2. 7 Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif Part 2

Bagian 4. Membuahkan Hasil Nyata:
Hubungan antara Modalitas Penyaluran Dana dan Kinerja

Membuahkan Hasil Nyata:

Hubungan
antara Modalitas
Penyaluran Dana
dan Kinerja

61

Dukungan Eksternal yang Murah Hati
Peta bantuan dalam program rekonstruksi Aceh dan Nias termasuk unik karena
pemerintah Indonesia hanya menyumbang sekitar sepertiga (tepatnya 31 persen) dari
total dana rekonstruksi. Dari dana US$ 6,7 miliar yang dijanjikan, US$ 4,6 miliar berasal
dari berbagai donor bilateral dan multilateral, LSM internasional, dan masyarakat.
Sumbangan bantuan donor yang sangat luar biasa besarnya ini bukan karena tidak
bersedianya pemerintah Indonesia, yang mengeluarkan uang dalam jumlah sangat
besar, yaitu US$ 2,1 miliar, tetapi lebih merupakan bukti niat baik masyarakat dalam dan
luar negeri. Indonesia beruntung menerima dukungan global yang murah hati karena

skala bencana kembar ini sungguh luar biasa sehingga benar-benar di luar kemampuan
Indonesia untuk menanggulanginya sendiri. Tanpa bantuan itu, usaha pemulihan bisa
lebih lama lagi, kalaupun itu mungkin dilakukan.
Seperti dalam setiap situasi yang ada banyak donor, ada banyak cara untuk
menyalurkan dana. Satu hal yang mengejutkan bertalian dengan komposisi bantuan di
Aceh dan Nias adalah banyaknya LSM yang datang dengan membawa sendiri dana dalam
jumlah yang besar. Lebih banyak dana bantuan yang mengalir melalui 992 lembaga
donor dan pelaksana yang bekerja di lapangan daripada yang melalui pemerintah.20
Sekitar separuh dari dana bantuan disalurkan melalui LSM, banyak di antaranya

Setiap tahunnya, lebih dari 20%
produk domestik bruto Aceh
bersumber pada pertanian. Oleh
karena itu, BRR menempatkan
bidang ini pada prioritas yang
tinggi. Lahan pertanian seluas
70 ribu hektare direhabilitasi
atau dicetak baru dalam kurun
4 tahun. Foto: BRR/Arif Ariadi


KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

62

beroperasi sebagai pelaksana dan penyandang dana yang sekaligus mendukung LSMLSM yang lebih kecil dalam soal dana. Pada gilirannya hal ini menjadi struktur paralel
yang mendukung program rekonstruksi. BRR hanya bisa mengawasi dari jauh melalui
serangkaian rapat dan forum-forum koordinasi.
Para pelaku yang menyalurkan dana tersebut mempunyai beragam pengalaman
dalam hal pencairan dana maupun pelaksanaannya. Mereka juga memberikan hasil
yang berbeda-beda dengan beragam tingkat efektivitas. Bagian-bagian dalam bab
ini berisi analisis tentang efektivitas metode penyaluran dana yang berbeda-beda.
Kesimpulan ditarik dari pengalaman kami memimpin rekonstruksi di Aceh dan Nias, dan
oleh karena itu boleh jadi tidak selalu tepat digunakan secara umum. Setiap rekonstruksi
pascabencana selalu unik dan harus ditangani sesuai dengan keadaannya. Terlebih lagi,
kesimpulan ini didasarkan pada penilaian yang subjektif yang mungkin saja berbeda
dengan cara orang lain melihat realitas yang sama. Namun, kami telah berusaha sebaik
mungkin untuk menarik kesimpulan dan menyampaikannya.

Mendekati Fase Akhir Rekonstruksi
Menjelang berakhirnya mandat, BRR menyiapkan transisi dana pemerintah Indonesia

ke badan-badan pemerintah yang lain. Mandat BRR hanya empat tahun lamanya, dari
16 April 2005 sampai 16 April 2009, sedangkan menurut Rencana Induk dan revisi
Rencana Induk, keseluruhan usaha rekonstruksi diharapkan makan waktu lima tahun
mulai dari akhir fase darurat pada 26 Maret 2005. Mengingat hal ini, BRR berencana untuk
menyelesaikan semua proyek fisiknya pada akhir 2008, dan perlahan-lahan memasuki
masa transisi menuju penutupan dalam bulan-bulan pertama pada 2009.
Strategi BRR dapat dijalankan dengan baik, seperti tecermin dalam besarnya (96
persen) pencairan dana di bawah kendali pemerintah. Dari US$ 2,1 miliar yang
dialokasikan pada BRR antara 2005 dan 2008, sebanyak US$ 2,0 miliar sudah terpakai.
Dari hasil ini Dewan Perwakilan Rakyat berkesimpulan bahwa BRR sudah melaksanakan
mandatnya dan harus ditutup sesuai jadwal pada 16 April 2009. Tidak akan ada
perpanjangan mandat. Sebagai persiapan, mulai Januari 2009, pekerjaan dan pelaksanaan
yang berhubungan dengan rekonstruksi yang dibiayai oleh pemerintah dipindahkan
ke departemen terkait dan pemerintah setempat di bawah koordinasi Bappenas, sama
seperti sebelum BRR didirikan.
Di pihak lain status dari proyek-proyek donor dan LSM amat bervariasi dan tidak
mudah untuk dibuat ringkasannya. Beberapa di antaranya telah hampir menyelesaikan
proyeknya jauh sebelum 2008 berakhir, seperti pemerintah Jepang dan Jerman.
Sedangkan lainnya masih berkutat dalam pelaksanaan. MDF adalah salah satu contoh
lembaga yang mengundurkan masa baktinya dari 2010 ke 2012 untuk memberikan waktu

yang cukup untuk penyelesaian proyek-proyeknya.

Bagian 4. Membuahkan Hasil Nyata:
Hubungan antara Modalitas Penyaluran Dana dan Kinerja

Mekanisme Penyaluran Dana
Seperti disebutkan di bagian sebelumnya, BRR menyiapkan tiga mekanisme penyaluran
dana atau modalitas, untuk mengakomodasi berbagai keperluan para donor. Ketiganya
secara singkat dirangkum di bawah ini:
(a) On-budget/on-treasury. Di sini, para donor memakai sistem dan peraturan dana
pemerintah untuk menyalurkan dananya. Donor multilateral seperti Bank Dunia
dalam kapasitasnya sebagai administrator MDF dan ADB–keduanya adalah bank
tanpa kemampuan untuk melaksanakan secara langsung–memilih modalitas ini, dan
juga beberapa donor bilateral yang besar.
(b) On-budget/off-treasury. Dana disalurkan di luar Bendahara Negara (KPPN), tetapi
penyalurannya dilaporkan di dalam sistem anggaran nasional. Dengan mekanisme
ini, dana pada mulanya tidak disahkan di dalam dokumen anggaran. Penyaluran
dilakukan langsung dari rekening pemerintah pendonor ke rekening pemerintah
Indonesia, yaitu pada bank yang ditunjuk, dan dari sana pembayaran akan dikucurkan
ke badan pelaksana. Sesudah pengadaan barang atau jasa dilakukan, dana yang


