Hubungan Skor Grace Dengan Kejadian Contrast Induced Nephropathy (Cin) Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Yang Menjalani Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Di RSUP H Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Contrast Induced Nephropathy

2.1.1. Definisi
Kejadian CIN yang tercatat pada beberapa literatur bervariasi secara luas,
tergantung berdasarkan pada populasi penderita serta faktor risiko dasar yang menjadi
penyerta. Terlebih lagi, insidensi kejadian CIN juga bervariasi tergantung pada
perbedaan definisi dari berbagai literatur yang ada. Pada literatur terbaru, CIN
umumnya didefinisikan sebagai peningkatan serum kreatinin yang terjadi dalam 24
jam pertama setelah terpapar kontras dan memuncak hingga 5 hari setelahnya
(McCullough, 2008).
Definisi lain yang sering digunakan dalam beberapa trial klinis yaitu
peningkatan serum kreatinin >0.5mg/dl (>44 µmol/L) atau 25% dari nilai awal dalam
48 jam setelah pemberian media kontras secara intra vena (Gleeson dkk, 2004;
Goldenberg dkk, 2005; Tepel dkk, 2006). Dalam studi literatur yang diterbitkan di
Journal of Nephropathology juga dikemukakan bahwa definisi CIN terdiri dari
peningkatan yang absolut (≥0.5 mg/dl) atau relatif (≥25%) dari nilai serum kreatinin

awal yang terjadi setelah 48-72 jam terpapar zat kontras dibandingkan dengan nilai
serum kreatinin sebelumnya tanpa dijumpai penyebab lainnya (Golshahi dkk, 2014).
Hayman dkk (1980), telah mengemukakan bahwa perubahan 0.3mg/dl tidak
signifikan secara statistik sehingga CIN sering didefinisikan menjadi peningkatan

25% serum kreatinin dari nilai dasar atau peningkatan absolut setidaknya 0.5mg/dl
(44.2 µmol/L), yang terjadi dalam 48 jam setelah pemberian media kontras, dan
bertahan selama 2-5 hari (Kolonko, 1998).
The European Society of Urogenital Radiology mendefinisikan CIN sebagai
gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar serum kreatinin >
0.5mg/dl atau peningkatan 25% dalam 3 hari setelah pemberian media kontras secara
intravena, tanpa dijumpai adanya penyebab lainnya (Thomsen dkk, 2003). Sedangkan
definisi CIN menurut Acute Kidney Injury Network adalah peningkatan kreatinin
serum ≥ 0,3 mg/dl disertai adanya oliguria.
2.1.2. Epidemiologi
Insiden terjadinya CIN sebagai komplikasi diagnostik dan intervensi
radiografi sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, prosedur yang
dilakukan, jumlah dan tipe media kontras yang digunakan, perbedaan populasi pasien
berdasarkan jumlah dan jenis faktor resiko penyerta seperti penyakit ginjal kronik,
dan diabetes melitus (Gleeson dkk, 2004)

Terlepas dari kurangnya konsensus tentang definisi yang tepat, CIN masih
bertahan sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Bahkan dengan
semakin meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan, keseluruhan kejadian CIN yang
merupakan penyebab ketiga tersering gagal ginjal akut yang didapat masih bertahan
dengan perkiraan sebesar 5% kasus dari keseluruhan perawatan rumah sakit (Hou
dkk, 1983).
Insidensi CIN secara keseluruhan berdasarkan studi epidemiologi yang
dilakukan pada tahun 1997 sebesar 14,5%, dimana insidensi pada pasien dengan
diabetes dilaporkan mencapai 9-40% dan 50-90% pada pasien dengan gangguan
ginjal berat (Gleeson dkk, 2004).
Frekuensi CIN diakui semakin menurun selama beberapa dekade terakhir ini,
dari sekitar 15% menjadi sekitar 7% (Bartholomew BA dkk, 2004), yang terjadi

