Dari Umat Menuju Ummah Melacak Akar Popu

AARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010
MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

Skenario Populisme Islam
di Indonesia
Pasca Aksi Bela Islam

Ahmad Najib Burhani | Wasisto Raharjo Jai | Zuly Qodir
M Salisul Khakim | Hamzah Fansuri | Geger Riyanto
Wahyudi Akmaliah | Hanapi, Tri Anggit Nugrahaeni, Arum Labik Ijabah

Pengelola

Penanggung Jawab

Ahmad Syafii Maarif
Jeffrie Geovanie
Rizal Sukma

Pemimpin Umum
Pemimpin Redaksi

Wakil Pemimpin Redaksi

Muhd. Abdullah Darraz
Ahmad Imam Mujadid Rais
Saefudin Zuhri

Redaktur Tamu

Airlangga Pribadi

Dewan Redaksi

Ahmad Najib Burhani
Ahmad–Norma Permata
Clara Juwono
Haedar Nashir
Hilman Latief
Luthfi Assyaukanie
M. Amin Abdullah


Sekretaris Redaksi

M. Supriadi

Redaktur Pelaksana

Khelmy K. Pribadi, Ahmad Imam Mujadid Rais
Pipit Aidul Fitriyana, Saefudin Zuhri

Design Layout

Harhar Muharam, Deni Murdiani

Keuangan

Henny Ridhowati

Sirkulasi

Awang Basri, Pripih Utomo


Alamat Redaksi

MAARIF Institute for Culture and Humanity
Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810
Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758
website : www.maarifinstitute.org
email : jurnal@maarifinstitute.org
mas.zuhry88@gmail.com
Donasi dapat disalurkan melalui rekening :
Yayasan A. Syafii Maarif
BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara)
0114179273

Terbit Perdana Juni 2003

Redaksi mengundang para cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktivis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa
hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute for Culture and Humanity.
Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar
ilmiah yang telah ditetapkan oleh redaksi dengan panjang tulisan minimal 4000 kata (10 halaman, 1 spasi,

A4) dengan batas makismal 6000 kata (15 halaman). Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa
mengurangi atau menghilangkan substansi. Jurnal MAARIF terbit 2 kali setahun (Juni dan Desember).

1

Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia

Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas
Menengah Muslim Indonesia
Wasisto Raharjo Jati

Abstrak
Istilah dan perspektif populisme masih baru dalam kajian sosial politik Indonesia
untuk menjelaskan adanya ideologi dan gerakan yang mengatasnamakan
sebagai rakyat. Populisme sendiri bisa dikatakan sebagai strategi politik
yang sifatnya informal dan inkonstitusional dalam upaya menjembatani
representasi dan artikulasi aspirasi dari akar rumput kepada pusat kekuasaan.
Narasi populisme dihadirkan dalam bentuk pertarungan antara elite dengan

publik yang sebenarnya itu adalah wujud pertarungan kelas antara governing
society dan non-governing society. Populisme Islam yang berkembang dalam kelas
menengah muslim ini juga berupaya membangun kesadaran sebagai “umat”
untuk kembali bangkit di ruang publik. Populisme Islam adalah bagian dari
cara mempopulerkan dan menubuhkan Islam sebagai prinsip, nilai, dan norma
baik secaa sosial maupun politik. Tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut
mengenai konteks populisme Islam di kalangan kelas menengah muslim
Indonesia hari ini.
Kata Kunci : Populisme, Kelas menengah muslim, Ummat, Ummah

22

Wasisto Raharjo Jati

Relasi Populisme dan Islam
Narasi populisme tengah menghangat dalam perbincangan politik kontemporer
baik dalam level global maupun nasional. Hal tersebut sebenarnya dipengaruhi
konstelasi politik yang mengatasnamakan “rakyat” sebagai alat elektabilitas
maupun juga alat popularitas demi kepentingan politis tertentu. Dengan kata
lain, kata “rakyat” menjadi bahasa imperatif yang secara psikis menggerakan

kolektivitas dan voluntarisme politik secara informal untuk merubah atau
mempengaruhi tatanan politik formal. Pemahaman popular mengenai
populisme yang berkembang saat ini adalah pemahaman yang menghadapkan
politik “rakyat banyak” dengan politik “elite” yang digambarkan sebagai tamak
dan jahat1. Istilah tersebut sebenarnya merujuk pada fenomena saat Pemilihan
Presiden Republik Indonesia di tahun 2014 maupun Pemlihan Gubernur
DKI di tahun 2017, yakni terdapat narasi besar yang mengerangkai preferensi
pemilih dan menggerakan massa secara massif dalam bentuk gerakan politik
tertentu. Namun demikian, pengertian populisme sendiri secara baku dan
definitif dalam kajian ilmu politik belumlah mencapai satu pengertian yang
pasti. Berdasarkan pada pengalaman praksis di berbagai negara, populisme
bisa merujuk pada penguatan rezim dan figur karismatik, pola kampanye,
mapun juga gerakan akar rumput. Ketiga premis itulah kerap menghiasi diskusi
populisme sendiri di ruang publik.
Pengertian populisme yang berangkat dari ketiga premis tersebut bisa
dikategorisasikan menjadi ketiga bentuk yakni populisme sebagai ideologi,
populisme sebagai komunikasi politik, mapun gaya politik2. Ketiganya memiliki
narasi dan substansi yang berbeda mengenai pemahaman populisme dari
segi sudut pandang ilmu politik. Populisme bisa diartikan sebagai konsep
lentur yang berfungsi menjelaskan adanya perjuangan kelas secara kolektif

