Ketepatan terjemahan kitab Al-Hikam (Analisis makna kontekstual)

(1)

KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM

(Analisis Makna Kontekstual)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

Humairoh

NIM : 1110024000002

PROGRAM STUDI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H./2015 M.


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudain hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 12 Juli 2015

Humairoh


(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

HUMAIROH 1110024000002

Ketepatan Terjemahan dalam Kitab Al-Hikam Analisis Makna Kontekstual. Di bawah bimbingan Drs. Ikhwan Azizi, MA dan Abdul Wadud K Anwar, Lc, MA. Peneliti melakukan analisis tentang ketepatan terjemahan terhadap makna kontestual pada buku terjemahan al-Hikam dari halaman 1-12, agar bisa mengetahui bagaimana cara menerjemahkan tanpa mengurangi amanat dari penulis. Jadi bahasa sumber harus bisa tersampaikan ke dalam bahasa sasarantanpa mengurangi pesan. Banyak aspek dari teks di luar pesan yang dapat ditransfer dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah harus tetap semaksimal mungkin berusaha mencari padanannya. Dalam bahasa sasaran, baik dari aspek pesan, emosi penulis, bentuk-bentuk linguistik, suasan teks maupun yang lain.

Padanan kontekstual pada teks sumber ke dalam teks sasaran semaksimal mungkin inilah yang menjadi inti dari penuangan pesan. Karena makna kontekstual sangatlah kompleks, yang mengharuskan penerjemahn mengetahui situasi, keadaan, ruang dan waktu teks sumber. Penuangan tidak melulu menuangkan ide, pikiran atau gagasan teks sumber. Bila dimungkinkan, penuangan harus pula menyangkut aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu, penerjemah harus benar-benar pandai atau terampil dalam memilih padanan di dalam bahasa sasaran. Hal ini bisa direngkuh dengan membolak-balik susunan kata dalam kalimat bahasa sasaran, memberikan tekanan, mengurangi tekanan, mengurangi keluasan makna atau meluaskannya, serta mengupayakan penyesuaian lainnya. Maka dalam menerjemahkan kata ke dalam analisis kontekstual harus dengan teliti memilih makna yang terkandung pada bahasa sumber, dalam buku terjemahan al-Hikam yang peneliti teliti dari halaman 1-12 masih masih ada saja teks terjemahan yang tidak sesuai dengan bahasa sumbernya. Menurut hemat peneliti, semua kata-kata bahasa sumber sesungguhnya secara makna dapat diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, dengan satu catatan bahwa tingkat budaya dua pemakai bahasanya tidak terlampau jauh.


(6)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam

Buku ―Pedoman Penulisan Karya Ilmiah‖ CeQDA UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan Padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

tidak dilambangkan

ب

B

be

ت

T

te

ث

Ts

te dengan es

ج

J

je

ح

h

ha dengan garis bawah

خ

Kh

ka dengan ha

د

D

de

ذ

Dz

de dengan zet

ر

R

er

ز

Z

zet

س

S

es

ش

Sy

es dengan ye

ص

s

es dengan garis bawah

ض

d

de dengan garis bawah

ط

te dengan garis bawah

ظ

zet dengan garis bawah


(7)

غ

Gh

ge dengan ha

ؼ

F

ef

ؽ

Q

ki

ؾ

K

ka

ل

L

el

ـ

M

em

ف

N

en

و

W

we

ػه

H

ha

ء

apostrof

ي

Y

ye

2. Vocal

Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.

Untuk vocal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan

—฀— a

‾‾฀‾‾ i Kasrah

—฀— u ammah

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan

ي—฀— ai a dan i


(8)

3. Vocal Panjang

Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vocal Arab Tanda Vocal Latin Keterangan

اــ a dengan topi di atas

ْ يــ i dengan topi di atas

ْ وــ u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

لا

, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: - bukan - - bukan -

4.1.

Syaddah atau y yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamasiyyah. Misalnya, kata ةر ورَضلا tidak ditulis - melainkan - demikian seterusnya.

4.2.

Berkaitan dengan alih aksara ini jika huruf ta terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tersebut diikuti oleh kata sifat () (lihat contoh 2). Namun, jika huruf tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Kata Aksara

1

ةقيرط

ar qah

2

ةّيمَسإا ةعما ا

al-j mi‘ah al-isl miyyah


(9)

5. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Ab H mid al-Gha l

bukan Ab H mid Al-Gha l , al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,

tidak ‗Abd al-S amad al-Palimb n ; Nuruddin al-Raniri, tidak N r al-D n al-R n r .

6. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:

Kata Arab Alih Aksara

ُلاَتْسُأا َبَهَل

d ahaba al-ust d u

ُرْجَأا َتَبَ ث

tsabata al-ajru

ةَيِرْصَعْلَا ةَكَرَْا

al- arakah al-‗as riyyah

َِ ْنَأ ُدَهْشَأ

ِإ َل

ها َِِإ َه

asyhadu an l il ha ill All h

َصلا كِلَم اَنَِْوَم

ا

حِل

Maul n Malik al-S li

ها ُمُكُرِ ثَؤُ ي

yu‘atstsirukum All h

َا ْل

َم

ةَيِلْقَعْلا رِهاَظ

al-ma hir al-‗aqliyyah

ةَيِنْوَكْلا تاَيآا

al- y t al-kauniyyah


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji senantiasa

selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam. Dia-lah yang terus ada di setiap langkah kepenulisan skripsi ini, begitu banyak sekali nikmat yang tercurahkan untuk Peneliti. Shalawat serta salam senantiasa terhatur kepada teladan alam semesta, yaitu Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat. Semoga kita mendapatkan curahan kebaikan sampai akhir nanti.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para

civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Prof.

Dr. Dede Rosyada, MA,. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Sukron Kamil, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum., Ketua Jurusan Tarjamah; Rizqi Handayani, MA,. Sekretaris Jurusan Tarjamah.

Terima kasih sedalam-dalamnya kepada pembimbing skripsi Drs. Ikhwan Azizi, MA dan Abdul Wadud K Anwar, Lc, MA yang telah meluangkan waktu untuk membaca, mengoreksi, memberi referensi, memotivasi, dan menyemangati Peneliti dalam proses penulisan skripsi. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan Bapak.

Tak lupa Peneliti ucapkan sebanyak-banyaknya terima kasih kepada jajaran dosen yang telah menginspirasi Peneliti Dr. Akhmad Saehuddin, M.Ag., Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag., Dr. Tb. Ade Asnawi, MA., Abdul Rasyid, MA., semoga ilmu yang Peneliti dapatkan bermanfaat. Dan beribu terima kasih kepada seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah banyak membantu untuk mengaskses secara mudah dalam menemukan referensi dan pengetahuan lewat buku-buku yang tersedia.


(11)

Terima kasih terhatur untuk penguji sidang munaqosyah Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA dan Karlina Helmanita, M.Ag yang telah menguji hasil skripsi Peneliti.

Salam cinta dan hormat Peneliti haturkan kepada Kedua Orang Tua, Ayah tersayang Jasman Muryanto dan Ibu tercinta Sabariah Nasution. Terima kasih atas kasih sayang, cinta, doa, motivasi, nasehat, bimbingan dan semangat yang telah “ y k” berikan selama ini, hingga dapat menyelesaikan dalam penyusunan skripsi. Tak lupa teruntuk adik tersayang Ulfa yang selalu beri semangat positif, canda tawa dan pencerahan kepada Peneliti, hingga muncul ide-ide dalam menyusun skripsi. Dan kepada keluarga di Medan; Uwak Jedah, Kak Puspa, Kak Mustika, Kak Iyus, Kak Muning yang telah banyak mendukung dengan baik hingga Peneliti semangat dalam menulis skripsi.

Peluk erat untuk sahabat-sahabat seperjuangan di Tarjamah angkatan 2010; Eva, Makhfiyyah, Halimah, Novi, Nur Asiah, Nia , Lili, Hanifah, Sri Mustika, Ayu, Rifyal, Farhan, Kholis, Rasyid, Ahmad Syafaat, Syafaat Maulana, Arif, Agus, Dzulfikar, Uwes, Lukman, Fahmi, Imam yang telah memberi banyak cerita indah serta menciptakan canda tawa selama 4 tahun lebih, mengingatkan kekurangan dan kekhilafan serta mendukung sepenuhnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula para kakak dan adik kelas serta kawan-kawan Kuliah Kerja Nyata yang memberi dukungan. Kemudian pada teman-teman tercinta Umay, Iqoh dan Saza yang selalu cerewet memberi semangat, terima kasih yang terdalam. Tak henti ucapan terima kasih terlimpahkan kepada semua yang pernah andil untuk memberi motivasi berharga, meminjamkan buku-buku referensi, menularkan pencerahan baru yang membuat Peneliti mempunyai paradigma luas dan pengalaman. Semoga kita semua dalam lingkaran kesederhanaan dan selalu bersyukur.

Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, semoga bisa bermanfaat dalam memperluas wawasan khususnya ilmu tentang Makna dalam


(12)

Penerjemahan. Saran dan kritik konstruktif sangat Peneliti butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, 16 Februari 2015 Peneliti


(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR SAMPUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

ABSTRAK ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

PRAKATA ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Penelitian ... 8

D.Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian ... 9

2. Sumber Data ... 9

3. Teknik Pengumpulan Data ... 10

4. Teknik Analisis Data ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. KERANGKA TEORI A.Gambaran Umum Tentang Penerjemahan 1. Penerjemahan ... 13

2. Peranan Makna dalam Penerjemahan ... 15

3. Masalah Padanan ... 17


(14)

B. Representasi Makna Kata ... 22

C.Wawasan Makna 1. Makna ... 25

2. Relasi Makna ... 30

3. Makna Kontekstual ... 38

BAB III. SEKILAS TENTANG PENULIS DAN PENERJEMAH KITAB AL-HIKAM A.Biografi Syeikh Ibn Atha‘illah al-Iskandari ... 40

B. Biografi Penerjemah ... 44

BAB IV. ANALISIS KETEPATAN MAKNA KONTEKSTUAL TERHADAP TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM Analisis Ketepatan Terjemahan terhadap Kitab Al-Hikam Dilihat Dari Pemadanan Makna Berkonteks ... 46

1. Teks 1 ... 46

2. Teks 2 ... 48

3. Teks 3 ... 49

4. Teks 4 ... 50

5. Teks 5 ... 51

6. Teks 6 ... 52

7. Teks 7 ... 53

8. Teks 8 ... 53

9. Teks 9 ... 55

10.Teks 10 ... 56

BAB V. PENUTUP A.Kesimpulan ... 59

B. Rekomendasi ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, ada dua istilah yang lazim digunakan dalam silabus perguruan tinggi Islam, seperti IAIN dan khususnya Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Tarjamah, yakni istilah Nadzariyah al-Tarjamah (NT) dan

Tatbiq al-Tarjamah (TT). Kedua istilah tersebut masing-masing secara kasar

dimaksudkan sebagai pengandaian dari ―Teori Terjemah‖ dan ―Praktek Menerjemah‖. Meski pemakaian suatu istilah bukanlah segala-galanya mengingat kekuatan suatu istilah sebenarnya terletak pada penjelasannya, namun tidak salah pula kita memberikan perhatian secukupnya perihal peristilahan tersebut. Ini khususnya pada istilah berbahasa Arab yang terjemahannya masih sering ―kurang tepat‖, untuk tidak dikatakan sebagai kesalahan — sementara pemakaiannya seperti sudah mentradisi, bahkan seolah-olah sudah menjadi semacam maxim atau

―kebenaran yang tak terbantahkan‖.1

Menerjemahkan (disiplin?) itu bukan ilmu murni dan bukan pula seni sejati. Terjemah adalah seni praktis. Dengan kata lain, terjemah adalah keterampilan berkesenian dengan bantuan ilmu-ilmu teoritis. Karena itu, kita sering kesulitan menyatakan hasil terjemahan ini bagus, yang itu sedang dan yang satu lagi buruk. Jadi menerjemahkan adalah menyalin ―kalam‖ (pesan yang terkandung dalam teks) dan atau menjelaskannya dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lain. Kalam di sini berarti ide, pesan atau informasi. Jadi, yang disalin itu

1

Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab


(16)

bukan huruf-huruf atau kata-kata yang terpotong dari konteksnya atau lingkungannya — siyaqnya. Ini semua mesti dilaksanakan dengan mencari padanan praktis yang terpelihara terus-menerus sesuai dengan lingkungan penerjemah. Dalam batasan seperti ini penerjemah tidak harus bahkan tidak boleh,

linear, glosing, setia atau harfiyah.2

Sebelum menyampaikan pesan, penerjemah terlebih dahulu harus mengkaji leksikon, gramatika dan konteks budaya teks sumber. Pesan ini kemudian direkonstruksi ke dalam bahasa target dengan memakai leksikon dan gramatika yang sesuai dengan konteks budaya bahasa target. Proses ini, menurut Nida (1975) menapaki tiga fase (1) telaah materi teks sumber melalui kajian linguistik, (2) pengalihan isi yang terkandung dalam teks sumber dan (3) rekonstruksi kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil yang sepadan dalam bahasa target.3

Upaya menghadirkan kesepadanan sesungguhnya merupakan inti sari dalam kegiatan penerjemahan. Kesepadanan ini idealnya mencerminkan tiga sisi kualitas terjemahan: keakuratan, kejelasan dan kewajaran. Akurat berarti terjemahan harus mengungkap amanat teks sumber secara utuh; jelas berarti mudah dipahami pembaca teks terjemahan; wajar berarti alamiah, sehingga sebuah terjemahan tak terasa sebagai terjemahan.4

2

Nur Mufid dan Kaserun AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemahkan Arab-Indonesia:

Cara Paling Tepat, Mudah dan Kreatif (Surabaya: Pustaka Progessif, 2007), h. 7.

3

M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 4.

4


(17)

Penerjemah harus menghadirkan terjemahan sebagai suatu bacaan yang enak dibaca dan gampang dipahami. Penerjemah harus bisa menangkap pemikiran penulis teks sumber seraya mengalihkannya ke dalam bahasa target dengan tingkat kesepadanan teks yang paling mendekati. Kesepadanan teks hadir manakala sebuah terjemahan dipandang sepadan dengan teks sumber.5

Terjemah pada dasarnya adalah pengalihan satuan semantik teks sumber yang dibangun oleh kosa kata-kosa kata. Jadi, kosa kata

(

تادرفم

) merupakan hal

yang penting dalam penerjemahan, bahkan teramat penting. Ia menjadi bahan dasar untuk membangun sebuah teks yang akan diterjemah dan teks hasil terjemah. Pada bagian ini, problem kosa kata yang dibahas hanya mencakup kosa kata teks sumber atau teks yang akan diterjemah. Seperti telah dikemukakan dibidang terdahulu, penerjemah harus mengalihkan pesan atau amanat, bukan mengalihbahasakan kata per kata.

Namun, pada praktiknya dalam pengalihan pesan itu, sering terjemahan suatu kata atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi, demikian pula ungkapan. Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga penerjemah dihadapkan pada ketidakmungkinan menerjemahkan suatu makna kata. Di sini diperlukan kebijakkan, kemampuan berbahasa Indonesia dan kemampuan bahasa target, keterampilan menemukan makna kata yang tepat serta kreativitas seorang penerjemah agar teks terjemahannya dapat diterima.

5

Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab


(18)

Penerjemahan itu terikat dengan makna. Makna di sini adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepatnya sebagai gejala-dalam-ujaran (Utterance-Internal-Phenomenon). Maka dari itu, ada prinsip umum dalam semantik yang menyatakan bahwa kalau bentuk berbeda maka makna pun berbeda, meskipun barangkali perbedaannya hanya sedikit.

Bila kita menemukan terjemahan yang menggunakan suatu bahasa yang makna katanya tidak kita pahami sama sekali, maka kita mendapat bahwa apa yang merangsang alat komunikasi kita itu merupakan arus pemahaman yang diselingi perhentian pemikiran untuk memahaminya.6

Dalam penelitian makna kata kita harus membedakan bermacam-macam segi arti. Untuk sampai kepada pembedaan itu, kita harus bertolak dari peletakan dasar-dasar pengertian tentang makna atau arti. Dalam hidup kita melihat berbagai macam kejadian yang berada di luar diri kita. Di antara bermacam-macam kejadian itu adalah memberi suatu lambang berupa bunyi ujaran terhadap lingkungan hidup ini, agar dapat dibawa dalam komunikasi.7

Makna kosakata yang dikuasai seseorang merupakan bagian utama memori semantis yang tersimpan dalam otak kita, yaitu relasi kata dengan konsep benda atau peristiwa yang dilambangkan dengan kata tersebut.8

Hubungan terjemahan bagi semantik dalam makna kata sangatlah erat dan penting sekali. Penerjemah perlu sadar pula akan sistem perlambangan dalam berkomunikasi di dunia ini. Suatu kata melambangkan gagasan dalam benak

6

Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia (Flores: Nusa Indah, 1984), h. 15.

7

Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia (Flores: Nusa Indah, 1984), h. 130.

8


(19)

orang apa yang digayuti oleh lambang maupun gagasan atau ide itu sendiri. Menghadapi kenyataan penerjemahan itu adalah model transformasional. Kalimat yang rumit dalam bahasa sumber dipecah-pecah menjadi kernel sentences dan menjadi kalimat-kalimat tunggal yang pendek.9

Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata baru itu menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Misalnya kata tahanan. Apa makna kata tahanan? Mungkin saja yang dimaksud dengan kata tahanan itu adalah ‗orang yang ditahan‘, tetapi bisa juga ‗hasil perbuatan

menahan‘, atau mungkin makna yang lain lagi. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi karena kata itu lepas dari konteks kalimatnya.10

Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang atau kegiatan tertentu. Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.

Makna kontekstual adalah makna yang sesuai konteksnya, makna yang sesuai dengan referennya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa

9

A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 28-27.

10


(20)

pun. Jadi, sebenarnya makna kontekstual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal dan makna denotatif.

