Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiya
Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien
Syamsuddin pada 17 Juli 2005 akhirnya memutuskan bahwa tidak ada satu
perempuan pun dalam susunan kepengurusan periode 2005-2010. Keputusan ini sama
sekali tidak mengejutkan dan hanya menjadi potret mini dari apa yang terjadi dalam
Muktamar Muhammadiyah ke-45 di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), 38 Juli 2005. Selama berlangsungnya Muktamar, resistensi warga Muhammadiyah,
baik di tingkat pusat maupun daerah, terhadap perempuan memang terasa cukup kuat.
Menurut catatan seorang peserta dari Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dari 35 PDM
(Pimpinan Daerah Muhammadiyah), hanya 8 PDM saja yang mengikutsertakan
perempuan dalam Muktamar di Malang itu. Padahal, organisasi Islam modernis ini
sudah mewajibkan kepada masing-masing PDM untuk mengikutsertakan satu orang
perempuan sebagai peserta Muktamar. Bagi Hisyam, kondisi ini merupakan cermin
keengganan kaum bapak di Muhammadiyah untuk duduk setara dengan perempuan.
Penentangan warga Muhammadiyah terhadap gender equality terlihat lebih nyata
ketika dalam pemilihan 39 calon Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 20052010, tak ada satu pun nama perempuan yang terpilih. Siti Chamamah Suratno,
mantan Ketua Umum Aisyiyah (organisasi ibu-ibu Muhammadiyah) yang sekarang
kembali terpilih untuk memimpin organisasi tersebut, nyaris masuk 39 besar. Ia
menempati urutan ke-40 dan hanya berselisih satu suara dari Prof Syafri Sairin dari
Yogayakarta yang menempati urutan ke-39. Terpentalnya nama Chamamah ini,
mungkin, merupakan konsekuensi logis dari minimnya utusan perempuan dalam
Muktamar.
Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam
Muktamar. Misalnya, tidak ada atau tidak bersedianya perempuan yang hendak diutus
untuk berpartisipasi dalam Muktamar. Namun yang paling menarik bagi saya
bukanlah jumlah perempuan yang hadir atau ada dan tidak adanya perempuan yang
menjadi perwakilan dari PDM dalam Muktamar, tapi sikap dan keputusan yang
diambil oleh orang-orang Muhammadiyah terhadap kaum hawa ini.
Pada tanwir-tanwir (forum tertinggi kedua) Muhammadiyah semasa kepemimpinan
Ahmad Syafii Maarif, 2000-2005, peluang perempuan untuk duduk menjadi salah
satu pimpinan Muhammadiyah dibuka lebar-lebar. Bahkan, mereka mendapat kuota
khusus jika ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk dalam daftar 13
pimpinan eksekutif organisasi terbesar kedua di Indonesia ini. Sayangnya, dalam
sidang di Komisi C (AD/ART Muhammadiyah), gagasan untuk memasukkan
perempuan menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah periode mendatang
mendapat penolakan sangat keras dari para peserta sidang. Bahkan dalam sidang
pleno ada peserta yang berteriak, “Jika perempuan sekarang ini diberi kuota untuk
masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang memilih, maka nantinya mereka akan
meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam Muktamar ini, keputusan
tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara dengan lakilaki dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.
Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar. Seusai
sidang Komisi, Amin Abdullah, mantan ketua Muhammadiyah yang juga rektor UIN
(Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, menyebutkan bahwa keputusan-keputusan
Muhammadiyah pada tahun 1960-1970-an sudah memberi kesempatan kepada
perempuan untuk menduduki jabatan ketua. Amin melanjutkan bahwa dirinya bahkan
sudah menunjukkan buku hasil Muktamar tahun-tahun lampau itu kepada orang-orang
yang menentang perempuan menjadi ketua. Namun tetap saja pandangan mereka tak
berubah.