melawan ketimpangan. Terkait dengan kemunculan populisme dalam islam
ini sebenarnya menarik untuk dikaji sebagai suatu kajian menarik. Populisme
terlebih lagi Islam merupakan agama dan ideologi besar yang senantiasa
memainkan peranan penting konstelasi politik Indonesia. Makna populisme
dalam Islam kemudian menjadi multi intepretatif untuk didiskusikan lebih
lanjut yang bisa dilihat dalam perspektif kanan, tengah, maupun kiri yang itu
disesuikan dengan kebutuhan mendesak dan riil masyarakat muslim Indonesia
hari ini. Mengemukanya kebutuhan umat Islam mulai dari isu khilafah,
aksi bela ulama, maupun juga kafir-non kafir mencerminkan adanya variasi
1

Vedi Hadiz, Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia, Depok, LP3ES, 2017, 38.

2

Dwayne Woods (Eds.), Many Faces of Populism : Current Perspecive, Bingley, Emerald, 2014,9.

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

23


Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia

perjuangan, representasi, dan rekognisi yang ingin disampaikan masyarakat
muslim Indonesia baik sebagai umat di level nasional maupun ummah di level
global. Tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut mengenai akar populisme
Islam terutama di kalangan kelas menengah muslim Indonesia.

Islam, Populisme, dan Kelas Menengah Muslim
Istilah “rakyat”, “publik, maupun “orang biasa” melekat penting dalam setiap
diskusi mengenai populisme. Ketiga kata tersebut sebenarnya digunakan
untuk menegasikan adanya praktik demokrasi yang selama ini berlangsung
secara formalistik, legalistik, maupun prosedural. Populisme sendiri dijalankan
secara informal, gerakan ekstra parlementer, dan juga irrasional sebagai
bentuk manifestasi anti tesis terhadap kemapanan. Ada semangat demokrasi
substansial yang diusung oleh populisme ini sebagai aksi kuratif dan korektif
terhadap demokrasi yang sebagian besar didominasi kekuatan oligarki. Hal
itulah yang menyebabkan populisme sendiri berkembang menjadi payung besar
atas berbagai macam ideologi besar yang melatarbelakangi gerakan masyarakat.

Dengan kata lain, sebenarnya membaca populisme perlu lebih teliti karena
istilah ini bisa dikaitkan dengan revolusi, jihad, maupun juga people power
yang itu menghadapkan rakyat melawan elite demi perubahan sosial. Dengan
kata lain, populisme bisa dianggap sebagai “cerminan demokrasi” (mirror of
democracy) yang melihat ada sisi “liyan” (the others) sebagai bentuk objek alienasi
dan diskriminasi3. Liyan ditempatkan sebagai bentuk identifikasi sosial suatu
individu dan kolektif yang selama ini berbeda dengan “kita” sebagai elite
(governing society) sebagai penguasa.
Populisme kemudian muncul dari relasi timpang antara publik (non-governing
society) dengan elite (governing society). Pada akhirnya, populisme berkembang
dalam berbagai bentuk ekspresi politis yang tergantung pada konteks dan
konten politik kontemporer yang melatar belakanginya. Seperti yang telah
diuraikan sebelumnya bahwa populisme berkembang dalam tiga ranah yakni
populisme sebagai ideologi, populisme sebagai komunikasi poliitk, maupun
juga populisme sebagai gaya politik4. Ketiganya memiliki narasi berbeda
dalam mengkerangkai adanya relasi timpang dan makna perubahan sosial
tersebut. 1) populisme sebagai ideologi politik sebenarnya melihat dimensi
“orang biasa” sebagai bentuk konstruksi sosial akan komunalitas yang perlu
diperjuangka. Konstruksi sosial tersebut sebenarnya ingin melihat “orang


24

3

Fransisco Panizza (Eds.), Populism and the Mirror of Democracy, London, Verso, 2005,4-5.

4

Woods, Op.Cit.

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

Wasisto Raharjo Jati

biasa” sebagai subjek daulat (people as sovereign entity), maupun sebagai kelas
(people as a social class)5. Kedua bentuk itu yang kemudian menentukan derajat
ideologi yang dibawakan oleh populisme sendiri sebagai gerakan politik tengah,
gerakan politik kanan, maupun gerakan kiri. Adanya diferensiasi makna dan
tujuan tersebut yang menjadikan populisme sebagai ideologi yang tipis karena
tergantung pada isu dan kepentingan yang dibawa. Selain kedua hal tersebut,

