Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Penelitian ini memusatkan perhatian pada kajian Antropologi Hukum
tentang hubungan-hubungan hukum dalam lapangan pekerjaan bangunan di
Pematangsiantar. Berbicara mengenai hukum dalam Antropologi, berarti juga
berbicara mengenai kebudayaan. Hukum tidak ditinjau secara tersendiri, tetapi
dihubungkan dengan kebudayaan sebagai keseluruhan (Ihromi,2000:2). Karena
pada konsep nya, hukum memberi pedoman bagi warga masyarakat mengenai apa
yang boleh dan apa yang tidak (normatif)1, dan dalam hal apa (kognitif)2
(F.Benda-Beckmann, dalam Irianto, 2005:65). Antropologi hukum juga
melahirkan pluralisme hukum dalam kajiannya. Di luar Peraturan PerundangUndangan Negara yang merupakan hukum formal di Indonesia, ada aturan-aturan
atau hukum-hukum lain yang mengatur dan hidup di sosial masyarakat, dan itu
disebut dengan pluralisme hukum. Sama seperti yang disampaikan oleh Griffith
(Irianto, 2005:56) bahwa pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan
hukum dalam suatu arena sosial. Kehadiran aturan-aturan informal diluar aturan
formal yang mengontrol kehidupan masyarakat menjadi daya tarik oleh

1


Hukum mengandung konsepsi normatif diartikan sebagai hukum berisi norma-norma aturan yang
hidup di masyarakat. Sebagai contoh, dalam konsepsi normatif, tindakan korupsi, perdagangan
manusia, pelanggaran hak asasi manusia, dilarang oleh semua sistem hukum, baik negara, agama,
adat maupun kebiasaan lain (dalam Irianto, 2012 :166)
2
Hukum mengandung konsepsi kognitif diartikan tentang apa yang disebut sebagai „korupsi‟ atau
„perdagangan orang‟ atau „hak asasi manusia‟ bisa sangat berbeda di antara berbagai sistem hukum
tersebut dan dimana hukum itu berlaku (dalam Irianto, 2012 :166)

1
Universitas Sumatera Utara

antropolog hukum melakukan sebuah kajian. Sehingga dapat di simpulkan bahwa
hubungan antara antropologi hukum dan pluralisme hukum adalah sejalan.
Ada 4 gagasan awal mengenai latar belakang permasalahan fokus
penelitian yang peneliti bahas disini.Yang pertama, hubungan antara lapangan
pekerjaan bangunan dengan pembangunan perekonomian Indonesia saat ini.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah salah satu negara berkembang di dunia
yang ikut berpartisipasi pada MEA3( Masyarakat Ekonomi ASEAN). Sebagai
negara berkembang, Indonesia juga ikut dalam proses memajukan negara dan

bersaing di kancah Internasional, baik itu dalam memajukan perekonomian,
politik, maupun sosial. Proses perubahan, berarti ditandai dengan pembangunan.
Praktek kerja bangunan, didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk
membangun yang bersifat fisik, atau dalam bahasa lainnya disebut dengan praktek
“konstruksi”. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), konstruksi
diartikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah,
dan sebagainya). Sehingga dapat diartikan bahwa praktek kerja bangunan/ praktek
konstruksi adalah sebuah pekerjaan yang bertujuan untuk membangun atau
mendirikan suatu bangunan. Salah satu jenis pembangunan fisik itu adalah

3

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 (bahasa Inggris: ASEAN Economic Community
(AEC)) adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas
antarnegara-negara ASEAN. Seluruh negara anggota ASEAN telah menyepakati perjanjian ini.
MEA dirancang untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020. Dalam menghadapi persaingan yang
teramat ketat selama MEA ini, negara-negara ASEAN haruslah mempersiapkan sumber daya
manusia (SDM) yang trampil, cerdas, dan kompetitif. Negara anggota yaitu,
Brunei,Filipina,Indonesia,Kamboja,· Laos, Malaysia,Myanmar,Singapura,Thailand, Vietnam.
Peluasan negara anggota Papua Nugini, · Timor Leste,Kepulauan Solomon, dan Bangladesh

(Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_Ekonomi_ASEAN (diakses pada 03 maret
2016).

2
Universitas Sumatera Utara

infrastruktur. Menurut Juan Jose Daboub, Managing Director Bank Dunia4, saat
berkunjung ke Indonesia pada April 2010, ia mengatakan bahwa :
“Indonesia telah berhasil mengatasi krisis keuangan global dengan

sangat baik. Dan kini, seperti halnya kebanyakan negara
berpendapatan menengah, infrastruktur menjadi salah satu kendala
terbesar dalam mendorong pertumbuhan dan memperbaiki iklim
investasi di Indonesia. Karena itu menjadi sangat penting bagi
Indonesia untuk menyiapkan dan menggalakkan proyek-proyek
infrastruktur dengan skema kemitraan publik-swasta, serta
menunjukkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan
pengendalian korupsi yang efektif.”
Selanjutnya mengenai pembangunan jalan tol, beberapa wilayah yang
menjadi fokus pembangunan yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Pemerintahan Jokowi, melalui Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR mengatakan
bahwa “target pembangunan jalan tol sepanjang 1.000 km akan menjadi tulang
punggung pergerakan ekonomi Indonesia, memperlancar sistem distribusi
logistik, serta mempermudah mobilitas barang, jasa dan masyarakat5”. Presiden
Joko Widodo juga menambahkan bahwa bangunan infrastruktur yang masif bakal
menopang pertumbuhan ekonomi ke depan6.
Dari hasil penuturan di atas dapat kita katakan bahwa sektor konstruksi
menjadi motor penggerak pembangunan (Arif Budimanta, Direktur Eksekutif
Megawati Institute)7. Pembangunan yang secara masif di bidang konstruksi juga
sangat jelas terlihat di Indonesia saat ini. Salah satu penyebab nya adalah karena
Indonesia saat ini ikut dalam persaingan global pasar ekonomi ASEAN.
4

Sumber oleh www.worldbank.org/.../infrastructure-development-key-rapid-growth-mi.
(diakses pada 23 Februari 2016).

5

Sumber berita dari (http://economy.okezone.com) pada kolom bisnis pada 01 Juni 2015. Diakses
pada 24 Februari 2016.

6
Ibid
7
Sumber berita dari nasional.sindonews.com/.../sektor-konstruksi-sebagai-motor pembangun
pada 7 November 2014.(diakses pada 23 Februari 2016).

