Pembuatan dan Pengujian Membrane Capacitive Deionization Menggunakan Material Karbon Aktif Tempurung Kelapa Sebagai Pemurni Kesadahan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karbon Aktif
Karbon aktif merupakan zat padat amorf yang mempunyai luas permukaan
internal dan volume pori yang sangat besar (Kirk, 1992). Karbon aktif merupakan
adsorben yang sangat baik yang dapat menyerap gas atau zat lain dalam larutan
dan udara karena mempunyai permukaan yang luas dan berongga dengan struktur
yang berlapis.
2.1.1. Jenis-jenis Karbon Aktif
Berdasarkan penggunaannya, terdapat 2 (dua) jenis karbon aktif yakni
karbon aktif untuk fasa cair dan karbon aktif fasa gas.
2.1.1.1. Karbon aktif untuk fasa cair.
Karbon aktif fasa cair pada
umumnnya berbentuk serbuk yang sangat
halus. Biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis rendah seperti kayu,
serbuk gergaji dan bahan yang mengandung lignin. Karbon aktif jenis ini banyak
digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, warna dan kontaminan organik
lainnya.
2.1.1.2. Karbon aktif untuk fasa gas.
Karbon aktif fasa gas pada umumnya berbentuk butiran/granular/pelet
yang sangat keras. Biasanya terbuat dari bahan yang memiliki berat jenis lebih
27
Universitas Sumatera Utara
besar seperti tempurung kelapa, tulang atau batu bara. Karbon aktif jenis ini
digunakan untuk memperoleh kembali pelarut, pemisahan dan pemurnian gas.
2.1.2. Proses Pembuatan Karbon Aktif
Proses pembuatan karbon aktif secara garis besar ada 3 (tiga) tahapan,
yakni tahap dehidrasi, tahap karbonisasi dan tahap aktivasi.
2.1.2.1 Proses Dehidrasi
Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air di dalam bahan
baku. Proses dehidrasi dilakukan dengan menjemur bahan baku di bawah sinar
matahari atau melalui pemanasan dengan menggunakan oven sampai diperoleh
bobot konstan.
2.1.2.2 Proses Karbonisasi
Proses
karbonisasi
atau
pengarangan
bertujuan
untuk
terjadinya
penguraian senyawa organik penyusun struktur bahan sehingga membentuk
methanol, uap asam asetat, tar-tar dan hidrokarbon. Pori-pori karbon akan mulai
terbuka akibat pengeluaran pengotor. Tahapan karbonisasi dilakukan dengan
pemanasan pada suhu tertentu dengan jumlah oksigen yang sangat terbatas dan
biasanya dilakukan di dalam tungku pembakaran (furnace). Penambahan suhu
dilakukan untuk mempercepat reaksi pembentukan pori. Akan tetapi pembatasan
suhu pemanasan sangat diperlukan. Suhu yang terlalu tinggi, mengakibatkan
terbentuknya abu yang sangat banyak sehingga menutupi pori-pori.
28
Universitas Sumatera Utara
Proses karbonisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni kadar air,
ketebalan bahan baku, kekerasan bahan baku, udara di sekeliling dapur
pembakaran, dan waktu pemanasan. Selama berlangsungnya karbonisasi, atomatom karbon mengelompok secara bebas dalam formasi kristalografis yang
disebut sebagai kristal grafit.
2.1.2.3 Proses Aktifasi
Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat yang menutupi poripori permukaan arang. Proses aktifasi karbon dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni
secara fisika dan secara kimia.
1. Aktifasi secara fisika
Pada proses ini, karbon dipanaskan pada suhu sekitar 800-1000 ºC lalu
dialirkan gas pengoksidasi seperti uap air, oksigen, atau CO2. Karbon akan
bereaksi dengan gas pengoksidasi. Bila menggunakan uap air sebagai gas
pengoksidasi maka akan melepaskan karbon monoksida dan hidrogen. Di
samping itu, senyawa-senyawa produk samping pun akan terlepas pada proses
ini sehingga pori yang terbentuk semakin luas dan meningkatkan daya
adsorpsi.
2. Aktifasi secara kimia
Pada proses ini, karbon akan dicampur dengan bahan-bahan kimia yang
berfungsi sebagai aktifator, lalu dikeringkan dan dipanaskan. Bahan-bahan
kimia yang biasa digunakan adalah garam dari logam alkali dan alkali tanah
serta zat asam seperti KOH, NaOH, ZnCl2, H3PO4, dan H2SO4. Zat aktivator
29
Universitas Sumatera Utara
akan mengoksidasi karbon dan merusak bagian dalam karbon sehingga akan
terbentuk pori dan daya adsoprsi meningkat.
Bila dibandingkan dengan aktifasi fisika, suhu aktifasi pada aktifasi kimia
lebih rendah. Selain itu, aktifasi secara kimia akan membentuk struktur pori yang
lebih baik dan luas permukaan yang tinggi.
2.1.3. Kualitas Karbon Aktif
Kualitas karbon aktif dipengaruhi oleh jenis bahan baku, teknologi
pengolahan, proses pengolahan, dan tujuan penggunaannya. Badan Standarisasi
Nasional telah memberikan penilaian kualitas karbon aktif berdasarkan
persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 seperti terlihat pada
Tabel 2.1
Tabel 2.1 Persyaratan karbon aktif Standar Nasional Indonesia
(SNI) 06-3730-1995
Uraian
Bagian yang hilang pada pemanasan 950ºC
Prasyarat Kualitas
Butiran
Serbuk
Maks. 15%
Maks. 25%
Kadar air
Maks. 4,5%
Kadar abu
Maks. 2,5%
Bagian tidak mengarang
0
Daya serap terhadap I2
Min. 750 mg/g
Karbon aktif murni
Min. 80%
Daya serap terhadap benzena
Min. 25%
Daya serap terhadap biru metilen
Min. 60 mg/g
Berat jenis curah
(0,45-0,55) g/ml
Lolos mesh 325
Jarak mesh
90%
Kekerasan
80%
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 1995
Maks. 15%
Maks. 10%
0
Min. 750 mg/g
Min. 65%
-
Min. 120 mg/g
(0,3-0,35) g/ml
Min. 90%
-
30
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Karbon Aktif Tempurung Kelapa
Bahan karbon aktif terbaik yang biasa digunakan adalah tempurung
kelapa. Di samping memiliki kandungan karbon yang sangat banyak, tempurung
kelapa mudah diperoleh secara komersial.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiansah dan Susanti (2013)
menyimpulkan bahwa tempurung kelapa memiliki nilai kapasitas dan luas
permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan tempurung kluwak. Kurniawan
et al. (2014) juga melakukan penelitian yang menghasilkan bahwa luas
permukaan karbon aktif dari bahan tempurung kelapa lebih baik dibandingkan
dengan karbon aktif dari tandan kosong kelapa sawit.
Ada banyak manfaat penggunaan karbon aktif tempurung kelapa yang
pernah dilakukan, antara lain :
1. Untuk peningkatan kualitas air tambak (Hartati et al., 2005).
2. Adsorbsi gas karbon monoksida (CO) dalam ruangan (Nurulita dan
Mifbakhuddin, 2015).
3. Sebagai adsorben untuk mengurangi kadar fenol dalam air limbah
(Pambayun, 2013).
4. Untuk menurunkan kesadahan (Wahyudi, 2013).
5. Sebagai bahan pembuatan elektroda superkapasitor (Wati et al., 2015).
6. Sebagai bahan elektroda karbon (Rampe, 2015).
31
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Aplikasi Karbon Aktif Sebagai Elektroda
Elektroda merupakan suatu material yang berfungsi sebagai perantara
dalam menghantarkan arus listrik. Elektroda yang baik memiliki sifat konduktif,
resistivitas rendah, porositasnya tinggi, daya serap tinggi, kestabilan yang tinggi,
serta biaya produksinya rendah.
Untuk dapat digunakan sebagai elektroda, karbon aktif memerlukan
pengikat sehingga dapat membentuk lembaran yang bisa diaplikasikan pada
berbagai keperluan seperti pada proses pengolahan air dengan sistem CDI.
Pengikat yang digunakan dapat berupa polimer. Salah satu polimer yang
digunakan sebagai pengikat adalah PVA.
2.2. Polyvinyl Alcohol
Polimer merupakan makromolekul dengan struktur yang berulang. Dilihat
dari kelembabannya, terdapat 2 (dua) jenis polimer yakni polimer hidrofobik dan
polimer hidrofilik. Polimer hidrofobik merupakan jenis polimer yang sulit
menyerap air. Sifat hidrofobik polimer dapat menyebabkan berkurangnya
penyerapan ion pada elektroda karena tingkat kebasahan permukaan elektroda
berkurang dan kontak antara larutan yang akan diproses dengan menggunakan
elektroda pun akan berkurang. Sedangkan polimer hidrofilik merupakan jenis
polimer yang bersifat dapat menyerap uap air, tahan terhadap air, penyerapan air
rendah, sifat elastisitas dan sifat mekanik yang baik, stabilitas panas dan tahan
terhadap bahan kimia serta proses pembuatan mudah.
32
Universitas Sumatera Utara
PVA termasuk polimer hidrofilik dengan rumus molekul (-C2H4O-)n,
berbentuk bubuk halus, berwarna putih kekuningan, tidak berbau dan memiliki
densitas 1,3 g/cm3 (pada 20º C) dengan kisaran pH 3,5-7,0 (jika dilarutkan dengan
konsentrasi 40 g/l pada 20º C). Beberapa kelebihan polimer PVA yaitu murah,
tidak beracun dan stabil secara ikatan kimia (Rosi et al., 2012).
Mutu PVA komersial memiliki derajat hidrolisis yang tinggi yakni di atas
98,5%. Derajat hidrolisis mempengaruhi kelarutan PVA dalam air. Semakin tinggi
derajat hidrolisis maka kelarutan dalam air semakin rendah (Hassan dan Peppas,
2000). PVA dengan derajat hidrolisis 98,5% atau lebih dapat dilarutkan dengan
air pada suhu 70ºC.
2.2.1. Hidrogel PVA
Hidrogel merupakan bentuk jaring polimer tiga dimensi yang terdiri dari
polimer yang berikatan silang dengan senyawa pengikatnya dan mengandung
pelarut air yang terjebak di dalamnya. Polimer PVA dapat digunakan sebagai
bahan pembuatan hidrogel.
