LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA Kecepaa

LAPORAN PRAKTIKUM
FARMASI FISIKA
PERCOBAAN 8 :KECEPATAN DISOLUSI

Disusun oleh,
Kelompok 5
Ashry Nurrachmah

31113007

Ina Lisnawati

31113021

Irfan Maulana

31113023

Novia Hergiani

31113035


Tia Sulistiani

31113049

PROGRAM STUDI S1 FARMASI
STIKes BAKTI TUNAS HUSADA
TASIKMALAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obat adalah suatu zat yang dimaksud untuk manusia untuk mengurangi rasa
sakit, menghambat, atau mencegah penyakit yang menyerangnya. Obat yang
diberikan pada pasien tersebut harus melalui banyak proses di dalam tubuh. Dan
bahan obat yang diberikan tersebut, dengan cara apapun juga harus memiliki daya
larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya.
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan
padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena

ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke
dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Dalam Bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau
kelarutan sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang
paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang farmasi),
dan lebih jauh lagi, dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian (Astuti dkk.,
2008).
Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U. S.
Pharmacopeia dan National Formulary, definisi kelarutan obat adalah jumlah ml
pelarut dimana akan larut 1 gram zat terlarut (Martin dan Swarbrick, 1990). Sediaan
obat yang diberikan secara oral di dalam saluran cerna harus mengalami proses
pelepasan dari sediaannya kemudian zat aktif akan melarut dan selanjutnya
diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari sediaannya dan proses pelarutannya sangat
dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasi sediaannya.
Salah satu sifat zat aktif yang penting untuk diperhatikan adalah kelarutan karena
pada umumnya zat baru diabsorpsi setelah terlarut dalam cairan saluraan cerna. Oleh
karena itu salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan
adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya (Astuti, dkk., 2007).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat antara

lain adalah : suhu, viskositas, pH, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisme dan
sifat permukaan zat (Astuti, dkk., 2007).
Dengan semakin meningginya suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu
zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.

Turunnya viskositas suatu pelarut, juga akan memperbesar kelarutan suatu zat. pH
sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat
yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam
sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.
Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin
meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat. Polimorfisme dan sifat
permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme
seperti struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat
tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya
larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak
dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak
menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang
ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih
banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi

obat atau kompleksasi.
Dalam bidang farmasi, laju disolusi sangat diperlukan karena menyangkut
tentang tentang waktu yang dibutuhkan untuk penglepasan obat dalam bentuk sediaan
dan diabsorbsi dalam tubuh. Jadi, semakin cepat disolusinya maka makin cepat pula
obat atau sediaan memberikan efek kepada tubuh.

B. Tujuan Percobaan
1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
2. Menggunakan alat penentu kecepatan disolusi suatu zat
3. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat.
C. Prinsip Percobaan
Penentuan konstanta kecepatan disolusi tablet parasetamol dan serbuk paracetamol
standar berdasarkan kadar zat yang terdisolusi dalam media HCl 0,1 N pada suhu
370C dengan menggunakan alat disolusi dimana pada menit ke 5, 10, 15, dan 30
dipipet larutan sampel dan ditentukan kadarnya absorbansinya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan

padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke
dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke
dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji
disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep
(Martin,1993)
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan
pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari
apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut
dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi
(Ansel, 1989).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau jika
obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat
yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggunpannya menembeus
pembatas membrane. Tetapi, jika disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya
mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses
disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses
absorbsi (Ansel, 1989)
Penentuan kecepatan pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode:

(Effendi, 2005)
1.

Metode suspensi
Bubuk zatpadat ditambahkan pada pelarut tanpa pengontrolan yang eksak
terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu
tertentu dan jumlah zat yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai.

2. Metode permukaan konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga
variable perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya zat
dibuat tablet terlebih dahulu. Kemudian sampel ditentukan seperti pada
metode suspensi.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat,
koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t.
Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi.
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia
zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan
pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh

kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral
dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat
larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal
dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium
basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus
halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan
oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media
sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang
menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh
ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah: (Amir, 2007).
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk

sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri.
Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan
sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar
permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan (Shargel, 1988).
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat
aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui
sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang
konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk

membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan
pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat
aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin
cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul,
serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaansediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan
biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt,
1995).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna,

obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet
tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi
granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel
halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas
partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua langkah
berturut-turut: (Gennaro, 1990)
1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau
film disekitar partikel
2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.
Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi
lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat
pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan
jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan
larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul
obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane
biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan
larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari

permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut (Martin, 1993).