3
Universitas Sumatera Utara

Tidak hanya persoalan infrastruktur yang menjadi motor penggerak
ekonomi suatu negara. Munculnya globalisasi di Indonesia juga membuat
pergerakan yang begitu cepat, salah satu nya mengenai wilayah pemukiman. Di
Pematangsiantar tempat lokasi penelitian saya, mengalami pelebaran wilayah sejak
tahun 2007 sehingga memunculkan daerah-daerah baru yang berada di pinggiran
kota Pematangsiantar. Daerah pinggiran kota ini disebut dengan wilayah sub
urban. Dengan semakin padatnya penduduk di kota, ini membuat pilihan
masyarakat untuk berpindah ke wilayah-wilayah sub urban, sehingga ini juga
menimbulkan perkembangan suatu kota ditandai dengan pelebaran jalan dan
perkembangan di suatu wilayah.
Dengan semakin maraknya pembangunan di bidang konstruksi, semakin

bertambah juga lapangan pekerjaan, terutama di bidang kerja bangunan. Terbukti
dengan jumlah pekerja bangunan yang bekerja pada sektor konstruksi mengalami
peningkatan. Data dari BPS Indonesia menunjukkan bahwa jumlah para pekerja di
bidang konstruksi meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2013, pekerja bangunan
berjumlah 6.349.387 orang. Mengalami peningkatan pada tahun 2014, menjadi
7.280.086 orang. Data di Pematangsiantar didapatkan bahwa jumlah pekerja yang
bergerak dibidang konstruksi sebesar 67898 orang dibandingkan dengan tahun
2013 yang berjumlah lebih sedikit yaitu 5900 orang. Data ini merupakan data BPS
yang terkini. Mengingat data terakhir yang terakumulasi di tahun 2014, dan
sekarang sudah tahun 2016, perubahan-perubahan pada pembangunan fisik di
Pematangsiantar terus berkembang. Dengan semakin banyaknya pertumbuhan
8

Sumber siantarkota.bps.go.id/. Pada Tabel 2.8 mengenai Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas
pada Lapangan Pekerjaan Utama, 2014).

4
Universitas Sumatera Utara

bangunan-bangunan baru seperti perumahan, komplek, pembangunan ruko,

sekolah, jalan, tempat-tempat hiburan, tidak menutup kemungkinan bahwa
lapangan pekerjaan pada bidang konstruksi di Pematangsiantar juga bertambah.
Hukum dipandang sangat memainkan peranan penting dalam globalisasi,
karena hukum bersentuhan dengan domain sosial, politik, ekonomi. Dapat
dipelajari bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam
mendefinisikan kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan antarkelompok
dan bahkan antarbangsa (Irianto, 2012 :167). Dengan munculnya globalisasi dan
persaingan MEA yang di tandai dengan pertumbuhan ekonomi maupun politik
suatu negara ini memunculkan adanya hukum yang mengatur dalam interaksi
tersebut.
Setelah membahas mengenai maraknya beragam proyek-proyek pekerjaan
bangunan di Indonesia saat dan kaitannya dengan pembangunan Indonesia,
gagasan yang kedua peneliti melihat adanya hubungan antara pekerja bangunan
dengan kesempatan. Banyak penyebutan nama mengenai pekerjaan sektor
informal ini. Baik itu buruh bangunan, pekerja bangunan, maupun tukang
bangunan. Tetapi kata yang lebih familiar dan lebih luas pendefinisiannya adalah
tukang bangunan. Karena baik itu pekerjaan konstruksi seperti pembuatan irigasi,
pembangunan jalan, pembangunan gedung-gedung, orang-orang lebih sering
menyebutnya dengan sebutan “tukang”. Maka disini peneliti akan menyatukan
penyebutannya dengan “tukang bangunan”. Siapakah tukang bangunan ini?

Mereka adalah orang-orang yang berjasa terhadap pembangunan-pembangunan
fisik yang dapat kita lihat saat ini. Mereka adalah orang-orang pekerja keras, yang

5
Universitas Sumatera Utara

rajin, terampil, dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Mengerjakan pekerjaan
yang berat (dengan tenaga) demi mencari nafkah bagi keluarga, bukanlah masalah
bagi mereka. Mereka sama seperti kebanyakan masyarakat lain, tetapi kesempatan
lah yang membedakan antara tukang bangunan dengan dosen, (contohnya). Dosen
merupakan orang-orang intelektual, orang-orang terpilih, yang untuk mendapatkan
posisi tersebut, kita harus sekolah yang tinggi, berbeda dengan tukang bangunan.
Tidak memiliki modal pendidikan sekolah pun, kita bisa menjadi tukang
bangunan. Kesempatan akan pendidikan, peluang untuk mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik, kesempatan untuk keluar dari zona kehidupan tersebut, tidak
mereka dapatkan. Sehingga dengan bekal tenaga, kecekatan, pengalaman, mereka
bisa mendapatkan penghasilan untuk keluarga.
Tukang bangunan banyak kita temui di daerah perkotaan. Perkotaan
identik dengan banyaknya pembangunan dan disana lah jasa tukang bangunan
terpakai. Seperti dalam buku Kartini Sjahrir yang membahas mengenai migrasi

para tukang bangunan ke Jakarta. Migrasi ini disebabkan karena kota, dalam hal
ini (Jakarta) sebagai pusat ibukota Indonesia dan juga sebagai pusat dari
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik di Indonesia menawarkan begitu
banyak lapangan pekerjaan yang tidak ditemui di daerah pedesaan. Dan karena
alasan perekonomian menjadi satu tujuan masyarakat desa untuk migrasi ke kota.
Begitu banyaknya jenis lapangan kerja yang ditawarkan oleh kota, dan kerja pada
sektor konstruksi adalah salah satunya. Tidak hanya Jakarta, Pematangsiantar yang
merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara juga mempunyai

6
Universitas Sumatera Utara

para pekerja bangunan yang menciptakan lapangan pekerjaan sendiri untuk
kebutuhan mereka, seperti pembangunan rumah pribadi.
Lokasi penelitian saya berada di wilayah sub urban Pematangsiantar. Sub
urban memiliki pengertian sebagai daerah perumahan di pinggiran kota dan tidak
jauh dari pusat kota. Munculnya daerah ini salah satunya karena pemekeran kota,
yang di cirkan dengan munculnya jalan-jalan baru dan perluasan lahan. Tanah di
daerah kota yang mahal, membuat penduduk berlomba-lomba untuk membangun
pemukiman di wilayah sub urban yang harga tanahnya masih relatif murah.

