Analisis Pragmatik Terhadap Cerita Novel “Nijushi No Hitomi” Karya Sakae Tsuboi

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “NIJUSHI NO HITOMI”
2.1 Definisi Novel
Novel merupakan jenis dari gendre prosa dalam karya sastra.Prosa dalam pengertian
kesusastraan juga disebut sebagai fiksi.Karya fiksi menyaran pada suatu karya sastra yang
menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi
sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenaran pada dunia nyata (Nurgiantoro, 1991:
2).Tokoh, peristiwa dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan
tempat yang bersifat imajiner.
Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan
kemanusiaan, hidup dan kehidupan.Pengarang menghayati berbagi permasalahan tersebut
dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui saran fiksi sesuai
dengan pandangannya. Sehingga menurut Attenbern dan Lewis dalam Nurgiantoro (1995: 2),
fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner, namun biasanya masuk akal
dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia yang
dikemukakan oleh pengarang berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan
dan dilakukan secara selektif dan di bentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus
memasukkan unsus hiburan dan peperangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.
Fiksi menyaran pada prosa naratif, yang dalam hal ini adalah novel bahkan kemudian fiksi
sering dianggap bersinonim dengan novel (Abram, dalam Nurgiantoro 1995: 4). Dengan
demikian dapat kita ketahui bahwa novel memiliki muatan yang sama dengan muatan-muatan
karya fiksi seperti yang telah diuraikan di atas. Novel merupakan sebuah karya fiksi yang

menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan , dunia

Universitas Sumatera Utara

imajiner yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar,
sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya bersifat imajiner (Nurgiantoro, 1995: 14).
Sebuah novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harafiah berarti sebuah
barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai : cerita pendek dalam bentuk prosa
(Abram dalam Nurgiantoro, 1995: 9). Dalam bahasa Jerman disebut dengan novella dan dalam
bahasa Inggris disebut dengan novel, istilah inilah yang kemudian masuk ke dalam bahasa
Indonesia. Dewasa ini istilah novelle dan novella mengandung pengertian yang sama dengan
istilah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan novellete dan dalam bahasa Inggris disebut
sebagai novellete, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak teralu
panjang namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiantoro, 1995: 9)
Jenis-jenis novel dapat dibedakan berdasarkan isi cerita dan mutu novel. Suharianto
(1982: 67) membagi jenis novel berdasarkan tinjauan isi, gambaran dan maksud pengaran,
yaitu sebagai berikut:
1. Novel Berendens yaitu sebuah novel yang menunjukkan keganjilan-keganjilan dan
kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Oleh karena itu novel ini sering
disebut sebagai novel bertujuan.

2. Novel Psikologi, yaitu novel yang menggambarkan perangai dan jiwa seseorang
serta perjuangannya.
3. Novel Sejarah, yaitu novel yang menceritakan seseorang dalam suatu masa sejarah.
Novel ini melukiskan dan menyelidiki adat istiadat dan perkembangan masyarakat
pada saat itu.

Universitas Sumatera Utara

4. Novel Anak-anak, yaitu novel yang melukiskan kehidupan dunia anak-anak yang
dapat dibacakan oleh orangtua umtuk pembelajaran kepada anaknya, ada pula yang
biasanya hanya dibaca oleh anak-anak saja.
5. Novel Detektif, yaitu novel yang isinya mengajak pembaca memutar otak guna
memikirkan akibat dari beberapa kejadian yang dilukiskan pengaran dalam cerita.
6. Novel Perjuangan, yaitu novel yang melukiskan suasana perjuangan dan peperangan
yang di derita seseorang.
7. Novel Propaganda, yaitu novel yang isinya semata-mata untuk kepentingan
propaganda terhadap masyarakat tertentu.
Berdasarkan penjelasan pembagian jenis-jenis novel di atas, maka dapat dilihat bahwa
novel “Nijushi no Hitomi” karya Sakae Tsuboi termasuk dalam jenis Novel Sejarah dan Novel
Perjuangan. Meskipun dalam novel “Nijushi no Hitomi” membahas tentang kehidupan tentang

anak-anak tetapi novel ini tidak termasuk ke dalam novel anak-anak. Novel ini diangkat dari
kisah nyata kehidupan di sebuah desa di Laut Seto tepatnya di desa tanjung dan desa pohon
pinus. Dalam novel itu diceritakan tentang seorang Ibu Guru dan dua belas murid didiknya.
Kisah ini berlangsung pada April 1928 sampai setelah perang April 1946. Perang yang
berlangsung pada saat itu memporak- porandakan kehidupan di desa tersebut, hingga semua
impian tersapu oleh kenyataan hidup. Ibu guru dan dua belas muridnya beserta masyarakat
yang hidup di desa tersebut harus dapat belajar memahami dan menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman.
Novel terbentuk oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur dalam sastra yang ikut mempengaruhi terciptanya karya sastra tersebut
yang terdiri dari tema, alur (plot), latar atau setting, penokohan/perwatakan dan sudut pandang

