Analisis Pragmatik Terhadap Cerita Novel “Catatan Ichiyo” Karya Rei Kimura

(1)

ANALISIS PRAGMATIK TERHADAP CERITA NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA

REI KIMURA NO SAKUHIN NO “CATATAN ICHIYO” TO IU SHOUSETSU NI TAISHITE NO PURAGUMATIKU NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Disusun oleh :

SARI RAMADHANI

NIM : 090708019

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji dan syukur kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat teriring salam kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai Nabi yang menjadi teladan terbaik bagi umat manusia.

Skripsi ini berjudul ANALISIS PRAGMATIK TERHADAP CERITA NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Ilmu Budaya Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam berbagai hal, baik penulisan maupun analisisnya, meskipun demikian penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku ketua Jurusan Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.


(3)

3. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing I yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini. 4. Bapak Muhammad Pujiono, S.S, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II

yang telah banyak membimbing dan membantu penulis dalam perbaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama proses penyusunan skripsi ini.

5. Dosen Penguji Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua dosen dan staf Fakultas Ilmu Budaya, khususnya dosen-dosen Departeman Sastra Jepang yang telah membimbing dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat.

6. Yang paling utama terima kasih yang sangat besar kepada orang tersayang, yaitu kedua orangtua penulis, Bapak Burhan dan Ibu Sumarni, orangtua terbaik yang telah memberikan segalanya untuk penulis dan selalu memberikan perhatian, doa dan nasihat terbaik kepada penulis agar menjadi manusia yang lebih baik. I’ll make you happy soon Mom and Dad.

7. Kepada abang penulis, Budiman Wibowo, terimakasih karena telah memberikan penulis kebebasan dalam memilih jalan untuk kuliah hingga seperti sekarang ini dan terimakasih untuk segala fasilitas dan perhatian yang diberikan. Thanks for everything my dearest brother!

8. Doremifasolasi, Lijakk, Mita, Uci, Nisha, Yulia dan Mery yang telah bersama-sama dengan penulis hingga saat ini dan selalu bersedia diajak diskusi mengenai apapun. Wish we’ll be success soon ladies!


(4)

9. For my cute mociil-idul. Love u boys! Thanks for always being my mood booster. For my laptop and Gigi , thanks anyway dear 

10.Nugraha Alimurty, thanks for being my best , together we’ll be facing up the hardest part of life.

11.For my crazy friends Muhammad Rizki Muda, Rauf Mazari dan Aryo Prayogi, keep doing the best crazy-things in your life brother! Dan thanks untuk Freico Riangga dan Muhammad Rizky yang sering menghibur dan membantu penulis dalam banyak hal.

12. My business partner “March19” Cici Fatria thanks for our 19  dan teman-teman seperjuangan Aotake ’09, terima kasih atas informasi-informasi yang diberikan selama di kampus. Kepada senior 08, kak Rini Pratiwi terima kasih karena telah memberi masukan kepada penulis mengenai pragmatik sastra.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna. Skripsi ini juga jauh dari sempurna. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dengan berusaha merampungkan skripsi ini secara maksimal. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Oktober 2013


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan... 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10

1.6 Metode Penelitian... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA DAN STUDI PRAGMATIK SASTRA... 13

2.1 Definisi Novel... 13

2.2 Resensi Novel “Catatan Ichiyo”... 16

2.2.1 Tema... 16

2.2.2 Alur (Plot)... 18

2.2.3 Penokohan (Perwatakan)... 23

2.2.4 Latar (Setting)... 26


(6)

2.3 Biografi Pengarang... 30

2.4 Studi Pragmatik Sastra dan Semiotik... 31

2.5 Kehidupan Sosial Masyarakat Jepang Pada Zaman Meiji... 34

BAB III ANALISIS CERITA NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA BERDASARKAN PENDEKATAN PRAGMATIK SASTRA... 36

3.1 Sinopsis Cerita Novel “Catatan Ichiyo” Karya Rei Kimura... 36

3.2 Analisis Nilai-Nilai Pragmatik Cuplikan Cerita Novel “Catatan Ichiyo” Karya Rei Kimura... 41

3.2.1 Percaya Diri... 42

3.2.2 Gigih... 51

3.2.3 Rendah Hati... 65

3.2.4 Tegas... 71

3.2.5 Penyayang... 74

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 79

4.1 Kesimpulan... 79

4.2 Saran... 82

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan –tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar, memberikan suatu petunjuk ataupun induksi. Akhiran –tra menunjukkan suatu sarana atau alat. Sastra secara harfiah berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi ataupun pengajaran. Sastra juga sering digunakan dengan bentuk-bentuk fisik seperti buku atau kitab yang berisi tulisan yang indah, mendidik ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusasteraan. Standar bahasa kesusasteraan yang dimaksudkan adalah penggunaan kata-kata yang indah dan gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik, sedangkan kesusastraan adalah karya seni yang pengungkapannya diwujudkan dengan bahasa yang indah (Zainuddin, 1992 : 12). Menurut Semi (1988 : 8) sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Tidak jauh berbeda seperti yang dikemukakan oleh Janet Wolff dalam Susanto (2012 : 34) sastra (arts) dianggap sebagai produk budaya suatu masyarakat, sastra juga dipandang


(8)

pendukungnya. Jadi sebuah karya sastra biasanya dihasilkan dari imajinasi manusia karena ada hubungan yang erat antara manusia pencipta karya sastra itu sendiri dan terinspirasi oleh kehidupan realitas lingkungan sekitarnya. Berbeda lagi dengan yang diungkapkan Swingewood dalam Faruk (http://lisadysastra.blogspot.com/2007/06/pengkajian-sastra.html?m=1) sastra atau kesusastraan merupakan rekonstruksi dunia dilihat dari sudut pandang tertentu yang dimunculkan dalam produksi fiksional hasil ungkapan ekspresi pengarang yang bersifat estetis, imajinatif dan integratif dengan menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan pesan tertentu.

Karya sastra terbagi dua, yaitu karya sastra imajinatif dan non-imajinatif. Puisi dan prosa termasuk ke dalam karya sastra non-imajinatif. Yang menjadi bahasan penulis disini adalah novel. Novel merupakan karya sastra imajinatif yang merupakan hasil ungkapan ekspresi pengarang berdasarkan hasil imajinasi, rekaan, angan-angan dan harapan pengarang (

http://padangsastra.blogspot.com/2010/07/pembagian-jenis-jenis-sastra.html?m=1). Menurut Paulus Tukam novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsur-unsur intirinsik (unsur yang membangun karya sastra itu sendiri), yaitu tema, alur (plot), latar (setting) dan penokohan (perwatakan), hal ini disebutkan dalam (

http://www.lokerseni.web.id/2011/09/pengertian-novel-menurut-parapakar.html?m=1).

Pada skripsi ini, penulis ingin menganalisis cerita novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura berdasarkan pendekatan pragmatik sastra.


(9)

sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral, agama atau tujuan pendidikan lainnya. Menurut Abrams dalam Jabrohim (2012 : 67) pendekatan pragmatik sastra adalah pendekatan yang menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca dan penghayat sastra. Pendekatan ini lebih mengkaji kepada respon pembaca dalam melihat nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra dapat dikatakan bagus jika memiliki kandungan nilai dan seni di dalamnya. Menurut Effendi dalam Semi (1988 : 9) sastra adalah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa bagus. Dari aspek pragmatik sastra, teks sastra dapat dikatakan berkualitas apabila memenuhi keinginan pembaca. Jika sebuah karya sastra tidak dapat dipahami oleh pembaca boleh dikatakan teks tersebut gagal, karena teks sastra tersebut hanya dipahami oleh pengarangnya. Hal ini jauh dari fungsi sastra yang bersifat komunikatif, yaitu dapat menyampaikan pesan yang dituliskan pengarang agar dapat dipahami oleh pembacanya.

Dalam menganalisis novel ini berdasarkan pendekatan pragmatik sastra, setiap pembaca memiliki respon yang berbeda karena melihat dari sudut pandang yang berbeda pula. Tetapi pada penelitian ini, penulis hanya memfokuskan untuk meneliti nilai-nilai yang diangkat dalam novel dari segi pragmatik sastra yang terdapat pada tokoh utamanya saja, yaitu Ichiyo Higuchi. Penulis akan mengambil cuplikan teks percakapan Ichiyo dengan tokoh-tokoh lain di dalam novel yang mengandung nilai-nilai pragmatik sastra yang disampaikan oleh pengarang kemudian penulis mengungkapkan nilai- nilai pragmatik dari cerita novel tersebut.


(10)

Novel ini diangkat dari kisah nyata yang bercerita tentang Ichiyo Higuchi, seorang gadis Jepang yang berasal dari keluarga biasa tetapi memiliki bakat sastra yang luar biasa. Ichiyo Higuchi terlahir dengan nama Natsuko Higuchi, ia mengganti namanya karena sehelai daun (Ichiyo) musim gugur jatuh sebagai tanda perpisahannya dengan teman lelakinya, Masao Kobayashi dan nantinya sosok lelaki ini dijadikan tokoh utama dalam salah satu novelnya. Ichiyo terserang penyakit TBC di usia muda, walaupun demikian semangat menulis Ichiyo tidak pernah pudar meskipun ia selalu tersandung masalah gender karena ia bukanlah golongan bangsawan, ia terus menulis karya-karya hebat yang mengguncang dunia sastra pada zaman itu. Karya-karyanya tersebut adalah Bunga di Kala Senja (novel) tahun 1892,

Umoregi (Dalam Keremangan), kemudian lima novel lagi yang dihasilkan Ichiyo antara 1895-1896, yaitu On The Last Day Of The Year (Hari Terakhir di Tahun Ini), Troubled Waters (Air Yang Keruh), The 13th Night (Malam Ketiga Belas), Child’s Play (Mainan Anak) dan Separate Ways (Jalan Lain)

yang merupakan karya terakhir yang dibuat Ichiyo sebelum ia meninggal di usia 24 tahun karena penyakit TBC yang dideritanya sejak lama. Pada tahun 2004 karya-karya Ichiyo Higuchi mendapat apresiasi yang sangat besar dari pemerintah Jepang sehingga sosok Ichiyo diabadikan dalam uang 5000 Yen Jepang.