Hidrogel PVA memiliki sifat mekanik yang rendah (rapuh) sehingga untuk
memperluas pemakaiannya diperlukan modifikasi. Contoh modifikasi hidrogel
PVA dengan proses fisika adalah beku leleh ( freezing thawing) (Erizal, 2012).
2.2.2. Proses Beku Leleh
Untuk menghindari terjadinya proses ikat silafng (crosslinking) hidrogel
yang berpotensi menghasilkan bahan yang mengandung racun, maka metode yang
dilakukan adalah proses beku leleh. Pembuatan hidrogel PVA menggunakan
33
Universitas Sumatera Utara
metode beku leleh yang pertama kali dilakukan oleh Peppas pada tahun 1975,
dimana larutan dengan komposisi PVA di antara 2,5 dan 15wt% dibekukan pada
suhu -20º C dan dilelehkan pada suhu ruang. Hidrogel yang dihasilkan dipengaruhi
oleh konsentrasi PVA dalam larutan, waktu pembekuan dan waktu pelelehan.
Proses beku leleh yang terdiri dari 1 (satu) kali pembekuan dan 1 (satu)
kali pelelehan disebut 1 (satu) siklus. Kekuatan mekanik hidrogel PVA dengan
metode beku leleh bergantung pada beberapa faktor, yakni berat molekul,
konsentrasi larutan, suhu, dan waktu pembekuan serta jumlah siklus beku leleh.
Fatimah dan Endarko (2013) telah berhasil membuat elektroda untuk sistem CDI
menggunakan metode beku leleh dengan komposisi karbon aktif, grafit dan PVA
yang menghasilkan kapasitansi terbesar dan porositas elektroda tertinggi yakni
18:6:1.
2.3. Capacitive Deionization
Elektroda karbon aktif dapat digunakan pada proses pengolahan air
dengan menggunakan sistem Capacitive Deionization (CDI). Proses CDI
merupakan teknologi yang mengangkat material ion dengan menggunakan reaksi
adsorpsi elektrostatik electric double layer (EDL) pada permukaan elektroda
ketika elektroda diberi potensial (Choi, 2010; Strathmann, 2010). CDI
dioperasikan pada potensial rendah antara 0,8-1,2 V sehingga reaksi
reduksi/oksidasi elektrokimia tidak terjadi pada permukaan elektroda. Akibatnya
konsumsi energi dapat dikurangi. Penyerapan ion dan regenerasi pada CDI sangat
mudah dilakukan yakni dengan pengisian dan pemutusan potensial listrik pada
34
Universitas Sumatera Utara
elektroda. Hal ini juga menyebabkan teknologi CDI dianggap proses ramah
lingkungan.
Ketika potensial listrik diberikan pada elektroda, ion akan diserap dan
disimpan sementara dalam elektroda. Elektroda akan mengalami batas jenuh
sehingga perlu diregenerasi dengan mengurangi potensial listrik. Setelah ion
dilepaskan dari elektroda, air limbah yang mengandung konsentrasi ion dapat
digunakan kembali untuk mengurangi ion yang terkandung di dalamnya.
Kapasitansi sistem CDI dapat dievaluasi dengan Cyclic Voltammetry. Tanpa
kontribusi Faradaik, besar kapasitansi elektroda dapat ditentukan menggunakan
persamaan (2.1) (Tipler, 2001)
Keterangan:
�=
��
(2.1)
�
C = kapasitansi (F)
I = kuat arus listrik (A)
t = waktu (s)
V = potensial (V)
Dari voltammogram dan laju sapuan, diperoleh:
��
��
Keterangan :
�
� = ∫ �� = � ∫ �� = �
(2.2)
� = muatan (coulomb)
� = perbedaan potensial (Volt)
� = waktu (sekon)
� = kuat arus (Ampere)
� = laju sapuan (Volt/sekon)
35
Universitas Sumatera Utara
Besarnya kapasitansi spesifik elektroda diperoleh dengan persamaan (2.3)
berikut.
�
Keterangan :
�� = �
(2.3)
Cs = kapasitansi spesifik (F/g)
C = kapasitansi (F)
m = massa elektroda (g)
Kinerja CDI dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti material elektroda,
tegangan listrik yang diaplikasikan, laju alir larutan, konsentrasi ion larutan, lama
pengolahan air yang diionisasi, suhu larutan, jarak plat elektroda, serta jumlah
pasangan elektroda (Huang, 2013).
2.3.1. Material Elektroda CDI
Material elektroda yang digunakan untuk aplikasi CDI antara lain: serbuk
karbon aktif, serat karbon aktif, aerogels carbon, karbon berbasis dimensi
nanometer (carbon nanotubes), graphene, dan komposit mangan oksida. Selama
proses pembuatan elektroda, tidak dipungkiri adanya pelarut organik yang masih
menempel pada material elektroda. Untuk itu material elektroda yang dihasilkan
memerlukan perlakuan berupa pemanasan pada suhu tertentu untuk mengangkat
semua pelarut organik yang tersisa pada material elektroda. Lee et al. (2010) dan
Park dan Choi (2010) menggunakan oven hampa udara pada suhu 50ºC selama 2
jam untuk mengangkat pelarut organik pada elektroda. Hou dan Huang (2013)
menggunakan suhu 80ºC selama 2 jam dengan oven hampa udara.
Pramartaningthyas et al. (2014) menggunakan suhu 100ºC selama 1 jam.
36
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Tegangan Listrik Yang Diaplikasikan
Pada pengoperasian CDI, pemberian tegangan listrik yang tinggi pada
elektroda dapat menyebabkan adsorbsi ion meningkat. Namun, tegangan listrik
yang tinggi juga dapat mengakibatkan elektrolisis pada larutan. Jika tegangan
listrik yang diaplikasikan lebih dari 1,2 V, maka air akan terurai menjadi ion
hidrogen dan ion hidroksida, mengubah pH larutan dan elektroda karbon akan
teroksidasi. Jadi, rentang tegangan listrik yang dianjurkan adalah 0,8-1,2 V. Perlu
juga diingat bahwa pengaplikasian tegangan listrik yang tinggi akan menambah
konsumsi energi.
2.3.3. Laju Alir Larutan
Peningkatan laju alir dapat menyebabkan penurunan resistansi larutan
sehingga kerapatan arus bertambah dan pelepasan ion akan meningkat. Namun,
peningkatan laju alir juga menyebabkan ion tidak mempunyai waktu kontak
terhadap elektroda sehingga ion tidak terserap oleh elektroda.
2.3.4. Konsentrasi Ion Di Dalam Larutan Umpan
Peningkatan konsentrasi ion di dalam larutan menyebabkan penurunan
resistansi larutan, kecepatan adsrobsi bertambah, kapasitansi meningkat dan
peningkatan ion yang diserap. Namun, pada konsentrasi ion yang sangat tinggi
dapat menyebabkan elektroda mengalami kejenuhan, sehingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
37
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Lama Pengolahan Larutan Umpan
Adsorbsi ion dari larutan umpan pada elektroda akan berlangsung cepat
pada awal proses pengolahan. Namun, seiring dengan bertambahnya waktu,
proses adsorbsi akan semakin melambat hingga tercapai kesetimbangan dinamik
diakibatkan oleh elektroda yang mengalami tingkat kejenuhan.
2.3.6. Suhu
Penambahan suhu dapat mengakibatkan penurunan adsorbsi oleh elektroda
karena ion pada elektroda bisa terlepas ke larutan umpan.
2.3.7. Jarak Plat Elektroda
Jarak plat elektroda yang semakin kecil menyebabkan adsorbsi ion
semakin besar dan butuh waktu yang singkat dalam pengolahan larutan umpan.
2.3.8. Jumlah Sel Elektroda
Penambahan sel elektroda mengakibatkan peningkatan adsorbsi ion dari
larutan umpan.
2.4. Membran
Membran adalah lapisan tipis semipermiabel antara dua fasa fluida (fasa
umpan dan fasa permeat) yang berfungsi sebagai alat pemisah berdasarkan sifat
fisiknya. Membran bersifat semipermeabel, yakni menahan spesi tertentu yang
lebih besar dari ukuran pori membran dan melewatkan spesi lain dengan ukuran
lebih kecil. Sifat pada membran ini dapat digunakan dalam proses pemisahan.
38
Universitas Sumatera Utara
Proses pemisahan pada membran disebabkan oleh gaya dorong yang
berkaitan dengan beberapa parameter antara dua media yang dipisahkan seperti
perbedaan potensial listrik ∆
( E), perbedaan tekanan (∆P), perbedaan konsentrasi
(∆C) dan perbedaan suhu (∆T).
Hasil pemisahan berupa konsentrat (bagian dari campuran yang tidak
melewati membran) dan permeat (bagian dari campuran yang melewati
membran).
2.4.1. Klasifikasi Membran
Berdasarkan struktur dan prinsip pemisahan, terdapat 3 (tiga) klasifikasi
membran, yakni:
a. Membran berpori, yaitu membran dengan prinsip pemisahan didasarkan pada
perbedaan ukuran partikel dengan ukuran pori membran. Ukuran pori
menentukan selektifitas pemisahan dan ukuran partikel yang akan dipisahkan.
Menurut aturan International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC)
ada 3 (tiga) ukuran pori, yaitu:
1. makropori > 50 nm
2. mesopori antara 2 – 50 nm
3. mikropori < 2 nm (Roque-Malherbe, 2010)
b. Membran tak berpori, yaitu membran dengan prinsip pemisahan berdasarkan
perbedaan kelarutan dan atau kemampuan berdifusi yang mampu memisahkan
molekul-molekul yang memiliki ukuran sangat kecil dan tidak dapat
dipisahkan dengan membran berpori. Tingkat selektifitas dan permeabilitas
ditentukan oleh sifat intrinsik bahan polimer membran.