populisme sebagai ideologi tergantung pada seberapa kuat tekanan politis yang
dialamatkan publik kepada elite. Adapun pengertian 2) populisme sebagai
gaya politik (political style) lebih mengarahkan diri pada bentuk patronase yang
menjamin adanya hajat hidup masyarakat luas. Populisme sebagai gaya politik
ini sebenarnya mengarahkan pada bentuk pemenuhan kebutuhan material fisik
yang mengarah pada hak dasar. Populisme model seperti ini biasanya mengarah
pada bentuk rezim kesejahteraan (welfarism regime) bagi masyarakatnya.
Sedangkan makna 3) populisme sebagai komunikasi politik lebih diutamakan
dalam mengkonstruksikan adanya figure pemimpin kharismatik. Hal itulah
yang mengkonstruksi pemimpin populis adalah pemimpin rakyat. Dalam
hal ini, rakyat secara kolektif kemudian dikristalkan dalam suatu figur yang
menubuh. Kondisi tersebut diperkuat dengan jargon maupun semboyan politik
yang bersifat sosialis misalnya saja “penyambung lidah rakyat”,“pemimpin wong
cilik”, maupun juga “pelayan masyarakat”. Ketiga bentuk ekspresi tersebut
sebenarnya lebih mengarahkan pada bentuk asosiasi politis bahwa pemimpin
itu bekerja dan bertindak mengatasnamakan rakyat.
Populisme lekat dengan isu dan kepentingan rekognisi, representasi, advokasi,
maupun juga aspirasi akar rumput menuju elite. Hal itulah yang menjadikan
populisme dianggap sebagai “cerminan demokrasi” (mirror of democracy). Istilah
itu sebenarnya bisa bermakna karikatif maupun kuratif terhadap pelaksanaan
demokrasi kontemporer yang berlangsung selama ini. Dikatakan karikatif karena
demokrasi yang berlangsung secara legal formal justru membuat jarak antara
pemerintah dan rakyatnya. Dikatakan karikatif karena populisme membawa
nilai-nilai substantif demokrasi yang selama ini diabaikan dalam praktiknya.
Konteks populisme juga nantinya erat kaitan adanya revitalisasi publik sebagai
demos yang kemudian menciptakan adanya istilah representasi popular dengan
tujuan mengembalikan daulat rakyat. Istilah tersebut muncul di pengalaman
negara-negara berkembang (global south) yang telah mengalami transisi demokrasi
yang belum sempurna sehingga menciptakan adanya pembajakan demokrasi
dan oligarki baru6. Oleh karena itulah, populisme berkembang sebagai bentuk
5

Cas Mudde (Eds.), Populism: A Very Short Introducion, Oxford, Oxford University Press,2017.

6

Olle Tornquist (Eds.), Rethinking Popular Representaion, New York, Palgrave,2009,20.

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

25

Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia

ekspresi anti mapan maupun anti elitisme di kalangan masyarakat. Pelaku dan
praktik populisme kemudian berkembang dalam berbagai lini masa tergantung
pada relasi dan isu kontemporer. Populisme secara sederhana berkembang
secara transformatif mulai dari isu revolusi menjadi negosiasi dan gerakan kelas
bawah menuju gerakan kelas menengah.
Maka apabila dielaborasi lebih lanjut, pengertian populisme yang berkembang
dalam ketiga ranah tersebut dapat ditabulasikan sebagai berikut ini.

Tabel 1

Transformasi Politik Populisme

No Tipologi Populisme
1 Populisme sebagai
Ideologi Politik
2 Populisme sebagai
Gaya Politik
3

Bentuk Aksi Politik
Gerakan Politik Ekstra
Parlementer
Kebijakan welfare
state, Klintelisme
berbasis barang publik
Populisme sebagai Pembentukan Rezim
Komunikasi Politik (Peronisme, Chavizmo,
Soekarnoisme, dsb)

Pelaku
Aliansi Kelas dalam
Masyarakat
Elite baru non
oligarki, Kelas
Menengah
Tokoh Populis,
Kelas Menengah
Bawah

Tujuan
Representasi, dan
Advokasi Aspirasi
Loyalitas
Masyarakat kepada
Pemerintah
Patronase
Masyarakat

Sumber : diolah dari berbagai data

Jika ditinjau dari pembahasan tabulasi diatas, populisme bisa dikatakan untuk
memperbaiki demokrasi secara inkonstitusional, namun juga cara memperoleh
kekuasaan secara informal. Dengan berlandaskan semangat anti kemapanan
dan anti dominasi elite, kekuasaan berusaha untuk direbut kembali untuk
kembali melayani kepentingan rakyat. Hal menarik yang perlu dicatat adalah
pembentukan aliansi kelas dalam masyarakat yang membentuk semangat
populisme. Narasi penting yang perlu dicatat adalah populisme sendiri adalah
ideologi mendasar bagi kelas menengah7. Hal itu sebenarnya juga tidak terlepas
dari adanya “kegamangan ideologi” (ideological confusion) yang dialami kelas
menengah dalam menentukan sikap politiknya. Kalangan kelas menengah
berusaha untuk menegaskan posisi kelas yang berbeda dengan kelas pekerja
(working class) dengan ideologi sosialismenya dan kelas borjuasi (bourgeoisies’
class) dengan ideologi kapitalismenya. Pertentangan populisme dengan
sosialisme sendiri terletak pada konsentrasi industrialisasi dan penyamarataan
upah dan fasilitas barang publik. Sedangkan pertentangan dengan kapitalisme
terletak pada penolakan terhadap nilai tambah dalam industri dan juga praktik
monopoli maupun juga oligopoli dalam ranah ekonomi – politik. Dikarenakan
7

26

Val Burris, The Discovery of the New Middle Classes, dalam Arthur Vidich (Eds.), The New Middle Classes: LifeStyles, Status Claims and Poliical Orientaions, London, MacMillan, 1995,38.

