Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

(1)

GAMBAR

Gbr. 1 Martil dan Linggis. Di pakai Gbr. 2 Raskam dan tempong Gbr. 3. Sekop dan cangkul. Alat yang di saat menokok sebuah kayu, atau Di pakai saat memplester pakai saat pengadukan semen dan saat memasukkan atau mengeluarkan dinding mencangkul tanah bangunan. paku dari kayu.

Gbr. 4. Sarung tangan. Merupa Gbr. 5 Waterpass. Gbr. 6. Gunting besi. Di pakai untuk meng kan peralatan yang penting gunting besi. Di pakai saat pendirian

dipakai saat bekerja. tiang dan mrmbuat cincin tiang.

Gbr. 7 Sendok pasang/sendok Gbr. 8. Ember. Dipakai saat meng Gbr. 9. Beko/angkong. Di pakai untuk Semen. Dipakai saat mendiri antarkan speksi dari kenek ke membawa pasir dan batu.


(2)

Gbr.10. Dari kiri ke kanan, meteran, Gbr. 11. Ada waterpas,kuas, Gbr.12. Kunci besi. kakaktua, dan marti. tempong di dalam ember. Se Gambar dari internet.

perangkat alat-alat yang disatuin ketika sedang bekerja.

Gbr. 13. Martil batu. Diguna Gbr. 14. Ketam mesin. Digunakan Gbr.15. Gergaji yang dipakai untuk mengger kan utuk menghancurkan batu saat menserut/mengetam pintu dan

kusen.

Gbr.16. Mesin potong granit atau Gbr.17. Gergaji besi, untuk me Gbr.18. Seorang pekerja sedang menggu Disebut dengan manual. Digunakan motong besi. Nakan martil batu untuk menghancurkan saat mengkeramik lantai rumah. Batu padas (batu kali).


(3)

Gbr.19. Bor Gbr.20. Skrab. Untuk membersihkan Gbr.21. Seorang pekerja sedang sisa plesteran yang menempel atau menggunakan selang timbang air

sisa dempulan pada keramik. Untuk mengukur kerataan tinggi kusen.

Gbr. 22. Lot. Digunakan untuk meng Gbr.23. Kapak Gbr.24. Sekop yang sudah rusak dan Ukur tegak lurus suatu bangunan dan tak bisa dipakai lagi.

Juga pada saat tarik benang.

Gbr.25. Sendok Licin. Dipakai ketika Gbr.26. Gerinda. Berfungsi untuk Gbr. 27. Pahat. Berfungsi untuk me Sedang plesteran dan juga saat me memotong keramik. Lubangi kayu atau merapikan hasil

Nyiram air semen. Sumber : internet coran yang gembung untuk diratakan.

Gbr.28. Proses pembuatan pondasi. Pada gambar tersebut ada kayu broti yang mengelilingi di sekitar lokasi pekerjaan tersebut. Itu lah bentuk dari tarikan boplang.


(4)

DATA INFORMAN

1. Nama : Bagus 13. Nama : Devi Hasibuan

Umur : 46 Tahun Umur : 50 Tahun

Pekerjaan : Pemborong bangunan Pekerjaan : guru SD

2. Nama : Eni 14. Nama : Rita

Umur : 29 Tahun Usia : 55 Tahun

Pekerjaan : Kontraktor Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

3. Nama : Etong 15. Nama : Amran

Umur : 50 Tahun Usia : 30 Tahun

Pekerjaan : Kepala Tukang Pekerjaan : Tukang

4. Nama : Eko 16. Nama : Andi

Umur : 55 Tahun Umur : 38 Thun

Pekerjaan : Pemborong/tukang Pekerjaan : Pemborong 5. Nama : Paino

Umur : 54 Tahun

Pekerjaan : Pemborong/tukang 6. Nama : Paito

Umur : 56 Tahun Pekerjaan : Tukang 7. Nama : Pincuk

Umur : 35 tahun Pekerjaan : Tukang 8. Nama : Dedek

Umur : 25 tahun

Pekerjaan : Kenek Bangunan 9. Nama : Dani

Umur : 25 tahun

Pekerjaan : Kenek Bangunan 10.Nama : Wahyu

Umur : 35 Tahun

Pekerjaan : Kenek Bangunan 11.Nama : Peleng

Umur : 45 Tahun Pekerjaan : Tukang

12.Nama : Marliana Manurung Umur : 54 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku

Hadikusuma, Hilman (2006). Antropologi Hukum Indonesia. Bandung : P.T. Alumni.

Ihromi, T.O. (2000). Antropologi dan Hukum. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia. ... (1993). Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta :

Yayasan Obor Indonesia.

Irianto Sulistyowati (2005). “Pluralisme Hukum” dalam Perempuan di Antara

Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal :55-70.

Klose, Joachim (2011). “Open And Close Socientiest” dalam H. James Birx eds.

21th Century Anthropology A Reference Handbook Volume 1&2. Mexico :SAGE Publication,Inc. Hal :488.

Mashinambow, E.K.M (2000). Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O.Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal : 73-79

Soekanto, Soerjono (1984). Antropologi Hukum. Jakarta : Rajawali. Spradley, James P. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta :Tiara Wacana.

Stake, Robert E. (2009). “Studi Kasus” dalam Norman K. Denzim dan Yvona

S.Lincoln eds. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal : 299-313.

Syahrir, Kartini ( 1995). Pasar Tenaga Kerja Indonesia :Kasus Sektor Konstruksi. Jakarta :Grafiti.

Daftar Jurnal

Abdullah, Irwan. “Dari Bounded System ke Borderless Society”. Jurnal

Antropologi Indonesia Vol.30, No. 2. 2006

Adrian W. Bedner & Jcqueline Vel. “Sebuah Kerangka Analisis Untuk Penelitian

Empiris dalam Bidang Akses Terhadap Keadilan”. Jurnal Kajian Sosio-Legal, Bab 4 hlm. 84. Pustaka Larasan :Denpasar. 2012


(6)

Anita,dkk. “Peranan Kearifan Lokal dalam Menjaga Potensi Mangrove Sebagai Upaya Pencegahan Degradasi Budaya Masyarakat Pesisir”.2014

Irianto, Sulistyowati. “Pluralisme Hukum dalam Perspektif Global”. Jurnal Kajian

Sosio-Legal, Bab 6 hlm. 157. Pustaka Larasan :Denpasar. 2012.

Nurjaya, I Nyoman. “Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum”.

2011. Hal 1-17

Otto, Jan Michael. “Kepastian Hukum Yang Nyata Di Negara Berkembang”. Jurnal Kajian Sosio-Legal, Bab 5 hlm. 115. Pustaka Larasan :Denpasar. 2012.

Suryatni, Luh. “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Antropologi”. Universitas

Dirgantara Marsekal Suryadarma (UnSurya). Vol. 5, No. 2. Agustus 2013. hal : 28-39.

Sumber Internet/Artikel/Skripsi

Irianto, Sulistyowati. http://asslesi.wordpress.com/2011/07/11/pluralisme-hukum-sebagai-suatu-konsep-dan-pendekatan-teoretis-dalam-perspektif-global/. Diakses pada tanggal 16 Februari 2016, pukul 14.02.

Fusanti, Sri. “ Kemajemukan Hukum Perkeretaapian Sumatera Utara”. Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan, 2014.

Zuska, Fikarwin winfikar.blogspot.com/ pada 07 Februari 2016. Diakses 8 Maret 2016.

Sumber lain-lain.

 PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR :

09/PER/M/2008 TENTANG PEDOMAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) KONSTRUKSI BIDANG PEKERJAAN UMUM.

 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29

TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA


(7)

 UU No. 13 Tahun 2003 (Ketenagakerjaan)

 KUHP Bagian 6 Tentang Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Pasal 1604-1617).


(8)

BAB III

HUBUNGAN PEMBORONG DAN TUKANG

3.1. Hubungan Antara Kesadaran Keselamatan dan Kecelakaan Kerja

Walaupun bidang penelitian yag saya teliti bukanlah praktek-prakter kerja konstruksi yang besar, seperti pembangunan jalan layang, pembangunan gedung-gedung perkantoran, tetapi bidang yang saya teliti tetap sama yaitu para pekerja bangunannya. Berbagai perlengkapan kerja seperti sepatu safety, helm, kacamata kerja, sarung tangan, baju kerja, dan sebagainya, merupakan standart umum yang wajib dipakai pekerja untuk menjaga keselamatan mereka pada saat bekerja.

Tetapi fakta di lapangan yang saya temukan berbeda. Para pekerja bangunan ini memiliki kesadaran yang cukup lemah tentang pentingnya menjaga keselamatan kerja mereka. Syukur-syukur masih ada yang mau memakai sarung tangan, ini ada yang sama sekali tidak memakaiperlengkapan apapun. Perlengkapan yang paling lengkap di pakai pekerja di lapangan yaitu, helm yang mereka ganti dengan topi kain, sepatu safety (boots) mereka ganti dengan sepatu kain, dan sarung tangan, itu saja. Banyak pekerja yang tidak memakai perlengkapan sama sekali, baju kerja yang tipis dan sudah jelek sengaja mereka pakai terus-terusan untuk bekerja, sama sekali tidak memakai alas kaki, dan sarung tangan.

Alasan mereka yang pertama adalah karena pekerjaan yang mereka kerjakan bukanlah pekerjaan yang berat seperti bangun-bangun gedung, dan sebagainya. Tetapi tetap saja, alat-alat dan bahan-bahan bangunan yang mereka pakai tetap


(9)

sama. Ada besi, kayu, bebatuan, yang bisa saja sewaktu-waktu dapat mencelakai pekerja. Dan alasan kedua mereka adalah karena rasa ketidaknyamanan memakai alat-alat tersebut. Pekerja tidak terbiasa untuk memakai perlengkapan kerja itu, sehingga jika di coba akan meyebabkan pekerjaan terganggu karena tidak nyaman.

Kemudian bagi pekerjaan pembangunan rumah yang dipegang oleh pemborong, keselamatan kerja adalah urusan masing-masing pekerja, bukan tanggungjawab dari pemborong. Jika dapat bonusan berupa sarung tangan dari panglong, maka akan di bagikan ke pekerja, jika sudah rusak maka pekerja harus mengganti sendiri. Untuk membeli sarung tangah seharga 6 ribu-7 ribu pekerja merasa sayang untuk mempergunakan gaji nya membeli sarung tangan tersebut. Atas dasar pendapat-pendapat tersebutlah, banyak dari pekerja yang tidak terlalu mementingkan mengenai keselamatan kerja mereka di lapangan.

Terjadinya kecelakaan kerja pada praktek kerja bangunan merupakan hal yang rentan terjadi. Pekerjaan bangunan merupakan salah satu pekerjaan kasar, karena ia bekerja dengan mengerahkan kemampuan tenaga yang ia miliki. Bagi para pekerja bangunan, kecelakaan yang terjadi di saat bekerja merupakan hal yang biasa, karena menurut mereka pekerjaan yang mereka kerjakan adalah pekerjaan fisik yang rentan terhadap munculnya kecelakaan di lapangan.

Jika terjadi kecelakaan saat bekerja, baik itu luka kecil atau luka yang cukup parah, ada beberapa pihak yang bertanggungjawab penuh terhadap pekerjanya dan ada yang sekedarnya saja.


(10)

Dari penuturan Lek Bagus yang merupakan seorang pemborong, ia mengatakan bahwa pasti nya ada kecelakaan kerja yang dialami para pekerja. Mengingat ini adalah pekerjaan yang memodalkan fisik dan tenaga. Ada juga beberapa anggota Lek Bagus yang pernah mengalaminya. Tetapi sejauh ini belum ada yang mengalami kecelakaan kerja sampai parah atau meninggal. Sejauh ini masih berada di batas-batas kewajaran. Seperti jatuh dari tangga, kejatuhan patuh, kecelakaan-kecelakaan kecillah. Terkadang karena kecelakaan kerja ini, ada pekerja yang sampai tidak dapat bekerja hingga ber hari-hari. Lek Bagus merupakan tipe pemborong yang peduli terhadap anggotanya. Jika ada anggota yang mengalami kecelakaan kerja, akan segera ia bantu sampai sembuh. Jika ada yang mengalami kecelakaan pas kerja, biasanya Lek Bagus dan beberapa anggota yang lain langsung membawa korban ke puskesmas terdekat. Dan jika ada yang mengalami luka bagian dalam tubuh (misal tulang dan rusuk), Lek Bagus akan mengusukkan korban tersebut. Tak jarang juga Lek Bagus akan menjenguk ke rumah nya untuk mengetahui perkembangan kesehatan pekerja tersebut.Lek Bagus dan anggota sudah seperti keluarga. Jarang-jarang ada pemborong yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap anggota nya.