39
Universitas Sumatera Utara
c. Membran cair, yaitu membran yang pemisahannya ditentukan oleh sifat
molekul pembawa yang sangat spesifik. Media pembawa merupakan cairan
yang terdapat dalam pori-pori membran berpori. Secara skematik jenis
membran tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Jenis membran berdasarkan struktur dan prinsip
pemisahan
2.4.2. Klasifikasi Proses Berbasis Membran
Berdasarkan gaya dorong, terdapat 4 (empat) klasifikasi proses berbasis
membran (Wenten, 2016) yakni:
a. Proses berbasis membran dengan gaya dorong tekanan, contohnya:
mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF), nanofiltrasi (NF), dan osmosis balik
(RO).
b. Proses berbasis membran dengan gaya dorong perbedaan konsentrasi,
contohnya: pemisahan gas (separation gas/GS), pervaporasi (PV), membran
cair dan dialisis.
c. Proses berbasis membran dengan gaya dorong perbedaan suhu, contohnya:
membrane distilation (MD) dan termo-osmosis.
d. Proses berbasis membran dengan gaya dorong perbedaan potensial listrik,
contohnya: elektrodialisis (ED), elektrodeionisasi (EDI) dan elektrolisis.
40
Universitas Sumatera Utara
Wenten et al. (2010) menyebutkan bahwa pada pemanfaatan membran
penukar ion dapat dilakukan dengan 2 (dua) gaya yakni gradien konsentrasi dan
gradien potensial elektrik. Perpindahan massa yang terjadi dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) mode, yakni:
1. Difusi; dimana pergerakan komponen molekular karena gradien lokal dalam
potensial kimia.
2. Migrasi; dimana pergerakan ion karena gradien potensial listrik.
3. Konveksi; dimana pergerakan massa karena gaya seperti gradien tekanan
hidrostatik
Untuk karakterisasi membran penukar ion, dilakukan dengan melihat 2
(dua) hal yaitu: tahanan listrik membran dan potensial membran.
2.5. Membrane Capacitive Deionization
Membrane Capacitive Deionization (MCDI) adalah teknologi pengolahan
air yang menggunakan potensial listrik yang berbeda pada elektoda dengan
menempatkan membran pertukaran ion di depannya (Biesheuvel and Wal, 2010).
Sistem MCDI memungkinkan dioperasikan pada tegangan terbalik selama
pelepasan ion (deabsorpsi) dari elektroda. Hal ini tidak mungkin dilakukan pada
sistem CDI, karena ion yang dilepaskan dari satu elektroda dengan cepat diserap
oleh elektroda lainnya (Biesheuvel et al., 2011). Membran pertukaran ion
berfungsi untuk menghambat kation keluar dari katoda dan menghambat anion
keluar dari anoda, sehingga pada siklus selanjutnya terjadi peningkatan laju
adsorbsi dan kapasitas.
41
Universitas Sumatera Utara
Efisiensi muatan didefinisikan sebagai perbandingan antara muatan ion
yang diserap dari larutan dengan muatan listrik yang diberikan, sedangkan
efisiensi muatan pada CDI bergantung pada konsentrasi permeat yang terbentuk
dan nilai potensial (Dlugoleckhi and Wal, 2013).
2.6. Air
2.6.1. Pengertian Air
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian air adalah:
1. Cairan jernih tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau yang terdapat dan
diperlukan dalam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan yang secara
kimiawi mengandung hidrogen dan oksigen.
2. Benda cair yang biasa terdapat di sumur, sungai, danau yng mendidih pada
suhu 100 º C.
2.6.2. Air Bersih
Pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tentang syaratsyarat dan pengawasan kualitas air, disebutkan bahwa air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
Adapun persyaratan kualitas air bersih yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan R.I No:416/MENKES/PER/IX/1990 tanggal 3 September
1990 seperti pada Tabel 2.2
42
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Persyaratan kualitas air bersih
No.
1
2
Parameter
A. Fisika
Bau
Satuan
-
3
4
Jumlah zat padat terlarut
mg/l
(TDS)
Kekeruhan
Skala NTU
Rasa
-
5
Suhu
6
Warna
Skala NTU
B. Kimia
a. Kimia Anorganik
Air raksa
mg/l
Arsan
mg/l
Besi
mg/l
Flourida
mg/l
Kadmium
mg/l
Kesadahan (CaCO3)
mg/l
Klorida
mg/l
Kronium, valensi 6
mg/l
Mangan
mg/l
Nitrat, sebagai N
mg/l
Nitrit, sebagai N
mg/l
pH
mg/l
Selenium
mg/l
Seng
mg/l
Sianida
mg/l
Sulfat
mg/l
Timbal
mg/l
b. Kimia Organik
Aldrin dan dieldrin
mg/l
Benzena
mg/l
Benzo (a) pyrene
mg/l
Chloroform
(total
mg/l
Isomer)
Chloroform
mg/l
2,4-D
mg/l
DDT
mg/l
Detergen
mg/l
1,2-Dichloroethene
mg/l
1,1- Dichloroethene
mg/l
Heptachlor dan heptaclor
mg/l
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0º C
Kadar Maksimum
yang
Keterangan
diperbolehkan
1000
5
Suhu udara ± 3
ºC
Tidak
berbau
Tidak
berasa
-
0,001
0,005
1,0
1,5
0,005
500
600
0,05
0,5
10
1,0
0,05
0,01
15
0,1
400
0,05
0,0007
0,01
0,00001
0,007
0,03
0,10
0,03
0,5
0,01
0,0003
0,003
43
Universitas Sumatera Utara
12
13
14
15
16
17
18
1
2
1
2
epoxide
Hezachlorobenzene
Gamma-HCH (Lindane)
Methoxychlor
Pentachloropenol
Pestisida total
2,4,6-trichorophenol
Zat organik (KmnO4)
c. Mikrobiologik
Total Koliform (MPN)
Koliform tinja belum
diperiksa
d. Radioaktivitas
Aktivitas Alpha (Gross
Alpha activity)
Aktivitas Beta (Gross
Beta activity)
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
0,00001
0,004
0,10
0,01
0,10
0,01
10
Jumlah per
100 ml
Jumlah per
100 ml
0
Bg/l
0,1
Bg/l
1,0
Bukan air
pipaan
Bukan air
pipaan
0
2.6.3. Air Sadah
Air sadah adalah air yang mengandung ion-ion yang menghasilkan
sejumlah besar endapan. Penyebab kesadahan air pada umumnya disebabkan oleh
adanya ion kalsium (Ca2+) dan ion Magnesium (Mg2+), atau dapat juga disebabkan
karena adanya ion-ion lain, seperti besi (Fe2+), strontinum (Sr2+), dan mangan
(Mn2) dalam bentuk garam sulfat, khlorida dan bikarbonat dalam jumlah kecil.
Karena ion Ca2+ dan ion Mg2+ merupakan penyebab utama kesadahan, sehingga
kesadahan dibatasi sebagai sifat dan karakteristik air yang menggambarkan
konsentrasi ion Ca2+ dan ion Mg2+ yang dinyatakan sebagai CaCO3 dan MgCO3.
Senyawa-senyawa kalsium dan magnesium relatif sukar larut dalam air, sehingga
cenderung memisah dari larutan dalam bentuk endapan atau presipitat yang
akhirnya menjadi scaling. Pada industri, scaling yang timbul pada dinding
peralatan sistem pemanasan dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan
industri, disamping dapat menghambat proses pemanasan. Masalah ini
44
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan
penurunan
kinerja
industri
yang
pada
akhirnya
dapat
menimbulkan kerugian. Oleh karena itu persyaratan kesadahan pada air industri
sangat diperhatikan. Pada umumnya jumlah kesadahan air yang digunakan dalam
industri harus nol, yang berarti bahwa unsur Ca dan Mg dihilangkan sama sekali.
Kesadahan dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni :
1.
Kesadahan sementara adalah air yang mengandung ion bikarbonat, seperti
kalsium karbonat (Ca(HCO3)2) dan magnesium karbonat (Mg(HCO3)2).
Kesadahan sementara dapat dihilangkan dengan cara pemanasan sehingga
terbentuk endapan CaCO3 atau MgCO3.
2.
Kesadahan tetap adalah air yang mengadung anion selain ion bikarbonat,
dapat berupa ion Cl-, NO3- dan SO42-. Contohnya: kalsium sulfat (CaSO4),
kalsium khlorida (CaCl2), kalsium sitrat (Ca(NO3)2),
(MgSO4)
dan
magnesium
khlorida(MgCl2),dan
magnesium sulfat
magnesium
nitrat
(Mg(NO3)2). Kesadahan tetap tidak dapat dihilangkan dengan cara
pemanasan.
Pengurangan
kesadahan
tetap
dapat
dilakukan
dengan
penambahan larutan soda kapur atau melalui proses pertukaran ion.
Penambahan larutan soda kapur (terdiri dari natrium bikarbonat dan
magnesium hidroksida) dapat membentuk endapan kalsium karbonat dan
magnesium hidroksida dalam air yang merupakan indikasi bahwa air tersebut
telah bebas dari kesadahan. Proses pertukaran ion dapat dilakukan dengan
menggunakan resin penukar ion zeolit alam atau zeolit buatan, dengan
menukar ion kalsium dan ion magnesium dengan ion sodium. Cara lain untuk
menghilangkan kesadahan tetap adalah dengan menggunakan teknologi CDI.
45
Universitas Sumatera Utara
Tingkat kesadahan di setiap perairan berbeda-beda seperti ditunjukkan
pada Tabel 2.3. Pada umumnya perairan yang berada di wilayah yang memiliki
lapisan tanah pucuk (top soil) tebal dan batuan berkapur memiliki nilai kesadahan
yang tinggi. Perairan yang berada di wilayah dengan lapisan tanah atas yang tipis
dan batuan kapur relatif sedikit atau bahkan tidak ada memiliki nilai kesadahan
yang rendah.
Tabel 2.3 Klasifikasi tingkat kesadahan
(Peavy et al. 1985, dalam Effendi 2003)
CaCO3 (mg/l)
0 – 75
75 – 150
150 – 300
> 300
Tingkat kesadahan
Lunak (soft)
Sedang (moderately hard)
Tinggi (hard)
Tinggi sekali (very hard)
2.7. Karakterisasi Elektroda
2.7.1. Scanning Electron Microscope
Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan teknik yang digunakan
untuk melihat morfologi permukaan elektroda, mencakup bentuk dan ukurannya.
Permukaan yang akan diuji dipindai dengan pancaran berkas elektron lalu
pantulan elektron ditangkap dan ditampilkan di atas tabung sinar katoda.
Bayangan yang tampak di atas layer menunjukkan gambaran permukaan
spesimen.
Sampel elektroda yang akan dikarakterisasi dilapisi emas dengan
menggunakan metode sputtering. SEM dioperasikan pada tegangan 20 kV dengan
pembesaran 250, 500, 1000, 2000, dan 4000 kali.