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

Wasisto Raharjo Jati

berada di level menengah, kelas menengah juga bisa dartikan sebagai masyarakat
yang rentan (defenceless society) karena pilihan politik mereka yang cenderung
pragmatis dan negosiatif.
Dikatakan rentan, karena masyarakat kelas menengah melihat politik secara
simbolik dan atributif sehingga dengan mudah dapat diinflitrasi oleh berbagai
macam ideologi dan kepentingan politik tertentu. Kondisi tersebut dikarenakan
masyarakat kelas menengah adalah masyarakat aliansi dan terspesialisasi oleh
fungsi, afiliasi, dan juga materi yang beragam. Kehadiran mereka yang dimanamana menjadi kelas menengah ini popular sebagai bentuk masyarakat dengan
identitas baru. Populisme kemudian menjadi payung “ideologi” penting akan
variasi kepentingan yang beragam dalam kelas menengah tersebut. Narasi
lain yang perlu dilihat adalah dalam populisme di kalangan kelas menengah
sendiri pada dasarnya adalah arena kontestasi pengaruh, relasi, dan aksesbilitas
dalam internal kelas menengah tersebut. Artinya, populisme secara semu
mengindikasikan adanya perebutan hegemoni yang berkembang dalam
mengerahkan suara mayoritas kelas menengah. Implikasinya kemudian adalah
ada kelompok kelas menengah yang kalah dan kelompok kelas menengah
yang menang sesuai dengan massa Pada akhirnya kemudian terbentuk sel baru
populisme lain yang berkembang di kelompok kelas menengah lainnya. Kondisi
itulah yang sebenarnya membuat kelompok kelas menengah pada dasarnya
teresklusi satu sama lain secara sosial, material, maupun identitas.
Terkait dengan populisme yang berkembang Islam, hal yang paling penting untuk
dipahami adalah kata “umat” adalah bentuk proxy dari kata rakyat yang selama
ini digunakan dalam bahasa populisme8. Dalam tulisan ini, populisme islam di
kalangan kelas menengah muslim dapat dipahami dalam dua pengertian yakni
1) upaya mempopulerkan Islam di ruang publik dan 2) upaya membangkitkan
Islam sebagai kekuatan kepentingan dan kekuatan penekan. Kedua istilah
tersebut disarikan dari berbagai macam ekspresi politik kelas menengah muslim
Indonesia kontemporer. Konteks umat sebenarnya adalah makna penting dalam
melihat sebenarnya perdebatan mengenai keterwakilan kelas juga sebenarnya
menjadi isu sentral dalam kelas menengah. Selain konteks keterwakilan, narasi
identitas juga menjadi bagian dari konstruksi diferensiasi sosial dalam kelas
menengah itu sendiri. Munculnya populisme Islam itu juga berkaitan dengan
munculnya kelompok kelas menengah muslim Indonesia berbasis perkotaan.
Munculnya kelompok kelas menengah muslim tersebut lahir karena adanya
alienasi dan diskriminasi terutama dalam hal representasi kepentingan dan
8

Vedi Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East, Cambridge, Cambridge University Press, 2016. 4.

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

27

Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia

akesebilitas terhadap sumber kekuasaan. Implikasinya yang ditimbulkan
adalah gejala populisme kemudian menguat dengan langkah pertama adalah
merevitalisasi makna dan posisi umat, ulama, dan Islam dalam satu barisan. Pola
tersebut mengindikasikan adanya aspek kerentanan dan keterancaman terhadap
posisi eksistensi dan koeksistensi kelas menengah muslim dalam relasi negaramasyarakat. Maka kemudian memunculkan upaya peneguhan kembali Islam
dalam ranah politik formal maupun informal melalui berbagai macam ekspesi.
“Umat” sebenarnya adalah konstruksi politis untuk menyebutkan masyarakat
muslim yang selama ini teralineasi dan terdiskriminisasi secara ekonomi politik
dan sosio historis. Kedua konteks itulah yang menjadikan populisme dalam
umat islam berkembang dan menubuh sebagai bentuk mobilisasi sosial yang
dibentuk berdasarkan pada aliansi kelas-kelas sosial yang sifatnya asimetris.
Basis sosial ekonomi umat yang sebelumnya hanya berbasiskan pada kelompok
borjuasi kecil (petty bourguoises) kini sudah berkembang dalam bentuk aliansi kelas.
Konteks asimetrisme dalam kelas menengah muslim tersebut menunjukkan
gejala diversifikasi sumber daya materi yang dimiliki. Kemunculan kelas
menengah muslim Indonesia pada dasarnya kelompok umat muslim baru di
Indonesia yang sebelumnya didominasi oleh kalangan santri. Mereka adalah
kelompok masyarakat baru yang melihat Islam bukanlah sebagai agama saja,
namun juga sebagai kebutuhan baik itu sebagai sosialisasi dan simbolisasi.
Dengan kata lain, kelas menengah muslim Indonesia hari ini tidaklah lagi
berbasis pada kelas pedagang saja, namun juga telah merambah pada aspek
profesi lain seperti kelas birokrasi, kelas professional, kelas intelektual, dan lain
sebagainya. Menyebarnya segmen kelas menengah muslim ini juga disebabkan
oleh modernisasi dakwah Islam yang lebih mengutamakan aspek praktikal
daripada urusan teologi dan ukhrawi. Transformasi tersebut sebenarnya juga
bagian dari strategi dan siasat Islam untuk bisa adaptif di era modernisasi.
Namun yang menjadi problematika adalah pemahaman agama Islam kini
lebih mengarah pada aspek simbolis daripada substansial, Oleh karena itulah
kemudian, pemahaman umat Islam hari ini lebih banyak diisi oleh prasangka,
praduga, dan konspirasi terhadap entitas “liyan” yang dianggap ancaman.
Sumber teologi berbasiskan pada Qur’an dan Hadist sebagai pembenaran atas
berbagai macam ekspresi tersebut. Persepsi “ancaman” dan “ketakutan” bagi
kelas menengah muslim Indonesia tidak terlepas dari berbagai macam peristiwa
global seperti “clash of civilization”, “war against terrorism”, “global jihadism”, “global
caliphate”, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut secara tidak langsung memicu
populisme kemudian hadir. Bentuk paling sederhana dari ketakutan itu adalah

