Hubungan Antara Psychological Empowerment Dan Work Life Balance

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Psychological Empowerment
Conger dan Kanungo (1988: Ugboro, 2006) mendefinisikan empowerment sebagai
proses untuk menambah kemampuan diri karyawan dengan cara mengindentifikasikan kondisi
yang

cenderung

melemahkan

karyawan

kemudian

memperbaikinya

dengan

cara


menggabungkan praktek formal organisasi dan teknik informal yang terbukti dapat menambah
informasi tentang peningkatan kemampuan individu. Moye dan Hekin (2006: Dehkordi, 2011)
menyatakan bahwa inti dari konsep empowerment merupakan bentuk kekuatan dan efektivitas
organisasi yang menjadi semakin berkembang sebagai hasil dari pembagian otoritas dan
kontrol oleh atasan kepada bawahannya. Pembagian otoritas dan kontrol tersebut menjadi suatu
metode untuk meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan pada tingkatan rendah di
dalam organisasi dan memperkaya pengalaman kerja karyawan.
Conger dan Kanungo (1988:Spreitzer, 1995) menyatakan bahwa pemberdayaan
karyawan tidak hanya dipandang sebagai suatu pemberian delegasi namun juga lebih kepada
cara untuk memampukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Pemberian delegasi dan
wewenang akan membantu karyawan untuk menjadi lebih berani mengambil keputusan dalam
kegiatan bekerja. Moye dan Henkin (2006: Dekhordi, 2011) juga menambahkan bahwa
pemberdayaan karyawanpenting karena merupakan suatu metode yang dapat meningkatkan
kemampuan dalam pengambilan keputusan secara mandiri kemudian dapat digunakan untuk
mendayagunakan atau memberikan kekuatan kepada karyawan.

23
Universitas Sumatera Utara


Menurut

Meyerson,

Shauna

&

Kline

(2007)

psychological

empowerment

menitikberatkan terhadap pemberdayaan karyawan pada keadaan psikis nya sehingga ia
mampu memahami kompetensi dan meningkatkan kapabilitasnya. Jha (2010) juga
menambahkan bahwa psychological empowerment merupakan konsep karyawan juga memiliki
kekuatan. Spreitzer (1995) mengungkapkan bahwa psychological empowerment ada ketika

karyawan memiliki kendali atas kehidupan kerja mereka. Bandura (1986: Jha, 2010)
menyatakan seseorang yang percaya bahwa lingkungan sekitar nya cukup kondusif dan
terkontrol akan lebih termotivasi untuk memaksimalkan kemampuannya, lebih berlatih dalam
mengembangkan kemampuannya dan kemungkinan akan tercapainya sukses pun lebih besar.
Thomas

dan

Velthouse

(1990:Spreitzer,

1995)

menyatakan

bahwa

psychological


empowerment sebagai konsep yang lebih luas sebagai motivasi intrinsik yang termanifestasi

dalam empat refleksi kognisi individu dalam peran kerja mereka di perusahaan yaitu meaning,
competence (sinonim dengan konsep self efficacy oleh Kanungo), self determination dan
impact.

Jadi, psychological empowerment adalah keadaan ketika karyawan merasa mampu
memahami makna pekerjaan , percaya terhadap kemampuan yang dimiliki dalam
menyelesaikan pekerjaan, memiliki kendali penuh dalam menentukan metode bekerja dan
dapat memberikan pengaruh dalam hal strategi pengoperasian kerja.

1. Dimensi Psychological Empowerment
Spreitzer (1995) dalam penelitiannya merumuskan empat dimensi penting yang
membentuk konstruksi psychological empowerment yaitu :
a.

Pemaknaan (Meaning)

24
Universitas Sumatera Utara


Perasaan yang dialami seseorang ketika sudah berhasil memahami pekerjaan dan aktivitas
yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaanya. Pada dimensi ini seseorang akan
menghargai dan memahami arti nilai tujuan pekerjaannya sesuai dengan idealisme dan
standar yang telah ditetapkan secara pribadi oleh dirinya sendiri.
b.

Kompetensi (Competence)
Kompetensi merupakan rasa percaya seseorang terhadap kemampuan diri sendiri untuk
melakukan suatu pekerjaan dengan menggunakan keahlian yang ia miliki. Kompetensi
dapat dianalogikan sebagai keyakinan karyawan, penguasaan pribadi atau usaha untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang menjadi ekspektasinya.

c.

