Analisis Makna Syair Al-Hallaj Dalam Kitab "هو هو" ديوان الحلاّج Huwa-Huwa DῙwān Al-Ḥallāj

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Kajian Terdahulu
Penelitian terhadap sebuah syair bukanlah hal baru dalam dunia sastra.
Sudah ada beberapa penelitian terdahulu tentang masalah ini sebelumnya, yaitu:
1) Skripsi karya Zulhafnita (960704036), mahasiswa Bahasa Arab, Fakultas
Sastra USU tahun angkatan 1996, dengan judul “Analisis Syair Diwan AsSyafi’i Karya Yusuf Asy-Syekh Muhammad Al-Baqi Menurut Teori Waluyo”.
Hasil penelitiannya berupa analisis 5 buah syair yang diambil peneliti dari
kitab “Diwan As-Syafi’i”, kemudian dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa langkah kerja dalam analisis struktur puisi Indonesia dapat juga
berlaku untuk syair Arab. Dan syair dianalisis dengan mengkonsentrasikan
struktur Fisik [Diksi, Pengimajian, Kata Konkret, Majas, Versifikasi (Rima,
Ritma, Metrum) dan Tipografi] serta struktur Batin (Tema, Perasaan, Nada
dan Suasana, Amanat) dari syair tersebut.
2) Skripsi karya Leli Juhria Siregar (980704009), mahasiswa Bahasa Arab,
Fakultas Sastra USU tahun angkatan 1998, dengan judul “Analisis Ijaz Dan
Itnab Dalam Al-Quran Pada Surat Ar-Rahman”. Hasil penelitiannya
mengungkapkan analisis ijaz dan iṭnab dalam al-Quran pada surat ar-Rahman
dengan menggunakan teori Ahmad Al-Hasyimi. Dari hasil tersebut
ditemukan ijaz dalam surat ar-Rahman sebanyak 12 ayat, diantaranya 10 ayat
yang termasuk ijaz qasar dan 2 ayat termasuk ijaz hazfi, serta ditemukan 16

ayat yang terdapat itnab dalam surat tersebut.
3) Skripsi karya Achmad Adhari Al-Adhani (020704011), mahasiswa Bahasa
Arab, Fakultas Sastra USU tahun angkatan 2002, dengan judul “Analisis AlIjaz Dalam Al-Quran Pada Surat Al-A’raf Ditinjau Dari Ilmu Ma’ani”. Hasil
penelitiannya mengungkapkan analisis ijaz dalam al-Quran pada surat alA’raf, dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Ahmad AlHasyimi. Dari hasil tersebut ditemukan ijaz pada surat al-A’raf sebanyak 27

Universitas Sumatera Utara

ayat yang dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu ‫ﺇﻳﺠﺎﺯ ﺍﻟﻘﺼﺮ‬/ijazu qasrin/
sebanyak 2 ayat, dan ‫ ﺇﻳﺠﺎﺯ ﺣﺬﻑ‬/ijazu hazfin/ sebanyak 25 ayat.
4) Skripsi karya Abun Bunyamin (105021000784), mahasiswa Bahasa dan
Sastra Arab, Fakultas Sastra dan Ilmu Humaniora, Universitas Islam Negeri

ّ ‫"ﺍﻟﺸﻌﺮ ﺍﻟﺼﻮﻓﻲ ﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺍﻟﺤ‬
Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul ‫ﻼﺝ‬
"(‫)ﺩﺭﺍﺳﺔ ﻫﺮﻣﻨﻮﻁﻴﻘﻴﺔ‬Hasil penelitiannya mengungkapkan makna syair sufi dalam
diwan Al-Hallaj dengan menggunakan teori Heurmeneutika. Persamaan dari
penelitian ini yaitu sama-sama menggunakan syair dalam diwan al-hallaj
sebagai

objek


penelitiannya.

Penelitian

dari

Abun

Bunyamin

menginterpretasikan makna syair secara global berdasarkan kelompok syair,
sedangkan penelitian ini menginterpretasikan makna syair bait per bait.
Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah bahwa penelitian ini meneliti jenis karya sastra syair sufistik. Syair yang
akan diteliti diambil dari kitab

ّ ‫ "ﻫﻮ ﻫﻮ" ﺩﻳﻮﺍﻥ ﺍﻟﺤ‬/huwa-huwa dīwān al‫ﻼﺝ‬

ḥallāj/'Diwan Al-Hallaj'yang berbahasa Arab. Penelitian ini bertujuan untuk

mengungkapkan analisis makna dari syair Al-Hallaj dengan menggunakan teori
Balaghah Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin sebagai analisis struktur syairnya,
kemudian dari struktur syair tersebut diinterpretasikan kembali maknanya.

2.2 Landasan Teori
2. 2. 1 Pengertian Sastra Arab dan Fungsinya

‫"اﻷدب" ﻗﺪ‬
َ ‫"اﻷدب" وﻣﻌﺎﻧﻴﻬﺎ اﳌﺨﺘﻠﻔﺔ ﰲ اﻟﻌﺼﻮر اﻟﻌﺮﺑﻴﻴﺔ اﳌﺨﺘﻠﻔﺔ… أن ﻟﻔﻆ‬
‫ واﻟﻘﻮل ﻛﺜﲑ أﻳﻀﺎ ﰲ ﺗﻜﻠﻒ اﻟﺼﻠﺔ ﺑﲔ ﻟﻔﻆ‬.‫اﺷﺘﻖ ﻣﻦ "اﻷدب" ﲟﻌﲎ اﻟﺪﻋﻮة إﱃ اﻟﻮﻻﺋﻢ‬
‫ ﰒ اﻟﻘﻮل ﻛﺜﲑ ﻓﻴﻤﺎ دﻟﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﻫﺬﻩ‬.‫"اﻷدب" وﺑﲔ "اﻷدب" ﲟﻌﲎ اﻟﺪﻋﻮة إﱃ اﻟﻮﻻﺋﻢ‬
َ
(۲۲ :۲۰۰۵ ،‫ )ﺣﺴﲔ‬.‫اﻟﻜﻠﻤﺔ ﻣﻦ اﳌﻌﺎﱏ اﻟﱵ اﺧﺘﻠﻔﺖ ﺑﺎﺧﺘﻼف اﻟﻌﺼﻮر‬

/“al-adabu” wa ma’ānīhā al-mukhtalifatu fī al-’uṣūri al-’arabiyyati almukhtalifati … Anna lafẓa “al-`adabu” qad isytaqqa min “al-`adibu” bima’nā
ad-da’wati ila al-walā`imi. Wa al-qawlu kaṡīra aiḍān fī taklifi aṣ-ṣilati baina lafẓi
“al-adaba” wa baina “al-adabu” bima’nā ad-da’wati ila al-walā`imi. ṡumma al-

Universitas Sumatera Utara


qaulu kaṡīrun fīmā dallat ’alaihi hażihi al-kalimatu min al-ma’ānī al-latī
ikhtilafat bi ikhtilāfi al-’uṣūri/'“Sastra” maknanya berbeda disetiap abad pada
bangsa Arab … adapun kata “Sastra” berasal dari kata ‫ﺍﻷﺩﺏ‬/al-adaba/'yang
menjamu' yang bermakna mengundang orang ke perjamuan. Dan perkataan ini
juga banyak diartikan dalam hubungan yang berbeda antara lafazh ‫ﺍﻷﺩﺏ‬/al-adaba/
dan ‫ﺍﻷﺩﺏ‬/al-adabu/ dengan makna mengundang ke sebuah perjamuan.Kemudian
kata “Sastra” itu sendiri memiliki banyak makna, setiap kata ditunjukkan dengan
makna yang berbeda pula, semua itu tergantung dengan masanya' (Husein,
2005:22).
Sastra Arab dikenal dengan istilah ‫ﺍﻷﺩﺏ‬/al-adabu/ yang secara leksikal
selain berarti sastra, juga etika (sopan santun), tata cara, filologi, kemanusiaan,
kultur, dan ilmu humaniora (Munawwir, 1997:12-13). Adapun dalam bahasa
Indonesia, kata -adab diserap bukan dengan makna sastra, tetapi kesopanan,
kehalusan, dan kebaikan budi pekerti; akhlak. (Kridalaksana, 1995:5)