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika
obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat
yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus
menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat
lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang
diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju
dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi
pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau
dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian ora, karena
batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus
halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan
bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan tersedianya
obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu yang
diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya
partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel
tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya.
Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir

seluruh produk tablet (Martin, 1993).
Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh
dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat
fisika kimia dan fisiologis dari system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam
air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor
fisika kimia yang harus dipahami untuk mendesain system pemberian (Martin,
1993).
Obat-obat yang diberikan dalam bentuk larutan biasanya diabsorpsi lebih
cepat dibandingkan pemberian dalam bentuk padat, karena tidak membutuhkan
prose melarut (Ansel, 1989).
Disolusi dari suatu partikel obat dikontrol oleh beberapa sifat fisika-kimia,
termasuk bentuk kimia, kebiasaan kristal, ukuran partikel, kelarutan, luas
permukaan, dan sifat-sifat pembasahan. Bila data kelarutan kesetimbangan
dirangkaikan, maka eksperimen disolusi dapat membantu mengidentifikasi daerah
masalah bioavailabilitas potensial (Lachman, 1994).

Obat dapat diubah dalam system saluran cerna menjadi berbagai bentuk yang
menjadikannya kurang atau lebih lambat tersedia untuk diabsorpsi. Perubahan ini
mungkin disebabkan oleh penggabungan atau berikatannya obat-obat dengan
beberapa bahan lain yang mungkin berupa suatu unsure yang normal dari system
saluran cerna atau suatu bahan makanan atau bahan obat lain. (Ansel, 1989)
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat perlu
dilakukan karena kecepatan pelarutan suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa
tahap pembuatan sediaan obat yaitu : tahap preformulasi, tahap formulasi, dan tahap
produksi (Effendi, 2005).
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi adalah luas permukaan,
bentuk obat kristal dan amorf, bentuk garam, atau faktor lainnya yaitu keadaan
hidrasi dari suatu obat dapat mempengaruhi kelarutan dan pola absorpsi. Biasanya
bentuk anhidrat dari suatu molekul organic lebih mudah larut daripada anhidratnya
(Ansel, 1989).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang
penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah
masuk persyaratan wajib USPuntuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun
1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi
invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi
disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi
berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan : (Ansel, 1989).
a. Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam
model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila
dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
b.

Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat
disolusi dan absorbsinya sesuai.

c. Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu
untuk produk akhir.
d. Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk
sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah
ditetapkan.

e. Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan
manufaktur.
f. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi
zat aktif yang baru.
g. Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat
sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena
itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan
penggunaan sistem
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul
bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul
telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan
oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi,
profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi
atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel, 1989).
B. Uraian Bahan
1. Aqudes ( Farmakope Indonesia edisi III, 96)
Nama resmi

: Aqua Destilata

Nama lain

: Aquadest, air suling

RM

: H2O

Bobot jenis

: 0,997 g/ml (250C)

Pemerian

: Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidakmempunyai

rasa
Penyimpanan

: Dalam wadah terutup baik

Kegunaan

: Sebagai larutan uji, sebagai pelarut

2. Parasetamol
Nama resmi

: Acetaminophen

Sinonim

: Paracetamol

Rumus molekul : C8H9NO2
Berat molekul

: 151,16

Pemerian

: Berupa hablur atau serbuk hablur putih, rasa pahit, berbau,
serbuk kristal dengan sedikit rasa pahit.

Kelarutan

: Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95 %)P,
dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan
dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan
alkalihidroksida.

Farmakodinamik : Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau
mengurangi

nyeri

ringan

sampai

sedang.

Parasetamol

menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga
berdasarkan efek sentral. Efek anti inflamasinya sangat lemah.
Farmakokinetik : Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu
½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam.
3. Asam klorida (7:53)
Nama resmi

: ACIDUM CHLORIDUM

Nama lain

: Asam klorida

RM/BM

: HCl/36,46

Pemerian

: Cairan tidak berwarna, berasap, bau merangsang. Jika
diencerkan dengan 2 bagian air, asap dan bau hilang.

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat.

Kegunaan

: Sebagai pemberi suasana asam.

4. Erlamol tablet
Komposisi

: Parasetamol 500 mg

Indikasi

: nyeri otot dan gigi, demam.