Universitas Sumatera Utara

atau pusat pengisahan. Sedangkan unsur ektrinsik adalah unsur luar dari sastra yang ikut
mempengaruhi terciptanya suatu karya sastra, unsur ini meliputi latar belakang pengarang,
keyakinan dan pandangan hidup pengarang dan sebagainya. Unsur ini mencakup berbagai
kehidupan sosial yang menjadi landasan pengarang untuk membuat suatu karya sastra.
2.2 Resensi Novel “Nijushi no Hitomi”
2.2.1 Tema

Tema adalah sesuatu yang menjadi pokok permasalahan atau sesuatu yang menjadi
pemikiran pengarang (ide cerita) yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Tema ini
disampaikan pengarang melalui jalinan cerita yang ia buat di dalam novel. Selain ide cerita,
tema dapat berupa pandangan hidup, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Brook dalam
Tarigan (1984: 125) bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau
rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari
suatu karya sastra.
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (2000: 91) istilah tema berasal dari bahasa latin
yang berarti tempat melektakkan suatu perangkat. Hal ini karena tema adalah ide yang
mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai titik tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjut lagi Scharbach menjelaskan bahwa
tema is not synonimous with moral or message.... theme does relate to meaning an purpose, in
the sense. Karena tema adalah kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa
fiksi oleh pengarangnya, maka untuk memahami tema pembaca terlebih dahulu harus
memahami unsur-unsur signifikan yang membangun suatu cerita, menyimpulkan makna yang
dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarangnya.

Universitas Sumatera Utara

Sementara itu, menurut Fananie (2000: 84) tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup

pengarang yang melatarbelakangi terciptanya karya sastra.Karena sastra merupakan refleksi
kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangan
beragam.Tema dapat berupa persoalan moral, etika, agama, sosial, budaya, teknologi dan
tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan.
Tema suatu cerita hanya dapat diketahui atau ditafsirkan setelah kita membaca cerita
serta menganalisis. Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui alur cerita serta penokohan dan
dialog-dialognya, hal ini sangat penting karena ketiganya memilki keterkaitan satu sama lain
dalam sebuah cerita. Dialog biasanya mendukung penokohan/perwatakan sedangkan tokohtokoh yang tampil dalam cerita tersebut berfungsing untuk mendukung alur dan mengetahui
bagaimana jalannya cerita tersebut, dari alur inilah kita dapat menafsirkan tema cerita novel
tersebut.
Contohnya dalam cerita novel “Nijusi no Hitomi” karya Sakae Tsuboi, dalam novel ini
diceritakan mengenai perjalanan hidup seorang Miss Oishi sebagai seorang guru dari muda
hingga dia menua selama sekitar satu generasi yaitu kurang lebih dua puluh tahun.Miss Oishi
berasal dari desa Pohon Pinus yang kesehariannya harus mengajar sekolah cabang di desa
Tanjung yang jaraknya delapan kilometer.Dalam novel ini diceritakan dari Miss Oishi masi
muda sampai akhirnya menua dan memiliki tiga orang anak. Di sekolah cabang yang berada di
desa Tanjung dia menjadi guru musik anak kelas satu yang berjumlah dua belas orang, lima
laki-laki dan tujuh perempuan. Kedua belas murid yang awalnya ingin menjahilinya mulai
menyayangi Ibu guru tersebut.Miss Oishi hanya mengajar mereka tidak lebih dari satu tahun
karena kecalakaan di pantai yang mengakibatkan tulang tumitnya patah.Setelah kecelakaan

tersebut Miss Oishi akhirnya di pindahkan ke sekolah utama. Dan Miss Oishi kembali

