang tidak memiliki kuasa seperti layaknya para petinggi negara dan pengusaha-pengusaha kaya, menjadi semakin terhimpit hidupnya akibat tidak terdistribusinya “hak-hak” yang seharusnya menjadi milik masyarakat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hak-hak masyarakat dalam hal ini adalah dana yang seharusnya diperuntukkan untuk baik kesejahteraan masyarakat maupun peningkatan kegiatan ekonomi, khususnya bisnis di Indonesia, hilang dan menjadi milik pribadi.

Suap (bribery) merupakan salah satu bentuk korupsi yang saat ini sudah membudaya di Indonesia. Bukan rahasia lagi bahwa banyak pengusaha yang melakukan suap untuk memperoleh perlakukan istimewa atau khusus dalam berbagai proses berbisnis seperti percepatan perolehan izin, perolehan tender, pemasokan barang dan jasa, bahkan untuk memperoleh informasi dari dalam (inside information) yang menyebabkan persaingan bisnis menjadi tidak sehat.

Suap sendiri dapat menjadi penghambat kegiatan ekonomi dalam hal investasi modal asing ke Indonesia. Pada laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi, stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting yang mempengaruhi kondisi iklim investasi di Indonesia. Dengan maraknya kasus korupsi termasuk suap menyuap di Indonesia, maka hal tersebut dapat mengurangi minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Dampak suap sendiri dapat menyengsarakan masyarakat, karena suap membuat harga barang dan jasa menjadi mahal (ekonomi biaya tinggi) karena pengusaha harus menutupi biaya yang dikeluarkan untuk membayar suap. Suap juga dapat menyebabkan persaingan usaha menjadi tidak sehat, karena keberhasilan tergantung pada kesanggupan dan kesediaan menyediakan dana untuk suap. Lebih jauh lagi, suap mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena minimnya penanaman modal asing.


(5)

I.2. Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang suap menyuap dan hubungannya dengan etika bisnis di Indonesia. Selain itu, makalah ini juga ingin memberikan contoh nyata dari perilaku suap menyuap yang terjadi di Indonesia melalui penjabaran kasus suap di Bea Cukai.

I.3. Ruang Lingkup Penulisan I.3.1. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas pada karya tulis ini pada kasus suap menyuap di kepabeanan Bea Cukai Indonesia dan hubungannya dengan prinsip etika bisnis.

I.3.2. Perumusan Masalah

 Apakah yang dimaksud suap itu?

 Bagaimana kaitan budaya suap dengan etika dalam melakukan bisnis?  Bagaimana gambaran nyata praktik suap yang terjadi di Indonesia?

 Apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi praktik suap yang sudah begitu membudaya?

I.4. Metode Penulisan

Dalam makalah Etika Bisnis ini, penulis menggunakan metode penelitian berupa studi literatur dan pembahasan kasus.

I.5. Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri atas 4 bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, ruang lingkup, tujuan, dan metodologi penulisan. Bab kedua membahas landasan teori. Bab ketiga berisi pembahasan kasus suap yang terjadi di Bea Cukai. Bab keempat yang merupakan bab terakhir berisi kesimpulan dan saran dari makalah.


(6)

Bab II

Landasan Teori

2.1. Etika Bisnis

Etika merupakan konsepsi mengenai apa yang salah dan apa yang benar dan berkaitan dengan fondasi dasar hubungan antar manusia.

Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Ada tiga jenis masalah yang dipelajari dalam etika bisnis, masalah tersebut adalah:

1. Masalah Sistemik

Adalah pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi. Tingkatan ini mencakup pertanyaan mengenai moralitas kapitalisme atau hukum, regulasi, struktur industri dan praktik sosial dimana bisnis tersebut dijalankan.

2. Masalah Korporasi

Adalah pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul dalam perusaaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan

3. Masalah Individu

Adalah pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentan moralitas keputusan, tindakan, dan karakter individual.

Terkait dengan etika bisnis dan keputusan yang harus dibuat oleh perusahaan, dikenal sebuah prinsip yang disebut utilitarianisme. Utilitiarianisme merupakan sebuah istilah umum untuk semua pandangan yang menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan dievaluasi berdasarkan keuntungan dan biaya yang dibebankan pada masyarakat. Dalam situasi apa pun, tindakan atau kebijakan yang ‘benar’ adalah yang memberikan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil (bila semua alternatif hanya membebankan biaya, tidak ada keuntungan).