karena meningkatnya perhatian terhadap CIN, tindakan pencegahan yang sudah lebih
baik, dan peningkatan mutu media kontras yang lebih tidak nefrotoksik (McCullough,
2008). Akan tetapi, angka kejadian CIN terus terjadi seiring dengan peningkatan
jumlah prosedur yang memerlukan kontras. Nash dkk (2002) melaporkan media
kontras radiografik merupakan penyebab tersering ketiga gagal ginjal selama
perawatan di rumah sakit (setelah penurunan perfusi renal dan obat-obatan
nefrotoksik), yaitu sekitar 11% dari seluruh kasus.

CIN terjadi berkisar antara 0,6-2,3% pada populasi umum, namun pada
sebagian penderita prevalensi terjadinya CIN secara signifikan lebih tinggi (Mehran
dkk, 2006). Pada studi yang dilakukan di William Beaumont Hospital, diantara 1826
penderita yang menjalani IKP, CIN terjadi pada 14,5% dari seluruh kasus dan
sebanyak 0,7% yang memerlukan dialisis (McCullough dkk, 1997).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa resiko kematian meningkat
seiring dengan terjadinya CIN. Pada sebuah studi retrospektif yang melibatkan lebih
dari 16000 pasien yang dirawat untuk dilakukan prosedur yang memerlukan kontras,
sebanyak 183 pasien mengalami CIN (Levy dkk, 1996). Resiko kematian selama
perawatan di rumah sakit juga mengalami peningkatan pada pasien yang mengalami
CIN sebesar 34% dibandingkan dengan 7% pada subjek yang tidak. Bahkan setelah
disesuaikan dengan faktor komorbid atau penyakit penyerta lainnya, pasien dengan
CIN memiliki 5,5 kali lipat peningkatan risiko kematian dibandingkan dengan yang
tidak.

Gambar 2.1 Insiden kematian selama masa rawatan di rumah sakit pada 1286
pasien yang mengalami CIN setelah tindakan intervensi koroner pada studi yang
dilakukan oleh McCullough (McCullough dkk, 1997)
Kejadian CIN juga dikaitkan dengan meningkatnya masa perawatan di rumah
sakit. Pada suatu studi, masa perawatan pasien yang mengalami CIN setelah prosedur

menjadi lebih panjang, terlepas dari fungsi ginjal pada saat masuk (Dangas dkk,
2005). Studi lain yang melibatkan 200 orang pasien yang menjalani IKP setelah IMA
menemukan bahwa pasien yang kemudian mengalami CIN memiliki masa perawatan
yang lebih panjang, komplikasi klinis yang lebih bermakna dan peningkatan resiko
kematian yang lebih signifikan dibandingkan dengan yang tidak (Marenzi dkk, 2004).

Gambar 2.2 Insiden kematian 30 hari dan 1 tahun pada 2082 pasien yang
menjalani tindakan intervensi koroner atas indikasi infark miokard (Sadeghi dkk,
2003)
Studi retrospektif Mayo Clinic PCI Registry pada tahun 1996 sampai 2000
yang mengikutsertakan 7586 penderita yang menjalani IKP, didapatkan kejadian CIN
sebanyak 254 orang (3,3%). Studi ini juga menunjukkan insiden terjadinya kematian
selama rawatan rumah sakit, terutama akibat infark miokard meningkat > 10 kali lipat
pada penderita CIN. Dan pada penderita CIN tersebut, angka kejadian perdarahan,
terbentuknya hematom, pseudoaneurysm, stroke, emboli paru, dan perdarahan saluran

cerna juga lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang tidak mengalami CIN
(Rihal dkk, 2002).