Cerita berbeda dialami oleh bang Pincuk seorang tukang yang saat ini bekerja pada proyek pembangunan sebuah masjid. Beberapa tahun yang lalu Bang Pincuk pernah mengalami cedera saat bekerja, yaitu kejatuhan batu bata hingga mencederai pelipis matanya, dan bekas luka tersebut saat ini masih ada. Bang Pincuk bercerita, pada saat kejadian, pembrorong memang langsung membawanya ke klinik untuk diberikan pertolongan. Tetapi hanya sekali itu saja,


(11)

pengobatan selanjutnya bang Pincuk harus mengeluarkan biaya pribadi. Ini menunjukkan bahwa tipe-tipe kepedulian pada masing-masing pemborong berbeda satu sama lain.

Kejadian yang cukup meyedihkan dialami oleh Wak No. Wak No berusia sekitar 52 tahun dan bekerja sebagai tukang bangunan. Ia memiliki 5 orang anak, yang kelima-limanya merupakan anak laki-laki. Anak pertama dan kedua Wak No, ikut dengan Wak No sebagai tukang bangunan juga. Pada suatu hari tertentu, Wak No dan anak pertama sedang bekerja pada satu proyek yang sama dalam membuat sebuah ruko. Pada saat itu siang hari setelah jam makan siang, anak Wak No mengalami kejadian yang sangat menyedihkan. Anak Wak No tersengat tegangan listrik saat ia bekerja sehingga menewaskan dirinya seketika. Semua keluarga sangat histeris, karena baru beberapa menit yang lalu Wak No dan anaknya pulang untuk makan siang, dan beberapa menit kemudian mayat anaknya sudah di bawa pulang. Istri Wak No menangis histeris, tak menyangka dengan apa yang terjadi. Tak ada pertolongan pertama, tak ada tindak lanjutan, dan keluarga pun sudah pasrah nyawa anak mereka melayang. Pihak pemborong yang memperkerjakan pun tidak bisa dituntut, karena tidak ada perjanjian kerja diatas hitam dan putih dan tak ada perjanjian tentang keselamatan bagi pekerja.Tetapi pemborong memberikan sejumlah uang sebagai bentuk belasungka kepergian anak mereka.

Tetapi kejadian itu tidak membuat trauma yang cukup dalam bagi keluarga. Pasca kejadian itu, Wak No dan anak kedua nya masih tetap bekerja sebagai pekerja bangunan. Ketakutan dan rasa trauma itu mereka lawan dengan


(12)

tetap bekerja sebagai tukang bangunan. Mereka mengatakan bahwa kalau sudah ajalnya pasti dijemput, kapan pun itu. Saat ini Wak No dan anak keduanya tetap menjalankan aktivitas mereka sebagai pekerja bangunan.

Beberapa kasus di atas, secara tak langsung mendeskripsikan bahwa kecelakaan yang terjadi saat bekerja di lapangan kerja bangunan, baik itu kecelakaan ringan maupun kecelakaan yang berat merupakan hal yang mungkin saja terjadi pada mereka mengingat jenis pekerjaan mereka adalah buruh kasar, yang menggunakan tenaga otot dalam bekerja.

3.2.Ambil Mengambil Bahan/Alat Bangunan Merupakan Hal yang Biasa Bagi Para Pekerja

Dalam setiap pembangunan sebuah gedung ataupun rumah, ada bahan-bahan dasar yang dipakai untuk dapat mendirikan sebuah rumah seperti : pasir, semen, batu bata, batu kerikil, batu padas, keramik, kayu-kayu, dan sebagainya. Dan setiap selesai pengerjaan bangunan, ada beberapa bahan yang sisa, dan mungkin ada beberapa situasi semua bahan pas habis nya selesai pengerjaan. Ada dua kemungkinan disini. Ketika saya melakukan penelitian lapangan, saya menemukan temuan baru yang menurut saya banyak orang yang belum tau tentang hal ini.

Seperti penuturan bang Pincuk, ia mengatakan bahwa ambil mengambil bahan bangunan ketika sedang proses mengerjakan bangunan ataupun ketika sudah selesai pembangunan merupakan hal yang biasa dilakukan pekerja.


(13)

Jadi, ketika mereka sedang ada proyek pembangunan, misalkan rumah, mereka terbiasa untuk mengambil beberapa bahan bangunan untuk dibawa pulang kerumah, misalnya paku, sisa-sisa potongan kayu, pasir, semen, dan lain-lain. Tetapi bukan bahan-bahan yang berukuran besar, seperti kayu-kayu yang masih panjang, ataupun besi karena pasti kena marah sama bos (pemborong) kata bang Pincuk. Dan ini mereka lakukan pada saat pembangunan berlangsung, bukan pada saat pembangunan sudah selesai. Dan pemborong mengizinkan hal ini terjadi, tapi dengan syarat tidak boleh mengambil terlalu berlebihan. Karena kalau jumlah yang hilang sedikit tidak ketahuan, kalau jumlahnya banyak baru ketauan.

Barang-barang yang dapat diambil dan di bawa pulang adalah bahan yang stoknya banyak, seperti pasir, semen, paku, dan batu. Dan bahan-bahan ini boleh diambil ketika borongan yang sedang dikerjakan adalah borongan upah, dimana pemilik rumah yang bertanggungjawab terhadap masalah pengadaan bahan-bahan bangunan. Ini hanyalah cerita di balik layar antara pemborong(kepala tukang) dengan pekerja. Pemilik rumah tidak tahu mengenai kejadian ini. Saya tanya mengapa melakukan hal itu? Bang Pincuk mengatakan bahwa mengambil bahan-bahan itu pas sedang butuh aja, misalkan sedang merenovasi kamar mandi rumah, ada bahan-bahan yang kurang sedikit, bang Pincuk dan pekerja yang lainnya meminta izin pada pemborong untuk mengambil bahan-bahan tersebut tanpa sepengetahuan pemilik rumah.

Lek Bagus selaku seorang pemborong juga membenarkan hal tersebut. Bahan-bahan bangunan misalkan semen,pasir atau batu bata jika para pekerja


(14)

pulang. Hal itu menjadi hal yang biasa terjadi di lapangan, kata lek Bagus. Tetapi itu kan tidak selalu, kata lek Bagus, jadi tidak kelihatan sekali. Kalau misalkan barang-barang habis, tinggal lapor kepada pemilik rumah, tutur lek Bagus.

.

Di lain hal tidak hanya mengenai bahan-bahan bangunan yang menjadi kebiasaan pekerja untuk mengambil di bawa pulang, mengenai alat-alat bangunan juga mengalami hal yang sama. Seperti pemborong yang menyediakan alat-alat bangunan untuk pekerja. Kalau dia tukang yang sudah bisa menangani suatu bangunan, biasanya ia memiliki alat-alat kerja sendiri walaupun kurang lengkap. Disini kita akan berbicara tentang tukang maupun kenek yang masih ikut kerja dengan pemborong ataupun kontraktor.

Seperti yang diceritakan oleh bu Eni salah satu kontraktor yang ada di Pematangsiantar. Merupakan tanggungjawab dari perusahaan untuk menyediakan alat-alat pertukangan yang dibutuhkan saat bekerja, seperti peranca, gergaji, mesin ketam, bor, dan sebagainya. Alat-alat ini akan diberi kepada tukang untuk ditanggungjawabi ketika dipakai bekerja. Jika pekerjaan tersebut tidak jauh dari lokasi kantor, maka alat-alat itu akan dikumpulkan ke kantor setiap harinya, dan akan di ambil lagi keesokan pagi nya. Tetapi jika pekerjaan itu jauh, bahkan sampai ke luar kota, maka pihak perusahaan memberikan sepenuhnya tanggungjawab ke pekerja untuk menjaganya. Tetapi ada suatu saat dimana alat-alat tersebut tidak kembali utuh setelah pengumpulan barang. Dan tiba mau di pakai alatnya sudah tidak ada, berhilangan. Ketika di selidiki alat-alat yang hilang


(15)

tersebut ternyata di bawa oleh pekerja yang sudah tidak bekerja lagi pada mereka. Tetapi terkadang ada pekerja yang usil dengan mengambil alat-alat kerja tersebut, misalkan beko, pengaduk semen, dan lain sebagainya. Peralatan itu masih dibutukan ketika dalam bekerja dan pekerja yang mengambil tersebut sudah tidak bekerja lagi. Maka terkadang ada sesuatu kendala pada saat mau bekerja. Tindakan yang dilakukan kontraktor jika itu terjadi adalah mencari pekerja yang hilang tersebut, untuk mengambil peralatan kerja, tetapi terkadang ada yang balik dan ada yang tidak. Usaha sudah dilakukan, ada pekeja yang menghilang dan barang tidak balik, dan ada juga pekerja yang mau mengembalikan lagi. Jika barang yang hilang tersebut tidak dapat di ambil kembali, maka tindakan yang dilakukan perusahaan adalah membiarkannya saja dan membeli alat baru lagi.

Tidak hanya persoalan yang dialami oleh seorang kontraktor, pengalaman yang sama juga dialami pemborong bernama Lek Bagus. Selama lebih dari 20 tahun lek Bagus menjadi pemborong, ia pernah merasakan kejahilan-kejahilan yang dilakukan para anggotanya. Bahan-bahan bangunan misalkan semen,pasir atau batu bata jika para pekerja membutuhkan, mereka akan meminta ijin untuk meminta sedikit di bawa pulang. Hal itu menjadi hal yang biasa bagi lek Bagus. Tetapi tangan-tangan jahil yang dimaksudkan adalah, hilangnya peralatan ataupun alat-alat bekerja. Seperti sendok semen, besi-besi kecil, palu, dan lain sebagainya. Biasanya kalau hal ini terjadi pastinya lek Bagus dan anggota yang lain akan kecarian, karena alat itu dipakai untuk bekerja. Maka yang akan dilakukan lek Bagus tidak pernah mau memarahi anggota langsung, Lek Bagus memakai cara lain dengan cara menyindir sambil mengobrol dengan pekerja yang lain.


(16)

Dulu Lek Bagus memiliki anggota yang tangannya sungguh jahil. Jika ada bahan-bahan untuk pembangunan rumah seperti kunci rumah, engsel jendela, lampu-lampu kecil, sering kehilangan. Pada saat hitungan awal sudah pas, tetapi pada saat mau di pasang, pasti ada aja yang berhilangan. Kalau Lek Bagus tau siapa yang mencurinya, maka Lek Bagus tidak akan memakainya lagi di pekerjaan selanjutnya. Karena kejujuran adalah hal yang paling penting, “masih dalam persoalan membangun rumah saja sudah berani mengambil peralatan-peralatan rumah, bagaimana jika hal yang lain lagi”, tutur Lek Bagus. Maka untuk menghindari resiko, Lek Bagus tidak akan memperkerjakan pekerja yang jahil, tetapi selalu saja Lek Bagus kecolongan saat di lapangan. Dan untuk menghindari kecolongan ini, antisipasi yang dilakukan Lek Bagus adalah menyerahkan tanggungjawab itu ke masing-masing tukang. Dulu Lek Bagus semua yang menanggungjawabi peralatan yang dibutuhkan, dan banyak mengalami kecolongan. Dan untuk menghindari itu,maka setiap tukang yang misalnya tugasnya memasang pintu, maka akan ditanya lek Bagus berapa pintu dan kunci yang ia butuhkan. Dan setelah peralatan yang dibutuhkan diberi ke tukang, maka tukang harus bertanggungjawab terhadap barang yang diamanahkan ke dia, terserah mau disimpan dimana, yang penting dijaga jangan sampai kurang dan hilang. Setelah menerapkan pengalihan tanggungjawab tersebut, syukurnya kehilangan-kehilangan tersebut dapat di minimalisir. Karena kata Lek Bagus, para pekerja yang ikut bekerja ini kan orang gak punya, mungkin ada niat diambilin beberapa untuk dijual lagi, karena kalau dia punya gak mungkin ia bekerja sebagai tukang bangunan, maka untuk menghindari kecolongan itu lah, alih tanggung


(17)

jawab itu langsung diberikan ke tukang yang bertugas dalam pemasangan tersebut.