Berdasarkan gambaran singkat cerita novel yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk memaparkan nilai-nilai pragmatik cerita novel tersebut dan menjelaskan nilai-nilai pragmatik yang disampaikan pengarang yang dapat dijadikan pelajaran di kehidupan nyata sehari-hari.


(11)

Berdasarkan penjelasan di atas, mendorong penulis untuk meneliti

dan menganalisis cerita novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura ini dengan judul penelitian “ANALISIS PRAGMATIK TERHADAP CERITA NOVEL

“CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA.”

1.2 Rumusan Masalah

Novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura bercerita tentang Ichiyo

Higuchi, seorang gadis Jepang yang terlahir dari keluarga biasa tetapi memiliki bakat sastra yang luar biasa. Selama hidupnya, Ichiyo gigih dalam mengapresiasikan karya sastranya meskipun banyak ditentang sastrawan pada zaman itu dan tegas pada prinsip untuk membuat karya sastra yang berdasarkan realitas dan tidak dibuat-buat. Ichiyo sangat meyakini bahwa memiliki ideologi sangat penting dalam membuat suatu karya sastra yang baik.

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis jelaskan di atas dan dikaitkan dengan pendekatan pragmatik dalam menganalisis novel ini, maka penulis merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan, yaitu :

1. Nilai-nilai pragmatik apa saja yang muncul dalam cerita novel

“Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura ?

2. Bagaimana nilai-nilai pragmatik tersebut diungkapkan dalam cerita

novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura ini ?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan


(12)

berdasarkan pendekatan pragmatik sastra melalui tokoh Ichiyo Higuchi. Dengan menggunakan pendekatan pragmatik sastra, penulis menjelaskan nilai pragmatik yang terkandung dalam novel tersebut melalui cuplikan teks percakapan Ichiyo Higuchi dengan tokoh-tokoh lain di dalam novel. Melalui teks percakapan tersebut, penulis mengambil nilai-nilai pragmatik yang disampaikan pengarang dan menemukan 22 cuplikan yang dapat dianalisis. Selain pendekatan pragmatik, penelitian ini juga menggunakan pendekatan semiotik untuk melihat tanda dan makna dalam teks cerita.

Dalam penelitian ini penulis menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti pengertian sastra, novel, pendekatan pragmatik sastra, pendekatan semiotik dan biografi pengarang yaitu Rei Kimura.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Sastra merupakan karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusasteraan. Standar bahasa kesusasteraan yang dimaksudkan adalah penggunaan kata-kata yang indah dan gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik, sedangkan kesusastraan adalah karya seni yang pengungkapannya diwujudkan dengan bahasa yang indah (Zainuddin, 1992 : 12). Bahasa dalam karya sastra itu sendiri mempunyai kedudukan yang penting, karena menentukan arti dari karya sastra tersebut. Menurut Soeratno dalam Yasa (2012 : 2) sastra merupakan sebuah sistem yang terangkat dari sebuah produk yang oleh masyarakat tertentu menamakannya sebagai sastra. Soeratno menyiratkan hal penting bahwa menyatakan sastra dan bukan sastra


(13)

ditentukan oleh komunitas atau kelompok tertentu, kelompok ini meliputi kelompok pembaca, bangsa, komunitas-komunitas sastra yang ada. Definisi ini tampak berbeda sebagaimana yang disampaikan oleh Culler dalam Yasa (2012 : 3) yang menyampaikan bahwa sastra dilihat dari karakteristik karya sastra itu sendiri, karakteristik disini maksudnya adalah sastra merupakan wadah yang memiliki fungsi menyampaikan ide-ide, gagasan-gagasan seorang penulis puisi, prosa dan drama. Upaya menuangkan ide atau gagasan melalui karya sastra dapat dikatakan sebagai upaya kreatif seorang penulis untuk mengajak masyarakat pembaca mendiskusikan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan.

Dalam rangka penelitian sastra, ada beberapa model pendekatan (teori kritik tertentu) yang dapat diterapkan dan penerapan model itu sesuai dengan konsep serta tata kerjanya masing-masing. Abrams dalam Jabrohim (2012 : 67) telah membagi model pendekatan itu ke dalam empat kelompok besar, dan empat kelompok itu dapat dipandang sebagai model yang telah mencakupi keseluruhan situasi dan orientasi karya sastra.

Diuraikan oleh Abrams keempat pendekatan itu adalah :

1. Pendekatan Ekspresif adalah model pendekatan yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra.

2. Pendekatan Pragmatik adalah model pendekatan yang menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat karya sastra.

3. Pendekatan Mimetik adalah pendekatan yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam kaitannya dengan dunia nyata.


(14)

4. Pendekatan Objektif adalah pendekatan yang memperhatikan karya sastra sebagai struktur dengan koherensi intirinsik (melihat struktur karya sastra tersebut).

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan pragmatik

sastra sebagai landasan teori menganalisis cerita novel “Catatan Ichiyo” karya

Rei Kimura. Pragmatik sastra adalah cabang penelitian ilmu sastra yang mengarah ke aspek kegunaan sastra. Penelitian ini muncul atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra hanya sebagai teks itu saja. Kajian struktural dianggap hanya mampu menjelaskan makna karya sastra dari permukaannya saja. Maksudnya, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna terhadap karya sastra tersebut. Menurut Abrams dalam Jabrohim (2012 : 67) pendekatan pragmatik sastra adalah model pendekatan yang melihat karya sastra berdasarkan sudut pandang pembaca. Pendekatan pragmatik sastra memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral, agama, atau tujuan pendidikan lainnya. Semakin banyak nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca, maka semakin baik karya sastra tersebut. Beberapa nilai yang tersebut terdapat dalam cerita novel

“Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura, yaitu percaya diri, gigih, rendah hati,

tegas dan penyayang. Nilai-nilai tersebut mewakili pesan atau tujuan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya.


(15)

Untuk menganalisis dan mengangkat nilai-nilai yang terkandung

dalam cerita novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura, penulis mengambil

beberapa cuplikan teks yang memiliki makna (tanda) di dalam novel. Kemudian untuk melihat tanda (makna) nilai-nilai dan manfaat novel tersebut bagi para pembaca, maka penulis menggunakan pendekatan semiotik. Semiotik berasal dari bahasa Yunani Semeion yang berarti tanda. Semiotik (Semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda, ilmu ini menganggap bahwa fenomena masyarakat sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai makna. Penelitian semiotik meliputi analisis karya sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada sifat-sifat yang menyebabkan bermacam-macam wacana memiliki makna, Preminger dalam Jabrohim (2012 : 93). Fungsi pendekatan semiotik yang digunakan penulis pada cuplikan teks dari karakter tokoh Ichiyo Higuchi dalam cerita novel tersebut memiliki makna dan nilai-nilai yang berguna serta dapat membawa pengaruh positif bagi para pembaca. Tanpa memperhatikan hal-hal yang terkait dengan tanda, maka pemaknaan karya sastra tidaklah lengkap.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Penelitian sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, di samping juga berpengaruh positif terhadap pembinaan


(16)

Endraswara (2008 : 67). Lebih khusus lagi, Pradopo dalam Endraswara (2008 : 67) mengungkapkan bahwa tujuan dan peranan penelitian sastra adalah untuk memahami makna karya sastra sedalam-dalamnya. Berarti penelitian sastra dapat berfungsi bagi kepentingan di luar sastra dan kemajuan sastra itu sendiri. Lebih jauh lagi, penelitian sastra juga akan membantu perkembangan teori sastra, penulisan sejarah sastra dan memperluas apresiasi pembaca.

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan penulis pada latar belakang masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan nilai-nilai pragmatik yang muncul dalam novel

“Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura.

2. Untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai pragmatik tersebut diungkapkan dalam novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian yang baik selain harus memiliki tujuan juga harus memiliki manfaat penelitian. Penelitian ini sendiri tidak hanya bermanfaat bagi penulis, tetapi juga pihak-pihak lain yang berkaitan dengan penelitian karya sastra. Manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Untuk menambah pemahaman kita dalam menganalisis sebuah karya sastra berdasarkan pendekatan pragmatik sastra.


(17)

2. Untuk mengetahui nilai-nilai pragmatik yang dapat memberi pengaruh positif pada pembaca melalui isi cerita novel “Catatan

Ichiyo “.

1.6 Metode Penelitian

Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan serta manfaat penelitian yang telah dijelaskan, maka diperlukan metode dalam penelitian ini. Metode yang digunakan penulis adalah metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan suatu metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis bahkan juga diperbandingkan (Ratna, 2004 : 53). Metode ini juga berfungsi untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Metode ini tidak hanya menjelaskan, tetapi juga memberikan pemahaman yang jelas terhadap data yang kita analisis.

Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah

library research atau studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, catatan-catatan, laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988 : 111). Kemudian buku-buku tersebut dibaca dan dicari teori yang berhubungan dengan penelitian mengenai analisis cerita


(18)

Maka berdasarkan hal yang telah penulis jelaskan di atas, langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah :

1. Membaca novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura.

2. Mencari data yang berhubungan dengan objek penelitian, yaitu mencari data tentang kajian pendekatan pragmatik sastra, semiotik dan teori-teori lain yang diperlukan dalam penelitian ini.

3. Mengumpulkan data-data tersebut kemudian menganalisis data berdasarkan pendekatan pragmatik sastra dan mengungkapkan

nilai-nilai yang terkandung di dalam novel “Catatan Ichiyo”.

4. Menyusun seluruh data tersebut menjadi sebuah laporan berbentuk skripsi.


(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA DAN STUDI PRAGMATIK SASTRA

2.1 Definisi Novel

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang berbentuk tertulis dan bersifat naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti “sebuah kisah,

sepotong berita”, dan juga dari bahasa Latin yakni novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti baru, dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi dan drama, maka jenis novel ini baru muncul kemudian setelahnya (Tarigan, 1984 : 164).