Gambar 2.3 Komplikasi paska prosedural pada 7586 pasien dalam Mayo

Clinic PCI Registry dan hubungannya dengan kejadian CIN (Rihal dkk, 2002)
Studi lainnya yang dilakukan pada sekitar 20.500 penderita yang menjalani
IKP menunjukkan bahwa 2% dari penderita yang mengalami CIN memiliki resiko 15
kali lipat untuk terjadinya major adverse cardiac events (MACE) selama rawatan
rumah sakit dibanding penderita yang tidak mengalami CIN. Resiko untuk terjadinya
infark miokard meningkat 6 kali lipat, reoklusi meningkat 11 kali lipat, dan resiko
kematian meningkat 22 kali lipat dibandingkan pada penderita yang tidak mengalami
CIN (Bartholomew BA dkk, 2004).
Di Medan, studi mengenai CIN sudah dilakukan oleh Andra CA (2010)
dimana dari 282 pasien yang menjalani angiografi koroner, 51 orang (18%)
mengalami CIN setelah 24 jam paska tindakan.

Suatu studi yang dilakukan oleh Mutjaba dkk (2010) untuk menentukan
frekuensi penderita dengan adanya insufisiensi ginjal dengan nilai serum kreatinin
normal yang menjalani IKP, mendapatkan bahwa pada pendeita dengan kreatinin
normal sering memiliki nilai GFR yang tidak normal. Sehingga GFR sebaiknya selalu
dinilai untuk menentukan apakah terjadi insufisiensi ginjal walaupun kreatinin serum
dalam batas normal. Ribichini dkk (2010) juga melakukan sebuah studi untuk melihat
apakah peningkatan kreatinin serum yang cepat dapat memprediksi terjadinya CIN
dan kerusakan ginjal yang permanen setelah intervensi koroner. Dari penelitian ini

didapatkan hasil bahwa peningkatan kreatinin serum yang minimal pada 12 jam
pertama merupakan prediktor kuat untuk terjadinya CIN dan kerusakan ginjal dalam
30 hari setelah terpapar media kontras.

2.1.3. Patogenesis
Patogenesis pasti mekanisme terjadinya CIN masih belum dimengerti
sepenuhnya, namun cenderung melibatkan beberapa mekanisme serta keterlibatan
beberapa faktor patogen (Gleeson dkk, 2004). Dari beberapa studi didapati bahwa
adenosin, endothelin dan radikal bebas yang menyebabkan vasokonstriksi meningkat
pada kejadian CIN sedangkan nitrit oksida dan prostaglandin yang menginduksi
terjadinya vasodilatasi menurun, sehingga akhirnya menimbulkan iskemia pada
jaringan medula ginjal (Aurelio dkk 2014, Persson dkk 2005).
Heyman dkk (2008) menyatakan bahwa kunci utama dalam patofisiologi
terjadinya CIN adalah kombinasi antara kerusakan tubular renal yang disebabkan
oleh proses hipoksik dan toksik, yang dihubungkan dengan disfungsi endotel ginjal
dan terganggunya mikrosirkulasi intra renal.
Hal ini kembali dikuatkan oleh Gleeson dkk, yang menjelaskan bahwa
penyebab instrinsik kejadian CIN adalah peningkatan vasokonstriksi, penurunan
prostaglandin lokal dan NO sehingga menurunkan efek vasodilatasi, efek toksik
langsung pada sel-sel tubular ginjal yang rusak oleh karena radikal-radikal bebas,

peningkatan kebutuhan oksigen, dan peningkatan tekanan intratubular akibat diuresis