28

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

Wasisto Raharjo Jati

terbentuknya pola pikir biner seperti halnya “muslim-non muslim”, “kafir-non
kafir”, “sunnah-bid’ah”, dan lain sebagainya.
Hal itulah yang berdampak pada ekspresi populisme yang berkembang dalam
kelas menengah muslim, khususnya dalam mengkonstruksi makna “umat”
sendiri. Makna umat secara harfiah sebenarnya ingin menyambung relasi
antara Tuhan dan hamba-Nya. Namun dalam konteks populisme kontemporer,
makna “umat” adalah payung atas kepentingan berbagai macam kelompok
kelas menengah muslim tersebut. Pada akhirnya, populisme yang berkembang
di kalangan kelas menengah dapat dikategorisasikan dalam tabulasi berikut ini

Tabel 2: Ekspresi Populisme Islam
No
Ekspresi Populisme Islam
Aktor
1 Populisme Berbasis Identitas Kelompok Being
Islam
2 Populisme Berbasis Material Kelompok Islam
Organik
3 Populisme Berbasis
Kelompok
Simbolitas
Pengajian
4 Populisme Berbasis Tarbiyah Kelompok
Intelektual
5 Populisme Berbasis Syariah Kelompok Islam
Konservatif

Tujuan
Afirmasi dan Afiliasi Islam dalam
Modernitas
Aksesbilitas terhadap sumber
ekonomi-politik kekuasaan
Representasi Islam dalam Ruang
Publik
Diseminasi Nilai, Norma, dan
Prinsip Islam dalam Kehidupan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar

sumber : diolah dari berbagai data

Aksi Bela Ulama, Populisme Islam,
dan Kelas Menengah Muslim Indonesia
Dalam perhelatan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang baru saja
berlangsung telah memunculkan berbagai macam gerakan politik mulai
dari gerakan 411, 212, 412, dan lain sebagainya. Bahkan menjelang Hari H
pemilihan, terdapat gerakan politik yang mengatasnamakan “Tamasya AlMaidah” untuk mengajak dan mempengaruhi preferensi memilih warga Jakarta
untuk tetap memilih “pemimpin muslim”. Hal yang bisa dielaborasi lebih
lanjut dari fenomena tersebut, sebenarnya adalah narasi besar yang menjadi
arena kontestasi makna dan kuasa atas preferensi memilih bagi kelas menengah
di Jakarta. Pertarungan narasi antara “konservatisme melawan kebhinekaan”
menjadi titik analsis penting dalam melihat preferensi memilih bagi kelas
menengah Jakarta. Terlebih lagi kedua narasi tersebut dibentuk sebagai aksi
gerakan jalanan (mobocracy) yang tujuan menyugesti dan mempengaruhi

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

29

Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia

konstruksi berpikir pemilih. Berbagai macam gerakan jalanan (mobocracy) yang
utamanya dilakukan oleh kelas menengah Jakarta banyak dipengaruhi oleh
kedua narasi misalnya saja “Gue Ahok”, “Aksi Bela Ulama”, “Teman Ahok”,
“Aksi Bela Islam”, maupun juga “Sahabat Anies-Sandi”. Namun demikian di
antara berbagai macam bentuk gerakan tersebut, faktor primordialisme masih
menjadi faktor laten yang pada akhirnya menentukan pilihan politik individu
dan kolektif. Ekspresi primordialisme sebenarnya merupakan cerminan politik
di dunia berkembang dimana hubungan patronase dilandaskan paska prinsip
mutualisme tukar-menukar kepentingan yang kemudian memunculkan
adanya identifikasi simbolik sebagai tanda loyalitas. Populisme menjadi istilah
akademik penting yang banyak digunakan dalam berbagai analisis baik tulisan
ilmiah maupun tulisan popular dalam analisis Pemilihan Gubernur DKI 2017
kemarin. Kecenderungan meletakkan analisis populisme tersebut ditempatkan
sebagai 1) analisis ekspresi gerakan, 2) analisis preferensi memlih, 3) analisis
kebangkitan kelas. Ketiga kecenderungan analisis tersebut masih melihat
secara normatif dalam melihat gerakan-gerakan tersebut. Dalam tulisan ini,
istilah populisme dikaitkan dalam dua hal yakni 1) sebagai payung atas variasi
kepentingan, 2) sebagai bentuk aliansi elemen dalam kelas menengah. Namun
dalam analisis ini, sangat penting juga sebenarnya melihat dua elemen penting
yang menjadi kunci populisme tersebut yakni 1) kesadaran kelas 2) kesadaran
identitas. Kedua elemen itulah yang menjadi narasi utama kenapa populisme
muncul dan menguat.
Populisme Islam yang ditampilkan dalam Gerakan “Aksi Bela Islam” maupun
“Aksi Bela Ulama” yang utamanya dilakukan oleh kelas menengah muslim
Jakarta berbasis pada dua bentuk kesadaran tersebut. Pertama, kesadaran kelas
itu muncul karena 1) narasi konstruksi adanya ruang bagi umat Islam secara
eksklusif, 2) narasi aksesbilitas terhadap sumber kekuasaan. Kedua, kesadaran
identitas itu muncul karena 1) rasionalisme masih belumlah menguat karena
masih mengedepankan adanya semangat afiliasi dan afinitas terhadap identitas
simbolik yang sama, 2) politik identitas adalah upaya alternatif untuk mensiasati
adanya kurangnya logistik dan material dengan kompetitor lainnya dalam event
politik tertentu. Kedua bentuk kesadaran itulah yang mewarnai adanya praktik
populisme Islam di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal
terpenting yang perlu dicatat dalam melihat populisme Islam ini sebenarnya
terletak pada simbol dan isu kepentingan yang dimainkan sebagai alat sugestif
dan persuasif terhadap kelompok kelas menengah muslim lainnya.