Kontra Indikasi

: Hipersensitif

Dosis

: Dewasa : sehari 3 x 1-2 tab; anak 6-12 thn: sehari 3x ½ - 1

tab.
Kemasan 10 tablet; botol 1000 tablet

BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum kelarutan ini berlangsung pada hari Senin tanggal 4 Mei 2015 di
Laboratorium Farmakologi Farmasi STIKes BTH Tasikmlaya.

B. Alat Dan Bahan
a. Alat :

b. Bahan :

batang pengaduk

Labu takar 50 ml

Sendok Tanduk

Vial

Spektrofotometer

Alat Disolusi

Kuvet

Mikropipet

Gelas kimia 100 ml

Botol Semprot

Timbangan

Pipe Ukur

Parasetamol Tablet (Erlamol)
Parasetamol Standar
Aquadest
Larutan HC 0,1 N

C. Prosedur Percobaan

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Hasil Pengamatan
1. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Ppm

λ

6
242
8
242
10
242
12
242
14
242
Keterangan : Kurva Kalibrasi
A = 0,0537

B = 0,04755

A
0,370
0,402
0,525
0,625
0,734

r = 0,986954307

2. Kelompok 5 : Tablet Parasetamol (Erlamol)

Waktu

Abs

Pengenceran

Ppm

Ppm

5

0,665

50x

642,78

Kumulatif
642,78

10

0,649

50x

625,97

633,11

15

0,544

50x

515,562

529,6592

30

0,557

50x

529,232

549,057

Menghitung Ppm



a. C5 =

( y−a)
b

( y−a)
× 50
b
(0,544−0,0537)
=
× 50
0,04755
= 515,562 Ppm

c. C15 =
× 50

(0,665−0,0537)
0,04755
= 642,78 Ppm
=

× 50

( y−a)
× 50
b
(0,649−0,0537)
=
× 50
0,04755
= 625,97 Ppm

( y−a)
× 50
b
(0,557−0,0537)
=
× 50
0,04755
= 529,232 Ppm

b. C10 =



d. C30 =

Menghitung Ppm Kumulatif
a. C5

==

642,78

b. C10

= 625,97 +

10
900

(642,78)

= 633,11 Ppm
c. C15
d. C30

10
900
= 529,6592 Ppm
10
= 529,232 +
900
= 549,057 Ppm
= 515,562 +

(642,78 + 625,97)
(642,78 + 625,97 + 515,562)



Untuk Q30
Pada Farmakope Edisi IV halaman 650
Q30 = 80%
X > 500 mg
= > 400 mg
Jadi, 549,057 Ppm =

900
1000

× 549,057

= 494,1513 mg


Kesimpulan
Jadi tablet parasetamol (Erlamol) yang kami uji, memenuhi syarat parasetamol pada
Farmakope Edisi IV yaitu mengandung Paraceamol tidak kurang dari 90% dan tidak
lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket (FI IV:650) sehingga tablet
tersebut bisa dipasarkan.

3. Kelompok 6 : Serbuk Parasetamol
Waktu

Abs

Pengencera

Ppm

Ppm Kumulatif

n
5

0,748

50x

730,0735

730,0735

10

0,770

50x

753,20715

760,507885

15

0,375

50x

675,709

690,54180

30



0,797

50x

Menghitung Ppm

a. C5 =

( y−a)
b

× 50

( y−a)
b

× 50

(0,375−0,0537)
0,04755
= 675,709 Ppm
=

(0,748−0,0537)
0,04755
= 730,0735 Ppm
b. C10 =

803,18789

c. C15 =

=

( y−a)
b

× 50

d. C30 =

× 50

( y−a)
b

(0,770−0,0537)
0,04755
= 753,20715 Ppm

(0,797−0,0537)
0,04755
= 781,598 Ppm

× 50

× 50

× 50

=

=



781,598

× 50

Menghitung Ppm Kumulatif
a. C5

==

b. C10

= 753,20715 +

c. C15
d. C30

730,0735
10
900

(642,78)

= 760,507885 Ppm
10
= 675,709 +
(730,0735 + 753,20715)
900
= 690,54180 Ppm
10
= 781,598 +
(730,0735+753,20715+675,709)
900
= 803,18789 Ppm



Ppm ke gram C30



Kesimpulan

=

900
× 803,18789
1000
= 722,866 mg

Jadi serbuk parasetamol yang di uji kelompok tidak memenuhi syarat penimbangan,
yaitu tidak boleh lebih dari 500 mg. Hasil yang diperoleh kelompok 6 serbuk
parasetamol adalah 722,866 mg.