Dengan semakin banyaknya penduduk yang memutuskan untuk bermukim di
wilayah sub urban, semakin bertambah juga lapangan pekerjaan untuk pekerja
bangunan di wilayah sub urban.
Selanjutnya yang ketiga, aturan-aturan formal yang mengatur dalam
pekerjaan bangunan/sektor konstruksi dan aturan informal yang hidup dalam
pekerjaan bangunan. Hukum-hukum formal tersebut diantaranya: Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 (diperbaharui menjadi PP No. 59/2010)
mengenai Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 mengenai Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
09/Per/M/ 2000 mengenai Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum. Melihat adanya
hukum formal yang mengatur sistem kontruksi dan pekerja bangunan, ini
mengindikasikan bahwasannya pemerintah memiliki salah satu fokus perhatian
pada sektor ini. Tetapi dalam pegimplementasian aturan-aturan formal di atas, ada
aturan-aturan lain yang bermain di dalam lingkungan tersebut. Seperti dikatakan

7
Universitas Sumatera Utara

Kartini Sjahrir(Pasar Tenaga Kerja Indonesia) bahwa pada tahun 1977 berdirilah

Serikat Pekerja Buruh Pekerjaan Umum(SPBU) yang bertujuan untuk mendukung
pekerja konstruksi dari setiap tingkat untuk memperbaiki nasib, termasuk
memperjuangkan hak-hak setiap pekerja. Langkah-langkah yang diusung
pemerintah, seperti pelatihan, pemeliharaan kesehatan pekerja, keselamatan kerja
dan promosi bagi pekerja. Namun SPBPU ini kurang berperan besar, terbukti pada
saat pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai Asuransi Sosial Tenaga Kerja
(Astek)9 yang mencakup perlindungan asuransi untuk kecelakaan kerja dan
meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Banyak tukang bangunan yang tidak
tahu mengenai informasi ini, dan sosialisasi dari SPBPU pun tidak terlihat.
Sehingga pada dua kasus, yaitu 2 pekerja yang meninggal pada saat bekerja di
lapangan, jenazahnya langsung di bawa ke kampung halaman. Para pekerja,
mandor, dan kontraktor mereka lah yang mengumpulkan duit untuk memberikan
sumbangan kepada keluarga korban. Di satu kasus mereka sama sekali tidak tahu
mengenai asuransi Astek, tetapi di kasus kedua, mereka sudah mengajukan claim
dan Astek tidak berbuat apa-apa.

9

. Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU
No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP)
No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan
kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964
tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969
tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Selanjutnya pada tahun 1977 Peraturan Pemerintah (PP)
No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang
mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program
ASTEK. Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai
badan penyelenggara Jaminan Sosial. Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1 Januri
2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum Publik. PT Jamsostek (Persero) yang
bertransformsi menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan.
www.bpjsketenagakerjaan.go.id/page/profil/Sejarah.htm (Diakses pada 02 Maret 2016).

8
Universitas Sumatera Utara

Fakta di lapangan yang saya temukan berbeda. Regulasi yang dibuat
pemerintah yang menunjukkan perhatiaan pada pekerjaan bangunan ternyata
memiliki batasan. Perundang-undangan pemerintah yang hanya memfokuskan
peraturan bagi jasa konstruksi yang sudah memiliki izin usaha atau lembaga, tidak
berlaku bagi jasa konstruksi yang tidak memiliki lembaga, seperti pemborong
bangunan(perorangan)kajian fokus penelitian saya. Pekerjaan bangunan di
wilayah sub urban yang fokusnya adalah membangun pemukiman-pemukiman
baru, ternyata mereka memiliki aturan-aturan sendiri di luar aturan yang sudah di
tetapkan oleh pemerintah dalam berinteraksi dengan pekerja ataupun dengan
klien. Seperti tulisan Jan Michiel Otto( dalam Irianto, 2012:119) yang
mengungkapkan bahwa hukum di negara-negara berkembang secara histroris
terbentuk oleh 4 lapisan. Lapisan terdalam terdiri dari aturan-aturan kebiasaan
yang diakui (sebagai hukum oleh masyarakat yang bersangkutan), di atasnya ialah
lapisan aturan-aturan keagamaan yang diakui, kemudian aturan-aturan hukum dari
negara kolonial dan lapisan paling atas ialah hukum nasional modern yang terus
berkembang.
Lapisan pertama inilah yang menjadi dasar saya melihat gejala-gejala
pluralisme hukum di lapangan penelitian saya. Hukum hidup di masyarakat,
karena masyarakat tersebut membutuhkannya. Hukum bergerak secara dinamis
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Salah satu alasan ini lah, yang membuat saya tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai temuan-temuan baru di lapangan mengenai aturan-aturan informal yang
hidup dalam dunia pertukangan.

9
Universitas Sumatera Utara

Kemudian persoalan keempat adalah pola hubungan antara pekerja
bangunan dengan ruang lingkupnya yang tanpa disadari menciptakan aturanaturan yang tak tertulis di dalam keeksissannya. Adanya hubungan antara
pemborong, pekerja, klien atau mitra pemborong dan yang lainnya ternyata tanpa
disadari menciptakan aturan-aturan informal dalam kehidupan komunikasi
mereka. Hubungan antara berbagai aktor tersebut secara tidak langsung membuat
mereka di dalam satu kondisi yang dinamakan dengan persaingan seleksi alam.
Karena kita harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana kita berada
(dalam hal ini kebiasaan, aturan-aturan informal) kalau kita ingin bertahan. Kalau
tidak, kita akan dianggap menyimpang atau terkena seleksi alam. Karena nasib
kita dalam kehidupan, akan dikondisikan terutama sekali oleh pelbagai posisi yang
dapat kita capai dalam asosiasi-asosiasi tersebut (lingkungan kita berada). Mesti
ada resiprositas pelayanan yang diberikan di sini. Mustahil asosiasi memberi
sesuatu kecuali kalau anggota nya juga memberi. Jadi asosiasi sosial tersebut
adalah sumber dari kekuasaan memaksa, sanksi, semua aturan norma sosial, dan
hukum (Ehrlich dalam Zuska, 2016). Sehingga dapat di katakan bahwa orang
bertindak menurut hukum, karena dipersyaratkan oleh relasi-relasi sosialnya.
Hukum juga sangat berkuasa dalam mengkonstruksi kehidupan kita, menentukan
siapa kita dalam interaksi dengan orang lain maupun kelompok lain (Irianto,
2012:167). Kasus yang sama juga terlihat pada penelitian Sally Falk Moore pada
Bidang Industri Pakaian Gaun Mahal (dalam Ihromi, 1993:154-161). Pentingnya
menjaga hubungan baik bagi ruang lingkup penyedia jasa adalah faktor yang
sangat penting.