Untuk memastikan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu, sesuai dengan prinsip utilitarianisme, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu:


(7)

1. Menentukan tindakan-tindakan atau kebijakan alternatif apa saja yang dapat dilakukan dalam situasi tersebut

2. Untuk setiap tindakan alternatif, ditentukan keuntungan dan biaya langsung dan tidak langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut bagi semua orang yang dipengaruhi oleh tindakan itu di masa yang akan datang

3. Alternatif yang memberikan utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang secara etis tepat

2.2. Pengertian Korupsi

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Korupsi menurut As Hornby dan H. Wakefield adalah the offering and accepting of bribes(penawaran atau pemberian dan penerimaan suap).

M.H. McKee memberikan definisi yang sederhana tentang korupsi sebagai penyalah gunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Orang tidak dapat menganggap korupsi selalu sama dan mempunyai dampak atau motivasi yang sama.

Menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 31/19997

juncto UU No. 20/20018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi itu adalah perbuatan:

1. Melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat 1): dipidana penjara 4 – 20 tahun dan denda Rp 200 juta – Rp1 milyar; atau dapat juga dihukum mati;

2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 3) dipidana penjara seumur hidup dan/ atau atau 1 tahun denda Rp50 juta – Rp1 milyar;

3. Pemberian suap kepada Pegawai Negeri termasuk Hakim maupun Advokad (Pasal 5, 6, 11, 12 huruf a, b, c, d, dan Pasal 13): dipidana penjara 1 – 5 tahun dan denda Rp50 juta – Rp250 juta; penjara 3 –15 tahun dan/atau denda Rp150 juta – Rp750 juta; penjara seumur hidup – 20 tahun dan denda Rp200 juta – Rp1 milyar; penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda Rp150 juta;

4. Penggelapan dalam jabatan dan pemalsuan atau penghancuran atau penghilangan dokumen (Pasal 8, 9 dan10): dipidana penjara 3 – 15 tahun dan denda Rp150 juta


(8)

– Rp750 juta; penjara 1 – 5 tahun dan denda Rp50 juta – Rp250 juta; penjara 2 – 7 tahun dan denda Rp100 juta – Rp250 juta;

5. Pemerasan dalam jabatan (Pasal 12 huruf e, f, dan g): dipidana penjara seumur hidup 20 tahun dan denda Rp200 juta – Rp 1 milyar;

6. Pemborongan yang melakukan perbuatan curang (Pasal 7, 12i): dipidana penjara 2 – 7 tahun dan denda Rp100 juta – Rp350 juta; penjara seumur hidup – 20 tahun dan denda Rp 200 juta – Rp 1 milyar;

7. Gratifikasi yaitu pasal 12 B: dipidana penjara seumur hidup – 4 tahun dan denda Rp200 juta – Rp 1 milyar;

8. Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15): dipidana mati atau penjara 1 tahun dan denda Rp100 juta – Rp1 milyar;

2.3. Alasan Orang Melakukan Korupsi

Beberapa pakar dalam bidang ilmu hukum pernah menyatakan, penyebab utama korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:

(1) dari segi hukum: ketidaksempurnaan sistem hukum, kelemahan kelembagaan, rendahnya profesionalitas penegak hukum;

(2) dari segi ekonomi: selama sistem ekonomi memungkinkan diperolehnya margin

dalam berusaha, maka korupsi akan terus terjadi;

(3) dari segi budaya: korupsi telah membudaya dan mengakar dalam kehidupan masyarakat selama lebih dari tiga dekade.

2.4. Suap Sebagai Salah Satu Bentuk Korupsi

Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20/20018 gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut bisa diberikan di dalam negeri maupun di luar negeri, baik yang memakai sarana elektronik maupun yang tidak memakai sarana elektronik.

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian ”suap”, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.


(9)

2.5. Suap dalam Bisnis

Penyuapan didefinisikan oleh Transparency Internasional sebagai: penawaran atau penerimaan hadiah, pinjaman, pembayaran, imbalan, atau keuntungan lainnya, yang ditujukan kepada atau diterima dari siapa pun sebagai untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak syah atau pelanggaran kepercayaan, dalam tindakan berbisnis.

Tindakan suap merupakan upaya mempengaruhi untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar dan tidak syah. Yang dimaksud dengan ‘tidak wajar’ dan ‘tidak syah’ adalah bilamana terjadi konversi dana atau barang yang diberikan menjadi kekuasaan untuk mengambil keputusan yang bersifat tidak adil dan tidak transparan.