4. Kurva

Kurva Kecepatan Disolusi Tablet Paracetamol (Erlamol)
700.000
600.000
500.000
Kurva Kecepatan
Disolusi Tablet
Paracetamol (Erlamol)

K
elaru
tan

400.000
300.000
200.000
100.000
0.000
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu

Kelarutan

Kurva Kecepatan Disolusi Serbuk Paracetamol
800.00000
780.00000
760.00000
740.00000
720.00000
700.00000
680.00000
660.00000
640.00000
620.00000
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu

Kurva Kecepatan
Disolusi Serbuk
Paracetamol

B. Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zatzat aktif dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak
dengan cairan tubuh.
Pada percobaan kali ini dilakukan uji laju disolusi terhadap tablet paracetamol.
Dan serbuk paracetamol. Tujuan dilakukannya uji laju disolusi yaitu untuk
mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu tablet ketika kontak dengan cairan tubuh,
sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan obat yang diberikan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat yaitu
temperatur, viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisa, dan sifat
permukaan zat.
Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu
tablet yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan
dipecah, mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri dari
zat-zat aktif dan zat-zat tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah menjadi
serbuk dan zat-zat aktifnya akan larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung di
mana tablet tersebut harus bekerja.
Agar suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menghasilkan efek
terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur yang baik dan laju
disolusi yang relatif cukup cepat. Dalam percobaan ini, dilakukan uji disolusi
terhadap tablet Erlamol.
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan
disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.
Uji disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat
dalam sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bioavailabilitas yang dapat menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu
produk obat. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya
karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya
larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak
dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak

menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang
ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih
banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi
obat atau kompleksasi.
Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu menjamin keseragaman satu batch,
menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan Uji disolusi
diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru. Obat yang telah memenuhi
persyaratan keseragaman bobot, kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan
kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi,
karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet.
Alat yang digunakan pada uji disolusi kali ini berbentuk dayung yang terletak
tepat di tengah-tengah media agar tidak terjadi turbulensi aliran. Tinggi dasar dayung
ke dasar media adalah 2,5 cm tujuannya untuk memperkecil kemungkinan tablet
melayang-layang antara dasar media dengan dasar dayung bergesekan dengan alat uji
(dayung).
Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah membuat kurva
baku dari zat paracetamol. Seperti sudah diketahui bahwa panjang gelombang
maksimum untuk paracetamol adalah 242 nm sehingga dilakukan pengukuran
absorbansi zat dengan berbagai variasi konsentrasi pada λ maksimum tersebut. Dalam
percobaan ini dibuat variasi konsentrasi zat sebesar 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm, 12 ppm,
dan 14 ppm. Serbuk paracetamol diambil sebanyak 100 mg lalu dilarutkan di dalam
air sebanyak 100 ml untuk memperoleh konsentrasi sebesar 100 ppm. Dari
konsentrasi sebesar 100 ppm tersebut kemudian dilakukan pengenceran hingga
diperoleh variasi konsentrasi yang diinginkan.
Setelah semua variasi konsentrasi selesai dibuat maka dilakukan pengukuran
serapan/absorbansi dengan spektroskopi sinar UV. Saat pengukuran sampel dengan
spektrofotometer ultraviolet, kuvet yang akan digunakan dikalibrasi terlebih dahulu.
Pertama, kuvet diisi dengan aquadest, lalu disesuaikan nilai absorbansinya hingga
menunjukkan angka nol. Tujuan melakukan kalibrasi adalah untuk menghindari
kesalahan perhitungan konsentrasi. Kuvet dibilas dengan larutan yang akan dihitung
konsentrasinya sebanyak tiga kali, sehingga kuvet hanya berisi larutan uji tanpa
pengotor. Adanya pengotor dapat menyamarkan perhitungan konsentrasi karena
pengotor

dapat

memberikan

absorbansi.

Sebelum

dimasukkan

ke

dalam

spektrofotometer ultraviolet, kuvet dibersihkan menggunakan kertas tissue bersih.