‫ ﺑﻞ ﻫﻲ ﻋﻠﻰ اﻹﲨﺎل أﻏﲎ‬،‫أﻏﲎ ﺳﺎﺋﺮ اﻵداب اﻟﺴﺎﻣﻴﺔ‬... ‫آداب اﻟﻠﻐﺔ اﻟﻌﺮﺑﻴﺔ‬
‫ ﻷن اﻟﺬﻳﻦ وﺿﻌﻮا آداﺑﺎ ﰲ أﺛﻨﺎء اﻟﺘﻤﺪن اﻹﺳﻼﻣﻲ أﺧﻼط‬..‫آداب ﺳﺎﺋﺮ ﻟﻐﺎت اﻟﻌﺎﱂ‬
‫ وﻓﻴﻬﻢ اﻟﻌﺮﰊ واﻟﻔﺎرﺳﻲ واﻟﱰﻛﻲ‬، ‫ﻣﻦ أﻣﻢ ﺷﱴ ﲨﻌﻬﻢ اﻹﺳﻼم أو اﻟﺪوﻟﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ‬
..‫واﳍﻨﺪي واﻟﺴﻮري واﻟﻌﺮاﻗﻲ واﳌﺼﺮي واﻟﺮوﻣﻴﻮاﻷرﻣﲏ واﻟﱪﺑﺮي واﻟﺰﳒﻲ واﻟﺼﻘﻠﱯ وﻏﲑﻫﻢ‬
(۲۲:۱۹۹٦،‫)زﻳﺪان‬


/adābu al-lughati al-’arabiyyati … agna sā`ira al-ādābi as-sāmiyati, bal hiya ’alā
al-ijmāli agnā ādābu sā`iri lugāti al-’ālami.. lianna al-lażīna waḍa’ū ādābuhā fī
aṡnā`i at-tamaduni al-islāmīy akhlāṭa min umami syattā jam’uhum al-islāmi au
ad-daulatu al-islāmiyyatu, wa fīhim al-’arabī, wa al-fārisī, wa at-turkī, wa alhindī, wa as-sūriyyi, wa al-’irāqī, wa al-miṣrī, wa ar-rūmī, wa al-`armanī, wa albarbarī, wa al-zanjī, wa aṣ-ṣaqlabī wa ghairihim../'Sastra Arab itu … merupakan
sastra terkaya ditataran bahasa Semit, yang memiliki keindahan bahasa terkaya di
antara sastra dan bahasa-bahasa di dunia. Dikarenakan sastra tersebut terbentuk
selama peradaban Islam, bercampur dengan bangsa-bangsa pada masa jayanya
islam atau negara-negara islam, yang didalamnya termasuk bangsa Arab, Persia,
Turki, Hindi, Syria, Irak, Mesir, Romawi, Armenia, Barbar, Negro, Slavia, dan
sebagainya..'. (Zaidan, 1996:22)
Pentingnya Adab -(sastra) adalah mengajar orang untuk berkata halus,
berbudi pekerti yang baik sebagaimana Hadist Rasulullah SAW yang dinukilkan
oleh Thaha Husein (2005:23) dalam bukunya
jāhiliy/yang berbunyi

‫ﻓﻲ ﺍﻷﺩﺏ ﺍﻟﺠﺎﻫﻠ ّﻰ‬/fī al-adabi al-

"‫"أدﺑﲏ رﰊ ﻓﺄﺣﺴﻦ ﺗﺄدﻳﱯ‬:/addabanī


rabbī fa`aḥsana ta`dībī/

Universitas Sumatera Utara

'Aku diajarkan oleh Tuhanku sebagai orang yang beradab maka sangat baiklah
tingkah lakuku'. (HR. Ibnu Hibban). (Lihat: Al-Hamidi, 1994:16, Sofyan, 2004:10
dan Sutiasumarga, 2000:1)
Berdasarkan pendapat para pakar sastra Arab di atas dapat disimpulkan
bahwa: sastra Arab itu dikenal dengan ‫ﺍﻷﺩﺏ ﺍﻟﻌﺮﺏ‬/al-adabu al-’arabi/ karya sastra
yang mengandung makna yang halus dan telah diungkapkan dengan pilihan kata
indah yang bertujuan agar memperbaiki tingkah laku pembacanya. Salah satu
karya sastra itu adalah sya’ir.

2. 2. 2 Pengertian Syair
Pengertian syair secara etimologis menurut Ma’luf (1986:391) dalam
Kamus Munjid berasal dari kata ‫ ﺷﻌﺮﺍ‬- ‫ ﺷﻌﺮﺍ‬- ‫ ﻳﺸﻌﺮ‬-‫ﺷﻌﺮ‬/sya’ara-yasy’uru-syi’ransya’ran/, kata masdarnya adalah ‫ﺍﻟﺸﻌﺮ‬/asy-syi’ri/ dan jamaknya ‫ ﻛﻼﻡ ﻳﻘﺼﺪ ﺑﻪ‬:‫ﺃﺷﻌﺎﺭ‬
‫ﺍﻟﻮﺯﻥ ﻭ ﺍﻟﺘﻘﻔﻴّﺔ‬/asy’ār: kalāmun yuqṣidu bihi al-waznu wa at-taqfiyyatu/'syair:
perkataan yang dimaksud padanya ada wazan dan qafiyah'.
Adapun menurut Al-Fadl (1990:409) dalam Muzakki (2011:40) secara
etimologis kata syair berakar dari kata ‫ ﺷﻌﺮﺍ – ﺷﻌﻮﺭﺍ‬- ‫ ﻳﺸﻌﺮ‬- ‫ﺷﻌﺮ‬/sya’ara-yasy’urusyi’ran-syu’ūran/ yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengkomposisi,

atau menggubah sebuah syair. Kemudian menurut Munawwir (1997:724) kata
‫ﺷﻌﺮ‬/syi’run/ bermakna 'syair, puisi (kalimat bersajak)', sedangkan dalam bahasa
Indonesia kata syair/sya.ir/ (n Sas) 1. Puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri atas
empat larik (baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama; 2. Sajak; puisi.
(Kridalaksana, 1995: 983)
Secara terminologis, menurut para ahli pengertian syair adalah:

.‫ﺷﻌﺮ وﻫﻮاﻟﻜﻼﻣﺎﻟﺬي ﻟﻪ وزن و ﻗﺎﻓﻴﺔ‬
/syi’run wa huwa al-kalāmu al-lażī lahu waznun wa qāfiyatun/'syair adalah
perkataan yang mempunyai wazan dan qafiyah'. (Al-Hamidi, 1994:16)
Selain itu Husein (2005:309) menjelaskan bahwa pengertian syair yaitu:

Universitas Sumatera Utara

‫ي‬

‫وﻣﻨﻬﻤﻤﻨﲑى أن اﻟﺸﻌﺮ ﻫﻮ اﻟﻜﻼم اﻟﺬ‬.‫اﻟﺸﻌﺮﻫﻮ اﻟﻜﻼم اﳌﻨﻈﻮم ﰲ اﻟﻮزن واﻟﻘﺎﻓﻴﺔ‬
‫ وﻳﻘﺼﺪ ﻓﻴﻪ إﱃ ﻫﺬا اﳉﻤﺎل اﻟﻔﲎ اﻟﺬي ﳜﻠﺐ اﻷﻟﺒﺎب‬،‫ﻳﻌﺘﻢد ﻓﻴﻬﺼﺎﺣﺒﻪ ﻋﻠﻰ اﳋﻴﺎل‬
.‫وﻳﺴﺘﻬﻮى اﻟﻘﻠﻮب‬


/asy-syi’ru huwa al-kalāmu al-manẓūmu fī al-wazni wa al-qāfiyati. Wa minhum
man yarā anna asy-syi’ra huwa al-kalāmu al-lażī ya’tamidu fīhi ṣāḥibahu ’alā alkhayāli, wa yaqṣidu fīhi ila hażā al-jamāli al-fani al-lażī yakhlubu al-albāba wa
yastahawā al-qulūbi/'syair adalah perkataan yang teratur yang terdiri dari wazan
dan qafiyah. Dan diantara mereka mendefinisikan bahwa syair merupakan
perkataan yang di dalamnya bersandar pada imajinasi pengarang, yang menuju
pada keindahan seni dan dimaksudkan untuk mengetuk pintu hati dan menarik
jiwa pendengarnya'.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat ciri – ciri syair Arab yaitu :
‫ … ﻭﻫﻮ ﻻ ﻳﺮﻯ ﻣﻨﻈﻮﻣﺎﺕ ﺍﻟﻨﺤﻮ ﻭﺍﻟﺼﺮﻑ ﺷﻌﺮًﺍ ﻭﺇﻥ ﻧﻈﻤﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺯﻥ ﻭ ﺍﻟﻘﺎﻓﻴﺔ‬/wa huwa lā yarā
manẓūmātu an-naḥwu wa aṣ-ṣarfi syi’ran wa in naẓamta fī al-wazni wa alqāfiyati/'… dia tidak memandang susunan-susunan nahwu dan saraf pada syair,
tetapi melihat pada aturan wazan dan qafiyah'. (Husein, 2005:309)
Allam dalam Muzakki (2011:46) menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan wazan ialah pengulangan bunyi yang sama pada setiap akhir bait dari baitbait syair. Dalam kajian sastra, istilah wazan diartikan sebagai pola irama atau
musikalitas.Unsur ini terlihat pada penyusunan bunyi kata dan kalimat, dan bisa
terjadi secara lahir maupun secara maknawi.
Sementara pengertian qafiyah adalah kata akhir dari sebuah bait syair.
Adapun Khalil bin Ahmad berpendapat bahwa qafiyah adalah dua sukun yang
berada pada akhir bait syair termasuk huruf-huruf hidup (berharakat) dan
termasuk pula huruf hidup sebelum sukun pertama. (Syaraqi dalam Muzakki,
2011:48).


