Hubungan Antara Social Loafing dengan Self-Efficacy pada Mahasiswa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mahasiswa merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan
perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual
(Knopfemacher, 1978).

Mahasiswa biasa belajar di kelas, membaca buku,

membuat makalah, presentasi, diskusi dan lain sebagainya. Mereka sangat erat
kaitannya dengan tugas yang diberikan oleh para pengajar atau dosen. Tugas
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) memiliki arti sebagai sesuatu yang
wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan, pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab seseorang atau pekerjaan yang wajib dibebankan. Mahasiswa
sudah pasti pernah merasakan saat-saat dimana membuat laporan, makalah,
mencari bahan kuliah, tugas praktek dan presentasi. Tugas itu sendiri dapat
diberikan secara individual ataupun berkelompok (Sudjana, 2001). Biasanya,
ketika dosen memberikan tugas secara berkelompok diharapkan agar penyelesaian
tugas lebih mendalam dan sempurna, karena merupakan produk pemikiran dari
beberapa orang. Mahasiswa juga diajarkan untuk bisa bekerjasama dan

berinteraksi dengan sesama dan lingkungan sekitarnya. Mereka dapat belajar
untuk mengambil keputusan dengan baik, bersikap toleransi dan menghargai
sesama mahasiswa lain.

1
Universitas Sumatera Utara

Orang dapat memenuhi tujuan untuk menyelesaikan tugas individu mereka
dengan lebih mudah melalui kerjasama dalam kelompok (Latane, Williams, &
Harkins, 1979). Pemberian tugas secara berkelompok ini sesungguhnya juga
memiliki kelemahan, yakni

pengambilan keputusan

yang berlarut-larut,

kecakapan anggota kelompok yang berbeda, memakan waktu yang banyak dan
terlalu banyak persiapan. Selain itu, ada juga kelemahan lainnya yaitu social
loafing. Pada satu kelompok sering terdapat mahasiswa yang tidak turut aktif
berpartisipasi dalam proses pengerjaan tugas tersebut. Hal ini dapat dikatakan

sebagai social loafing, yaitu kecenderungan untuk mengurangi upaya yang
dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja
secara individual (Karau & Williams, 1993).
Social loafing memiliki dampak yang sangat banyak. Dampak positif dari
social loafing biasanya akan dirasakan oleh individu yang melakukan social
loafing. Orang yang melakukan social loafing akan merasa diuntungkan dengan
tidak ikutnya dalam proses penyelesaian tugas, mendapatkan nilai yang baik
karena kinerja kelompok dan lainnya. Selain itu ada juga dampak yang bersifat
merugikan khususnya terhadap sebuah kelompok. Hal ini dapat terlihat dari
sebuah kutipan wawancara dengan seorang mahasiswa yang merasa kelompok
tidak efektif dalam penyelesaian tugas karena tidak adanya kerjasama yang baik
antara yang satu dengan yang lain:

2
Universitas Sumatera Utara

“...kadang kalo kerja kelompok itu aku rasa kawan sekelompok
pada enggak mau ikutan kerja. Kubiarkan aja, malah jadi enggak
terkerjakan tugas tadi jadinya. Malah kesel sendiri aku ya
kukerjakan aja sendiri. Kalo boleh enggak nulis nama dia di

hasilnya enggak apa, ini enggak bisa...”
(Komunikasi personal, Februari 2016)
Anggota kelompok yang tidak melakukan social loafing akan merasakan
kesedihan bahkan iri ketika mengetahui anggota sekelompok yang melakukan
social loafing mendapatkan nilai atas hasil tugas yang tidak ia kerjakan. Hasil
yang didapatpun tidak akan maksimal seperti saat bekerjasama dengan anggota
kelompok lainnya. Kehilangan motivasi bagi anggota lainnya juga merupakan
dampak dari social loafing (Brickner, Harkins, & Ostrom, 1986). Apabila salah
satu anggota kelompok tidak mengerjakan tugas yang diberikan, maka ia tidak
akan mendapatkan pengetahuan seperti anggota kelompok yang lainnya. Hal ini
menjelaskan bahwa social loafing dapat mempengaruhi prestasi akademik
individu. Dampak social loafing juga akan merugikan individu itu sendiri.
Individu yang melakukan social loafing akan kehilangan kesempatan untuk
melatih keterampilan dan mengembangkan diri (Schnake, dalam Liden, Wayne,
Jaworski & Bennet, 2003). Produktivitas individu yang melakukan social loafing
juga akan terhambat karena harus bekerja di dalam sebuah kelompok (Latane,
Williams, & Harkins, 1979).
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan social loafing.
Kugihara menemukan bahwa laki-laki cenderung melakukan social loafing
daripada perempuan (Kugihara, 1999). Faktor eksternal yang kerap dihubungkan