Jika tidak dibersihkan, mungkin pengotor yang berasal dari praktikan, seperti uap air
dapat menempel pada kuvet dan memberikan absorbansi, sehingga hasil akhir
absorbansi dapat keliru.
Pengukuran dilakukan pada λ maksimum supaya dihasilkan serapan yang
maksimum juga. Untuk melakukan pengukuran dengan metode spektrofotometri UV,
sampel dimasukkan ke dalam kuvet. Alat spektrofotometri yang digunakan memiliki
dua tempat kuvet (double beam). Kuvet pertama berfungsi untuk tempat blanko.
Kuvet kedua berfungsi untuk tempat sampel. Sampel kemudian diukur absorbansinya.
Pengukuran absorbansi hendaknya dimulai dari sampel yang konsentrasinya kecil
agar tidak mempengaruhi pengukuran konsentrasinya lainnya. Setiap akan mengganti
sampel dengan konsentrasi yang berbeda, kuvet hendaknya dibilas dengan larutan
sampel agar tidak ada sisa sampel yang sebelumnya yang dapat mempengaruhi nilai
dari absorbansi.
Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dengan berbagai variasi konsentrasi
senyawa baku, maka dari data yang ada dibuat persamaan regresi linearnya.
Persamaan regresi linear yang didapat dari hasil pengukuran adalah y = 0,04755x +
0,0537. Persamaan regresi linear yang didapat ini nantinya digunakan untuk mencari
konsentrasi

tablet

paracetamol

yang

telah

diukur

absorbansinya

dengan

spektrofotometer UV.
Pada uji disolusi ini diakukan pengujian terhadap kadar paracatemol serbuk
(standar) dengan tablet paracetamol. Adapun tablet paracetamol yang digunakan
adalah Erlamol. Pada etiket dicantumkan berat parasetamol sebanyak 500 mg
Tablet Paracetamol dan serbuk paracetamol kemudian diuji disolusi dengan
alat disolusi dengan menggunakan tipe dayung. Sebanyak 1 tablet erlamol 500 mg
dimasukkan ke dalam alat yang diisi larutan HCl 0,1 N sebanyak 900 ml, dan 500 mg
serbuk paracetamol dimasukkan ke dalam tabung yang lain diisi diisi larutan HCl 0,1
N sebanyak 900 ml . Alat dayung kemudian dijalankan dan rpm di set pada angka 50
rpm pada suhu 37oC, kemudian pada menit ke 5, 10, 15 dan 30 diambil cuplikan
sampel dengan alat penghisap sebanyak 10 ml. Cuplikan sampel dimasukkan ke
dalam botol vial untuk kemudian diukur absorbansinya. Pada cuplikan sampel mulai
menit ke 5 hingga ke 30 dilakukan pengenceran 50 kali karena cuplikan sampel yang
diukur memberikan serapan yang sangat besar hingga tidak terdeteksi pada alat
spektrofotometer UV. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 0,2

ml cuplikan sampel, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml lalu ditambahkan HCl 0,1
N hingga batas labu ukur.
Pada saat dilakukan pengukuran absorbansi cuplikan dengan spektrofotometer,
prosedur yang dilakukan sama dengan prosedur ketika melakukan pengukuran
terhadap larutan baku. Langkah pertama yaitu meng-nol kan blanko yaitu pelarut, dan
setelah itu melakukan pengukuran absorbansi sampel. Ketika akan mengganti sampel,
kuvet juga terlebih dahulu harus dibilas dengan larutan yang akan diuji untuk
meminimalisir kontaminasi dari zat-zat lain sebanyak tiga kali.
Kuvet yang digunakan dalam percobaan ini memiliki 2 macam sisi, yaitu yang
halus dan yang kasar. Bagian yang halus nantinya akan disinari oleh sinar UV
sehingga pada bagian tersebut tidak boleh tersentuh tangan. Alasan tidak boleh
tersentuh oleh tangan karena dikhawatirkan akan ada kotoran yang berasal dari tangan
(berupa keringat ataupun lemak lainnya) yang menempel pada kuvet yang nantinya
dapat mempengaruhi/mengganggu hasil dari pengukuran absorbansi karena
kontaminan yang ada akan ikut memberikan serapan.
Setelah semua cuplikan sampel diukur absorbansinya, maka hasil absorbansi
yang didapat diplotkan ke dalam persamaan regresi linier untuk dicari konsentrasi
pada masing-masing cuplikan. Hasil yang didapat adalah konsentrasi pada menit 5
sebesar 642,78 ppm ; pada menit 10 sebesar 625,97 ppm; pada menit 15
sebesar515,562 ppm ; pada menit 30 sebesar 529,232 ppm;
Kemudian dilakukan juga pengukuran kadar terhadap serbuk paracetamol.
Sama dengan perlakuan tablet, semua cuplikan sampel diukur absorbansinya, maka
hasil absorbansi yang didapat diplotkan ke dalam persamaan regresi linier untuk
dicari konsentrasi pada masing-masing cuplikan. Hasil yang didapat adalah
konsentrasi pada menit 5 sebesar 730,0735ppm ; pada menit 10 sebesar 753,20715
ppm; pada menit 15 sebesar 675,709 ppm ; pada menit 30 sebesar 781,598 ppm.
Konsentrasi yang didapat seharusnya menunjukkan peningkatan dari menit ke
menit karena semakin lama tablet akan hancur dan bercampur dengan aquades dan
meningkat konsentrasinya. Tetapi hasil yang didapat adalah naik turun. Hasil
konsentrasi yang diperoleh kemudian dibuat grafik disolusi paracetamol yaitu grafik
konsentrasi terhadap waktu.
Adapun penyebab kesalahan hasil yang didapat terjadi disebabkan karena
faktor pengikat dan disintegran. Dimana bahan pengikat dan disintegran
mempengaruhi kuat tidaknya ikatan partikel-partikel dalam tablet tersebut sehingga