Novel adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2000 : 66). Pengarang umumnya ingin menampilkan ide serta hasil imajinasinya ke dalam novel. Menurut H.B Jassin dalam Suroto (1989 : 19) novel ialah suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dalam kejadian ini terlahir suatu konflik atau suatu pertikaian yang mengalihkan perubahan nasib mereka.

Jenis-jenis novel dapat dibedakan berdasarkan isi cerita dan mutu novel. Suharianto (1982 : 67) membagi jenis novel berdasarkan tinjauan isi, gambaran dan maksud pengarang, yaitu sebagai berikut :


(20)

1. Novel Berendens, yaitu sebuah novel yang menunjukkan keganjilan-keganjilan dan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Oleh karena itu novel ini sering disebut sebagai novel bertujuan.

2. Novel Psikologi, yaitu novel yang menggambarkan perangai, jiwa seseorang serta perjuangannya.

3. Novel Sejarah, yaitu novel yang menceritakan seseorang dalam suatu masa sejarah. Novel ini melukiskan dan menyelidiki adat istiadat dan perkembangan masyarakat pada masa itu.

4. Novel Anak-anak, yaitu novel yang melukiskan kehidupan dunia anak-anak yang dapat dibacakan oleh orang tua untuk pembelajaran kepada anaknya, adapula yang biasanya hanya dibaca oleh anak-anak saja.

5. Novel Detektif, yaitu novel yang isinya mengajak pembaca memutar otak guna memikirkan akibat dari beberapa kejadian yang dilukiskan pengarang dalam cerita.

6. Novel Perjuangan, yaitu novel yang melukiskan suasana perjuangan dan peperangan yang diderita seseorang.

7. Novel Propaganda, yaitu novel yang isinya semata-semata untuk kepentingan propaganda terhadap masyarakat tertentu.

Berdasarkan penjelasan pembagian jenis-jenis novel di atas, maka

dapat dilihat bahwa novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura termasuk dalam

jenis novel sejarah dan novel perjuangan. Hal ini karena novel ini diangkat dari kisah nyata seorang sastrawan wanita Jepang yang berjuang dalam


(21)

mengapresiasikan karyanya pada zaman Meiji. Novel ini menggambarkan keadaan masyarakat Jepang pada masa itu, yaitu pemerintah menyatakan adanya Shiminbyodo, yaitu persamaan empat strata sosial atau kelas sosial yang baru, yang terdiri dari dari Kouzoku (keluarga Kaisar), Kazoku

(keluarga bangsawan), Shizoku (keluarga samurai) dan Heimin (rakyat biasa). Meskipun zaman Meiji merupakan awal modernisasi Jepang, tetapi pada awal masa Meiji wanita belum memiliki pengaruh yang kuat dalam berbagai bidang. Tokoh utama dalam novel ini adalah salah satu sastrawan wanita Jepang yang memperjuangkan karyanya dengan mempertahankan ideologi hingga akhirnya berhasil mendapat tempat dalam dunia kesusastraan Jepang masa itu.

Novel terbentuk oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur dalam sastra yang ikut mempengaruhi terciptanya karya sastra tersebut yang terdiri dari tema, alur (plot), latar (setting), penokohan (perwatakan) dan sudut pandang (pusat pengisahan). Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur luar dari sastra yang ikut mempengaruhi terciptanya suatu karya sastra, unsur ini meliputi latarbelakang pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang dan sebagainya. Unsur ini mencakup berbagai kehidupan sosial yang menjadi landasan pengarang untuk membuat suatu karya sastra.

2.2 Resensi Novel “Catatan Ichiyo” 2.2.1 Tema

Tema adalah sesuatu yang menjadi pokok permasalahan atau sesuatu yang menjadi pemikiran pengarang (ide cerita) yang ingin disampaikan


(22)

kepada pembacanya . Tema ini disampaikan pengarang melalui jalinan cerita yang ia buat di dalam novel. Selain ide cerita, tema dapat berupa pandangan hidup, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Brook dalam Tarigan (1984 : 125) bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.

Menurut Scharbach dalam Aminuddin (2000 : 91) istilah tema

berasal dari bahasa latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’.

Hal ini karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai titik tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjut lagi Scharbach menjelaskan bahwa tema is not synonymous with moral or message.... theme does relate to meaning and purpose, in the sense. Karena tema adalah kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa fiksi oleh pengarangnya, maka untuk memahami tema pembaca terlebih dahulu harus memahami unsur-unsur signifikan yang membangun suatu cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarangnya.

Sementara itu, menurut Fananie (2000 : 84) tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi terciptanya karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema dapat berupa persoalan moral, etika, agama, sosial, budaya, teknologi dan tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan.


(23)

Tema suatu cerita hanya dapat diketahui atau ditafsirkan setelah kita membaca cerita serta menganalisis. Hal itu dapat dilakukan dengan mengetahui alur cerita serta penokohan dan dialog-dialognya, hal ini sangat penting karena ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain dalam sebuah cerita. Dialog biasanya mendukung penokohan/perwatakan sedangkan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita tersebut berfungsi untuk mendukung alur dan mengetahui bagaimana jalannya cerita tersebut, dari alur inilah kita dapat menafsirkan tema cerita novel tersebut.

Contohnya pada cerita novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura,

dalam novel ini diceritakan mengenai berbagai masalah kehidupan yang dialami Ichiyo sejak kecil, mulai dari bakat yang selalu diremehkan ibunya, kemiskinan yang diderita keluarganya sejak ayahnya meninggal dan diremehkan dalam dunia sastra pada masa itu, terutama oleh sastrawan pria. Ichiyo dianggap tidak pantas bersaing dengan para pria, hal ini karena Ichiyo membuat karya sastra berdasarkan ideologinya, berbeda dengan karya-karya sastrawan lain yang dibuat hanya untuk memenuhi permintaan sastra yang sedang populer pada masa itu. Ichiyo tak pernah kenal lelah memperjuangkan karyanya, hingga akhirnya ia diakui berbakat oleh sastrawan pada masa itu dan karyanya juga banyak mendapat banyak pujian.

Dari hal yang telah penulis jelaskan di atas tampak tema yang ingin

disampaikan oleh pengarang adalah “meskipun keadaan sosial masyarakat pada zaman Meiji tidak mendukung wanita yang bukan bangsawan untuk berkarya dengan bebas, tetapi hal itu bukanlah hambatan untuk berhenti


(24)

2.2.2 Alur (Plot)

Alur atau plot adalah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan satu sama lain menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain, peristiwa yang lain tersebut akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa berikutnya dan seterusnya sampai peristiwa itu berakhir (Aminuddin, 2000 : 83) .

Dalam cerita fiksi ataupun cerpen, urutan plot beraneka ragam. Montage dan Henshaw dalam Aminuddin (2000 : 84) menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan sebagai berikut :

1. Perkenalan (Exposition)

Ada saat-saat tertentu ketika Furuya bahkan lupa bahwa dirinya sedang hamil dan ketika hari kelahiran tiba, Natsuko, putri kedua mereka, muncul dengan tenang serta tak menimbulkan banyak masalah serta rasa sakit bagi ibunya, seperti halnya perjuangannya yang tenang dalam menghadapi segala rintangan yang harus dihadapi di usia dewasanya. Sementara tanpa kenal lelah ia mengukir tempat bagi dirinya di dalam sejarah Jepang kelak. ... ... ...

“Oh, buah hatiku, aku bisa merasakannya, kau akan menjadi seseorang yang istimewa!” (halaman 43-44)


(25)

Cuplikan di atas merupakan bagian di mana pengarang memperkenalkan tokoh utama cerita, yaitu Ichiyo Higuchi, menuliskan keadaan dan situasai yang melatarbelakangi cerita tersebut.

2. Pertikaian (Inciting Force)

“Jangan berkata begitu, Sentaro,” teriak Natsuko. “Perempuan mampu menjadi apapun yang mereka inginkan asalkan mereka memiliki otak dan sepasang tangan! Mereka sama pintarnya dengan laki-laki!” (halaman 49)

Cuplikan di atas merupakan bagian di mana pengarang mulai menampilkan pertikaian yang dialami tokoh, pertikaian ini bisa terjadi karena pertemuan dengan tokoh lain ataupun situasi sosial yang lain dan konflik muncul pada bagian ini.

3. Perumitan (Rising Action)

“Aku belum pernah melihat wanita yang lebih besar keinginannya untuk membunuh bakat anaknya daripada ibuku. Terimakasih Tuhan berkat ayah aku masih bisa membaca buku dan menulis!” Ayah tersayang menolak untuk menyerah dalam mengembangkan bakatku meskipun ibu terus-terusan mengomel. (halaman 71)

Cuplikan di atas merupakan bagian di mana pertikaian yang telah terjadi pada tahap sebelumnya menjadi semakin rumit, masalah yang terjadi pada tokoh semakin kompleks.


(26)

4. Krisis (Crisis)

“Aku sungguh putus asa dan harga diriku sungguh terbanting melihat keluargaku memohon pinjaman uang dan ibu tak henti-hentinya mengecek daftar jikalau ada teman atau sanak saudara yang belum mereka dekati, kami tidak bisa terus menerus hidup seperti ini! Itu sudah di luar batas harga diri manusia.” (halaman 132)

Cuplikan di atas merupakan bagian di mana situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya.

5. Puncak (Climax)

“Ya Tuhan bantulah aku secepatnya. Aku benar-benar putus asa karena keluargaku terjatuh ke dalam jurang kehancuran finansial dan kebangkrutan dan aku harus mendapatkan uang secepatnya. Malam ini aku mengatakan pada Kuniko bahwa aku tidak lapar agar ia mengambil jatah makananku. Ia membutuhkan kekuatan untuk pekerjaan rumah tangga yang harus dilakukannya. Aku sangat lapar hingga rasanya ada lubang besar di perutku dan aku menghilangkan rasa lapar dengan memakan nasi putih setiap malam.” (halaman 133)

Cuplikan di atas merupakan bagian di mana masalah yang telah terjadi dan semakin rumit pada tahap sebelumnya datang semakin


(27)

bertumpuk di bagian ini, bisa saja mungkin tokoh mengalami hal yang paling sulit dalam hidupnya di bagian ini dan masalah-masalah ini harus segera diselesaikan.

