Hubungan Antara Social Loafing dengan Self-Efficacy pada Mahasiswa

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SOCIAL LOAFING

1. Pengertian Social loafing
Social loafing merupakan pengurangan kinerja individu selama bekerja

sama dengan kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri (Latane, 1979).
Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi
upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan
ketika bekerja secara individual. (Karau & Williams, 1993). Menurut
Ringelmann dalam Latane, Williams, & Harkins (1979), social loafing berarti
penurunan usaha individu atau seseorang ketika ia bekerja dalam kelompok
dibandingkan dengan ketika ia bekerja seorang diri.
Dari definisi di atas saya dapat menyimpulkan bahwa social loafing
adalah kecenderungan individu untuk mengurangi usaha yang dikeluarkannya
ketika bekerja di dalam kelompok dan dibandingkan ketika bekerja secara
individual.

10

Universitas Sumatera Utara

2. Dimensi Social loafing
Menurut Latane (1981), social loafing dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu:
a. Dilution Effect

Individu kurang termotivasi karena merasa kontribusinya tidak berarti atau
menyadari bahwa penghargaan yang diberikan kepada tiap individu tidak ada.
b. Immediacy gap

Individu merasa terasing dari kelompok. Hal ini menandakan semakin jauh
anggota kelompok dari anggotanya maka ia akan semakin jauh dengan pekerjaan
yang dibebankan kepadanya.

3. Faktor-faktor Penyebab Social loafing
Faktor penyebab seseorang melakukan social loafing adalah:
a. Orang akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di
dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan
kerjanya (Harkins & Szymanski, 1989).
b. Gender seseorang merupakan salah satu faktor penyebab social loafing.

Seorang perempuan lebih mungkin untuk tidak melakukan social loafing
dibandingkan dengan seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita umunya
berorientasi pada pemeliharaan koordinasi kelompok (Kugihara, 1999).
c. Individu yang mendapatkan tugas secara berkelompok tidak merasakan
hasilnya secara pribadi. Individu ini akan memandang tugas yang dikerjakan
sebagai sebuah tugas yang harus diselesaikan dengan saling bergantung
antara satu dengan yang lain. Hal ini menyebabkan individu tersebut kurang
11
Universitas Sumatera Utara

senang dengan hasil yang harus ia bagi dengan anggota yang lainnya (Manz
& Angle, 1986).
d. Individu ingin menumpang pada kesuksesan atau pekerjaan orang lain tanpa
ikut serta dalam pengerjaannya. Hal ini juga terkadang dilakukan karena
keyakinan individu tersebut bahwa orang yang memberikan tugas tidak akan
menyadari pengurangan usaha yang dilakukannya (Kidwell & Benner,
1993).
e. Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas. Tugas yang tidak jelas
pembagiannya atau arahnya akan cenderung memberikan kemalasan bagi
individu yang mengerjakannya. Individu tersebut kurang termotivasi dalam

memberikan upaya saat menyelesaikan tugas (George, 1992).
f. Tugas yang terlalu mudah. Ketika sebuah kelompok mendapatkan tugas
yang sulit untuk diselesaikan, maka akan sedikit kemungkinan anggota di
dalam kelompok melakukan social loafing (Harkins & Petty, 1982).
g. Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada
kolektivis. Performa individualis yang bekerja dalam sebuah kelompok
lebih rendah dibandingkan ketika bekerja sendiri. Sebaliknya, mereka yang
memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih baik dalam
kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki budaya
kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok
sebagai hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis
menmpercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan
kelompok (Early, 1989).

12
Universitas Sumatera Utara

h. Semakin banyak anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing
seorang individu akan semakin meningkat. Hal ini juga semakin membuat
sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu. Kemungkinan

seseorang melakukan social loafing dikarenakan merasa banyak anggota
yang mampu mengerjakan tugas kelompok tersebut (Latane, Williams, &
Harkins, 1979).
i. Ketidak-lekatan antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga
dapat mempengaruhi social loafing (Karau & Williams, 1997). Hal ini dapat
didefinisikan sebagai sejauh mana anggota kelompok yang satu dengan
yang lainnya tertarik dan memiliki keinginan untuk bersama-sama
(Mudrack, 1989).
j. Evaluation Apprehension atau ada tidak adanya evaluasi yang diberikan
oleh pemberi tugas ataupun sesama rekan kerja (Geen, 1991).
k. Kepercayaan diri juga dapat membuat perilaku social loafing menurun
(Mukti, 2013)
Dapat disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan social loafing dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah tidak adanya
evaluasi (Harkins & Szymanski, 1989), gender (Kugihara, 1999), tugas yang
dirasa harus dikerjakan secara berkelompok (Manz & Angle, 1986), menumpang
kesuksesan (Kidwell & Benner, 1993), ketidakjelasan tugas (George, 1992),
faktor budaya (Early, 1989), kemudahan tugas (Harkins & Petty, 1982), besarnya
kelompok (Jones, 1984), kepercayaan diri (Mukti, 2013), dan kelekatan kelompok
(Karau & Williams, 1997).