Dari dua cerita di atas, sama-sama menunjukkan bahwa mereka pernah menemukan kejahilan-kejahilan yang dilakukan oleh pekerja mereka. Mereka sudah tau jika ada barang-barang yang hilang, tetapi mereka tidak menetapkan sanksi yang tegas jika ada pekerja yang mencuri alat-alat kerja tersebut. Sehingga timbulnya pemikiran bahwa hilang-hilangnya alat-alat bangunan tersebut suda menjadi hal yang biasa di kalangan pekerja bangunan. Dengan membiarkan saja, atau dengan menyindir itu merupakan sanksi yang lemah bagi para pencuri alat-alat tersebut, sehingga karena sanksi yang diberikan lemah, ini menimbulkan perilaku-perilaku yang berulang-ulang terjadi menjadi hal yang biasa untuk di lakukan.

Fenomena di atas mengingatkan pada apa yang dikatakan oleh Keebet pada tahu 1950an, atau 1960an bahwa kebiasaan-kebiasaan lokal juga dapat di pandang sebagai hukum (dalam Irianto, 2012). Dan pada tahun 1978 Holleman mengatakan bahwa di wilayah urban di negara-negara berkembang, tumbuh bentuk-bentuk hukum baru yang tidak dapat di beri label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum agama, sehingga disebut sebagai hybrid law, atau unnamed law (dalam Irianto,2012:166).

3.3.Pemborong Sebagai Posisi Tertinggi dalam Kerja Bangunan

Definisi secara umum tentang pemborong adalah orang yang mengepalai suatu bidang pekerjaan bangunan. Dalam pekerjaan itu, pemborong adalah bos


(18)

nya. Menurut pendefinisian warga di Pematangsiantar, pemborong adalah sebutan untuk orang yang memborong seluruhnya dalam pembangunan, baik itu pembangunan rumah pribadi, rumah kost-kostan, ruko, dan komplek perumahan. Pemborong adalah perorangan yang tidak memiliki lembaga hukum maupun perusahaan. Ia berdiri sendiri dan memiliki beberapa anggota tetap. Ada dua jenis pemborong di Pematangsiantar:

1. Pemborong Upah

Pemborong upah adalah pemborong yang hanya mengambil jasa upah saja dalam mengerjakan bangunan. Upah ini bisa dihitung per meter dari luas bangunan atau dari persenan harga bahan, biasanya sepertiga dari harga bahan. Yang belanja bahan adalah pemilik rumah, ataupun pemilik rumah mengajak pemborong untuk belanja atau bisa jadi pemilik rumah menginstruksikan pemborong untuk meminta barang dulu ke toko atau panglon, ntar di bayar di belakang oleh pemilik rumah, tergantung situasinya. Yang penting, pemborong disini hanya memborongkan jasa upah semua pekerjanya yang bekerja pada pembangunan tersebut.

2. Pemborong kunci

Pemborong kunci atau para tukang kadang menyebutnya sebagai borongan terima kunci, atau borongan sub bahan adalah ketika pemilik rumah memberikan tanggungjawab sepenuhnya kepada pemborong untuk mengatur segala jenis pembelanjaan bahan-bahan bangunan dan urusan upah pekerja. Arti kata pemilik rumah tinggal memberikan dana nya dan pemborong lah yang mengelola nya. Negoisasi tetap di lakukan. Terserah pemilik rumah dana yang dimiliki berapa,


(19)

tinggal di kondisikan dengan bahan-bahan apa yang akan digunakan menurut kualitasnya, dan berapa ukuran rumahnya. Semua tergantung dana yang pemilik rumah miliki dan pemborong bertugas untuk mengelola nya. Jika dana dan permintaan tak sesuai, maka pemborong akan menjelaskan bahwa dana nya tidak cukup sehingga pemilik rumah harus menurunkan standard rumah yang ia mau dan harus menyepakatinya agar di kerjakan oleh pemborong. Walaupun dana nya sudah ada, tetapi pemborong tidak berani untuk mengambil semua, mereka takut uang tersebut sudah habis di tengah jalan. Maka untuk menyiasatinya, pada tahap awal pengerjaan rumah, pemborong akan meminta setengah atau seperampat dari dananya untuk membeli bahan-bahan, kemudian setengahnya pada proses pengerjaan hampir selesai ataupun pada proses pertengahan, tergantung strategi dari masing-masing pemborong. Pada borongan kunci ini, pemborong harus bisa mengelola keuangan tersebut dan memenuhi permintaan pemilik rumah. Ini yang rumit. Jika pemilik rumah meminta semua bahan-bahan yang dipasang di rumahnya yang bagus, baik itu mengenai keramik, jendela, plafonnya, tetapi dananya tak mencukupi maka tukang harus bisa menyiasati dan menyampaikkannya dengan baik ke pemilik rumah. Pemborong kunci ini bisa dikatakan adalah orang yang berani dan berpengalaman, karena ia sudah dapat mengisarkan harga padahal pengerjaan belum di mulai.

Situasi jika sedang mendapat borongan kunci adalah biasanya pada masyarakat yang tidak mau repot-repot mengenai urusan pembelian barang-barang bangunan. Kemudian adalah pada masyarakat yang jarak tempat tinggal dan rumah yang ia ingin bangun jauh, sehingga ia tidak bisa mantau terus-terusan


(20)

sehingga ia berikan kepercayaan penuh kepada pemborong. Menurut penuturan dari seorang informan saya bahwa borongan kunci itu biasanya terjadi pada pensiunan perkebunan. Karena pada saat bekerja mereka mendapatkan rumah di komplek perkebunan, ketika mau habis masa kerja mereka, maka mereka sibuk ingin membangun sebuah rumah, yang bisa saja berbeda kampung dari tempat tiggalnya, atau cukup jauh, ataupun masih di satu kampung. Dan biasanya masyarakat di perkebunan ini tidak tau menahu mengenai urusan pekerjaan bangunan dan pasaran harga-harga bangunan tersebut. Makanya untuk tidak repot, mereka memberikan tanggungjawab itu pada pemborong. Dan yang terakhir, pasti nya orang yang menyuruh borongan kunci ini adalah orang yang sudah memiliki persediaan duit untuk membangun rumah.

Dari dua jenis pemborong tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemborong upah adalah pemborong yang memborong hasil upah pekerja saja, sedangkan pemborong kunci adalah pemborong yang mengurusi semua urusan pembangunan, baik mengenai bahan-bahan dan upah pekerja.

Pemborong memiliki posisi yang kuat di dalam pekerjaan bangunan. Dia lah yang memberikan kerja kepada pekerja bangunan. Walaupun terkadang ada pemborong yang memberikan wewenang kepada pekerja untuk mencari pekerja tambahan lainnya di satu pengerjaan sebuah bangunan, tetapi tetap saja wewenang terbesar ada pada pemborong untuk menentukan apakah orang tersebut dapat diperkerjakan atau tidak.

Salah seorang informan saya yang bernama lek Bagus(pemborong) bercerita bahwa dalam sistem kerja yang di pegang lek Bagus, tidak ada yang


(21)

namanya kepala tukang, semua nya adalah pekerja, tetapi orang kepercayaan di lapangan, ada. Lek Bagus mencontohkan bahwa ada seorang pekerja yang sudah lama ikut kerja dengan lek Bagus, mau diangkat menjadi kepala tukang tetapi ia tidak mau. Karena gak berani, gak enak menyuruh-menyuruh anggota, katanya. Lek Bagus juga menjelaskan bahwa untuk menjadi kepala tukang, selain kita harus memiliki keahlian yang lebih dibanding anggota yang lainnya, kita juga harus memiliki jiwa kepemimpinan, dan sikap yang tegas untuk bisa membimbing anggota di lapangan. Karena kalau tidak ada jiwa kepemimpinnya, maka nanti kerjaan akan kacau. Misalnya, anggota malas bekerja, anggota melawan kepada kepala tukang, bangunan tidak bagus, dan sebagainya. Itu bisa berimbas ke hal-hal lainnya. Maka dari itu seorang kepala tukang yang menjadi pemimpin di lapangan juga harus bisa menjadi panutan untuk anggotanya. Dan lek Bagus berposisi sebagai pemborong sekaligus kepala tukang dalam setiap proyek pembangunan yang ia pegang.

Pemborong juga berhak untuk memindah-mindahkan lokasi kerja pada para pekerjanya. Misalnya, dalam 1 waktu ada 4 proyek pembangunan rumah pribadi yang sedang berjalan sekaligus. Nah disini pemborong berhak untuk memindah-mindahkan pekerja di masing-masing tempat yang ia inginkan. Misalkan di satu situasi dimana sedang ada pembangunan sebuah rumah yang baru seminggu di kerjakan. Dikerahkan sekitar 2 tukang, dan 3 kenek. Tetapi di pembangunan yang lain sedang tahapan plester dan naik kap. Dan rumah ini pun besar, sehingga membutuhkan tenaga yang lebih banyak. Maka pemborong akan membawa seorang tukang dan seorang kenek untuk dipindahkan ke bangunan


(22)

yang besar tadi. Dan pada pembangunan yang baru seminggu berjalan tersebut, maka di cari lagi pekerja baru untuk menempati posisi yang kosong.

Jadi, roker meroker pekerja adalah hak pemborong.

Seperti yang terjadi di lokasi penelitian saya, pekerja yang dikerahkan selalu berubah-ubah. Ini disebabkan karena proyek yang dipegang pemborong sedang banyak, sehingga harus ada perekrutan pekerja baru, pemindahan pekerja, dan juga pemecatan pekerja. Menurut bang Andi selaku pemborongnya, tukang harus lah ahli dalam segala bidang. Kalau ia kurang paham, maka ia akan dipindahkan ke pekerjaan yang ia kuasai, kalau pekerjaan tersebut terbatas, maka mau tidak mau harus di putuskan hubungan kerjanya. Untuk pemutusan hubungan kerja biasanya dilakukan dengan cara yang baik-baik oleh bang Andi, jangan sampai terjadi perkelahian ataupun penuntutan di lain hari. Dan hal ini sering dialami oleh bang Andi. Karena pekerja yang kurang berkualitas dan tidak bagus sifatnya, akan merugikan pemborong.

3.3.1. Tukang Dan Kenek Seharusnya Sepaket

Posisi tukang dan kenek memang sepaket dalam bekerja. Tukang yang bekerja membangun, kenek membantu tukang dalam memenuhi kebutuhannya, mereka lebih sering sebut kenek sebagai pelayan. Dalam bekerja di lapangan, ada pola-pola hubungan yang secara tersirat terlihat diantara kepala tukang, tukang, dan kenek. Kepala Tukang adalah pemegang kuasa tertinggi di lapangan. Dalam kasus pemborong pribadi, kepala tukang adalah pemborong itu sendiri, tetapi jika sudah memasuki tahap perusahaan, kepala tukang ditunjuk oleh pihak perusahaan.


(23)

Kepala tukang berhak menyuruh siapa pun ketika bekerja. Dan tukang juga mengerjakan apa yang perlu di kerjakan, tetapi posisi tukang dibawah kepala tukang. Dan tukang memiliki pelayan yang disebut dengan kenek yang membantu mereka ketika bekerja. Misalkan mengocok semen, mengantarkan semen, mencangkol tanah, dan lain-lain. Inti nya membantu tukang ketika bekerja.