Walaupun suap merupakan suatu tindakan transaksi tetapi tidak dapat dianggap sebagai transaksi bisnis. Transaksi suap ditandai oleh keterlibatan paling tidak dua orang di mana paling sedikit salah seorang bertindak atas kewenangan mewakili perusahaan atau sebagai agen dari perusahaan. Bila agen dari perusahaan tidak melaporkan atau menyerahkan dana atau barang yang diterima dari pihak yang bertransaksi kepada prinsipal, maka yang bersangkutan melakukan tindakan yang tidak transparan, tidak wajar dan tidak syah. Perusahaan sebagai prinsipal dapat menganggap telah terjadi pelanggaran kepercayaan maupun wewenang. Baik pihak pemberi maupun pihak penerima suap terlibat dalam tindakan suap. Pihak pemberi dianggap berupaya mempengaruhi pihak penerima untuk melakukan tindakan tidak etis yaitu menyalah-gunakan wewenangnya. Pihak penerima melakukan tindakan tidak etis karena tidak memberikannya pada prinsipal dan diambil sebagai hak miliknya sendiri.

Suap merupakan tindakan yang bukan saja tidak mengikuti kaidah etika bisnis tetapi juga memiliki implikasi hukum, khususnya bila suap dilakukan pada pegawai negeri atau pejabat negara sebagaimana tertuang dalam naskah Undang-undang 20/2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

2.6. Bisnis VS Suap

Esensi bisnis adalah suatu transaksi barang atau jasa antara paling sedikit dua pihak. Kedua belah pihak melakukan negosiasi untuk menentukan dan mencapai kesepakatan nilai atas barang atau jasa yang diperjual-belikan. Dalam kondisi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lainnya atau ‘cetiris paribus’ maka proses negosiasi


(10)

Proses transaksi murni bisnis di atas dapat menyimpang atau menjadi tidak murni lagi bila dalam proses transaksi yang berjalan, khususnya dalam pengambilan keputusan dan pencapaian kesepakatan, diwarnai oleh upaya mempengaruhi ataupun memperoleh manfaat yang tidak transparan dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan untuk kepentingan diri atau suatu kelompok. Tindakan demikian membawa dampak yang merugikan konsumen maupun kondisi ekonomi secara makro. Yang menanggung biaya untuk melakukan suap ini para konsumen sehingga pada akhirnya, kemampuan membeli konsumen berkurang.

Bisnis dapat melakukan suap untuk memperoleh perlakukan istimewa atau khusus dalam berbagai proses berbisnis seperti percepatan perolehan izin, perolehan tender, pemasokan barang dan jasa, bahkan untuk memperoleh informasi dari dalam (‘inside information’)


(11)

Bab III

Pembahasan

3.1. Definisi Masalah

Bea dan Cukai adalah suatu lembaga pemerintah di bawah Departemen Keuangan yang mengurusi pungutan Bea dan Cukai yang dikenakan terhadap barang-barang yang keluarataupun masuk daerah pabean agar pelaksanaan, pengawasan, pelarangan dan pembatasan menjadi efektif dan terkoordinasi.

Sebagai daerah kegiatan ekonomi maka sektor Bea dan Cukai merupakan suatu instansi dari pemerintah yang sangat menunjang dalam kelancaran arus lalu lintas ekspor dan impor barang di daerah pabean. Adapun tujuan pemerintah dalam mengadakan pengawasan adalah untuk menambah pendapatan atau devisa negara; sebagai alat untuk melindungi produk-produk dalam negeri (proteksi); dan sebagai alat pengawasan agar tidak semua barang dapat keluar masuk dengan bebas di pasaran Indonesia atau daerah pabean (penyelundupan).

Kasus suap dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan Bea Cukai memang sudah berlangsung cukup lama dan bahkan sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengusaha. Dengan menyediakan sejumlah ‘biaya siluman’, maka kepengurusan dokumen di kepabeanan Bea Cukai akan berjalan lebih cepat.