Universitas Sumatera Utara

mengajar kedua belas anak tersebut ketika mereka kelas lima. Karena di desa Tanjung sekolah
cabang hanya menyediakan untuk kelas satu sampai kelas empat.Kehidupan mereka semua
berubah ketika perang memporak-porandakan semuanya.Mereka harus menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman dimana Miss Oishi tidak pernah setuju atas anak laki-laki untuk
berperang.Bahkan Miss Oishi ingin meminta berhenti untuk menjadi guru kepada Ibunya
karena sebagian dari murid laki-lakinya bercita-cita untuk menjadi tentara. Miss Oishi sangat
kecewa pada saat itu, dia sangat tidak setuju akan laki-laki harus menjadi tentara dan mati
secepat itu tapi itu semua hanya di dalam hatinya dia tidak pernah berontak apapun. Miss Oishi
mengikuti semua perjalanan tersebut hingga perang berakhir.
Dari cerita diatas tampak tema yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah
“Bagaimanapun keadaan yang terjadi dalam hidup, kita harus belajar memahami dan
menyesuaikan diri kita atas perubahan zaman”.
2.2.2 Alur (Plot)
Alur atau Plot adalah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu per
satu dan saling berkaitan satu sama lain menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir
cerita. Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain, peristiwa yang

lain tersebut akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa berikutnya dan seterusnya sampai
peristiwa itu berakhir (Aminuddin, 2000: 83).
Dalam cerita fiksi ataupun cerpen, urutan plot beranekan ragam. Montage dan Henshaw
dalam Aminuddin (2000: 84) menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita
dapat tersusun dalam tahap sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1.

Perkenalan (Exposition)
Sejenak kemudian, seorang murid lain bertanya, “siapa nama guru baru itu?”
“Miss Oishi”. Tapi dia kecil sekali. Aku jangkung, walaupun aku seorang Kobayashi(“Oishi” artinya “batu besar”, sedangkan “Kobayashi” artinya “kayu kecil”. Miss
Kobayashi menggunakan permainan kata dari arti nama mereka)
... ... ...
Tiba-tiba saja sepeda itu sudah berada di depan mereka, mendatangi dengan cepat,
seperti burung, dan pengendaranya adalah perempuan yang mengenakan pakaian
model Barat. Dia tersenyum pada mereka dan menyapa, “Selamat pagii !” Lalu
lenyap, seperti hembusan angin.
... ... ...

“Tadi ada gadis berpakaian Barat baru saja lewat, naik sepeda! Menurutmu itu si Ibu
Guru, bukan?”
“Apa dia memakai kemeja putih dan jas hitam, seperti laki-laki?”
“Ya” (halaman 20-24)
Cuplikan diatas merupakan bagian dimana pengarang memperkenalkan tokoh utama

cerita, yaitu Miss Oishi, menuliskan keadaan dan situasi yang melatar belakangi cerita tersebut.
2.

Pertikaian (Inciting Force)
‘Dia anakku satu-satunya. Aku tidak bakal membolehkan dia datang ke desa kalian
lagi. Orang-orang desa disana jahat sekali.”(halaman 59)
Cuplikan di atas merupakan bagian dimana pengarang mulai menampilkan pertikaian

yang dialami tokoh, pertikaian ini bisa terjadi karena pertemuan dengan tokoh lain ataupun
situasi sosial yang lain dan konflik mencul pada bagian ini. Dalam cuplikan tersebut yang

Universitas Sumatera Utara

berbicara adalah Ibu dari Miss Oishi yang merasa tidak ingin lagi anaknya kembali mengajar di

desa tanjung tersebut.

3.

Perumitan (Rissing Action)
Akan tetapi tujuan kedatangan kepala sekolah kemari bukanlah untuk mendesak ibu
guru. Dia sekedar ingin menanyakan kesehatan Miss Oishi, sekaligus untuk
membawakan kabar baik. Hari ini dia menyebut anak perempuan sahabatnya itu
dengan nama depannya saja, sewaktu berbicara, “Hisako, Kau sudah mengorbankan
salah satu kakimu, jadi ku pikir sebaiknya kau berhenti mengajar di sekolah cabang
itu. Aku sudah mengambil keputusan untuk memindahkanmu ke sekolah utama, tapi
kalau melihat caramu berjalan, kurasa kau belum bisa mengajar disana.”
... ... ...
“Hisako, mengapa diam saja? Mengapa Kau tidak mengucapkan terima kasih?”
... ... ...
“Jaga mulutmu Hisako ! Kau bahkan belum mengucapkan terima kasih selayaknya
atas kebaikan hati Pak kepala sekolah. Aku membiarkanmu menjawab sendiri, tapi
kau justru bicara yang tidak-tidak semenjak dia datang.” (halaman 82-85)
Cuplikan di atas merupakan bagian dimana pengarang mulai menampilkan pertikaian


yang telah terjadi pada tahap sebelumnya menjadi semakin rumit, masalah yang terjadi pada
tokoh semakin kompleks.
4.