63

Pemerintah
Indonesia

Pemerintah
Asing

Dana
Perwalian

Sumber
Pendanaan

Gambar 4.1 Mekanisme Penyaluran Dana

Penyaluran
Dana
Badan

Pelaksana

Donor
Multilateral

On-Budget/On
treasury

BRR & Satker Pemerintah lainnya

Proyek

Lembaga dan
Komunitas

RANTF

On-Budget/Off
treasury


Off-Budget/Off
Treasury

Lembaga Pelaksana Lain & LSM

PROYEK REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI

Mekanisme on-budget

Mekanisme off-budget

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

dicairkan dibuatkan pengesahan anggaran melalui daftar isian proyek anggaran
(DIPA). Mekanisme ini digunakan oleh pemerintah Jepang dan Jerman.
(c) Off-budget/off-treasury: Apabila donor tidak menggunakan sistem anggaran
pemerintah Indonesia ataupun menyalurkan dana dari KPPN. Mekanisme ini
dipakai oleh semua lembaga nonpemerintah dan oleh beberapa pemerintah
asing. Donor multilateral seperti ADB dan Bank Dunia yang terkait dengan MDF
juga menggunakan mekanisme ini untuk melengkapi bantuan yang diberikan

melalui mekanisme on-budget. Recovery Aceh-Nias Trust Fundd (RANTF), sebuah dana
perwalian yang ditangani oleh BRR dan mewakili donor dari individu, masyarakat dan
pemerintah asing, juga memakai modalitas ini.
Diagram di Gambar 4.1. Memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang
dikerjakan para pelaku sesuai dengan modalitas penyaluran dana yang mereka inginkan.

64

Efektivitas Pelaku yang Memakai Modalitas On-Budget/OnTreasury
Sejak Deklarasi Paris diumumkan, donor multilateral dan bilateral lebih banyak
menyalurkan bantuan melalui mekanisme on-budgett sejalan dengan pelaksanaan
lima prinsip Deklarasi Paris tentang efektivitas bantuan. Mekanisme on-budget
mempromosikan kepemilikan, sinkronisasi, harmonisasi, mengelola untuk memperoleh
hasil dan tanggung jawab bersama dana bantuan dengan mengizinkan pemerintah mitra
untuk memformulasi dan melaksanakan rencana rekonstruksinya sendiri atau rencana
pembangunannya, dengan memakai metode prioritas, perencanaan, dan pelaksanaannya
sendiri.
Dari sudut pandang BRR, dana bantuan on-budget/on- treasuryy adalah dukungan
eksternal paling fleksibel. Dana tersebut merupakan “dana yang bisa diprogram” yang
bisa diatur untuk mendukung dan melengkapi dana domestik anggaran badan bantuan

tersebut. Oleh karenanya dana jenis ini selalu selaras dengan program rekonstruksi
secara menyeluruh. Kadang-kadang, dana donor on-budgett dialokasikan untuk mengisi
kekosongan sektoral atau daerah yang tidak mempunyai dana. Hal ini berbeda
dengan bantuan off-budget,t dana biasanya dikaitkan dengan proyek khusus. Realokasi
dana ke proyek lain di dalam atau di luar sektor atau program semula biasanya tidak
dimungkinkan.

Pengalaman-pengalaman Donor dengan Modalitas Ini
Dua donor besar yang memakai modalitas on-budget/on-treasuryy selama rekonstruksi
Aceh dan Nias adalah MDF dan ADB. Gabungan sumbangan kedua donor multilateral
berjumlah lebih dari US$ 1 miliar. Donor lain yang menggunakan modalitas ini adalah
pemerintah Italia, yang mengonversi pinjaman pemerintah menjadi bantuan asing
(grant).

Terobosan Apa yang Membuat ADB Sukses?

Bagian 4. Membuahkan Hasil Nyata:
Hubungan antara Modalitas Penyaluran Dana dan Kinerja

Baik Bank Dunia, sebagai pengurus dan partner terpercaya MDF maupun ADB,

adalah bank pembangunan yang mempunyai kaitan sejarah yang panjang dengan
pemerintah Indonesia. Pada awalnya, Bank Dunia dan proyek ETESP dari ADB mengalami
hambatan yang sama dalam bidang sumber daya manusia dan material. Tapi ketika
program rekonstruksi hampir selesai terdapat perbedaan mencolok antara keduanya.
ETESP mencapai tingkat pencairan dana yang tinggi sebesar 83 persen pada akhir 2008
sedangkan proyek on-budgett MDF sebesar 65 persen (Gambar 4.3.).

(i) Tinjauan Pascapelaksanaan

65

Kinerja ADB yang luar biasa adalah karena berbagai terobosan yang mereka ciptakan
untuk mempercepat proses, sambil tetap mempertahankan standar tanggung jawab dan
efektivitas yang tinggi.

Tinjauan pascapelaksanaan adalah terobosan inovatif yang sangat membantu
percepatan proyek ADB. Menurut butir-butir dalam persetujuan pemberian bantuan,
diperlukan persetujuan ADB untuk semua subproyek. Akan tetapi, disepakati pula
bahwa persetujuan ini dapat dilakukan setelah subproyek itu dikerjakan. Subproyek
bisa langsung dikerjakan segera setelah pemerintah Indonesia (yang diwakili oleh BRR)

menyetujui kontrak. Apabila dalam tinjauan pascapelaksanaan terdapat prosedur baku
yang tidak dijalankan, ADB tidak akan membiayai kontrak tersebut dan karena itu dana
yang sudah dikeluarkan harus ditanggung oleh pemerintah Indonesia. Persetujuan awal
dari ADB hanya diperlukan untuk tiga subproyek pertama dalam sektor yang disepakati
dan untuk subproyek bernilai di atas US$ 500 ribu.
Gambar 4.3 Besaran Pencairan Dana ADB dan MDF Desember 2008
800
700

800
Komitmen

700

Pencairan

500

600
500

600

US$ Juta

Tinjauan pascapelaksanaan adalah jalan keluar
yang dimungkinkan karena kepercayaan yang
diberikan oleh ADB pada pemerintah Indonesia.
Dengan terobosan ini, pekerjaan proyek jauh
dipercepat sedangkan ADB sebagai donor tetap
terlindungi dari risiko penyelewengan. Ini adalah
mekanisme brilian. Kedua pihak sama-sama
untung, meningkatkan laju pengerjaan proyek
tanpa menghilangkan tali kendali. Dengan
mengandalkan sistem pengadaan barang dan
jasa pemerintah Indonesia-pada hakikatnya, dana
yang disalurkan bukan hanya “on-budget” tetapi
juga “on- procurement”–ADB dengan demikian
membantu memperdayakan unit-unit pelaksana
pemerintah Indonesia di Aceh dan Nias. Hal ini

400
65%

300

400
83%

300

200

200

10
0

100

MDF

ADB

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

66

Pertukaran Hutang Italia
“Italia telah menyetujui sebuah kesepakatan yang dimulai pada 2005 dengan pemerintah Indonesia untuk
mendanai tujuh proyek di Aceh di bawah sebuah perjanjian penukaran hutang bilateral. Ketujuh proyek tersebut,
dengan nilai lebih dari Rp 150 miliar (US$ 13,6 juta), mencakup konstruksi pembangunan sebuah pelabuhan
perikanan, tiga sistem irigasi dan dua ruas jalan, dan sebuah insentif senilai Rp 49,96 miliar untuk suatu kontribusi
pendukung rencana pengentasan kemiskinan milik pemerintah dengan nama Program Keluarga Harapan (PKH).
Di bawah persetujuan 2005 tersebut, Italia akan menghapuskan US$ 24,2 juta dan 5,7 juta euro (US$ 7,8 juta)
hutang Indonesia dalam kurun waktu lima tahun untuk digunakan sebagai pendanaan proyek rekonstruksi negara di
Aceh, yang kini masih mencoba bangkit dari bencana tsunami 2004. Sejauh ini Italia sudah menghapus US$ 5 juta
dan 10,74 juta euro melalui pendanaan sepuluh proyek selama kurun waktu 2006-2008.
Sebuah skema penukaran hutang mengizinkan sebuah negara untuk menggeser alokasi anggaran belanja yang
seharusnya digunakan untuk membayarhutang asing dan menggunakannya untuk membiayai aktivitas lainnya, dengan
persetujuan sang pemberi pinjaman. Aktivitas tersebut dapat mencakup konstruksi prasarana, proyek kesehatan dan
pendidikan, atau program pemberdayaan sosial.”
Sumber: The Jakarta Post, 10 Januari 2009