46
Universitas Sumatera Utara
2.7.2. Cylic Voltammetry
Cyclic voltammetry (CV) adalah suatu teknik analisis kualitatif dan
kuantitatif dalam mengkarakterisasi reaksi yang terjadi di dalam sel elektrokimia.
Teknik CV dapat memberikan informasi dengan cepat, dimana respon arus diukur
sebagai fungsi potensial (voltase), dengan pemberian potensial yang dilakukan
secara bolak-balik, sehingga informasi reduksi dan oksidasi dapat teramati dengan
baik. Karakteristik CV tergantung beberapa faktor yaitu laju reaksi transfer
elektron, kereaktifan spesi elektroaktif, dan scan rate voltase. Spesi yang semula
dioksidasi pada sapuan potensial awal (forward scan) akan direduksi setelah
sapuan potensial balik (reverse scan).
Sel voltametri terdiri dari tiga elektroda yaitu elektroda kerja, elektroda
pembantu dan elektroda pembanding, dimana ketiganya tercelup di dalam sel
voltametri seperti terlihat pada Gambar 2.2 berikut.
Elektroda pembanding merupakan elektroda dengan harga potensial
setengah sel yang diketahui, konstan dan tidak bereaksi terhadap komposisi
larutan yang sedang diselidiki. Elektroda pembanding memberikan potensial pada
elektroda kerja yang dibandingkan. Elektroda pembanding memberikan potensial
yang stabil terhadap elektroda kerja yang dibandingkan. Elektroda pembanding
yang biasa digunakan adalah elektroda kalomel dan elektroda perak/perak klorida.
Harga potensial elektroda kalomel adalah 0,244 V pada 25ºC dibandingkan
terhadap elektroda hidrogen standar. Elektroda perak/perak klorida terbuat dari
larutan jenuh atau 3,5 M KCl yang harga potensialnya adalah 0,199 V (jenuh) dan
0,205 V (3,5 M) pada 25ºC. Elektroda ini dapat digunakan pada suhu yang lebih
tinggi dibandingkan dengan elektroda kalomel.
47
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Diagram sel voltametri; W: elektroda kerja;
R: elektroda pembanding; A: elektroda pembantu
(Schroll, 2015)
Elektroda pembantu dikendalikan oleh potensiostat untuk kesetimbangan
arus difusi pada elektroda kerja dengan transfer elektron ke arah sebaliknya. Jika
terjadi reduksi pada elektroda kerja maka oksidasi terjadi pada elektroda
pembantu. Elektroda pembantu yang digunakan harus bersifat inert seperti kawat
platina atau batang karbon yang berfungsi sebagai pembawa arus.
Teknik CV digunakan untuk memperoleh informasi kualitatif tentang
reaksi elektrokimia dengan metode pengukuran elektrokimia potensiodinamik.
Bentuk gelombang potensial yang digunakan pada analisis elektrokimia
merupakan bentuk gelombang linear, yaitu potensial yang secara kontinyu diubah
sebagi fungsi linear terhadap waktu. Hasil pengukuran CV dapat digunakan untuk
menentukan sifat termodinamika proses redoks, sifat kinetik reaksi transfer
elektron dan reaksi adsorpsi.
CV terdiri dari siklus potensial dari suatu elektroda yang dicelupkan ke
dalam larutan yang tidak diaduk yang mengandung spesies elektroaktif dan
mengukur arus yang dihasilkan. Potensial pada elektroda kerja dikontrol oleh
48
Universitas Sumatera Utara
elektroda pembanding perak/perak klorida pada rentang potensial ±0,5 V dan laju
sapuan 5 mV/s. Elektroda pembantu yang digunakan adalah platina. Pengontrol
potensial yang diterapkan pada dua elektroda dapat dianggap sebagai sinyal
eksitasi. Sinyal eksitasi untuk CV adalah penyapuan potensial linear dengan
gelombang segitiga.
Teknik
pengukuran
menggunakan
CV
dilakukan
dengan
cara
mempolarisasikan elektroda kerja. Metode ini termasuk metode aktif karena
pengukurannya berdasarkan potensial yang terkontrol. Pengukuran dilakukan
dengan memberikan suatu potensial ke dalam sel elektrokimia, kemudian respon
arus yang dihasilkan diukur. Respon arus diukur pada daerah potensial yang telah
ditentukan. Kemudian dibuat plot arus fungsi potensial yang disebut voltamogram
cyclic. Scan tegangan dengan metode voltamogram cyclic akan menghasilakn
respon arus yang spesifik. Jika respon arus fungsi scan potensial ini digambarkan,
maka akan berbentuk kurva voltamogram seperti pada Gambar 2.3 berikut.
Keterangan:
Epa = Potensial saat
terbentuknya peak anodic
Epc = Potensial pada saat
terbentuknya peak cathodic
Ipa = Arus pada saat terbentuknya
peak anodic
Ipc = Arus pada saat terbentuknya
peak cathodic
Gambar 2.3 Voltamogram sinyal gelombang elektroda berupa respon arus
yang diukur sebagai fungsi potensial
49
Universitas Sumatera Utara
2.7.3. Electrochemical Impedance Spectroscopy
Hambatan listrik adalah kemampuan sirkuit menahan arus listrik. Hukum
Ohm mendefinisikan hambatan sebagai perbandingan antara beda potensial
dengan arus listrik. Hukum ini hanya berlaku untuk hambatan ideal, yang
memenuhi :
1. Sesuai dengan hukum Ohm untuk berbagai potensial dan arus.
2. Nilai hambatan tidak bergantung pada frekuensi.
3. Sinyal arus dan potensial AC yang melewati hambatan sefasa.
Namun dalam sistem elekrokimia nyata, hambatan yang berlaku tidaklah ideal,
nilainya bergantung pada frekuensi. Oleh sebab itu, diperkenalkan konsep
impedansi (Z). Selain informasi nilai hambatan, pada impedansi juga terdapat
informasi perbedaan fasa, yakni perbedaan fasa antara potensial stimulus dengan
arus responnya seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4.
E,I
Gambar 2.4 Perbedaan fasa antara stimulus potensial dan respons
arus
Sebuah vektor planar dapat direpresentasikan sebagai vektor penjumlahan
di sepanjang sumbu oleh bilangan kompleks seperti pada persamaan (2.4) berikut.
Z = a + jb
(2.4)
50
Universitas Sumatera Utara
Bilangan imajiner j ≅ √−1 ≅ exp (jπ/2) mengindikasikan perputaran sebanyak π/2
derajat berlawanan arah jarum jam dari sumbu-x positif. Bagian riilnya berada di
sepanjang sumbu-x dan bagian imajinernya berada di sepanjang sumbu-y.
Impedansi merupakan vektor planar yang dapat diplot sebagai koordinat kartesius
ataupun koordinat polar seperti yang terlihat pada Gambar 2.5. Secara matematis
dapat dituliskan :
Z = Z’ + jZ”
(2.5)
Komponen x dan y dari impedansi tersebut adalah :
Dengan sudut fasa :
Dan modulus :
Keterangan :
Zriil = Z’ = |Z| cos (θ)
(2.6)
Zim = Z” = |Z| sin (θ)
(2.7)
θ = tan-1 (Z” / Z’)
(2.8)
|�| = �(� ′ )2 + (�")2
(2.9)
Z = impedansi (Ω)
Z’ = impedansi riil (Ω)
Z” = impedansi imajiner (Ω)
Gambar 2.5 Impedansi (Z) diplot sebagai vektor
planar
dalam koordinat kartesius (Barsoukov, 2005)
51
Universitas Sumatera Utara
Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) adalah suatu teknik
analisis yang digunakan untuk mempelajari sifat elektrik dari sistem elektrodaelektrolit yang dinamis. Prinsip pengukuran EIS adalah dengan menggunakan
stimulus elektrik (potensial atau arus listrik) pada sistem dan mengukur
responsnya (kuat arus, potensial atau sinyal lainnya). Ketika sel diberi stimulus
maka serangkaian proses mikroskopik terjadi yang meliputi transfer elektron
sepanjang jalur konduksi, antara anatarmuka elektrolit-elektroda, ataupun antar
atom bermuatan dengan lingkungan sekitarnya (reduksi atau oksidasi). Laju
elektron (arus listrik) bergantung pada hambatan elektroda, hambatan elektrolit
dan reaksi antarmuka elektroda-elektrolit.
Sinyal stimulus yang diberikan mempunyai bentuk fungsi terhadap waktu:
�(�) = �0 cos(��)
(2.10)
E(t) adalah potensial saat waktu t, E0 adalah amplitudo sinyal dan ω adalah
frekuensi radial.
Sinyal respons It, mempunyai pergeseran fasa ϕ dan amplitudo I0.
�(�) = I0 cos(�� − �)
(2.11)
Analogi terhadap Hukum Ohm, maka impedansi sistem adalah:
�=
��
��
=I
�0 cos (�� )
0 cos (�� −�)
cos (�� )
= �0 cos (�� −�)
(2.12)
Nilai impedansi riil menentukan hambatan pengisian elektroda. Hambatan
di setiap frekuensi diperoleh dari pengurangan impedansi riil terhadap hambatan
pada frekuensi tinggi (Park, 2011; Pröbstle, 2003).
Sedangkan impedansi imajiner memberikan kontribusi dalam menentukan
nilai kapasitansi elektroda, yakni (Pröbstle, 2003):
1
� = �� � " �
(2.13)
52
Universitas Sumatera Utara
Keterangan:
C = kapasitansi (F)
ω = frekuensi (Hz)
Z” = impedansi imajiner (Ω)
Untuk tipe elektroda berpori dijelaskan bahwa pada frekeuensi rendah,
nilai kapasitansi akan bertambah dengan berkurangnya frekuensi (Conway, 1999).
Pengukuran menggunakan EIS dilakukan pada potensial 0,0 V dengan
rentang frekuensi 100-0,002 Hz, untuk mendapatkan nilai kapasitan spesifik dan
nilai resistansi elektroda.
Sifat intrinsik yang berhubungan dengan konduktivitas sel elektrokimia
yang dapat dipelajari dengan EIS dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis.
1. Sifat yang berhubungan dengan bahan itu sendiri seperti konduktivitas,
konstanta dielektrik, dan mobilitas muatan.
2. Sifat yang berhubungan dengan antarmuka elektroda-bahan yaitu konstanta
laju reaksi adsorpsi, kapasitansi antarmuka, dan koefisien difusi.