Hubungan kontekstual adalah hubungan unit gramatikal dan leksikal dengan elemen-elemen yang berhubungan secara linguistik dalam situasi-situasi yang mana unit-unit tersebut dioperasikan dalam teks. Elemen-elemen situasional ini berhubungan secara kontekstual dengan unit gramatikal dan leksikal dalam kesepadanan. Perubahan elemen situasi dan unit-unit dalam teks akan mengakibatkan perubahan makna.11

Adapun menurut kontekstualisme psikologis, konteks-konteks tertentu melahirkan keterkaitan antara fitur-fitur dari suatu konsep dan konsep-konsep lain dalam suatu kategori. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa untuk memahami struktur konseptual diperlukan pemahaman lebih dari sekedar konsep semata. Diperlukan pengetahuan lain untuk memahami relasi antarkonsep dan bagaimana konsep-konsep tersebut tertata sedemikian rupa. Dalam hal ini, sebagai fitur tidak cukup merepresentasikan suatu konsep secara utuh. Fitur hanya digunakan sebagai titik tolak untuk memahami suatu konsep dengan pengetahuan kita secara lebih mendalam.

Jadi, ketika kita mulai menikmati sebuah terjemahan yang ―gurih‖ untuk

dibaca, tanpa kita sadari, kita sudah terbawa oleh terjemahan sebagai bacaan yang baik. Mengapa bisa? Kita adalah pembaca, apabila selama kita membaca terjemahan, kita tidak mampu menciptakan rasa dan gairah yang ada dalam

terjemahan itu, mungkin kita bisa dikategorikan pembaca yang ―aneh‖.

11


(21)

Terjemahan tidak sekedar isi, bukan pula rangkaian kata biasa yang bisa membuat kita terbawa oleh terjemahan tersebut. Akan tetapi, begitulah sebuah terjemahan yang hadir dihadapan kita bisa membagi kesan hingga ke dasar hati yang paling dalam. Sebagai pembaca, mungkin pula emoh mengkritisi bagian terjemahan yang mengganggu, tetapi ketika kita merasakan ada yang ―nggak

nyambung‖ dari awal hingga akhir atau ditengah-tengah ada yang membuat dahi

kita berkerut-kerut. Jika hal itu terjadi, sudah saatnya kita berinisiatif membuat terjemahan itu menjadi nikmat dan memikat.

Mengacu pada penjelasan di atas, bahwa kitab al-Hikam yang kaya dengan pemahaman tasawuf dalam kehidupan dan penulis ingin sedikit mengupas terjemahan terutama terhadap penelitian ilmu makna mengacu pada teori kontekstual, maka penulis tergerak hatinya untuk menganalisa buku terjemahan

al-Hikam karya Syeikh Ibn Atha‘illah al-Iskandari dengan memberikan judul

yang sesuai dengan hati penulis yaitu “KETEPATAN TERJEMAHAN KITAB AL-HIKAM”(Analisis Makna Kontekstual)

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Setelah memaparkan latar belakang masalah, maka peneliti merasa perlu untuk memberikan pembatasan dan perumusan masalah agar skripsi ini tidak terlampau jauh dari pembahasan, yaitu pemahaman dalam ketepatan terjemahan kitab al-Hikam penerbit Turos Pustaka analisis makna kontekstual karya Ibn

Atha‘illah al-Iskandari. Hal ini juga disesuaikan dengan keterbatasan dan kemampuan penulis.


(22)

Sedangkan perumusannya dinyatakan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut:

1. Apakah terjemahan makna kata dalam kitab al-Hikam dari halaman 1-12 sesuai dengan konteks?

2. Bagaimana cara memilih makna kata yang tepat dalam menerjemahkan kitab

al-Hikam dari halaman 1-12?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui terjemahan makna kata dalam kitab al-Hikam dari halaman 1-12 yang sesuai dengan konteks.

2. Untuk mengetahui cara memilih makna kata yang tepat dalam menerjemahkan buku terjemahan al-Hikam dari halaman 1-12.

D.Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian yang mengambil studi kasus pemilihan makna kata yang tepat dalam estetika menerjemahkan, analisis makna kontekstual sudah ada yang membahas yaitu skripsi Sa‘adah dengan judul Analisis Semantik Kontekstual atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Fitnah, Hikmah dan

Amanah) Dalam “al-Qur‟an dan Maknanya” Karya M. Quraish Shihab. Jadi peneliti terinspirasi ingin mencoba meneliti pemahaman dalam ketepatan terjemahan analisis makna kontekstual, tetapi konsepnya yang sedikit berbeda. Yang bertujuan untuk mengembangkan lagi pemahaman peneliti dan pembaca terhadap dunia pemilihan makna kata dari segi teori kontekstual yang sangat teliti.


(23)

Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan teori-teori, sumber-sumber dan lembaran-lembaran yang tersedia di perpustakaan adab, perpustakaan utama dan perpustakaan pribadi dari berbagai buku tentang linguistik, bahasa Indonesia, bahasa Arab, semantik, prinsip-prinsip terjemahan, ilmu Tasawuf dan buku-buku yang berhubungan dengan pemahaman ilmu makna kontekstual.

E.Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian ini, menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamatiyang tidak menggunakan angka.12 Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang mengungkapkan masalah dengan cara dan keadaan yang sebagaimana adanya. Deskriptif adalah sifat data penelitian kualitatif. Wujud datanya berupa deskripsi objek penelitian.13 Data yang dihasilkan dari buku terjemahan kitab al-Hikam.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah kitab syirah al-hikam karya Ibnu Atha‘illah al-Iskandari dan buku terjemahan The Book of Wisdom al-Hikam

karya Ibn Atha‘illah al-Iskandari dari penerbit Turos Pustaka tahun terbit 2013 yang peneliti ambil sampelnya dari halaman 1 hingga 12. Buku terjemahan

al-Hikam memang sudah banyak beredar dan sangat banyak minat pembacanya,

peneliti tertarik untuk membahas penelitian dengan kitab ini karena peneliti ingin mengetahui bagaimana cara penerjemahnya dalam menerjemahkan buku

12

Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 30.

13


(24)

ini sebab menerjemahkan bukan hanya memindahkan kata tapi juga harus bisa mempertahankan apa maksud dari bahasa sumber hingga sampailah maknanya ke dalam bahasa sasaran tanpa mengurangi amanat dari sang penulisnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data, merupakan cara-cara teknis yang dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data-data penelitiannya. Beberapa tahapan yang harus ditempuh peneliti adalah:

a. Menghimpun buku-buku terjemahan hingga akhirnya peneliti menemukan buku terjemahan al-Hikam.

b. Membaca buku terjemahan al-Hikam untuk mengetahui terjemahan apa saja yang akan peneliti analisis sesuai dengan makna kontekstual.

c. Mengelompokkan teks terjemahan berdasarkan sistematika penelitian yang berhubungan dengan ketepatan terjemahan dari segi makna kontekstual terhadap kitab al-Hikam.

d. Menganalisis teks terjemahan al-Hikam sesuai dengan ketepatan makna kontekstual.

Penulisan skripsi ini, peneliti melakukan kajian pustaka guna melengkapi data-data yang berhubungan dengan kepenulisan berdasarkan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.


(25)

4. Teknik Analisis Data

Teknis analisis data merupakan cara-cara teknis yang dilakukan oleh peneliti, untuk menganalisis dan mengembangkan data-data yang telah terkumpul, seperti beberapa tahapan yang telah peneliti lakukan, yaitu:

a. Peneliti mulai membuka kamus untuk membandingkan hasil terjemahan penerjemah buku al-Hikam agar dapat mengembangkan analisa yang peneliti lakukan.

b. Mengemukakan kata-kata yang peneliti pilih untuk dianalisa dengan apa adanya, sesuai dengan sumber yang peneliti peroleh.

c. Peneliti menjelaskan secara terperinci dengan mengeksplorasi ketepatan memilih makna kontekstual.

d. Peneliti menggunakan konsep teori dari Rochaya Machali padanan makna berkonteks yaitu penempatan suatu informasi dalam konteks agar maknanya jelas bagi penerima informasi..

e. Menguraikan penjelasan seadanya sesuai dengan memilih ketepatan terjemahan dari buku al-Hikam.

F. Sistematika Penulisan

Bab I adalah pendahuluan, bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II berisikan gambaran umum kerangka teori yang terdiri dari sub-bag, yaitu pengertian dari penerjemahan dalam ilmu bahasa, pemikiran tentang penerjemahan berdasarkan proses menjalankan pemahaman, penimbangan,


(26)

penghayatan, ketepatan dan penggunaan rasa pesona pemilihan makna kata sesuai konteks. Tingkatan estetika menerjemahkan yang mencakup pengertian seni terjemahan, unsur-unsur semantik yang menjelaskan pemilihan makna kata yang tepat sesuai konteks. Pengertian ilmu makna dan fungsi-fungsi terhadap karya terjemahan untuk pemahaman pembaca dalam menerjemahkan suatu karya.

Bab III adalah tentang Biografi, karya, sejarah penulis Kitab al-Hikam yaitu Syeikh Ibn Athaꞌillah al-Iskandari dan penerjemah.

Bab IV terdiri dari Analisis Ketepatan Terjemahan Kitab al-Hikam Makna Kontekstual karya Syeikh Ibn Athaꞌillah al-Iskandari.