Krisis (Crisis)
Mereka hidup dalam kekurangan, dan Mrs Oishi tidak mampu menyediakan bahan
untuk membuat peti mati bagi Yatsu (anaknya). Maka dia memutuskan untuk

Universitas Sumatera Utara

menggunakan sebuah meja tua yang sudah bobrok. Bunga-bunga juga tidak ada di
kebun, maka Daikichi (anak sulung) dan Namiki (anak kedua) memetik sejumlah
bunga liat di pemakaman, untuk di persembahkan kepada adik perempuan mereka
yang telah meninggal itu. (halaman 207)
Cuplikan di atas merupakan bagian dimana situasi semakin panas dan para pelaku
sudah di beri gambaran nasib oleh pengarangnya.
5.

Puncak (Climax)
Perang telah membuat orang-orang tidak mampu memiliki sepeda-padahal sepeda

adalah kebutuhan sehari-hari. Setengah tahun setelah perang usai, masih sangat sulit
untuk membeli sepeda. Inilah masalah yang paling membebani Mrs Oishi ketika dia
ditugaskan kembali ke desa Tanjung itu. Dulu setengah perjalanan ke sana bisa di
tempuh dengan naik bus, tapi semasa perang layanan bus dihentikan, dan sampai
sekarang belum ada lagi. Semuanya sepertinya tidak ada cara lain selain berjalan
kaki sejauh delapan kilometer, yang semasa mudanya dulu pun biasa dia tempuh
dengan bersepeda. Mrs Oishi khawatir akan jatuh sakit kalau mesti menggunakan
cara itu. (halaman 194)
Cuplikan di atas merupakan bagian dimana masalah yang telah terjadi dan semakin

rumit pada tahap sebelumnya datang semakin bertumpuk di bagian ini, bisa saja mungkin
tokoh mengalami hal yang paling sulit dalam hidupnya di bagian ini dan masalah ini harus
segera diselesaikan.

Universitas Sumatera Utara

6.

Anti Klimaks (Falling Action)
“Ada surat untuk Bu Guru Oishi.” Katsuko menyodorkan surat itu dengan bangga.
Isinya : Hari minggu adalah satu-satunya hari libur Anda, berarti Anda tentunya sibuk
sekali di rumah. Tetapi kami sungguh berharap Anda bisa datang ke pesta kami pada
hari minggu ini. Sebelum kami sempat mencari tahu, hari apa yang sekiranya sesuai
untuk Anda, gandum di ladang tahu-tahu sudah masak dan panen gandum sudah dekat.
Berhubung kami merasa akan sulit mencari kesempatan lain untuk berkumpul, maka
kami mengatur acara ini dengan tergesa-gesa. Sebagian besar kawan-kawan sekelas
kami kemungkinan akan datang, jadi, kira-kira bersediakah Anda untuk datang juga?...
(halaman 229-230)
... ... ...
Saya rasa pengalaman-pengalaman hidup kami yang keras telah menjadikan kami
lebih matang. Saya yakin kami sanggup melakukan hal-hal yang tidak bakal pernah
berani dilakukan oleh perempuan-perempuan yang menikah seperti Miisan, atau oleh
para lajang yang penuh harga diri seperti Kotsuru atau Sanae. Benar, Matchan ? Mari
kita tunjukkan semangat kita pada mereka !” (halaman 241)
Cuplikan di atas merupakan bagian penyelesaian, persoalan yang datang dari tahap-

tahap sebelumnya mulai diselesaikan satu per satu, pada bagian ini masalah dapat diselesaikan
dengan berbagai cara, bisa saja dengan mematikan tokoh cerita ataupun membiarkan tokoh
mengambang, hal ini sesuai dengan kreatifitas pengarang.
Tahapan plot di bentuk oleh satuan-satuan peristiwa, setiap peristiwa selalu diemban
oleh pelaku-pelaku dengan perwatakan tertentu, selalu memiliki setting tertentu dan selalu