Ada nya pola stratifikasi di dalam pekerjaan bangunan, tak jarang menimbulkan konflik-konflik kecil yang terjadi di lapangan. Menurut amatan lek Bagus selama berpuluh-puluh tahun ia bekerja bangunan, biasanya yang sering terjadi cekcok adalah antara tukang dan kenek. Karena tukang berhak menyuruh kenek, mungkin ada yang merasa gak enak, palak, atau apa ketika di suruh-suruh atau di perintah. Terkadang karena persoalan sepele dapat menimbulkan cekcok. Misalnya, karena gak mau di suruh, melawan saja, masuk kuping kiri keluar kuping kanan, atau tukang yang kerjanya ngebossy dan lain sebagainya. Maka, untuk menghindari cekcok tersebut, lek Bagus menyerahkan wewenang tersebut ke tukang, untuk memilih siapa yang cocok menjadi kenek nya. Karena menurut Lek Bagus, tukang dan kenek itu satu, kalau tidak cocok payah. Biasanya tukang sudah ada kenek nya masing-masing, pemborong tidak bisa asal saja mencocokkan tukang mana sama kenek mana, karena yang merasa kenyamanan itu ada berada diantara dua orang tersebut. Maka dari itu lek Bagus melimpahkan wewenang tersebut ke tukang masing-masing. Tetapi ada juga kenek yang merasa oke-oke saja, tukang mana pun ia bersedia untuk melayani. Seperti yang saya temui di lapangan. Tukang dan kenek merupakan dua orang yang baru kenal dan disatuin sebagai tukang dan kenek. Tak berapa lama kemudian mereka cekcok,


(24)

sehingga pemborong mengambil inisiatif untuk memindahkan salah satu nya ke proyek yang lain. Ini merupakan wujud dari tidak diterapkannya pelimpahan wewenang kepada tukang untuk mencari keneknya sendiri, sehingga sering terjadi ketidak cocokan dan keributan.

Pola-pola hubungan, dan batu-batu kerikil kecil ini yang menggambarkan adanya hukum informal yang bekerja pada sektor buruh bangunan. Para tukang juga memiliki hak untuk menyarankan ke pemborong, pekerja mana yang cocok untuk diajak bekerja. Karena antar sesama pekerja ketika di lapangan kan juga memantau mengenai kinerja masing-masing mereka. Dan para tukang ini juga tidak selamanya bekerja dengan satu pemborong saja, terkadang mereka juga menjadi pekerja pada pemborong-pemborong lainnya. Maka dari proyek lain tersebut, dia akan bertemu dengan pekerja-pekerja baru, dan melihat kualitas para pekerja disana, sehingga tukang lah yang memahami situasi di lapangan, jadi terkadang menurut penuturan Lek Bagus, ia meminta saran kepada tukang untuk siapa yang cocok diajak bekerja. Tetapi cekcok antar tukang dan kenek ini hanyakah batu-batu kerikil yang terjadi saat di lapangan, ini bukan malah membuat pemutusan kerja, ataupun pemecatan pada anggota. Karena dalam hubungan sehari-hari pun, apalagi dengan orang yang setiap hari kita temui, pasti ada cekcok-cekcok sedikit.

Menurut bang Pincuk perbedaan kerja tukang dengan kenek diibaratkan “guru dan murid” di ruang kelas. Dimana walaupun sesama pekerja bangunan, tetapi kenek masih sangat perlu untuk diajari mengenai teknik pengerjaan bangunan. Kata bang Pincuk, selaku kepala tukang sendiri di kerjaannya saat ini,


(25)

ia mengatakan bahwa kita harus pandai memilih anggota. Harus orang-orang yang cerdas. Karena kalau seperti “paku di tokok dulu baru ke dalam” itu payah. Maksud istilah bang Pincuk itu adalah, kita harus pandai memilih anggota pekeja. Walaupun belum berpengalaman banyak, tetapi harus punya modal cekatan, inisiatif, dan otak yang gak bebal, artinya mau diajari. Karena terkadang, ada kenek yang bandal dan susah untuk diajari.

Di dalam bekerja, posisi tukang itu lebih dominan dibandingkan kenek. Tukang berhak untuk memarahi kenek dan mengajarinya sedangkan kenek tidak berhak. Kenek harus mendengarkan arahan tukang, karena kenek dianggap belum memiliki pengalaman yang banyak di bandingkan tukang, dan masih perlu untuk diajari. Tetapi kenek berhak untuk sekedar memberikan masukan, jika ada kekeliruan yang dilakukan oleh tukang, tetapi tetap aja posisi tukang lebih mendominasi dibandingkan kenek. Tetapi kata bang Pincuk, hal itu bukan membuat suasana yang keruh atau permusuhan, dan bukan membuat kenek jadi mogok kerja, bukan, tetapi itu malahan bagus, menjadi bahan evaluasi pekerja untuk megambil ilmu dan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Beberapa alasan tersebut lah yang membuat pemborong paham untuk menerapkan aturan bahwa tukang lebih baik bekerja pada kenek yang biasa bekerjasama dengannya, ibarat kata tukang dan kenek sebaiknya sepaket dalam bekerja.


(26)

3.4. Menjaga Loyalitas dan Semangat Pekerja

Masing-masing pemborong memiliki caranya tersendiri untuk mempertahankan hubungan kesetiaan para pekerjanya. Tidak hanya dengan klien yang mengharuskan pentingnya berhubungan baik, seorang pemborong juga harus bisa menjaga keloyalan para pekerjanya. Tujuannya bagi pemborong adalah untuk mempertahankan kualitas dari pekerjaannya dan menjaga nama baik seorang pemborong. Seperti yang dilakukan beberapa informan saya berikut ini.

Wak Paino adalah seorang pemborong yang terkadang jika tidak ada borongan, merangkap sebagai tukang juga. Ketika sedang banyak pekerjaan, Wak Paino akan menyerahkan tanggungjawab setiap proyek ke salah seorang pekerjanya yang menjadi penanggungjawab (bukan jadi kepala tukang), karena jika sudah begitu Wak Paiman tidak bisa selalu mengontrol di satu pekerjaan saja. Kadang pekerjaan datang bersamaan di dua kota yang berbeda, mau tidak mau Wak Paino harus hadapi itu. Orang kepercayaan yang ditunjuk Wak paino adalah saudaranya atau tidak pekerja yang sudah lama dan sudah ia percayai. Ketika pekeraan itu menguntungkan, maka Wak Paino memberikan bonusan ke para pekerjanya. Wak paino tidak akan memilih-milih. Semua pekerja akan ia kasih bonusan, baik itu pekerjanya yang sudah lama atau kenek yang baru pertama kali bekerja. Karena Wak paino merasa, pekerjaan itu sukses juga berkat hasil kerja keras dari pekerjanya. Dan Wak paino merasa, anak dan istrinya bisa makan juga tak terlepas dari bantuan pekerja. Bonusan yang diberikan Wak Paino kadang di tiap minggu atau di akhir pengerjaan. Wak Paino buat di akhir minggu karena Wak Paino sudah tau hitung-hitungannya jikalau itu menguntungkan. Bonusan itu


(27)

bisa menambahkan 100 atau 150 dari gaji awal pekerja. Begitulah cara Wak Paino menjaga kesetiaan dari para pekerjanya.

Untuk hubungan dengan anggota, lek Bagus memiliki cara-cara tersendiri untuk membuat anggota nyaman dan loyal bekerja dengannya. Para pekerja lek Bagus sudah ikut dengannya lebih dari 1 tahunan semuanya. Maka ada tradisi yang diterapkan lek Bagus ketika lebaran. Pada saat lebaran, biasanya lek Bagus akan memberikan amplop pada pekerja yang jumlah nya berbeda-beda. Amplop dibedakan berdasarkan lamanya pekerja ikut dengan lek Bagus dan juga dibedakan berdasarkan posisinya ketika bekerja. Setelah itu akan diberikan sepasang minuman lebaran untuk masing-masing anggota. Tradisi ini sudah sangat lama diterapkan lek Bagus. Tujuannya adalah untuk mengakrabkan hubungan dengan anggota dan cara agar anggota bisa setia bekerja dengannya. Biasanya THR (Tunjangan Hari Raya) dan minuman akan diberikan lek Bagus ketika gajian terakhir sebelum lebaran. Tetapi jika tidak ada proyek menjelang lebaran, (hal ini jarang terjadi kata lek Bagus, karena menjelang lebaran, banyak warga yang ingin merenovasi ataupun juga membangun rumah) hal ini pernah terjadi, lek Bagus tetap menjalankan tradisi itu. Karena setiap tahunnya sudah lek Bagus persiapkan untuk tradisi tahunan yang akan ia jalankan dengan anggotanya. Ada juga anggota lek Bagus yang non per muslim, biasanya ia akan kedapatan 2 bagian. Pada saat lebaran ia dapat THR, dan pada saat tahun baru ia akan mendapatkan minuman juga dari lek Bagus.Walaupun hanya minuman, tetapi kalau luput saja setahun pasti ngerasa ada kehilangan. Hehehee. Tetapi sejauh ini, tradisi ini selalu dijalankan setiap tahunnya oleh lek Bagus.


(28)

Menjaga keloyalitasan pekerja juga diterapkan oleh perusahaan kak Eni untuk para pekerja tetap mereka yang sudah bertahun-tahun ikut bekerja dengan mereka. Untuk menunjang dan menghargai semangat para pekerja biasanya pihak perusahaan akan memberikan bonusan kepada pekerja yang sudah lama dan bagus kerja nya. Yang bisa mendapatkan bonusan adalah pekerja yang sudah lama bekerja, rajin, dan bagus kinerja nya. Bonusan di berikan dalam bentuk uang di dalam amplop. Biasanya itu akan diberikan pada saat silahturahmi lebaran. Pekerja-pekerja lama mereka sudah paham akan tradisi ini. Setiap lebaran mereka akan datang berlebaran ke rumah kak Eni untuk mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya) yang mereka sebut dengan zakat. Tujuannya di pertahankan tradisi ini aalah agar para pekerja tetap bertahan di perusahaan mereka dan tetap meningkatkan kualitas kerja nya.

Dari pendapat bang Pincuk yang bekerja sebagai tukang dalam proyek pembangunan masjid, ia mengatakan tunjangan semangat kerja ia dapatkan disini. Apalagi bang Pincuk sudah bekerja selama 4 tahun dalam pembangunan masjid tersebut. Maka dari itu setiap tahunnya ia mendapatkan THR sebesar 200ribu.Yang memberikan adalah pengurus masjid, tujuannya agar semangat kerja ditingkatkan, karena mereka dihargai untuk diberi THR oleh pihak masjid. Pemberian THR menurut bang Pincuk juga tergantung proyeknya. “Karena ini proyeknya tahunan jadi diberikan THR tiap tahun, biasanya proyek lain yang tidak ada di kasih THR, tergantung pemborongnya lah”, kata bang Pincuk.

Berbeda dengan Wak Eko yang memiliki cara tersendiri untuk menjaga loyalitas dan meningkatkan semangat pekerja. Wak Eko juga bekerja sebagai


(29)

pemborong bangunan di Pemantangsiantar. Wak Eko sering memberikan tambahan gaji pekerja ketika saat gajian. Kemudian ketika bekerja, Wak Eko juga suka memberikan service an untuk pekerja. Misalnya memberikan rokok ketika saat istirahat, dan memberikan makanan. Cara-cara kecil seperti ini menurutnya mampu untuk memancing semangat pekerja.

3.5.Apresiasi Yang Tinggi dan Pemberian Bonusan Secara Rahasia di antara Pekerja

Pekerja yang bagus kualitasnya tentu akan menguntungkan pemborong. Kerjaannya bagus pasti menyenangkan hati klien, pekerja yang rajin dan pekerjaannya cepat juga menguntungkan pemborong, karena tidak membayar upah terlalu lama. Karena hitungan upah dibayarkan setiap hari kepada pekerja.