53
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karbon Aktif
Karbon aktif merupakan zat padat amorf yang mempunyai luas permukaan
internal dan volume pori yang sangat besar (Kirk, 1992). Karbon aktif merupakan
adsorben yang sangat baik yang dapat menyerap gas atau zat lain dalam larutan
dan udara karena mempunyai permukaan yang luas dan berongga dengan struktur
yang berlapis.
2.1.1. Jenis-jenis Karbon Aktif
Berdasarkan penggunaannya, terdapat 2 (dua) jenis karbon aktif yakni
karbon aktif untuk fasa cair dan karbon aktif fasa gas.
2.1.1.1. Karbon aktif untuk fasa cair.
Karbon aktif fasa cair pada
umumnnya berbentuk serbuk yang sangat
halus. Biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis rendah seperti kayu,
serbuk gergaji dan bahan yang mengandung lignin. Karbon aktif jenis ini banyak
digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, warna dan kontaminan organik
lainnya.
2.1.1.2. Karbon aktif untuk fasa gas.
Karbon aktif fasa gas pada umumnya berbentuk butiran/granular/pelet
yang sangat keras. Biasanya terbuat dari bahan yang memiliki berat jenis lebih
27
Universitas Sumatera Utara
besar seperti tempurung kelapa, tulang atau batu bara. Karbon aktif jenis ini
digunakan untuk memperoleh kembali pelarut, pemisahan dan pemurnian gas.
2.1.2. Proses Pembuatan Karbon Aktif
Proses pembuatan karbon aktif secara garis besar ada 3 (tiga) tahapan,
yakni tahap dehidrasi, tahap karbonisasi dan tahap aktivasi.
2.1.2.1 Proses Dehidrasi
Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air di dalam bahan
baku. Proses dehidrasi dilakukan dengan menjemur bahan baku di bawah sinar
matahari atau melalui pemanasan dengan menggunakan oven sampai diperoleh
bobot konstan.
2.1.2.2 Proses Karbonisasi
Proses
karbonisasi
atau
pengarangan
bertujuan
untuk
terjadinya
penguraian senyawa organik penyusun struktur bahan sehingga membentuk
methanol, uap asam asetat, tar-tar dan hidrokarbon. Pori-pori karbon akan mulai
terbuka akibat pengeluaran pengotor. Tahapan karbonisasi dilakukan dengan
pemanasan pada suhu tertentu dengan jumlah oksigen yang sangat terbatas dan
biasanya dilakukan di dalam tungku pembakaran (furnace). Penambahan suhu
dilakukan untuk mempercepat reaksi pembentukan pori. Akan tetapi pembatasan
suhu pemanasan sangat diperlukan. Suhu yang terlalu tinggi, mengakibatkan
terbentuknya abu yang sangat banyak sehingga menutupi pori-pori.
28
Universitas Sumatera Utara
Proses karbonisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni kadar air,
ketebalan bahan baku, kekerasan bahan baku, udara di sekeliling dapur
pembakaran, dan waktu pemanasan. Selama berlangsungnya karbonisasi, atomatom karbon mengelompok secara bebas dalam formasi kristalografis yang
disebut sebagai kristal grafit.
2.1.2.3 Proses Aktifasi
Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat yang menutupi poripori permukaan arang. Proses aktifasi karbon dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni
secara fisika dan secara kimia.
1. Aktifasi secara fisika
Pada proses ini, karbon dipanaskan pada suhu sekitar 800-1000 ºC lalu
dialirkan gas pengoksidasi seperti uap air, oksigen, atau CO2. Karbon akan
bereaksi dengan gas pengoksidasi. Bila menggunakan uap air sebagai gas
pengoksidasi maka akan melepaskan karbon monoksida dan hidrogen. Di
samping itu, senyawa-senyawa produk samping pun akan terlepas pada proses
ini sehingga pori yang terbentuk semakin luas dan meningkatkan daya
adsorpsi.
2. Aktifasi secara kimia
Pada proses ini, karbon akan dicampur dengan bahan-bahan kimia yang
berfungsi sebagai aktifator, lalu dikeringkan dan dipanaskan. Bahan-bahan
kimia yang biasa digunakan adalah garam dari logam alkali dan alkali tanah
serta zat asam seperti KOH, NaOH, ZnCl2, H3PO4, dan H2SO4. Zat aktivator
29
Universitas Sumatera Utara
akan mengoksidasi karbon dan merusak bagian dalam karbon sehingga akan
terbentuk pori dan daya adsoprsi meningkat.
Bila dibandingkan dengan aktifasi fisika, suhu aktifasi pada aktifasi kimia
lebih rendah. Selain itu, aktifasi secara kimia akan membentuk struktur pori yang
lebih baik dan luas permukaan yang tinggi.
2.1.3. Kualitas Karbon Aktif
Kualitas karbon aktif dipengaruhi oleh jenis bahan baku, teknologi
pengolahan, proses pengolahan, dan tujuan penggunaannya. Badan Standarisasi
Nasional telah memberikan penilaian kualitas karbon aktif berdasarkan
persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 seperti terlihat pada
Tabel 2.1
Tabel 2.1 Persyaratan karbon aktif Standar Nasional Indonesia
(SNI) 06-3730-1995
Uraian
Bagian yang hilang pada pemanasan 950ºC
Prasyarat Kualitas
Butiran
Serbuk
Maks. 15%
Maks. 25%
Kadar air
Maks. 4,5%
Kadar abu
Maks. 2,5%
Bagian tidak mengarang
0
Daya serap terhadap I2
Min. 750 mg/g
Karbon aktif murni
Min. 80%
Daya serap terhadap benzena
Min. 25%
Daya serap terhadap biru metilen
Min. 60 mg/g
Berat jenis curah
(0,45-0,55) g/ml
Lolos mesh 325
Jarak mesh
90%
Kekerasan
80%
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 1995
Maks. 15%
Maks. 10%
0
Min. 750 mg/g
Min. 65%
-
Min. 120 mg/g
(0,3-0,35) g/ml
Min. 90%
-
30
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Karbon Aktif Tempurung Kelapa
Bahan karbon aktif terbaik yang biasa digunakan adalah tempurung
kelapa. Di samping memiliki kandungan karbon yang sangat banyak, tempurung
kelapa mudah diperoleh secara komersial.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiansah dan Susanti (2013)
menyimpulkan bahwa tempurung kelapa memiliki nilai kapasitas dan luas
permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan tempurung kluwak. Kurniawan
et al. (2014) juga melakukan penelitian yang menghasilkan bahwa luas
permukaan karbon aktif dari bahan tempurung kelapa lebih baik dibandingkan
dengan karbon aktif dari tandan kosong kelapa sawit.
Ada banyak manfaat penggunaan karbon aktif tempurung kelapa yang
pernah dilakukan, antara lain :
1. Untuk peningkatan kualitas air tambak (Hartati et al., 2005).
2. Adsorbsi gas karbon monoksida (CO) dalam ruangan (Nurulita dan
Mifbakhuddin, 2015).
3. Sebagai adsorben untuk mengurangi kadar fenol dalam air limbah
(Pambayun, 2013).
4. Untuk menurunkan kesadahan (Wahyudi, 2013).
5. Sebagai bahan pembuatan elektroda superkapasitor (Wati et al., 2015).
6. Sebagai bahan elektroda karbon (Rampe, 2015).
31
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Aplikasi Karbon Aktif Sebagai Elektroda
Elektroda merupakan suatu material yang berfungsi sebagai perantara
dalam menghantarkan arus listrik. Elektroda yang baik memiliki sifat konduktif,
resistivitas rendah, porositasnya tinggi, daya serap tinggi, kestabilan yang tinggi,
serta biaya produksinya rendah.
Untuk dapat digunakan sebagai elektroda, karbon aktif memerlukan
pengikat sehingga dapat membentuk lembaran yang bisa diaplikasikan pada
berbagai keperluan seperti pada proses pengolahan air dengan sistem CDI.
Pengikat yang digunakan dapat berupa polimer. Salah satu polimer yang
digunakan sebagai pengikat adalah PVA.
2.2. Polyvinyl Alcohol
Polimer merupakan makromolekul dengan struktur yang berulang. Dilihat
dari kelembabannya, terdapat 2 (dua) jenis polimer yakni polimer hidrofobik dan
polimer hidrofilik. Polimer hidrofobik merupakan jenis polimer yang sulit
menyerap air. Sifat hidrofobik polimer dapat menyebabkan berkurangnya
penyerapan ion pada elektroda karena tingkat kebasahan permukaan elektroda
berkurang dan kontak antara larutan yang akan diproses dengan menggunakan
elektroda pun akan berkurang. Sedangkan polimer hidrofilik merupakan jenis
polimer yang bersifat dapat menyerap uap air, tahan terhadap air, penyerapan air
rendah, sifat elastisitas dan sifat mekanik yang baik, stabilitas panas dan tahan
terhadap bahan kimia serta proses pembuatan mudah.
32
Universitas Sumatera Utara
PVA termasuk polimer hidrofilik dengan rumus molekul (-C2H4O-)n,
berbentuk bubuk halus, berwarna putih kekuningan, tidak berbau dan memiliki
densitas 1,3 g/cm3 (pada 20º C) dengan kisaran pH 3,5-7,0 (jika dilarutkan dengan
konsentrasi 40 g/l pada 20º C). Beberapa kelebihan polimer PVA yaitu murah,
tidak beracun dan stabil secara ikatan kimia (Rosi et al., 2012).
Mutu PVA komersial memiliki derajat hidrolisis yang tinggi yakni di atas
98,5%. Derajat hidrolisis mempengaruhi kelarutan PVA dalam air. Semakin tinggi
derajat hidrolisis maka kelarutan dalam air semakin rendah (Hassan dan Peppas,
2000). PVA dengan derajat hidrolisis 98,5% atau lebih dapat dilarutkan dengan
air pada suhu 70ºC.
2.2.1. Hidrogel PVA
Hidrogel merupakan bentuk jaring polimer tiga dimensi yang terdiri dari
polimer yang berikatan silang dengan senyawa pengikatnya dan mengandung
pelarut air yang terjebak di dalamnya. Polimer PVA dapat digunakan sebagai
bahan pembuatan hidrogel.