yang diinduksi kontras, serta peningkatan viskositas urin, dan obstruksi tubular, yang
kesemuanya berakumulasi menyebabkan terjadinya iskemia medulla ginjal (Gleeson
dkk, 2004)
Setelah pemberian media kontras, maka akan terjadi peningkatan sementara
yang kemudian diikuti oleh penurunan aliran darah renal dalam rentang waktu yang
lebih lama, sehingga terjadi pengurangan total aliran darah ginjal dan penurunan GFR
(Katzberg dkk, 1997; Bakris dkk, 1985; El Sayed dkk, 1991; Haylor dkk, 1991).
Perubahan ini disebabkan oleh gangguan pada kesetimbangan fisiologis pada
sirkulasi medulla ginjal sebagai akibat beban cairan hiperosmotik yang diterima oleh
apparatus jukstaglomerulus (Murphy dkk, 1998)
Hipoksia intrarenal yang terjadi, juga secara langsung berkaitan dengan
perubahan hemodinamik atau pengeluaran energi tubular yang meningkat karena
stres osmotik (Weinbroum dkk, 1997; Heyman dkk, 1994). Stres ini mungkin tidak
dapat ditoleransi pada pasien yang sirkulasi ginjalnya sudah terganggu, misalnya
pada pasien dengan diabetes dan gagal ginjal (yang berada pada risiko tertinggi
terjadinya CIN) dimana iskemia pada medulla dan gangguan endotel sudah terjadi.
Agen kontras di intratubular menyebabkan peningkatan konsentrasi adenosine
ginjal sebagai akibat dari peningkatan hidrolisis adenosine triphosphate. Adenosine

dapat meningkatkan efek hemodinamik media kontras pada ginjal, yang
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi ginjal (Katholi dkk, 1995). Penghambatan
produksi vasodilator prostaglandin oleh indometasin dan deplesi natrium telah
terbukti meningkatkan efek adenosine dalam ginjal (Cantley dkk, 1993; Oldroyd dkk,
1995; Heyman dkk, 1991). Iskemia ginjal yang sudah terjadi sebelum penggunaan
media kontras akan meningkatkan toksisitas penghambatan prostaglandin dan
meningkatkan pembentukan adenosin, yang menyebabkan vasokonstriksi pada ginjal
(Deray dkk, 1990).
Spesies oksigen reaktif juga terlibat sebagai faktor yang berpengaruh dan
mungkin juga penyebab vakuolisasi sel epitel pada tubulus proksimal (Battenfeld

dkk, 1991). Ada bukti bahwa produksi radikal bebas ginjal meningkat setelah
pemberian zat kontras (Wang dkk, 2000; Yoshioka dkk, 1992; Baliga dkk, 1997),
sedangkan infus superoxide dismutase dan allopurinol, yang masing-masing dapat
mengurangi konten radikal bebas, telah dilaporkan dapat memperbaiki hipoperfusi
yang dinduksi oleh zat kontras (Safirstein dkk, 2000)

Gambar 2.4. Patogenesis terjadinya CIN (Gleeson dkk, 2004).
Heyman dkk secara lebih rinci menjelaskan tentang patofisiologi terjadinya
CIN pada jurnalnya yang diterbitkan di American Society of Nephrology pada tahun

2008. Dalam literatur tersebut dijelaskan dua mekanisme utama yang diduga berperan
penting dalam patogenesis CIN yaitu penurunan suplai oksigen ginjal yang diinduksi
zat kontras dan kerusakan tubular renal akibat interaksi proses hipoksik dan toksik
akibat zat kontras.
Penurunan suplai oksigen ginjal oleh zat kontras
Pemberian zat kontras dapat secara jelas mempengaruhi oksigenasi parenkim
ginjal, dengan menginduksi sejumlah efek sistemik yang mengganggu oksigenasi,
termasuk ketidakseimbangan ventilasi-perfusi paru, penurunan curah jantung dan

tekanan perfusi ginjal, perubahan sifat rheologic darah, dan meningkatkan asosiasi
oksigen-hemoglobin (Hofmann dkk, 2006). Penurunan oksigenasi parenkim ginjal
juga mungkin mencerminkan perubahan mikrosirkulasi ginjal akibat zat kontras. Hal
ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan oleh Workman dkk (1983) yang
menemukan peningkatan sementara aliran darah ginjal secara singkat setelah
pemberian zat kontras, diikuti penurunan berkepanjangan 10 sampai 25% dari nilai
normal.