Universitas Sumatera Utara

2. 2. 3 Pengertian Qasidah
Ada pengertian-pengertian qasidah yang dijumpai dari beberapa referensi.
Menurut Ma’ruf dkk (2001:13) dalam bukunya ‫ﻋﻠﻢ ﺍﻷﺭﻭﺽ‬/’Ilmu ’Aruḍ/ pengertian
qasidah yaitu:

-‫أﻳﺘﻌﺘﻤﺪ‬، ‫اﺣﺪا و ﻗﺎﻓﻴﺔً واﺣﺪ ًة‬
ً ‫اﻟﻘﺼﻴﺪة اﻟﻌﺮﺑﻴّﺔ ﻫﻲ ﳎﻤﻮﻋﺔ ﻣﻨﺎﻷﺑﻴﺎت ﺗﻠﺘﺰم وزﻧًﺎ ﺷﻌﺮﻳًﺎ و‬
.‫ﻣﻌﺎ‬
ً ‫ اﻟﻮزن و اﻟﻘﺎﻓﻴﺔ‬: ‫ ﻋﻠﻰ وﺣﺪﰐ‬-‫ﰲ ﻧَﻈْﻤﻬﺎ‬
/al-qaṣīdatu al-‘arabiyyatu hiya majmū’atu min al-abyāti tultazimu waznān
syi’riyān wāḥidān wa qāfiyatan wāḥidatan, ayy ta’tamidu -fī naẓmihā- ’ala
waḥdatay : al-waznu wa al-qāfiyatu ma’ān/'qasidah arab yaitu kumpulan dari
bait-bait yang diharuskan memiliki satu wazan (pola) dalam sebuah syair dan satu
qafiyah, (yakni) dalam aturannya- terdiri atas wazan dan qafiyah secara
bersamaan'.
Sementara Munawwir (1997:1124) menjelaskan pengertian ‫ﺍﻟﻘﺼﻴﺪﺓ‬/alqaṣīdatu/ yakni'sya’ir yang terdiri atas tujuh atau sepuluh bait'. Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kasidah/ka.si.dah/ (n) bentuk puisi, berasal dari

kesusastraan Arab, bersifat pujaan (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan
(dilagukan). (Kridalaksana, 1995:450)
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian qasidah
terkait kajian sastra Arab yakni syair arab yang jumlah baitnya banyak, serta
memiliki wazan dan qafiyah. Qasidah pada umumnya bersifat pujaan dan
biasanya dinyanyikan.

2. 2. 4 Analisis Makna Syair Al-Hallaj Ditinjau Dari Ilmu Ma’ani
Ilmu Ma’ani merupakan sub bab dalam ilmu balaghah, ilmu ini digunakan
untuk menganalisis syair arab tersebut. Adapun pengertiannya sebagaimana
berikut:

‫ﻋﻠﻢ اﳌﻌﺎﱐ أﺻﻮل وﻗﻮاﻋﺪ ﻳﻌﺮف ﺑﺎ أﺣﻮال اﻟﻜﻼم اﻟﻌﺮﰊ اﻟﱵ ﻳﻜﻮن ﺑﺎ ﻣﻄﺎﺑﻘﺎ ﳌﻘﺘﻀﻰ‬

Universitas Sumatera Utara

(٤٦:١٩٦٠ ،‫)اﳍﺎﴰﻰ‬.‫اﳊﺎل ﲝﻴﺚ ﻳﻜﻮن وﻓﻖ اﻟﻐﺮض اﻟﺬي ﺳﻴﻖ ﻟﻪ‬
/’ilmu al-ma’ānī aṣūlun waqawā’idu ya’rifu bihā aḥwāli al-kalāmi al-’arabī allatī yakūnu bihā muṭābiqan limuqtaḍa al-ḥāli biḥaiṡu yakūnu wifqa al-garḍa allażi siyaqu lahu/'Ilmu Ma’ani adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk
mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal
hal-nya) sehingga cocok dengan tujuan yang dikehendaki'. (Al-Hasyimi, 1994:34)

Selain itu pengertian Ilmu Ma’ani menurut Akhdlori (1989:18) yaitu:

.‫ﻋﻠﻢ اﳌﻌﺎﱏ ﻫﻮ ﺣﺎﻓﻆ ﺗﺄدﻳﺔ اﳌﻌﺎﱐ ﻋﻦ ﺧﻄﺎء ﻳﻌﺮف ﺑﺎﳌﻌﺎﱐ‬
/’ilmu al-ma’ānī huwa ḥāfiẓun ta`diyatu al-ma’ānī ’an khaṭā`in yu’rafu bi alma’ānī/'ilmu ma’ani merupakan lafazh untuk menjaga dari menimbulkan makna
yang salah'. Jadi, ilmu Ma’ani itu ialah ilmu untuk menjaga dari kesalahan
berbicara.
Ilmu Ma’ani ( ‫ )ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻰ‬dalam Balaghatul Wadhihah ada empat bab,
yaitu: Bab I

Kalam Khabar dan Kalam Insya’

Bab II Qashar
Bab III Fashal dan Washal
Bab IV Musawah, Ijaz dan Itnab. (Jarim dan Amin, 2005: viii)
Pembahasan di dalam ilmu Ma’ani demikian banyak dan kompleks, untuk
itu peneliti hanya mengambil satu bab judul saja dari ilmu ma’ani tersebut, yakni
Musawah, Ijaz dan Iṭnab yang berdasarkan kepada teori Balaghah dari Ali Jarim
dan Mustafa Amin. Berikut penjelasan mengenai kaidah dari ketiganya:
a. Musawah
Secara bahasa kata ‫ﺍﻟﻤﺴﺎﻭﺍﺓ‬/al-musāwātu/ bermakna persamaan.(Munawwir,
1997: 682). Sedangkan menurut istilah :

‫ﻻ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﻋﻠﻰ‬،‫ أن ﺗﻜﻮن اﳌﻌﺎﱐ ﺑﻘﺪر اﻷﻟﻔﺎﻇﻮ اﻷﻟﻔﺎظ ﺑﻘﺪر اﳌﻌﺎﱐ‬:‫اﳌﺴﺎواة‬
(٢٥٣ :٢٠٠٥ ،‫ )اﳉﺎرﱘ و أﻣﲔ‬.‫ﺑﻌﺾ‬
/al-musāwātu: an takūna al-ma’ānī biqadri al-alfāẓi wa al-alfāẓu biqadri alma’ānī, lā yazīdu ba’ḍuhā ‘alā ba’ḍin/'Musawah adalah pengungkapan kalimat

Universitas Sumatera Utara

yang maknanya sesuai dengan banyaknya kata-kata, dan kata-katanya sesuai
dengan luasnya makna yang dikehendaki, tidak ada penambahan atau pun
pengurangan'. (Jarim dan Amin, 2005:339)

(۱۱۰ :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬. ‫وﻣﺎ ﺗﻘ ّﺪﻣﻮا ﻷﻧﻔﺴﻜﻢ ّﻣﻦ ﺧﲑ ﲡﺪوﻩ ﻋﻨﺪاﷲ‬

Contoh:

/wa mā tuqaddimū lianfusikum min khairin tajidūhu ’inda Allah/'dan apa-apa yang
kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya
pada sisi Allah'. (QS Al-Baqarah:110)
Pada contoh di atas kita dapatkan bahwa kata-katanya disusun sesuai
dengan makna yang dikehendaki, dan jika kita tambahi satu kata saja, tampak ada
kelebihan dan bila kita kurangi satu kata akan mengurangi maknanya. Kata-kata
yang tersusun sama dengan banyaknya makna disebut sebagai musawah.

b. Ijaz
Ijaz berasal dari kata ‫ﻭﺟﺰ– ﻳﺠﺰ – ﺍﻳﺠﺎﺯ‬/wajaza – yajizu – ījāzun/ yaitu
meringkaskan perkataan. (Yunus, 2010:492)

‫ ﻣﻊ اﻹﺑﺎﻧﺔ‬،‫ واﻓﻴﺔ ﺑﺎﻟﻐﺮض اﳌﻘﺼﻮد‬،‫اﻗﻞ ﻣﻨﻬﺎ‬
ّ ‫اﻹﳚﺎز وﺿﻊ اﳌﻌﺎﱐ اﻟﻜﺜﲑة ﰲ اﻟﻔﺎظ‬
(۲۲۲:۱٩٦٠ ،‫ )اﳍﺎﴰﻲ‬.‫واﻹﻓﺼﺎح‬
/al-ījāzu waḍa’u al-ma’ānī al-kaṡīrati fī al-fāẓi aqalla minhā, wāfiyatan bi algarḍi al-maqṣūdi, ma’a al-ibānati wa al-ifṣāḥi/'Ijaz yakni mengumpulkan makna
yang cukup banyak di bawah lafaz yang sedikit yang memenuhi kejelasan tujuan.