(27)

BAB II

KERANGKA TEORI

A.Gambaran Tentang Penerjemahan 1. Penerjemahan

Banyak sekali definisi tentang terjemah yang dikemukakan oleh para ahli. Apapun definisi yang digunakan, sebaiknya dipertimbangkan prinsip

akomodatif-operasional. Akomodatif dalam arti, mempertimbangkan

definisi-definisi tentang terjemah yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai sikap apresiatif (ta‘zim, menghargai) terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh pengkaji-pengkaji sebelumnya. Sedangkan prinsip operasional memiliki maksud, bahwa definisi yang digunakan sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil sebelumnya harus tetap berpijak pada pertimbangan: apakah definisi tersebut dapat dioperasionalkan pada tahap yang lebih praktis atau tidak.14

Jadi terjemah adalah usaha memindahkan pesan dari teks bahasa sumber (teks sumber) dengan padanan ke dalam bahasa lain (bahasa sasaran). Definisi sederhana tersebut memuat unsur-unsur utama dalam penerjemahan yaitu:15

a.

Bahasa Sumber

(

اهنع ةمجرتملا ةغللا

)

atau

(

لصأا ةغل

)

Dalam konteks pembicaraan ini, bahasa sumber menunjuk kepada bahasa Arab yang memiliki ragam fusha, bukan ragam dialek tertentu (lahjah).

14

Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab

(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 9.

15

Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab


(28)

b.

Bahasa Sasaran

(

اهيلا ةمجرتملا ةغللا

)

atau

(

لقنلا ةغل

)

Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan bahasa sasaran atau teks sasaran adalah bahasa Indonesia. Ada aspek yang menarik dari bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran penerjemahan teks Arab. Bahasa Indonesia adalah salah satu tabi‘ yang menyerap banyak sekali kosa kata dan peristilahan bahasa Arab.

c. Pesan

(

ةركف

)

Terjemah diartikan sebagai ‗pengalihan teks sumber ke dalam teks sasaran secara bebas‘. Kata ‗bebas‘ dalam pengertian tersebut menyiratkan bahwa

yang ditransfer adalah pesannya saja. Penerjemah, bisa membuat ‗semena

-mena‘, dengan mengabaikan aspek-aspek lain di luar pesan, seperti aspek padanan morfologis, sintaksis ataupun yang lain. Kebebasan yang diandaikan dari definisi terjemah tersebut adalah, bahwa penerjemah

memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam mengekspresikan ‗pesan teks‘

tanpa menghiraukan padanan-padanan linguistik, struktur, pengungkapan secara denotatif-konotatif atau hal-hal lain di luar teks.

Meskipun menerjemahkan adalah pekerjaan yang melibatkan sekumpulan teori atau ilmu, tetapi kemampuan menerjemahkan dengan baik adalah seni. Menerjemahkan, dengan demikian adalah keterampilan yang melibatkan lebih banyak seni (bakat) daripada upaya dan teori.

Namun, kita tidak dibenarkan menafikan upaya, latihan dan teori-teori tentang menerjemahkan. Sebab betapapun kuat dan baiknya bakat dan rasa


(29)

bahasa seseorang, jika tidak dibarengi dengan latihan, praktik yang terus menerus berkelanjutan dan teori, maka sulit kita bayangkan dia akan menjadi penerjemah yang baik.

2. Peranan Makna Dalam Penerjemahan

Apabila kita membicarakan konsep dasar mengenai bahasa yang akan dikaitkan dengan penerjemahan, tidak boleh tidak kita harus membicarakan tentang makna. Hal ini penting karena pendekatan yang kita gunakan adalah bahwa setiap teks merupakan tindak komunikasi, bukan teks yang lahir dalam ruang kosong (tanpa tujuan dan maksud apa pun). Sebagai tindak komunikasi, produsen teks (lisan maupun tertulis) tentunya ingin agar maksudnya dipahami oleh pembaca. Maksud tersebut dikemas dalam makna, sedangkan bentuknya dapat berubah-ubah bergantung kepada tujuan (untuk apa—misalnya untuk memaparkan, menceritakan dan mengimbau), pembaca (misal usianya, kelompok ilmuan dan kalangan umum).16 Oleh karena itu, banyak sekali para ahli yang sudah membicarakan makna secara panjang lebar.

Beberapa teori yang disodorkan pakar linguistik berkaitan dengan penanganan masalah makna kata, seperti:17

a. Teori Referen, yang diusung oleh Russell. Teori ini menyebutkan bahwa sebuah kata memiliki makna lantaran rujukan pada objek atau keadaan yang digambarkan oleh kata tersebut.

16

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Bandung: Penerbit Kaifa, 2009), h. 46.

17

M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 95-97.


(30)

b. Teori Ideasional, yang dikemukakan oleh John Locke. Teori ini menjelaskan bahwa sebuah kata sesungguhnya tidak merefer pada objek tertentu, tetapi pada ide atau konsep tentang objek tersebut.

c. Teori Fitur, yang menyatakan bahwa konsep terwujud dari sejumlah unit yang kecil. Unit-unit yang kecil kemudian dinamakan fitur (ciri).

d. Teori berdasarkan pengetahuan, yang diusung Reeves ini mendasari gagasannya pada esensialisme psikologis dan kontekstualisme psikologis. Menurut esensialisme psikologis, pada umumnya manusia memiliki pengetahuan ihwal adanya esensi dari suatu objek. Adapun kontekstualisme psikologis, konteks-konteks tertentu melahirkan keterkaitan anatar fitur-fitur dari suatu konsep dan konsep-konsep lain dalam suatu kategori.

Hasan menegaskan bahwa tujuan pembaca ialah memahami makna. Ujaran atau tulisan merupakan sarana untuk meraih tujuan itu. Untuk menjawab kesulitan yang muncul tentang makna, perlu melakukan analisis struktur, analisis leksikal dan analisis kontekstual.18

Analisis struktur berkaitan dengan penelaahan dua hal pokok: analisis morfologis dan analisis sintaksis. Selanjutnya analisis leksikal yang memiliki banyak kemungkinan, tetapi makna yang dikehendaki oleh konteks kalimat hanya satu. Untuk memperoleh makna yang dikehendaki, pembaca perlu menelaah isyarat-isyarat linguistik. Di samping itu, perlu menelaah isyarat kontekstual.

18


(31)

Pembaca atau penyimak perlu memperhatikan status individu dalam masyarakat, peran individu dalam melakukan tindak tutur dan tujuan dari tindakannya itu.

3. Masalah Padanan

Masalah padanan merupakan bagian inti dari teori penerjemahan menurut Barnstone. Sedangkan praktek menerjemahkan sebagai realisasi dari proses penerjemahan yang selalu melibatkan pencarian padanan. Pencarian padanan itu sendiri akan menggiring penerjemah ke konsep keterjemahan dan ketakterjemahan 19 Konsep keterjemahan pada umumnya tidak begitu menimbulkan permasalah bagi penerjemah asalkan dia mempunyai pengetahuan yang baik tentang unsur-unsur yang membentuk teks bahasa sumber dan bahasa sasaran yang ada kaitannya dengan sosio-budaya kedua bahasa itu.

Sebaliknya, konsep ketakterjemahan secara otomatis akan menimbulkan keadaan yang dilematis bagi penerjemah. Mereka dituntut mencari padanan yang tidak mungkin dia temukan dalam bahasa sasara.

Dalam tulisannya, Keenan mengajukan sebuah hipotesa terjemahan tepat. Hipotesa tersebut berbunyi: sesuatu yang dapat diungkapkan dalam

suatu bahasa dapat diterjemahkan secara tepat ke dalam bahasa lain.20

Kebenaran hipotesa ini sulit untuk dibuktikan. Baik ditinjau dari segi bentuk, makna maupun fungsinya. Padanan yang sempurna itu tidak ada sebagai akibat

19

Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003), h. 93.

20

Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


(32)

dari berbedanya struktur nahasa sumber dan bahasa sasaran dan demikian pula dengan sosio-budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa itu.

Popovic membedakan empat tipe padanan, yaitu padanan linguistik, padanan paradigmatik, padanan stilistik dan padanan tekstual (sintagmatik). Sedangkan Eugene Nida membedakan dua tipe padanan yaitu padanan formal dan padanan dinamik. Padanan formal mengacu pada teks bahasa sumber baik dalam bentuk dan isi. Bentuk mengacu pada aspek linguistik teks dan isi mengacu pada makna, sedangkan padanan dinamis bertujuan untuk memperoleh tingkat kewajaran dalam pengungkapan pesan dan mencoba memperhatikan perilaku dan budaya pembaca teks sasaran agar mereka dapat memahami teks yang diterjemahkan.21 Lain lagi dengan Baker, membedakana lima tipe padanan, seperti:22

a. Padanan Pada Tataran Kata

Pertama-tama kita akan tertuju pada kata. Karena kata adalah sebagai unit terkecil bahasa yang mempunyai makna, yang menjadi titik awal kajian dalam rangka memahami keseluruhan makna suatu teks bahasa sumber. Kedua kita melihat unsur-unsur makna dalam kata dan untuk mengkajinya secara lebih efektif pada linguis menyodorkan istilah morfem. Morfem hanya mempunyai satu unsur makna sedangkan kata bisa mempunyai lebih dari satu unsur makna. Dalam konteks penerjemahan, analisis terhadap kata baik pada struktur permukaan dengan menerapkan analisis struktural atau analisis morfemis maupun pada struktur batin dengan menerapkan analisis

21

Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 87.

