T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Partisipasi Warga Dusun Cuntel Kecamatan Getasan dalam Menjaga Kelestarian Hutan di Gunung Merbabu T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 41 tahun
1999 Tentang Kehutanan). Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam hutan terluas di
dunia setelah Brazil dan Kongo. Luas hutan ketiga negara tersebut yaitu untuk Brazil
mencapai 1.800.000 Mil Persegi, Kongo 683.000 Mil Persegi dan untuk Indonesia sendiri
mencapai 490.000 Mil Persegi.
Hutan dalam hukum kehutanan Indonesia dalam Pasal 6 ayat (2) Undang – Undang
Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi
pokok yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Dalam Pasal 1 angka 7 yaitu
hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan. Pasal 1 angka 8 hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Dan Pasal
1 angka 9 Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.


Indonesia berupaya menjaga luas hutan dengan menetapkan kawasan hutan. Kawasan
hutan (bentuknya bukan namanya) pertama kali dierkenalkan pada masa kolonial ketika
sebagian besar wilayah Jawa dan sebagian kecil wilayah Sumatera ditata batas dan ditetapkan
sebagai Kawasan Hutan. Upaya pertama – tama dilakukan oleh jawatan kehutanan pada awal
abad ke-19 dengan tujuan mengontrol tanah, pohon – pohon dan tenaga kerja hutan.
Peraturan perundang – undangan masa itu berusaha untuk memperluas kontrol atas kawasan
hutan ini, bahwa hampir seperempat wilayah Jawa ditetapkan sebagai kawasan hutan dan
hampir seluruhnya berada di bawah kontrol BUMN kehutanan Perum Perhutani. Istilah
kawasan hutan pertama kali digunakan sebagai terminologi hukum pada Undang – Undang
Nomor 5 tahun 1967 dan menjadi satu – kesatuan pembatas yuridis Departemen Kehutanan
seperti tertuang dalam Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999.

1

Dalam

penetapan kawasan hutan oleh pemerintah sering menimbulkan konfik. Konflik terjadi karena
masyarakat merasa dibatasi untuk menguasai hutan yang berada di wilayah mereka. Sebagai
contoh, misalnya masyarakat dilereng Gunung Ungaran sebelum ada penetapan kawasan

hutan oleh pemerintah masyarakat dengan bebas melakukan aktifitas penebangan pohon.
Setelah itu dengan adanya penetapan kawasan hutan oleh pemerintah, masyarakat tidak bisa
lagi melakukan aktifitas penebangan pohon karena sudah terdapat batasan – batasan kawasan
hutan. Karena mereka merasa terbatasi untuk melakukan kegiatan seperti menebang kayu
ataupun kegiatan yang lain. Masyarakat tidak memperdulikan lagi apa yang terjadi terhadap
hutan, bahkan partisipasi masyarakat mulai berkurang bahkan hilang. Dengan contoh terjadi
kebakaran hutan, masyarakat tidak berpartisipasi terhadap bencana tersebut. Hal tersebut
terjadi setelah pemerintah menetapkan kawasan hutan termasuk untuk kawasan Taman
Nasional. Dalam wilayah Gunung Merbabu juga terdapat Taman Nasional. Dalam Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 135/Menhut-II/2004, kawasan Taman Nasional Gunung

1

Suwito, Kawasan Hutan dan Perencanaan Hutan, Warta Tenure, Mei 2006, hlm. 2.

Merbabu ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 135/Menhut-II/2004
tanggal 4 Mei 2004 tentang perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan taman wisata alam
pada kelompok hutan Merbabu seluas 5.725 hektare. Kawasan ini dinilai penting sebagai
sumber mata air bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Selain itu, kawasan hutan
Gunung Merbabu juga merupakan habitat flora dan fauna yang dilindungi dan dilestarikan.