Universitas Sumatera Utara

menampilkan suasana tertentu pula. Sebab itulah dengan memahami plot pembaca dapat
sekaligus berusaha memahami penokohan/perwatakan maupun setting.
Dalam tahapan alur selalu terdapat konflik. Konflik merupakan inti dari sebuah alur.
Konflik dapat diartikan sebagai sebuah pertentangan. Menurut Kosashi (2011: 226) bentukbentuk pertentanga antara lain:
1. Pertentangan Manusia dangan Dirinya sendiri;
2. Pertentangan Manusia dengan sesamanya;
3. Pertentangan manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan ekonomi, sosial,
politik dan budaya;
4. Pertentangan Manusia dengan Tuhan atau Keyakinannya
Bentuk-bentuk konflik inilah yang kemudian diangkat ke dalam novel dan
menggerakkan alur cerita. Berdasarkan uraian tentang konflik di atas, maka konflik yang
terdapata dalam novel “Nijushi no Hitomi” karya Sakeo Tsuboi adalah

pertentangan

manusia dengan lingkungannya ekonomi dan sosial. Akibat perang Jepang dengan China
kehidupan desa kecil di Tanjung itu banyak mengalami perubahan dimana semua laki-laki
yang baru saja dewasa sudah harus menjadi tentara dan maju pada garis terdepan dalam perang
tersebut. Disini Ibu Guru Oishi ingin menentang tetepi takut di bilang sebagai Golongan
“Merah”. Ibu Guru Oishi hanya bisa mengikuti jalan hidupnya. Kehidupan setelah perang
membuat ekonomi penduduk desa tanjung maupun desa pohon pinus menurun. Bahkan umtuk
membeli pakaian pun tidak bisa. Layanan bus yang tadinya bisa mengantar dari satu desa ke
desa lain juga terhenti karena perang.

Universitas Sumatera Utara

Alur atau plot di bagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Alur maju adalah susunannya mulai dari peristiwa pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya sampai cerita itu berakhir.
2. Alur mundur adalah alur yang susunannya dimulai dari peristiwa terakhir,
kemudian kembali pada peristiwa awal kemudian kembali pada peristiwa akhir
tadi.
Dari penjelasan alur atau plot di atas, maka alur yang ada pada novel “Nijushi no
Hitomi” karya Sakae Tsuboi adalah alur campuran. Karena cerita dalam novel ini tidaklah
berurut dari awal, tetapi bolak balik dari masa depan kemudian kembali ke masa lalu.
2.2.3

Penokohan/ Perwatakan
Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan

lahirnya maupun batiniah yang dapat merubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya,
adat istiadat dan sebagainya. Menurut Jones dalam Nurgiantoro (1995: 165) penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Sedangkan menurut Kosashi (2011: 228) penokohan adalah cara pengarang menggambarkan
dan mengembangkan karakter dalam tokoh-tokoh cerita.
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya
dan bagaimana pula prilaku tokoh-tokoh tersebut. Dalam penokohan ada 2 hal penting, yaitu
pertama hubungan dengan teknik penyampaian dan yang kedua adalah hubungan dengan watak
atau kepribadian tokoh yang ditampilkan. Kedua hal ini memilki hubungan yang sangat erat
karena penampilan dan penggambaran sang tookoh harus mendukung watak tokoh tersebut
(Aminuddin, 2000: 79).

Universitas Sumatera Utara

Penokohan dalam novel “Nijushi no Hitomi” adalah sebagai berikut:
1.

Miss Oishi / Hisako Oishi adalah tokoh utama dalam novel “Nijushi no Hitomi” karya
Sakae Tsuboi yang merupakan ibu guru dari desa Pohon Pinus yang mengajar di desa
yang ada di tanjung. Sebagai seorang guru Miss Oishi berhasil menjadi guru yang
disayangi oleh murid-muridnya karena kebaikan dan keteladanannya.
Cuplikannya sebagai berikut: “Tak lama lagi akan ada ibu guru baru. Kalian semua
mesti menjadi murid-murid yang baik, Ya ? Mau, kan ? Aku suka sekali mengajar disini,
tapi sayangnya kakiku seperti ini. Aku akan kembali setelah sembuh nanti.”
Anak-anak itu memandangi kaki Ibu Guru. Kedua mata Sanae berkaca-kaca; sengaja dia
membuka matanya lebar-lebar supaya air matanya yang berkilat-kilat itu tidak tumpah.
(halaman 95)

2.

Orangtua Miss Oishi (Ibu) adalah orang yang sangat baik dan orang yang paling
menyayangi Miss Oishi. Mereka hidup berdua sejak kematian sang ayah ketika Miss
Oishi berumur tiga tahun.
Cuplikannya sebagai berikut: ‘Dia anakku satu-satunya. Aku tidak bakal membolehkan
dia datang ke desa kalian lagi. Orang-orang desa di sana jahat-jahat sekali”(halaman
59)

3.