adalah besarnya kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979) yang dibuktikan

3
Universitas Sumatera Utara

dengan semakin banyak nya anggota dalam sebuah kelompok, maka social
loafing seorang individu akan semakin meningkat. Orang akan cenderung
melakukan social loafing apabila kinerjanya di dalam kelompok tidak dievaluasi,
baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan kerjanya (Harkins & Szymanski,
1989). Kelekatan antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga dapat
mempengaruhi social loafing (Karau & Williams, 1997). Jika individu tidak
menyukai anggota yang lain maka ia akan lebih mungkin untuk terlibat dalam
social loafing. Budaya kolektivis dan individualis juga menjadi salah satu faktor
social loafing (Earley, 1993). Selain itu, kepercayaan diri juga merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya social laofing (Mukti, 2013).
Pada penelitian Mukti (2013) dikatakan bahwa kepercayaan diri seseorang
memiliki hubungan yang negatif dengan social loafing. Hal ini berarti bahwa
seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi maka memiliki
kemungkinan yang kecil untuk melakukan social loafing di dalam kelompok.
Sebaliknya, mereka dengan kepercayaan diri yang rendah akan memiliki

kemungkinan yang besar untuk melakukan social loafing.
Bandura (dalam Syamsu dkk. 2005) meyakini bahwa self-efficacy
merupakan elemen kepribadian keyakinan diri atau kepercayaan diri terhadap
kemampuan sendiri untuk menampilkan tingkah laku yang akan mengarahkannya
pada hasil yang diharapkan. Jadi dapat dikatakan juga bahwa self-efficacy
merupakan kepercayaan diri seseorang.

4
Universitas Sumatera Utara

Selain itu pada penelitian Early (1993) dikatakan bahwa Social loafing
lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada budaya kolektivis. Performa
seorang individu yang berasal dari budaya individualis lebih rendah ketika
bekerja dalam sebuah kelompok dibandingkan ketika ia bekerja sendiri.
Sebaliknya, mereka yang memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa
yang lebih baik dalam kelompok daripada bekerja sendiri. Mereka yang memiliki
budaya kolektivis akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok
sebagai hal yang utama. Selain itu, mereka yang memiliki budaya kolektivis
mempercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan
kelompok.

Hasil dari penelitian Ames (1992) dan Dweck & Legger (1988)
mengungkapkan bahwa orang yang menganut budaya individualis merupakan
orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini dikarenakan orang dalam
budaya individualis akan mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk belajar
serta lebih memberikan usaha yang lebih untuk performanya. Sebaliknya, orang
dengan budaya kolektivis merupakan orang dengan self-efficacy yang rendah.
Self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang atas kemampuannya
dalam mengorganisasikan dan melaksanakan performa yang dibutuhkan untuk
mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya (Bandura, 1997). Bandura
(1986) mengatakan bahwa self-efficacy dalam diri seseorang mengacu pada tiga
dimensi, dimana salah satunya adalah strength yang menjelaskan bahwa
seseorang yang memiliki self-efficacy atau keyakinan diri yang besar di dalam
dirinya akan menyenangi tugas yang penuh tantangan. Mereka juga memiliki
5
Universitas Sumatera Utara

kemantapan yang kuat dalam mengerjakan tugas walaupun rintangan yang
dihadapi akan besar. Hal ini mengindikasikan bahwa seharusnya, seseorang yang
memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung tidak melakukan social loafing
ketika bekerja di dalam kelompok. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah kutipan