Dua hasil survei memberi dukungan bahwa prosedur Bea dan Cukai di Indonesia punya masalah serius. Pertama, hasil survei dari World Economic Forum (2007) menunjukkan buruknya posisi Indonesia untuk isu ini. Kedua, hasil survei tahun 2005 dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) bekerja sama dengan Bank Dunia memperkirakan bahwa pungli yang harus dibayar pengusaha kepada aparat Bea dan Cukai mencapai 800 juta dollar AS atau Rp 7 triliun (pada kurs yang berlaku saat itu). Menurut laporan tersebut, nilai ini setara 2,3% dari total nilai impor Indonesia pada tahun 2004. Pengusaha menyebut setoran itu sebagai dana informal. Dibayar kadang-kadang atau rutin. Pada bulan September, LPEM UI kembali melakukan survei atas 589 perusahaan pengguna jasa kepelabuhan. Hasilnya menunjukkan bahwa pungli memang menjadi sedikit, tetapi berubah menjadi suap menyuap (Basuki, 2008). Survei ini juga menyatakan bahwa dari 589 perusahaan yang dijadikan responden, hanya


(12)

9% yang mengatakan tidak pernah membayar suap dalam kepengurusan dokumen kepabeanan pada pertengahan 2007. Padahal pada akhir 2005, ada 19% responden yang menyatakan tidak pernah membayar suap, hal ini berarti semakin banyak pengusaha yang melakukan praktik suap di kepabeanan Bea Cukai.

Dari Annual Report KPK tahun 2007 pada bagian Monitor poin 3 mengenai Pengkajian Sistem Administrasi Impor di Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) menunjukkan adanya praktik suap di sistem tersebut, temuan KPK antara lain sebagai berikut:

1) Tindak pidana korupsi berupa pungutan liar yang terjadi di titik analyzing point,

penerimaan dokumen, pengeluaran barang, dan penutupan manifest mencapai nilai Rp. 890.000.000 per bulan.

2) Tindak pidana korupsi dalam bentuk kolusi di titik pemeriksaan fisik, pemeriksaan dokumen, perbendaharaan, dan pengurusan dokumen di kawasan berikat mencapai nilai Rp. 12.795.000.000 per bulan. Nilai ini hanyalah perkiraan 30% dari jumlah transaksi, sehingga sebenarnya nilai kolusi jauh di atas 12 miliar rupiah per bulan.

3) Tidak dilakukannya evaluasi profil importir secara berkala yang mengakibatkan keakuratan database profil importir belum dapat dihandalkan sehingga pengawasan terhadap arus barang menjadi tidak efektif.


(13)

4) Importir dapat memilih pemeriksa fisik yang dikehendaki yang mengakibatkan kemungkinan kolusi dengan petugas.

5) Tidak adanya petunjuk teknis pemeriksaan dokumen sehingga memungkinkan terjadinya banyak penyimpangan.

6) Sulitnya pengawasan terhadap kawasan berikat yang lokasinya jauh dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) yang menimbulkan potensi penyelundupan.

3.2. Analisis Kasus

Kasus suap merupakan salah satu bentuk dari korupsi, sesuai definisi dari M.H. McKee yang menyebutkan bahwa korupsi sebagai penyalah gunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Kasus suap dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan Bea Cukai melibatkan dua pihak, yaitu pengusaha dan birokrat (pejabat pemerintah). Dimana kedua pihak dapat memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan tindakan ini:

a) Pihak pengusaha untuk mempercepat kepengurusan dokumen memiliki kesempatan untuk memberikan sejumlah ‘biaya suap’ kepada pihak birokrat. Dalam hal ini tawaran untuk melakukan tindakan suap dilakukan oleh pihak pengusaha demi kepentingan pribadinya.

b) Pihak birokrat mengharuskan pihak pengusaha untuk membayarkan sejumlah ‘biaya suap’ untuk pengurusan dokumen, dengan kemungkinan pihak birokrasi mengancam tidak akan mengurus dokumen yang diajukan oleh pihak pengusaha ataupun tawaran untuk menurunkan pajak barang. Dalam hal ini tawaran untuk melakukan tindakan suap dilakukan oleh pihak birokrat demi kepentingan pribadinya.

Kasus suap dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan Bea Cukai merupakan masalah sistemik dan korporasi. Masalah ini merupakan masalah sistemik dikarenakan tindakan ini mengundang pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem hukum dimana bisnis beroperasi, hal ini dikarenakan lemahnya sistem hukum di Indonesia sehingga terjadi pungutan liar dan suap di kepabeanan Bea Cukai yang merupakan suatu lembaga milik pemerintah. Masalah ini juga dapat dikategorikan sebagai masalah korporasi, hal ini terlihat dari adanya kebijakan dari pihak perusahaan sendiri untuk memberikan uang suap kepada pejabat Bea Cukai demi mempercepat kepengurusan dokumen.


(14)

lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah membuat lembaga pemerintah sekelas Bea Cukai dapat melakukan tindakan korupsi dalam aktivitasnya.