30

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

Wasisto Raharjo Jati

Jika dianalisis lebih lanjut, relasi kedua kesadaran tersebut sebagai pembentuk
populisme Islam dalam kelas menengah muslim Indonesia dapat dianalsisi
sebagai berikut ini

Tabel 3 : Relasi Kesadaran Kelas dan Populisme Islam.
No

Jenis Kesadaran

1

Kesadaran Kelas

2

Kesadaran Identitas

Sumber : diolah dari berbagai data

Paramater Kebutuhan
Ruang
Aksesbilitas
Mobilitas
Rekognisi
Advokasi
Ekonomi

Relasi Terhadap
Populisme Islam
Munculnya sebagai
Keompok Penekan
Munculnya sebagai
Kelompok Kepentingan

Dalam tabulasi tersebut dijelaskan bahwa, dua bentuk kesadaran dalam kelas
menengah muslim tersebut kemudian bermuara pada dua bentuk yakni sebagai
kelompok kepentingan maupun kelompok penekan. Munculnya dua bentuk
tersebut sebenarnya adalah ekspresi populisme dalam bentuk organik. Adanya
bentuk institusionalisme gerakan tersebut merupakan tindak lanjut dari
perubahan paradigma gerakan yang semula berbasis atomized-enabled menjadi
organized-enabled dengan tujuan agar semua kepentingan terwadahkan dalam
suatu muara. Adapun dari dua bentuk kesadaran tersebut, hal yang paling
menentukan sebenarnya adalah sebenarnya lebih pada penguatan identitas
yang lebih dulu, baru setelahnya menyinggung mengenai penguatan kelas.
Munculnya penguatan identitas ini sebenarnya karena kondisi keterdesakan dan
ketimpangan sosial ekonomi dan sosial politik sehingga memicu adanya ruang
esklusi sosial. Dari situlah kemudian secara emosional dan psikis akan mencari
kesamaan identitas baik itu agama, etnis, bahasa, dan lain sebagainya sebagai
bentuk penguatan kelompok. Konteks “umat” pun kemudian dimunculkan dan
diwacanakan sebagai bentuk kolektivitas tersebut yang ditampilkan dengan gaya
baru. Umat tidak lagi ditampikan sebagai anggota majelis pengajian maupun
persantren, namun sebagai aksi massa dengan mengatasnamakan Islam sebagai
simbol.
Makna kelas dalam kelas menengah muslim Indonesia sebenarnya memiliki
makna penting sebagai bentuk kolektivitas yang membedakan dirinya dengan
kelompok kelas menengah lainnya. Selain halnya sebagai bentuk kolektivitas,
makna kelas juga dimaknai sebagai bentuk penguatan dan penegasan sebagai
umat. Hal itu penting sebenarnya karena makna umat seringkali muncul

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

31

Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia

secara fluktuatif dalam perbincangan sosial-politik karena tergantung pada
momen politik tertentu. Kelas menengah muslim Indonesia adalah kelompok
masyarakat yang baru memahami Islam secara normatif, literal, dan juga
simbolis yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing9. Selain itu pula,
kelas menengah muslim merupakan kelompok masyarakat yang tidak terikat
adanya sanad, silsilah, maupun tarekat keilmuan dengan mahzab teologi tertentu.
Kecenderungan tersebut mendorong kelas menengah muslim sebagai kelompok
pembelajar Islam kemudian berusaha untuk bersikap salaf dengan mencari akar
originalitas Islam untuk bisa dikonstektualisasikan hari ini. Dengan kata lain,
Arabisasi muslim Indonesia menjadi kata kunci alternatif dalam membaca pola
kelas menengah muslim Indonesia. Hal tersebut cukup berbeda secara signifikan
dengan kelompok santri yang secara benar dan nyata memahami Islam secara
substantif yang dikondisikan dengan akar budaya Indonesia. Pertumbuhan
kelas menengah muslim ini sekarang lebih besar karena didorong pula dengan
pergeseran pemahaman Islam yang tidak lagi berbasis teologis namun berbasis
pada pemberian solusi kuratif. Konteks pergeseran dakwah Islam yang lebih
menekankan pada fungsional tersebut sebenarnya selaras dengan kebutuhan
kelas menengah yang melihat agama sebagai entitas yang leksikal dan praktikal.
Kondisi tersebut yang kemudian menciptakan adanya perbedaan pemahaman
nilai Islam di kalangan kelas menengah muslim Indonesia.
Premis penting dalam kelas menengah muslim Indonesia hari ini sebenarnya
adalah kelas menengah yang teresklusi secara sosial ekonomi, sosial politik,
maupun juga sosio teologis satu sama lainnya. Diferensiasi tersebut pada
akhiirnya membentuk adnaya kelompok sosial (social grouping) satu sama lainnya.
Adanya diferensiasi dalam memaknai Islam itulah yang menjadikan level dan
derajat populisme yang ditampilkan kemudian beraneka ragam mulai dari level
ekspresi populisme yang ditampilkan oleh kelas menengah muslim Indonesia.
Maka yang perlu dilihat sebenarnya adalah ekspresi keislaman yang ditonjolkan
oleh kelas menengah muslim mulai dari sifatnya simbolis-komoditas, fungsionalagamis, dogmatif-reaksioner, dan substantif-sugestif. Keempat tipologi tersebut
mencerminkan level pemahaman Islam sebagai prinsip, nilai, dan norma kelas
menengah muslim Indonesia yang pada akhirnya berimplikasi pada pilihan dan
strategi populisme yang digunakan. Berbagai macam tipologi tersebut muncul
selain halnya terkait dengan pemahaman Islam, juga terkait bagaimana cara
mengkonstektualisasikan Islam dalam kesehariannya baik dalam interaksi inti,
sosial, maupun juga bentuk sosialisasi eksternal lainnya.
9