6. Antiklimaks (Falling Action)

Dalam beberapa bulan dari pertengahan 1895 dan awal 1896, Ichiyo telah menghasilkan setidaknya lima novel, yang tersohor antara lain On The Last Day Of The Year (Hari Terakhir di Tahun Ini), Troubled Waters (Air Yang Keruh), The Thirteenth Night (Malam Ketiga Belas), Child’s Play (Mainan Anak) dan Separate Ways (Jalan Lain). Kelihatannya tak ada yang dapat menghentikan dorongan adrenalin dalam diri Ichiyo pada masa ini dalam hidupnya. (halaman 226)

Cuplikan di atas merupakan bagian penyelesaian, persoalan yang datang dari tahap-tahap sebelumnya mulai diselesaikan satu persatu, pada bagian ini masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara, bisa saja dengan mematikan tokoh cerita ataupun membiarkan tokoh mengambang, hal ini sesuai dengan kreativitas pengarang.

Tahapan plot dibentuk oleh satuan-satuan peristiwa, setiap peristiwa selalu diemban oleh pelaku-pelaku dengan perwatakan tertentu, selalu memiliki setting tertentu dan selalu menampilkan suasana tertentu pula. Sebab itulah dengan memahami plot pembaca dapat sekaligus berusaha memahami penokohan perwatakan maupun setting.


(28)

Dalam tahapan alur selalu terdapat konflik. Konflik merupakan inti dari sebuah alur. Konflik dapat diartikan sebagai sebuah pertentangan. Menurut Kosasih (2011 : 226) bentuk-bentuk pertentangan antara lain :

1. Pertentangan manusia dengan dirinya sendiri; 2. Pertentangan manusia dengan sesamanya;

3. Pertentangan manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan ekonomi, sosial, politik dan budaya;

4. Pertentangan manusia dengan Tuhan atau keyakinannya.

Bentuk – bentuk konflik inilah yang kemudian diangkat ke dalam novel dan menggerakkan alur cerita. Berdasarkan uraian tentang konflik di

atas, maka konflik yang terdapat dalam novel “Catatan Ichiyo” karya Rei

Kimura adalah pertentangan manusia dengan lingkungan sosialnya. Ichiyo dan karyanya tidak dihargai hanya karena ia seorang wanita, karena pada awal zaman Meiji wanita tidak memiliki pengaruh kuat dalam berbagai bidang, tetapi meskipun begitu Ichiyo tetap berusaha agar karyanya mendapat apresiasi dari sastrawan Jepang lainnya pada masa itu, karena ia yakin masalah gender bukanlah hal yang dapat menghalangi seorang wanita untuk berkarya hingga akhirnya setelah bertahun-tahun ia berhasil mendapat tempat dan dihargai di lingkungan sosial masyarakat Jepang pada masa itu.

Alur atau plot dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1. Alur maju adalah alur yang susunannya mulai dari peristiwa pertama, kedua, ketiga dan seterusnya sampai cerita itu berakhir.


(29)

2. Alur mundur adalah alur yang susunannya dimulai dari peristiwa terakhir, kemudian kembali pada peristiwa awal kemudian akhirnya kembali pada peristiwa akhir tadi.

Dari penjelasan alur (plot) di atas, maka alur yang ada pada novel

“Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura ini adalah alur campuran. Karena dalam

cerita novel ini cerita tidaklah berurut dari awal, tetapi bolak-balik dari masa depan kemudian kembali ke masa lalu.

2.2.3 Penokohan atau Perwatakan

Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya dan sebagainya. Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1995 : 165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sedangkan menurut Kosasih (2011 : 228) penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.

Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana pula perilaku tokoh-tokoh tersebut. Dalam penokohan ada dua hal penting, yaitu pertama berhubungan dengan teknik penyampaian dan yang kedua adalah berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh yang ditampilkan. Kedua hal ini memiliki hubungan yang


(30)

sangat erat karena penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh tersebut (Aminuddin, 2000 : 79).

Boulton dalam Aminuddin (2000 : 79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Abrams dalam Nurgiyantoro (1998 : 165) menjelaskan bahwa tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Menurut Nurgiyantoro (1995 : 176) berdasarkan peranan dan tingkat pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan pengarang dalam novel yang bersangkutan dan tokoh yang memiliki peranan penting dalam cerita tersebut, ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan memiliki peranan tidak penting karena kemunculannya hanya melengkapi, melayani dan mendukung pelaku utama. Tokoh tambahan kejadiannya lebih sedikit dibandingkan tokoh utama, yakni hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama secara langsung.

Penokohan dalam novel “Catatan Ichiyo” adalah sebagai berikut :

1. Ichiyo Higuchi adalah tokoh utama dalam novel “Catatan Ichiyo” yang merupakan gadis muda Jepang yang sangat mandiri dan gigih dalam berkarya pada masa Meiji. Sebagai perempuan pada masa Meiji Ichiyo berusaha agar karyanya dapat diterima seperti


(31)

umumnya para lelaki dan bangsawan. Ichiyo berkarya memiliki prinsip dan berdasarkan realitas.

Cuplikannya sebagai berikut : “Mengapa seorang penulis harus

dianggap berbeda hanya karena ia wanita? Satu-satunya yang berbeda adalah kehidupan kaum wanita lebih sulit karena masyarakat berusaha merendahkan mereka sementara pria diizinkan berjalan dan tumbuh dengan tujuan hidup mereka masing-masing!” (halaman 255)

2. Noriyoshi Higuchi adalah ayah Ichiyo yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan bakat sastranya sejak kecil dan merupakan orang yang paling mendukung Ichiyo untuk menjadi seorang sastrawan.

Cuplikannya sebagai berikut : “Terimakasih Tuhan berkat ayah aku masih bisa membaca buku dan menulis!” Ayah tersayang menolak untuk menyerah dalam mengembangkan bakatku meskipun ibu terus-terusan mengomel. (halaman 71)

3. Kuniko Higuchi adalah adik Ichiyo yang tinggal bersamanya sejak kecil hingga akhir hayatnya dan Kuniko lah yang menjadi saksi kesuksesan karya Ichiyo pada masa itu.

Cuplikannya sebagai berikut : “Kau sekarang adalah penulis

profesional, “Siapa yang tahu? Kau mungkin akan menjadi sangat terkenal hingga suatu hari wajahmu akan muncul dalam salah satu lembaran uang kertas Jepang!” (halaman 173)


(32)

4. Furuya Ayame adalah ibu Ichiyo yang sangat menentang Ichiyo berkecimpung dalam dunia sastra sejak kecil, karena menurutnya pekerjaan seorang wanita hanyalah di dapur dan melayani suami. Cuplikannya sebagai berikut : “Apa manfaatnya segala

pembelajaran dan pendidikan itu untuk putri kita? Tak dapatkah kau berpikir, Noriyoshi? Perannya dalam hidup ini adalah menjadi istri dan ibu yang baik, segala hal-hal intelektual yang kau tanamkan padanya akan membuat takut pria mana pun untuk menjadi suaminya dan ia akan hidup melajang selamanya.” (halaman 69)

5. Nakarai Tosui adalah seorang mentornya pada masa itu dan orang yang paling berpengaruh dalam sebagian besar isi cerita novel yang dibuat oleh Ichiyo.

Cuplikannya sebagai berikut : “Hasil tulisanmu bagus,”kata

Nakarai beberapa hari setelah Ichiyo membawa cerita terbaru untuk dinilai olehnya. (halaman 118)

2.2.4 Latar (Setting)

Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana yang terjadi dalam cerita novel. Latar berfungsi sebagai pendukung alur dan penokohan, memberi nuansa makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya. Gambaran situasi yang jelas akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan pengarang (Aminuddin,


(33)

Sebagai salah satu bagian dari unsur pembangun karya fiksi, setting selalu memiliki hubungan dengan unsur-unsur signifikan yang lain dalam rangka membangun totalitas makna serta adanya kesatuan (unity) dari keseluruhan isi yang dipaparkan pengarang. Setting selalu memiliki hubungan dengan penokohan dan alur untuk mewujudkan suatu tema cerita.

Menurut Abrams dalam Zainuddin (2001 : 99) secara garis besar latar dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yaitu :

1. Latar Tempat

Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

Dalam novel “Catatan Ichiyo” ini, lokasi berlangsungnya peristiwa

adalah di kota Edo, Jepang. Edo disebut ibukota Shogun pada masa itu, sebuah kota besar yang luas dan tak teratur. Namun tidak semua peristiwa yang ada dalam novel tersebut terjadi di Edo, namun juga terdapat beberapa tempat- tempat penting lain seperti, Haginoya yaitu tempat sekolah Ichiyo dan Ryuusenji tempat Ichiyo menghabiskan waktunya bersama ibu dan adiknya sejak ayahnya meninggal.

2. Latar Waktu

Latar waktu mengarah pada saat terjadinya peristiwa, yang meliputi hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakangi cerita tersebut.


(34)

Novel ini memiliki latarbelakang cerita tentang keadaan kesusastraan Jepang pada era Meiji yaitu sekitar abad 18. Tokoh utamanya sendiri lahir pada tahun 1872 dan semua peristiwa dalam novel ini berlangsung selama 24 tahun sejak tokoh utamanya lahir dan akhirnya meninggal pada tahun 1896 karena penyakit tuberculosis yang telah diderita sejak lama.

3. Latar Sosial

Latar sosial mengarah kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau tinggi. Dalam novel ini pengarang banyak menampilkan kehidupan sosial masyarakat Jepang pada zaman Meiji. Pada awal zaman Meiji wanita tidak memiliki pengaruh kuat dalam berbagai bidang meskipun sudah ada persamaan strata sosial. Contohnya pada kehidupan sastra, mereka masih menganggap hanya laki-laki dan bangsawan yang berhak menunjukkan kreatifitasnya dalam bidang sastra, padahal dalam kenyataannya wanita juga memiliki kreatifitas yang sama.