:‫ وﻫﻮ ﻧﻮﻋﺎن‬،‫اﳌﺘﻚﺛﺮة ﲢﺖ اﻟﻠّﻔﻆ اﻟﻘﻠﻴﻞ ﻣﻊ اﻹﺑﺎﻧﺔ و اﻹﻓﺼﺎح‬
‫ ﲨﻊ اﳌﻌﺎﱐ ا‬:‫اﻹﳚﺎز‬
‫ وﻳﻜﻮن ﺑﺘﻀﻤﲔ اﻟﻌﺒﺎرات اﻟﻘﺼﲑة ﻣﻌﺎﱐ ﻛﺜﲑة ﻣﻦ ﻏﲑ ﺣﺬف‬،‫‌أ( اﻹﳚﺎز ﻗﺼﺮ‬
‫ﺗﻌﲔ‬

ّ ‫ وﻳﻜﻮن ﲝﺬف ﻛﻠﻤﺔ أو ﲨﻠﺔ أو أﻛﺜﺮ ﻣﻊ ﻗﺮﻳﻨﺔ‬،‫ب( اﻹﳚﺎز ﺣﺬف‬
(٢٥٥:٢٠٠٥ ،‫)اﳉﺎرﱘ و أﻣﲔ‬.‫اﶈﺬوف‬

/al-ījāzu: jam’u al-ma’ānī al-mutakāṡiratu taḥta al-lafẓi al-qalīla ma’a al-ibānati
wa al-ifṣāḥi, wa huwa nau’āni: a) al-ījāzu qaṣru, wa yakūnu bitaḍmīni al-’ibārāti
al-qaṣīrati ma’āniya kaṡīrati min gairi ḥażfi, b) al-ījāzu ḥażfu, wa yakūnu biḥażfi
kalimati au jumlatu au akṡara ma’a qarīnati tu’ayyinu al-maḥżūfi/'Ijaz adalah
mengumpulkan makna yang banyak dalam kata-kata yang sedikit dengan jelas
dan fasih. Ijaz dibagi menjadi dua: a. ijaz qashar, yaitu ijaz dengan cara

Universitas Sumatera Utara

menggunakan ungkapan yang pendek, namun mengandung banyak makna, tanpa
di sertai pembuangan beberapa kata/kalimat. b. ijaz ḥażf, yaitu ijaz dengan cara
membuang sebagian kata atau kalimat dengan syarat ada karinah yang
menunjukkan adanya lafazh yang dibuang tersebut'. (Jarim dan Amin, 2005:342)

(۸۲ :‫)اﻻﻧﻌﺎم‬.‫أوﻟﺌﻚ ﳍﻢ اﻷﻣﻦ‬

Contoh:

/ūlā`ika lahumu al-amnu/'mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan'.
(QS Al-An’am:82)
Pada ayat ini terdapat ijaz qashar karena kata “al-amnu” mencakup
seluruh hal yang menyenangkan, termasuk bebas dari ketakutan fakir, mati,
penganiayaan, hilangnya kenikmatan, dan dari hal-hal menakutkan yang lain.

.‫أﻛﻠﺖ ﻓﺎﻛﻬﺔ و ﻣﺎء‬
/akaltu fākihatan wa mā`an/'saya makan buah-buahan dan air'. (Jarim dan Amin,
2005:343)
Pada kalimat di atas terdapat ijaz ḥażf, diperkirakan asal kalimatnya adalah

‫أﻛﻠﺖ ﻓﺎﻛﻬﺔ و ﺷﺮﺑﺖ ﻣﺎء‬/akaltu fākihatan wa syaribtu mā`an/'saya makan buah-buahan
dan minum air'.
c. Iṭnab
Itnab berasal dari kata ‫ﺍﻁﻨﺐ – ﻳﻄﻨﺐ –ﺍﻁﻨﺎﺏ‬/aṭnaba - yuṭnibu - iṭnāban/
'berlebih-lebihan, panjang perkataannya'. (Yunus, 2010:241)

(۲۲٦:۱٩٦٠ ،‫ )اﳍﺎﴰﻲ‬.‫اﻹﻃﻨﺎب زﻳﺎدة اﻟﻠّﻔﻆ ﻋﻠﻰ اﳌﻌﲎ ﻟﻔﺎﺋﺪة‬
/al-iṭnabu ziyādatun al-lafẓi ’alā al-ma’nā lifā`idatin/'Itnab adalah menambah
lafaz atas maknanya karena suatu faedah'.

:‫ ﻣﻨﻬﺎ‬،‫ وﻳﻜﻮن ﺑﺄﻣﻮر ﻋ ّﺪة‬،‫ زﻳﺎدة اﻟﻠّﻔﻆ ﻋﻠﻰ اﳌﻌﲎ ﻟﻔﺎﺋﺪة‬:‫اﻹﻃﻨﺎب‬
.‫اﳋﺎص‬
‫ ذﻛﺮ اﳋﺎص ﺑﻌﺪ اﻟﻌﺎم ﻟﻠﺘّﻨﺒﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﻓﻀﻞ‬.‌‫أ‬
ّ
.‫اﳋﺎص‬
‫اﳋﺎص ﻹﻓﺎدة اﻟﻌﻤﻮم ﻣﻊ اﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﺑﺸﺄن‬
‫ ذﻛﺮ اﻟﻌﺎم ﺑﻌﺪ‬.‫ب‬

ّ
ّ

Universitas Sumatera Utara

.‫اﻟﺴﺎﻣﻊ‬

ّ ‫ اﻹﻳﻀﺎح ﺑﻌﺪ اﻹﺑﺎم ﻟﺘﻘﺮﻳﺮ اﳌﻌﲎ ﰲ ذﻫﻦ‬.‫ج‬

.‫ﺤﺴﺮ و ﻛﻄﻮل اﻟﻔﺼﻞ‬
ّ ّ‫ ﻛﺘﻤﻜﲔ اﳌﻌﲎ ﻣﻦ اﻟﻨّﻔﺲ و ﻛﺎﻟﺘ‬:‫ اﻟﺘّﻜﺮار ﻟﺪاع‬.‫د‬
‫ وﻫﻮ أن ﻳﺆﺗﻰ ﰲ أﺛﻨﺎء اﻟﻜﻼم أو ﺑﲔ ﻛﻼﻣﲔ ﻣﺘّﺼﻠﲔ ﰲ اﳌﻌﲎ‬،‫ اﻹﻋﱰاض‬.‫ه‬
.‫ﳏﻞ ﳍﺎ ﻣﻦ اﻹﻋﺮاب‬
ّ ‫ﲜﻤﻠﺔ أو أﻛﺜﺮ ﻻ‬
‫وﻫﻮ‬،‫ وﻫﻮ ﺗﻌﻘﻴﺐ اﳉﻤﻠﺔ ﲜﻤﻠﺔ أﺧﺮى ﺗﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ ﺗﻮﻛﻴﺪا‬،‫ اﻟﺘّﺬﻳﻴﻞ‬.‫و‬
.‫ﻋﻤﺎ ﻗﺒﻠﻪ‬
‫ ﺟﺎر ﳎﺮى اﳌﺜﻞ إن‬.١:‫ﻗﺴﻤﺎن‬
ّ ‫اﺳﺘﻘﻞ ﻣﻌﻨﺎﻩ واﺳﺘﻐﲎ‬
ّ
.‫ﻋﻤﺎ ﻗﺒﻠﻪ‬
ّ ‫ ﻏﲑ ﺟﺎر ﳎﺮى اﳌﺜﻞ إن ﱂ ﻳﺴﺘﻐﻦ‬.٢
،‫ وﻳﻜﻮن ﺣﻴﻨﻤﺎ ﻳﺄﰐ اﳌﺘﻜﻠّﻢ ﲟﻌﲎ ﳝﻜﻦ أن ﻳﺪﺧﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻴﻪ ﻟﻮم‬،‫ اﻻﺣﱰاس‬.‫ز‬
(٢٦٥ - ۲٦٤:٢٠٠٥ ،‫ )اﳉﺎرﱘ و أﻣﲔ‬.‫ﻓﻴﻔﻄﻦ ﻟﺬﻟﻚ وﻳﺄﰐ ﲟﺎ ﳜﻠّﺼﻪ ﻣﻨﻪ‬