22


(33)

komponen makna akan menuntun penerjemah dalam menentukan padanan yang paling sesuai dari beberapa alternatif yang tersedia. Analisis ini juga akan mengukuhkan keberadaan konsep pergeseran tataran dimana, misalnya, suatu konsep yang diungkapkan dengan satu kata dalam bahasa sumber diungkapkan dengan beberapa kata dalam bahasa sasaran dan demikian pula sebaliknya.

Meskipun konsep-konsep keterjemahan, penambahan dan penghilang informasi dan pergeseran tataran menjadi sangat penting dalam memecahkan berbagai kesulitan dalam proses pencarian padanan dalam kasus tertentu ketiga konsep itu tidak bisa diterapkan. Dengan kata lain, dalam melakukan tugasnya penerjemah kadang kala dihadapkan pada masalah ketaksepadanan. Baker membagi ketaksepadanan pada tataran kata menjadi 10 jenis, yaitu:

1. Konsep khusus budaya

2. Konsep bahasa sumber tidak tersedia dalam bahasa sasaran 3. Konsep bahasa sumber secara semantik sangat kompleks 4. Perbedaan persepsi terhadap suatu konsep

5. Bahasa sasaran tidak mempunyai unsur atasan (superordinat)

6. Bahasa sasaran tidak mempunyai unsur bawahan atau kata khusus (hiponim)

7. Perbedaan dalam perspektif interpersonal dan fisik 8. Perbedaan dalam hal makna ekspresif

9. Perbedaan bentuk kata


(34)

b. Padanan Di Atas Tataran Kata

Dalam setiap bahasa, ada kecenderungan bagi suatu kata untuk bersanding atau berkolokasi dengan kata lain dan gabungan kata itu selanjutnya menghasilkan suatu frasa. Proses kolokasi memungkinkan kita untuk membentuk dua macam frasa, yaitu frasa endosentris dan frasa eksosentris. Frasa endosentris adalah frasa yang mempunyai unsur inti dan unsur penjelas, sedangkan frasa eksosentris menunjuk pada frasa yang tidak mempunyai unsur inti dan unsur penjelas.

c. Padanan Gramatikal

Padanan gramatikal mirip dengan padanan linguistik (sintagmatik) karena kedua jenis padanan ini memusatkan perhatiannya pada kesamaan konsep antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam hal jumlah, gender, pesona, kala dan aspek. Pembahasan tentang padanan gramatikal selalu dikaitkan dengan tatabahasa yang dibagi ke dalam dua dimensi utama, yaitu morfologi dan sintaksis.

d. Padanan Tekstual e. Padanan Pragmatik

Maka mencari padanan yang paling tepat dalam terjemahan wajib mengetahui kata, frasa dan kalimat yang semuanya harus berbentuk, mempunyai potensi untuk mengandung beberapa makna, tergantung lingkungan atau konteksnya sehingga teks sasaran teks sasaran benar-benar


(35)

mengungkapkan kembali seluruh makna yang terdapat dalam teks sumber di dalam teks sasaran.23

4. Problematika Makna Dalam Penerjemahan

Masalah makna merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penerjemahan. Jika kita berbicara tentang penerjemahan, kita juga harus berbicara tentang makna. Alasannya adalah karena tujuan penerjemahan erat kaitannya dengan masalah pengalihan makna yang terkandung dalam bahasa ke dalam bahasa yang lain. Makna suatu kata tidak hanya dipengaruhi oleh posisinya dalam kalimat tetapi juga oleh bidang ilmu yang menggunakan kata itu. Tidak jarang pula makna suatu kata sangat ditentukan oleh situasi pemakaiannya dan budaya penutur suatu bahasa.

Dalam praktek menerjemahkan yang sesungguhnya, perhatian seorang penerjemah terfokus tidak hanya pada pengalihan makna suatu kata. Perhatiannya meluas ke masalah pengalihan pesan atau amanat. Seperti uraian berikut:24

a. Makna Leksikal

Makna leksikal ini dapat disebut makna yang terdapat dalam kamus mengingat yang ada dalam kamus yang lepas dari penggunaannya atau konteksnya.

23

Maurits D.S Simatupang, Pengantar Teori Terjemahan (Jakarta: Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), h. 44.

24

Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


(36)

b. Makna Gramatikal

Makna gramatikal ialah hubungan anatara unsur-unsur bahasa dalam satuan yang lebih besar, misalnya hubungan suatu kata dengan kata yang lain dalam frasa atau klausa.

c. Makna Kontekstual atau Situasional

Makna kontekstual atau situsional adalah hubungan antara ujaran dan situasi dimana ujaran itu dipakai. Dengan kata lain makna yang dikaitkan dengan situasi penggunaan bahasa.

d. Makna Tekstual

Makna tekstual berkaitan dengan isi suatu teks atau wacana. Perbedaan jenis teks dapat pula menimbulkan makna suatu kata menjadi berbeda.

e. Makna Sosio-Kultural

Makna suatu kata yang erat kaitannya dengan sosio-budaya pemakai bahasa disebut makna sosio-kultural.

B.Representasi Makna Kata

Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa yang mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna.

Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan pancaindera,

yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi.25

25


(37)

Kembali kepada unit yang paling kecil dalam bahasa yang mengandung konsep atau gagasan tertentu (yaitu kata), maka makna kata dapat dibatasi sebagai

hubungan antara bentuk dengan hal atau barang bawah ini:

Referensi

Rumah---Gambaran

(sebagai simbol) (referen; pengalaman non-linguistik)

Bahwa makna adalah pertalian antara bentuk dan referen.26 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang mengetahui sebuah referen (barangnya) tetapi tidak tahu bagaimana mengacunya, ia tidak tahu katanya. Tetapi kebalikannya juga benar, kalau ia mengetahui maknanya juga, yaitu tidak mengetahui hubungan antara bentuk dan referennya. Mengetahui sebuah kata haruslah mengetahui kedua aspeknya: bentuk (kata) dan referennya.

Selama ini perhatian utama dalam pembicaraan tentang makna diletakkan pada kata sebagai satuan linguistik yang bermakna. Akan tetapi, kita pun tahu makna kata itu baru tampil dalam kalimat sesuai dengan konteks pemakaiannya.

Jika dalam analisis komponen fonem kita dapat mencirikan unsur pemproduksiannya, maka dalam analisis komponen makna kata kita pun ingin

26

Menurut Odgen dan Ricard dalam the meaning of meaning, simbol adalah unsur linguistik (kata atau kalimat), referen adalah objek (dalam dunia pengalaman), sedangkan referensi

atau pikiran adalah konsep. Menurut teori itu tidak ada hubungan langsung antara simbol dan referen, hubungannya harus melalui konsep.


(38)

menemukan kandungan makna kata atau kompisisi makna kata. Prosedur menemukan komposisi makna kata disebut pula dekomposisi kata. Untuk menemukan komposisi unsur-unsur kandungan makna kata, kita perlu mengikuti prosedur sebagai berikut:27

1. Pilihlah seperangkat kata secara intuitif kita perkirakan berhubungan. 2. Temukanlah analogi-analogi di antara kata-kata yang seperangkat itu.

3. Cirikanlah komponen semantik atau komposisi semantik atas dasar analogi-analogi tadi.

Sebagai contoh biasanya dipilih perangkat kata yang menunjukkan atau berhubungan dengan nasabah dan keluarga. Misalnya:

Pria Wanita Putra Putri

+Jantan +Jantan +Jantan -Jantan +Dewasa +Dewasa -Dewasa -Dewasa

Dekomposisi semantik kata itu dapat dilanjutkan sampai dengan penemuan komponen makna yang terkecil yang membedakan dua kata atau lebih. Analisis komponen makna kata dapat membawa beberapa manfaat untuk analisis semantik, baik semantik kalimat maupun semantik ujaran. Seperti uraian manfaat berikut:28

1. Analisis komponen semanti makna kata dapat memberi jawab mengapa beberapa kalimat benar, mengapa kalimat lain tidak benar dan mengapa beberapa kalimat anomali. Karena komponen-komponen makna kata dalam kalimat itu bercocokan, bertentangan dan tidak berhubungan.

27


(39)

2. Dengan analisis komponen atau komposisi makna kata, kita meramal hubungan antara makna. Hubungan antara makna dibedakan secara umum atas lima tipe, yakni kesinoniman, keantoniman (kontradiktoris dan kontrer), keterbalikan dan kehiponiman. Kita katakan dua kata mempunyai kesinoniman jika dua kata itu memiliki komponen atau komposisi senatik yang identik. Kita katakan dua kata berantonim jika dua kata memiliki satu pertentangan dalam komposisi komponen semantiknya yang bersifat mutlak. Keantoniman dibagi menjadi dua tipe, yakni kontrdiksi dan kontrer. Kita katakan dua kata berantonim keterbalikan jika perbedaan antara dua kata itu hanya terdapat pada satu komposisi dan komposisi itu hanya merupakan alih dalam argumen. Kita katakan dua kata berhubungan secara hiponimis jika dua kata mempunyai semua komposisi semantik yang sama dan kata yang kedua memiliki satu komponen ekstra atau tambahan.