Determinasi diri (Self-determination)
Determinasi diri merupakan keadaan ketika seseorang merasa memiliki kontrol terhadap
pilihan dalam memulai dan mengatur pekerjannya sendiri. Dimensi ini juga mengarah
kepada refleksi dari autonomi individu dalam perilakunya untuk memulai, melanjutkan
pekerjaan dan menjalani proses kerja. Determinasi diri dalam pekerjaan dapat dilihat

ketika membuat keputusan sendiri mengenai metode kerja yang akan digunakan,
kecepatan kerja, dan berbagai usaha yang akan dilakukan.

d.

Pengaruh (Impact)
Impact merupakan tingkatan dimana seseorang dapat memberikan pengaruh dalam hal

strategi, administrasi, atau pengoperasian hasil kerja di perusahaan.
Meyerson, Shauna & Kline (2007) menyatakan bahwa psychological empowerment pada
karyawan berhubungan erat dengan seberapa besar kompetensi dan kemampuan seseorang
merasa cocok dengan lingkungan kerja yang telah diberdayakan. Adapun ciri-ciri
karyawan yang merasa lebih berkompetensi atas kemampuannya untuk menjalankan
pekerjaan antara lain :
1) Lebih merasa puas dengan pekerjaan mereka
25
Universitas Sumatera Utara

2) Lebih berkomitmen secara afektif terhadap organisasi
3) Memiliki intensitas rendah untuk keluar dari organisasi

4) Menunjukkan performa kerja yang lebih positif
B. Work Life Balance
Konflik pekerjaan dan keluarga dapat ditimbulkan akibat adanya tekanan dalam
lingkungan kerja dan lingkungan keluarga (Lathifah, 2008). Hal ini sejalan dengan Frame dan
Hartog (2003: Moedy, 2011) bahwa work life balance berarti karyawan dapat dengan bebas
menggunakan jam kerja yang fleksibel untuk menyeimbangkan pekerjaan atau karyanya
dengan komitmen lain seperti keluarga, hobi, seni, studi dan tidak hanya fokus terhadap
pekerjaannya. Scholarious dan Marks (2004) menambahkan bahwa work life balance memiliki
konsekuensi penting bagi sikap karyawan terhadap organisasi mereka serta untuk kehidupan
karyawan. Pengertian work life balance berbeda berdasarkan pemahaman perusahaan dan
pemahaman karyawan.
Menurut karyawan, work life balance adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan
pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan dalam pandangan perusahaan, work
life balance adalah tantangan untuk menciptakan budaya yang mendukung di perusahaan

dimana karyawan dapat fokus pada pekerjaaan mereka sementara di tempat kerja (Lockwood,
2003).
Jadi, work life balance adalah pemahaman karyawan mengenai tidak adanya konflik
antara kehidupan pekerjaan dan keluarga yang tampak dalam kemampuan karyawan
menggunakan jam kerja yang fleksibel untuk berkomitmen dengan hal lain diluar pekerjaan

seperti keluarga, hobi, seni dan studi. Menurut Fisher (2009: Novelia, Sukhirman & Hatana,
2013) work life balance merupakan stressor kerja yang meliputi empat komponen penting,
yaitu :

26
Universitas Sumatera Utara

a.

Waktu
Hal ini termasuk banyaknya waktu yang digunakan untuk bekerja dibandingkan dengan
waktu yang digunakan untuk aktivitas lain diluar pekerjaan.

b.

Perilaku
Hal ini meliputi adanya tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan berdasarkan pada
keyakinan seseorang bahwa ia mampu mencapai apa yang ia inginkan dalam pekerjaannya
dan tujuan pribadinya.


c.

Ketegangan (strain)
Hal ini termasuk kecemasan, tekanan, kehilangan aktivitas penting pribadi dan sulit
mempertahankan atensi.

d.

Energi
Energi merupakan sumber yang terbatas dalam diri manusia sehingga apabila individu
kekurangan energi untuk melakukan aktivitas, maka dapat meningkatkan stress.

1. Dimensi Work life Balance
Fisher, Bulger & Smith (2009) menyatakan work life balance memiliki empat dimensi
pembentuk, yaitu :
a.

WIPL (Work Interference With Personal Life)
Dimensi ini mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat mengganggu kehidupan pribadi
individu, misalnya bekerja dapat membuat seseorang sulit mengatur waktu untuk

kehidupan pribadinya.

b.

PLIW (Personal Life Interference With Work)
Dimensi ini mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu
kehidupan pekerjaannya, misalnya apabila individu memiliki masalah di dalam kehidupan
pribadinya akan mengganggu konsentrasi ketika bekerja.

c.