10
Universitas Sumatera Utara

Penelitian saya mengenai hukum di masyarakat sub urban yang fokus pada
hubungan-hubungan hukum dalam ruang lingkup pertukangan perlu untuk dikaji.
Karena ruang lingkup pertukangan yang termasuk dalam sektor informal jarang
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Untuk menciptakan lapangan pekerjaan,
untuk mengatur sistem, keorganisasian, dan keberlangsungan pekerjaan, mereka
menciptakan aturan-aturan tersendiri di lapangan. Kajian antropologi yang
sekarang tidak hanya fokus pada permasalahan pedesaan, tetapi juga sudah
merambah pada permasalahan perkotaan, membuat para Antropolog semakin peka
tentang berbagai permasalahan di kota, salah satunya adalah mengenai pekerjaan
bangunan di pinggiran kota Pematangsiantar. Untuk alasan itu lah saya tertarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai fenomena hubungan-hubungan hukum
dalam dunia pertukangan di Pematangsiantar.

I.2. Tinjauan Pustaka
I.2.1. Hukum Dalam Antropologi
Di dalam Antropologi, kita belajar sesuatu yang holistik dalam melihat
kebudayaan. Artinya, dengan penglihatan holistik dimaksudkan dapat meninjau
kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang bagian-bagiannya mewujudkan
hubungan yang kait mengkait/terintegrasi. Dan hukum disini, tidak ditinjau secara
tersendiri, tetapi dihubungan dengan kebudayaan sebagai keseluruhan. Hubungan
antara kebudayaan dan hukum, antara lain :
-

Kebudayaan melahirkan norma, dan norma menunculkan hukum

11
Universitas Sumatera Utara

-

Norma bersifat universal. Artinya dipakai untuk berinteraksi sosial dengan
masyarakat luas. Sehingga hukum difungsikan untuk sarana untuk
melesatrikan kebudayaan yang terwujud di dalam norma social (Ihromi,
2000:1).

Pada tahap awal perkembangannya, hukum di artikan oleh Malinowski sebagai
sarana pengendalian sosial yang terdapat dalam setiap lapisan sosial masyarakat
yang ketaatannya didasarkan atas hubungan timbal balik antar masyarakat yang
saling berinteraksi. “Hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang
terorganisasi dalam Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial
(legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam masyarakat
bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, tetapi
karena adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip publisitas
(principle of publicity) misalnya sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam
masyarakat Trobiand menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang
menggerakkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat melalui prinsip
resiprositas atau timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga,
menggerakkan kehidupan kekerabatan, sistem pertukaran mas kawin dan juga
menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk upacara-upacara yang
berlangsung dalam kehidupan bersama. (Suryatni, 2013:31).”
Dari definisi Malinowski tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat
mana pun, baik itu masyarakat yang masih sederhana atau sudah kompleks
memiliki aturan-aturan hukum yang secara informal terlihat sebagai sarana
pengendalian sosial di dalam interaksinya. Dan hukum disini masih dianggap

12
Universitas Sumatera Utara

sebagai sesuatu yang dapat memberikan perlakukan adil dalam hubungan timbal
balik antar sesama individu maupun antar kelompok.
Pada prinsipnya hukum (dalam rule centered paradigm) dipandang sebagai
cara untuk meningkatkan integrasi sosial, dan merupakan akumulasi atau abstraksi
dari norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut sebagai pedoman
berperilaku. (Irianto, 2005: 64). Ciri ini juga bisa disebut sebagai hukum
substantif, dimana hukum didasarkan atas hak-hak individu, moralitas, keadilan,
dan kesejahteraan bagi individu tersebut (Bedner, 2012 :52).
Hukum

dalam pendekatan kritik

dipandang sebagai

cara untuk

mendefinisikan dan menegakkan tata tertib yang menguntungkan kelompok
tertentu diatas pengorbanan kelompok lain. Hukum tidak dipandang sebagai
norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh
kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka
yang sangat berkuasa, dengan cara membangun false consciousness (Wallace dan
Wolf, dalam Irianto,2005:65). Dalam pendefinisian ini, hukum dicirkan seperti
hukum formal, dimana hukum bersifat up-bottom, hukum berasal dari regulasi
pemerintah (Bedner, 2012 : 64). Dan dalam pemikiran prosesual, hukum
dipandang sebagai gejala sosial atau proses sosial, artinya hukum selalu berada
dalam pergerakan (dinamika), karena dipersepsikan, diberi makna dan kategori
secara beragam dan berubah sepanjang waktu (Irianto, 2005:66).
Aturan-aturan hukum berbeda dengan aturan-aturan lainnya, dimana
didukung oleh sanksi-sanksi dalam pengendalian sosialnya. Karena hukum berada
dalam interaksi sosial masyarakat. Untuk mengendalikan interaksi tersebut, di

13
Universitas Sumatera Utara

ciptakan lah hukum. Dan hukum ini terdapat di dalam hubungan timbal balik
maupun hubungan yang didasarkan atas pemenuhan hak-hak nya (Soekanto,
1984:1). Beckmann beranggapan bahwa hukum dianggap sebagai aturan-aturan
yang diberi sanksi dalam prosedur terorganisasi (dalam Ihromi, 1993:6).
Antropologi dalam melihat hukum sebagai suatu aspek dari kebudayaan,
yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam
mengatur perilaku manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan
agar penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan
dapat diperbaiki. Dengan demikian, perilaku yang menjadi kebiasaan, dan
selanjutnya menjadi adat masyarakat dan merupakan sistem kontrol sosial itu akan
mempunyai kekuatan hukum, yang apabila digunakan oleh kekuasaan masyarakat
untuk mengatur perilaku manusia dan masyarakat yang bersangkutan supaya
teratur. Sepanjang masyarakat itu teratur, karena ada yang mengatur dan
mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat itu terdapat hukum. (Hadikusuma,
2006:8). Dan ia menambahkan bahwa jika tidak ada petugas-petugas masyarakat
atau perangkat penguasa dalam suatu masyarakat maka hukum itu tidak ada.
Nurjaya (2011 :1) dalam tulisannya mengenai perkembanguan pluralisme
hukum ia merujuk dalam berbagai ahli dan menyimpulkan bahwa para ahli
antropologi mempelajari hukum bukan semata-semata sebagai produk dari hasil
abstraksi logika sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan semata, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku
dan proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hoebel
menambahkan bahwa hukum itu ada pada masyarakat yang sederhana, yang