(2) Segi budaya

Dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Dalam disertasi klasiknya yang berjudul The Making of A Bureaucratic Elite (1979), Heather Sutherland menggambarkan betapa sistem upeti yang telah berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja dengan sistem administrasi modern. Pola patron-client di mana upeti merupakan alat tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang wajar diantara para birokrat modern atau pamong-praja di Indonesia.

Terkait dengan faktor ke-dua yaitu dari segi budaya dan berdasarkan hasil survei LPEM UI yang menyebutkan bahwa hanya 9% pengusaha yang mengatakan tidak pernah membayar suap dalam kepengurusan dokumen kepabeanan pada pertengahan 2007, maka dari pihak pengusaha akan melakukan pembenaran mengenai tindakan suap yang dilakukannya. Hal ini mengenai ‘suatu tindakan yang dikerjakan oleh semua orang’. Ketika suatu tindakan itu dilakukan oleh semua orang, walaupun sesuatu itu salah, sebuah pertanyaan muncul apakah tindakan tersebut melanggar etika atau tidak. Hal ini dikarenakan etika merupakan konsepsi mengenai apa yang salah dan apa yang benar dan berkatian dengan fondasi dasar hubungan antar manusia.

Dalam sebuah jurnal yang berjudul When Is “Everyone’s Doing It” a Moral Justification? yang ditulis oleh Ronald M. Green, disebutkan bahwa ada lima kondisi yang mengijinkan seseorang untuk melakukan tindakan yang jahat (harmful) tetapi dilakukan secara umum (prevalent).


(15)

Conditions Permitting One to Engage In Harmful but Prevalent Behavior

1. Refraining from this behavior will unavoidaly cause you (or those you care for or for whom you are responsible) serious harm or loss

2. Your engaging in this behavior will not also cause significantly more harm or loss to others

3. Your engaging in this behavior will not lead others to engage in it ways that are equally or more harmful, and this would be true if your engaging in this behavior were to become public knowledge

4. Your refraining from this behavior will not lead others to refrain from it, and this would be true if your refraining from this behavior were to become public knowledge

5. Your refraining from this behavior will unavoidably lead others to engage in it in ways that are substatially more harmful than would have been the case had you choosen to engage in it yourself and this would be true if your refraining from this behavior were to become public knowledge

Ronald menyebutkan bahwa jika salah satu dari empat kondisi pertama tidak terpenuhi, maka keputusan moral akan tindakan tersebut akan menjadi lebih kompleks. Apabila kita terapkan pada kasus suap di kepabeanan Bea Cukai di Indonesia:

1. Kondisi nomor satu tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan apabila pengusaha tidak melakukan suap pun tidak akan menyebabkan kerugian yang signifikan

2. Kondisi nomor dua juga tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan dengan melakukan suap maka ada dua pihak yang dirugikan, yang pertama adalah negara, adanya kebocoran penerimaan negara akibat tindakan ini. Yang ke-dua adalah konsumen, konsumen harus menanggung biaya suap yang dimasukkan dalam biaya produksi perusahaan, yang tercermin dalam jumlah harga yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk membeli produk perusahaan pelaku suap tersebut.

3. Kondisi nomor tiga juga tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan dengan melakukan tindakan suap akan meningkatkan ketidak-pastian karena persaingan pasar menjadi tidak sehat. Keberhasilan bergantung pada kekuatan dan kesanggupan menyisihkan dana untuk suap, bukan peningkatan kualitas produk dan jasa, sehingga perusahaan lain akan mengikuti untuk melakukan tindakan suap demi


(16)

Karena sudah ada tiga kondisi dari empat kondisi pertama yang tidak terpenuhi, maka tindakan suap bukanlah suatu tindakan yang diijinkan untuk dilakukan, walaupun semua orang melakukan tindakan tersebut.

Adapun terkait dengan prinsip utilitarianisme, tindakan suap semestinya tidak dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal ini dapat kita analisis dengan melakukan prinsip utilitarianisme untuk memastikan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu, dalam hal ini apakah akan melakukan tindakan suap atau tidak, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu:

(1) Menentukan tindakan-tindakan atau kebijakan alternatif:

Dalam hal ini ada dua tindakan yaitu melakukan suap dan melakukan prosedur dari pihak pemerintah dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan

(2) Untuk setiap tindakan alternatif, ditentukan keuntungan dan biaya langsung dan tidak langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut bagi semua orang yang dipengaruhi oleh tindakan itu di masa yang akan datang:

Untuk tindakan suap, hal ini akan menguntungkan pihak perusahaan karena akan mempercepat proses pengurusan dokumen, dalam hal ini keuntungan berupa time value of money. Hanya saja hal ini akan merugikan negara karena bocornya pendapatan negara dan akan merugikan pihak konsumen yang harus menanggung ‘biaya suap’ yang dimasukkan ke dalam biaya produksi.