PLEW (Personal Life Enhancement Of Work)

27
Universitas Sumatera Utara

Dimensi ini mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan
performa individu dalam dunia kerja, misalnya apabila individu merasa senang karena
kehidupan pribadinya menyenangkan maka suasana hati individu pada saat bekerja
menjadi menyenangkan.

d.

WEPL (Work Enhancement Of Personal Life)
Dimensi ini mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan
pribadi individu, misalnya keterampilan yang diperoleh individu pada saat bekerja
memungkinkan individu untuk memanfaatkan keterampilan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work Life Balance
Berikut ini adalah beberapa faktor yang mungkin saja mempengaruhi work life balance
seseorang yakni :
a. Kepribadian
Menurut Schabracq, Winnubst dan Coope (2003: Novelia, Sukhirman dan Hatana,
2013) setiap karyawan memiliki perbedaan karakteristik kepribadian masing-masing.
Hasil penelitian oleh Devadoss dan Minnie (2013) menunjukkan bahwa tipe
kepribadian agreeableness dan neuroticsm berpengaruh terhadap pembentukan work
life balance. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Sari (2015) yang menunjukkan

bahwa tipe kepribadian agreeableness dan neuroticsm memiliki hubungan positif
terhadap work life balance.
b. Komitmen organisasi
Menurut Grawitch, Gottschalk dan Munz (2006) work life balance memberikan
kontribusi terhadap keterikatan karyawan dan komitmen organisasi. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian oleh Novelia, Sukhirman dan Hatana (2013) bahwa adanya
korelasi positif antara work life balance dan komitmen pada organisasi.
28
Universitas Sumatera Utara

c. Karakteristik pekerjaan
Beban kerja dan jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja dapat mempengaruhi
keseimbangan kehidupan kerja. Hasil penelitian oleh Clark (2000 : Purwati, 2016)
mengungkapkan bahwa jumlah jam kerja berpengaruh terhadap kepuasan seseorang
akan keseimbangan kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi nya. Hal ini juga
didukung oleh hasil penelitian Purwati (2016) yang menunjukkan adanya korelasi atau
pengaruh signifikan antara work life balance dan beban kerja.
Salah satu dimensi pembentuk psychological empowerment adalah determinasi
diri yang berfokus pada motivasi instrinsik karyawan untuk melakukan tugas yang
meliputi penentuan nasib sendiri, otonomi dan kebebasan melakukan tugas dan
dampaknya adalah sejauh mana individu dapat mempengaruhi hasil pekerjaan nya
(Spreitzer, 1999; Jin-Liang dan Hai-Zhen, 2012). Beban kerja merupakan frekuensi
kegiatan rata-rata dari masing-masing pekerjaan dalam jangka waktu tertentu yang
meliputi beban kerja fisik maupun mental (Irwandy, 2007: Budianto, 2013). Hal ini
didukung oleh Adipradana (2008: Budianto, 2013) yang mengatakan bahwa beban
kerja dapat dilihat dari tiga aspek yakni fisik, mental dan penggunaan waktu. Apabila
dikaitkan dengan salah satu dimensi psychological empowerment yakni determinasi
diri, ketika seseorang memiliki kebebasan atau autonomi untuk mengelola beban
pekerjaan nya terutama dalam hal penggunaan waktu berarti sudah menunjukkan
pemberdayaan diri secara psikologis yang akan berdampak positif bagi kepuasan kerja
maupun motivasi instrinsik karyawan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh
Styawahyuni (2014) yang mengungkapkan bahwa adanya korelasi positif antara beban
kerja dengan pemberdayaan diri pada karyawan.
d. Kepuasan kerja

29
Universitas Sumatera Utara

Penelitian yang dilakukan oleh Ganaphati (2016) yang mengungkapkan bahwa work
life balance berpengaruh terhadap kepuasan kerja seseorang.

D. Hubungan Psychological Empowerment terhadap Work Life Balance
Spreitzer (1995) mengungkapkan bahwa psychological empowerment ada ketika
karyawan memiliki kendali atas kehidupan kerja mereka. Kendali dalam hal ini adalah
kepercayaan diri atas kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan membuat keputusan
mengenai hal-hal yang dilakukan dalam konteks pekerjaan. Spreitzer (1995) juga
mengungkapkan bahwa psychological empowerment merupakan konstruk motivasi yang
diwujudkan dalam empat dimensi yaitu meaning, competence, self determination dan impact.
Keempat dimensi ini menjadi konstruksi tak terpisahkan dalam suatu kesatuan implikasi
psychological empowerment karyawan. Hal ini sejalan dengan Choong, Wong & Lau (2011)