14
Universitas Sumatera Utara

dinamakan dengan „primitive law”, ada pada masyarakat purba “archeiv law” dan
hukum itu ada pada masyarakat yang telah maju dengan hukumnya yang modern
(Hoebel dalam Hadikusuma, 2006:8).
Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang
integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari
sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek
kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial,
dll,atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan
masyarakat. Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata
berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh Negara (state law),
tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang
bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk
pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self
regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).
(Pospisil dan Moore dalam Nurjaya,2011:1).
Secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri
(inner order mechanism atau self-regulation) dalam komunitas-komunitas
masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana
untuk menjaga keteraturan sosial (F. von Benda-Beckmann dalam Suryatni,
2013:34). Seperti yang disampaikan juga oleh Hollemann (1978) mengatakan
bahwa di wilayah urban di negara-negara berkembang, tumbuh bentuk-bentuk
hukum baru yang tidak dapat di beri label sebagai hukum negara, hukum adat,
atau hukum agama, sehingga disebut sebagai hybrid law, atau unnamed law

15
Universitas Sumatera Utara

(dalam Irianto,2012). Teori-teori tersebut saya bawa ke lapangan, dan
membuktikan bahwa ternyata benar bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dalam dunia
pertukangan yang tanpa sadar sudah di berlakukan sebagai hukum dalam dunia
pertukangan.
Dilihat dari keeksisan hukum dalam masyarakat, Paul J. Bohannan
mengatakan bahwa hukum itu mirip seperti bunglon bila diperhatikan bahwa dia
terdapat diberbagai masyarakat dan dia mengambil bentuk dan isi menurut
kebutuhan masyarakat dimana dia berlaku. Namun dibawah kulit bunglon yang
berubah-ubah terdapat sesuatu yang merupakan inti yang tidak berubah. Sifatnya
yang bisa berubah itu justru merupakan sifat yang paling penting dan merupakan
kekuatannya(dalam Ihromi,2000:52-53). Dan Hoebel juga menambahkan bahwa
untuk dapat menempatkan hukum di dalam struktur masyarakat sosial, maka kita
lebih dahulu harus melihat kepada masyarakat dan kebudayaannya sebagai suatu
keseluruhan (dalam Ihromi,1993:148). Sehingga dapat kita lihat bahwa hukum itu
bergerak sangat dinamis, karena dapat berubah sepanjang waktu.
Dengan semakin berkembangnya pemikiran dan pengetahuan masyarakat,
seorang antropolog bernama Klose menuliskan sebuah perbedaan pandangan
antara masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup dalam melihat hukum. Pada
masyarakat terbuka cenderung memiliki sikap kritis terhadap kehidupan sosial
mereka, yang mana mereka melihat bahwa norma/aturan yang mengatur
kehidupan sehari-hari dan lembaga yang mengaturnya merupakan karya manusia
itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup menilai bahwa norma/aturan dan
institusi yang mengaturnya dianggap pemberian dari alam (dalam Birx, 2011:

16
Universitas Sumatera Utara

488).
Dari berbagai macam pandangan dan pendefinisian diatas dapat
disimpulkan bahwa hukum terdapat di mana-mana. Baik itu dalam bentuk-bentuk
masyarakat, lapisan masyarakat, di periode kehidupan zaman dulu, masa kini, dan
masa mendatang yang pergerakannya sangat dinamis dan keeksisannya hidup
dalam interaksi masyarakat dan berfungsi sebagai kontrol sosial.

I.2.2. Pluralisme Hukum
Pluralisme hukum muncul disaat berkembangnya pemikiran para ahli
antropolog bahwa sentralisme hukum (hukum negara) bukan satu-satu nya hukum
yang mengatur kehidupan masyarakat. Karena pemberlakuan sentralisme hukum
dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan
budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan (Griffiths). Menurut Griffiths
kemajemukan hukum itu ada dalam masyarakat. Dimana ia mengatakan bahwa
“adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam arena sosial (By ‘legal pluralism’ I
mean the presence in a social field more than one legal order”)
(dalam Irianto, 2005:56).
Pluralisme hukum juga muncul di Indonesia karena adanya kemajemukan
budaya. Itu dibuktikan dengan adanya semboyan “Bhineka Tunggal Ika, yaitu
berbeda-beda tapi tetap satu”. Hal “berbeda-beda” dalam cakupan ini meliputi,
ras, etnik, suku, agama, budaya, dan sebagainya adalah yang menjadi bukti dari
kemajemukan budaya. Keragaman ini lah yang menghimpun menjadi kesatuan
bangsa Indonesia dan dilindungi dalam naungan Negara Kesatuan Republik

17
Universitas Sumatera Utara

Indonesia. Dalam keberagaman ini, pasti memunculkan potensi konflik, atas
pemikiran atau pandangan yang berbeda-beda dari masyarakat Indonesia, maka di
munculkan lah suatu istilah bernama hukum untuk memberikan arahan perilaku
masyarakat (Fusanti, 2014:15).
Secara umum pluralisme hukum didefinisikan sebagai suatu situasi di
mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu
bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau
lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths
dalam Nurjaya, 2011:10), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih
sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker dalam Nurjaya,
2011:10), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi
bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan
dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann dalan Nurjaya,
2011:10).
Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) menurut Griffiths
dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi
sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki
pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu - satunya hukum bagi semua
warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem – sistem hukum yang
lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme
- mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan
masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths, menegaskan sentralisme hukum
cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat,

18
Universitas Sumatera Utara

termasuk di dalamnya norma – norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan
dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan sering lebih ditaati dari
pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu,
seperti yang disampaikan di atas tadi bahwa pemberlakuan sentralisme hukum
dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan
budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Legal pluralism is the fact. Legal
centralism is a myth, an ideal, a claim, an ilusion. “Pluralisme hukum adalah
fakta. Sentralisme hukum adalah mitos,ideal, klaim, ilusi” (dalam Nurjaya,
2011:11).

a. Fase Perkembangan Pluralisme Hukum
Sejarah awal munculnya pluralisme hukum adalah pada saat banyak nya
negara-negara terjajah yang sudah merdeka masih menganut sistem hukum
kolonial di dalam pengaturan hidup mereka maupun mengadopsi hukum kolonial
dengan bungkusan yang baru dan disandingkan dengan hukum-hukum baru yang
mereka ciptakan. Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi hukum
lebih memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum atau pluralisme
hukum. Tema pluralisme hukum pertama-tama difokuskan pada kemajemukan
cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi kemudian diarahkan
kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum
pemerintah kolonial dan pemerintah negara-negara yang sudah merdeka (dalam
Nurjaya 2011:11).