Kotoe Katagiri, anak perempuan seorang nelayan. Kotoe memiliki sifat yang sangat baik
sebagai anak perempuan pertama. Di usianya yang sangat kecil dia harus mengurus adikadiknya. Dia sangat menyesal telah dilahirkan sebagai anak perempuan.
Cuplikannya sebagai berikut: Aku menyesal dilahirkan sebagai anak perempuan. Ayahku
selalu mengeluh, kenapa aku bukan anak laki-laki. Gara-gara aku bukan anak lelaki, aku
tidak bisa ikut menangkap ikan bersama ayahku; jadi. Ibuku yang pergi dengannya. Ibu

Universitas Sumatera Utara

menggantikan aku melaut, umtuk bekerja, pada hari-hari musim dingin yang
menggigilkan dan pada hari-hari musim panas yang terik. Kalau sudah besar nanti, aku
akan melakukan apapun sebisaku untuk ibu.”(halaman 154)
4.

Fujiko Kinoshita, anak perempuan seorang bangsawan dan dia adalah orang yang sangat
pendiam.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: Fujiko adalah anak perempuan yang berwajah
pucat yang tampak tidak sehat. Dia selalu kelihatan menggigil, kedua tangannya
dimasukkan ke balik lengan baju, sikapnya yang penuh harga diri nyaris tak kelihatan di
balik tatapan matanya yang dingin dan muram, serta sifatnya yang tidak banyak
berbicara.(halaman 158)

5.

Tadashi (Tanko) Morioka, anak lelaki seorang ketua nelayan. Tanko adalah anak lelaki
yang bercita-cita menjadi tentara dan nelayan.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: “Aku akan ikut kursus sekolah lanjutan disini.
Setelah

lulus,

aku

akan

menjadi

nelayan,

sampai

aku

diterima

sebaigai

tentara.”(halaman 158)
6.

Takeichi Takeshita, anak laki-laki cerdas seorang pedagang beras. Takeichi juga
mempunyai cita-cita menjadi tentara.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: “Aku akan menjadi kadet. Kau tidak akan bisa
mengalahkanku Tanko. Aku akan lansung menjadi letnan dua.” (halaman 159)

7.

Nita Aizawa, anak lelaki cerewet bersuara lantang. Nita akhirnya tewas di medan perang.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: “Kau agak terlalu banyak ikut campur urusan
orang lain, Master Nita Aizawa. Suaramu juga terlalu lantang. Mulai sekarang, kalau
aku memanggil nama anak lain, aku ingin dia menjawab sendiri.” (halaman 30)

Universitas Sumatera Utara

8.

Kotsuru Kabe, anak perempuan seorang pengantar barang; gadis yang banyak bicara.
Anak perempuan yang bercita-cita menjadi bidan.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: “Kotsuru, sepertinya kau agak terlalu cerewet, ya
?Kau ingin menjadi bidan, bukan? Bidan yang baik tidak boleh terlalu banyak
membicarakan orang lain. Ini pesan terakhirku untukmu. Jadilah bidan yang baik, ya?”
Walaupun pada dasarnya dia anak yang lancang, Kotsuru mengangkat pundak dengan
malu dan tersenyum dengan matanya yang sipit itu. “saya mengerti. Terima kasih.”
(halaman 165)

9.

Sanae Yamaishi, anak perempuan yang pemalu namun cerdas. Sanae bercita-cita menjadi
seorang pendidik.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: “Dan Sanae, ku harap kau akan menjadi guru yang
baik. Menurutku, sebaiknya kau belajar untuk lebih banyak berbicara.” (halaman 165)

10.

Matsue (Matchan) Kawamoto, anak perempuan seorang tukang kayu. Kematian ibunya
membuat anak perempuan ini harus mengurus semua adik-adiknya. Dan pada akhirnya
dia hidup di lingkungan yang asing.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: “Kematian ibunya telah melemparkan gadis itu ke
dalam lingkungan yang asing dan tak bisa di tebak”. (halaman 151)

11.

Misako (Miisan) Nishiguchi, anak perempuan dari keluarga kaya. Misako adalah anak
perempuan yang tidak terlalu pandai di kelasnya. Dia agak payah dalam pelajaran dasardasar aritmatika. Dia selalu tampak tertekan seusai sekolah, dia masih terus belajar untuk
ujian masuk.