Untuk tindakan melakukan prosedur dengan semestinya, hal ini kemungkinan akan merugikan pihak perusahaan sebab waktu yang dapat ‘dipangkas’ dengan melakukan suap dapat digunakan untuk aktivitas lain yang lebih memiliki value-added. Hanya saja kerugian ini bersifat semu, atau biasa disebut opportunity cost. Sehingga dalam hal ini tidak ada pihak yang diuntungkan atau pun dirugikan.

(3) Alternatif yang memberikan utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang secara etis tepat:

Dari analisis sebelumnya, maka tindakan suap tidak memberikan utilitas yang paling besar, dan cenderung menimbulkan biaya bagi pihak lain. Oleh karena itu tindakan suap secara etis tidak tepat untuk dilakukan.


(17)

Bab IV

Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan

Tindakan suap-menyuap dalam kegiatan bisnis merupakan salah satu masalah sistemik dalam prinsip etika bisnis, hal ini dikarenakan akan ada pihak-pihak yang dirugikan, antara lain:

a. Efek suap yang utama adalah timbulnya ekonomi biaya tinggi dan berakibat makin tingginya tingkat harga barang dan jasa karena harus menutup biaya yang tidak langsung berkaitan dengan proses produksi barang dan jasa. Konsumen dirugikan.

b. Suap meningkatkan ketidak-pastian karena persaingan pasar menjadi tidak sehat. Keberhasilan bergantung pada kekuatan dan kesanggupan menyisihkan dana untuk suap, bukan peningkatan kualitas produk dan jasa.

4.2. Saran

Untuk mencegah terjadinya tindakan suap-menyuap dalam kegiatan bisnis perusahaan, perlu dilakukan tindakan pencegahan. Tindakan preventif ini dilihat dari dua sisi pihak yang berkepentingan, yaitu:

1. Perusahaan (Pelaku Kegiatan Bisnis)

yaitu dengan melakukan transformasi budaya perusahaan untuk menciptakan iklim etis (ethical climates) yang kondusif untuk menerapkan bisnis tanpa suap, menuntut perubahan pada empat komponen utama perusahaan yang saling terkait yaitu: (1) struktur, (2) sistem, (3) prosedur, dan (4) sumber daya manusia perusahaan, yaitu dengan cara menanamkan nilai-nilai dan norma budaya perusahaan yang mengharamkan:

a) Penggunaan kekuatan uang atau barang untuk memperoleh perlakukan istimewa atau khusus

b) Mengalahkan pesaing dengan cara-cara yang tidak sehat.


(18)

2. Pemerintah (Regulator)

a) Menerapkan sistem reward dan punishment. Misalnya A adalah pengusaha yang memiliki kesempatan melakukan penyuapan dan B adalah pejabat yang memiliki kesempatan untuk menerima suap. Ketika A melakukan penyuapan, jika B melaporkan A maka B akan mendapatkan reward (tentunya yang lebih besar dibandingkan nilai suap yang diberikan oleh A) dan A akan mendapatkan punishment atas perbuatannya. Sebaliknya jika B memaksa A untuk melakukan tindakan suap, jika A melaporkan B maka A akan mendapatkan reward dan B mendapatkan punishment atas perbuatannya.

b) Menghukum dengan tegas kedua pihak yang terlibat tindakan suap-menyuap, bukan hanya pihak yang disuap tetapi juga menghukum pihak yang menyuap, misalnya dengan mencabut ijin ekspor/ impor untuk perusahaan yang melakukan tindakan penyuapan.


(19)

DAFTAR PUSTAKA

Velasquez, Manuel G. Business Ethics; Concepts and Cases, 5th ed. (Pearsons, Prentice Hall; New Jersey, 2002)

The Society for Business Ethics. Business Ethics Quarterly 9 (April 1999). Media Indonesia. Rabu, 26 September 2007. Halaman 1 Kolom 4-5.

http://kumoro.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2008/03/budaya-upeti-suap-dan-birokrasi-publik.pdf http://www.ti.or.id/publikasi/bisnismelawansuap.pdf

http://media.vivanews.com/documents/2008/10/13/240_Data%20Korupsi%20versi%20KPK%202007.pdf http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2928-16062008.pdf


(1)

lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah membuat lembaga pemerintah sekelas Bea Cukai dapat melakukan tindakan korupsi dalam aktivitasnya.