19
Universitas Sumatera Utara

Sulistyowati Irianto (2011) membagi 3 fase perkembangan pluralisme hukum,
yaitu :


Pada masa awal (1960an-1970an) yang dilakukan oleh para ahli adalah

melakukan identifikasi atau pemetaan terhadap keanekaragaman hukum dalam
bidang sosial tertentu (mapping of legal universe). Pengertian pluralisme hukum
dicirikan sebagai adanya hukum negara di satu sisi, dan hukum rakyat di sisi yang
lain. Hukum rakyat dalam hal ini adalah hukum yang pada prinsipnya tidak
berasal dari negara, yaitu hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan atau
kesepakatan dan konvensi sosial lain yang dipandang mengikat sebagai hukum
(Irianto, 2011).
Pada tahap awal perkembangan pluralisme hukum, pemikiran Griffiths
membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu: weak legal pluralism
dan strong legal pluralism yang terdapat dalam jurnal “what is legal pluralism?”
Griffiths tahun 1986. Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah itu adalah
bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme
hukum, tetapi tetap berpegang pada hukum Negara, negara mengakui adanya
hukum-hukum lain di luar hukum negara, tetapi statusnya tetap di subordinat
hukum negara. Contoh dari pandangan pluralisme hukum yang lemah adalah
konsep yang diajukan oleh Hooker : “The term legal pluralism refers to the
situation in which two or more laws interact”. “Pola pluralisme hukum mengarah
pada situasi dimana dua atau lebih hukum berinteraksi” (Hooker dalam Irianto,
2011). Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi Hooker
masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut sebagai

20
Universitas Sumatera Utara

municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan servient law
yang menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama (Irianto, 2011)
Sementara itu, konsep pluralisme hukum yang kuat, yang menurut
Griffiths merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah
mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua
(kelompok) masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama
kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarkhi yang menunjukkan
sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Sehingga pada pluralisme
hukum kuat ini, semua jenis hukum dipandang setara di dalam masyarakat. Dan
John Griffiths juga memasukkan pandangan beberapa ahli mengenai konsep
pluralisme hukum yang kuat, diantaranya :
1. Legal Level (Pospisil)
Hukum dalam masyarakat, menurut Pospisil adalah bertingkat-tingkat atau
hierakis. Di dalam kelompok, ada individu-individu yang memiliki kesatuan
berupa kelompok dan masuk ke dalam sistem. Tiap-tiap sub-kelompok itu sangat
menggantungkan eksistensinya kepada sebuah sistem hukum milik kelompoknya
sendiri yang mengatur perilaku anggota-anggotanya. Hukum disini bersifat
hierakis. Sistem hukum dari kelompok yang lebih inklusif akan berlaku bagi
anggota-anggota semua sub kelompok konstituennya. Eksistensi empirik dari
hukum yang terdapat dalam kelompok, tidak bergantung pada penegakan hukum
negara.. Jenis hukum yang seperti ini, dalam artian Griffiths dikategorikan sebagai
“stong legal pluralism” (dalam Zuska,2016).
2. Semi-autonomous Social Field (Sally Falk Moore)

21
Universitas Sumatera Utara

Semi-autonomous Social Field diartikan sebagai kapasitas kelompok
kelompok sosial (socialfield) dalam menciptakan mekanisme – mekanisme
pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa
pentaatannya dalam lapangan sosial semi otonomi (Suryatni,2013 :35). Sementara
itu pengertian hukum dari Moore yang juga dikutip Griffiths adalah: “ Law is the
self-regulation of a ‘semi-autonomous social field” (Griffiths dalam Irianto,
2011). Apa yang di katakan Moore mengenai hukum sebagai mekanismemekanisme pengaturan sendiri dalam sosial masyarakat yang bersifat semi
otonom sama seperti lapangan penelitian saya mengenai hubungan-hubungan
hukum dalam dunia pertukangan, dimana dunia pertukangan mempunyai aturanaturannya sendiri dalam pengaturan kehidupan pertukangan mereka, tetapi tidak
bisa juga lepas dari pengaruh pemerintah.
3. Living Law (Eugene Ehrlich)
Selanjutnya Griffith juga memasukkan pandangan dari Eugene Ehrlich
tentang pluralisme hukum yang kuat dalam teori living law yaitu : “Dalam setiap
masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif yang
biasanya dikontraskan/dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk
dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism)” (dalam
Irianto 2011). Kunci dari teori living law adalah “rule for decision dan rule for
conduct”. Rule for decision diartikan sebagai konsepsi hukum postivis, yaitu
hukum didefinisikan dari sudut pandang petugas negara. Rule of conduct melihat
bahwa konsep hukum sebagai sebuah pengaturan pada asosiasi-asosiasi manusia
di manapun. Rule of conduct ini adalah memiliki beragam variasi dan memiliki

22
Universitas Sumatera Utara

variasi nama, yaitu aturan hukum, moral, ethical customs, kebijaksanaan,
kehormatan, etika, tata krama, dan fashion). Kita semua hidup dalam asosiasiasosiasi yang teroganisir. Nasib kita dalam kehidupan, akan dikondisikan
terutama sekali oleh pelbagai posisi yang dapat kita capai dalam asosiasi-asosiasi
itu. Mesti ada resiprositas pelayanan yang diberikan di sini. Mustahil asosiasi
memberi sesuatu kecuali kalau anggotanya juga memberi. Jadi asosiasi sosial itu
adalah sumber dari coercive power, sanksi, semua norma sosial, dan hukum.
Orang bertindak menurut hukum, adalah karena dipersyaratkan oleh relasi-relasi
sosialnya. Griffiths mengatakan bahwa teori living law oleh Ehrlich telah
membuka mata kita mengenai kemajemukan hukum di dalam masyarakat. Karena
hukum diartikan sama dengan pengaturan. Maka begitu banyak asosiasi-asosiasi
tempat manusia berada, maka begitu beragamnya pengaturan-pengaturan yang
tercipta (Zuska, 2016).