Tidak adanya perempuan dalam pimpinan Muhammadiyah adalah satu kasus. Kasus
lain yang lebih menyedihkan adalah sikap-sikap para peserta terhadap orang-orang
perempuan yang mencoba menyampaikan pendapat-pendapatnya. Teriakan “huuu,”
teror kata-kata atau ungkapan tidak sopan seringkali muncul ketika seorang
perempuan mencoba menyampaikan pandangannnya dalam beberapa sidang pleno.
Memang, banyak diduga bahwa orang-orang yang tidak santun itu adalah para
penyusup yang sengaja hadir untuk mengacau dan menciptakan citra buruk bagi
Muhammadiyah. Namun dugaan ini agak sulit dibuktikan karena keanggotaan
organisasi ini sangat lentur. Orang bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari dua
organisasi kemasyarakatan, menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus aktivis
organisasi garis keras.
Akar-akar Ketimpangan Gender
Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhammadiyah (PM)
dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) --juga antara Pemuda Anshor dan Fatayat NU, adalah
bagian dari segregasi laki-laki dan perempuan yang mengokohkan dominasi laki-laki
atas perempuan. Pembedaan organisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya
keyakinan bahwa tugas laki-laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada
dalam sektor domestik dan pendidikan, sementara laki-laki memiliki kawasan yang
lebih luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu dari akar-akar tempat berpijak dan
tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender inequality, bahwa wilayah
laki-laki dan perempuan tidaklah sama dalam segala hal dan karena itu harus
dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan kerja,
pendidikan, jabatan dan sebagainya.
Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua
organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya mengurus laki-laki dan perempuan
tidak hanya mengurus perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak
dipertahankan, paling tidak landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan
dengan kesadaran kesetaraan gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi
laki-laki untuk masuk dalam organisasi perempuan dan sebaliknya, perempuan masuk
dalam organisasi laki-laki.
Bagi kelompok konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai sister
organization dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan
penolakan mereka terhadap pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan
Muhammadiyah. Mereka berargumen bahwa jika perempuan ingin menjadi pimpinan
Muhammadiyah, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah
membubarkan dulu organisasi Aisyiah-nya, baru setelah itu bersama-sama
berkompetisi dalam perebutan kepemimpinan.
Kekalahan Kubu Liberal
Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari sekian
tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi modernis
ini. Kekalahan ini akan semakin komplit jika nanti Muhammadiyah betul-betul
mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka harapan
perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan Muhammadiyah
akan sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi. Seperti banyak
terjadi dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih sering menjadi korban
daripada mendapatkan manfaat dari gerakan ini.
Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan
suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomana Muktamar ini benarbenar menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya.
Selain masalah perempuan, Muktamar kali ini juga melahirkan keputusan-keputasan
yang berseberangan dengan gagasan-gagasan liberalisme.
Komisi A (Umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majlis Tarjih yang
ketika dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan kata-kata “dan Pengembangan
Pemikiran Islam” pun kini digugat. Tambahan 4 (empat) kata tersebut dituntut untuk
dibuang. Selanjutnya, Majlis ini dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majlis
Tarjih” saja. Seirama dengan itu, Komisi D juga memunculkan gejala-gejala
pemangkasan terhadap gagasan-gagasan liberalisme. Salah satu peserta di Komisi ini
menginginkan agar PP Muhammadiyah membubarkan Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM), atau paling tidak menghilangkan huruf M (Muhammadiyah)
dari namanya.
Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagai negara bagi kaum
konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi orangorang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C. Ricklefs
(profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang seabad ini,
Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini para pengamat dan
peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di negeri ini,
apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang menyejukkan
atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib Muhammadiyah periode
2005-2010. Namun setidaknya fenomena Muktamar ke-45 bisa digunakan sebagai
langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah. Wallahu a’lam.