3. Pakar semantik telah mendesaign satu sistem logika yang memungkinkan komponen semantik dipakai sebagai alat uji bahwa kalimat-kalimat bersifat analitik, bersifat kontradiksi in terminis dan bersifat anomali.

C.Wawasan Makna 1. Makna (ma‟na)

Kita katakan bahwa semantik adalah ilmu tentang makna. Akan tetapi

kita belum memberikan arti makna dan belum menyepakati ―apa itu makna‖ dalam teori semantik. Inilah ciri khas bahasa yang dapat berbicara tentang dan digunakan untuk dirinya sendiri. Jadi, bahasa dapat dipakai untuk berbicara tentang bahasa atau dirinya sendiri tentang semua hal di luar bahasa itu.


(40)

Dalam bahasa Indonesia kita mengenal pula kata arti dan erti di samping kata makna. Dalam studi semantik dan linguistik Indonesia pilihan istilah jatuh pada kata makna dan bukan pada kata arti dan erti.29

Secara umum pemakai bahasa Indonesia lebih sering menggunakan kata arti dari pada kata erti dan makna. Misalnya, penutur bahasa Indonesia berkalimat:

a. Apa artikata ―canggih‖?

b. Saya belum menangkap arti kedipan mata ibu tadi.

c. Itu berarti Anda harus datang pada hari pernikahannya.

d. Usahanya belum berarti apa-apa di masa sekarang ini.

Kata erti hanya diderivasikan dalam bentuk ―mengerti‖ dan

―pengertian‖. Kata arti dalam kalimat (a), (b) dan (c) masih dapat distribusi dengan kata makna. Sedangkan bentuk ―berarti‖ dalam kalimat (d) tidak dapat

digantikan oleh bentuk ―bermakna‖.

Pada penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia pun lebih memilih kata makna daripada kata arti. Perhatikan uraian tentang makna dua kata tersebut dalam KBBI. Penulis petik pula dua entri tersebut beserta maknanya dari KBBI edisi keempat halaman 87 untuk entri arti dan halaman 864 untuk entri makna.

ar.ti n 1 maksud yg terkandung (dl perkataan, kalimat); makna: apa – isyarat itu?; 2 guna ; faedah: apa—nya bagi kamu menyakiti binatang itu;

meng.ar.ti.kan v 1 memberi arti; menafsirkan: mereka ~ isyarat itu sbg tanda menyerah; 2 menerangkan maksud sesuatu: ia~ ―reformasi‖ sbg

perubahan radikal;

peng.ar.ti.an n proses, cara, perbuatan memberi arti; ar.ti.ann arti; tafsiran; pengertian;

ber.ar.ti v1 mengandung maksud: jika Ibu marah, itu tidak ~ beliau benci kepadamu; 2 berfaedah; berguna: mungkin pertolongan saya ini


(41)

tak ~ bagi penderitaanmu yg begitu besar; 3 sama artinya dgn; sama halnya dgn: mengambil milik orang tanpa permisi ~ pencuri;

ke.ber.ar.ti.ann perihal mempunyai arti: tujuan hidupnya sbg seniman bukanlah harta, melainkan untuk meningkatkan ~ bagi dirinya dan bagi masyarakat;

se.ar.tin sama artinya: carilah kata-kata yg ~

mak.na n arti: ia memperhatikan – setiap kata yg terdapat dl tulisan kuno itu; 2 maksud pembicara atau penulis; pengertian yg diberikan kpd suatu bentuk kebahasaan; -- afektif Ling makna emotif; -- denotasi Ling

makna kata atau kelompok kata yg didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, spt orang, benda, tempat, sifat, proses, kegiatan; -- denotatif Ling makna yg bersifat denotasi; -- ekstensiLing makna yg mencakupi semua objek yg dapat dirujuk dgn kata itu; -- emotifLing makna kata atau frasa yg ditautkan dgn perasaan (ditentukan oleh perasaan); -- gramatikal Ling makna yg didasarkan atas hubungan antara unsur-unsur bahasa dl satuan yg lebih besar, msl hubungan antara kata dan kata lain dl frasa atau klausa; -- intensiLing

makna yg mencakupi semua ciri yg diperlukan untuk keterterapan suatu kata (istilah); -- khususLing makna kata atau istilah yg pemakaiannya terbatas pd bidang tertentu; -- kiasan Ling makna kata atau kelompok kata yg bukan mengacu ke makna yg sebenarnya, melainkan mengiaskan sesuatu, msl mahkota wanita berarti ‗rambut wanita‘; --kognitif Ling aspek-aspek makna satuan bahasa yg berhubungan dgn ciri-ciri dl alam luar bahasa atau penalaran; -- konotasi Ling makna (nilai rasa) yg tibul krn adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman pribadi; -- konotatif Ling makna yg bersifat konotasi; -- kontekstualLing makna yg didasarkan atas hubungan antara ujaran dan situasi pemakaian ujaran itu; -- leksikalLing makna unsur bahasa sbg lambang benda, peristiwa, dsb; -- lokusi Ling makna yg dimaksudkan penutur dl perbuatan berbahasa; -- luasLing makna ujaran yg lebih luas daripada pusatnya, msl sekolah dl kalimat ia bersekolah lagi di Seskoal (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut) yg lebih luas daripada

makna ‗gedung tempat belajar‘; -- pusatLing makna kata yg umumnya

dapat dimengerti walaupun kata itu diberikan tanpa konteks; --

referensialLing makna unsur bahasa yg sangat dekat hubungannya dgn dunia di luar bahasa (objek atau gagasan), dan dapat dijelaskan oleh analisis komponen; makna denotasi; -- sempit Ling makna ujaran yg lebih sempit daripada makna pusatnya; -- suratanLing makna denotasi; -- takberciriLing makna pusat; -- tautanLing konotasi; -- umumLing

kata atau istilah yg pemakaiannya menjadi unsur bahasa umum;

me.mak.na.i v memberi makna: mereka gagal ~ rumusan sosial di wilayah itu;

me.mak.na.kan vmenerangkan arti (maksud) suatu kata dsb;

ber.mak.na v berarti; mempunyai (mengandung) arti penting (dalam):

kalimat itu ~ rangkap;

~ berbilang mempunyai (mengandung) beberapa arti;

mem.ber.mak.na.kan v menjadi bermakna: terampilnya siswa berbahasa Indonesia berarti keberhasilan dl ~ pengajaran bahasa Indonesia

mak.na.wi a 1 mengenai makna; berkenaan dgn makna; menurut artinya; 2 asasi; penting


(42)

The ideational theory af meaning disebutkan teori terdahulu ihwal makna semula dikembangkan oleh John Locke. Berikut adalah beberapa konsep dasar dari teori ini:30

a. Makna itu ditempelkan saja kepada kata (terpisah dari kata). Makna datang dari tempat lain yaitu dari minda (mind) dalam bentuk ide atau gagasan. b. Yang mendasari teori the ideational of meaning adalah asumsi bahwa

bahasa adalah instrumen untuk melaporkan pikiran yang terdiri atas antrian gagasan yang disadari. Gagasan ini bersifat personal, maka diperlukan sistem bunyi yang membangun pemahaman intersubjektivitas.

c. Bahasa yang bersifat personal itu memiliki makna setelah dihubungkan dengan sensasi personal, maka dari itu disebut private language. Jadi, makna bahasa menjadi sangat pribadi sehingga tidak dapat diajarkan pada orang lain.

Sampai akhir abad 19 teori yang berkembang adalah teori yang disebut primitive reference, mengikuti pemikiran Russell bahwa kata bermakna karena rujukannya kepada objek atau keadaan yang digambarkan oleh kata itu. Berikut adalah perbincangan teori itu:31

a. Kata-kata memiliki makna karena mereka sebagai simbol bagi sesuatu di luar dirinya. Makna adalah objek dari simbolisasi itu, kata-kata adalah sebuah label yang dihinggapi sesuatu dan sesuatu adalah makna dari kata itu.

30

A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2008), h. 60-61.

31


(43)

b. Nama-nama dan deskripsinya akan berwujud objek, sementara itu verba, adjektiva, adverbia dan preposisi menunjukkan sifat-sifat (properties) dari dan hubungan-hubungan antara objek itu.

c. Sebuah nama (kata, tanda, kombinasi tanda dan ekspresi) menyatakan sense tersendiri dan merujuk pada rujukannya (referent). Sense atau makna sebuah kalimat adalah pikiran yang diungkapkan kalimat. Reference dari sebuah kalimat adalah nilai kebenaran dari kalimat dan tergantung pada reference dari bagian-bagian kalimat.

Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Makna mempunyai tiga tingkat keberadaannya, yakni: 32

a. Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. b. Makna menjadi isi dari suatu kebahasaan.

c. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.

Pada tingkat pertama dan kedua dilihat dari segi hubungannya dengan penutur, sedangkan pada tingkat ketiga makna lebih ditekankan pada makna dalam komunikasi. Memperlajari makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa saling mengerti. Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, pemakai bahasa dituntut untuk menaati kaidah gramatikal atau tunduk kepada kaidah pilihan kata menurut sistem leksikal yang berlaku di dalam sautu bahasa.