Pengalaman pribadi yang dialami oleh seorang pemborong bernama Lek Bagus yang sangat mengapresiasi untuk pekerja yang rajin dan bagus kerjaannya. Lek Bagus bercerita bahwa alasan ia memberikan bonusan kepada para pekerjanya karena inisiatif pribadi agar pekerja tidak meninggalkan dia, dan tetap semangat ketika di ajak bekerja. Di sisi lain juga lek Bagus bercerita bahwa sejak lajang ia sudah berkecimpung di dunia kerja bangunan. Untuk mendapatkan ilmu-ilmu ini, ketika jam istirahat ia selalu memanfaatkan waktu untuk belajar tentang sesuatu hal yang baru, sehingga ia bisa mengeksplorasi ilmu yang ia dapatkan di bidang prakteknya langsung. Karena sejarah itulah, maka lek Bagus sangat mengapresiasi pekerjanya yang rajin dan juga cekatan.


(30)

Beberapa pemborong menerapkan beberapa cara untuk menjaga keloyalitasan pekerjanya. Ada juga pemborong yang memberikan bonusan hasil kerja kepada pekerjanya. Seperti penuturan dari seorang informan saya yang bernama Wak Paino, ia memberikan bonusan kepada seluruh pekerjanya tanpa pilih-pilih, jika pekerjaan itu menguntungkan. Sama seperti yang dilakukan Lek Bagus, ia juga akan memberikan bonusan kepada pekerja nya jika pekerjaan itu menguntungkan bagi proyek mereka.

Tak jarang Lek Bagus akan memberikan bonusan di akhir proyek pembangunan. Bonusan terjadi, jika proyek yang selesai dijalankan mengalami banyak keuntungan. Misalkan, klien tidak melakukan negoisasi pembayarakan di tahap awal, langsung deal saja, kemudian klien tidak banyak permintaan dan penambahan dalam pembangunan rumahnya, kemudian harga bahan-bahan saat itu sedang murah, sedangkan harga negoisasi tidak diturunkan, dan lain sebagainya. “Terkadang ada rezeki-rezeki yang seperti itu, dan itu patut juga kita bagi kan ke anggota”, kata Lek Bagus.

Tetapi tidak semua pekerja mendapatkan bonusan. Biasanya bonusan akan diberikan secara sembunyi-sembunyi tanpa tau pekerja yang lain. Jika penggajian, maka pekerja akan datang ke rumah Lek Bagus, dan gaji mereka sudah di dalam amplop. Dan bonusan ini diberikan pada momen tertentu, tanpa ada pekerja lain yang melihat. Pemberian bonusan ini bisa ketika saat di lapangan maupun di mana pun, yang penting tak terlihat pekerja yang lain. Lek Bagus akan menyalamkan pekerja tersebut sambil berkata, “ini ada rezeki tambahan, makin tingkatkan semangat kerjamu ya”, seperti itu. Dan untuk pekerja yang lek Bagus nilai biasa


(31)

-biasa aja, tidak terlalu bersemangat, atau terlalu pelit mengeluarkan semangat dan energinya, maka lek Bagus akan mengupah sesuai dengan gaji nya saja dan memberikan tambahan berupa uang rokok saja.

Bonusan tersebut akan Lek Bagus berikan secara diam-diam kepada pekerja yang ia hendaki saja. Ia tidak mau mengekspos bonusan itu ke semua pekerja, karena ia menghindari adanya kepalsuan dari wajah-wajah pekerjanya. Lek Bagus sudah lama berkecimpung dalam dunia pekerjaan bangunan, ia sudah dapat menilai mana pekerja yang pekerjaannya bagus, rajin, cekatan, insiatif, dan jujur. Maka pekerja seperti itu yang nanti di akhir kerja akan lek Bagus kasih bonusan. Jika semua pekerja mendapat bonusan, menurut pendapat lek Bagus, bukan semangat kerja yang nanti terlihat, tetapi semangat untuk saling menjatuhkan dan saling angkat telor. Angkat telor adalah salah satu peribahasa yang bermaknakan bermuka dua, pura-pura baik di depan bos, tetapi di belakang beda. Maka dari itu, lek Bagus menghindari hal ini terjadi, takutnya mereka semangat ketika ada lek Bagus saja, selepas itu tidak ada. Karena untuk pekerja yang lek Bagus kasih bonusan, tanpa di-perintah pun ia sudah tau harus mengerjakan apa dan bagaimana cara menyelesaikannya.

Tetapi tidak semua pemborong memiliki kepedulian rasa dan berbagi dengan pekerja seperti yang dilakukan oleh Wak Paino dan Lek Bagus ini. Setelah saya tanya pada salah satu anggota pekerja lek Bagus, ia membenarkan pernyataan tersebut. Memberikan bonus merupakan kebijakan pemborong untuk memberikannya kepada siapa yang ia kehendaki. Yang mengetahui hal tersebut


(32)

pernah membicarakan hal bonusan ini kepada pekerja yang lain, karena hal ini mereka anggap sebagai suatu rahasia pemborong yang perlu di jaga pekerja.

Memberikan bonusan dan melakukan berbagai cara untuk meningkatkan semangat kerja dan keloyalitasan pekerja merupakan sebagai hadiah kepada pekerja yang telah memenuhi aturan-aturan yang diberlakukan oleh pemborong. Aturan-aturan informal ini muncul seiring dengan kebutuhan di lapangan pekerja bangunan. Secara tidak langsung pekerja di tuntut untuk menampilkan kualitas terbaik dirinya agar mendapatkan hadiah dari pemborong, kalau tidak ya tidak mendapatkan apa-apa.

3.6.“Tampak Bekas” Bentuk Pertanggungjawaban Tukang ke Pemborong dan Aturan Penggajian Pekerja

Para pekerja yang sedang bekerja pada suatu bagunan harus dapat mempertanggungjawabkan kerjanya pada pemborong. Walaupun pekerjaan ini bersifat informal, tetapi setiap harinya pekerja harus dapat memberikan pertanggungjawaban berupa hasil kerja mereka yang mereka sebut sebagai “tampak bekas” kepada pemborong. Tampak bekas ini digunakan pemborong sebagai indikator sudah sejauh mana yang dikerjakan pekerja setiap harinya. Pekerjaannya cepat atau lambat. Walaupun para pekerja tersebut bekerja bersama-sama, tetapi di dalam lapangan mereka memiliki pembagian kerja. Misalnya, tukang A bertugas untuk menaikkan batu pada dinding kiri rumah, dan tukang B bertugas untuk menaikkan batu pada dinding kanan rumah. Nah saat pemborong mengecek, ia bakal tanya/sudah tahu, ini dikerjakan oleh siapa dan yang itu dikerjakan oleh siapa.


(33)

Tujuan ada nya tampak bekas ini adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban dari tukang kepada pemborong yang menggaji mereka yang tidak bisa mengawasi kinerja mereka setiap saat. Karena bagaimana pun kuasa terbesar ada pada pemborong, kalau ia minta lebih di bagusi pengerjaannya, maka tukang harus menuruti. Selain itu juga, pertanggungjawaban berupa tampak bekas juga memberikan motivasi kepada pekerja agar cepat dan rapi dalam bekerja, sehingga membuat pemborong senang, dan mungkin akan terus memakainya sebagai tukang dari pemborong tersebut. Itu lah bentuk pertamggungjawaban pekerja dengan pemborong yang menggaji mereka. Hasil kerja setiap harinya.

Dalam pekerjaan bangunan ada perbedaan yang tampak jelas mengenai persoalan upah bagi para pekerja. Pekerja yang bekerja sebagai tukang tentunya mendapatkan gaji yang lebih tinggi di bandingkan dengan kenek. Karena di samping tugas yang dikerjakan berbeda, tukang juga dianggap lebih ahli dan berpengalaman dibanding kenek.

Di Pematangsiantar, menurut beberapa informan saya yang bekerja sebagai tukang bangunan maupun pemborong, kisaran gaji pekerja adalah untuk kenek, perkiraan gaji/hari itu dari Rp. 65.000-Rp.80.000. Dan untuk tukang dari Rp. 100.000-130.000/hari dan untuk kepala tukang Rp. 130.000 ke atas. Kenapa saya membuatnya perkiraan dari sekian sampai sekian? Karena masing-masing pemborong memasarkan harga yang berbeda-beda bagi pekerjanya. Kalau ia tukang yang kurang mampu dalam pengerjaan bangunan, maka gajinya akan berbeda dengan tukang yang sudah mahir dalam segala bidang.


(34)

Menurut bang Pincuk yang merupakan pekerja bangunan, ia mengatakan persoalan upah yang berbeda – beda itu di ibaratkan seperti gaji PNS yang tergantung golongannya. Dimana PNS dibedakan berdasarkan tingkatan dan pendidikan mereka, kalau pekerja bangunan di bedakan atas keahlian dan pengalaman mereka. Jadi, para pekerja masing-masing sudah tau kualitas diri mereka, dan sudah tahu akan di gaji berapa. Karena itu tadi, pemborong mematokkan pasaran upah untuk pekerja, sehingga untuk mendapatkan gaji yang tinggi pekerja juga harus mengekstra kemampuan kinerja nya.

3.6.1. Kedilemaan Tukang dan Pemborong

Menjadi sebuah kedilemaan juga bagi pekerja, jika pemilik rumah banyak protes dan meminta rombak sana sini, sehingga pemborong menganggap pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tidak beres, dan itu membuat pekerja mendapat pandangan jelek dari pemborong. Disisi lain, mereka harus menyanggupi keinginan klien dan bisa mendapat upah tambahan kerja dari pemborong, tetapi jika pemilik rumah tidak mau memberikan upah tambahan, sehingga pemborong harus menanggung biaya upah tambahan sendiri, itu membuat pemborong menjadi kesal, karena ada tambahan pengerjaan, dan membuat nilai pekerja di mata pemborong kurang baik. Untuk mengambil langkah amannya, pekerja jangan terlalu banyak bependapat di depan pemilik rumah, biarkan saja. Dan di sisi lain mereka juga harus tetap dapat memberikan kepuasan kepada pemborong, agar pemborong senang dan memperkerjakan mereka lagi.


(35)

Di samping itu kedilemaan lain yang dirasakan tukang adalah saat pemilik rumah meminta perombakan ataupun penambahan tetapi tidak pengertian. Pemborong ingin memberlakukan aturan dengan tegas (penambahan berarti siap nambah upah), nanti di bilang pelit kali ataupun sombong. Aturan yang tidak tegas (tidak berani ngomong, atau sanksi yang tidak ada) membuat hal ini menjadi kedilemaan bagi pemborong. Sedangkan pekerjaan ini datangnya dari mulut ke mulut klien. Kalau nama pemborong jelek di masyarakat, maka akan berdampak pada pekerjaannya . Inilah yang di katakan dengan kedilemaan tukang.

3.7. Persaingan Diantara Pekerja dan Diantara Pemborong

Untuk menjadi pekerja bangunan tidak ada di tuntut persyaratan khusus, yang di perlukan hanyalah kemauan dan kemampuan fisik. Itulah dua syarat yang paling utama. Walaupun dapat dikatakan bahwa pria yang sudah mampu bekerja dan memiliki tenaga fisik yang kuat dapat menjadi pekerja bangunan, tetapi untuk bertahan pada lingkungan kerja bangunan, harus lah memiliki kemampuan yang lebih, kemauan dan punya tenaga saja tidak cukup.

Seperti beberapa cerita sebelumnya, yaitu pemborong memberikan bonusan kepada pekerja yang rajin, hasil kerja yang bagus, dan cekatan, kemudian pemborong memantau hasil kerja tukang dengan melihat pada tampak bekas yang dikerjakan oleh tukang. Kedua hal tersebut, secara tak langsung menunjukkan bahwa pekerja dituntut untuk berkualitas dalam bekerja. Jika pekerja lambat,


(36)

malas, dan suka berantam dengan pekerja lainnya, maka tak jarang pemborong tidak akan memakainya lagi di kemudian hari.

Tukang yang sudah berpengalaman dan ahli dalam semua bidang juga akan mendapatkan gaji yang lebih dari tukang yang lain. Pemborong memberikan apresiasi kepada para tukang yang menurut ia bagus, sehingga ini secara tak langsung memunculkan persaingan diantara tukang untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas dirinya.