32

Wasisto Raharjo Jai, Poliik Kelas Menengah Muslim Indonesia, Depok, LP3ES, 2017.

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

Wasisto Raharjo Jati

Adapun berbagai macam tipologi ekspresi keislaman yang ditunjukkan oleh
kelas menengah muslim tersebut dapat dijelaskan dalam tabulasi sebagai
berikut ini.

Tabel 4 : Ekspresi Kelas Menengah Muslim Indonesia
No
1
2
3
4

Tipologi Eskpresi Kelas
Bentuk Ekspresi Kelas
Menengah Muslim
Menengah Muslim
Indonesia
Indonesia
simbolis-komoditas
Islam sebagai bagian
Identitas
fungsional-agamis
Islam sebagai bagian dari
sosialisasi
dogmatif-reaksioner
Islam sebagai bagian dari
perjuangan
substantif-sugestif
Islam sebagai bagian dari
dakwah

Relasinya dengan
Populisme Islam
Komoditas fashion, budaya
populer
majelis pengajian, lembaga
filantropis
organisasi massa Islam
kelompok epistemik

sumber : diolah dari berbagai macam data

Dari tabulasi tersebut dapat dijelaskan bahwa, ekspresi pemahaman dan
implementasinya di lapangan memiliki berbagai macam ekspresi mulai dari
levelnya produk hingga pada diskursus. Kesemuanya kemudian berujung pada
bentuk Islam sebagai agama, norma, dan perilaku kemudian berkembang dan
menubuh dalam ruang publik. Hal itulah yang sebenarnya menjadi esensi dari
populisme Islam dimana aliansi kepentingan dari setiap elemen kelas menengah
kemudian terwadahkan. Premis penting yang perlu dicatat mengenai populisme
Islam di Indonesia sebenarnya tergantung pada seberapa jauh isu mengenai
Islam itu menguat dalam ruang publik nasional dan seberapa kuat pula isu
Islam trans nasional turut mempengauhi dinamika Islam di level nasional.
Kedua hal itulah yang kemudian mngerucut pada dua bentuk yakni sebagai
umat dan ummah. Keduanya seringkali dikaitkan dalam bentuk pemahaman
dan terminologi yang sama. Namun dalam tulisan ini, kedua istilah tersebut
memiliki pendefinisian yang berbeda. Adapun gerakan Aksi Bela Islam, Aksi
Bela Ulama, maupun Tamasya Al-Maidah merupakan bentuk ekspresi populisme
islam yang berbasis isu dan simbol dengan mengatanamakan kepentingan umat.
Sedangkan gerakan lain misalnya Menuju NKRI Bersyariah, Khalifah Indonesia,
dan lain sebagainya merupakan bentuk ekspresi mengatasnamakan kepentingan
ummah. Adanya polarisasi tersebut sebenarnya menjelaskan adanya konektivitas
representasi Islam yang diinginkan kelas menengah muslim hari ini yang tidak
hanya berbasis pada masalah nasional namun juga global.