pada gilirannya akan mengembangkan kemampuan mereka dalam mengerjakan proyek
yang sama di hari esok.
Ketika ditanya apakah keputusan untuk memakai tinjauan pascapelaksanaan adalah
keputusan yang baik, Pieter Smidt, Kepala ADB Extended Mission di Sumatera (EMS)
menjawab, “Tentu saja ada risiko bila Anda memakai tinjauan pascapelaksanaan. Ada
beberapa kasus Satker tidak mengikuti prosedur yang telah digariskan oleh pemerintah
sendiri dan karena itu ADB tidak dapat mendanai kontrak-kontrak tersebut. Kami terpaksa
mengumumkan bahwa ada tiga sampai empat juta dollar yang tidak dapat dibayarkan
sebagai dana ETESP dan jumlah ini bisa lebih besar karena kami belum selesai melakukan
tinjauan … tetapi (tinjauan pascapelaksanaan) adalah keputusan yang baik. Keputusan
yang baik.”21
Walaupun uang yang tak dicairkan karena tidak memenuhi syarat tersebut akhirnya
harus dibayar oleh pemerintah Indonesia, kami di pihak BRR menganggap hal itu sebagai
biaya yang pantas dalam berbisnis. Dilihat dari konteks yang lebih luas, manfaat yang
diperoleh karena pelaksanaan proyek yang cepat, jauh lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan. Saat ini, banyak sudah yang menikmati hasil dari cepatnya pelaksanaan itu,
sedangkan momentum pemulihan tetap dipertahankan dengan laju yang tinggi.

Dana Multi-Donor untuk Aceh dan Nias (MDF) dibentuk oleh Bank Dunia dan beberapa badan donor lainnya
atas permintaan pemerintah Indonesia pada April 2005. MDF adalah sebuah trust fund yang diatur oleh Bank
Dunia sebagai trustee dan terdiri atas dana terkumpul senilai US$ 691,92 juta yang disumbangkan oleh 15 donor:
Komisi Eropa, Belanda, Inggris, Bank Dunia, Swedia, Denmark, Norwegia, Jerman, Kanada, Belgia, Finlandia, Bank
Pembangunan Asia (ADB), Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Irlandia.
Proposal proyek untuk MDF pada awalnya dikaji oleh BRR, tapi persetujuan harus diberikan oleh sebuah komite
pengarah yang dipimpin bersama oleh pejabat dari BRR, Bank Dunia, dan Komisi Eropa sebagai donor terbesar.
Karena itu, tidak seperti proyek yang didanai oleh ADB, proyek-proyek MDF tidak dapat dimulai sebelum mendapatkan
persetujuan dari komite pengarah untuk koordinasi operasi sehari-hari, Komite pengarah didukung oleh sebuah
sekretariat.
MDF memberikan sebuah cara yang mudah untuk mengumpulkan sumber-sumber donor dana bantuan dan
membebaskan para donor dari kerepotan membuka berbagai rekening bank dan membentuk berbagai program. Ini
secara signifikan mengurangi biaya transaksi penyerahan bantuan. Di antara keuntungan MDF adalah integrasi penuh
dengan anggaran belanja pemerintah Indonesia, persiapan untuk laporan tepat dan sesuai waktu akan penyerapan
riil yang diambil dari sistem akuntansi pemerintah, dan pengaturan fidusia yang baik untuk menjamin integritas
penggunaan dana.

(ii) Pendelegasian Wewenang (Desentralisasi)
Prinsip lain yang tampak dalam kiprah ADB adalah manfaat desentralisasi dan
kehadiran di lapangan. Inisiatif ADB untuk membuka kantor cabang EMS (extended
mission in Sumatera) sungguh membawa manfaat yang besar. Dengan wewenang untuk
mengambil keputusan, kantor cabang tanggap dan cepat menyesuaikan diri dengan
tuntutan-tuntutan di lapangan. Waktu untuk mempersiapkan proyek, menilai, dan
melaksanakannya dikurangi seminimum mungkin.
Tak dapat disangkal, kecepatan merupakan elemen terpenting dalam rekonstruksi
pascabencana. Korban bencana perlu kembali ke kehidupan normal secepat mungkin.
Lebih lama mereka menunggu, lebih mahal biaya sosial dan ekonominya. Waktu adalah
kemewahan dalam pascabencana. Oleh karena itu perencanaan terperinci sering
terpinggirkan. Niat kuat untuk tetap bekerja cepat harus dipertahankan.
Walaupun orang tahu bahwa kecepatan merupakan elemen penting dalam
penanganan pascabencana, pada praktiknya lebih sulit dilakukan daripada diucapkan.
Ketika waktu sudah berlalu dan berita tentang bencana mulai surut, serta kebutuhan
pokok telah sampai ke tangan korban, adalah manusiawi untuk bersikap “business as
usual”.” Dorongan untuk bekerja dalam keterdesakan sedikit demi sedikit menghilang.

Bagian 4. Membuahkan Hasil Nyata:
Hubungan antara Modalitas Penyaluran Dana dan Kinerja

Dana Multi-Donor

67

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

68

Bank Pembangunan Asia
Bank Pembangunan Asia (Asian Development
Bank, ADB) adalah salah satu yang pertama
memberikan respons atas tsunami yang terjadi
dengan memberikan dana bantuan yang signifikan
bagi program rehabilitasi dan rekonstruksi yang
dibentuk pada 7 April 2005. ADB menyetujui sebuah
paket pendukung bagi rehabilitasi dan rekonstruksi
Aceh dan Nias, yang mencakup Proyek Dukungan
Keadaan Darurat Gempa Bumi dan Tsunami
(Earthquake and Tsunami Emergency Support
Project, ETESP) senilai US$ 290 juta, kontribusi pada
MDF sebesar US$ 10 juta, dan dana bantuan Proyek
Pelayanan Air Bersih dan Kesehatan Masyarakat
(Community Water Services and Health Project,
CWSHP) sebesar US$ 16,4 juta.
ETESP adalah proyek dana bantuan terbesar
sepanjang sejarah ADB dan digunakan untuk
memulihkan layanan publik kunci dan membangun
kembali prasarana dan mendorong bangkitnya
lagi aktivitas ekonomi swasta. Meskipun ETESP
disetujui sebelum pembentukan resmi BRR,
setelah didirikannya BRR, semua subproyek ETESP
dirancang dan dilaksanakan dalam koordinasi dekat
bersama BRR sebagai pemimpin rekonstruksi secara
keseluruhan. ETESP didanai melalui Dana Tsunami
Asia (Asian Tsunami Fund, ATF), sebuah trust fund
yang dibentuk oleh ADB setelah tsunami untuk
mengumpulkan kontribusi dari ADB dan donor-donor
bilateral dan multilateral lainnya.