Persaingan juga terjadi di antara pemborong. Pemborong yang memiliki proyek di mana-mana tanpa ada henti-henti nya di katakan sebagai pemborong yang sukses. Untuk mencapai pada tahap itu tidak lah mudah, banyak perjuangan dan pengorbanan yang pasti di lakukan. Menjadi pemborong di daerah sub urban tidak harus memiliki website atau blog tertentu untuk memperkenalkan dirinya pada orang lain. Ucapan warga dari mulut ke mulut menentukan apakah pemborong itu bagus di mata masyarakat atau tidak.

Pekerja pemborong yang memiliki kualitas yang bagus, cekatan dalam bekerja, ahli dalam segala bidang, dan cepat kerjanya merupakan hal yang menguntungkan bagi pemborong. Karena kinerja tukangnya juga lah pemborong di kenal dengan hasil kerjanya. Walaupun pada tahap awalnya, pemborong memulai karir sebagai tukang terlebih dahulu, sehingga ia sudah paham mengenai seluk belum pembangunan. Kemudian pengalaman berapa lama ia menjadi seorang pemborong juga menentukan pilihan masyarakat.

Selain itu pemborong yang jasa upahnya murah di banding yang lain dan kerjanya juga cepat dan bagus, menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang


(37)

ingin membangun rumahnya. Sehingga pemborong yang menetapkan harga upah lebih murah di banding yang lain lebih banyak mendapatkan proyel dibandingkan dengan pemborong yang terlalu banyak mengambil untung. Karena pasti, pada tahap awal, pemilik rumah akan mencari-cari informasi terlebih dahulu tentang pemborong mana yang jasa upahnya murah. Tetapi ini tidak selalu menjadi indikator utama, pemborong dengan hasil kualitas yang bagus juga menentukan pilihan masyarakat untuk memakainya. Selain itu juga tentang kepribadikan pemborong, apakah ia orangnya ramah atau sombong, baik atau tempramen, pelit ataukah punya kecacatan hukum di masyarakat. Faktor-faktor tersebut menentukan pilihan masyarakat jatuh pada ke pemborong yang mana.

Dari beberapa indikator tersebut, secara tak langsung juga menunjukkan persaingan antar pemborong. Walaupun tak terlihat dengan kasat mata persaingan tersebut, tetapi secara tak langsung dapat dilihat melalui pemborong mana yang sering mendapatkan proyek dan pemborong mana yan sering menganggur di rumah.

3.8. Jam Kerja Rentan Konflik diantara Sesama Pekerja

Jam-jam istirahat merupakan bagian yang penting dalam proses kerja bangunan. Apalagi jenis pekerjaan ini adalah pekerjaan kasar yang dilakukan di luar ruangan dan merupakan salah satu jenis pekerjaan berat. Kalau sudah berat, banyak tenaga terporsir, dan tubuh pun gampang lelah kalau tidak istirahat. Beberapa praktek kerja bangunan ada yang menerapkan 3 kali istirahat dalam sehari, yaitu sekali di jam 12-13.30 atau 14.00 untuk makan siang, jam


(38)

10.00-10.30 untuk istrihat sebentar meminum teh,kopi, atau merokok, dan jam 15.00 atau jam 15.30-16.00 untuk meminum teh, merokok, atau memakan kue-kue maupun gorengan. Ada juga yang hanya menerapkan 2 kali istrihat, yaitu jam 12.00-13.30 dan jam 15.00-16.00, ada juga yang hanya menerapkan sekali istirahat, hanya di jam 12 siang saja. Tetapi yang jelas semua pekerja wolon(istirahat) di jam 12 siang. Semua jam-jam istirahat tersebut tergantung pemborong dan pemilik rumah. Kalau pemilik rumah berbaik hati memberikan makanan atau minuman di jam-jam istirahat tersebut sepanjang pengerjaan rumah, maka mereka istirahat. Itu menandakan bahwa pemilik rumah mengizinkan mereka beristirahat sebentar. Tetapi kalau tanda-tanda minuman atau makanan itu tidak diberikan maka itu menandakan pekerja harus tetap bekerja. Semua tergantung situasi nya.

Walaupun sudah ada jam isirahat yang sudah diberlakukan secara tetap dan semua pekerja sudah tau sama tau, bahwa istirahat makan siang di jam 12, tetapi kadang memunculkan pertengkaran kecil-kecilan di antara pekerja. Kenek yang tugasnya adalah melayani tukang, harus menuruti perintah tukang. Seperti kejadian yang saya temukan di lapangan. Jam sudah menunjukkan pukul 12 kurang, tetapi adukan semen baru saja di aduk. Pada hari ini pengerjaan masih sama, yaitu pemasangan batu bata. Karena semen sudah terlanjur diaduk, maka tukang ingin pekerjaan dilakukan sampai semen habis. Tetapi karena jam sudah menunjukkan jam 12 lewat, muka kenek sudah pada murung, dan mencampakkan ember yang ada di tangannya begitu saya. Ini menandakan bahwa kenek sudah kesal. Karena situasi sudah panas, cuaca juga panas, maka tukang pun


(39)

menghentikan pekerjaannya untuk menuruti kemauan kenek. Pada saat itu jam sudah menunjukkan pukul 12.15, wajar saja jika mereka memang harus istirahat. Tetapi walaupun kenek meninggalkan lokasi pekerjaan duluan untuk meneduh di barak11, ia tidak langsung makan siang. Ia menunggu tukang datang dulu, dan mereka makan bersama-sama. Dalam istirahat pun, harus ada kesepakatan untuk istirahat bersama, jangan ada yang istirahat dan jangan ada yang masih bekerja.

Hal-hal seperti itulah sering memunculkan situasi yang tidak enak sesama pekerja atau pertengkaran kecil pekerja. Ketika tidak ada yang mengawasi, maka pekerja pun terkadang terlihat tidak enakan(cekcok). Kadang pekerja yang satu istirahat sebentar, mungkin karena capek, dan pekerja yang lain masih sibuk bekerja, sehingga menimbulkan suasana yang tidak enak. Ibarat pembicaraan dalam hati, “enak kali dia bisa santai, aku aja masih kerja” seperti itu lah kira-kira.

Dan karena ini adalah pekerjaan yang informal, dan jam kerjanya pun secara informal di terapkan, hanya berdasarkan mulut ataupun tau sama tau. Tidak seperti bekerja di kantoran ataupun perusahaan yang memiliki aturan yang jelas mengenai persoalan jam kerja, sehingga diharapkan para pekerja bangunan ini kompak ketika kapan mulai bekerja dan kapan megakhiri pekerjaan. Tetapi kadang ada situasi dimana pekerja yang berulah. Ketika ada pemborong ia ingin terlihat tampil lebih baik dibanding yang lain. Seperti jam kerja dimulai jam 8, ia sudah mulai bekerja di jam setengah 8. Disaat pekerja lainnya, masih sarapan dan minum teh ia sudah mulai bekerja. Bagaimana pun situasi seperti itu tidak enak dilihat pekerja yang lainnya. Temannya sudah bekerja, mereka masih santai. Maka

11


(40)

tidak ada lagi kenyamaan saat santai yang mereka rasakan ketika melihat kawan mereka sudah mulai bekerja, mau tidak mau mereka pun ikut bekerja. Tetapi kalau terus-terusan bersikap begini, maka pekerja lain pun berontak. Karena pekerja tersebut sudah bertindak di luar aturan yang mereka lakukan. Aturannya adalah, siapa yang melanggar hukum ia harus di beri sanksi. Sanksi yang diberikan adalah labrakan dari pekerja lain kepada pekerja tersebut, untuk jangan bekerja suka-sukanya. Ketika konflik sudah terjadi, untuk menghindari konflik yang berkepanjangan maka pemborong mengambil keputusan untuk memindahkan pekerja ke tempat proyek yang lainnya, agar konflik pun tidak melebar yang berdampak pada pekerjaan rumah tersebut.

Pekerja yang suka angkat telor (cari muka) dengan pemborong pun meresahkan pekerja yang lain, seperti contoh dalam hal melanggar jam kerja. Ketika ada pemborong pura-pura rajin, jam 7 atau setengah 8 sudah mulai, tetapi ketika pemborong tidak ada, sifatnya seperti biasa. Bagi pekerja yang lain, jam kerja bukanlah hal yang paling utama. Yang paling penting adalah pertanggungjawaban hasil kerja (atau mereka sering sebut bekas) mereka setiap hari nya. Karena ketika pemborong tidak bisa setiap saat memantau pekerjaan mereka, dan ketika ia datang memantau, ia akan melihat sudah sejauh mana hasil yang pekerja lakukan. Itu lah bentuk pertanggungjawaban pekerja dengan pemborong yang menggaji mereka. Hasil kerja setiap harinya.


(41)

3.9.Adukan Semen yang tak Sesuai Prosedur

Ukuran yang sesuai standard dalam pengocokan semen pembuatan coran ataupun untuk pemasangan batu bata adalah, 1 ember semen di campur dengan 2 ember pasir dalam membuat pondasi ataupun pemasangan batu. Itu lah takaran sebenarnya. Seperti aturan

yang ditetapkan oleh salah satu pabrik pengolahan semen di Indonesia di samping ini. Tetapi implementasi di lapangan adalah pekerja main cepat. Mereka tidak memakai aturan yang diterapkan, seperti itu walaupun mereka sudah tau dengan aturan yang sebenarnya, tetapi mereka main langsung saja. 1 sak semen berukuran 40 kg, langsung di campur dengan 2,5-3 beko pasir. Yang penting takarannya pas. Alasannya adalah karena keefektifan waktu agar bisa cepat. Karena dalam setiap pengadukan, ketika air sudah masuk ke campuran, maka harus di tunggu beberapa menit dulu agar campurannya matang. Karena setiap adukan semen tidak boleh kecairan ataupun bantet. Ukurannya harus pas, sehingga untuk bolak balik membuat campurannya akan memakan waktu yang lama.Selain itu juga karena alasan kecepatan dan keefektifan waktu untuk mengejar target, alasannya lainnya adalah dalam hal ekonomis. Adukan semen yang sesuai takaran akan menambah biaya yang lebih, dibandingkan dengan adukan yang biasa di buat pekerja, sehinga ini lebih memberatkan kepada pemilik rumah dalam urusan pembelian bahan.


(42)

Menurut informan saya yang merupakan seorang tukang, ia mengatakan ada dua cara pengadukan semen. Satu pengadukan melalui skope atau cangkol, satu lagi di dalam molen (yaitu alat mesin yang bentuknya bulat, dan berfungsi untuk mengaduk semen. Alat ini akan berputar-putar ketika sedang pengadukan). Anjuran dari pemerintah adalah pengadukan dilakukan di dalam molen, agar campuran bahan merata dan homogen, Tetapi karena alasan pembelian alat itu sangat mahal ataupun peminjamannya juga mahal, dan pembangunan yang mereka kerjakan hanyalah rumah pribadi biasa, maka menurut mereka memakai molen itu tidak perlu dilakukan. Menurut pemerintah jika pengadukan dilakukan di atas tanah, maka hasil kocokan semennya kurang bagus dan mudah rapuh karena memakai tenaga manual.

Tetapi menurut penuturan informan saya, selama berpuluh tahun lamanya ia menjadi tukang, ia selalu melakukan pengadukan di atas tanah melalui tenaga manual. Tidak terjadi apa-apa, bangunan-bangunan yang ia bangun masih berdiri kokoh dan tidak terjadi apa-apa. Karena tidak terjadi apa-apa itu lah, maka para tukang masih tetap menerapkan cara tersebut ketika mengaduk semen.

Untuk setiap adukan semen yang telah tercampur dengan air dan pasir dinamakan dengan speksi. Untuk 1 sak semen yang telah di campur dengan 2,5-3 beko pasir tadi akan menghasilkan 30-35 ember speksi. 1 ember speksi bisa dipasang untuk 7 batu bata. Sehingga untuk 1 sak semen bisa di pakai untuk pemasangan 210-245 batu bata.