-oo0oo-
*Ahmad Najib Burhani,
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), aktivis Pemuda
Muhammadiyah
Oleh Ahmad Najib Burhani*
Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dien
Syamsuddin pada 17 Juli 2005 akhirnya memutuskan bahwa tidak ada satu
perempuan pun dalam susunan kepengurusan periode 2005-2010. Keputusan ini sama
sekali tidak mengejutkan dan hanya menjadi potret mini dari apa yang terjadi dalam
Muktamar Muhammadiyah ke-45 di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), 38 Juli 2005. Selama berlangsungnya Muktamar, resistensi warga Muhammadiyah,
baik di tingkat pusat maupun daerah, terhadap perempuan memang terasa cukup kuat.
Menurut catatan seorang peserta dari Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dari 35 PDM
(Pimpinan Daerah Muhammadiyah), hanya 8 PDM saja yang mengikutsertakan
perempuan dalam Muktamar di Malang itu. Padahal, organisasi Islam modernis ini
sudah mewajibkan kepada masing-masing PDM untuk mengikutsertakan satu orang
perempuan sebagai peserta Muktamar. Bagi Hisyam, kondisi ini merupakan cermin
keengganan kaum bapak di Muhammadiyah untuk duduk setara dengan perempuan.
Penentangan warga Muhammadiyah terhadap gender equality terlihat lebih nyata
ketika dalam pemilihan 39 calon Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 20052010, tak ada satu pun nama perempuan yang terpilih. Siti Chamamah Suratno,
mantan Ketua Umum Aisyiyah (organisasi ibu-ibu Muhammadiyah) yang sekarang
kembali terpilih untuk memimpin organisasi tersebut, nyaris masuk 39 besar. Ia
menempati urutan ke-40 dan hanya berselisih satu suara dari Prof Syafri Sairin dari
Yogayakarta yang menempati urutan ke-39. Terpentalnya nama Chamamah ini,
mungkin, merupakan konsekuensi logis dari minimnya utusan perempuan dalam
Muktamar.
Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam
Muktamar. Misalnya, tidak ada atau tidak bersedianya perempuan yang hendak diutus
untuk berpartisipasi dalam Muktamar. Namun yang paling menarik bagi saya
bukanlah jumlah perempuan yang hadir atau ada dan tidak adanya perempuan yang
menjadi perwakilan dari PDM dalam Muktamar, tapi sikap dan keputusan yang
diambil oleh orang-orang Muhammadiyah terhadap kaum hawa ini.
Pada tanwir-tanwir (forum tertinggi kedua) Muhammadiyah semasa kepemimpinan
Ahmad Syafii Maarif, 2000-2005, peluang perempuan untuk duduk menjadi salah
satu pimpinan Muhammadiyah dibuka lebar-lebar. Bahkan, mereka mendapat kuota
khusus jika ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk dalam daftar 13
pimpinan eksekutif organisasi terbesar kedua di Indonesia ini. Sayangnya, dalam
sidang di Komisi C (AD/ART Muhammadiyah), gagasan untuk memasukkan
perempuan menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah periode mendatang
mendapat penolakan sangat keras dari para peserta sidang. Bahkan dalam sidang
pleno ada peserta yang berteriak, “Jika perempuan sekarang ini diberi kuota untuk
masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang memilih, maka nantinya mereka akan
meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam Muktamar ini, keputusan
tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara dengan lakilaki dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.
Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar. Seusai
sidang Komisi, Amin Abdullah, mantan ketua Muhammadiyah yang juga rektor UIN
(Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, menyebutkan bahwa keputusan-keputusan
Muhammadiyah pada tahun 1960-1970-an sudah memberi kesempatan kepada
perempuan untuk menduduki jabatan ketua. Amin melanjutkan bahwa dirinya bahkan
sudah menunjukkan buku hasil Muktamar tahun-tahun lampau itu kepada orang-orang
yang menentang perempuan menjadi ketua. Namun tetap saja pandangan mereka tak
berubah.