/al-iṭnabu: ziyādatu al-lafẓi ’alā al-ma’nā lifā`idatin, wa yakūnu bi`umuri
’iddatin, minhā:
a. żikru al-khāṣ ba’da al-’ām littanbīhi ’alā faḍli al-khāṣṣi.
b.żikru al-’ām ba’da al-khāṣṣi li`ifādati al-’umūmi ma’a al-’ināyati bisya`ni alkhāṣṣi.
c. al-īḍāḥu ba’da al-ibhāmu litaqrīri al-ma’nā fī żihni as-sāmi’i.
d.at-tikrāri lidā’in: katamkīni al-ma’nā mina an-nafsi wa kā at-taḥassuri wa
kaṭūli al-faṣli.
e.al-i’tirāḍu, wa huwa an yu`tā fī aṡnā`i al-kalāmi au baina kalāmaini
mattaṣilaini fī al-ma’nā bijumlati au akṡari lā maḥalla lahā mina al-i’rābi.
f.at-tażyīlu, wa huwa ta’qību al-jumlati bijumlati ukhrā tasytamilu ’alā ma’nāhā
taukīdān, wa huwa qismāni: 1) jārin majrā al-maṡalu ini istaqalla ma’nāhu wa
istagnā ’ammā qablahu. 2) gairu jārin majrā al-maṡalu in lam yastagni ’ammā
qablahu.
g.al-iḥtirāsu, wa yakūnu ḥīnamā ya`tī al-mutakallimu bima’nān yumkinu an
yadkhula ’alaihi fīhi laumun, fayafṭini liżalika wa ya`tī bimā yukhalliṣuhu
minhu/
'Itnab adalah bertambahnya lafaz dalam suatu kalimat melebihi makna kalimat
tersebut karena suatu hal yang berfaedah. Teknik itnab banyak sekali, di antaranya
adalah:
a. Żikrul-khāṣ ba’dal-’ām (menyebutkan lafaz yang khusus setelah lafaz yang
umum). Hal ini berfaedah untuk mengingatkan kelebihan sesuatu yang khas itu.
b. Żikrul-’am ba’dal-khāṣ (menyebutkan lafaz yang umum setelah lafaz yang
khusus). Hal ini berfaedah untuk menunjukkan keumuman hukum kalimat
yang bersangkutan dengan memberi perhatian tersendiri terhadap sesuatu yang
khas itu.

Universitas Sumatera Utara

c. Al-īḍāḥ ba’dal-ibhām (menyebutkan lafaz yang jelas maknanya setelah
menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas). Hal ini berfaedah mempertegas
makna dalam perhatian pendengar.
d. Tikrār (mengulangi penyebutan suatu lafaz). Hal ini berfaedah, seperti untuk
mengetuk jiwa pendengarnya terhadap makna yang dimaksud, untuk tahassur
(menampakkan kesedihan), dan untuk menghindari kesalahpahaman karena
banyaknya anak kalimat yang memisahkan unsur pokok kalimat yang
bersangkutan.
e. I’tirāḍ (memasukkan anak kalimat ke tengah-tengah suatu kalimat atau antara
dua kata yang berkaitan, dan anak kalimat tersebut tidak memiliki kedudukan
dalam i’rab).
f. Tażyīl (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup
maknanya). Hal ini berfaedah sebagai taukid. Tadzyiil itu ada dua macam: a.
jārin majrā al-miṡl (berlaku sebagai contoh) bila kalimat yang ditambahkan itu
maknanya mandiri, tidak membutuhkan kalimat yang pertama. b. gairu jārin
majrā al-miṡl (bila kalimat kedua itu tidak dapat lepas dari kalimat pertama).
g. Iḥtirās (penjagaan), yaitu bila si pembicara menyampaikan suatu kalimat yang
memungkinkan timbulnya kesalahpahaman, maka hendaklah ia tambahkan
lafaz atau kalimat untuk menghindarkan kesalahpahaman tersebut'. (Jarim dan
Amin, 2005:356)

Contoh żikrul-khāṣ ba’dal-’ām (lafaz yang khusus setelah yang umum):

(٤:‫)اﻟﻘﺪر‬.‫اﻟﺮوح ﻓﻴﻬﺎ‬
ّ
ّ ‫ﺗﻨﺰل اﳌﻠﺌﻜﺔ و‬
/tanazzalu al-malāikatu wa ar-rūḥu fīhā/'pada malam itu turun malaikatmalaikat dan Malaikat Jibril'. (QS Al-Qadr:4)
Pada ayat ini terdapat itnab dalam bentuk żikrul-khāṣ ba’dal-’ām
(lafaz yang khusus setelah yang umum), karena Allah secara khusus menyebut
Ar-Ruuh, yakni Jibril, padahal ia telah tercakup dalam keumuman malaikat. Hal
ini dimaksudkan sebagai penghormatan dan penghargaan bagi Jibril, seakan-akan
ia dari jenis lain.
Contoh żikrul-’ām ba’dal-khāṣ (lafaz yang umum setelah yang khusus):

ّ‫ وﻻ ﺗﺰد اﻟﻈﺎﳌﲔ اﻻ‬،‫اﻟﺪي وﳌﻦ دﺧﻞ ﺑﻴﱵ ﻣﺆﻣﻨًﺎ ّو ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﲔ واﳌﺆﻣﻨﺎت‬
ّ
ّ ‫رب اﻏﻔﺮﱄ وﻟﻮ‬
(۲٨:‫ )ﻧﻮح‬.‫ﺗﺒﺎرا‬

Universitas Sumatera Utara

/rabbi igfirlī waliwālidayya wa liman dakhala baitiya mu`minān wa lil mu`minīna
wa al-mu`mināti, wa lā tazidi aẓ-ẓālimīna illā tabāran/'ya Tuhanku, ampunilah
aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman, dan semua
orang yang beriman, laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan
bagi orang-orang yang zalim itu selain kehancuran'. (QS Nuh: 28)
Pada ayat ini terdapat żikrul-’ām ba’dal-khāṣ (lafaz yang umum setelah
yang khusus), karena Allah menyebutkan lafaz “al-mu`minīn wa al-mu`mināt”,
yang keduanya adalah lafaz yang umum, mencakup orang-orang yang disebut
pada lafaz-lafaz sebelumnya. Tujuan ditambahkannya lafaz-lafaz tersebut adalah
untuk menunjukkan ketercakupan lafaz yang khas ke lafaz yang umum dengan
member perhatian khusus pada sesuatu yang khas itu karena disebut dua kali.

Contoh al-īḍāḥ ba’dal-ibhām (lafaz yang jelas maknanya setelah menyebutkan
lafaz yang maknanya tidak jelas) :

(٦٦:‫ )اﳊﺠﺮ‬.‫وﻗﻀﻴﻨﺎ اﻟﻴﻪ ذاﻟﻚ اﻻﻣﺮ ا ّن داﺑﺮ ﻫﺆﻻء ﻣﻘﻄﻮع ﻣﺼﺒﺤﲔ‬
/wa qaḍainā ilaihi żālika al-amra anna dābira hā`ulā`i maqṭū’un muṣbiḥīna/'dan
telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan
ditumpas habis di waktu subuh'. (QS Al-Hijr: 66)
Pada ayat ini terdapat al-īḍāḥ ba’dal-ibhām (lafaz yang jelas maknanya
setelah menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas), karena firman Allah
“anna dābira hā`ulā`i maqṭū’un muṣbiḥīn” merupakan penjelasan bagi lafaz “alamr” yang disebut sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk menambah ketegasan
makna di hati pembaca dengan disebutkan dua kali, pertama secara samar dan
kedua dengan tegas.
Contoh tikrār (mengulangi penyebutan suatu lafaz) :

‫ﻛﺄ�ﺎ؞أﺷﻄﺎن ﺑﺌﺮ ﰲ ﻟﺒﺎﻧﺎﻷدﻫﻢ‬
ّ ‫اﻟﺮﻣﺎح‬
ّ ‫ﻳﺪﻋﻮن ﻋﻨﱰ و‬
‫ﻛﺄ�ﺎ؞ﳌﻊ اﻟﺒﻮارق ﰲ ﺳﺤﺎب ﻣﻈﻠﻢ‬
ّ ‫اﻟﺴﻴﻮف‬
ّ ‫ﻳﺪﻋﻮن ﻋﻨﱰ و‬

Universitas Sumatera Utara

/yad’ūna ’antara wa ar-rimāḥu ka`annahā‫ ؞‬asyṭānu bi`rin fī labāni al-adhami

yad’ūna ’antara wa as-suyūfu ka`annahā ‫ ؞‬lam’u al-bawāriqi fī saḥābin
muẓlimin/'mereka mengundang ’Antarah, sedangkan panah-panah itu seakanakan tambang sumur di dada kuda. Mereka mengundang ’Antarah, sedangkan
pedang-pedang itu seakan-akan cahaya kilat di awan yang gelap'. (Jarim dan
Amin, 2005:352)
Pada syair ’Antarah ini terdapat tikrār (mengulangi penyebutan suatu
lafaz) yakni pada lafazh