(43)

BAB IV

HUBUNGAN PEMBORONG DAN KLIEN

4.1. Perubahan Tahapan Penyedia Jasa

Dahulu, pada zaman nenek saya pertama sekali membangun rumah, para tetangga dan saudara bergotong royong untuk saling bantu membantu pembangunan tersebut. Ada beberapa bahan yang mengharuskan di beli, dan ada beberapa bahan yang dapat diambil langsung dari alam. Tetapi untuk upah pekerja yang membantu tidak ada, bentuk nya adalah saling gotong royong. Tetapi dengan semakin berkembangnya zaman, masuknya intervensi perekonomian modern, sehingga masyarakat sudah memiliki nilai ukur untuk pertukaran barang dan jasa yang mereka keluarkan, yaitu uang. Dan proprorsi-proporsi ini menghilangkan bentuk resiprositas sebagai akibat dari berkembangnya pertukaran uang (Semedi, Sairin, dan Hudayana, 2002).

Dengan semakin berkembangnya zaman, masuknya perekonomian modern pada praktek konstruksi, juga merubah semuanya. Praktek konstruksi yang melingkupi pembangunan, baik pembangunan jalan, rumah pribadi ataupun yang lainnya, jasa yang diberikan tukang untuk membangun pun di tukarkan dengan uang. Nilai-nilai pengetahuan yang di miliki tukang, tenaga, keterampilan, keahlian, dan waktunya, di tukar kan dengan uang, sebagai balas jasa dari apa yang telah ia berikan. Seperti contoh, dulu ketika masyarakat ingin membangun sebuah rumah, maka akan diadakan musyawarah dab gotong royong dengan sesama warga, tetapi sekarang zaman telah berubah. Saat ini, ketika kita ingin


(44)

membangun sebuah rumah, terutama pada masyarakat perkotaan, maka kita harus membayar upah dari jasa tukang yang membantu kita. Sehingga dalam praktek ini, hubungan yang berupa saling memberi barang/jasa juga tidak berlaku lagi.

4.2. Siap Nambah Sebagai Wujud Dari Berlakunya Kontrak Tak Tertulis

Berhadapan dengan klien, yang berbeda-beda karakter, dan kemauan selalu dihadapi pemborong ketika di lapangan. Ada klien yang baik, ada yang cerewet, dan ada yang tidak mau tau sama sekali. Semuanya sudah pernah di rasakan oleh salah seorang informan saya yang bernama lek Bagus. Tidak ada perjanjian yang tertulis dalam pengerjaan rumah pribadi. Proses lisan yang berlaku disini. Melalui mulut ke mulut, senang sama senang, tau sama tau. Maka dari itu, karena tidak adanya perjanjian tertulis disini, sehingga klien sering lari dari perjanjian awal yang telah di tentukan. Untuk meminimalisir hubungan yang tidak baik dengan klien, sebelum mulai mengerjakan bangunan, lek Bagus akan menggambarkan sebuah rumah sesuai dengan permintaan klien. Lek Bagus benar-benar serius dalam penggambaran ini, dan akan memberikan gambar tersebut kepada klien untuk dipikirkan dahulu, dan kemudian diputuskan. Setelah ada keputusan, dan klien berkata ya, maka lek Bagus mengatakan bahwa jika dalam proses pengerjaan klien meminta nambah atau perubahan, maka klien harus siap menambah biaya upah, kesepakatan di awal pun sudah di tentukan. Sehingga kecekcokan atau hubungan tidak baik dengan klien sudah jarang lek Bagus alami.

Beda pemborong beda pula kejadian-kejadian yang dialami. Ada pemborong yang memberi gambar kepada pemilik rumah sesuai dengan


(45)

permintaan mereka dan ada yang pemilik rumah gambar sendiri. Semua tergantung situasi. Patokan tukang adalah gambar, tetapi bagaimana pun ketika sedang pengerjaan, ada saja perubahan yang diinginkan oleh pemilik rumah. Tukang menganggap bahwa disini pemilik rumah telah melanggar kesepakatan awal. Ini lah lemahnya perjanjian yang tak tertulis tersebut, tidak ada bukti hanya berupa rasa kepercayaan satu sama lain. Walaupun diberlakukan suatu kesepakatan bahwa jika ada penambahan bangunan yang memakan waktu yang lama, maka pemilik rumah haru siap menambah biaya upah. Tetapi ini tidak selalu terjadi, tergantung dari keinisiatifan pemilik rumah. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa perjanjian tersebut tidak kuat.

Meminta perombakan bangunan dari klien ke pemborong pasti terjadi. Perombakan itu ada yang skala kecil dan ada yang skala besar. Skala kecil misalkan perubahan peletakan cucian piring, ventilasi jendela, posisi kamar mandi yang pengerjaannya bisa dilakukan sambil lalu. Untuk pengerjaan yang dalam skala besar, yang apabila dikerjakan membutuhkan waktu yang diluar target yang telah ditentukan maka harus dibicarakan kembali. Biasanya pemilik rumah akan sadar untuk menambah, tanpa di minta. Tetapi selalu saja pemborong mengalami pemilik rumah yang meminta perombakan tetapi tak sadar diri, di minta uang tambahan tidak mau. Prinsip yang diberlakukan seorang pemborong sebagai penyedia saja adalah tetap memberikan pelayanan yang terbaik untuk klien. Karena harapannya klien ini akan mengabarkan ke saudara-saudaranya, para tetangganya, teman-temannya mengenai hasil yang ia peroleh dari kinerja pemborong tersebut. Biarlah nilai klien jelek di mata pemborong, tetapi jangan


(46)

sampai nilai pemborong jelek di mata klien. Itu kata mereka. Mereka tetap mengerjakan perombakan yang di minta klien, walaupun dana tambahan tidak diberikan, yang ada keuntungan yang menipis, karena menambah waktu kerja untuk para tukang.

4.3. Klien Bisa Mengajukan Komplen

Pengerjaan sebuah rumah pribadi yang ukurannya tidak terlalu besar, standard nya adalah selama 2.5 bulan hingga 3 bulan. Biasanya pengerjaan akan rampung dalam waktu 2,5 bulan saja. Untuk pengerjaan rumah tersebut, pekerja bisa dikerahkan sebanyak 5-7 orang, sedangkan untuk rumah yang ukurannya besar, maka pemborong akan mengerahkan sekitar 14 orang. Ada pemborong yang memberlakukan aturan tak tertulis bahwa kalau klien mau protes, misalkan cat yang kurang rapi, ada atap yang rusak, dan sebagainya, komplenan tersebut dapat diajukan di masa 4 bulan pengerjaan rumah tersebut. Kalau lewat 4 bulan, dan ada komplain, maka klien wajib membayar lagi, di luar pembayaran sebelumnya. Nah disini bisa juga kita lihat, bahwasannya ada aturan-aturan yang tidak tertulis yang menurut ruang lingkup tersebut perlu untuk diberlakukan sebuah aturan. Tetapi target pengerjaan selama 3 bulan hanyalah target saja. Dimana dalam pengerjaannya bisa meleset sedikit, ini bisa karena keterlambatan bahan, ataupun tenaga kerja yang kurang cekatan.

Cara-cara pemborong berbeda dalam menyikapi komplenan klien. Dan menurut pernyataan lek Bagus, perjanjian pertanggungjawaban pemborong dengan pemilik rumah setelah selesai pengerjaan kadang di buat dan kadang tidak dan hanya sebatas mulut. Sehingga perjanjian ini tidak resmi. Menurut lek Bagus,


(47)

klien dapat mengajukan komplennya selama 3-6 bulan ke depan. Karena lek Bagus merasa bahwa hasil kinerja ia dan tukang harus dapat dipertanggungjawabkan, kalau klien komplen ya harus ditanggapi. Tetapi lek Bagus tidak pernah mematokkan jangka waktu tersebut. Kapanpun klien memanggilnya karena protes dengan pengerjaan yang dilakukan oleh pekerja lek Bagus, maka lek Bagus akan bertanggungjawab. Lek Bagus merasa komplenan itu merupakan hal yang biasa, wajar saja klien mengadukan keluhan ke pihak lek Bagus, karena mereka yang paham cara membangun dan cara memperbaikinya kembali. Dan lek Bagus pun melihat itu sebagai tanggungjawabnya dalam bekerja. Disisi lain ada pemborong yang hanya memberlakukan masa komplenan selama 3 bulan saja, di luar itu harus menambah jika ada kerusakan bangunan ataupun perbaikan yang lain. Aturan-aturan ini berbeda-beda di berlakukan oleh pemborong. Tetapi tetap saja, walaupun klien mengajukan komplenan pada pemborong saat rumah sudah selesai, tetap saja pemborong akan mengerahkan anggotanya untuk menangani komplenan tersebut.

Tetapi jarang sekali tukang itu pulang dengan sesuatu yang hampa. Misalkan jika pemilik rumah komplen dengan pemborong karena atapnya masih ada yang bocor, dan pemborong akan menyuruh tukang yang mengerjakan bagian itu kemarin untuk memperbaikinya. Walaupun yang diperbaiki adalah persoalan kecil, tetap saja tukang di berikan uang terima kasih (berupa uang rokok atau uang makan) oleh pemilik rumah. Pemilik rumah merasa tidak enak, memanggil pekerja kembali setelah pengerjaan rumah selesai dilakukan, maka ketika di panggil di kasih juga uang capeknya.


(48)

4.4. Hubungan yang Tercipta Antara Klien, Pemborong dan Mitra Pemborong (Panglong)

Panglong adalah sebutan untuk pusat penjualan alat-alat dan bahan-bahan bangunan. Setiap pengerjaan bangunan rumah, pasti belanja di panglong untuk bahan-bahan yang diperlukan. Ternyata, karena bidang pekerjaan tukang bangunan yang selalu berhadapan dengan proses bangun membangun sebuah bangunan, maka bahan-bahan yang dipakai, alat-alat yang dipergunakan, memiliki hubungan dekat dengan panglong-panglong yang menjual peralatan tersebut. Tukang menjual jasa, panglong menjual barang. Setiap pemborong sudah memiliki panglong langganannya, yang sudah bertahun-tahun ia belanja disana. Pemilik rumah berhubungan dengan panglong, saat ia membangun sebuah rumah, sekali atau jarang sekali. Berbeda dengan tukang, yang mungkin setiap harinya berhadapan dengan panglong. Jadi dapat terlihat hubungan mana yang lebih dekat kemana. Hubungan tukang lebih dekat ke panglong, dan hubungan pemilik rumah dengan panglong, sebagai hubungan biasa layaknya pembeli lainnya.

Karena sudah dekatnya hubungan antara tukang dengan panglong tertentu, itu seperti hubungan antara klien dengan penjual. Klien bisa bertahan setia, pasti karena ia puas dengan pelayanan yang diberikan oleh penjual. Pastinya tukang sudah memiliki rasa kenyaman pada panglong-panglong langganan mereka. Untuk persoalan belanja, jika pemilik rumah belanja sendiri ke panglong, maka harga masing-masing bahan adalah harga normal biasa seperti dijual dengan pembeli lainnya. Tetapi berbeda jika tukang yang belanja, harga barang-barang yang dijual akan di kurangi sekian persen jika tukang yang belanja. Makanya, jika


(49)

membangun rumah, baik itu borongan upah atau borongan kunci pun, banyak pemilik rumah yang mengajak pemborong ikut belanja. Selain pemborong lebih paham tentang apa-apa saja yang perlu, dengan adanya pemborong juga harga barang bisa di buat miring. Mungkin itu sudah menjadi hal yang biasa, jika kita sudah menjadi langganan di suatu tempat tertentu, sehingga kita sering di beri diskon. Ini merupakan strategi pasar yang dilakukan penjual untuk mempertahankan hubungannya dengan klien.