Universitas Sumatera Utara

Cuplikannya adalah sebagai berikut: “Kepalaku langsung pening ketika melihat angkaangka. Mana mungkin aku bisa ikut ujian? Lihat saja nanti, begitu hari ujian tiba, aku
pasti sakit.” (halaman 152)
15. Isokichi (Sonki) Okada, anak lelaki seorang penjual tahu. Isokichi adalah salah satu yang
selamat saat perang, meskipun dia kehilangan penglihatannya.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: “Besok malam saya akan berangkat ke Osaka untuk
magang. Atasan saya akan mendaftarkan saya ke sekolah malam di sana.” (halaman
168)
16. Masuno Kagawa, anak perempuan pemilik restoran; dia memiliki bakat musik. Namun dia
gagal untuk masuk sekolah lanjutan karena nenek dan ayahnya tidak mengizinkan.
Cuplikannya adalah sebagai berikut: “nenek dan ayah Masuno sangat keberatan dia
meneruskan sekolah lanjutan, jadi akhirnya dia menyerah. Kata mereka, tidak apa-apa
kalau anak pemilik restauran manjadi pemain samisen, tapi mereka tidak mau dia menjadi
penyanyi konser. Masuno menangis habis-habisan, bahkan sampai mogok makan
segala....” (halaman 164)
17. Kichiji (Kitchin) Tokuda, anak lelaki pendiam

2.2.4

Latar (Setting)
Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana yang

terjadi dalam cerita novel. Latar berfungsi sebagai pendukung alur dan penokohan, memberi
nuansa makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan
emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Gambaran situasi yang jelas akan membantu
memperjelas peristiwan yang sedang di kemukakan pengarang (Aminuddin, 2000: 68).

Universitas Sumatera Utara

Sebagai salah satu bagian dari unsur pembangun karya fiksi, setting selalu memiliki
hubungan dengan unsur-unsur signifikan yang lain dalam rangka membangun totalitas makna
serta adanya kesatuan (unity) dari keseluruhan isi yang dipaparkan pengarang . Setting selalu
memiliki hubungan dengan penokohan dan alur untuk mewujudkan suatu tema cerita.
Menurut Abrams dalam Zainuddin (2001: 99) secara garis besar latar dapat
dikategorikan dalam 3 bagian, yaitu:
1.

Latar Tempat
Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.
Dalam novel “Nijushi no Hitomi” karya Sakae Tsuboi lokasi berlangsungnya
peristiwa adalah di sebuah sekolah di desa sederhana di laut Seto, di tengah masyarakat petani
dan nelayan. Namun tidak semua peristiwa tersebut terjadi disana. Ada beberapa peristiwa
yang terjadi di desa Pohon pinus yang merupakan desa asal Miss Oishi.
2. Latar Waktu
Latar waktu mengarah padah saat terjadinya peristiwa, yang meliputi hari, tanggal,
bulan, tahun bahkan zaman tertentu yang melatarbelakangi cerita tersebut.
Novel ini memiliki latar belakang cerita tentang keadaan kehidupan masyarakat
sebelum dan sesudah perang dengan China. Bermula pada saat pertama kali Miss Oishi
mengajar di desa Tanjung pada April 1928 sampai setelah berakhirnya perang pada April 1946.
3.

Latar Sosial

Latar sosial mengarah kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Tata

Universitas Sumatera Utara

cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau
tinggi.
Dalam novel ini pengarang menampilkan kehidupan sosial masyarakat Jepang
sebelum perang hingga perang dan sampai perang berakhir. Pada masa itu mereka harus belajar
memahami kehidupan yang sederhana sementara waktu berlalu tahun-tahun yang bagai impian
disapu oleh kenyataan hidup. Perang memporak-porandakan semua hingga akhirnya mereka
harus dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
2.2.5 Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita novel tersebut.
Dengan kata lain posisi pengarang menempatkan dirinya dalam cerita tersebut, apakah dia ikut
terlibat langsung atau hanya sebagai pengamat yang berdiri diluar cerita (Aminuddin, 2000:
90). Sedangkan menurut Abrams dalam Nurgiantoro (1998: 248) sudut pandang adalah cara
atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan,
latar dan berbagai peristiwa dalam bentuk sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Terdapat beberapa jenis point of view, yaitu:
1. Narator Omniscient, yaitu pengarang yang berfungsi sebagai pelaku cerita, karena
pengarang juga adalah pelaku cerita makan akhirnya pengarang juga merupakan pelaku
yang serba tahu tentang apa yang ada dalam bentuk pelaku utama maupun sejumlah
pelaku lainnya, baik secara fisikal maupun psikologis. Dengan demikian apa yang
terdapat dalam batin pelaku kemungkinanan nasibnya, pengarang atau narator juga