Gambar 2.5. Oksigenasi pada parenkim ginjal setelah pemberian zat kontras
(Heyman dkk, 2008)
Beberapa


mediator

neurohumoral

juga

menyebabkan

perubahan

mikrosirkulasi ginjal yang disebabkan oleh zat kontras. Kadar plasma peptida atrial
natriuretik dan molekul terkait lainnya dengan cepat meningkat dalam 5 menit setelah
injeksi zat kontras, seiring dengan peningkatan mendadak dalam aliran darah ginjal
dan diuresis yang bersifat sementara. Aktivitas sintase NO intrarenal dan konsentrasi
NO juga terganggu setelah pemberian zat kontras, disertai peningkatan endotelin
plasma (Heyman dkk, 1992; Heyman dkk, 1998). Mediator utama lainnya yang
diyakini juga berpartisipasi dalam respon hemodinamik ginjal terhadap zat kontras
adalah adenosin, prostaglandin, dan vasopressin.
Faktor mekanis dapat juga berpengaruh negatif pada mikrosirkulasi ginjal

setelah pemberian zat kontras. Peningkatan viskositas darah yang diinduksi oleh zat

kontras, dapat secara nyata mengganggu aliran dalam mikrosirkulasi medulla yang
kompleks (Persson dkk, 2005). Selain itu, peningkatan diuresis pada awal setelah
pemberian zat kontras dikaitkan dengan peningkatan massa parenkim ginjal
(pembengkakan), mungkin sebagai akibat dari ekspansi luminal tubulus dan
peningkatan volume interstitial (Ueda dkk, 1993). Viskositas urin intraluminal dapat
meningkat juga, terutama di nefron distal, setelah reabsorpsi sebagian besar cairan
yang difiltrasi. Bisa dibayangkan bahwa perubahan ini mungkin menambah tekanan
interstitial ginjal, menyebabkan kompresi vasa rekta dan kapiler peritubular, sehingga
mengganggu oksigenasi daerah tersebut.
Singkatnya, zat kontras secara nyata mempengaruhi mikrosirkulasi ginjal
dengan cara mengganggu suplai oksigen medulla ginjal. Kepentingan dari berbagai
mekanisme vasomotor dan faktor fisik yang terlibat masih bersifat spekulatif.
Interaksi Hipoksik-Toksik akibat zat kontras
Bukti kerusakan tubular secara langsung sebagai mekanisme penting
nefrotoksisitas akibat zat kontras terutama bergantung pada kultur sel dan studi
segmen tubular, yang memberikan bukti biokimia adanya kerusakan oksidatif pada
membran tubular. Lebih penting lagi, hipoksia medula yang disebabkan oleh zat
kontras dapat menyebabkan pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) yang
mengakibatkan cedera membran dan kerusakan DNA. Penelitian yang dilakukan
secara in vitro pun dengan jelas menggarisbawahi peran ROS dalam nefropati akibat
zat kontras (Bakris dkk, 1990; Zager dkk, 2003). Stres hipoksia awal yang
disebabkan oleh zat kontras merupakan pemicu terbentuknya ROS.
Selain itu, oksigen radikal bebas meningkatkan aktivitas transportasi tubular
dan konsumsi oksigen, menyebabkan disfungsi endotel, dan mengganggu generasi
respon adaptif hipoksia (Wellman dkk, 2004). Dengan demikian, lingkaran setan
akibat hipoksia, pembentukan radikal bebas, dan cedera hipoksik lebih lanjut dapat
terus terjadi setelah paparan terhadap zat kontras. Aktivasi poli (ADP-ribose)
polymerase (PARP) yang membutuhkan banyak energi dalam proses reparatif juga

semakin memperburuk deplesi energi intraseluler dan disfungsi endotel, yang
semakin memperparah cedera hipoksik (Szabo dkk, 2002)