32

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT


(44)

Makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatikal dan leksikal saja, tetapi berjantung kepada kaidah wacana. Makna sebuah kalimat yang baik pilihan kata (diksi) dan susunan gramatikalnya, sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya dengan kalimat lain dalam sebuah wacana.

Filosofi dan linguis mencoba menjelaskan tiga hal yang berhubungan dengan makna, seperti:33

a. Makna kata secara alamiah (inheren < inherent – bahasa inggris).

b. Mendeskripsikan makna kalimat secara alamiah (termasuk makna kategorial).

c. Menjelaskan proses komunikasi.

Sesungguhnya persoalan makna memang sangat sulit dan ruwet karena, walaupun makna ini adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitan dan keterikatannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat.34

2. Relasi Makna (al-„al t al-dil liyyah)

Hubungan atau relasi makna (Cruse) adalah hubungan yang tidak kontroversi atau tidak berlawanan, tetapi mengacu pada hubungan apa yang akan terjadi antara unit-unit mereka. 35 Dengan kata lain relasi makna merupakan satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu

33

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT

Refika Aditama, 2009), h. 9.

34

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2009), h. 27.

35


(45)

Paradigma-Sintagmatig-dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga kelebihan makna.36 Relasi ini merupakan akibat dari kandungan komponen makna yang kompleks dalam berbagai bentuk.37 Berikut ini akan dibicarakan masalah relasi makna satu per satu, yakni:

a. Sinonim (al-tar duf)

Secara semantik Verhaar mendefinisikan sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.38 Umpamanya kata pandai dan cerdas adalah dua kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua kata yang bersinonim bersifat dua arah. Cruse membagi sinonim atas tiga perangkat: absolut,

proposisional dan near-sinonim. Sinonim terjadi bila kata dalam konteks

dapat disubtitusikan dengan kata kain dan makna konteks tidak berubah (Ullmann, Lyons, Palmer).39 Selanjutnya Lyons mengemukakan bahwa sinonim dapat ditentukan dengan cara:

1. Subtitusi (penyulihan) 2. Pertentangan

3. Penentuan konotasi

36

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 297.

37

Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab: Klasik Modern

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 122.

38

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 83.

39

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna


(46)

Cruse membagi sinonim menjadi:40

1. Sinonim Absolut (mutlak), yang mengacu pada identitas makna merupakan spesifikasi makna. Pendekatan kontekstual digunakan dalam berdasarkan makna adalah sesuatu yang mempengaruhi teks normal dari unsur leksikal di dalam konteks kalimat apik.

2. Sinonim Proposisional, terjadi bila dua unsur leksikal di dalam suatu ekspresi dapat disulih dengan unsur benar secara kondisional tanpa ada dampak terhadap wujud secara keseluruhan.

3. Sinonim Berdekatan, batas antara sinonim proposisional dengan sinonim berdekatan dapat dijelaskan secara prinsip. Dalam hal ini pengguna bahasa benar-benar memiliki intuisi untuk perangkat pasangan kata yang bersinonim atau yang tidak, secara sederhana ada skala jarak semantis dan kata-kata yang bersinonim adalah kata-kata yang maknanya relatif dekat (memiliki batas lebih rendah dari sinonim dekat).

b. Antonimi (al-adhdha:d)

Antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu dengan yang lain.41 Misalnya kata guru berantonim dengan kata murid. Antonimi dapat berupa:42

40

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna

Paradigma-Sintagmatig-Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 126.

41

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 299.

42


(47)

Paradigma-Sintagmatig-1. Antonimi Berlawanan (Polar Antonyms) Ciri-cirinya sebagai berikut:

(i) Kedua unsur sepenuhnya dapat diukur.

(ii) Terjadi secara normal dalam komparatif dan superlatif.

(iii)Antonimi berlawanan menunjukkan derajat dari beberapa unidimensional objektif dalam wujud fisik, secara prototipikal salah satunya yang dapat diukur dalam unit konvensional.

(iv) Antonimi berlawanan merupakan ketidaksesuaian tetapi bukan kejangkapan.

(v) Bentuk komparatif bertahan dalam hubungan kebalikan.

(vi) Pertanyaan yang menunjukkan relevansi unsur-unsur yang mengacu pada pertanyaan keseimbangan.

2. Antonimi Keselarasan (Equivollent Antonyms)

Antonim keselarasan atau keseimbangan dapat ditentukan dengan keseimbangan atau keterlibatan komparatif.

3. Overlapping Antonyms (Antonim Tumpang Tindih)

Antonim tumpang tindih menghasilkan keseimbangan komparatif. c. Oposisi

Oposisi merupakan relasi yang terjadi sehari-hari dalam pengenalan leksikal. Oposisi kemungkinan satu-satunya relasi untuk memperoleh pengenalan leksikal secara langsung, cara inilah yang dahulu digunakan secara kognitif. Cruse menjelaskan unsur oposisi yang relevan yaitu oposisi biner, unsur


(48)

inheren dan unsur paten.43 Lebih jauh, berdasarkan sifatnya oposisi dapat dibedakan menjadi:44

1. Oposisi mutlak, jadi ada pertentangan mutlak. 2. Oposisi kutub, bersifat gradasi.

3. Oposisi hubungan, bersifat melengkapi.

4. Oposisi hierarkial, menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. 5. Oposisi majemuk, yang beroposisi lebih dari sebuah kata.

d. Hiponimi

Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada kelas kata atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil dan ada sejumlah kelas kata bawah yang merupakan komponen-komponen yang tercakup dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan sebagai kelas kata disebut superordinat dan kelas bawah yang disebut hiponim.45Contohnya kata bunga merupakan suatu superordinat yang membawahi sejumlah

hiponim antara lain: mawar, melati, sedap malam, flamboyan, dan gladiol.

Tiap hiponim pada gilirannya dapat menjadi superordinat bagi sejumlah hiponim yang bernaungan di bawahnya, misalnya ada mawar merah, mawar

putih, mawar orange dan sebagainya. Dalam keterbatasan istilah dapat juga

terjadi bahwa istilah yang sama dapat dipakai lebih dari satu kali bagi hirarki yang berbeda.

43

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Relasi Makna

Paradigma-Sintagmatig-Derivasional (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h. 133-134.

44

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2009), h. 90-93.

45

Istilaah superordinat dan hiponim adalah istilah dalam semantik. Ilmu biologi mempergunakan istilah genus dan species, ilmu-ilmu sosial mempergunakan istilah kategori dan


(49)

e. Homonimi

Hominimi adalah relasi antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Misalkan, kata bisa ‗mampu‘ dan kata bisa

‗racun‘. Dalam bahasa Indonesia homonimi masih dapat dibedakan lagi atas

homograf dan homofon, karena kesamaan bentuk dapat dilihat dari sudut

ejaan atau ucapan. Homograf adalah dua bentuk bahasa yang sama ejaannya, tetapi berlainan lafalnya. Contoh kata tahu ‗makanan‘ dan kata tahu

‗paham‘. Sedangkan homofon adalah dua ujaran dalam bentuk kata yang

samPa lafalnya, namun berlainan tulisannya. Misalnya, kata masa ‗waktu‘

dan massa ‗kelompok orang dalam jumlah besar yang menjadi satu

kesatuan‘.

f. Polisemi

Satu kata mempunyai lebih dari satu arti atau lebih tepat kita katakan satu leksem mempunyai beberapa makna, relasi ini disebut polisemi.46 Di dalam penyusunan kamus, seperti kata-kata yang berhomonim muncul sebagai lema (entri) yang terpisahkan, sedangkan kata yang berpolisemi muncul sebagai satu lema namun dengan beberapa penjelasan. Misalkan saja, kata

sumber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat pada halaman

1353muncul sebagai satu lema, namun dengan beberapa penjelasan seperti: Sum.ber n 1 tempat keluar (air atau zat cair); mata air: ia

mengambilkan air di --; di laut sekitar pulau itu ditemukan – minyak; 2 asal (dl berbagai arti): ia berusaha mendekati dan menemukan – bunyi yang memesonanya; kabar itu didapatnya dari – yang boleh dipercaya;

Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari analisis komponen. Pada hakikatnya bertumpu pada derajat kesamaan. Ada

46


(50)

perangkat bentuk yang sama sekali tidak mengandung kesamaan salah satu makna pun, dan ada perangkat bentuk yang mengandung sebagian komponen makna yang sama. Perbedaan makna pada bentuk polisemi menurut Nida (1974) umunya meliputi perbedaan komponen makna proses, objek, hasil atau keadaan.47

Para ahli bahasa mempunyai pendapat yang sejalan bahwa polisemi ini adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena makna ganda itulah maka pendengar atau pembaca ragu akan makna kata (kalimat).

g. Taksonimi

Taksonimi mengacu pada relasi semantik antara beberapa kata yang serumpun.48 mengenai taksonimi, Lahrer menggunakan cara para ahli etnigrafi yang secara umum bertanya pada informan yang ditemuinya untuk mengklasifikasikan ranah kumpulan leksem yang dilanjutkan dengan menentukan hierarki yang ada pada struktur leksikalnya. Lehrer (1974) berpendapat bahwa masalah yang umum dihadapi pada taksonimi adalah adanya sejumlah prinsip yang dilibatkan dalam klasifikasi hierarkis.49 Wienriech (1980) menyebutkan ada dua kriteria dalam membuat hierarkisasi: (1) pengisolasian konotasi dan pengisolasian tujuan untuk pengkajian secara linguistik, meskipun terjadi pemindahan pengacuan dan denotasi pada medan yang lain.; (2) direpresentasikan sebagai taksonimi.