Sistem pengelolaan taman nasional yang diterapkan diharapkan mampu untuk melestarikan
dan mengembangkan kawasan konservasi ini sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sebelumnya, kawasan hutan ini merupakan wilayah hutan lindung Gunung
Merbabu yang dikelola oleh Perum Perhutani dan Taman Wisata Alam (TWA) Tuk Songo
yang merupakan salah satu kawasan konservasi di bawah pengelolaan Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah. Terhitung sejak tanggal 30 Desember 2005,
pengelolaan taman nasional diserahkan kepada BKSDA Jawa Tengah, sementara menunggu
ditetapkannya pengelola Taman Nasional yang lebih pasti (definitif). Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Balai Taman Nasional Gunung Merbabu baru dibentuk pada bulan Juni 2006,
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P29/Menhut-II/2006 tentang organisasi dan
tata kerja Balai Taman Nasional yang baru.2 Sebagaimana umumnya kawasan hutan di Jawa,
Taman Nasional Gunung Merbabu tidak luput dari berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh
aktivitas ilegal masyarakat di sekitarnya. Beberapa yang terekam di antaranya kegiatankegiatan penambangan pasir dan batu tak berizin, pencurian kayu, dan pembukaan tutupan
hutan untuk bertani sayur-sayuran.3 Tetapi masyarakat diwilayah Gunung Merbabu
khususnya Desa Cuntel tetap memiliki respon positif terhadap penetapan kawasan hutan oleh
pemerintah. Masyarakat tersebut tetap berpartisipasi terhadap hutan diwilayah Gunung
Merbabu.

2
3


Balai TN Gunung Merbabu: Sejarah Taman Nasional Gunung Merbabu.
Harian Kompas: Marak, Tambang Pasir di Gunung Merbabu (21 Mei 2008).

Dalam penjelasan Pasal 24 Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang
Kehutanan, dijelaskan bahwa Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi
alam.
Kawasan taman nasional ditata ke dalam zona sebagai berikut:
a. Zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak
diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.
b. Zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai
penyangga zona inti.
c. Zona pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat
rekreasi dan kunjungan wisata.
Pada Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, dijelaskan pada
Pasal 1 angka 3 bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Mengapa pemerintah menetapkan kawasan hutan, menurut penulis yaitu supaya masyarakat

tidak semena – mena mengambil hasil hutan atau menebang pohon secara liar. Hal tersebut
dapat mengakibatkan hutan menjadi rusak.
Sebagaimana telah diuraikan, bahwa kerusakan kawasan hutan disebabkan oleh
beberapa faktor. Salah satu faktor yaitu persoalan perubahan (alih) kawasan hutan. Perubahan
kawasan hutan dapat berupa perubahan peruntukan yaitu dalam bentuk tukar – menukar
kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan yaitu
mengubah fungsi kawasan hutan untuk kepentingan di luar bidang kehutanan, seperti untuk

perkebunan, pemukiman transmigrasi, industri, perumahan, perkantoran dan fingsi lainnya.
Selain itu ada bentuk perubahan lainnya yaitu penggunaan kawasan hutan yang dikenal
dengan istilah izin pinjam pakai kawasan hutan.4 Berdasarkan hasil kajian yang mendalam
dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) tahun 2016, bahwa areal
Perhutanan Sosial yang potensial diperkirakan melebihi target areal kawasan hutan yang
mengalokasikan areal kawasan hutan seluas 12,7 juta ha, yaitu seluas lebih dari 13,5 juta ha.
Potensi areal tersebut adalah di Hutan Produksi (± 5.998.858 ha), di Hutan Lindung (±
3.167.235ha), dan di lahan gambut (± 2.244.851 ha) yang berfungsi untuk pemanfaatan jasa
lingkungan dan hasil hutan bukan kayu, yang terakhir adalah area Izin Hutan Tanaman
Industri (HTI) terkait kewajiban kemitraan 20% seluas ± 2.134.286ha. Hutan merupakan
bagian integral dan tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Hubungan interaksi antara masyarakat desa hutan dengan lingkungan alam sekitarnya telah

berlangsung selama berabad – abad lamanya secara lintas generasi dalam bingkai
keseimbangan kosmos. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di setiap
masyarakat desa hutan mempunyai ciri khas tersendiri sesuai dengan karakteristik budaya
masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Sumber daya hutan dimaknai sebagai
sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi, religius, politik, sosial dan budaya. Oleh
karena itu, kelangsungan hidup dari masyarakat dan hutan sangat tergantung dari
ketersediaan sumber daya hutan yang ada di sekitar lingkungannya.