2.2.5 Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita novel tersebut. Dengan kata lain posisi pengarang menempatkan dirinya


(35)

pengamat yang berdiri di luar cerita (Aminuddin, 2000 : 90). Sedangkan menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1998 : 248) sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Terdapat beberapa jenis point of view, yaitu :

1. Narrator omniscient, yaitu pengarang yang berfungsi sebagai pelaku cerita, karena pengarang juga adalah pelaku cerita maka akhirnya pengarang juga merupakan pelaku yang serba tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya, baik secara fisikal maupun psikologis. Dengan demikian apa yang terdapat dalam batin pelaku kemungkinan nasibnya, pengarang atau narator juga mampu memaparkannya meskipun itu hanya berupa lamunan pelaku atau merupakan sesuatu yang belum terjadi.

2. Narrator observer, yaitu pengarang berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah para pelaku.

Dalam novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura ini pengarang

termasuk kedalam narrator observer, yaitu pengarang yang hanya berfungsi sebagai pengamat saja, karena pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita novel. Pengarang mengangkat cerita sejarah Jepang ke dalam novelnya, lalu mengemas cerita tersebut lebih menarik agar lebih mudah dipahami oleh


(36)

pembaca. Tetapi inti cerita di dalam novel tetap sama dengan kisah sejarahnya tanpa ada yang diubah sedikitpun.

2.3 Biografi Pengarang

Rei Kimura adalah seorang pengacara yang memiliki ketertarikan dalam bidang menulis. Keunggulan karya-karyanya terletak pada penggambaran peristiwa dan karakter tokoh yang unik. Ia menampilkan kisah yang diangkat dari kejadian nyata di dalam beberapa bukunya. Dengan cara ini, Kimura menyentuh beberapa sejarah tragis seperti tenggelamnya Kapal Awa Maru, kisah pilot Kamikaze perempuan pada masa Perang Dunia II dan kisah Ichiyo Higuchi seorang sastrawan wanita Jepang yang diabadikan dalam uang 5000 Yen. Kimura merangkainya menjadi sebuah cerita yang menarik.

Kimura memandang karya-karyanya sebagai pencarian atas kebenaran, tantangan dan kepuasan. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di Asia dan Eropa dan telah terbit hampir di seluruh dunia. Selain menjadi pengacara, Kimura juga seorang jurnalis freelance yang tergabung dalam Australian News Syndicate.

2.4 Studi Pragmatik Sastra dan Semiotik

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan pragmatik sastra untuk menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam cerita novel

“Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura, penulis mengambil beberapa cuplikan


(37)

adalah cabang penelitian ilmu sastra yang mengarah kepada aspek kegunaan sastra. Penelitian ini muncul atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra hanya sebagai teks itu saja. Kajian struktural dianggap hanya mampu menjelaskan makna karya sastra dari permukaannya saja. Maksudnya, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna terhadap karya sastra. Pragmatik sastra lebih menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami dan menghayati karya sastra, karena pembaca sangat berperan dalam menentukan sebuah karya itu merupakan karya sastra atau tidak dan sebagai sebuah keutuhan komunikasi sastrawan-karya sastra- pembaca, maka pada hakikatnya karya yang tidak sampai kepada pembacanya bukanlah karya sastra, Siswanto dan Roekhan dalam Endraswara (2008 : 70).

Pendekatan pragmatik sastra memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral, agama dan tujuan pendidikan lainnya. Dengan kata lain pragmatik sastra bertugas sebagai pengungkap tujuan yang dikemukakan para pengarang untuk mendidik masyarakat pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang diberikan kepada pembaca, maka semakin baik dan bernilai tinggi karya sastra tersebut, Abrams dalam Jabrohim (2012 : 67) . Menurut Selden dalam Endraswara (2008 : 70) karya sastra tidak mempunyai keberadaan sampai karya sastra itu dibaca, pembacalah yang menerapkan kode untuk menyampaikan pesan.


(38)

Menurut Teeuw dalam Endraswara (2008 : 71) kajian pragmatik selalu memunculkan persoalan yang berkaitan dengan masalah pembaca, yaitu apa yang dilakukan pembaca dengan karya sastra, apa yang dilakukan karya sastra dengan pembacanya serta apakah tugas dan batas kemungkinan pembaca sebagai pemberi makna. Hal ini berhubungan dengan manfaat pragmatik sastra terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan melalui peranan pembaca dalam memahami karya sastra. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik adalah memberikan manfaat terhadap pembaca. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik diantaranya adalah berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra.

Selain pendekatan pragmatik, penulis juga menggunakan teori semiotik untuk melihat tanda (makna) nilai-nilai dalam novel dan manfaat novel tersebut bagi para pembaca. Semiotik berasal dari bahasa Yunani

Semeion yang berarti tanda. Semiotik (Semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda, ilmu ini menganggap bahwa fenomena masyarakat sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya dan apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah


(39)

keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal.

Junus dalam Jabrohim (2012 : 86) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan struktur sistem tanda yang bermakna, tanpa memperhatikan sistem tanda-tanda dan maknanya, maka struktur karya sastra atau karya sastra itu sendiri tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal. Penelitian menggunakan teori semiotik juga dapat mengarahkan hubungan teks sastra dengan pembaca. Tanda yang terdapat pada karya sastra menghubungkan antara penulis, karya sastra dan pembaca. Dalam hubungan ini teks sastra adalah sarana komunikasi sastra antara pengarang dengan pembacanya. Jika pengarang dalam merefleksikan karya menggunakan kode atau tanda tertentu yang mudah dipahami oleh pembaca, maka karya tersebut akan mudah dipahami, tetapi sebaliknya jika tanda yang digunakan pengarang masih asing bagi pembaca, maka karya tersebut akan sulit dipahami. Pada saat menggunakan kode tertentu kadang-kadang justru timbul makna baru. Tetapi melalui semiotik arti atau makna karya sastra akan lebih mudah dipahami. Namun arti atau makna di dalam teori semiotik sendiri adalah meaning of meaning atau disebut juga makna (significance).

2.5 Keadaan Sosial Masyarakat Jepang Pada Zaman Meiji

Masa Meiji merupakan salah satu periode yang paling istimewa dalam sejarah Jepang, periode ini berlangsung selama sekitar 45 tahun mulai dari tahun 1868 sampai tahun 1912. Di bawah pimpinan kaisar Meji, Jepang


(40)

Edo, pada zaman Edo masyarakat dibagi kedalam beberapa golongan yaitu kaum bangsawan, samurai, petani dan pedagang. Kehidupan masyarakat pada masa ini sangat tergantung oleh tinggi rendahnya golongan masyarakat

tersebut, hal ini diungkapkan dalam

(http://m.kompasiana.com/post/sejarah/2012/11/03/zaman-meiji-1867-1912.html?m=1?). Sebaliknya, berbeda dengan masa Meiji, Sayidimin (1988:165) mengungkapkan pada masa ini pemerintah menyatakan adanya

Shiminbyodo, yaitu persamaan empat strata sosial atau kelas sosial yang baru, yang terdiri dari dari Kouzoku (keluarga Kaisar), Kazoku (keluarga bangsawan), Shizoku (keluarga samurai) dan Heimin (rakyat biasa). Berdasarkan hal tersebut masyarakat biasa pun berhak memiliki nama keluarga, pekerjaan ataupun tempat tinggal dengan bebas.

Berdasarkan cerita novel “Catatan Ichiyo”, tokoh utama dalam novel

ini termasuk ke dalam golongan keluarga samurai, karena ayah Ichiyo, Noriyoshi Higuchi, mendapat status samurainya pada tahun 1867, setelah bertahun-tahun ia menjadi pelayan utama kaum Shogun (jikisan). Keluarga mereka menjadi cukup dipandang oleh masyarakat di Jepang pada masa itu. Meskipun Ichiyo termasuk ke dalam golongan masyarakat samurai, ia tidak selalu mudah untuk menjalani hidup dan berkarya. Pada kenyataannya sekitar kurang lebih 7 tahun Ichiyo harus bekerja keras agar karyanya dapat diterbitkan dan dibaca oleh semua orang, disaat yang sama banyak sastrawan yang berasal dari kaum bangsawan meremehkan Ichiyo hanya karena ia seorang perempuan dan dianggap tidak mampu menghasilkan karya hebat sebaik mereka. Namun Ichiyo tidak peduli apapun komentar mereka, Ichiyo


(41)

terus berkarya sesuai prinsipnya. Ichiyo mengalami banyak masalah selama ia berusaha menerbitkan karyanya, beberapa kali tidak ada majalah yang mau menerbitkan karyanya. Namun setelah ia menemukan majalah yang bersedia menerbitkan karyanya pada tahun 1892, ia mendapat banyak pujian dan tak lama kemudian selama empat tahun dari tahun 1892 sampai tahun 1896 banyak sastrawan terkenal pada masa Meiji yang ingin bekerjasama dengannya seperti Tsubouchi Shoyo, Mori Ogai dan beberapa sastrawan terkenal lainnya. Sejak saat itu Ichiyo menjadi terkenal di Jepang seiring penerbitan karya-karya hebat lainnya hingga akhir hidupnya pada tahun 1896. Namun pemerintah Jepang mulai memberikan apresiasi terhadap karyanya pada tahun 2004 yaitu wajah Ichiyo diabadikan pada mata uang kertas 5000 yen Jepang, sekitar 100 tahun lebih sejak ia berkarya dalam dunia kesusastraan di Jepang pada zaman Meiji.