Hidrogel PVA memiliki sifat mekanik yang rendah (rapuh) sehingga untuk
memperluas pemakaiannya diperlukan modifikasi. Contoh modifikasi hidrogel
PVA dengan proses fisika adalah beku leleh ( freezing thawing) (Erizal, 2012).
2.2.2. Proses Beku Leleh
Untuk menghindari terjadinya proses ikat silafng (crosslinking) hidrogel
yang berpotensi menghasilkan bahan yang mengandung racun, maka metode yang
dilakukan adalah proses beku leleh. Pembuatan hidrogel PVA menggunakan
33
Universitas Sumatera Utara
metode beku leleh yang pertama kali dilakukan oleh Peppas pada tahun 1975,
dimana larutan dengan komposisi PVA di antara 2,5 dan 15wt% dibekukan pada
suhu -20º C dan dilelehkan pada suhu ruang. Hidrogel yang dihasilkan dipengaruhi
oleh konsentrasi PVA dalam larutan, waktu pembekuan dan waktu pelelehan.
Proses beku leleh yang terdiri dari 1 (satu) kali pembekuan dan 1 (satu)
kali pelelehan disebut 1 (satu) siklus. Kekuatan mekanik hidrogel PVA dengan
metode beku leleh bergantung pada beberapa faktor, yakni berat molekul,
konsentrasi larutan, suhu, dan waktu pembekuan serta jumlah siklus beku leleh.
Fatimah dan Endarko (2013) telah berhasil membuat elektroda untuk sistem CDI
menggunakan metode beku leleh dengan komposisi karbon aktif, grafit dan PVA
yang menghasilkan kapasitansi terbesar dan porositas elektroda tertinggi yakni
18:6:1.
2.3. Capacitive Deionization
Elektroda karbon aktif dapat digunakan pada proses pengolahan air
dengan menggunakan sistem Capacitive Deionization (CDI). Proses CDI
merupakan teknologi yang mengangkat material ion dengan menggunakan reaksi
adsorpsi elektrostatik electric double layer (EDL) pada permukaan elektroda
ketika elektroda diberi potensial (Choi, 2010; Strathmann, 2010). CDI
dioperasikan pada potensial rendah antara 0,8-1,2 V sehingga reaksi
reduksi/oksidasi elektrokimia tidak terjadi pada permukaan elektroda. Akibatnya
konsumsi energi dapat dikurangi. Penyerapan ion dan regenerasi pada CDI sangat
mudah dilakukan yakni dengan pengisian dan pemutusan potensial listrik pada
34
Universitas Sumatera Utara
elektroda. Hal ini juga menyebabkan teknologi CDI dianggap proses ramah
lingkungan.
Ketika potensial listrik diberikan pada elektroda, ion akan diserap dan
disimpan sementara dalam elektroda. Elektroda akan mengalami batas jenuh
sehingga perlu diregenerasi dengan mengurangi potensial listrik. Setelah ion
dilepaskan dari elektroda, air limbah yang mengandung konsentrasi ion dapat
digunakan kembali untuk mengurangi ion yang terkandung di dalamnya.
Kapasitansi sistem CDI dapat dievaluasi dengan Cyclic Voltammetry. Tanpa
kontribusi Faradaik, besar kapasitansi elektroda dapat ditentukan menggunakan
persamaan (2.1) (Tipler, 2001)
Keterangan:
�=
��
(2.1)
�
C = kapasitansi (F)
I = kuat arus listrik (A)
t = waktu (s)
V = potensial (V)
Dari voltammogram dan laju sapuan, diperoleh:
��
��
Keterangan :
�
� = ∫ �� = � ∫ �� = �
(2.2)
� = muatan (coulomb)
� = perbedaan potensial (Volt)
� = waktu (sekon)
� = kuat arus (Ampere)
� = laju sapuan (Volt/sekon)
35
Universitas Sumatera Utara
Besarnya kapasitansi spesifik elektroda diperoleh dengan persamaan (2.3)
berikut.
�
Keterangan :
�� = �
(2.3)
Cs = kapasitansi spesifik (F/g)
C = kapasitansi (F)
m = massa elektroda (g)
Kinerja CDI dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti material elektroda,
tegangan listrik yang diaplikasikan, laju alir larutan, konsentrasi ion larutan, lama
pengolahan air yang diionisasi, suhu larutan, jarak plat elektroda, serta jumlah
pasangan elektroda (Huang, 2013).
2.3.1. Material Elektroda CDI
Material elektroda yang digunakan untuk aplikasi CDI antara lain: serbuk
karbon aktif, serat karbon aktif, aerogels carbon, karbon berbasis dimensi
nanometer (carbon nanotubes), graphene, dan komposit mangan oksida. Selama
proses pembuatan elektroda, tidak dipungkiri adanya pelarut organik yang masih
menempel pada material elektroda. Untuk itu material elektroda yang dihasilkan
memerlukan perlakuan berupa pemanasan pada suhu tertentu untuk mengangkat
semua pelarut organik yang tersisa pada material elektroda. Lee et al. (2010) dan
Park dan Choi (2010) menggunakan oven hampa udara pada suhu 50ºC selama 2
jam untuk mengangkat pelarut organik pada elektroda. Hou dan Huang (2013)
menggunakan suhu 80ºC selama 2 jam dengan oven hampa udara.
Pramartaningthyas et al. (2014) menggunakan suhu 100ºC selama 1 jam.
36
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Tegangan Listrik Yang Diaplikasikan
Pada pengoperasian CDI, pemberian tegangan listrik yang tinggi pada
elektroda dapat menyebabkan adsorbsi ion meningkat. Namun, tegangan listrik
yang tinggi juga dapat mengakibatkan elektrolisis pada larutan. Jika tegangan
listrik yang diaplikasikan lebih dari 1,2 V, maka air akan terurai menjadi ion
hidrogen dan ion hidroksida, mengubah pH larutan dan elektroda karbon akan
teroksidasi. Jadi, rentang tegangan listrik yang dianjurkan adalah 0,8-1,2 V. Perlu
juga diingat bahwa pengaplikasian tegangan listrik yang tinggi akan menambah
konsumsi energi.
2.3.3. Laju Alir Larutan
Peningkatan laju alir dapat menyebabkan penurunan resistansi larutan
sehingga kerapatan arus bertambah dan pelepasan ion akan meningkat. Namun,
peningkatan laju alir juga menyebabkan ion tidak mempunyai waktu kontak
terhadap elektroda sehingga ion tidak terserap oleh elektroda.
2.3.4. Konsentrasi Ion Di Dalam Larutan Umpan
Peningkatan konsentrasi ion di dalam larutan menyebabkan penurunan
resistansi larutan, kecepatan adsrobsi bertambah, kapasitansi meningkat dan
peningkatan ion yang diserap. Namun, pada konsentrasi ion yang sangat tinggi
dapat menyebabkan elektroda mengalami kejenuhan, sehingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
37
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Lama Pengolahan Larutan Umpan
Adsorbsi ion dari larutan umpan pada elektroda akan berlangsung cepat
pada awal proses pengolahan. Namun, seiring dengan bertambahnya waktu,
proses adsorbsi akan semakin melambat hingga tercapai kesetimbangan dinamik
diakibatkan oleh elektroda yang mengalami tingkat kejenuhan.
2.3.6. Suhu
Penambahan suhu dapat mengakibatkan penurunan adsorbsi oleh elektroda
karena ion pada elektroda bisa terlepas ke larutan umpan.
2.3.7. Jarak Plat Elektroda
Jarak plat elektroda yang semakin kecil menyebabkan adsorbsi ion
semakin besar dan butuh waktu yang singkat dalam pengolahan larutan umpan.
2.3.8. Jumlah Sel Elektroda
Penambahan sel elektroda mengakibatkan peningkatan adsorbsi ion dari
larutan umpan.
2.4. Membran
Membran adalah lapisan tipis semipermiabel antara dua fasa fluida (fasa
umpan dan fasa permeat) yang berfungsi sebagai alat pemisah berdasarkan sifat
fisiknya. Membran bersifat semipermeabel, yakni menahan spesi tertentu yang
lebih besar dari ukuran pori membran dan melewatkan spesi lain dengan ukuran
lebih kecil. Sifat pada membran ini dapat digunakan dalam proses pemisahan.
38
Universitas Sumatera Utara
Proses pemisahan pada membran disebabkan oleh gaya dorong yang
berkaitan dengan beberapa parameter antara dua media yang dipisahkan seperti
perbedaan potensial listrik ∆
( E), perbedaan tekanan (∆P), perbedaan konsentrasi
(∆C) dan perbedaan suhu (∆T).
Hasil pemisahan berupa konsentrat (bagian dari campuran yang tidak
melewati membran) dan permeat (bagian dari campuran yang melewati
membran).
2.4.1. Klasifikasi Membran
Berdasarkan struktur dan prinsip pemisahan, terdapat 3 (tiga) klasifikasi
membran, yakni:
a. Membran berpori, yaitu membran dengan prinsip pemisahan didasarkan pada
perbedaan ukuran partikel dengan ukuran pori membran. Ukuran pori
menentukan selektifitas pemisahan dan ukuran partikel yang akan dipisahkan.
Menurut aturan International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC)
ada 3 (tiga) ukuran pori, yaitu:
1. makropori > 50 nm
2. mesopori antara 2 – 50 nm
3. mikropori < 2 nm (Roque-Malherbe, 2010)
b. Membran tak berpori, yaitu membran dengan prinsip pemisahan berdasarkan
perbedaan kelarutan dan atau kemampuan berdifusi yang mampu memisahkan
molekul-molekul yang memiliki ukuran sangat kecil dan tidak dapat
dipisahkan dengan membran berpori. Tingkat selektifitas dan permeabilitas
ditentukan oleh sifat intrinsik bahan polimer membran.
39
Universitas Sumatera Utara
c. Membran cair, yaitu membran yang pemisahannya ditentukan oleh sifat
molekul pembawa yang sangat spesifik. Media pembawa merupakan cairan
yang terdapat dalam pori-pori membran berpori. Secara skematik jenis
membran tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Jenis membran berdasarkan struktur dan prinsip
pemisahan
2.4.2. Klasifikasi Proses Berbasis Membran
Berdasarkan gaya dorong, terdapat 4 (empat) klasifikasi proses berbasis
membran (Wenten, 2016) yakni:
a. Proses berbasis membran dengan gaya dorong tekanan, contohnya:
mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF), nanofiltrasi (NF), dan osmosis balik
(RO).
b. Proses berbasis membran dengan gaya dorong perbedaan konsentrasi,
contohnya: pemisahan gas (separation gas/GS), pervaporasi (PV), membran
cair dan dialisis.
c. Proses berbasis membran dengan gaya dorong perbedaan suhu, contohnya:
membrane distilation (MD) dan termo-osmosis.
d. Proses berbasis membran dengan gaya dorong perbedaan potensial listrik,
contohnya: elektrodialisis (ED), elektrodeionisasi (EDI) dan elektrolisis.