‫ﻳﺪﻋﻮﻥ ﻋﻨﺘﺮ‬/yad’ūna ’antara/'mereka mengundang

’Antarah', untuk menegaskan dan memantapkan maknanya di hati pendengar dan
pembaca.
Contoh i’tirāḍ (memasukkan satu kalimat atau lebih ke tengah-tengah suatu
kalimat atau antara dua kata yang berhubungan) :

‫اﻟﺴﻨّﻔﺎﱏ‬
ّ ‫ ﻛﺒﲑ‬−‫أﻻ ﻛﺬﺑﻮا‬−‫؞‬

‫ﺑﺄﱐ‬
ّ ‫أﻻ زﻋﻤﺖ ﺑﻨﻮﺳﻌﺪ‬

/alā za’amat banū sa’din biannī ‫– ؞‬alā każabū– kabīru as-sinni fānī/
'apakah anak-anak Sa’d tidak beranggapan bahwa saya –sebenarnya mereka
bohong– adalah orang yang sudah tua dan akan musnah?'. (Jarim dan Amin,
2005:352)
Pada syair ini terdapat i’tirāḍ (memasukkan satu kalimat atau lebih ke
tengah-tengah suatu kalimat atau antara dua kata yang berhubungan).Kalimat
yang ditambahkan tersebut tidak memiliki kedudukan dalam dalam i’rab.Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan ke-baligh-an suatu kalimat.Lafaz ‫ ﺃﻻ ﻛﺬﺑﻮﺍ‬/alā
każabū/ dalam syair An-Nabighah terletak di antara isim inna dan khabarnya,
dengan maksud untuk menegaskan peringatan kepada orang yang menuduhkan
telah tua.
Contoh tażyīl (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup
maknanya) jārin majrā al-miṡl (berlaku sebagai contoh):

‫ﻓﱴ ﻳﻌﻄﻰ ﻋﻠﻰ اﳊﻤﺪ ﻣﺎﻟﻪ وﻣﻦ ﻳﻌﻂ أﲦﺎن اﶈﺎﻣﺪ ﳛﻤﺪ‬
ً ‫ﺗﺰور‬

Universitas Sumatera Utara

/tazūru fatan yu’ṭī ’alā al-ḥamdi mālahu wa man yu’ṭi aṡmāna al-maḥamidi
yuḥmadi/'engkau menengok seorang pemuda yang memberikan hartanya berkata
pujian. Siapa orangnya yang memberi karena dipuji adalah orang yang terpuji'.
(Jarim dan Amin, 2005:352)
Contoh tażyīl (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup
maknanya) gairu jārin majrā al-miṡl (tidak dapat berlaku sebagai contoh) :

‫ﺗﺮﻛﺘﲏ أﺻﺤﺐ اﻟ ّﺪﻧﻴﺎ ﺑﻼ أﻣﻞ‬

‫أؤﻣﻠﻪ‬
ّ ‫ﱂ ﻳﺒﻖ ﺟﻮدك ﱄ ﺷﻴﺌًﺎ‬

/lam yubqi jūduka lī syai`an u`ammiluhu :: taraktanī aṣḥabu ad-dunyā bilā amali/
'kemurahanmu tidak lagi menyisakan bagiku sesuatu yang dapat aku harapkan.
Engkau meninggalkan aku menempuh kehidupan dunia tanpa harapan'. (Jarim dan
Amin, 2005:352)
Pada dua syair di atas terdapat tażyīl (mengiringi suatu kalimat dengan
kalimat lain yang mencakup maknanya). Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas
maknanya. Sesungguhnya makna kedua bait syair tersebut telah selesai pada
syaṭar pertama, namun diulas kembali pada syaṭar kedua. Tażyīl pada contoh
pertama adalah kalimat yang maknanya mandiri, tidak terikat dengan pemahaman
terhadap kalimat sebelumnya.Tażyīl yang demikian disebut sebagai jārin majrā
al-miṡl (berlaku sebagai contoh). Sedangkan pada bait kedua bukan kalimat yang
maknanya mandiri, sebab maknanya tidak dapat dipahami tanpa lebih dulu
memahami kalimat sebelumnya.Tażyīl yang demikian disebut sebagai gairu jārin
majrā al-miṡl (tidak dapat berlaku sebagai contoh).

Contoh iḥtirās (penjagaan) :

‫ﺻﺒﺒﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ – ﻇﺎﳌﲔ ﺳﻴﺎﻃﻨﺎ؞ﻓﻄﺎرت ﺑﺎ أﻳﺪ ﺳﺮاع و أرﺟﻞ‬
/ṣababnā ’alaihā – ẓālimīna siyāṭana :: faṭārat bihā aidin sirā’un wa arjulu/
'kami cambukkan kepadanya cambuk-cambuk kami dengan zalim, maka
melayanglah tangan dan kakinya dengan cepat. (Jarim dan Amin, 2005:352)

Universitas Sumatera Utara

Pada kalimat di atas terdapat iḥtirās (penjagaan), seandainya dihilangkan
kata ẓālimīn, niscaya pendengar akan beranggapan bahwa kuda Ibnu Mu’taz itu
dungu dan berhak dipukul. Makna yang demikian tidak sesuai dengan maksud
pembicara.Lafaz tersebut ditambahkan untuk menjaga kesalah pahaman terhadap
suatu kalimat.
Setelah uraian panjang di atas mengenai kaidah ijaz, itnab dan musawah
dalam ilmu Ma’ani yang digunakan sebagai teori dalam mengungkapkan struktur
syair Al-Hallaj, kemudian peneliti akan menguraikan sedikit tentang interpretasi
sebagai analisis makna setelah syair tersebut dianalisis strukturnya. Berikut
beberapa uraian tentang interpretasi:
Pengertian interpretasi sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
interpretasi/in.ter.pre.ta.si/ (n) pemberian kesan, pendapat, atau pandangan
teoretis terhadap sesuatu; tafsiran (Kridalaksana, 1995:384). Pengertian ini
diambil untuk mendekatkan pemahaman pembaca secara umum.
Kaelan (2005:76) menuturkan bahwa interpretasi adalah memperantai
pesan yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam realitas. Peneliti adalah
interpretator yang sekaligus berhadapan dengan kompleksitas bahasa, sehingga
harus makna atau pesan yang terkandung dalam bahasa yang tidak jelas menjadi
semakin jelas.
Berdasarkan uraian tersebut Kaelan menjelaskan bahwa interpretasi dapat
dipahami dengan tiga pengertian, masing-masing memiliki ciri khas tersendiri:
d. Interpretasi sebagai metode pengungkapan
Interpretasi dalam pengertian ini adalah merupakan suatu proses menunjuk arti,
yaitu mengungkapkan, menuturkan, mengatakan sesuatu yang merupakan
esensi realitas. Dengan demikian subjek berupaya untuk mengungkapkan objek
penelitian sehingga realitas yang terkandung dalam objek penelitian menjadi
terkonstatir.

Universitas Sumatera Utara

e. Interpretasi sebagai metode menerangkan
Kegiatan interpretasi dalam hal ini dilaksanakan dengan mengintrodusir faktor
dari luar, artinya upaya untuk mengungkapkan makna objek dalam
hubungannya dengan faktor-faktor yang berada di luar objek.
f. Interpretasi sebagai metode menerjemahkan
Pengertian menerjemahkan bukan berarti sekedar mengganti kata-kata yang
ada, tanpa menangkap intinya serta isinya, namun menerjemahkan dalam
pengertian ini harus mampu menangkap esensi atau makna yang terkandung
dalam objek. (Kaelan, 2005 :76-79)
2.3 Biografi Al-Hallaj
Untuk meneliti karya sastra penting pula mengenal siapa penulis karya itu
dengan menelusuri biografinya. Merujuk kepada beberapa referensi yang ada
maka biografi Al-Hallaj adalah sebagai berikut:
Al Hallaj, yang mempunyai nama lengkap Abul Mughith al Husayn Ibnu
Mansur Ibnu Muhammad Al Baydawi (244-309/858-922), adalah mistikus Islam
terbesar yang makamnya dijunjung tinggi sebagai orang suci atau wali.
Dieksekusi di Baghdad karena ajarannya dituduh dapat menyesatkan dan
berlawanan dengan ajaran orthodox, bersamaan waktunya dengan pergolakan
politik, ekonomi dan agama dalam sejarah kekhalifahan Abbasiyah dan Umayyah.
Hidup, khotbah dan kematiannya menyinari sebuah moment krusial dalam sejarah
peradaban Islam. Pengalaman batin yang ia kemukakan menjadi denah sekaligus
perpecahan dalam sejarah tasawuf.
Tempat Lahir dan Pendidikan Al-Hallaj
Pada buku terjemahan Diwan Al-Hallaj yang ditulis oleh Louis Massignon
dijelaskan secara rinci tentang Al-Hallaj sebagai berikut:
Al-Hallaj dilahirkan sekitar 244/858 di Tur, Al Bayda, Fars, Iran
Tenggara. Penduduk Tur berbahasa Arab dialek Iran. Al Bayda
adalah pusat Negara-negara Arab. Orang-orang mengatakan Hallaj
adalah cucu dari seorang penganut agama Zoroaster, dan masih