(42)

BAB III

ANALISIS PRAGMATIK TERHADAP CERITA NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA

3.1 Sinopsis Cerita Novel “Catatan Ichiyo” Karya Rei Kimura Novel karya Rei Kimura yang berjudul “Catatan Ichiyo” ini bercerita

tentang Ichiyo Higuchi, seorang gadis Jepang yang memiliki nama kecil Natsuko Higuchi yang berasal dari keluarga biasa tetapi memiliki bakat sastra yang luar biasa. Ia terlahir dari seorang ayah yang bernama Noriyoshi Higuchi dan ibunya bernama Furuya Ayame. Kedua orangtuanya merupakan pasangan yang tak direstui pada masa itu, karena Noriyoshi bukan keluarga terpandang di desanya, sedangkan Furuya adalah anak dari pemilik kebun bambu dan pertanian yang luas di desanya. Meskipun tak direstui, Noriyoshi dan Furuya tetap saling bertemu hingga seiring berjalannya waktu mereka melakukan hubungan badan di luar nikah. Furuya terkejut pada keberaniannya untuk melanggar semua aturan masyarakat masa Edo dan juga aturan keluarganya sendiri, ketika ia membiarkan Noriyoshi bercinta dengannya.

Karena tidak ingin mempermalukan keluarganya dan lebih tidak mungkin lagi jika Noriyoshi menikahinya, maka Furuya dan Noriyoshi memilih dan bertekad keluar dari desa dan memulai kehidupan yang baru di


(43)

kedua orangtuanya. Di Edo Noriyoshi memiliki kenalan yang bernama Mashimo Senosuke, dia adalah orang yang sebelumnya telah menginspirasi Noriyoshi untuk pindah ke Edo dan berniat membantu kehidupannya disana.

Tak berapa lama kemudian anak pertama mereka lahir bernama Fuji Higuchi. Fuji merupakan putri pertama mereka. Kemudian anak kedua mereka lahir pada April 1864, bernama Sentaro Higuchi. Lalu pada tahun 1866 anak ketiga mereka Toranosuke lahir. Selama hidup di Edo Noriyoshi berjuang keras untuk memperoleh status sosial yang tinggi di lingkungan masyarakat hingga akhirnya pada tahun 1867 Noriyoshi mendapat status samurai dan keluarga mereka menjadi cukup dipandang masyarakat Jepang pada zaman itu. Pada tahun 1873 anak keempat mereka lahir bernama Natsuko Higuchi, dan terakhir pada tahun 1875 anak mereka yang kelima lahir bernama Kuniko Higuchi. Dari hasil pernikahan Noriyoshi dan Furuya mereka dianugerahi lima orang anak.

Ichiyo Higuchi terlahir dengan nama Natsuko Higuchi, ia memutuskan untuk mengganti namanya karena ketika perpisahannya dengan teman kecil lelakinya yang juga memiliki bakat sastra yang sama dengannya, Masao Kobayashi, sehelai daun (Ichiyo) musim gugur jatuh sebagai tanda perpisahan mereka dan nantinya sosok lelaki ini dijadikan tokoh utama dalam salah satu novelnya. Ichiyo tidak langsung mendapat persetujuan dari kedua orangtuanya ketika memutuskan untuk mengganti nama, karena menurut mereka mengubah nama lahir dan nama pemberian begitu saja adalah sebuah kesalahan. Tetapi karena Ichiyo memutuskan bahwa nama Natsuko terlalu biasa dan kurang menunjukkan identitasnya kelak sebagai penulis dan


(44)

penyair masa depan, maka Ichiyo bersikeras bahwa nama Ichiyo lebih indah layaknya sehelai daun dan dengan terpaksa orangtuanya pun menyetujuinya, lalu lama-kelamaan saudara-saudara nya pun terbiasa memanggilnya Ichiyo.

Ichiyo kecil sudah terbiasa dengan dunia sastra, karena ayahnya selalu membuat jamuan sastra untuknya dengan dihadiri tamu-tamu ayahnya dari dunia sastra elite seperti penyair, sekumpulan penulis dan beberapa aktor dari drama musikal Kabuki yang terkenal, saat itu usianya baru enam tahun. Meskipun masih kecil Ichiyo sangat percaya diri dalam melakukan semua itu dan ia ingin membuat ayahnya bangga. Ayah Ichiyo sangat berpengaruh terhadap bakat menulis Ichiyo, karena ayahnya selalu mendukung, memberikan kepercayaan, memberikan buku-buku bacaan terbaik serta membimbing Ichiyo untuk menjadi penulis dan penyair yang handal. Tetapi bertentangan dengan ibunya yang selalu melarang Ichiyo untuk menulis dan membaca buku, bahkan Ichiyo sering dimarahi oleh ibunya karena menghabiskan waktunya dirumah hanya dengan membaca, karena menurut ibunya tugas wanita hanyalah sebagai ibu rumah tangga. Wanita yang kemungkinan besar dapat memiliki peranan hanyalah wanita bangsawan yang dapat memberi pengaruh dalam berbagai bidang kapanpun mereka mau. Hingga pada akhirnya Ichiyo berhenti sekolah pada usia 13 tahun. Kemudian ibunya memasukkan Ichiyo ke kelas menjahit, memasak dan merangkai bunga. Semua itu dijalani Ichiyo kurang lebih dua tahun dengan serius, bukan karena ia menyukainya, tetapi karena ia adalah seorang perfeksionis dan harus mengerjakan apapun dengan sempurna. Meskipun begitu Ichiyo tidak


(45)

pernah berhenti membaca karya-karya sastra ataupun sekedar mengalirkan bakat menulisnya ke dalam buku hariannya.

Pada tanggal 20 Agustus 1886 sebelum usianya genap 16 tahun, ayahnya memasukkan Ichiyo ke sekolah bergengsi untuk para penyair di Koishikawa, Haginoya yang didirikan dan dikelola oleh penyair wanita pada zaman itu, Nakajima Utako. Di sini Ichiyo belajar karya sastra klasik dan hasil karya-karyanya dipuji oleh Nakajima Utako.

Meskipun bakat sastranya terus berkembang dengan baik di Haginoya, sebaliknya karena ekonomi keluarga yang berantakan, kondisi rumahnya sangatlah suram. Pada Juni 1887 ayahnya kehilangan pekerjaan karena pensiun dari Departemen Kepolisian diakhir usia produktifnya yaitu 57 tahun, kehilangan penghasilan secara tiba-tiba memaksa Noriyoshi untuk menjual banyak barang dan asetnya yang sebelumnya telah menyusut drastis. Lalu pada tahun 1889 saat Ichiyo baru berumur 17 tahun ayahnya meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang. Ichiyo sangat terpukul, kehidupan mereka sangat menderita hingga harus berpindah-pindah rumah. Ia sempat ditawari menjadi asisten pengajar oleh Nakajima Utako, tetapi ia dikhianati karena Ichiyo bukan bekerja sebagai asisten pengajar, tetapi Ichiyo lebih dipekerjakan sebagai pembantu. Hidup keluarga Ichiyo semakin sulit sampai mereka harus pindah rumah ke daerah pelacuran di Ryuusenji. Mereka membuka toko dan kemudian ibu serta adiknya bekerja sebagai tukang cuci dan menjahit baju Geisha, tetapi semangat menulis Ichiyo tidak pernah pudar meskipun ia mengalami banyak masalah, ia terus menulis karya-karya hebat yang mengguncang dunia sastra pada zaman itu. Ichiyo sering terlibat


(46)

masalah gender karena ia bukanlah wanita yang berasal dari golongan bangsawan, melainkan rakyat biasa.

Karya pertamanya adalah Bunga di Kala Senja (novel) tahun 1892 yang diterbitkan melalui majalah Musashino milik Nakarai Tosui, mentor Ichiyo pada waktu itu. Nakarai Tosui juga merupakan lelaki yang disukai oleh Ichiyo dan kehidupan Nakarai sendiri banyak dijadikan cerita dalam novel-novel Ichiyo. Beberapa bulan kemudian Ichiyo menyelesaikan buku selanjutnya Umoregi (Dalam Keremangan) yang diterbitkan melalui majalah Miyako no Hana milik Miyake Kaho, teman wanitanya di sekolah Haginoya. Saat itu masa indah dan damai bagi keluarga Higuchi, Ichiyo menulis dengan giat, kemudian lima novel lagi yang dihasilkan Ichiyo antara 1895-1896, yaitu

On The Last Day of The Year (Hari Terakhir di Tahun Ini) , Troubled Waters (Air yang Keruh), The 13th Nigth (Malam Ketiga Belas), Child’s Play (Mainan Anak) (novel pendek setebal 45 halaman) yang menuai banyak pujian bercerita tentang seorang anak yang dipaksa tumbuh dewasa terlalu cepat dan dirampas masa kecilnya di kawasan kota tempat Ichiyo pernah tinggal, Ryuusenji, dan Separate Ways (Jalan Lain) yang merupakan karya terakhir yang dibuat Ichiyo sebelum ia meninggal pada usia 24 tahun. Ichiyo meninggal pada 23 November 1896 karena penyakit TBC yang dideritanya sejak lama. Meskipun sakit Ichiyo tidak pernah mau memberitahu keluarganya karena ia tidak ingin merepotkan ibu dan adiknya. Ichiyo adalah orang yang bekerja keras, pantang menyerah, teguh pada prinsip meskipun kehidupan yang keras menggoyahkan prinsip itu tetapi ia tetap pada prinsipnya dan tidak mau merepotkan orang lain sampai akhir hidupnya.


(47)

Sangatlah ironis bahwa dalam hidupnya Ichiyo Higuchi sangat miskin dan tak pernah memiliki cukup uang bahkan untuk membeli makanan yang layak, sehingga menyebabkan kematiannya yang dini karena kekurangan gizi dan tuberkulosis. Namun dalam kematian, wajahnya melanglang buana jauh keluar dari tempat persemayamannya untuk diabadikan di dalam benda yang menyusahkan hidupnya sepanjang hidup, yaitu uang. Ia ada dimana-mana, menatap tenang kepada dunia yang membentang luas yang sekarang ia jelajahi dalam uang 5000 yen Jepang sebagai penghormatan baginya karena telah menghasilkan karya-karya sastra hebat bagi dunia, khususnya dunia sastra di Jepang.