(2) Segi budaya

Dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Dalam disertasi klasiknya yang berjudul The Making of A Bureaucratic Elite (1979), Heather Sutherland menggambarkan betapa sistem upeti yang telah berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja dengan sistem administrasi modern. Pola patron-client di mana upeti merupakan alat tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang wajar diantara para birokrat modern atau pamong-praja di Indonesia.

Terkait dengan faktor ke-dua yaitu dari segi budaya dan berdasarkan hasil survei LPEM UI yang menyebutkan bahwa hanya 9% pengusaha yang mengatakan tidak pernah membayar suap dalam kepengurusan dokumen kepabeanan pada pertengahan 2007, maka dari pihak pengusaha akan melakukan pembenaran mengenai tindakan suap yang dilakukannya. Hal ini mengenai ‘suatu tindakan yang dikerjakan oleh semua orang’. Ketika suatu tindakan itu dilakukan oleh semua orang, walaupun sesuatu itu salah, sebuah pertanyaan muncul apakah tindakan tersebut melanggar etika atau tidak. Hal ini dikarenakan etika merupakan konsepsi mengenai apa yang salah dan apa yang benar dan berkatian dengan fondasi dasar hubungan antar manusia.

Dalam sebuah jurnal yang berjudul When Is “Everyone’s Doing It” a Moral Justification? yang ditulis oleh Ronald M. Green, disebutkan bahwa ada lima kondisi yang mengijinkan seseorang untuk melakukan tindakan yang jahat (harmful) tetapi dilakukan secara umum (prevalent).


(2)

Conditions Permitting One to Engage In Harmful but Prevalent Behavior 1. Refraining from this behavior will unavoidaly cause you (or those you care for

or for whom you are responsible) serious harm or loss

2. Your engaging in this behavior will not also cause significantly more harm or loss to others

3. Your engaging in this behavior will not lead others to engage in it ways that are equally or more harmful, and this would be true if your engaging in this behavior were to become public knowledge

4. Your refraining from this behavior will not lead others to refrain from it, and this would be true if your refraining from this behavior were to become public knowledge

5. Your refraining from this behavior will unavoidably lead others to engage in it in ways that are substatially more harmful than would have been the case had you choosen to engage in it yourself and this would be true if your refraining from this behavior were to become public knowledge

Ronald menyebutkan bahwa jika salah satu dari empat kondisi pertama tidak terpenuhi, maka keputusan moral akan tindakan tersebut akan menjadi lebih kompleks. Apabila kita terapkan pada kasus suap di kepabeanan Bea Cukai di Indonesia:

1. Kondisi nomor satu tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan apabila pengusaha tidak melakukan suap pun tidak akan menyebabkan kerugian yang signifikan

2. Kondisi nomor dua juga tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan dengan melakukan suap maka ada dua pihak yang dirugikan, yang pertama adalah negara, adanya kebocoran penerimaan negara akibat tindakan ini. Yang ke-dua adalah konsumen, konsumen harus menanggung biaya suap yang dimasukkan dalam biaya produksi perusahaan, yang tercermin dalam jumlah harga yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk membeli produk perusahaan pelaku suap tersebut.

3. Kondisi nomor tiga juga tidak terpenuhi, hal ini dikarenakan dengan melakukan tindakan suap akan meningkatkan ketidak-pastian karena persaingan pasar


(3)

Karena sudah ada tiga kondisi dari empat kondisi pertama yang tidak terpenuhi, maka tindakan suap bukanlah suatu tindakan yang diijinkan untuk dilakukan, walaupun semua orang melakukan tindakan tersebut.

Adapun terkait dengan prinsip utilitarianisme, tindakan suap semestinya tidak dilakukan oleh pihak pengusaha. Hal ini dapat kita analisis dengan melakukan prinsip utilitarianisme untuk memastikan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu, dalam hal ini apakah akan melakukan tindakan suap atau tidak, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu:

(1) Menentukan tindakan-tindakan atau kebijakan alternatif:

Dalam hal ini ada dua tindakan yaitu melakukan suap dan melakukan prosedur dari pihak pemerintah dalam kepengurusan dokumen di kepabeanan

(2) Untuk setiap tindakan alternatif, ditentukan keuntungan dan biaya langsung dan tidak langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut bagi semua orang yang dipengaruhi oleh tindakan itu di masa yang akan datang:

Untuk tindakan suap, hal ini akan menguntungkan pihak perusahaan karena akan mempercepat proses pengurusan dokumen, dalam hal ini keuntungan berupa time value of money. Hanya saja hal ini akan merugikan negara karena bocornya pendapatan negara dan akan merugikan pihak konsumen yang harus menanggung ‘biaya suap’ yang dimasukkan ke dalam biaya produksi.