wawancara dengan seorang mahasiswa:
“...aku kalo yakin sama apa yang aku bisa kerjain enggak mungkin
aku enggak ikutan kerja. Malah kalo aku ngerasa enggak bisa nih
sama tugasnya, ya disitulah kesempatan aku buat bisa ngerti apa
yang ditugasin sama dosen. Bukan malah enggak ikutan kerja...”
(Komunikasi personal, Februari 2016)
Lawrence (1992) menemukan bahwa seseorang dengan self-efficacy yang
tinggi apabila mengerjakan sebuah tugas secara berkelompok dan diberikan
evaluasi akan memiliki kinerja yang lebih baik daripada melakukan tugas secara
individual. Sebaliknya, seseorang yang memiliki self-efficacy yang rendah
cenderung memiliki performa yang lebih buruk ketika mengerjakan tugas secara
berkelompok.
Penyelesaian tugas secara berkelompok juga akan meningkatkan selfefficacy seseorang. Seperti yang dikatakan oleh Schmuck & Schmuck (1980)
menyatakan bahwa membentuk kelompok kecil dan dapat membantu satu sama
lain untuk menyelesaikan tugas yang lebih kompleks adalah strategi untuk
meningkatkan self-efficacy seseorang. Ada juga beberapa cara yang dapat
membantu seseorang dalam meningkatkan self-efficacy yang tentunya juga akan
mengurangi perilaku social loafing seseorang. Dengan mengadakan seminar
motivasi dimana seseorang dapat belajar bagaimana cara memotivasi dirinya dan


6
Universitas Sumatera Utara

meningkatkan self-efficacy. Sedangkan menurut Stipek (1996) cara meningkatkan
self-efficacy pada seorang pelajar adalah dengan mengajarkan suatu strategi
khusus untuk dapat fokus dengan tugas-tugasnya, memandu dalam menetapkan
tujuan, memberikan reward, memberikan feedback pada hasil belajarnya,
meyakinkan dan memberi dukungan. Diterapkannya cara-cara tersebut dapat
meningkatkan self-efficacy agar social loafing dapat menurun.
Social loafing dipengaruhi oleh kepercayaan diri (Mukti, 2013) dan Social
loafing juga dipengaruhi oleh budaya kolektivis dan budaya individualis (Early,
1993). Self-efficacy juga memiliki pengaruh terhadap budaya kolektivis dan
budaya individualis (Ames, 1992) dan dapat dikatakan sebagai salah satu elemen
kepercayaan diri (Syamsu dkk. 2008). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ada
hubungan antara self-efficacy dengan social loafing. Dengan demikian penelitian
ini akan melihat hubungan antara social loafing dengan self-efficacy.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di latar belakang, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimana hubungan self-efficacy dengan social loafing pada

mahasiswa?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui arah hubungan
antara self-efficacy dengan social loafing mahasiswa.

7
Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan sumbangan pengetahuan khususnya pada bidang psikologi sosial
mengenai self-efficacy dan social loafing.
b. Memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan
dengan self-efficacy dan social loafing.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
a. Menjelaskan hubungan antara self-efficacy dan social loafing.

b. Memberikan informasi mengenai gambaran self-efficacy dan social loafing
khususnya pada mahasiswa.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah:
1. Bab I – Pendahuluan
Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

8
Universitas Sumatera Utara

2. Bab II – Landasan Teori
Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam
penelitian, antara lain teori mengenai self-efficacy dan social loafing.
3. Bab III – Metode Penelitian
Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang
identifikasi variabel, definisi operasional variabel, subjek penelitian, jenis
penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat
ukur, pelaksanaan penelitian serta metode analisis data.

4. Bab IV – Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi analisis terhadap data yang telah diperoleh dari pelaksanaan
penelitian ini. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini mencakup analisis
korelasional, pengujian model dan pengujian hipotesis.
5. Bab V – Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang dapat
diberikan oleh peneliti sebagai sumbangsih untuk pengembangan penelitian
mengenai social loafing dan self-efficacy.

9
Universitas Sumatera Utara