Universitas Sumatera Utara

mampu memaparkannya meskipun itu hanya beberapa lamunan pelaku atau merupakan
sesuatu yang belum terjadi.
2. Narator observer, yaitu pengarang berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan
para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu prilaku batiniah para pelaku.
Dalam novel “Nijushi no Hitomi” karya Sakae Tsuboi ini pengarang termasuk ke dalam
narrator observer, yaitu pengarang yang hanya berfungsi sebagai pengamat saja, karena tidak
terlihat langsung dalam cerita novel. Pengarang mengangkat cerita sejarah Jepang ke dalam
bentuk novelnya lalu mengemas cerita tersebut lebih menarik agar lebih mudah dipahami oleh
pembaca, tetapi ini cerita di dalam novel tetap sama dengan kisah sejarahnya tanpa ada yang di
ubah sedikitpun.

2.3

Biografi Pengarang
Sakae Tsuboi, pengarang buku ini lahir di Pulau Shodo di Laut Seto pada tahun 1900.

Setelah lulus sekolah dasar, dia bekerja sebagai juru tulis di kantor pos dan kantor desa di
pulau itu selama kurang lebih sepuluh tahun. Pada tahun 1925 Ia pindah ke Tokyo dan menikah
dengan Shigeji Tsuboi, seorang penyair. Kelak dia berkenalan dengan para novelis perempuan,
diantaranya Yuriko Miyamoto dan Ineko Sata, dan berkat dorongan mereka, dia mulai menulis
fiksi.
Sejak masa perang dia telah menghasilkan sejumlah novel. Dia dikenal piawai dalam
menulis kisah-kisah yang tokoh utamanya anak-anak, dan dari beberapa karyanya ini dia telah
memenangkan berbagai penghargaan sastra, diantaranya penghargaan Menteri Pendidikan
untuk Karya Seni. Novel Nijushi no Hitomi (Dua Belas Pasang Mata) telah diadaptasi menjadi
film oleh sutradara Keisuke Kinashita. Pada tahun 1967, Sakae Tsuboi menjadi warganegara

Universitas Sumatera Utara

kehormatan Uchinomi, Kagawa, dan pada tahun 1979 untuk menghormati karyanya Prefektur
Kagawa menetapkan Sakae Tsuboi Prize untuk anak-anak dari prefektur mereka.
2.4

Studi Pragmatik Sastra
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan pragmatik sastra untuk

menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam cerita novel “Nijushi no Hitomi” karya Sakae
Tsuboi, penulis mengambil beberapa cuplikan teks yang ada di dalam novel yang memiliki
nilai di dalam novel tersebut.
Pragmatik sastra adalah cabang penelitian ilmu sastra yang mengarah pada aspek
kegunaan sastra. Penelitian ini muncul atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural
murni yang mengandung karya sastra hanya sebagai teks itu saja.
Siswanto Roekhan dalam Endraswara (2008: 70) mengatakan pragmatik sastra lebih
menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan
menghayati karya sastra, karena pembaca sangat berperan dalam menentukan sebuah karya itu
merupakan karya sastra atau tidak dan sebuah keutuhan komunikasi sastrawan-karya sastrapembaca, maka pada hakikatnya karya yang tidak sampai kepada pembacanya bukanlah karya
sastra.
Kajian pragmatik selalu memunculkan persoalan yang berkaitan dengan masalah
pembaca, yaitu apa yang dilakukan pembaca dengan karya sastra, apa yang dilakukan karya
sastra dengan pembacanya serta apakah tugas dan batas kemungkinan pembaca sebagai
pemberi makna (Teeuw dalam Endraswara, 2008: 71). Hal ini berhubungan dengan manfaat
pragmatik sastra terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan
penyebarluasannya sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan melalui peranan pembaca
dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik adalah memberikan manfaat terhadap pembaca.

Universitas Sumatera Utara

Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah yang dapat
dipecahkan melalui pendekatan pragmatik diantaranya adalah berbagai tanggapan masyarakat
tertentu terhadap sebuah karya sastra.
Pendekatan pragmatik sastra mengandung karya sastra sebagai sarana untuk
menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral, agama dan
tujuan pendidikan lainnya. Dengan kata lain pragmatik sastra bertugas sebagai pengungkap
tujuan yang dikemukakan para pengarang untuk mendidik masyarakat pembacanya. Semakin
banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang diberikan kepada pembaca maka
semakin baik dan bernilai tinggi karya sastra tersebut (Abrams dalam Jabrohim, 2012: 67).

Universitas Sumatera Utara