40
Universitas Sumatera Utara
Wenten et al. (2010) menyebutkan bahwa pada pemanfaatan membran
penukar ion dapat dilakukan dengan 2 (dua) gaya yakni gradien konsentrasi dan
gradien potensial elektrik. Perpindahan massa yang terjadi dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) mode, yakni:
1. Difusi; dimana pergerakan komponen molekular karena gradien lokal dalam
potensial kimia.
2. Migrasi; dimana pergerakan ion karena gradien potensial listrik.
3. Konveksi; dimana pergerakan massa karena gaya seperti gradien tekanan
hidrostatik
Untuk karakterisasi membran penukar ion, dilakukan dengan melihat 2
(dua) hal yaitu: tahanan listrik membran dan potensial membran.
2.5. Membrane Capacitive Deionization
Membrane Capacitive Deionization (MCDI) adalah teknologi pengolahan
air yang menggunakan potensial listrik yang berbeda pada elektoda dengan
menempatkan membran pertukaran ion di depannya (Biesheuvel and Wal, 2010).
Sistem MCDI memungkinkan dioperasikan pada tegangan terbalik selama
pelepasan ion (deabsorpsi) dari elektroda. Hal ini tidak mungkin dilakukan pada
sistem CDI, karena ion yang dilepaskan dari satu elektroda dengan cepat diserap
oleh elektroda lainnya (Biesheuvel et al., 2011). Membran pertukaran ion
berfungsi untuk menghambat kation keluar dari katoda dan menghambat anion
keluar dari anoda, sehingga pada siklus selanjutnya terjadi peningkatan laju
adsorbsi dan kapasitas.
41
Universitas Sumatera Utara
Efisiensi muatan didefinisikan sebagai perbandingan antara muatan ion
yang diserap dari larutan dengan muatan listrik yang diberikan, sedangkan
efisiensi muatan pada CDI bergantung pada konsentrasi permeat yang terbentuk
dan nilai potensial (Dlugoleckhi and Wal, 2013).
2.6. Air
2.6.1. Pengertian Air
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian air adalah:
1. Cairan jernih tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau yang terdapat dan
diperlukan dalam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan yang secara
kimiawi mengandung hidrogen dan oksigen.
2. Benda cair yang biasa terdapat di sumur, sungai, danau yng mendidih pada
suhu 100 º C.
2.6.2. Air Bersih
Pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tentang syaratsyarat dan pengawasan kualitas air, disebutkan bahwa air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
Adapun persyaratan kualitas air bersih yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan R.I No:416/MENKES/PER/IX/1990 tanggal 3 September
1990 seperti pada Tabel 2.2
42
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Persyaratan kualitas air bersih
No.
1
2
Parameter
A. Fisika
Bau
Satuan
-
3
4
Jumlah zat padat terlarut
mg/l
(TDS)
Kekeruhan
Skala NTU
Rasa
-
5
Suhu
6
Warna
Skala NTU
B. Kimia
a. Kimia Anorganik
Air raksa
mg/l
Arsan
mg/l
Besi
mg/l
Flourida
mg/l
Kadmium
mg/l
Kesadahan (CaCO3)
mg/l
Klorida
mg/l
Kronium, valensi 6
mg/l
Mangan
mg/l
Nitrat, sebagai N
mg/l
Nitrit, sebagai N
mg/l
pH
mg/l
Selenium
mg/l
Seng
mg/l
Sianida
mg/l
Sulfat
mg/l
Timbal
mg/l
b. Kimia Organik
Aldrin dan dieldrin
mg/l
Benzena
mg/l
Benzo (a) pyrene
mg/l
Chloroform
(total
mg/l
Isomer)
Chloroform
mg/l
2,4-D
mg/l
DDT
mg/l
Detergen
mg/l
1,2-Dichloroethene
mg/l
1,1- Dichloroethene
mg/l
Heptachlor dan heptaclor
mg/l
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0º C
Kadar Maksimum
yang
Keterangan
diperbolehkan
1000
5
Suhu udara ± 3
ºC
Tidak
berbau
Tidak
berasa
-
0,001
0,005
1,0
1,5
0,005
500
600
0,05
0,5
10
1,0
0,05
0,01
15
0,1
400
0,05
0,0007
0,01
0,00001
0,007
0,03
0,10
0,03
0,5
0,01
0,0003
0,003
43
Universitas Sumatera Utara
12
13
14
15
16
17
18
1
2
1
2
epoxide
Hezachlorobenzene
Gamma-HCH (Lindane)
Methoxychlor
Pentachloropenol
Pestisida total
2,4,6-trichorophenol
Zat organik (KmnO4)
c. Mikrobiologik
Total Koliform (MPN)
Koliform tinja belum
diperiksa
d. Radioaktivitas
Aktivitas Alpha (Gross
Alpha activity)
Aktivitas Beta (Gross
Beta activity)
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
0,00001
0,004
0,10
0,01
0,10
0,01
10
Jumlah per
100 ml
Jumlah per
100 ml
0
Bg/l
0,1
Bg/l
1,0
Bukan air
pipaan
Bukan air
pipaan
0
2.6.3. Air Sadah
Air sadah adalah air yang mengandung ion-ion yang menghasilkan
sejumlah besar endapan. Penyebab kesadahan air pada umumnya disebabkan oleh
adanya ion kalsium (Ca2+) dan ion Magnesium (Mg2+), atau dapat juga disebabkan
karena adanya ion-ion lain, seperti besi (Fe2+), strontinum (Sr2+), dan mangan
(Mn2) dalam bentuk garam sulfat, khlorida dan bikarbonat dalam jumlah kecil.
Karena ion Ca2+ dan ion Mg2+ merupakan penyebab utama kesadahan, sehingga
kesadahan dibatasi sebagai sifat dan karakteristik air yang menggambarkan
konsentrasi ion Ca2+ dan ion Mg2+ yang dinyatakan sebagai CaCO3 dan MgCO3.
Senyawa-senyawa kalsium dan magnesium relatif sukar larut dalam air, sehingga
cenderung memisah dari larutan dalam bentuk endapan atau presipitat yang
akhirnya menjadi scaling. Pada industri, scaling yang timbul pada dinding
peralatan sistem pemanasan dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan
industri, disamping dapat menghambat proses pemanasan. Masalah ini
44
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan
penurunan
kinerja
industri
yang
pada
akhirnya
dapat
menimbulkan kerugian. Oleh karena itu persyaratan kesadahan pada air industri
sangat diperhatikan. Pada umumnya jumlah kesadahan air yang digunakan dalam
industri harus nol, yang berarti bahwa unsur Ca dan Mg dihilangkan sama sekali.
Kesadahan dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni :
1.
Kesadahan sementara adalah air yang mengandung ion bikarbonat, seperti
kalsium karbonat (Ca(HCO3)2) dan magnesium karbonat (Mg(HCO3)2).
Kesadahan sementara dapat dihilangkan dengan cara pemanasan sehingga
terbentuk endapan CaCO3 atau MgCO3.
2.
Kesadahan tetap adalah air yang mengadung anion selain ion bikarbonat,
dapat berupa ion Cl-, NO3- dan SO42-. Contohnya: kalsium sulfat (CaSO4),
kalsium khlorida (CaCl2), kalsium sitrat (Ca(NO3)2),
(MgSO4)
dan
magnesium
khlorida(MgCl2),dan
magnesium sulfat
magnesium
nitrat
(Mg(NO3)2). Kesadahan tetap tidak dapat dihilangkan dengan cara
pemanasan.
Pengurangan
kesadahan
tetap
dapat
dilakukan
dengan
penambahan larutan soda kapur atau melalui proses pertukaran ion.
Penambahan larutan soda kapur (terdiri dari natrium bikarbonat dan
magnesium hidroksida) dapat membentuk endapan kalsium karbonat dan
magnesium hidroksida dalam air yang merupakan indikasi bahwa air tersebut
telah bebas dari kesadahan. Proses pertukaran ion dapat dilakukan dengan
menggunakan resin penukar ion zeolit alam atau zeolit buatan, dengan
menukar ion kalsium dan ion magnesium dengan ion sodium. Cara lain untuk
menghilangkan kesadahan tetap adalah dengan menggunakan teknologi CDI.
45
Universitas Sumatera Utara
Tingkat kesadahan di setiap perairan berbeda-beda seperti ditunjukkan
pada Tabel 2.3. Pada umumnya perairan yang berada di wilayah yang memiliki
lapisan tanah pucuk (top soil) tebal dan batuan berkapur memiliki nilai kesadahan
yang tinggi. Perairan yang berada di wilayah dengan lapisan tanah atas yang tipis
dan batuan kapur relatif sedikit atau bahkan tidak ada memiliki nilai kesadahan
yang rendah.
Tabel 2.3 Klasifikasi tingkat kesadahan
(Peavy et al. 1985, dalam Effendi 2003)
CaCO3 (mg/l)
0 – 75
75 – 150
150 – 300
> 300
Tingkat kesadahan
Lunak (soft)
Sedang (moderately hard)
Tinggi (hard)
Tinggi sekali (very hard)
2.7. Karakterisasi Elektroda
2.7.1. Scanning Electron Microscope
Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan teknik yang digunakan
untuk melihat morfologi permukaan elektroda, mencakup bentuk dan ukurannya.
Permukaan yang akan diuji dipindai dengan pancaran berkas elektron lalu
pantulan elektron ditangkap dan ditampilkan di atas tabung sinar katoda.
Bayangan yang tampak di atas layer menunjukkan gambaran permukaan
spesimen.
Sampel elektroda yang akan dikarakterisasi dilapisi emas dengan
menggunakan metode sputtering. SEM dioperasikan pada tegangan 20 kV dengan
pembesaran 250, 500, 1000, 2000, dan 4000 kali.