5

Hutan mempunyai

kedudukan dan peranan penting yang dalam menunjang pembangunan nasional. Hal ini
disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar – besarnya kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat Indonesia.6 Rakyat Indonesia dapat memanfaatkan hutan untuk memenuhi kehidupan

Iskandar, Huku Kehuta a Pri sip Huku Pelestaria Fu gsi Li gku ga Hidup Dala Kebijaka
Pengelolaan Kawasan Huta Berkela juta , (CV Mandar Maju, Bandung), h. 7.
5
Nugraha, Agung dan Murtijo. Antropologi Kehutanan, (Banten: Wana Aksara 2005), h.11

6
Salim, H.S, Dasar – Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika Cet 1, 1997), h. 1.

4

sehari – hari, misalnya kayu yang dapat mereka gunakan sebagai bahan bakar atau bisa
mereka jual untuk menambah pemasukan untuk kebutuhan mereka.
Selain manfaat tersebut juga terdapat manfaat hutan yang dibedakan menjadi dua
macam yaitu manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah
menghasilkan kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, serta hasil hutan ikutan antara lain
rotan, getah, buah – buahan, madu dan lain – lain, sedangkan manfaat hutan secara tidak
langsung terdapat delapan manfaat antara lain mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi,
memberikan manfaat terhadap kesehatan, memberikan manfaat dalam bidang pertanahan
keamanan, menampung tenaga kerja dan menambah devisa negara. Dalam asas – asas hukum
kehutanan terdapat asas manfaat, asas ini mengandung makna bahwa pemanfaatansumber
daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar – besarnya untuk kemakmuran
rakyat banyak.7
Hutan yang berada diwilayah gunung juga sangat bermanfaat bagi warga yang berada
di kaki gunung. Mereka memanfaatkan hutan tersebut untuk kebutuhan mereka. Air yang
mereka gunakan bersumber dari mata air yang ada di gunung tersebut. Maka dari itu hutan

yang berada di wilayah gunung harus mereka jaga kelestariannya guna memperoleh manfaat
secara maksimal.
Gunung Merbabu merupakan ekosistem alami dan salah satu bagian dari ekosistem
pulau Jawa yang masih tersisa. Gunung Merbabu mempunyai peranan penting dalam
penyedian jasa – jasa lingkungan bagi masyarakat di Jawa Tengah terutama di wilayah
Kabupaten Magelang di lereng sebelah barat, Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur dan
selatan dan Kabupaten Semarang di lereng sebelah utara. Gunung Merbabu juga merupakan
kawasan yang secara ekonomi penting bagi peningkatan pendapatan daerah. Kelestarian
manfaat ekonomi tersebut sangat tergantung pada kelestarian ekosistem Gunung Merbabu.
7

Ibid h. 1 dan 8.

Dalam pengelolaan kawasan konservasi seringkali menglami kendala – kendala, baik internal
maupun eksternal, seperti gangguan dari pencurian kayu, perburuan liar, dan lain-lain.
Masyarakat lokal (masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Merbabu) maupun
komunitas pecinta alam khususnya yang ada di Salatiga berperan penting dalam pelestarian
ekosistem Gunung Merbabu. Dengan seiring berjalannya waktu, banyak orang – orang yang
menyalahgunakan hutan di wilayah gunung, seperti penebangan pohon secara liar. Secara
hukum alam, kegiatan tersebut sangat merugikan warga yang berada di wilayah gunung.

Karena dengan penebangan pohon secara liar, dapat menimbulkan kebakaran ataupun tanah
longsor. Hal tersebut dapat membahayakan warga di sekitar gunung. Disinilah peran warga
sekitar gunung untuk menjaga kelestarian hutan di wilayah gunung. Pertambahan penduduk
menyebabkan tekanan ekonomi terhadap sumber daya hutan semakin meningkat, baik secara
kualitas maupun kuantitasnya. Untuk melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan hutan
dilakukan secara berkelanjutan. Masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung
Merbabu sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani atau tani dan memelihara ternak.
Mereka beraktifitas di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu untuk mengambil rumput
sebagai sumber pakan ternak dan kayu bakar untuk memasak. Pemanfaatan tersebut semakin
meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akibat rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat dan peningkatan jumlah penduduk.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi
kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua kawasan hutan dapat dimanfaatkan
dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan
mengubah fungsi pokoknya, tanpa dilakukan kajian yang mendalam dan komperehensif.8
Untuk mewujudkan keseimbangan dalam pemanfaatan hutan, maka dibutuhkan suatu sistem
hukum kehutanan sebagai instrument perlindungan dan pengelolaan kawasan hutan yang