13
Universitas Sumatera Utara

B. SELF-EFFICACY

1. Pengertian Self-efficacy
Konsep self-efficacy pertama kali diungkapkan oleh Bandura. Menurut
Bandura (1997), Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas
kemampuannya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang
dibutuhkan untuk mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Schultz
(1994)

mendefinisikan

self-efficacy

sebagai

perasaan


individu

terhadap

kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Selfefficacy juga memiliki arti sebagai penilaian individu terhadap kemampuan atau

kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan
menghasilkan sesuatu (Baron & Byne, 2000).
Dari definisi di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa self-efficacy adalah
persepsi,

penilaian,

dan

perasaan

tentang


kemampuan

individu

untuk

mengorganisasi dan mengimplementasi suatu tindakan, melakukan suatu tugas,
mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu dengan kecakapan tertentu.

2. Ciri-Ciri Individu dengan Self-efficacy Tinggi dan Self-efficacy Rendah
Bandura (1997) menjelaskan bahwa individu dengan self-efficacy yang
tinggi adalah ketika individu tersebut merasa memiliki keyakinan bahwa ia dapat
menangani dengan baik keadaan dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam
mengerjakan tugas-tugas, memiliki keinginan yang besar dalam memotivasi diri
untuk menyelesaikan tugas yang sulit, percaya pada kemampuan diri sendiri,

14
Universitas Sumatera Utara

memandang kesulitas sebagai tantangan, mampu membuat tujuan dan

meningkatkan komitmen terhadap apa yang dilakukan, menanamkan usaha pada
apa yang dilakukannya, bila gagal maka akan memikirkan strategi dalam
menghadapinya dan mudah bangkit setelah mengalami kegagalan.
Sedangkan individu dengan self-efficacy yang rendah adalah individu
yang merasa tidak berdaya, menghindari kegiatan-kegiatan yang menantang,
cepat menyerah, mudah cemas, apatis, upaya yang rendah dan komitmen yang
lemah pada sebuah tujuan yang ingin digapai, cenderung akan memikirkan
kekurangan

dan

konsekuensi

akan

kegagalan,

serta

lambat


untuk

membangkitkan kembali perasaan bahwa ia mampu menghadapi kegagalan.

3. Dimensi Self-efficacy
Bandura (1997) mengungkapkan ada tiga dimensi self-efficacy, yakni:
a. Level
Level berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan

dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang
hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap
individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada
yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa
tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan
tugas, maka tugas tersebut akan mudah dilakukan.

15
Universitas Sumatera Utara


b. Generality
Generality sejauh mana inidividu yakin akan kemampuannya dalam

berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa
dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam
serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality merupakan
perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas yang
berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.
c. Strength
Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan

yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam
pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang
kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus
bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan.
Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini sesesorang.
Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu pula. Individu
yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh
dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.


C. Mahasiswa
Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di
Universitas, institut atau akademi. Mahasiswa merupakan calon sarjana yang
dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi
calon-calon intelektual (Knopfemacher, 1978). Menurut Winkel (1997) masa

16
Universitas Sumatera Utara

mahasiswa meliputi rentang umur 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Mahasiswa
biasa belajar di kelas, membaca buku, membuat makalah, presentasi, diskusi dan
lain sebagainya. Mereka sangat erat kaitannya dengan tugas yang diberikan oleh
para pengajar atau dosen. Tugas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999)
memiliki arti sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk
dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau pekerjaan
yang wajib dibebankan. Mahasiswa sudah pasti pernah merasakan saat-saat
dimana membuat laporan, makalah, mencari bahan kuliah, tugas praktek dan
presentasi. Tugas itu sendiri dapat diberikan secara individual ataupun
berkelompok (Sudjana, 2001).

D. Hubungan antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa
Mahasiswa yang sangat erat kaitannya dengan tugas seringkali diberikan
tugas dengan bentuk kelompok. Biasanya, ketika dosen memberikan tugas
secara berkelompok diharapkan agar penyelesaian tugas lebih mendalam dan
sempurna, karena merupakan produk pemikiran dari beberapa orang. Mahasiswa
juga diajarkan untuk bisa bekerjasama dan berinteraksi dengan sesama dan
lingkungan sekitarnya. Mereka dapat belajar untuk mengambil keputusan
dengan baik, bersikap toleransi dan menghargai sesama mahasiswa lain.
Orang dapat memenuhi tujuan untuk menyelesaikan tugas individu
mereka dengan lebih mudah melalui kerjasama dalam kelompok (Latane,
Williams, & Harkins, 1979). Pemberian tugas secara berkelompok ini
sesungguhnya juga memiliki satu kelemahan yang sangat sering terjadi. Pada