3.2 Analisis Nilai-Nilai Pragmatik Cuplikan Cerita Novel “Catatan Ichiyo” Karya Rei Kimura

Untuk mengetahui nilai-nilai pragmatik sastra yang terkandung dalam novel “Catatan Ichiyo” karya Rei Kimura maka penulis akan menganalisis beberapa cuplikan teks yang mengandung nilai tersebut. Berikut

adalah beberapa nilai pragmatik yang terdapat pada novel “Catatan Ichiyo”

karya Rei Kimura, yaitu :

3.2.1 Percaya Diri


(48)

“Aku bisa melakukannya. Ayah percaya padaku, jadi aku tak boleh mengecewakannya,”gadis kecil itu berkata pada dirinya sendiri sembari menerima lembaran kertas dengan gugup dari Noriyoshi dan mulai membaca dengan suara lantang dan jelas tidak terbata-bata, bahkan ketika mengucapkan kata-kata sulit yang jauh di luar kemampuan anak seusianya.

“Burung-burung datang memanggil dalam kabut pagi...” ... ... ...

... ... ...

“Kau melakukannya dengan baik hari ini Natsuko chan, Ayah bangga padamu!” ucap ayahnya kemudian, penuh dengan kebanggaan meluap-luap mendengar banjir pujian dari tamu-tamunya tentang betapa luar biasa anaknya yang baru berusia enam tahun, bukan hanya dalam membaca tapi juga melantunkan sajak klasik yang sulit dengan gairah dan ekspresi yang begitu kuat.

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas kita dapat melihat bahwa sejak kecil Ichiyo sudah diajarkan oleh ayahnya agar selalu percaya diri dalam melakukan apapun, bahkan di usianya yang masih enam tahun. Berkat rasa percaya diri yang dimilikinya dan juga berkat dukungan penuh ayahnya ia mampu membuat ayahnya bangga di depan rekan-rekan ayahnya.

Dari segi pragmatik yang telah dijelaskan dalam teori Abrams, penulis melihat bahwa Ichiyo merupakan pribadi yang percaya diri, cuplikan cerita ini menunjukkan bahwa Ichiyo percaya diri ia bisa melakukan apa yang


(49)

dipercayakan ayahnya padanya dan membuat ayahnya bangga. Ichiyo bisa menjadi seperti ini berkat dukungan penuh.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah setiap manusia pasti memiliki orangtua yang selalu mengajarkan kebaikan, contohnya ayah Ichiyo yang sejak kecil menanamkan rasa percaya diri kepada Ichiyo. Berkat rasa percaya diri tersebut, kita bisa menjadi pribadi yang tidak malu untuk melakukan sesuatu yang dapat bermanfaat untuk kita dan juga orang lain.

Cuplikan 2 : (Halaman 48-49)

“Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi seorang penulis seperti teman-teman ayah,”kata Natsuko tegas saat ia menyusup ke dalam futon-nya malam itu.

“Kau tak mungkin jadi penulis, Natsuko, karena kau perempuan,”kakaknya, Sentaro menyahut.”Tugas perempuan adalah menikah dan tinggal di rumah serta melahirkan anak dan bukan menjadi penulis atau apapun!”

“Jangan berkata begitu, Sentaro,” teriak Natsuko. “Perempuan mampu menjadi apapun yang mereka inginkan asalkan mereka memiliki otak dan sepasang tangan! Mereka sama pintarnya dengan laki-laki!”

“Yah tentu saja, masyarakat dan kaum perempuan sendiri tidak berpendapat demikian,”ejek Sentaro. “ Apakah kau melihat ada perempuan di antara perkumpulan sastra teman-teman ayah hari ini?”


(50)

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas menunjukkan sikap percaya diri Ichiyo terhadap bakat sastra yang dimilikinya, sikap ini mampu membuat Ichiyo bermimpi untuk menjadi seorang penulis seperti teman-teman ayahnya. Ia yakin bahwa dengan dukungan ayahnya dan kegiatan sastra yang sering diadakan oleh ayahnya akan membuat Ichiyo menjadi seorang penulis hebat. Bahkan ia tidak peduli diremehkan oleh saudaranya hanya karena ia seorang perempuan, karena pada masa Meiji perempuan tidak memiliki pengaruh yang kuat dan wanita dianggap tidak terlalu penting dalam berbagai bidang. Meskipun begitu Ichiyo tetap yakin bahwa ia mampu menjadi apa yang ia inginkan tanpa ada hal apapun yang dapat menghalanginya untuk meraih mimpi tersebut.

Dari segi pragmatik yang telah dijelaskan dalam teori Abrams, penulis melihat bahwa Ichiyo merupakan seseorang yang tidak peduli terhadap perbedaan gender, menurutnya semua manusia itu sama saja. Ichiyo sangat benci jika orang lain menyepelekan wanita hanya karena jenis kelaminnya. Ichiyo beranggapan semua manusia mampu berkarya dan perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki, yaitu hak untuk berkarya dan mendapat penghidupan yang layak.

Nilai yang diangkat oleh Ichiyo adalah jangan pernah merasa menjadi seorang wanita adalah sebuah halangan untuk berkarya. Tetapi kita harus menunjukkan bahwa wanita mampu berkarya dan juga bersaing dengan para pria, bahkan mampu menjadi lebih baik dari mereka. Wanita dapat


(51)

menjadi apapun yang mereka inginkan jika mereka mau bekerja keras. Meskipun akhirnya wanita harus tetap mengurus rumah tangga, setidaknya wanita harus memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas sama seperti laki-laki, karena seorang Ibu yang cerdas akan melahirkan keturunan yang cerdas pula.

Cuplikan 3 : (Halaman 67-68)

“Kuharap Ayah dan Ibu tidak keberatan, tapi aku sudah memutuskan bahwa nama Natsuko terdengar terlalu biasa dan kurang menunjukkan identitasku sebagai penulis dan penyair masa depan. Aku ingin mengambil nama Ichiyo, sehelai daun, kata terindah yang pernah kutemui dan aku ingin menjadi sehelai daun dari halaman buku-buku yang ingin kutulis mulai sekarang.”

Pernyataan Natsuko mengejutkan Noriyoshi, namun mengingat emosinya yang kurang stabil belakangan ini, ia bertekad untuk menyenangkan hatinya bahkan untuk hal seserius perubahan nama, lalu ia pun berkata dengan enteng, “Jika nama Ichiyo lebih menginspirasimu daripada Natsuko, Ayah tidak keberatan dan Ayah yakin Ibumu juga.”

Furuya sangat keberatan dan mengomeli Noriyoshi yang menyerah begitu saja pada keinginan Natsuko.

“Mengubah nama lahir dan nama pemberian begitu saja adalah sebuah kesalahan,”katanya. “Ingatlah, kita memilih nama kita dengan hati -hati agar cocok dengan pertanda lahir dan ramalan bintang yang baik dan siapa yang tahu kemalangan seperti apa yang akan dialaminya jika ia keluar


(52)

dari perlindungan tersebut dan menggantinya dengan nama baru yang belum teruji!”

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas menunjukkan sikap Ichiyo kecil yang mengajukan keinginan kepada orangtuanya untuk mengganti nama kecilnya, karena ia meyakini nama Ichiyo lebih menginspirasi daripada Natsuko. Ichiyo memutuskan untuk mengganti nama karena suatu alasan yang terjadi di saat perpisahannya dengan teman kecil yang juga memiliki bakat sastra yang sama dengannya, Masao Kobayashi. Saat itu, sehelai daun

(Ichiyo) jatuh sebagai tanda perpisahan mereka, menurut Ichiyo sehelai daun

merupakan kata terindah yang pernah ditemuinya dan ia ingin menjadi sehelai daun dari halaman buku-buku yang akan ia tulis. Ia memutuskan untuk mengubah namanya bahkan ketika ia masih berumur 11 tahun.

Dari segi pragmatik yang telah dijelaskan dalam teori Abrams, dapat diketahui bahwa berkat rasa percaya diri yang ditanamkan ayahnya kepada Ichiyo, ia berani dan percaya diri untuk memutuskan mengganti nama kecilnya yang merupakan hal yang dianggap tabu di Jepang. Bahkan ia tidak peduli kemarahan ibunya yang tidak setuju atas keinginannya untuk mengganti nama kecil tersebut, karena menurut ibunya mengganti nama kecil dengan nama baru yang belum teruji oleh ramalan Jepang akan menyebabkan kemalangan terhadap diri pemilik nama tersebut.

Nilai yang diangkat dalam cerita novel ini adalah jika kita memiliki cita-cita yang ingin kita raih maka kita harus belajar, berusaha


(53)

sungguh-kecil seperti mengganti nama. Ichiyo mengajarkan kita bahwa hal sungguh-kecil yang kita ubah dapat membawa kita menggapai mimpi kita untuk mengubah masa depan yang lebih baik. Niat baik Ichiyo mengganti nama akan menentukan bagaimana masa depan Ichiyo pada akhirnya, yaitu menjadi seorang penulis.

Cuplikan 4 : (Halaman 79)

“Oh Natsuko, kau tak mungkin menghadiri pesta megah semacam itu dengan pakaian ini, mungkin sebaiknya kau tidak usah ke sana, bagaimana kau dapat menahan malu?”

Ichiyo ragu-ragu agak lama, sangatlah menggoda untuk menyerah dan tidak datang serta mempermalukan diri sendiri, namun ia dapat melihat kekecewaan di mata ayahnya bila ia tidak mau menghadiri pertemuan bergengsi itu hanya karena sebuah kimono bekas. Setelah bergulat sejenak dengan harga dirinya, Ichiyo tahu ia tak mungkin mengecewakan Noriyoshi, tak peduli ia harus muncul dengan pakaian yang bahkan tak akan diberikan gadis lain kepada pelayan mereka.

Ia menegakkan tubuhnya dan berkata tegas, “Tak ada yang dapat menghentikanku untuk datang ke sana dan kimono ini? Mengapa memangnya? Ini hanyalah penutup tubuh, pada akhirnya yang terpenting adalah karya tulisanku kan?”