Rut
Rutinitas
datang kembali dan aktivitas dilakukan normal
sep
perti biasa.
SSalah satu cara terbaik untuk mempertahankan tingkat
urg
gensi yang tinggi adalah dengan melakukan desentralisasi.
Pem
merintah, donor, dan pelaku rekonstruksi yang lain
harrus mendelegasikan wewenangnya ke tingkat paling
baw
wah sejauh mereka mampu mengerjakannya. Walaupun
meendelegasikan kewenangan risikonya jelas, manajemen
lokkal untuk rekonstruksi mempunyai banyak keunggulan.
Kessempatan berinteraksi dan berkolaborasi antara pelaku
rekkonstruksi dan penduduk yang terkena bencana, besar
sekkali pada tingkat lokal. Dibekali dengan informasi langsung
tenntang apa yang terjadi lapangan, masalah apa yang
perrlu diselesaikan, aspirasi masyarakat dan kesempatan
meemilah-milah di antara sekian banyak pilihan, manajemen
lokkal biasanya lebih cepat dan lebih jitu dalam mengambil
kep
putusan dibandingkan dengan keputusan yang diambil dari
jaraak jauh. Kewenangan di tingkat lokal juga menghilangkan
frusstrasi yang mungkin timbul akibat rantai pengambilan
kep
putusan yang berlapis-lapis dari organisasi yang
terssentralisasi dan kaku. Oleh karena itu, keputusan ADB untuk
meendelegasikan wewenang pada kantor EMS sangat masuk
akaal.

H ini sangat kontras dengan struktur terpusat yang
Hal
dip
pakai oleh banyak donor. Pengambilan keputusan diambil
di JJakarta, jauh dari hiruk-pikuk di Aceh-Nias, sedangkan
pekkerjaan rekonstruksi pascabencana ini hanyalah satu dari
bannyak “proyek pembangunan” dalam agenda mereka. Jauh
darri suasana darurat yang sehari-hari dijumpai di Aceh dan
Niaas, kurangnya insentif untuk bekerja keras dan cepat seperti
dituntut oleh pekerjaan jenis rekonstruksi pascabencana,
ditu
pejabat-pejabat ini tidak memiliki perasaan mendesak seperti yang dirasakan oleh
mereka yang di lapangan. Proses pengambilan keputusan tetap saja melalui saringan
administrasi dan teknis yang ketat yang sering menghambat pelaksanaan. Akhirnya,
kantor mereka di Indonesia sering kurang memiliki wewenang atau kepercayaan diri
untuk mengambil keputusan, bahkan keputusan yang sebenarnya bisa diambil di
lapangan sekalipun, dan harus menunggu instruksi dari kantor pusat mereka. Sering
kali, proyek yang akan dikerjakan, dan juga waktu untuk menyusunnya menjadi sia-sia
apabila kantor pusat mereka tidak sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan
yang disampaikan oleh kantor mereka di Indonesia, walaupun kantor pusat mereka
belum tentu tahu tentang apa yang terjadi di lapangan dan karena itu melihatnya dengan

Saat mengelola sebuah rekonstruksi pascabencana, penting bagi pemerintah dan juga donor untuk mengadopsi
struktur yang kondusif terhadap rasa urgensi yang tinggi ini. Sebuah struktur baru mungkin adalah jalan yang
terbaik. Budaya organisasional pemerintah dan donor besar umumnya telah terbentuk untuk menghadapi tantangan
pembangunan yang dapat ditebak dan umum dengan jangka waktu yang lebih panjang. Tingkat kecepatan
pengambilan keputusan umumnya lambat dan tingkat energi jarang sekali tinggi. Struktur organisasional juga
dirancang untuk memfokuskan perhatian ahli pada masalah-masalah teknis dan fungsional yang sempit, terkadang
dengan mengorbankan tujuan yang lebih besar. Membangun rasa urgensi yang tinggi dalam organisasi sebesar ini
dapat menjadi hal yang sangat sulit dilakukan (Kotter, 1996).
Pendirian BRR sebagai badan pemerintah ad hoc yang lepas mandiri dari badan kementerian mana pun
menyediakan suatu stuktur otonomi persis yang diperlukan, tingkat energi dan rasa urgensi yang tinggi dapat
dipertahankan hingga detik terakhir. Struktur organisasi datar dengan suasana kerja yang lebih informal yang diadopsi
oleh BRR ini juga mendorong pertukaran informasi secara bebas. Para staf terhindar dari pengotak-ngotakan
organisasional dan sebaliknya bekerja sama dalam masalah-masalah yang saling terkait untuk mencapai tujuan
bersama.
Tingkat perputaran dan perpindahan karyawan yang tinggi dapat diperkirakan akan terjadi dalam lingkungan kerja
yang penuh tekanan dan serba cepat ini. Dan memang, sebuah badan dengan masa hidup terbatas seperti BRR tidak
dapat diharapkan untuk menghasilkan jalur karier yang stabil. BRR lebih mendekati sebuah organisasi sukarelawan
dibanding sebuah badan pemerintah. Setiap individu harus menyadari saatnya untuk berhenti bila kontribusi mereka
tidak lagi diperlukan atau stres berlebihan membuat mereka tidak lagi efektif bekerja.
Extended Mission in Sumatera, sebuah unit organisasi lincah yang terpisah dari struktur organisasi utama ADB
adalah contoh baik sebuah organisasi ad hoc yang efektif di pihak donor. Dengan kapasitas dan otoritas yang
mencukupi, badan ini dapat cepat merespons dan mengambil keputusan tegas akan berbagai permasalahan
perencanaan dan pelaksanaan subproyek ETESP tanpa terkendala struktur yang membatasi dalam organisasi bank
tersebut.

perspektif yang berbeda. Keperluan untuk menyampaikan informasi dari kantor mereka
di Indonesia ke kantor pusat juga menambah keterlambatan.
(iii) Pemakaian Rekening “Imprest”
Untuk mempercepat pembayaran, ADB membuat rekening “imprest” di Bank Indonesia
khusus untuk proyek mereka dengan plafon US$ 29 juta yang dikelola dan dimonitor oleh
BRR, serta didukung oleh sebuah kantor manajemen proyek. Departemen-departemen
terkait diberi akses pada subrekeningnya supaya mereka dapat menggunakan dana
tersebut untuk pelaksanaan subproyek. Rekening ini diisi kembali sebagai kompensasi
bila ada dana yang telah dipakai oleh penerima manfaat. Untuk transaksi di bawah US$
100 ribu, cukup diserahkan pernyataan pembelanjaan, atau statement-of-expenditure,
selama kondisi-kondisi yang diperlukan untuk prosedur itu terpenuhi.

Bagian 4. Membuahkan Hasil Nyata:
Hubungan antara Modalitas Penyaluran Dana dan Kinerja