46
Universitas Sumatera Utara
2.7.2. Cylic Voltammetry
Cyclic voltammetry (CV) adalah suatu teknik analisis kualitatif dan
kuantitatif dalam mengkarakterisasi reaksi yang terjadi di dalam sel elektrokimia.
Teknik CV dapat memberikan informasi dengan cepat, dimana respon arus diukur
sebagai fungsi potensial (voltase), dengan pemberian potensial yang dilakukan
secara bolak-balik, sehingga informasi reduksi dan oksidasi dapat teramati dengan
baik. Karakteristik CV tergantung beberapa faktor yaitu laju reaksi transfer
elektron, kereaktifan spesi elektroaktif, dan scan rate voltase. Spesi yang semula
dioksidasi pada sapuan potensial awal (forward scan) akan direduksi setelah
sapuan potensial balik (reverse scan).
Sel voltametri terdiri dari tiga elektroda yaitu elektroda kerja, elektroda
pembantu dan elektroda pembanding, dimana ketiganya tercelup di dalam sel
voltametri seperti terlihat pada Gambar 2.2 berikut.
Elektroda pembanding merupakan elektroda dengan harga potensial
setengah sel yang diketahui, konstan dan tidak bereaksi terhadap komposisi
larutan yang sedang diselidiki. Elektroda pembanding memberikan potensial pada
elektroda kerja yang dibandingkan. Elektroda pembanding memberikan potensial
yang stabil terhadap elektroda kerja yang dibandingkan. Elektroda pembanding
yang biasa digunakan adalah elektroda kalomel dan elektroda perak/perak klorida.
Harga potensial elektroda kalomel adalah 0,244 V pada 25ºC dibandingkan
terhadap elektroda hidrogen standar. Elektroda perak/perak klorida terbuat dari
larutan jenuh atau 3,5 M KCl yang harga potensialnya adalah 0,199 V (jenuh) dan
0,205 V (3,5 M) pada 25ºC. Elektroda ini dapat digunakan pada suhu yang lebih
tinggi dibandingkan dengan elektroda kalomel.
47
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Diagram sel voltametri; W: elektroda kerja;
R: elektroda pembanding; A: elektroda pembantu
(Schroll, 2015)
Elektroda pembantu dikendalikan oleh potensiostat untuk kesetimbangan
arus difusi pada elektroda kerja dengan transfer elektron ke arah sebaliknya. Jika
terjadi reduksi pada elektroda kerja maka oksidasi terjadi pada elektroda
pembantu. Elektroda pembantu yang digunakan harus bersifat inert seperti kawat
platina atau batang karbon yang berfungsi sebagai pembawa arus.
Teknik CV digunakan untuk memperoleh informasi kualitatif tentang
reaksi elektrokimia dengan metode pengukuran elektrokimia potensiodinamik.
Bentuk gelombang potensial yang digunakan pada analisis elektrokimia
merupakan bentuk gelombang linear, yaitu potensial yang secara kontinyu diubah
sebagi fungsi linear terhadap waktu. Hasil pengukuran CV dapat digunakan untuk
menentukan sifat termodinamika proses redoks, sifat kinetik reaksi transfer
elektron dan reaksi adsorpsi.
CV terdiri dari siklus potensial dari suatu elektroda yang dicelupkan ke
dalam larutan yang tidak diaduk yang mengandung spesies elektroaktif dan
mengukur arus yang dihasilkan. Potensial pada elektroda kerja dikontrol oleh
48
Universitas Sumatera Utara
elektroda pembanding perak/perak klorida pada rentang potensial ±0,5 V dan laju
sapuan 5 mV/s. Elektroda pembantu yang digunakan adalah platina. Pengontrol
potensial yang diterapkan pada dua elektroda dapat dianggap sebagai sinyal
eksitasi. Sinyal eksitasi untuk CV adalah penyapuan potensial linear dengan
gelombang segitiga.
Teknik
pengukuran
menggunakan
CV
dilakukan
dengan
cara
mempolarisasikan elektroda kerja. Metode ini termasuk metode aktif karena
pengukurannya berdasarkan potensial yang terkontrol. Pengukuran dilakukan
dengan memberikan suatu potensial ke dalam sel elektrokimia, kemudian respon
arus yang dihasilkan diukur. Respon arus diukur pada daerah potensial yang telah
ditentukan. Kemudian dibuat plot arus fungsi potensial yang disebut voltamogram
cyclic. Scan tegangan dengan metode voltamogram cyclic akan menghasilakn
respon arus yang spesifik. Jika respon arus fungsi scan potensial ini digambarkan,
maka akan berbentuk kurva voltamogram seperti pada Gambar 2.3 berikut.
Keterangan:
Epa = Potensial saat
terbentuknya peak anodic
Epc = Potensial pada saat
terbentuknya peak cathodic
Ipa = Arus pada saat terbentuknya
peak anodic
Ipc = Arus pada saat terbentuknya
peak cathodic
Gambar 2.3 Voltamogram sinyal gelombang elektroda berupa respon arus
yang diukur sebagai fungsi potensial
49
Universitas Sumatera Utara
2.7.3. Electrochemical Impedance Spectroscopy
Hambatan listrik adalah kemampuan sirkuit menahan arus listrik. Hukum
Ohm mendefinisikan hambatan sebagai perbandingan antara beda potensial
dengan arus listrik. Hukum ini hanya berlaku untuk hambatan ideal, yang
memenuhi :
1. Sesuai dengan hukum Ohm untuk berbagai potensial dan arus.
2. Nilai hambatan tidak bergantung pada frekuensi.
3. Sinyal arus dan potensial AC yang melewati hambatan sefasa.
Namun dalam sistem elekrokimia nyata, hambatan yang berlaku tidaklah ideal,
nilainya bergantung pada frekuensi. Oleh sebab itu, diperkenalkan konsep
impedansi (Z). Selain informasi nilai hambatan, pada impedansi juga terdapat
informasi perbedaan fasa, yakni perbedaan fasa antara potensial stimulus dengan
arus responnya seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4.
E,I
Gambar 2.4 Perbedaan fasa antara stimulus potensial dan respons
arus
Sebuah vektor planar dapat direpresentasikan sebagai vektor penjumlahan
di sepanjang sumbu oleh bilangan kompleks seperti pada persamaan (2.4) berikut.
Z = a + jb
(2.4)
50
Universitas Sumatera Utara
Bilangan imajiner j ≅ √−1 ≅ exp (jπ/2) mengindikasikan perputaran sebanyak π/2
derajat berlawanan arah jarum jam dari sumbu-x positif. Bagian riilnya berada di
sepanjang sumbu-x dan bagian imajinernya berada di sepanjang sumbu-y.
Impedansi merupakan vektor planar yang dapat diplot sebagai koordinat kartesius
ataupun koordinat polar seperti yang terlihat pada Gambar 2.5. Secara matematis
dapat dituliskan :
Z = Z’ + jZ”
(2.5)
Komponen x dan y dari impedansi tersebut adalah :
Dengan sudut fasa :
Dan modulus :
Keterangan :
Zriil = Z’ = |Z| cos (θ)
(2.6)
Zim = Z” = |Z| sin (θ)
(2.7)
θ = tan-1 (Z” / Z’)
(2.8)
|�| = �(� ′ )2 + (�")2
(2.9)
Z = impedansi (Ω)
Z’ = impedansi riil (Ω)
Z” = impedansi imajiner (Ω)
Gambar 2.5 Impedansi (Z) diplot sebagai vektor
planar
dalam koordinat kartesius (Barsoukov, 2005)
51
Universitas Sumatera Utara
Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) adalah suatu teknik
analisis yang digunakan untuk mempelajari sifat elektrik dari sistem elektrodaelektrolit yang dinamis. Prinsip pengukuran EIS adalah dengan menggunakan
stimulus elektrik (potensial atau arus listrik) pada sistem dan mengukur
responsnya (kuat arus, potensial atau sinyal lainnya). Ketika sel diberi stimulus
maka serangkaian proses mikroskopik terjadi yang meliputi transfer elektron
sepanjang jalur konduksi, antara anatarmuka elektrolit-elektroda, ataupun antar
atom bermuatan dengan lingkungan sekitarnya (reduksi atau oksidasi). Laju
elektron (arus listrik) bergantung pada hambatan elektroda, hambatan elektrolit
dan reaksi antarmuka elektroda-elektrolit.
Sinyal stimulus yang diberikan mempunyai bentuk fungsi terhadap waktu:
�(�) = �0 cos(��)
(2.10)
E(t) adalah potensial saat waktu t, E0 adalah amplitudo sinyal dan ω adalah
frekuensi radial.
Sinyal respons It, mempunyai pergeseran fasa ϕ dan amplitudo I0.
�(�) = I0 cos(�� − �)
(2.11)
Analogi terhadap Hukum Ohm, maka impedansi sistem adalah:
�=
��
��
=I
�0 cos (�� )
0 cos (�� −�)
cos (�� )
= �0 cos (�� −�)
(2.12)
Nilai impedansi riil menentukan hambatan pengisian elektroda. Hambatan
di setiap frekuensi diperoleh dari pengurangan impedansi riil terhadap hambatan
pada frekuensi tinggi (Park, 2011; Pröbstle, 2003).
Sedangkan impedansi imajiner memberikan kontribusi dalam menentukan
nilai kapasitansi elektroda, yakni (Pröbstle, 2003):
1
� = �� � " �
(2.13)
52
Universitas Sumatera Utara
Keterangan:
C = kapasitansi (F)
ω = frekuensi (Hz)
Z” = impedansi imajiner (Ω)
Untuk tipe elektroda berpori dijelaskan bahwa pada frekeuensi rendah,
nilai kapasitansi akan bertambah dengan berkurangnya frekuensi (Conway, 1999).
Pengukuran menggunakan EIS dilakukan pada potensial 0,0 V dengan
rentang frekuensi 100-0,002 Hz, untuk mendapatkan nilai kapasitan spesifik dan
nilai resistansi elektroda.
Sifat intrinsik yang berhubungan dengan konduktivitas sel elektrokimia
yang dapat dipelajari dengan EIS dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis.
1. Sifat yang berhubungan dengan bahan itu sendiri seperti konduktivitas,
konstanta dielektrik, dan mobilitas muatan.
2. Sifat yang berhubungan dengan antarmuka elektroda-bahan yaitu konstanta
laju reaksi adsorpsi, kapasitansi antarmuka, dan koefisien difusi.
53
Universitas Sumatera Utara