8


Iskandar, Op.Cit., h. 2.

jelas, tegas dan menyeluruh, guna menjamin kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum
sebagai landasan bagi upaya mencegah laju percepatan kerusakan kawasan hutan, sekaligus
sebagai instrument untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat
Indonesia.9
Disinilah peran masyarakat dibutuhkan agar kerusakan pada hutan dapat teratasi,
kelestariannya tetap terjaga dan masyarakatpun bisa menikmati manfaat dari pada hutan
tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan di kawasan Gunung
Merbabu?
2. Faktor apakah yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan di
kawasan Gunung Merbabu?

C. TUJUAN PENELITIAN
Agar penelitian dari penulis menjadi jelas terhadap sasaran yang menjadi penelitian,
maka dari latar belakang dan rumusan masalah diatas dapat disebutkan bahwa tujuan dalam
penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan di
kawasan Gunung Merbabu.
2. Untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi masyarakat terhadap pengelolaan
hutan di kawasan Gunung merbabu.
9

Agus P. Silaen, Pelestarian Fungsi Hutan dan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Hukum Lingkungan, Majalah
Ilmiah Visi, Universitas HKBP Nomenssen Medan, Vol. 16 (3) 2008, hlm. 575 – 594.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang menyongkong
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kehutanan. Selain itu dapat menjadi
pedoman untuk peneliti yang lain dalam mengkaji dan menganalisis di bidang kehutanan
khususnya pada materi partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan.
2. Manfaat Praktis
Dalam penelitian yang dikaji oleh penulis berharap bahwa hasil dari penelitian ini dapat
menjadi pedoman untuk masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan selain itu
pemerintah dapat meningkatkan kualitas untuk mengatasi kerusakan – kerusakan hutan
yang disebabkan oleh manusia.

E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu :
1.

Pendekatan yang Digunakan
Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
pendekatan Sosio Legal, yakni analisis yang berusaha memberikan gambaran
secara menyeluruh, sistematis dan mendalam tentang suatu keadaan atau gejala
penelitian.10
Penelitian ini hanya bertujuan untuk menggambarkan tentang partisipasi
masyarakat Desa Cuntel dalam rangka menjaga kelestarian hutan di Gunung
Merbabu.

2. Jenis Penelitian
10

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.10.

Spesifisikasi penelitian menggunakan deskripsi-analitis, yaitu penelitian
yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif. Penelitian
deskriptif adalah untuk memberi suatu uraian yang deskriptif mengenai suatu
objek. Tujuan utama dari penelitian deskriptif ialah melukiskan realitas sosial
yang kompleks sedemikian rupa, sehingga relevansi sosiologis antropologis
tercapai.11
3.

Teknik Pengumpulan Data
a.

Studi Kepustakaan
Terhadap data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi
kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji
Peraturan Pemerintah dan mengkajinya beserta pedoman buku-buku
lainnya yang menunjang penelitian.

b.

Wawancara
Wawancara

dimaksud

untuk

memperoleh

keterangan,

pendirian,

pendapat, secara lisan dari seseorang (yang lazim disebut dengan
responden) dengan berbicara langsung (face to face) dengan orang

tersebut.12 Wawancara ini ditujukan kepada Balai Taman Nasional
Gunung Merbabu dan masyarakat Desa Cuntel. Responden terhadap
wawancara di Balai Taman Nasional Gunung Merbabu yaitu Ibu Kristina
Dewi, Koordinator Pemanfaatan Humas dan Kerja Sama Balai Taman
Nasional Gunung Merbabu sedangkan wawancara di Dusun Cuntel
responden wawancara adalah Bapak Piyono, Bapak Panjul, Bapak
Marsudi, Bapak Sumarno selaku Kepala Dusun di Dusun Cuntel.
11

Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Edisi 11. Jakarta: UI Press. 2010, hlm.41.
Suyanto dan Sutinah, Metode penelitian sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan , Penerbit Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 55-56 dan 69.

12