Gambar 2.6. Faktor-faktor yang terlibat dalam patofisiologi CIN (Gleeson dkk,
2004)

2.1.4. Gambaran Patologi
Karakterisitik lesi pada ginjal yang mengalami CIN adalah vakuolisasi sel
tubular proksimal (osmotic nephrosis). Heyman dkk (2008) melakukan 211 biopsi
ginjal setelah hari ketujuh pada pasien yang mendapat media kontras saat urography
atau arteriography, ginjal akan mengalami osmotic nephrosis pada 47 kasus. Bentuk
osmotic nephrosis yang difus lebih banyak terjadi pada penyakit ginjal berat
sedangkan bentuk yang fokal terjadi pada gangguan ginjal yang ringan atau penderita
dengan fungsi ginjal yang normal sebelumnya. Vakuola tidak dibentuk dari
endositosis tetapi dari invaginasi membran sel. Hal ini menunjukkan bahwa media
kontras pada daerah paraselular dapat menyebabkan kerusakan membran. Struktur
histokimia menunjukkan vakuola ini terdiri dari aktifitas asam fospat. Vakuola
tubular proksimal merupakan petanda adanya paparan media kontras daripada
terjadinya CIN.

2.1.5. Faktor Resiko

Identifikasi terhadap pasien-pasien yang memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya CIN sangat penting dilakukan. Faktor-faktor resiko tersebut dapat dibagi
ke dalam dua kelompok yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak
dapat dimodifikasi (Shoukat dkk, 2010; Mehran dkk, 2006; Barret dkk, 2006; Gami
dkk, 2004).
Tabel 2.1. Faktor resiko terjadinya CIN (Shoukat dkk, 2010)

2.1.5.1 Penyakit Ginjal Kronik
Studi-studi yang ada sebelumnya menyatakan bahwa penyakit ginjal kronik
dan peningkatan kreatinin serum merupakan faktor risiko terpenting dalam
menimbulkan CIN (Mehran dkk,2006). Insiden CIN pada penderita dengan penyakit
ginjal kronik cenderung tinggi berkisar antara 14,8% sampai 55% (Ultramari dkk,
2006).
Suatu studi yang dilakukan oleh Gruberg dkk (2001) pada 439 penderita yang
menjalani intervensi koroner dengan menggunakan kontras media non-ionic dengan
nilai kreatinin serum dasar≥ 1,8% mg/dL, dan didapatkan bahwa CIN terjadi pada
sepertiga kasus. Semakin tinggi nilai kreatinin serum awal maka resiko untuk terjadi
CIN akan semakin besar, penderita dengan kreatinin serum dasar 2 mg/dL
resiko CIN dapat mencapai hingga 20%, terutama apabila penderita juga menderita
DM (Meschi dkk, 2006; Mehran dkk, 2006; Brinker dkk, 2005).

Namun nilai kreatinin serum saja tidak cukup untuk mengidentifikasi
penderita dengan resiko tinggi terjadinya CIN. Hal ini oleh karena nilai kreatinin
serum bervariasi sesuai umur, dipengaruhi massa otot dan gender (Mehran dkk,
2006).
Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai GFR 60 ml/min/1,73 m2 adalah
batas untuk menetukan penderita mana yang dengan risiko tinggi untuk terjadinya
CIN, hal ini menyebabkan perhitungan GFR lebih direkomendasikan sebelum
terpapar kontras media untuk penilaian CIN (Mehran dkk, 2006). Terdapat hubungan
antara nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita yang menunjukkan nilai
kreatinin serum dua kali lipat lebih tinggi biasanya merupakan respon dari penurunan
GFR hampir 50% (Finn, 2006).