Struktur Baru Mendukung Urgensi

69

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

70

Mengurangi Biaya
Transaksi Melalui
Kerja Sama
Biaya transaksi bukanlah satu-satunya faktor
yang dipertimbangkan dalam memutuskan apakah
berdiri sendiri atau bergabung dengan sebuah
trust fund, juga bukan faktor yang mungkin paling
penting. Namun begitu, ada gunanya mengamati
sebuah diskusi teori singkat.
Tapscott dan Williams (2006) mengajukan
sebuah cara baru untuk menginterpretasikan
teorema Coase terkenal yang pertama diajukan
oleh pemenang Nobel Ronald Coase: “Haruslah
ada sebuah keseimbangan antara biayabiaya transaksi yang harus dibayar sebuah
perusahaan dan kesempatan untuk melakukan
semuanya secara mandiri.” Hanya jika biaya
melakukan hal-hal secara mandiri lebih tinggi dari
melaksanakannya dalam kemitraan dengan yang
lainnya, akan lebih baik perusahaan tersebut untuk
bekerja sama.
Diaplikasikan pada mekanisme penyaluran dana
dalam konteks rekonstruksi pascabencana, kami
menyimpulkan aksioma berikut ini: “Selama biaya
transaksi dalam menjalankan hal secara mandiri
melebihi biaya melakukannya secara kerja sama
dalam dana yang dikumpulkan, posisi donor akan
lebih baik dengan bergabung.”
Aksioma ini terbukti dalam realita. Pemerintah
dan para donor mendapatkan manfaat atas
berkurangnya biaya transaksi saat sumbersumber bantuan pemerintah digabungkan,
seperti di bawah BRR, atau seperti yang terjadi
pada “one-stop-shop” terintegrasi Tim Terpadu.
Dalam kontras, seperti kasus beberapa donor
nontradisional di Aceh-seperti Kuwait dan Arab
Saudi yang memutuskan untuk tidak menyalurkan
dana mereka melalui jalur multilateral atau skema
pemberian bantuan multidonor-biaya transaksi
yang dihasilkan baik oleh para donor maupun BRR
(dengan menghabiskan waktu pengelolaan yang
sempit pada kunjungan bilateral, dll) sangat tinggi
relatif terhadap kontribusi yang mereka berikan.

Mekanisme ini sangat membantu mempercepat
pencairan dana bantuan ADB (ADB 2006). Karena
p
sebagian besar transaksi dilakukan dengan rekening
“iimprest”, pembayaran langsung hanya perlu diatur untuk
pembayaran kontrak yang benar-benar besar jumlahnya.
p

E
Efektivitas
Pelaku yang Memakai
Modalitas On-budget/Off Treasury
M
Kebaikan modalitas on-budget/off-treasuryy adalah bahwa
d
donor
mempunyai kemampuan sendiri untuk melaksanakan
pekerjaan. Ini meringankan beban dalam pelaksanaan dari
p
pemerintah mitra, yang sumber dayanya pada umumnya
p
teerbatas serta tersebar di sektor-sektor dan daerah-daerah
yyang tertimpa bencana. Kekurangan modalitas ini adalah
pemerintah mitra tidak bisa berbuat banyak dalam soal
p
aalokasi dana atau pekerjaan proyek. Lembaga-lembaga
donor biasanya datang dengan pemahaman sendiri tentang
d
jeenis proyek yang akan didanainya dan bagaimana proyek
inni harus dikerjakan.
Menonjolnya nama donor merupakan sebab utama
m
mengapa
modalitas ini disenangi oleh donor tertentu
dibanding pengaturan secara multilateral. Dengan sistem
d
bilateral dan off-treasury,
b
y hasil bantuan lebih tampak,
dapat dihitung dan langsung diketahui siapa donornya. Ini
d
bisa berguna untuk laporan ke pembayar pajak di negara
b
aasal mereka dan kepada pers. Sementara itu, dengan
memasukkan penyaluran bantuan dalam laporan anggaran
m
pemerintah, mereka menyelaraskan proyek-proyek mereka
p
dengan tujuan pemerintah mitra.
d
Sebab lain mengapa donor bilateral besar lebih
menyenangi modalitas ini dibanding dengan
m
mengumpulkan dana mereka ke dalam suatu dana
m
perwalian seperti MDF adalah karena penggabungan dana
p
seperti itu hampir tidak ada faedahnya bagi pendonor
raaksasa. Menggabungkan dana kedalam satu wadah
mengurangi biaya transaksi dalam bentuk informasi,
m
kkoordinasi, administrasi, dan berbagai biaya akses melalui
uusaha bersama dan pembagian beban secara merata di
aantara para pemberi donor. Dengan menggabungkan
sumber daya yang ada, para donor bisa menghasilkan

Bagian 4. Membuahkan Hasil Nyata:
Hubungan antara Modalitas Penyaluran Dana dan Kinerja

71

dampak lebih besar yang tidak mungkin dilakukan oleh para pendonor kecil bila
kontribusinya lebih tersebar. Tapi manfaat ini tidak menarik bagi pendonor besar yang
mampu menyiapkan, mengevaluasi, menyetujui, dan mengerjakan proyeknya sendiri
dalam skala yang amat besar. Bagi pendonor jenis ini, bergabung ke dalam dana
perwalian tidak mengurangi ongkos transaksi tetapi bahkan dapat menambahnya karena
adanya usaha tambahan yang terkait dengan kolaborasi.

Kinerja
Pemerintah Jerman dan Jepang adalah dua di antara pendonor lain yang memilih
modalitas ini.
(i) Pemerintah Jerman
Biasanya, bantuan bilateral dari Jerman dilaksanakan melalui proyek dan program
bantuan. Untuk rekonstruksi Aceh dan Nias, Jerman memberi bantuan khusus sebesar
€ 170 juta, dari jumlah tersebut € 35 juta diberikan melalui German Agency for
Technical Cooperation (GTZ) dan € 135 juta sisanya diberikan melalui German Bank for
Reconstruction and Development (KfW).
Proyek-proyek yang dilaksanakan termasuk rekonstruksi dan perbaikan pelayanan
kesehatan di Aceh, rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah kejuruan, sekolah menengah

Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) dibangun KfW di Banda
Aceh, 22 Agustus 2008.
Foto: BRR/Arif Ariadi

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

72

Menghilangkan Kebingungan
Para Donor
Kepala BRR, Kuntoro Mangkusubroto, mengatakan dalam
sebuah wawancara bahwa para donor sebelumnya sering
bingung harus berbicara dengan siapa jika ingin terlibat dalam
rekonstruksi pascatsunami. "Sepertinya ada kebingungan
di antara pihak-pihak yang ingin turut terlibat dalam usaha
rekonstruksi mengenai badan pemerintah mana yang harus
mereka hubungi."
"Selalu ada pertanyaan tentang bagaimana caranya turut
mengambil bagian dalam proses rekonstruksi. Contohnya,
pertanyaan yang kami terima dari pemerintah Jerman. Mereka
bingung karena mereka terbiasa menghubungi kementerian di
Jakarta sebelum datang ke Banda Aceh."
Sebagai tanggapan, Mangkusubroto mengatakan bahwa
ia meminta pemerintah Jerman untuk datang langsung
kepadanya atau badan yang dipimpinnya, BRR. "Jika
menyangkut koordinasi, kewenangan atas semua aktivitas
rekonstruksi di Aceh dan Nias, saya selalu mendorong badanbadan internasional atau LSM untuk pergi langsung ke Banda
Aceh. Tidak perlu lagi ke Jakarta."
Menurut Mangkusubroto, satu-satunya badan yang
kelihatannya masih bingung adalah JICA dari Jepang.
"Kelihatannya mereka tidak mendapat informasi yang cukup
menyangkut BRR. Saya harap bahwa begitu mereka mengerti
bahwa BRR adalah satu-satunya badan yang telah diberikan
kewenangan oleh pemerintah atas pembangunan kembali
Aceh dan Nias, mereka akan datang kepada kami untuk
mendiskusikan program mereka di Aceh dan Nias."
Sumber: The Jakarta Post, 11 Juni 2005

ke atas,
a perumahan dan tempat permukiman,
moodernisasi sekolah kejuruan, dukungan
unttuk pemerintah lokal, dan rekonstruksi dan
penngembangan sistem mikrofinansial.
(ii)