yang mengatakan bahwa kombinasi dari keempat dimensi tersebut dalam diri seseorang akan
merefleksikan orientasi aktif yang mengindikasikan bagaimana seharusnya ia membentuk
peran dalam konteks pekerjaannya.
Menon (2001) mengungkapkan bahwa mengukur psychological empowerment
seseorang dapat dilihat sebagai seseorang yang kurang empowered atau lebih empowered.
Keempat dimensi pembentuk oleh Spreitzer dapat mewakili perspektif psikologis dari sebuah
pemberdayaan. Hal ini didukung oleh Choong, Wong & Lau (2011) yang mengungkapkan
bahwa empat dimensi tersebut saling berhubungan dan dalam kombinasi nya akan mengukur
konstrak psychological empowerment. Ketika salah satu dimensi hilang maka pengalaman
akan pemberdayaan nya akan terbatas. Salah satu dimensi psychological empowerment yakni
determinasi diri merupakan keadaan ketika seseorang memiliki kendali atau kontrol terhadap
pilihan dalam mengatur pekerjaannya sendiri. Hal ini didukung oleh Decy dan Rian (2002:
Jayadi, 2012) bahwa dalam konteks pekerjaan, determinasi diri seseorang ditunjukkan ketika
ia memiliki kebebasan atau autonomi untuk melakukan sesuatu berdasarkan pilihannya sendiri
30
Universitas Sumatera Utara

dan bersumber dari dirinya sendiri. Hasil penelitian oleh Sandra dan Djalali (2013) menemukan
bahwa adanya hubungan positif antara determinasi diri dengan kemampuan mengatur
manajemen waktu dalam konteks pekerjaan.
Pandangan karyawan terhadap work life balance adalah pilihan mengelola kewajiban
kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga (Lockwood, 2003). Frame dan Hartog
(2003: Moedy, 2011) mengungkapkan bahwa work life balance berarti karyawan dapat
menggunakan jam kerja yang ada untuk menyeimbangkan pekerjaan atau karyanya dengan
komitmen lain seperti keluarga, hobi, seni, studi dan tidak hanya fokus terhadap pekerjaannya.
Fisher (2009: Novelia, Sukhirman & Hatana, 2013) mengungkapkan salah satu yang menjadi
penyebab tidak terciptanya work life balance adalah faktor waktu. Waktu mengacu kepada
banyak nya waktu yang digunakan seseorang untuk bekerja dibandingkan dengan waktu yang
digunakan untuk aktivitas lain diluar pekerjaan. Hal ini di dukung oleh Schabracq, Winnubst
& Coope (2003: Novelia, Sukhirman & Hatana, 2013) bahwa tersita nya jumlah waktu yang
digunakan untuk bekerja menyebabkan konflik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi.
Hal tersebut sejalan dengan Widyaningrum (2015) yang menyatakan bahwa konflik
yang dialami karyawan apabila secara terus menerus tanpa penyelesaian dan pengelolaan akan
membawa dampak negatif bagi karyawan maupun perusahaan. Kanter (1989: Debora, 2006)
mengungkapkan bahwa seseorang yang bekerja dalam kondisi terberdayakan memiliki suatu
dampak yang positif yaitu meningkatnya keyakinan diri dan kepuasan kerja, motivasi yang
lebih tinggi, keletihan fisik atau mental yang rendah dan McDonald dan Bradley (2005:
Ramadhani, 2012) mengungkapkan bahwa salah satu indikator untuk menentukan seseorang
memiliki keseimbangan kehidupan kerja adalah keseimbangan waktu dan keterlibatan
psikologis. Keseimbangan waktu ini menyangkut waktu yang diberikan untuk bekerja dan
berkegiatan diluar pekerjaan. Keterlibatan psikologis menyangkut kepada tingkat keterlibatan
psikologis dan komitmen dalam bekerja atau di luar pekerjaan. Akda (2012: Wessels, 2013)
31
Universitas Sumatera Utara

dalam penelitiannya juga menemukan bahwa seseorang yang terberdaya secara psikologis akan
mempengaruhi keseimbangan kehidupan kerja nya.
Dari uraian di atas dapat diasumsikan bahwa psychological empowerment memiliki
hubungan positif dan dapat berpengaruh pada tercapainya work life balance seseorang.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini
adalah terdapat hubungan positif antara psychological empowerment dan work life balance,
dimana semakin seseorang memberdayakan dirinya secara psikologis maka akan berkontribusi
terhadap keseimbangan kehidupan kerja seseorang.

32
Universitas Sumatera Utara