Universitas Sumatera Utara

keturunan Abu Ayyub, salah seorang sahabat Nabi Muhammad
SAW. Ayahnya, seorang penggaru kapas (menyisir dan memisahkan
kapas dari bijinya), ditengah perkebunan kapas yang terbentang dari
Tustar sampai Wasit, di atas sungai Tigris. Sang ayah sering
bepergian antara Bayda dan Wasit, sebuah kota kecil yang menjadi
pusat tekstil. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan
ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut (sampai batas
tertentu), akar budaya Hallaj. Kota kecil Tur mayoritas penduduknya
penganut mazhab Sunni-Hambali, sedangkan sebagian kecil lainnya
penganut Syiah ekstrimis. Tur juga pusat sekolah penghafal Al
Qur’an. Di Wasit, Hallaj menempuh pendidikan bahasa Persia-nya
dan menghafal Al-Quran. Sampai usia 12 tahun, ia mempelajari AlQur’an dengan sepenuh hati sampai menjadi hafiz. Dengan sangat
cepat, Hallaj memiliki otoritas untuk mengajarkan Al-Qur’an.
Ilmu Tasawuf dipelajarinya dari Sahal Al-Tustari, seorang sufi
berpengaruh dan independen, yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan
terkenal karena tafsiran Al-Qur’annya. Sahal mengamalkan secara ketat tradisi
Nabi dan praktek-praktek kezuhudan. (Massignon, 2001:7)
Perpindahan Al-Hallaj ke Basrah
Hallaj meninggalkan Tustari pada usia 20 tahun dan tiba di Basrah. Disini,
ia menerima jubah sufi dari Amir Al-Makki dan secara formal mentahbiskannya
dalam tasawuf. Amir Al-Makki adalah murid Junaiyd, seorang sufi yang mahsyur
pada waktu itu. Hallaj kemudian menikah dengan Ummu Al-Husayn, putri dari
Abu Ya’kub Al-Akta. Rumah tangganya monogami, bersatu sampai akhir
hayatnya. Mereka dikaruniai 3 anak laki-laki dan 1 perempuan. Namun
pernikahan itu tanpa diketahui oleh Amir Al-Makki, guru Al-Hallaj, yang
kemudian menimbulkan kecemburuan dan perlawanan dari Al-Makki. Hal itu
pula yang menjadikan hubungan persahabatan antara Al-Makki dengan Al-Akta
(mertuanya Al-Hallaj) tidak harmonis, ketidakharmonisan ini juga terjadi pada
hubungan guru-murid antara Amir dan Hallaj.
Perkawinan ini pula yang kemudian membuatnya berkenalan dengan klan
(kelompok) yang memiliki kaitan dengan pemberontak Zaydite dari orang-orang
Zindiq. Akibat dari pergaulan itu sedikit banyak, ia terkontaminasi dengan

Universitas Sumatera Utara

ekstrimis Syiah. Semua ini menjadi awal yang memungkinkan reputasinya
sebagai da’i Syiah, walau ia tetap memelihara kehidupan asketis yang bergelora
berdasarkan ketundukan pada tuntunan mazhab Sunni. Hallaj lalu pergi ke
Baghdad, berkonsultasi dengan Junayd, satu hal yang memantik konflik antara
mertuanya Al-Akta dengan Al-Makki. Hallaj melanjutkan pencariannya terhadap
kebenaran Tuhan dengan pergi ziarah ke Mekkah dan sewaktu kembali pecahlah
pemberontakan Zandj. (Massignon, 2001 :8)
Ibadah Haji Yang Dilakukan Al-Hallaj
Al-Hallaj melaksanakan haji pertama dan berjanji untuk menetap selama
satu tahun sambil melaksanakan umrah. Dengan jiwa muda yang bergelora, ia
mampu menjaga kesunyiannya secara intens

dan berkelanjutan. Di Mekkah

inilah, Hallaj bereksperimen dengan pandangan pribadinya tentang kesatuan
dengan Tuhan, dan mulai menyatakan pandangannya tentang ilmu-ilmu rahasia.
Hallaj pulang dari Mekkah membawa pemikiran baru yang kemudian ia
komunikasikan kembali dengan sesama sufi seperti Amir Al-Makki dan Junayd.
Amir Al-Makki berbeda pendapat dengannya tentang posisi kaum sufi dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hallaj menyadari bahwa
ibadah dapat menjadi cara pemuasan pribadi, namun ia juga ingin menyampaikan
pesan spiritualnya pada masyarakat melalui syair.
Al-Hallaj mengembara jauh dan melakukan haji yang kedua bersama 400
pengikutnya. Hallaj melaksanakan ziarah kedua ke Mekkah. Pada saat itulah,
teman-temannya sesama sufi menuduh Hallaj terpengaruh ilmu sihir dan
bersekongkol dengan jin. Mereka menerjemahkan haji keduanya sebagai ‘Wisata’
dalam tradisi India (Hinduisme), serta Maniseisme dan Budhisme dalam tradisi
Turkistan yang keluar dari wilayah Islam. Hallaj mengemukakan teorinya tentang
kesatuan mistik, yaitu: Tuhan memperbaiki dan meluhurkan kepribadian manusia.
Pandangan ini banyak menuai kritik dari para ulama dan sahabatnya. Mereka
menemukan dalam konsep ini prinsip Maniseisme, yaitu: konsep dualitas antara

Universitas Sumatera Utara

yang baik dan yang buruk. Menurut mereka, Hallaj melakukan suatu peleburan
atau pengejawantahan sifat ketuhanan ke dalam jiwa manusia.
Tahun 290/902 adalah titik balik bagi perjalanan spiritualnya. Ia kembali
melakukan ziarah ketiga ke Mekkah dan menjadi ziarahnya yang terakhir.
Sekembalinya, Hallaj mengenakan ‘muraqqa’a’, baju tambalan compangcamping, dan ‘futa’, sejenis jubah yang biasa dikenakan kaum perempuan India.
Semua ini dilakukan Hallaj agar ia lebih leluasa menyampaikan khotbahkhotbahnya kepada semua lapisan masyarakat. (Massignon, 2001:9-11)
Khutbah Terakhir Al-Hallaj di Baghdad
Kembali kepada teman-temannya di Baghdad, tempat tinggal
sejumlah sufi terkenal seperti Nuri dan Syibli, Hallaj menempatkan
sebuah gambar Ka’bah di kamarnya. Ia berdo’a pada malam hari
didekat makam, dan berseru di jalan-jalan pada siang hari. Cintanya
membara pada Tuhan dan hasratnya ‘untuk mati di pembuangan’
tertuang dalam sajaknya: “O, saudaraku, selamatkan aku dalam
Tuhan, Tuhan telah menghalalkanmu untuk membunuhku. Bunuhlah
aku!”. Ungkapan itu membangkitkan emosi orang-orang sekaligus
mencemaskan kalangan ulama. Tokoh Zahirit, Mohammad Ibnu
Dawud merasa tersinggung atas kesatuan mistik Hallaj dengan
Tuhan. Ia didakwa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Tapi
hakim Syafi’i Ibnu Surayd menyatakan bahwa inspirasi mistik
bukanlah bagian dari tuntutan hukum. Pada saat itulah, menurut
cerita yang berkembang, Hallaj akan menjawab kepada sahabatnya
sufi Syibli di masjid Al Mansyur tentang shatahat-nya yang
mahsyur:“Ana al-Haq”, “Akulah kebenaran”.(Massignon, 2001:12)
Peristiwa Yang Menyebabkan Penahanan Al-Hallaj
Gerakan reformasi moral dan politik di kalangan masyarakat
berlangsung di Baghdad. Hallaj mendukung sekaligus mempelopori
gerakan reformasi itu. Ia mendukung sepenuh hati koalisi Ibnu AlMu’tazz, sebuah nama yang dipertaruhkan untuk reformasi sosial,
moral dan agama. Mu’tazz, seorang bermazhab Sunni yang condong
ke Hanafi. Hallaj sendiri mempersembahkan kepada menteri Ibnu
Hamdan dan Ibnu Musa sebuah buku kecil berisi kewajibankewajiban menteri. Pada tahun 296/908, para reformer Sunni (yang
condong ke Hambali-nya Al Bahari) mencoba merebut kekuasaan
dan mengangkat Ibnu Al-Mu’tazz menjadi khalifah. Mereka
menggagalkan upaya ditempatkannya kembali khalifah Al-Mu’tadir