17
Universitas Sumatera Utara

satu kelompok sering terdapat mahasiswa yang tidak turut aktif berpartisipasi
dalam proses pengerjaan tugas tersebut. Hal ini dapat dikatakan sebagai social
loafing, yaitu kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan

individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara
individual (Karau & Williams, 1993). Social loafing memiliki dampak yang
sangat banyak khususnya terhadap sebuah kelompok. Dampak yang diberikan
juga merupakan dampak yang bersifat merugikan.
Seringkali terdapat banyak mahasiswa yang melakukan loafing karena
berbagai hal. Seperti karena tidak adanya kelekatan pada setiap anggota
kelompok (Karau & Williams, 1997), terlalu besarnya sebuah kelompok (Latane,
Williams, & Harkins, 1979), atau bahkan karena terlalu mudahnya tugas yang
diberikan oleh dosen (Harkins & Petty, 1982).
Social loafing yakni kecenderungan untuk mengurangi upaya yang

dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika
bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993). Tidak sedikit faktor-faktor
yang menyebabkan seseorang melakukan social loafing. Kugihara menemukan
bahwa laki-laki cenderung melakukan social loafing daripada perempuan
(Kugihara, 1999). Faktor eksternal yang kerap dihubungkan adalah besarnya
kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979) yang dibuktikan dengan semakin
banyak nya anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing seorang
individu akan semakin meningkat. Orang akan cenderung melakukan social
loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari

pemberi tugas atau dari rekan kerjanya (Harkins & Szymanski, 1989). Kelekatan

18
Universitas Sumatera Utara

antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga dapat mempengaruhi
social loafing (Karau & Williams, 1997). Jika individu tidak menyukai anggota

yang lain maka ia akan lebih mungkin untuk terlibat dalam social loafing.
Budaya yang dimiliki dan dianut oleh individu juga membuat seseorang seperti
individualis atau kolektivis (Earley, 1993).
Pada penelitian Early (1993) dikatakan bahwa Social loafing lebih sering
terjadi pada budaya individualis daripada budaya kolektivis. Performa seorang
individu yang berasal dari budaya individualis lebih rendah ketika

bekerja

dalam sebuah kelompok dibandingkan ketika ia bekerja sendiri. Sebaliknya,
mereka yang memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih
baik dalam kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki budaya
kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok sebagai
hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis
mempercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan
kelompok.
Hasil dari penelitian Ames (1992) dan Dweck & Legger (1988)
mengungkapkan bahwa orang yang menganut budaya individualis merupakan
orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini dikarenakan orang dalam
budaya individualis akan mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk belajar
serta lebih memberikan usaha yang lebih untuk performanya. Sebaliknya, orang
dengan budaya kolektivis merupakan orang dengan self-efficacy yang rendah.

19
Universitas Sumatera Utara

Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas kemampuannya

dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang dibutuhkan untuk
mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya (Bandura, 1997).
Lawrence (1992) yang melakukan 2 eksperimen di mana eksperimen
pertama self-efficacy dimanipuasi dengan evaluasi yang salah dan hasil yang
diharapkan dimanipulasi dengan 3 kelompok yang memiliki kondisi yang
berbeda (sendiri, bekerja bersama tetapi dengan melihat hasil individu, dan
bekerja bersama dengan melihat hasil dari kelompok). Pada ekperimen kedua,
self-efficacy yang diinginkan ditingkatkan secara tiba-tiba ketika para partisipan

mengerjakan tugas yang mudah ke yang sulit, dan hasil yang diharapkan
dimanipulasi dengan 3 kondisi evaluasi yang berbeda (sendiri, dievaluasi, dan
tidak dievaluasi). Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa seseorang
dengan self-efficacy yang tinggi apabila mengerjakan sebuah tugas secara
berkelompok dan diberikan evaluasi akan memiliki performa yang lebih baik
daripada melakukan tugas secara individual. Sebaliknya, jika seseorang dengan
self-efficacy yang rendah dan mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan

dievaluasi, maka ia akan memiliki performa yang buruk daripada melakukannya
secara individual. Schmuck & Schmuck (1980) menyatakan bahwa membentuk
kelompok kecil dan dapat membantu satu sama lain untuk menyelesaikan tugas
yang lebih kompleks adalah strategi untuk meningkatkan self-efficacy seseorang.
Berdasarkan dari beberapa penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa
orang dengan self-efficacy yang tinggi justru akan membuat tindakan social
loafing menurun. Hal ini dikarenakan orang tersebut diberikan evaluasi saat

20
Universitas Sumatera Utara

mengerjakan tugas (Lawrence, 1992) dan dapat saling membantu saat bekerja
kelompok (Schmuck & Schmuck, 1980) sehingga akan mengurangi perilaku
social loafing seseorang.

E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian teori dan dinamika antara dimensi self-efficacy yang
telah dipaparkan oleh peneliti, hipotesa yang diajukan dalam penelitian adalah
ada hubungan negatif antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa
dimana semakin tinggi derajat self-efficacy yang dimiliki individu justru
membuat tindakan social loafing menurun.

21
Universitas Sumatera Utara