Pemerintah Jepang

B
Bantuan
bilateral Jepang ke program pemulihan
Aceeh-Nias sejumlah ¥ 14,6 miliar, yang dialokasikan
ke 15 proyek yang diatur oleh Japanese International
Coooperation System ((JICS) sebagai badan pelaksana
darri Japanese International Cooperation Agency
( CA).
(JIC
PProyek yang dilaksanakan termasuk bantuan
unttuk pusat-pusat pelatihan kejuruan, sekolah dan
uniiversitas, rehabilitasi kegiatan penangkapan ikan,
rekkonstruksi rumah yatim piatu, jalan, pasar, klinik
kessehatan, obat-obatan, serta pemulihan pengadaan
air bersih dan sistem sanitasi.
SSecara umum, proyek-proyek bantuan bilateral
darri Jerman dan Jepang berjalan baik, mendekati
pennyelesaian pada akhir 2008. Tentu saja ada
beb
berapa hambatan seperti bisa diprediksi
unttuk bantuan sebesar itu. Kesalahpahaman
tenntang peranan BRR pada bulan-bulan pertama
meengganggu koordinasi; ketidakpastian mengenai
proosedur pembebasan bea masuk menunda
penngeluaran peralatan sekolah dari Jerman senilai
Rp 32 juta,22 sedangkan masalah pembebasan tanah
meengancam dibatalkannya proyek rehabilitasi pasar
setempat yang dibiayai oleh Jepang.23 Namun,
terllepas dari kesulitan-kesulitan kecil tersebut,
pelaksanaan pada umumnya berjalan lancar.

Efe
Efektivitas
Pelaku yang Memakai
Modalitas Off-Budget/Off- Treasury
Menjamurnya Lembaga-lembaga Bantuan
Keuntungan memakai modalitas off-budgett ialah pelaksanaannya yang cepat, sebab
badan bantuan tidak harusmengikuti siklus anggaran nasional yang lama dan ketat.
Namun, karena secara hukum lembaga-lembaga bantuan tidak bertanggung jawab
kepada pemerintah Indonesia, sulit untuk memonitor dan mengevaluasi sumbangan-

Bagian 4. Membuahkan Hasil Nyata:
Hubungan antara Modalitas Penyaluran Dana dan Kinerja

73

sumbangan mereka. Dalam kasus Aceh dan Nias, lebih sulit lagi karena ada 992 LSM,
badan-badan PBB dan donor bilateral yang memakai off-budget,t umumnya mempunyai
sumber dana sendiri. Karenanya mereka tidak terdorong untuk berkerja sama sehingga
kemungkinan besar sumber daya akan berlebih dan mubazir serta kegiatan akan
tumpang-tindih.
Untungnya, meskipun banyak sekali pelaku yang terlibat, sebagian besar dana bantuan
terkonsentrasi hanya pada beberapa LSM dan donor besar, sehingga koordinasi lebih
mudah daripada yang dibayangkan. Ada 15 pelaku utama mencakup 80 persen dari
seluruh dana rekonstruksi. Penyumbang off-budgett terbesar termasuk USAID, badanbadan PBB, dan Palang Merah Internasional.

Badan-badan Koordinasi
Seperti dikatakan pada bagian sebelumnya, dalam mengoordinasi kegiatan off-budget,t
BRR memakai dua jenis rapat untuk keharmonisan kegiatan dan menyelaraskan proyek
untuk kepentingan rakyat Aceh dan Nias:
(a) Forum Koordinasi untuk Aceh dan Nias (CFAN)
CFAN adalah forum koodinasi tingkat tinggi untuk berkoordinasi, dengan menyertakan
semua mitra pemulihan, baik pemerintah maupun LSM, untuk membicarakan kemajuan

Menteri Keuangan Sri Mulyani
berbicara di depan para peserta
CFAN 3. Jakarta, 24 April 2007.
Foto: BRR/Arif Ariadi

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

Pertemuan CFAN
Pertemuan CFAN terpusat kepada pencarian solusi masalah-masalah besar yang dihadapi selama masa kerja.
CFAN 1 (Oktober 2005). Membahas kendala serta tantangan. Pendirian Tim Terpadu, sebuah tim antarbadan
yang menyatukan berbagai jasa pemerintah dalam satu tempat, merupakan buah hasil yang penting dari pertemuan
pertama ini.
CFAN 2 (Mei 2006). Berfokuskan kepada lokalisasi dan pendirian Sekretaris Bersama.
CFAN 3 (April 2007). Diselenggarakan saat pertengahan mandat BRR, pertemuan ini berfokuskan kepada isu
tematik dan persiapan laporan tengah masa yang terkonsolidasi.
CFAN 4 (Februari 2009). Pertemuan terakhir, CFAN perayaan yang meliputi pengakuan hasil prestasi, konsolidasi
atas pelajaran yang didapatkan, dan masukan bagi kelanjutan koordinasi pasca-BRR.

74

kolektif dan tantangan-tantangan serta untuk menyediakan wadah yang kritis untuk
berbagi informasi dan menciptakan strategi untuk terus maju.
(b) Lokakarya Persetujuan Catatan Konsep Proyek (PCN Workshop).
Untuk koordinasi kegiatan LSM yang lebih baik, BRR mengharuskan pembuatan catatan
konsep proyek (PCN) oleh pengusul proyek. Proyek-proyek LSM tidak bisa bekerja tanpa
terlebih dulu mendapat persetujuan BRR. Lokakarya Persetujuan PCN adalah rapat tingkat
operasional yang diadakan untuk membicarakan dan menetapkan kelayakan proyek
yang diusulkan. Kriteria yang dipakai untuk mengevaluasi proyek termasuk penyelerasan
dengan masterplan dan pandangan sektoral, keikutsertaan masyarakat setempat dan
kelangsungan proyek.
Pada tahap awal pemulihan, lokakarya diadakan seminggu sekali, kemudian setiap
tiga minggu. Akhirnya, ketika jumlah proyek menurun selewat pertengahan 2008, rapat
diadakan sekali sebulan. Rata-rata 40 sampai 50 proyek dapat ditinjau pada setiap
lokakarya. Sebanyak 44 lokakarya yang diadakan BRR, sekitar 1.700 proyek yang ditinjau,
1.540 di antaranya disetujui.

Kinerja
Kinerja proyek yang menyalurkan dana dengan cara off-budgett cukup berhasil. Dari
komitmen sebanyak Rp 3,38 triliun, Rp 2,67 triliun (79 persen) sudah dicairkan pada akhir
2008. Sebagian besar dari proyek yang belum selesai sudah berada pada tahap akhir,
dengan 106 (56 persen) dari 190 proyek akan selesai pada 2009.

Seperti pepatah Sichuan yang dipopulerkan oleh Deng Xiaoping, “Tidak soal apakah
kucingnya putih atau hitam. Selama dia dapat menangkap tikus, dia adalah kucing yang
baik.” Para donor boleh memilih mekanisme penyaluran dana yang berbeda-beda, tetapi
pada akhirnya mereka bertanggung jawab akan hasilnya. Alasan utama dalam memilih
satu di antara modalitas yang lain adalah efektivitas kinerjanya. Apa pun modalitas yang
dipilih, yang penting buat penyumbang dan penerimanya adalah hasil akhir.