Analisis :


(54)

penting, tetapi bakatnya lah yang utama, ia tidak peduli orang lain akan mengatakan apa mengenai baju yang ia kenakan pada acara itu, bahkan godaan ibunya untuk tidak datang ke acara itu karena ia akan mempermalukan dirinya dengan kimono bekas yang ia kenakan. Tetapi Ichiyo lebih memikirkan bagaimana agar orang-orang memandangnya lebih kepada karyanya bukan penampilannya serta perasaan kecewa ayahnya jika ia tidak datang ke acara tersebut hanya karena masalah pakaian. Ichiyo tidak gengsi dan malu kepada teman-temannya yang memakai kimono indah ke acara tersebut.

Dari segi pragmatik yang dijelaskan dalam teori Abrams, penulis dapat melihat bahwa Ichiyo percaya diri pada penampilannya yang biasa saja, bahkan ia tidak malu memakai kimono bekas ke acara bergengsi di sekolahnya. Ia lebih memilih orang lain melihatnya karena karya tulisannya bukan karena apa yang ia kenakan. Jadi menurutnya tak akan ada yang bisa menghentikannya datang ke acara itu hanya karena kimono bekasnya.

Nilai yang diangkat dalam novel ini adalah kita tidak boleh malu terhadap penampilan diri sendiri. Meskipun penampilan kita sederhana dan apa adanya kita tidak boleh malu terhadap teman lain yang memiliki penampilan lebih baik dari kita, tetapi kita bisa menunjukkan dari segi lain selain penampilan, yaitu karya yang dapat kita hasilkan. Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, jadi kita harus tetap bersyukur apapun pemberian Tuhan. Sebaliknya juga, Ichiyo pun mengajarkan kita untuk tidak menilai orang lain hanya berdasarkan


(55)

penampilan fisiknya saja, karena apa yang kita lihat dari luar belum tentu mencerminkan kepribadian seseorang tersebut.

Cuplikan 5 : (Halaman 137)

Ia mengemukakan idenya kepada Kuniko yang ragu-ragu, yang hanya menyanggah melalui cara-cara simbolis meskipun sebenarnya ia kurang setuju dan menurut Kuniko ada kemungkinan Ichiyo benar dan Musashino adalah satu-satunya peluang baginya untuk melihat novel pertamanya dicetak.

“Aku yakin Kuniko, sungguh yakin, begitu novel pertamaku diterbitkan, aku tak akan pernah lagi menengok ke belakang dan yang lainnya akan mengikuti,” kata Ichiyo.

“Baiklah, Natsu, kau tak perlu berusaha keras membujukku, aku percaya padamu seperti biasanya dan jika menurutmu Tosui san dapat membantu menerbitkan novel pertamamu, lakukanlah!”

Analisis :

Dari cuplikan teks cerita di atas kita dapat melihat sikap Ichiyo yang yakin bahwa novel pertama yang telah ia tulis selama berbulan-bulan dan membuatnya hampir putus asa akan dapat terbit melalui majalah Musashino, majalah milik Nakarai Tosui. Ichiyo sadar meskipun ia berbakat tetapi ia tidak dapat berjuang sendiri untuk menerbitkan novel pertamanya agar dapat dibaca oleh semua orang. Keputusan Ichiyo untuk bekerjasama dengan


(1)

masyarakat pada zaman Meiji, yaitu pemerintah menyatakan adanya Shiminbyodo, yaitu persamaan empat strata sosial atau kelas sosial yang baru, terdiri dari Kouzoku (keluarga Kaisar), Kazoku (keluarga bangsawan), Shizoku (keluarga samurai) dan Heimin (rakyat biasa). Berdasarkan hal tersebut masyarakat biasa pun berhak memiliki nama keluarga, pekerjaan ataupun tempat tinggal dengan bebas. Meskipun strata sosial sudah tidak terlalu dilihat, tetapi pada masa ini wanita tidak memiliki pengaruh yang kuat dalam berbagai bidang, banyak sastrawan wanita dianggap tidak pantas bersaing dengan sastrawan pria.

Tema dalam novel ini adalah perjuangan sastrawan wanita Jepang yang mengapresiasikan karyanya pada zaman Meiji, ia berjuang karena ia selalu mendapat masalah dalam mengembangkan bakat menulisnya, terutama masalah gender. Ia mendapat masalah karena ia bukanlah wanita dari golongan bangsawan. Meskipun pemerintah pada zaman Meiji sudah menyatakan adanya Shiminbyodo, namun wanita dari kalangan rakyat biasa masih sulit untuk mendapat tempat dalam

dunia sastra masa itu. Alur novel “Catatan Ichiyo” ini adalah alur campuran, karena

dalam cerita novel ini cerita tidak berurut dari awal, tetapi bolak-balik dari masa depan kemudian kembali ke masa lalu. Terdapat empat tokoh penting lain selain tokoh utama dalam novel ini, yaitu Noriyoshi Higuchi (Ayah Ichiyo), Furuya Ayame (Ibu Ichiyo), Nakarai Tosui (mentor Ichiyo) dan Kuniko Higuchi (adik kandung Ichiyo). Mereka semua memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan karir menulis Ichiyo hingga akhirnya Ichiyo sukses. Novel ini memiliki latarbelakang cerita tentang keadaan kesusastraan Jepang pada era Meiji yaitu sekitar abad 18. Sebagian besar cerita novel terjadi di Edo sekitar tahun 1862-1896. Tokoh utamanya sendiri lahir pada tahun 1873 dan semua peristiwa dalam


(2)

novel ini berlangsung selama 24 tahun sejak tokoh utamanya lahir dan akhirnya meninggal pada tahun 1896 karena penyakit tuberculosis yang telah diderita sejak lama.

Berdasarkan pendekatan pragmatik sastra, ada beberapa nilai yang dominan diceritakan dalam novel ini, yaitu percaya diri, gigih, rendah hati, tegas dan penyayang. Ichiyo adalah sosok anak muda yang gigih dalam berkarya meskipun tersandung masalah gender dan tegas pada prinsip untuk tetap mempertahankan nilai pada karya sastra. Ichiyo mengajarkan beberapa sikap yang memiliki nilai-nilai yang bermanfaat yang mendidik para pembaca yang dapat berguna dalam kehidupan.


(3)

い木村 作品 Catatan Ichiyo いう小 対

イ 析

文学 素的 言葉 文体 面白い様式話 使 書

著作 あ 文学 イア 言語 使 い 著作 意味 決

言語 大 位置 持 著作 詩 散文

け 作者 研究 小 あ 小 いう 作家 表現 イ

ネ ョーン 基 い イ 持 い 散文 形 著作 あ

小 イン ン ッ 原理 持 そ ー ロー セ

ッ イン 品性 イン オ ビウ あ

論 題 い木村 作品 Catatan Ichiyo いう小

対 イ 析 あ 文学 イ 文学

研究 益 文学 向 ア 文学 イ

学問 者 イン オ ビウ 基 い 著作 見 いう学問

あ 文学 イ 者 一定 目的 け 設備

著作 見 あ そ 教育 目的 宗教 ほ

教育 目的 あ 価値 勉強 与え 者 良

ほ そ 著作 あ 文学 益 関連 コ

ー ョン 持 い そ 者 作家 書 ッセ

け 研究 作者 一葉樋口 いう最 主役 小 中


(4)

小 日本 史物語 日本 処女 民

非凡 文学 才能 持 いう話 あ 一葉樋口 夏子樋口

前 雅夫小林 いう男 友 別 符号 秋 一葉 落

彼 前 変え 一葉 作家 未来 詩人 身元 あ

見え 通 夏子 前 決 六 一葉

文学界 い う 父親 一葉 い 文学会 行 そ 文学

会 文学界 客々 出席 そ 詩人 作家 歌舞伎

ア ー あ 一番いい 物 信用 与え 案

援助 父親 一葉 書 才能 一番影響 持 母

親 反対 本 書 い 禁 十

一葉 学校 辞 母親 女性 責務 家庭 母親 い

け あ 明治時代 役割 持 女性 い い い

影響 持 皇族女性 あ

十六 一葉 いう 小石川 詩人

学校 入 学校 中島う 営 建 一葉 日

本 ッ 著作 勉強 文学 才能 良

反対 六 父親 五十七 警察省 辞 そ

父親 死 借金 残 一葉 家族 生活 難

ほ 外 人 借金 け 問題 持

一葉 書 気概 あ 一葉 そ 時代 い著


(5)

そ 著作 闇桜 (小 ) う 木

五 小 書 そ け , 十

夜 , 子 わ あ わ 死 前 一葉

最後 著作 書 TBC いう病気 け 十四 一葉

死 一葉 堅固 女性 決 負け う 原理

ン 問題 い わ 一

葉 人間 女性 男性 役割 持 著作 作

一葉樋口 著作 日本政府 鑑賞 一葉 日本 五

千 永久

小 史小 闘争小 あ 小 明治時代 著作

戦 日本 女性文学者 史 小 明治時

代 社会 様子 描い そ 政府 市民 等 明 そ

新 い社会的 あ わ 皇族 家族 氏族 民 あ

そ 基 い 民 家族 持 自由 仕 あ 芋住所

社会的 あ 見 時代 女性 い い

影響 持 い 女性 文学者 男性 文学者 適当

競争

小 ー 明治時代 著作 戦 日本女性 文学者

闘争 あ 書 才能 追い け い 問題 闘

争 ン 問題 あ 貴族女性 い 問題


(6)

界 器 い 小 ロー 結合 ロー あ

小 中 物語 始 続 い 未来 過去 小

中 最 主役 ほ 四 外 大 主役 あ そ

父親 ふ 母親 い 先生 妹 あ

彼 成功 一葉 一葉 書 才能 大 いイ影響

小 明治 日本文学 様子 物語 背 持 そ

十八世紀 あ 小 物語 大部

江戸 起 最 主役 生

一葉 TBC いう病気 死

文学 イ 学問 基 い 小 中 い 最

価値 あ そ 自 信 堅固 謙遜 明白 愛

顧者 あ ン 問題 持 一葉 著作 若い人 著作

価値 保持 原則 明白 あ 一葉 価値 持 生活態度生