Selanjutnya pada Fase 1990an terdapat variasi pandangan, dimana konsep

pluralisme hukum tidak lagi ditujukan pada mapping yang kita buat sendiri, tetapi
melihatnya pada tataran individu yang menjadi subjek dari pluralisme hukum
tersebut. Gordon Woodman mengajukan konsepnya:
“Legal pluralism in general may be defined as the state of affairs in
which a category of social relations is within the fields of operation
of two or more bodies of legal norms. Alternatively, if it is viewed
not from above in the process of mapping the legal universe but
rather from the perspective of the individual subject of law, legal
pluralism may be said to exist whenever a person is subject to more
than one body of law” (Woodman dalam Kleinhans dan
MacDonald, Woodman, dalam Irianto 2011).”

23
Universitas Sumatera Utara

Eksistensi dari pluralisme hukum akan nampak jika kita melihatnya dari
perspektif individual yang menjadi subjek hukum, atau pluralisme hukum baru
dikatakan ada bila terdapat seorang yang menjadi subjek lebih dari satu sistem
hukum (Irianto, 2005:60). Franz von Benda-Beckmann adalah salah satu ahli
yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini. Ia mengatakan bahwa
tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu
terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah apakah yang
terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem
hukum tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan
bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara
bersama-sama dalam suatu lapangan kajian tertentu (F. Benda-Beckmann dalam
Irianto, 1993 :244).


Fase ketiga adalah pluralisme hukum dalam perspektif global. Sudah

sangat jelas sekali terlihat bahwasanya dengan adanya globalisasi, dan semakin
diperjelas dengan munculnya MEA saat ini, membuktikan bahwa masyarakat
berada pada borderless society. Dimana batas-batas pergerakan itu sudah tidak
ada lagi baik itu dari segi ekonomi, politik maupun sosial. Batas antara hukum
yang satu dan yang lain menjadi kabur, dan hal ini merupakan proses yang
dinamis (K.Benda-Beckmann,dalam Irianto, 2011).
Efek globalisasi juga dapat sangat terlihat dalam bidang hukum. Telah
terjadi pertukaran yang luar biasa dalam bidang hukum, di mana suatu hukum
dari wilayah tertentu dapat menembus ke wilayah-wilayah lain yang tanpa batas.
Hukum internasional dan transnasional dapat menembus ke wilayah negara-

24
Universitas Sumatera Utara

negara manapun, bahkan wilayah lokal yang manapun di akar rumput. Atau
sebaliknya, bukan hal yang mustahil bila hukum lokal diadopsi sebagian atau
seluruhnya menjadi hukum internasional. Terjadi interaksi, Inter.- relasi, saling
pengaruh, saling adopsi, tumpang tindih yang sangat rumit di antara hukum
internasional, nasional, dan lokal (Irianto, 2011).
Globalisasi hukum tidak saja memunculkan persoalan-persoalan global,
tetapi juga menyebabkan hukum internasional tidak hanya mengatur soal-soal
kenegaraan saja, tetapi juga mengatur kerjasama non-kenegaraan yang berkaitan
dengan intervensi humanitarian, promosi nilai-nilai demokrasi, “rule of law”, dan
“transntional accountability” (Benda-Beckmann, dalam Irianto, 2011). Dengan
demikian, ciri pluralisme hukum dalam perspektif global adalah memberi
perhatian kepada terjadinya saling ketergantungan, adopsi, atau saling pengaruh
(interdependensi, interfaces) antara berbagai sistem hukum. Interdependensi yang
dimaksud terutama adalah antara hukum internasional, nasional, dan hukum lokal
(Irianto, 2011).
Hukum dipandang terdiri atas komponen-komponen, bagian-bagian atau
cluster (K.Benda-Beckmann). Hendaknya melihat bahwa cluster, komponen atau
bagian-bagian dari hukum inilah yang saling bersinggungan, dan berinteraksi
membentuk konfigurasi pluralisme hukum (dalam Irianto, 2005 : 62).
Pada tahun 1950 –an atau 1960-an, menurut Keebet von Benda Beckmann,
banyak usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan lokal juga
dapat dipandang sebagai hukum. Meskipun dasar legitimasinya berbeda dari
hukum negara, tetapi tidak ada perbedaan yang mendasar antara hukum negara

25
Universitas Sumatera Utara

dan hukm rakyat. Pada tahun 1978 Holleman mengatakan bahwa di wilayah urban
di negara-negara berkembang, berkembang bentuk-bentuk hukum baru yang tidak
dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum agama,
sehingga disebut sebagai hybrid law, dan banyak pengarang lain menyebutnya
unnamed law (Irianto, 2005 :63). Dengan demikian argumen yang mengatakan
bahwa lapangan pluralisme hukum terdiri dari sitem-sistem hukum yang dapat
dibedakan batasnya, tidak laku lagi. Terlalu banyak fragmentasi, overlap dan
ketidakjelasan. Batas antara hukum yang satu dan yang lain menjadi kabur, dan
hal ini merupakan proses yang dinamis (K.Benda-Beckmann, dalam Irianto,
2011).
Secara konseptual, Sulistyowati Irianto memaparkan ada beberapa a pokok
bahasan penting dalam pemikiran pluralisme hukum “mutakhir”. Yang pertama,
hukum dipandang sangat memainkan peranan penting dalam globalisasi, karena
hukum bersentuhan dengan domain
dipelajari

sosial, politik, ekonomi. Sehingga dapat

bagaimana hubungan antara relasi kekuasaan dan hukum, dan

bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam mendefinisikan
kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan antar kelompok dan bahkan
antar bangsa. Hukum sangat berkuasa, karena mengkonstruksi segala sesuatu
dalam kehidupan kita, menentukan siapa kita dalam relasi dengan orang dan
kelompok lain, dan mengkategorikan perbuatan kita dalam kategori salah dan
benar. Dan dapat dikatakan, bahwa hukum memiliki peranan yang sangat penting
di keberhidupan manusia.