Bagian 4. Membuahkan Hasil Nyata:
Hubungan antara Modalitas Penyaluran Dana dan Kinerja

Kesimpulan

75

Bagian 5. Meraih dan Mempertahankan Akuntabilitas

Meraih dan
Mempertahankan
Akuntabilitas

77

Membangun Kepercayaan
AWALNYA, BRR harus berjuang untuk membentuk kredibilitas dan kepercayaan.
Ketika proses rekonstruksi dan rehabilitasi bergerak maju dan lebih banyak tanggung
jawab datang menghampiri, akuntabilitas muncul sebagai faktor yang kian penting dalam
mempertahankan kredibilitas dan kepercayaan.
Tak seperti sebagian besar badan-badan pemerintah, BRR adalah badan yang dibuat
untuk bertindak cepat dalam kondisi darurat. Faktor penting bagi efektivitas BRR adalah
adanya kapasitas badan ini untuk mampu bersikap responsif, fleksibel, dan berorientasi
pada solusi.
Bab sebelumnya menyorot sejumlah terobosan yang memungkinkan BRR untuk
melakukan pekerjaan mereka dengan lancar. Kebijakan-kebijakan serta prosedurprosedur terobosan ini amat bermakna sepanjang ada akuntabilitas dari lembaga
ini untuk mematuhi peraturan-peraturan terkait yang memperbolehkan terobosan
tersebut. Akuntabilitas menjadi lebih efektif ketika organisasi memiliki tanggung jawab
terhadap operasional dan efektivitas program-program dan lembaga-lembaga di bawah
pengawasannya. Memperlihatkan akuntabilitas mensyaratkan pengumpulan informasi
mengenai pencapaian yang akurat dan dilaporkan secara terbuka.

Usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) di Aceh
kembali menggeliat dalam
waktu yang sangat singkat.
Tidak hanya mendapatkan
bantuan dana pendampingan,
UMKM tersebut juga
mendapatkan bantuan pelatihan
atau konsultasi pengelolaan
bisnis yang baik.
Foto: BRR/Arif Ariadi

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

78

Mandat yang diberikan kepada badan ini menguraikan bahwa BRR memiliki
akuntabilitas secara hukum untuk pelaporan finansial bagi penggunaan dana APBN
yang digunakan. Lembaga ini juga bertanggung jawab atas pencatatan dan koordinasi
atas hasil-hasil rekonstruksi yang diterapkan oleh organisasi lainnya baik internasional
maupun nasional. Kerangka kerja akuntabilitas BRR memerlukan rancangan khusus
guna mewujudkan kebutuhan para mitra yang beragam di dalam struktur peraturan
pembiayaan publik pemerintah RI kepada siapa BRR harus bertanggung jawab. BRR
harus menciptakan kerangka kerja yang mengandung modalitas yang layak dan pilihan
penyaluran dana untuk mempercepat pemberian asupan dan pemberian bantuan bagi
pihak-pihak penerima manfaat yang harus segera ditolong.
Sebagai tambahan, mandat sistem akuntabilitas yang diemban BRR menempatkannya
di jajaran lembaga kementerian, BRR juga ditempatkan serta melaksanakan sistem
akuntabilitas nonmandat yang dikembangkan dari sistem mandat. Sistem-sistem
akuntabilitas nonmandat memiliki bonus tambahan dalam memfasilitasi koordinasi kerja
BRR.
Setiap sistem akuntabilitas memiliki alat dan metode untuk penggunaannya. Bab ini
mendiskusikan sistem pelaporan dan alat yang digunakan BRR untuk memungkinkan
penggunaan akuntansi, hasil-hasil program rekonstruksi, dan pencapaian-pencapaian
yang jelas dan akurat.

Sebuah Catatan mengenai
Kepatuhan dan Efektivitas
Pandangan atas kepatuhan terhadap akuntabilitas berakar dari sejarah, teori, serta
praktik dari pemerintah RI. Pandangan mengenai akuntabilitas beranggapan bahwa
operasi yang benar adalah setiap langkah terdokumentasikan dengan baik dan dilakukan
menurut peraturan yang ada untuk memastikan dana digunakan secara benar dan untuk
menyediakan catatan yang lengkap dan akurat mengenai apa yang sudah dicapai.
Akuntabilitas finansial adalah bentuk kepatuhan terhadap akuntabilitas, karena
hal ini berkaitan dengan cara pemerintah menggunakan serta memperlakukan dana
mereka. Apakah dana sudah disalurkan secara jujur? Sudahkah pemerintah bertindak
sesuai dengan harapan? Sudahkah pemerintah memenuhi harapan dengan mematuhi
peraturan? Akuntabilitas finansial bisa diukur melalui kepatuhan terhadap peraturanperaturan.
Amatlah penting untuk dipahami, hingga hari ini, belum ada kerangka kerja yang
mengatur manajemen bencana nasional yang bisa akuntabel. BRR karenanya dimintai
akuntabilitasnya terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan di bawah kondisi normal,
kebalikan terhadap mandat yang diberikan pada mereka untuk bisa bereaksi secara cepat
dan fleksibel. Sebagai organisasi baru, BRR tidak memiliki prosedur sebelumnya yang

Bagian 5. Meraih dan Mempertahankan Akuntabilitas

sudah siap untuk dijalankan; prosedur-prosedur ini dibuat sepanjang bulan-bulan awal
operasi, di masa BRR berupaya mengarahkan tanggapan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat yang terkadang sejumlah peraturan yang diciptakan untuk situasi normal
dapat mengganjal. Dalam kondisi seperti ini, kepatuhan terhadap kerangka kerja hukum
ternyata justru berfungsi untuk membatasi efektivitas organisasi dan waktu untuk
merespons dengan cepat.
Akuntabilitas kinerja berkaitan dengan output, hasil kerja, dan outcome, hasil akhir,
yang diproduksi dari masukan. Apakah organisasi telah mencapai hasil yang diinginkan?
Apakah organisasi telah mampu mencapai target pencapaian yang jelas? Untuk
menciptakan akuntabilitas atas hasil kerja, kita harus membingkai harapan kita dalam arti
hasil-bukan peraturan, regulasi, atau proses. Dalam pengertian ini, akuntabilitas kinerja
bukanlah akuntabilitas dalam bentuk kepatuhan (Behn, 2001). Model yang lebih sesuai
dalam konteks rekonstruksi adalah akuntabilitas yang efektif. Efektivitas adalah alat ukur
terhadap tujuan pencapaian. Program yang efektif mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan jauh sebelumnya (Wolf and Hassel, 2001). Rencana Induk dan revisinya jelas
merinci harapan-harapan dari rekonstruksi, karenanya tanggung jawab pencapaian bisa
diukur dengan membandingkan hasil keluaran dibandingkan rincian harapan-harapan.
Cara ini adalah kebalikan dari mengukur proses yang digunakan untuk menciptakan hasil.

79

Tabel 5.1 Sistem Tanggung Jawab Mandat

Kerangka
Kerja Hukum

Tipe

Finansial

Presiden
Pengganti
UU (Perppu)
No.2/2005

Laporan
Laporan
Anggaran (terdiri
atas):
1.LRA
2. Neraca
3. Catatan
atas Laporan
Keuangan

Laporan Kinerja

Mekanisme Dana

On-budget/
on- treasury &
on-budget/
off- reasury

Semua mekanisme
dana (On-budget/
on-treasury;
on -budget/
off-treasury,& offbudget/off-treasury

Kinerja

LAKIP

On-budget/offtreasury

Indikator

• Tingkat
Penyaluran
• Status
Finansial

Sumber
Informasi

Diberikan
kepada

Laporan Satker
dan KPPN

• Presiden
melalui Depkeu
•Kewajiban audit
oleh BPK

Laporan Satker
KPPN dan RAN
Database

Presiden melalui
Depkeu

Satker dan KPPN

MenPAN

Outputs
(Indikator
Kinerja)

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

80

Akuntabilitas Mandat
Sistem-sistem akuntabilitas adalah cara untuk membuat lembaga-lembaga pemerintah
akuntabel terhadap pencapaian mereka atau melesetnya target pencapaian mereka, dan
untuk penggunaan atau penyalahgunaan dana. Sistem ini membatasi jangkauan BRR
bisa menyimpang dari tanggung jawab mereka sebagaimana yang sudah ditetapkan
oleh Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang No. 2/2005. Dengan beragam
jenis modalitas dan jalur penyaluran dana yang tersedia bagi donor, BRR akuntabel
atas penggunaan dana on-budgett APBN juga terhadap kontribusi dana bilateral
dan multilateral, dan atas pencatatan hasil dana off-budgett yang dikelola oleh LSM.
Akuntabilitas mandat BRR terdiri atas dua komponen: finansial dan kinerja.