Tidak adanya perempuan dalam pimpinan Muhammadiyah adalah satu kasus. Kasus
lain yang lebih menyedihkan adalah sikap-sikap para peserta terhadap orang-orang
perempuan yang mencoba menyampaikan pendapat-pendapatnya. Teriakan “huuu,”
teror kata-kata atau ungkapan tidak sopan seringkali muncul ketika seorang
perempuan mencoba menyampaikan pandangannnya dalam beberapa sidang pleno.
Memang, banyak diduga bahwa orang-orang yang tidak santun itu adalah para
penyusup yang sengaja hadir untuk mengacau dan menciptakan citra buruk bagi
Muhammadiyah. Namun dugaan ini agak sulit dibuktikan karena keanggotaan
organisasi ini sangat lentur. Orang bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari dua
organisasi kemasyarakatan, menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus aktivis
organisasi garis keras.
Akar-akar Ketimpangan Gender
Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhammadiyah (PM)
dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) --juga antara Pemuda Anshor dan Fatayat NU, adalah
bagian dari segregasi laki-laki dan perempuan yang mengokohkan dominasi laki-laki
atas perempuan. Pembedaan organisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya
keyakinan bahwa tugas laki-laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada
dalam sektor domestik dan pendidikan, sementara laki-laki memiliki kawasan yang
lebih luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu dari akar-akar tempat berpijak dan
tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender inequality, bahwa wilayah
laki-laki dan perempuan tidaklah sama dalam segala hal dan karena itu harus
dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan kerja,
pendidikan, jabatan dan sebagainya.
Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua
organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya mengurus laki-laki dan perempuan
tidak hanya mengurus perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak
dipertahankan, paling tidak landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan
dengan kesadaran kesetaraan gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi
laki-laki untuk masuk dalam organisasi perempuan dan sebaliknya, perempuan masuk
dalam organisasi laki-laki.
Bagi kelompok konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai sister
organization dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan
penolakan mereka terhadap pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan
Muhammadiyah. Mereka berargumen bahwa jika perempuan ingin menjadi pimpinan
Muhammadiyah, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah
membubarkan dulu organisasi Aisyiah-nya, baru setelah itu bersama-sama
berkompetisi dalam perebutan kepemimpinan.
Kekalahan Kubu Liberal
Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari sekian
tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi modernis
ini. Kekalahan ini akan semakin komplit jika nanti Muhammadiyah betul-betul
mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka harapan
perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan Muhammadiyah
akan sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi. Seperti banyak
terjadi dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih sering menjadi korban
daripada mendapatkan manfaat dari gerakan ini.
Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan
suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomana Muktamar ini benarbenar menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya.
Selain masalah perempuan, Muktamar kali ini juga melahirkan keputusan-keputasan
yang berseberangan dengan gagasan-gagasan liberalisme.
Komisi A (Umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majlis Tarjih yang
ketika dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan kata-kata “dan Pengembangan
Pemikiran Islam” pun kini digugat. Tambahan 4 (empat) kata tersebut dituntut untuk
dibuang. Selanjutnya, Majlis ini dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majlis
Tarjih” saja. Seirama dengan itu, Komisi D juga memunculkan gejala-gejala
pemangkasan terhadap gagasan-gagasan liberalisme. Salah satu peserta di Komisi ini
menginginkan agar PP Muhammadiyah membubarkan Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM), atau paling tidak menghilangkan huruf M (Muhammadiyah)
dari namanya.
Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagai negara bagi kaum
konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi orangorang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C. Ricklefs
(profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang seabad ini,
Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini para pengamat dan
peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di negeri ini,
apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang menyejukkan
atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib Muhammadiyah periode
2005-2010. Namun setidaknya fenomena Muktamar ke-45 bisa digunakan sebagai
langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah. Wallahu a’lam.
-oo0oo-
*Ahmad Najib Burhani,
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), aktivis Pemuda
Muhammadiyah