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

33

Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia

Adapun penjelasan kelas menengah muslim sebagai bentuk umat sendiri
terbentuk secara by incident yakni melihat momentum politik terlebih dahulu
untuk memunculkan dan mencuatkan Islam sebagai identitas politik. Narasi
utama yang dibangun secara jelas adalah aliansi kepentingan kelas dengan
menempatkan kata “umat” sebagai alat penyugesti dan persuasif. Pola menarik
yang dibangun membangun narasi tersebut sebenarnya lebih pemenuhan
kebutuhan ekonomi-politik yang kemudian dicarikan legitimasi di Qur’an dan
Sunnah sehingga mengesankan ini adalah bentuk jihad fisabilillah. Oleh karena
itulah sebenarnya narasi lain yang dibangun sebenarnya adalah heroisme
karena telah menolong agama. Kondisi tersebut yang secara tidak langsung
menjadi faktor simbolik dan atraktif bagi kelas menengah muslim bergerak
Hal tersebut yang berimplikasi secara dogmatif mendorong kelas menengah
muslim untuk hadir merapatkan barisan karena ada Qur’an dan Hadist yang
menjadi dasar sehingga mengesankan ini adalah perintah agama. Posisi dan
istilah ulama pun menjadi penting untuk digunakan memberikan legitimasi
secara teologis mengenai gerakan populisme yang dimaksud. Posisi ulama
sebenarnya adalah broker kultural, namun justru berkembang menjadi broker
politik dengan mencampuradukkan agama dalam masalah politik. Populisme
Islam yang berkembang dalam bentuk umat justru berkembang menjadi aksi
chauvinistik yang mengedepankan Islam sebagai kaffah. Dengan kata lain
sebenarnya terjadi komoditisasi Islam dalam bentuk gerakan ekonomi-politik
yang seolah menampilkan ini adalah aksi jihad. Harus diakui bahwa Islam
masih menjadi alat politik identitas yang sifatnya sensitif, namun efektif untuk
menjadi faktor determinan dalam konstelasi politik Indonesia. Terlebih lagi
kalau itu kemudian digerakkan dalam massa besar. Maka bisa dikatakan bahwa
populisme Islam juga bagian dari bentuk eskapisme terhadap akses formal
kekuasaan bagi kelas menengah muslim untuk bangkit.
Sedangkan narasi populisme Islam sebagai ummah sebenarnya terkait dengan
adanya konstelasi dunia Islam kontemporer mulai isu ISIS, Israel-Palestina,
Wahabisme, Jamaah Islamiyah, Global Khalifah, dan lain sebagainya.
Konteks ummah adalah bentuk populisme umat di tingkat global dengan
mengambil kacamata Islam versus Barat sebagai pertarungan klasik. Selain
dilihat sebagai kontestasi Islam versus Barat, sebenarnya ada upaya lain yang
tengah ditonjolkan yakni adanya Pan-Islamisme yang ingin dikuatkan kembali
oleh ummah ini dalam bentuk entitas organik. Sebenarnya menjadi konteks
ummah adalah bagian upaya membangun konektivitas isu sama yang tujuannya
membangun solidaritas dan kohesivitas sosial akan kepentingan sama. Kondisi

34

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

Wasisto Raharjo Jati

tersebut yang menjadikan adanya fragmentasi sikap bagi kelas menengah
muslim di Indonesia dalam melihat fenomena terorisme kontemporer, antara
mendukung atau menolak. Dengan kata lain, sebagai ummah secara otomatis
akan mengonsolidasikan semua kepentingan kelas menengah muslim dalam
level global.

Kesimpulan
Hal yang dapat disimpulkan mengenai populisme dalam kelas menengah
muslim Indonesia adalah bagian upaya membangun representasi dan artikulasi
kepentingan melalui jalur informal. Meskipun dalam beberapa narasi juga
mengatakan bahwa populisme adalah upaya inkonstitusional terhadap
kekuasaan dengan berupaya menekan pemerintah melalui jalur informal.
Populisme seolah menjadi “panacea” penting atas berbagai masalah yang
dihadapi oleh masyarakat yang menampilkan dirinya sebagai “demos”.
Konteks populisme dalam kelas menengah muslim Indonesia sebenarnya bagian
dari upaya merekonstruksi makna “umat” dalam konteks kekinian. Situasi yang
dimunculkan dalam narasi umat tersebut adalah kondisi ketimpangan dan
alienasi yang dialami oleh umat karena tidak mempunyai aksesbilitas terhadap
kekuasaan. Kondisi tersebut yang dikonstruksikan menjadi simbol penguatan
umat secara kolektif. Dengan menggunakan dalil dari Qur’an dan Hadist seolah
menampilkan bahwa populisme Islam adalah perintah ukhrawi yang mesti
dijabarkan dalam alam duniawi. Padahal realitanya terjadi komodifikasi makna
atas ayat yang dgunakan sebagai dalil kebenaran atas gerakan yang dilakukan.
Komodifikasi itu pulalah yang menjadi alat koersif yang cukup psikis menekan
bagi kelompok masyarakat lainnya yang pada akhirnya bergabung. Dalam trend
ke depan, era populisme ini akan digunakan sebagai senjata politik terakhir
manakala jalur formal dan konstitusional. Namun sekali lagi tergantung pada
isu dan kepentingan yang menjadi dasar populisme itu hadir dan berkembang
dalam masyarakat.

vwv

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017

35

Dari Umat Menuju Ummah?:
Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia

Daftar Pustaka
Burris, Val, “The Discovery of the New Middle Classes”, dalam Arthur Vidich
(Eds.), The New Middle Classes: Life-Styles, Status Claims and Political
Orientations, London : MacMillan, 1995.
Hadiz, Vedi, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East, Cambridge :
Cambridge University Press, 2016.
Hadiz, Vedi. “ Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia.” Prisma. 36.1
(2017): 38-41.
Jati, Wasisto Raharjo, Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia, Depok : LP3ES,
2017.
Mudde, Cas (Eds.), Populism: A Very Short Introduction, Oxford : Oxford University
Press, 2017.
Panizza, Fransisco (Eds.), Populism and the Mirror of Democracy, London : Verso,
2005.
Tornquist, Olle (Eds.), Rethinking Popular Representation, New York : Palgrave,
2009.
Woods, Dwayne (Eds.), Many Faces of Populism : Current Perspective, Bingley :
Emerald, 2014.

36

MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017