47

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT

Refika Aditama, 2009), h. 67.

48

A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Angkasa,1993),

h. 165.

49


(51)

h. Ambiguitas atau Ketaksaan

Ketaksaan (ambiguitas) dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan. Sehubungan dengan ketaksaan ini Kempson (1977) yang dikutip oleh Ullman (1976) menyebutkan tiga bentuk utama ketaksaan, seperti:50 1. Ketaksaan Fonetik

Ketaksaan pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya.

2. Ketaksaan Gramatikal

Ketaksaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian, ketaksaan pada tataran ini dapat dilihat dua alternatif. Alternatif pertama adalah ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukkan kata secara gramatikal. Alternatif kedua adalah ketaksaan pada frase yang mirip. Tipa kata membentuk frase sebenarnya jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.

3. Ketaksaan Leksikal

Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannnya.

i. Redundansi

Istilah redundasi sering diartikan sebagai ‗berlebih-lebihan pemakaian unsur

segmental dam suatu bentuk ujaran‘. Secara semantik masalah redundansi

50

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal (Bandung: PT


(52)

sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda.51

4. Makna Kontekstual

Makna kontekstual termasuk dalam jenis-jenis makna, yang di maksud dengan makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada dalam satu konteks. Makna kontekstual dapat juga berarti dengan situasi, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Oleh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimat. Adalah teori semantik yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di antara unit-unitnya dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu:52 (a) konteks kondisi adalah kondisi atau situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena perubahan situasi.

(b) konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional.

(c) konteks kebahasaan adalah berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna yang berbeda.

(d) konteks sosio-kultural adalah nilai-nilai sosial yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya.

51

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia: Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2009), h. 105.

52


(53)

Menurut J.R. Firth, teori kontekstual sejalan dengan teori relativitisme dalam pendekatan semantik bandingkan antara bahasa. Makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu.

Mengacu pada persoalan berkonteks yang memiliki perbedaan mendasar pada persoalan kosakata. Persoalan kosakata atau semacamnya relatif jelas sosok persoalanya dan relatif mudah untuk ditemukan langkah-langkah konkrit pemecahannya, serta merinci modal kemampuan yang diperlukan untuk mengoperasikannya.

Konteks secara sederhana dapat dimengerti sebagai sesuatu yang menyertai teks, sesuai dengan pemaknaan literer kata-kata yang merajut kata tersebut. Sebab, teks sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Setiap bagian mendukung bagian lainnya untuk menyampaikan sesuatu yang tunggal. Satuan morfem akan saling mendukung pemaknaan suatu kalimat. Satuan kalimat akan saling mendukung untuk menyampaikan pesan suatu alinea dan begitupun seterusnya. Dengan kata lain, setiap bagian dari kebahasaan saling membantu menyampaikan pesan utuh dari sebuah teks.

Memang tidak mudah menerjemahkan yang dipandangan dari sisi pemadanan berkontek ke dalam langkah-langkah konkrit, mudah dicerna dan diterapkan. Namun, secara kasar dapat dikatakan bahwa penerjemah idealnya memiliki kesadaran konteks. Artinya, pada setiap langkahnya dalam menyelami teks sumber dan senantiasa melakukan cross check suatu satuan makna dengan satuan makna lainnya.


(54)

BAB III

SEKILAS TENTANG PENULIS DAN PENERJEMAH KITAB AL-HIKAM

A.Biografi Syeikh Ibn Atha’illah al-Iskandari

Syeikh Ibn Atha‘illah al-Iskandari (w.1309 M) hidup di Mesir pada masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fiqh mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas di bidang tasawuf sebagai seorang

―master‖ (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.

Ibn Atha‘illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Kitab ini sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar-Rundi, Syeikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir,

‗Unwan at-Taufiq fi‘dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibn Atha‘illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam


(55)

Ibn Atha‘illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn Atha‘illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibn Atha‘illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab al-Hikam yang melegenda ini.

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atha‘illah al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya‘rib bin Qohton, yang terkenal dengan Arab al-Aa‘ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR.Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.


(1)

(2)

j. l t: t T-r r::i : I r* '1 i ., :i il I ii t1 it fi tt ft

Jika

Tuhan

membukaknn tmfrri.rnli trir:lrr

rpryft ,i{n:!,

/irr?#{?i?

k&u pe't{ulgakarzsr:ie:fmu

g*rry

sscJrftir

.

Krsrenn

ili*

tid'.k

aksn

wzembuks.kan pintu

iakrifat,

kecuaii

'

ker€fte

ingin

mewperken*lkJ,

#jr,uy .'t

ri.';;;u"

',

rakukah

krxt

b*tuis,";i;;;;;r*

ku*

anuserah*

j\ri/ei urufur,krn

u,

sec*rzgkan ams"rnzt,

*.drrrah persembahan

u ru f u*-i{"ry n. T entu, p etr

s emb aho u n, *. ro

r

kan

s eh *nd i:i,rg

deng

ntr

r'nug er*h- Ny a.

lf He nncne c rJ^nr {^ - .- !,

!'

! !u !-'iJ-u,,,' 3 door

fci

ycLJ,

thereby rnakiilg r"Jimserf knov,;n, pay

il*

necd if y*ur" deeris

dc

n*t

*ou*i,ru

,-,p

;_

;;l;.'

Fct' in tr"uth, F{c i:as

n*l

ur*n*c

ii

r,;r }"i*r} fi;;{

*iit *f

;i

rJ*:sir* ir_:

;::gk*

t*{;;-:_isr:lf ;..i:*irvi;

t,* V*i;,

ilt'

:rr:i;

n*t

k**!r,i

iilat

r--r* i;i

ii:+

rli.r* ,r,,it* Fr-*=*i:t**

l*c

ki:*wi*dg*

*f

l-lirrrs*ff

i*

trrs1;,

wij*i"**n

*l

*iJ

rn*

un*

t**i ru nr*sented Him rr,rith

deeds?

wn-t

a differerrr p iretv/een whsr Fje nrings

tc

you and what


(3)

tr-

o

#IJ}

t^t l"l l.* I

\.'*J>* l {J

\ir

JI

.r'/ a ".

* t- t

LJIJ rl

g

JJ

iP. ,/

s.. ""; o

F

t',i.\ ii

*

\[

t

f ay,N U ifj" J I

U

.g

,f

8t f,-*Y

,y'erurs fr-m#I aru &En i'{t&ciltn*n1&ciwt7

ktffena

ssupan hati

iuta

ber*.gcln.

A*i;i:ns

iiiff*r

l-.recaurt'

ili,.

nlsuil'rii',i,.:

*i iii;

+tftl*s t'1 !-:errlg riiffer

6*-,-l , *ir: i.; i: l.r..,l l

-.: ::.:r :. :. : .,


(4)

t

-ri i]

:.,-i.,

i:'

/i *: . ,f e6. i ir...;9*.*t ..i

r t -i {: ._..1

i ,lt ' , : -. 'r .,..,r i

:'

Y "I i i I , r l] .*"r:f ii t![;i.={;ii lirlii"}ii"f i? F''{_i,fL,".t;il€,j

itrrlf-F{.,i

li

;

$ i: :;


(5)

-ryi4:.5"ffi-3wp"s*.:T$Wffiffi : -:jj:'-'-:,:€5:!-igr;

ffitrE

lq*''Wt

(;r

)

rJl

-J4 '

{

t o J .t E . e; * ? . g _? o I

d4.+$"1

-' J

-6*rl

.r" r- y

,*

j.i

"""-

-:.*e"&rl

s^

*{uKix!ny*

:

fuLtrtW

/

kes

Kuburls.& cjrrlr,"aru

dl

f*rtu& foe*erud*&*n

*-kurerta sesucfu y{rn(} ia:ffi&#Fg ir.fii?}rJ r/l&ufrur= {.rfjf r"rrursl*_i

'fo#"qrlru:;r-l j':r:,I=:i:;:;

.;

,:j

. ii,;j.

I l-.i1 -,r:.,: f r r, ir_.r;


(6)

o . , , g ,,, , - o t

^ j t o se

,3i

1

-r5

q'F

""

y

r

"ry

X,

i

JriJ

Tiada

alng

tebih berguna bagi

hati

selsin'uzlsh.

Deng

an'uzlah,

hcti

memasuki lapang

an tafakur.

Nothirig L*riefiis the heart

',*iier*in it

*r:i*r:

th*

#*mairi

nifir* than a spiritual rsir"**r

*f

r"n*ditaii*n trneydan fikrai

:::;aiY,ir]l::i::l i:,itij,ti:j:r:, ',i':. : :

t J * * !;, ri) fr*fu

L

i

l

t

1 ...'.. * f * : .: ::*

:l :'x t /. i

:1

i ' ;lA

,:*

-s .4 - :r4

r{ ''! .€l

il -Gl