Universitas Sumatera Utara

dan seorang menteri keuangan Syi’ah Ibnu Al Furat. Hallaj
dilibatkan dalam pemberantasan anti Hambali. Sekalipun empat dari
pengikutnya ditahan, ia berhasil meloloskan diri ke Sus. Tiga tahun
berikutnya, ia menjadi tumbal dari kebencian penganut Sunni, lalu
ditahan dan dibawa kembali ke Baghdad. Penahanan itu berlangsung
selama Sembilan tahun.
Pada tahun 301/913, menteri Ibnu Isa, sepupu dari seorang pengikut Hallaj
menghentikan perkara (fatwa dari Ibnu Surayd). Pengikut Hallaj yang dipenjara
dilepaskan. Sementara itu, di bawah tekanan musuhnya, Hallaj dipertontonkan
selama 3 hari di tiang di depan khalayak dan dihina dengan diberi papan
bertuliskan ‘Agen Karmat’. Syi’ah Qaramitah adalah kelompok Syi’ah garis keras
yang dipimpin oleh Hamdan Ibnu Karmat yang menentang pemerintahan dinasti
Abbasiyah sejak abad X sampai XI Masehi. Perlakuan ini merupakan pengaruh
dari komandan kepolisian yang bermusuhan dengan menteri. Hallaj akan ditawan
di kerajaan, yang memungkinkannya untuk memberi pengetahuan pada tawanan
lain. Pada tahun 303/915, Hallaj menyembuhkan khalifah dari demam yang akut,
dan pada tahun yang sama, ia menyembuhkan sakit parah seekor burung betet
warisan pangeran. Orang-orang Mu’tazilah mengadukan “pembualannya”. Dalam
hal ini, menteri Ibnu Isa berpihak pada Hallaj. Tapi, pada tahun 304/916 ia diganti
oleh orang yang anti Hallaj yaitu Ibnu Furat.
Tetapi pengaruh Ibu Suri mencegah yang terakhir ini dari dibukanya
kembali persidangan. Pada saat itu, nampaknya merupakan peristiwa penting
dengan selesainya dua karya terpenting Hallaj yaitu TaWaSin (Al Azal) berisi
renungannya tentang Iblis “pembangkang yang monoteis” dan buku kecil tentang
kenaikan “mi’raj” Muhammad SAW. Renungan dalam buku itu menjadi jawaban
bagi Syi’ah ekstrimis, Al Shalmaghani, tentang iman dan maksiat, keburukan dan
kebaikan, pilihan dan nasib adalah sebagai ‘al mukabals’ (korelasi berlawanan)
dan keduanya sama-sama menyenangkan Tuhan. Al Shalmaghani memiliki
pengaruh yang tidak kecil di wilayah Baghdad dan juga pada peristiwa pengadilan
atas diri Hallaj.

Universitas Sumatera Utara

Pengadilan Hallaj dimulai lagi pada tahun 308-309/921-922. Konspirasi
dan spekulasi moneter dari menteri Hamid dihalangi secara sia-sia oleh Ibnu Isa.
Pembukaan kembali kasus Hallaj dimulai. Mujahid, seorang pemimpin yang
dihormati oleh persatuan pembaca Al Qur’an. Ia teman dari sufi Ibnu Salim dan
Syibli, tetapi Mujahid anti pada Hallaj. Orang-orang Hambali, di bawah pengaruh
Ibnu Atha’ (seorang penganut Hambali yang juga mistikus) melancarkan gerakan
oposisi menentang menteri Hamid. Tindakan ini sekaligus sebagai protes atas
kebijakan moneter dan sebagai upaya menyelamatkan Hallaj.
Yang menjadi tuntutan hakim adalah kalimat yang diutarakan Hallaj:
‘berkeliling tujuh kali disekitar Ka’bah di hati masing-masing’. Hallaj didakwa
sebagai pemberontak Karmat yang ingin membinasakan Ka’bah di Mekkah.
Namun tak seorang penganut Syafi’i-pun datang. Hakim yang beraliran Hanafi
tidak mampu menghukumnya, tapi wakilnya menerima serta menguatkan Ibnu
Umar, sementara itu wakil dari saksi-saksi profesional didatangkan untuk
mengumpulkan 88 tanda tangan. Dalam hal ini Ibnu Umar ditekan oleh Hamid
serta menyatakan: ‘Dihalalkan menumpahkan darahnya’. (Massignon, 2001:1215)
Eksekusi Al-Hallaj
Selama dua hari, petugas kamar utama raja, Nasir Al Qushuri dan Ibu Suri
menginterogasi orang-orang dekat khalifah untuk menggagalkan eksekusi.
Khalifah sendiri saat itu sedang mengalami demam yang hebat. Namun intrik dan
konspirasi para menteri dengan kepentingan masing-masing meniupkan hasutan.
Al Mu’tadir yang baru keluar dari pesta makan, akhirnya mennadatangani surat
hukuman mati untuk Hallaj. Pada 23 Dzulkaida 309/25 Maret 922, ditiuplah
terompet yang menyatakan hukuman mati. Hallaj ditahan di pusat kepolisian dan
pada malam hari dalam sel tahanan. Ia meyakinkan dirinya adalah tumbal dan
meramalkan kebangkitannya yang agung. Do’anya tertera dan kemudian
dikumpulkan dalam ‘Akhbar Al Hallaj’.

Universitas Sumatera Utara

Tanggal 24 Maret 922 di pintu Khurazan, dihadapan kerumunan
orang yang tak tehitung banyaknya, Hallaj bertudung mahkota,
dicambuk dan dinaikkan ke atas Gibet (tiang pancung). Sementara
itu kerusuhan-kerusuhan tidak dapat dipadamkan, teman dan
musuhnya mengajukan pertanyaan silih-berganti. Hallaj dengan
mantap menaiki tangga menuju tiang gantungan. Sahabatnya, Syibli
yang hadir disitu bertanya tentang inti dari tasawuf. Hallaj menjawab
bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkat tasawuf
terendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?”, Tanya Syibli.
“Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya”, ujar Hallaj. Tradisi dan
kepercayaan yang berlaku saat itu berhasil mematahkan sebagian
jawaban Hallaj. Kerumunan orang mulai melempar batu ke arahnya.
Sementara itu, kekuasaan khalifah juga digugat atas keputusan
pemenggalan kepala itu yang hanya akan dilakukan pada malam
hari, membiarkannya mati dan baru keesokan harinya
disemayamkan. Pada malam bersejarah itu, cerita-cerita
menakjubkan beredar. Di pihak lain, para pembubuh tanda tangan
dikumpulkan, mengelilingi ibnu Mukram yang berteriak: “Semua ini
untuk kejayaan Islam, darahnya juga bisa menimpa leher kita”.
Kepala Hallaj pun jatuh, potongannya disiram minyak dan dibakar.
Sementara lidahnya dipotong dan matanya dicungkil. Keesokan
harinya, abu jenazah mistikus shaleh itu dibuang ke sungai Tigris
dari atas ketinggian menara. Kejadian memilukan dalam sejarah
peradaban Islam ini tercatat dalam tarikh: 27 Maret 922. (Massignon,
2001:16-17)
Saksi-saksi menceritakan kembali ungkapannya terakhir yang mengiris
perasaan: “Cinta kepada Yang Maha Esa adalah melebur kedalam Yang Esa”.
Hallaj lalu shalat dua rakaat dalam rengkuhan Cinta yang meluap pada
Kekasihnya, ia melantunkan ayat suci Al-Qur’an surat Asy-Syu’arā`, 18: “Orangorang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera
didatangkan dan orang-orang yang beriman merasa takut padanya dan meyakini
bahwa kiamat itu benar adanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang
yang membantah tentang hari kiamat itu benar-benar berada dalam kesesatan yang
jauh”.
Hukuman mati yang dijatuhkan pada Hallaj menimbulkan kontroversi
yang berkepanjangan bahkan hingga saat ini. Sementara kalangan ulama dan
sahabat Hallaj sendiri memiliki penilaian yang berbeda dalam menanggapi kasus
ini. Syibli, sahabat terdekat Hallaj berkata: “Hallaj dan aku memiliki kepercayaan

Universitas Sumatera Utara

yang sama, tapi kegilaanku menyelamatkan diriku, sedangkan kecerdasan telah
menghancurkan dirinya”.
Pengadilan Hallaj berlangsung dengan latar belakang intrik politik, agama
dan politisasi moneter yang menimpa Baghdad selama pemerintahan Al Mu’tadir
yang memiliki sedikit dukungan. Gambaran situasi dinasti Abbasiyah pada awal
abad IX-X dengan konspirasi dan koalisi para menteri untuk kepentingan pribadi,
kelompok dan aliran yang beragam. Dua nama musuh besar Hallaj yang menjadi
menteri yaitu Ibnu Al Furat, seorang Syiah dan menteri Hamid, seorang Sunni.
Khotbah-khotbah Hallaj di pasar dan mesjid Baghdad diincar khususnya pada
nilai-nilai keimanan dan pada pernyataannya tentang penyatuan Cinta dengan
Tuhan. (Massignon, 2001:18)
Al-Hallaj adalah