Akuntabilitas Finansial
Lingkup mandat BRR termasuk manajemen atas mekanisme dana bukan saja kegiatan
rekonstruksi terpusat yang didanai pemerintah RI, melainkan juga dana yang dicairkan
dan diterapkan oleh LSM internasional, dalam negeri, dan donor. BRR bertanggung jawab
secara hukum atas pelaporan finansial dari penggunaan dana on-budget. Bagi proyekproyek off-budget,t BRR mengandalkan pada mekanisme para mitra untuk melaporkan
keberhasilan finansial mereka.
Bagian ini mengulas laporan pembiayaan proyek-proyek on-budgett yang berada di
bawah tanggung jawab mandat BRR.
(a) Peran Satker di dalam Proses Pertanggungjawaban
BRR melaporkan ribuan proyek yang diterapkan dengan menggunakan dana
pemerintah Indonesia dengan cara menelusuri pencairan dana proyek. Hal ini dilakukan
melalui satuan kerja atau Satker. Satker bertanggung jawab dalam menerapkan dan
melaksanakan proyek-proyek BRR di tingkat kabupaten dan berada di garis depan dalam
melihat pencairan dana.
Sepanjang masa kerja BRR ada lebih dari 900 Satker di seluruh NAD dan Nias. BRR
membuat sistem dan prosedur pelaporan finansial yang ketat bagi pelaksanaan proyek.
Satker di lokasi melaporkan langsung kepada Deputi Keuangan dan Perencanaan. Semua
Satker harus dimintai akuntabilitasnya atas pekerjaan mereka. Sistem akuntabilitas
langsung ini memungkinkan BRR untuk mengawasi penggunaan dana tanpa melewati
administrasi yang berlapis-lapis. Hal ini menciptakan sistem akuntabilitas yang jauh lebih
sederhana.
BRR memonitor sistem ini untuk memastikan agar lembaga itu melaksanakan tugas
sesuai dengan mandat yang diberikan. Setiap Satker melapor secara berkala setiap bulan
kepada Direktorat Akuntansi di bawah Deputi Keuangan dan Perencanaan yang secara
bergiliran memeriksa pengeluaran lalu mengonsolidasikan laporan kepada semua Satker.
BRR melengkapi laporan finansial bulanan yang sudah dikonsolidasikan. Rekonsiliasi
dilakukan dengan Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara-Khusus (KPPN-K) untuk

KETUA SATKER

PPK

PEJABAT SPM

BENDAHARA

Berwenang
g unttukk

Berwenang
g unttukk

Berw
Be
rwen
enan
ang
g un
untu
tukk

t

t

t

t

Menandatanga
d
nii
kontra
kon
trakk atas
tra
atas na
nama
ma
pemeri
pem
erinta
ntahh
Member
Mem
berika
ber
ikann otor
ika
otor
torisa
isasi
isa
si
pengel
pen
geluar
gel
uaran
uar
an
ang
ggar
g an
pemeri
pem
erinta
ntahh

Memproses setiap
i
pembay
pem
bayara
bay
arann
ara
atass otor
ata
otorisa
isasi
si
PPK dan
dan sesu
sesu
esuai
ai
alokas
alo
kasii angg
kas
angg
nggara
arann
ara
p eri
pem
erinta
ntahh

Memili
iliki
ki kewenangan
untuk
unt
uk men
mengel
gelola
gel
ola
danaa oper
dan
operasi
asiona
onall d
dari
ari
Satker
Sat
ker

memungkinkan penghitungan waktu dan perbedaan pencatatan. Laporan disesuaikan
menurut peraturan dan diberikan kepada seluruh partisipan; untuk memastikan
integritas. Setelah laporan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan-laporan
ini lalu dibuka untuk memperoleh masukan publik.

Gambar 5.2 Jalur Pelaporan Finansial Organisasi BRR

Kepala Bapel BRR

Deputi Keuangan

Deputi
Sektoral

Deputi
Sektoral

Regional
I

Deputi Operasi

Deputi
Sektoral

Regional
II

SATKER SATKER SATKER SATKER

Regional
III

Deputi
Sektoral

Regional
IV

Deputi
Sektoral

Regional
V

Deputi
Sektoral

Regional
VI

Deputi
Sektoral

Bagian 5. Meraih dan Mempertahankan Akuntabilitas

Gambar 5.1 Struktur Finansial Satker

81

KEUANGAN: Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif

82

Akuntansi untuk
Pembayaran Tender
Satker, menggunakan technical assistance di
mana perlu, mengulas keputusan panitia lelang dan
menandatangani kontrak dengan pemenang lelang.
BRR membangun dan menerapkan proses verifikasi
pembayaran:
Pembayaran pertama biasanya dilakukan pada
saat penandatanganan kontrak dan dikeluarkannya
surat perintah kerja (SPK). Di Aceh kontrak ini diulas
oleh KPPN–K.
Pembayaran wajib ditinjau oleh Satker untuk
melihat kemajuan fisik tentang hasil kerja
kontraktor, kemudian surat verifikasi dikeluarkan
setelah membuktikan kemajuan hasil kerja,
yang lalu menjadi dasar bagi kontraktor untuk
mengeluarkan faktur (invoice).

Menurut peraturan finansial publik, Satker harus mematuhi
peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Proses
p
innternal, struktur, dan akuntabilitas sebuah Satker diatur
ooleh Peraturan Menteri No.66/2005. Meskipun begitu, dalam
kkonteks penerapan BRR, terdapat sejumlah perbedaan bila
dibandingkan dengan Satker-Satker biasa.
d
Menurut perubahan yang signifikan tentang peraturan
p
pengadaan
barang dan jasa publik Indonesia, Satker-Satker
BBRR diizinkan untuk menunjuk petugas nonsipil untuk menjadi
kkomite penawaran.24 Tanggung jawab fidusia terletak pada
kkepala Satker yang akan melapor secara bergilir kepada
Direktur Keuangan BRR. Pengadaan dilakukan oleh komite
D
penawaran independen yang ditunjuk oleh Satker. Komite
p
penawaran ditugaskan untuk mengadakan penyediaan
p
makanan dan jasa sesuai dengan hukum pemerintah RI
m
mengenai pengadaan.25 Kotak Akuntansi untuk Pembayaran
m
TTender menjelaskan sistem akuntabilitas untuk pembayaran
penawaran.
p

KPPN-K saat menerima faktur merujuk kepada
database kontraktor, mengulas otorisasi dan
verifikasi serta memeriksa apakah masih ada dana
yang tersedia guna mengakomodasi pembayaran.

Perbedaan lain adalah, pelaku atau pekerja rekonstruksi
S
Satker-Satker
harus dikontrak hanya selama satu tahun,
dan para pekerja itu sering berasal dari beragam lembaga
d
pemerintah dan departemen. Tiap kepala Satker dikontrak
p
uuntuk menghasilkan hasil kerja yang spesifik dalam satu masa
periode fiskal. Kontrak harus diperbarui atau diselesaikan
p
di akhir setiap periode fiskal, sementara imbalan diberikan
d
berdasarkan pencapaian target. Menjelang selesa