26
Universitas Sumatera Utara

Yang kedua, adanya mobilitas aktor dan organisasi yang menjadi agent
bagi lalu lintas bergeraknya hukum. Contohnya adalah para (buruh) migrant yang
“membawa “ hukumnya sendiri ke negara tujuan, orang-orang yang sering berada
di berbagai negara (pedagang, ekspatriat), pegawai negeri (para diplomat) NGO
Internasional, usaha dagang, dan mereka yang dapat berhubungan dengan dunia
luar karena fasilitas alat komunikasi. Aktor-aktor inilah yang membuat hukum
bergerak. Merekalah aktor yang penting dalam menciptakan glocalizing process10
(Benda-Beckmann,dalam Irianto, 2011).
Yang ketiga, pemahaman globalisasi11 dalam konteks sejarah sangatlah
penting. Globalisasi hukum sudah terjadi sejak dahulu, seiring dengan penjajahan
dan perdagangan pada masa silam. Perlu juga melihat bahwa globalisasi hukum
tidak hanya dapat dijumpai dalam ekspansi hukum Eropa, tetapi juga tersebarnya
hukum Islam ke kawasan-kawasan Asia dan Afika sebelum dan sesudah masa
kekuasaan kolonial Eropa. Di samping itu, sepanjang sejarah dapat dilihat
bagaimana hukum internasional dan traktat juga menyebabkan hukum “bergerak”.
Yang keempat, studi pluralisme hukum “baru” memperhatikan mata rantai
interaksi yang menghubungkan aktor transnational, nasional dan lokal yang
melakukan negosiasi dalam arena multi-sited, dan didasarkan pada relasi-relasi
kekuasaan. Sangat penting untuk melihat bagaimana relasi kekuasaan itu

10

Glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan karakter lokal atau dengan kata lain
berfikir global bertindak lokal. www.scribd.com/mobile/doc/65461597 diakses pada 03 Maret
2016.
11
proses globalisasi bukanlah suatu proses yang baru mulai akhir akhir ini, yang disebabkan oleh
lonjakan perkembanagan sistem komunikasi, tapi sejak masa lalu setiap masyarakat di muka bumi
ini merupakan suatu “masyarakat global” (Sahlins dalam Bachtiar Alam).

27
Universitas Sumatera Utara

menstrukturkan interaksi, dan bagaimana interaksi diproduksi dan dirubah oleh
aktor-aktor tersebut (Benda-Beckmann, Irianto, 2011).
Pemaparan diatas menjelaskan pemahaman Irianto terhadap hubungan
globalisasi dengan hukum, dimana peranan globalisasi sangat besar terhadap
perkembangan

politik,ekonomi,

maupun

kehidupan

sosial

masyarakat.

Selanjutnyaa, Frriedman, disini akan menjelaskan keterpautan hukum dengan
aspek-aspek kebudayaan lainnya, dengan mengungkapkan teori hukum Friedman
(dalam Suryatni, 2013 :36) seperti berikut:
1. Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu
(a) struktur sistem hukum, (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga
pembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya,
lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yang berfungsi
sebagai aparat penegak hukum;
(b) substansi sistem hukum, (substance of legal system) yang berupa norma norma
hukum, peraturan – peraturan hukum, termasuk pola - pola perilaku masyarakat
yang berada di balik sistem hukum; dan
(c) budaya hukum masyarakat, (legal culture) seperti nilai - nilai, ide - ide,
harapan – harapan dan kepercayaan – kepercayaan yang terwujud dalam perilaku
masyarakat dalam mempersepsikan hukum.
2. Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang
menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya
juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu
untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung

28
Universitas Sumatera Utara

pada kebiasaan - kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi - tradisi (traditions),
dan norma - norma informal (informal norms) yang diciptakan dan
dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dari penjelasan Friedman diatas, tidak menutup kemungkinan adanya
kemajemukan hukum. Eksistensi kemajemukan hukum dilihat dari individu yang
menjadi subjek hukum tersebut atau pluralisme hukum baru dikatakan ada bila
terdapat seorang yang menjadi subjek lebih dari satu sistem hukum (Irianto, 2005:
60).
Pendekatan prosesual adalah salah satu pendekatan yang dipakai para ahli
dalam mengkaji permasalahan pluralisme hukum. Pada prinsipnya, pendekatan
prosesual atau yang disebut Vayda sebagai anti-esensialisme

adalah sebuah

pendekatan yang dalam mengkaji suatu kebudayaan sangat memperlihatkan
variasi yang melekat dalam kebudayaan tersebut. Variasi ini dilihat sebagai
kenyataan yang mendasar, tidak hanya sekedar norma-norma yang terjadi secara
kebetulan. Munculnya anti-esensialisme, yaitu terhadap penolakan Karl Popper
yang menganggap esensialisme adalah apapun yang dianut bersama dan bersifat
universal

(kebudayaan,

hukum

mempunyai

realitasnya

sendiri)

(Masinambow,2000:73).
Dalam pendekatan tersebut, anti-esensialisme berpendapat bahwa dalam
pandangan individu, realita itu sangat beragam. Individu, meskipun merupakan
bagian dari kelompok, tetapi dapat berpikir dan berperilaku secara berbeda. Baik
dalam melihat suatu peristiwa tertentu, pengaruhnya peristiwa tersebut ke
berbagai individu, mempunyai pengetahuan, kategori-kategori dan persepsi-

29
Universitas Sumatera Utara

persepsi mengenai peristiwa. Keberagaman tersebut bisa terjadi antara individu
dengan kelompok, individu dengan individu dalam kelompok, dan juga individu
maupun kelompok dengan peneliti. Untuk itu, masalah pluralisme hukum dalam
pandangan prosesual adalah setiap orang menanggapi suatu aturan hukum tertentu
dengan cara yang berbeda, karena mempunyai

Dokumen yang terkait

Strategi Buruh Dalam Mempertahankan Hidup (Studi kasus di PT.Putra Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar)

0 44 128

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

2 60 173

RITUAL PIODALAN ETNIK BALI DI PURA JAGADHITA TOBA DI KELURAHAN BAHKAPUL KECAMATAN SIANTAR SITALASARI KOTA PEMATANGSIANTAR.

3 19 22

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 12

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 1

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 1 56

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 3

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 4

Pertanyaan Kuisioner STRATEGI BURUH DALAM MEMPERTAHANKAN HIDUP (Studi kasus di PT.Putera Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari

0 0 12

STRATEGI BURUH DALAM MEMPERTAHANKAN HIDUP (Studi kasus di PT.Putra Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar)

0 0 16