Untuk tindakan melakukan prosedur dengan semestinya, hal ini kemungkinan akan merugikan pihak perusahaan sebab waktu yang dapat ‘dipangkas’ dengan melakukan suap dapat digunakan untuk aktivitas lain yang lebih memiliki value-added. Hanya saja kerugian ini bersifat semu, atau biasa disebut opportunity cost. Sehingga dalam hal ini tidak ada pihak yang diuntungkan atau pun dirugikan.

(3) Alternatif yang memberikan utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang secara etis tepat:

Dari analisis sebelumnya, maka tindakan suap tidak memberikan utilitas yang paling besar, dan cenderung menimbulkan biaya bagi pihak lain. Oleh karena itu tindakan suap secara etis tidak tepat untuk dilakukan.


(4)

Bab IV

Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan

Tindakan suap-menyuap dalam kegiatan bisnis merupakan salah satu masalah sistemik dalam prinsip etika bisnis, hal ini dikarenakan akan ada pihak-pihak yang dirugikan, antara lain:

a. Efek suap yang utama adalah timbulnya ekonomi biaya tinggi dan berakibat makin tingginya tingkat harga barang dan jasa karena harus menutup biaya yang tidak langsung berkaitan dengan proses produksi barang dan jasa. Konsumen dirugikan.

b. Suap meningkatkan ketidak-pastian karena persaingan pasar menjadi tidak sehat. Keberhasilan bergantung pada kekuatan dan kesanggupan menyisihkan dana untuk suap, bukan peningkatan kualitas produk dan jasa.

4.2. Saran

Untuk mencegah terjadinya tindakan suap-menyuap dalam kegiatan bisnis perusahaan, perlu dilakukan tindakan pencegahan. Tindakan preventif ini dilihat dari dua sisi pihak yang berkepentingan, yaitu:

1. Perusahaan (Pelaku Kegiatan Bisnis)

yaitu dengan melakukan transformasi budaya perusahaan untuk menciptakan iklim etis (ethical climates) yang kondusif untuk menerapkan bisnis tanpa suap, menuntut perubahan pada empat komponen utama perusahaan yang saling terkait yaitu: (1) struktur, (2) sistem, (3) prosedur, dan (4) sumber daya manusia perusahaan, yaitu dengan cara menanamkan nilai-nilai dan norma budaya perusahaan yang mengharamkan:


(5)

2. Pemerintah (Regulator)

a) Menerapkan sistem reward dan punishment. Misalnya A adalah pengusaha yang memiliki kesempatan melakukan penyuapan dan B adalah pejabat yang memiliki kesempatan untuk menerima suap. Ketika A melakukan penyuapan, jika B melaporkan A maka B akan mendapatkan reward (tentunya yang lebih besar dibandingkan nilai suap yang diberikan oleh A) dan A akan mendapatkan punishment atas perbuatannya. Sebaliknya jika B memaksa A untuk melakukan tindakan suap, jika A melaporkan B maka A akan mendapatkan reward dan B mendapatkan punishment atas perbuatannya.

b) Menghukum dengan tegas kedua pihak yang terlibat tindakan suap-menyuap, bukan hanya pihak yang disuap tetapi juga menghukum pihak yang menyuap, misalnya dengan mencabut ijin ekspor/ impor untuk perusahaan yang melakukan tindakan penyuapan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Velasquez, Manuel G. Business Ethics; Concepts and Cases, 5th ed. (Pearsons, Prentice Hall; New Jersey, 2002)

The Society for Business Ethics. Business Ethics Quarterly 9 (April 1999). Media Indonesia. Rabu, 26 September 2007. Halaman 1 Kolom 4-5.

http://kumoro.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2008/03/budaya-upeti-suap-dan-birokrasi-publik.pdf http://www.ti.or.id/publikasi/bisnismelawansuap.pdf

http://media.vivanews.com/documents/2008/10/13/240_Data%20Korupsi%20versi%20KPK%202007.pdf http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2928-16062008.pdf