Tetapi di sisi lain, selain bahan-bahan menjadi lebih murah di dapatkan, pemborong pun mendapat komisi dari panglong. Ini biasa terjadi di dalam kancah pertukangan, kata seorang pemborong. Kadang panglong memberikan persenan untuk tukang, misalnya jika belanjanya 1juta, pemborong akan mendapatkan 50ribu, tergantung kesepakatan. Ada yang yang hanya diberikan uang rokok, ataupun alat-alat bangunan secara gratis seperti meteran, beko, sarung tangan ataupun martil. Tetapi ada juga tukang yang memiliki langgangan panglong di lebih dari satu tempat. Maka ia akan mendapatkan komisi yang lebih besar lagi. Misal jika ia datang ke panglong butuh meteran, maka tinggal ambil saja tidak perlu bayar. Bahkan ketam yang harganya cukup mahal pun pernah di dapatkan oleh salah satu informan saya. Dan jika misalnya pemilik rumah belanja sendiri, maka sore harinya tukang akan mendatangi panglong untuk meminta komisi, kalau tidak diberikan, bisa saja tukang mengompori pemilik rumah untuk belanja di tempat lain. Jadi apa yang menjadi kemauan tukang harus dipenuhi, agar hubungan tidak terputus dan bertahan lama.


(50)

Dari kasus-kasus tersebut, ada aturan-aturan tertentu untuk tetap menjaga hubungan tersebut. Lagi-lagi aturan baru muncul pada masyarakat yang membutuhkan. Kalau salah satu menyalahi aturan, maka hubungan yang sudah berjalan seperti biasanya pun berubah. Tetapi bagaimana pun, dari kasus tersebut semua pihak di untungkan. Pemilik rumah untung, karena dengan membawa pemborong harga bisa nego dan barang pun bisa hutang, kemudian pemborong juga untung, karena setiap klien yang ia bawa ke panglong mendatangkan rezeki tambahan juga buat dia. Dan panglong juga untung, karena dari pemborong lah ia mendapatkan banyak klien. Jadi hubungannya seperti paralel dan saling berhubungan dan saling menguntungkan.

4.5. Penyelesaian Sisa Bahan Bangunan

Dalam setiap pengerjaan bangunan sebuah rumah, memungkinan terjadi adanya sisa bahan bangunan ketika pembangunan telah selesai dikerjakan. Disini dibutuhkan keputusan dari pemilik rumah untuk diapakan barang tersebut, karena pemilik rumah(klien) yang memiliki hak atas bahan-bahan tersebut. Bahan-bahan yang sering sisa itu diantaranya keramik, semen, kayu broti, dan paku. Ada dua pendapat yang saya temukan di lapangan. Jika pekerjaan itu sifatnya borongan upah, maka hak sepenuhnya ada di tangan klien. Untuk barang-barang yang sisa tersebut, ada pemilik rumah meminta tukang untuk mengerjakan hal yang bisa dipergunakan dari bahan tersebut ataupun pemilik rumah menyimpan barang tersebut di rumahnya untuk keperluan di lain hari.


(1)

v Kepada teman-teman kost Mion yang telah membentuk keluarga kedua bagi saya. Kepada Kak Yanti yang kami sebut sebagai mamak, Intan yang kami sebut sebagai adek, Laila, kak Fitri, dan yang lainnya. Terima kasih telah menjadi keluarga kedua saya di perantauan. Berbagai canda, tawa, suka, dan duka kita lewati bersama dalam menjalani kehidupan sebagai anak rantau.

Kepada orang-orang yang terlibat dalam penelitian saya yaitu Pipi sahabat saya di kampung, Halima, kak Eni, lek Amir, wak Paino, wak Paito, wan Tambunan, bang Pincuk, dan yang lainnya yang telah berbaik hati memberikan kemudahan, pengalaman, dan ilmu kepada saya dalam pencarian data di lapangan.

Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, karenanya saya menerima saran dan kritik dari semua pihak untuk menyempurnakan hasil tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Antropologi.

Mudah-mudahan Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan berperan dalam hidup saya.


(2)

RIWAYAT SINGKAT PENULIS

Kiki Intan dara Jawa-Melayu Pesisir lahir di Pematangsiantar pada 27 Mei 1994. Anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Darwis Tanjung dan Ritawati. Menyelesaikan pendidikan sekolah dari SD hingga SMA di Pematangsiantar. SD 121308, SMP Negeri 2 dan SMA Negeri 2 Pematangsiantar. Pada tahun 2012 melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi menjadi salah salah satu mahasiswa Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Email aktif : kiki.intan48@gmail.com.

Pengalaman Organisasi

2014 – 2016 : Anggota FISIP USU ENGLISH CLUB

2012 : Anggota WAKRI (Wadah Kreatifitas Remaja Indonesia) Medan.

Kegiatan Selama Kuliah

 Peserta undangan dalam acara “Konser Theatrical Audio Visual Bangga Jadi Indonesia” oleh Yayasan Bangga Jadi Indonesia dalam event Peringatan Hari Pendidikan Nasional di Santika Premiere Dyandra. 2016

 Peserta acara Pameran Pendidikan Inggris oleh Dewan Inggris (British Council) kota Medan. 2016


(3)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan penulis kesehatan dan kesempatan. Berkat karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang ditulis dalam bentuk skripsi dengan judul Hubungan-Hubungan Hukum Dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar).

Judul skripsi ini adalah “Hubungan-Hubungan Hukum Dalam Dunia

Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)”. Skripsi ini merupakan hasil tugas akhir penulis yang disusun dan diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada strata studi Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Skripsi ini berisikan kajian analisis yang didasari pada observasi partisipasi dan wawancara mendalam mengenai munculnya hubungan-hubungan hukum dalam dunia pertukangan di Pematangsiantar. Pada bab I dalam skripsi ini berisikan latar belakang, tinjauan pustaka, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan pengalaman lapangan yang penulis rasakan dan alami selama melakukan penelitian di lapangan.

Pada bab II dalam skripsi ini berfokus pada gambaran umum mengenai tema penelitian yang penulis ambil. Bagaimana kehidupakan masyarakat urban dan pekerjaan sektor informalnya, bagaimana untuk bisa menjadi pekerja bangunan, apa alat-alat bangunan yang mereka pakai bekerja dan sedikit informasi mengenai profil informan penulis.

Pada bab III dalam skripsi ini berfokus kepada hubungan antara pemborong dan tukang yang menciptakan aturan-aturan informal dengan sendirinya. Kesadaran akan keamanan kerja yang lemah berdampak pada kecelakaan kerja yang dianggap sudah menjadi hal yang biasa di antara pekerja, pemberian bonusan yang secara rahasia diantara pemborong dan pekerja dan banyak lagi aturan lain yang tercipta.


(4)

Pada bab IV dalam skripsi ini berfokus pada hubungan antara pemborong dengan klien. Dimana pemborong dan klien adalah pihak pertama sebelum pembangunan dikerjakan oleh pekeja. Adanya kontrak tak tertulis dan lain sebagainya juga memunculkan aturan-aturan informal dalam hubungan mereka.

Pada bab V dalam skripsi ini juga masih berfokus pada hubungan antara tukang dengan klien yang juga menciptakan aturan-aturan informal dalam hubungan kedua belah pihak. Pada bab VI penulis membahas mengenai penyelesaian sengketa yang dilakukan antar pihak dalam dunia pertukangan tersebut. Karena hukum juga memunculkan pertentangan dan juga memunculkan upaya untuk menghentikan pertentangan tersebut. Dan bab terakhir yaitu bab VII dalam skripsi ini berisi kesimpulan dan saran penulis dari hasil penelitian dan analisis penulis dalam skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurakan skripsi ini. Penulis juga berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan juga khususnya bagi penulis sendiri.

Medan, Juni 2016

Kiki Intan


(5)

xi

DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH... iii

RIWAYAT SINGKAT PENULIS ... vi

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Tinjauan Pustaka ... 11

I.2.1. Hukum Dalam Antropologi ... 11

I.2.2. Pluralisme Hukum ... 17

I.3. Rumusan Masalah ... 30

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 30

I.5. Metode Penelitian ... 31

I.5.1. Teknik Penelitian ... 33

I.5.1.1. Teknik Observasi Partisipatif ... 33

I.5.1.2. Teknik Wawancara ... 34

I.5.2. Analisis Data ... 35

I.6. Pengalaman Penelitian ... 35

BAB II TUKANG DI MASYARAKAT SUB URBAN 2.1. Masyarakat Sub Urban di Pematangsiantar ... 37

2.2. Pekerjaan Bidang Sektor Informal di Pematangsiantar ... 41

2.3. Buruh Bangunan Sebagai Alternatif Pekerjaan yang Yang Tidak Memerlukan Ijazah... 42

2.4. Alih Profesi ke Kerja Bangunan ... 46

2.5. Profil Keluarga Pekerja Bangunan ... 48

2.5.1. Keluarga Lek Bagus ... 48

2.5.2. Keluarga Wak Eko ... 59

2.5.3. Keluarga Wak Paino ... 66

2.6. Alat-Alat Kerja Bangunan Yang di Pakai ... 68

2.6.1.Cara Merawat Peralatan Bangunan ... 72

2.7. Teknik Pengerjaan Sebuah Bangunan Rumah ... 77

2.8. Simbol dan Makna dari Tahapan Proses Pembangunan Sebuah Rumah... 86

2.9. Kasus Rumah Yang Sedang Di Bangun ... 90

BAB III HUBUNGAN PEMBORONG DAN TUKANG 3.1.Hubungan Antara Kesadaran Keselamatan dan Kecelakaan Kerja ... 93

3.2. Ambil Mengambil Bahan/Alat Bangunan Merupakan Hal yang Biasa Bagi Pekerja ... 97

3.3. Pemborong Sebagai Posisi Tertinggi dalam Kerja Bangunan ... 102


(6)

3.3.1. Tukang Dan Kenek Seharusnya Sepaket ... 107

3.4. Menjaga Loyalitas dan Semangat Pekerja ... 111

3.5.Apresiasi Yang Tinggi dan Pemberian Bonusan Secara Rahasia di antara Pekerja ... 114

3.6. “Tampak Bekas” Bentuk Pertanggungjawaban Tukang ke Pemborong Dan Aturan Penggajian Pekerja ... 117

3.6.1. Kedilemaan Tukang dan Pemborong ... 119

3.7.Persaingan Diantara Pekerja dan Diantara Pemborong ... 120

3.8. Jam Kerja Rentan Konflik diantara Sesama Pekerja ... 122

3.9. Adukan Semen yang tak Sesuai Prosedur ... 126

BAB IV HUBUNGAN PEMBORONG DAN KLIEN 4.1. Perubahan Tahapan Penyedia Jasa ... 128

4.2. Siap Nambah Sebagai Wujud Dari Berlakunya Kontrak Tak Tertulis ... 129

4.3. Pelanggan Bisa Mengajukan Komplen ... 131

4.4. Hubungan yang Tercipta Antara Klien, Pemborong dan Mitra Pemborong (Panglong) ... 133

4.5. Penyelesaian Sisa Bahan Bangunan ... 135

BAB V HUBUNGAN TUKANG DAN KLIEN 5.1. Dilema Tukang Dengan Klien ... 137

5.2. Keinginan Klien ... 139

5.3. Istilah “Angkat Telor” dari Pekerja ke Klien ... 140

BAB VI PENYELESAIAN SENGKETA ... 142

6.1. Penyelesaian Sengketa Dari Pihak Pemborong Ke Pelanggan ... 143

6.2. Penyelesaian Sengketa Dari Pihak Pelanggan Ke Pemborong ... 146

6.3. Penyelesian Sengketa Dari Pihak Pemborong ke Tukang ... 148

BAB VII PENUTUP 7.1. Kesimpulan ... 150

7.2. Saran ... 152 Lampiran

Daftar Gambar Data Informan


Dokumen yang terkait

Strategi Buruh Dalam Mempertahankan Hidup (Studi kasus di PT.Putra Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar)

0 44 128

RITUAL PIODALAN ETNIK BALI DI PURA JAGADHITA TOBA DI KELURAHAN BAHKAPUL KECAMATAN SIANTAR SITALASARI KOTA PEMATANGSIANTAR.

3 19 22

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 12

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 1

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 37

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 1 56

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 3

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

0 0 4

Pertanyaan Kuisioner STRATEGI BURUH DALAM MEMPERTAHANKAN HIDUP (Studi kasus di PT.Putera Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari

0 0 12

STRATEGI BURUH DALAM MEMPERTAHANKAN HIDUP (Studi kasus di PT.Putra Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar)

0 0 16