mempengaruhi pula kemudahan cairan untuk masuk berpenetrasi ke dalam lapisan
difusi tablet menembus ikatan-ikatan dalam tablet tersebut. Dalam hal ini pemilihan
bahan pengikat dan disintegran dan bobot dari penggunaan bahan pengikat dan
disintegran sangat berpengaruh terhadap laju disolusi. Selain itu penyebab lain yang
mungkin adalah formulasi dari sediaan tablet yang kurang baik. Faktor formulasi yang
mempengaruhi laju disolusi diantaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan
eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan. Faktor lain yang menyebabkan hasil
percobaan tidak akurat adalah kecepatan pengadukan saat uji. Pengadukan
mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga
memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Semakin lama
kecepatan pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi. Pada percobaan ini
kecepatan pengadukannya rendah sehingga % disolusi yang dihasilkan pun rendah.
Selain itu Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang
diperoleh antara lain :


Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.



Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.



Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan
pipet volume.



Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.



Ketidaktepatan pembuatan larutan paracetamol standar



Pengenceran larutan sampel yang tidak akurat



Ketidaktepatan penimbangan



Kesalahan pembacaan pada penggunaan spektrofotometer



Faktor lingkungan

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang di lakukan maka dapat di tarik kesimpulan :
1. Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat
aktif dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi
kontak dengan cairan tubuh.
2. Agar suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menghasilkan efek

terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur yang baik dan
laju disolusi yang relatif cukup cepat
3. Tablet parasetamol (Erlamol) yang di uji, memenuhi syarat parasetamol pada
Farmakope Edisi IV yaitu mengandung Paraceamol tidak kurang dari 90% dan
tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket
4. Serbuk parasetamol yang di uji tidak memenuhi syarat penimbangan, yaitu lebih

dari 500 mg
5. Adapun ketidaksesuaian hasil praktikum ini dengan literatur, hal ini disebabkan
beberapa faktor kesalahan antara lain yaitu kesalahan dalam melakukan uji
disolusi, suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang teliti
B. Saran
Sebaiknya selama praktikum, praktikan harus menjaga kebersihan laboratorium.
Diharapkan untuk praktikum selanjutnya, lebih mengefektifkan waktu dengan
membagi

beberapa

praktikum

kepada

masing-masing

kelompok.

laboratorium agar segera dilengkapi untuk menunjang jalannya praktikum.

Alat-alat

DAFTAR PUSTAKA
Lachman, Leon. 1994.Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jilid III.Edisi III. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Ditjen POM . 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI,.
Roth, Hermann, J . 1988 . Analisis Farmasi . Yogyakarta : UGM-Press
Martin, Alfred . 1990 . Farmasi Fisika Edisi I . Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Jones, D. 2008. FASTtrack: Pharmaceutics – Dosage Form and Design. London:
Pharmaceutical Press.
Langley, C. 2008. FASTtrack: Pharmaceutical Compounding and Dispensing. London:
Pharmaceutical Press.
Perrie, Y. 2010. FASTtrack: Pharmaceutics - Drug Delivery and Targeting. London:
Pharmaceutical Press.
Basri, S.2003. “Kamus Lengkap Kimia”. Jakarta: Rineka Cipta.
Bird, T. 1994. Kimia Fisik untuk Universitas”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama..
Daintith, J.1994.” Kamus Lengkap Kimia”. Edisi Baru. Alih Bahasa : Suminar
Achmadi, Ph.D. Jakarta : Erlangga..
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta : Gaya Baru.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti

Sjamsiah, Apt. Surabaya :

Airlangga University Press..
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada Press. .
Gennaro, A. R., et all., 1990, Remingto’s Pharmaceutical Sciensces, Edisi 18th, Marck
Publishing Company, Easton, Pensylvania