Gambar

2.7. Resiko terjadinya CIN sesuai dengan stadium PGK (Finn,

2006)
2.1.5.2 Diabetes Mellitus
DM merupakan independen prediktor lainnya yang kuat untuk terjadinya CIN
setelah intervensi koroner (Gami dkk, 2004). Insiden CIN pada penderita DM
berkisar antara 5,7 sampai 29,4% (Mehran dkk, 2006). Studi yang dilakukan oleh
Rihal dkk (2002) menyimpulkan bahwa jika fungsi ginjal normal atau terjadi
gangguan ringan (kreatinin serum < 2 mg/dL), resiko terjadiya CIN pada penderita
DM adalah 4,1% atau dua kali dibandingkan pada non DM. Pada suatu studi, CIN
terjadi pada 27% penderita DM dengan nilai kreatinin serum dasar 2,0-4,0 mg/dL dan
81% pada penderita dengan kreatinin serum >4,0 mg/dL (Mehran dkk, 2006).

Chong dkk (2009) melakukan studi pada penderita DM dengan nilai kreatinin
serum normal yang dilakukan intervensi koroner dan didapatkan hasil bahwa pada
penderita tersebut terjadi peningkatan resiko untuk timbulnya CIN. Walaupun resiko
CIN pada penderita DM dengan fungsi ginjal normal adalah rendah, namun apabila
juga disertai dengan PGK resiko terjadinya CIN menjadi tinggi dan sebaiknya
tindakan profilaksis CIN dilakukan (Ultramari dkk, 2006).

2.1.5.3 Usia Tua
Alasan yang mungkin menyebabkan terjadi insiden CIN yang tinggi pada usia
tua adalah perubahan-perubahan oleh usia seperti lebih dominannya vasokonstriksi
renal dibandingkan vasodilatasi, sulitnya untuk akses vaskular oleh karena pembuluh
darah yang berkelok-kelok, kalsifikasi pada pembuluh darah sehingga membutuhkan
jumlah kontras yang lebih banyak dan gangguan pada sintesis prostaglandin (Toprak
dkk, 2006). Pada suatu studi prospektif terhadap 183 penderita dengan usia tua yaitu
>70 tahun yang menjalani intervensi koroner didapatkan 11% menderita CIN (Rich
dkk, 1990). Studi lainnya menunjukkan CIN terjadi 17% pada usia >60 tahun
dibandingkan 4% pada usia yang lebih muda (Toprak dkk, 2006).

2.1.5.4 Jenis Kelamin
Hormon ovarium dapat mempengaruhi sistem renin angiotensin dan aliran
darah ginjal (Toprak dkk, 2006). Suatu studi retrospektif yang dilakukan oleh
Iakovou dkk (2003) dengan jumlah sampel 8.628 yang menjalani PCI menyimpulkan
bahwa wanita merupakan prediktor independen untuk terjadinya CIN. Begitu juga
studi yang dilakukan Ghani dkk (2009) yang menyatakan bahwa wanita merupakan
faktor resiko independen untuk terjadi CIN. Chong dkk (2010) menyatakan wanita
cenderung untuk memiliki nilai GFR yang lebih rendah dibandingkan dengan pria.
Studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa nilai kreatinin

Dokumen yang terkait

Hubungan Kadar Kolesterol dengan Sindrom Koroner Akut di RSUP H. Adam Malik Tahun 2011-2012

5 85 73

Faktor yang Dapat Dimodifikasi Dan Tidak Dapat Dimodifikasi Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2011

2 70 58

Sirkulasi Koroner

1 37 11

Angka kejadian Sindroma Koroner Akut dan hubungannya dengan Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, Medan pada tahun 2011

0 6 62

Hubungan Skor Grace Dengan Kejadian Contrast Induced Nephropathy (Cin) Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Yang Menjalani Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Di RSUP H Adam Malik Medan

1 11 14

Hubungan Skor Grace Dengan Kejadian Contrast Induced Nephropathy (Cin) Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Yang Menjalani Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Di RSUP H Adam Malik Medan

0 0 2

Hubungan Skor Grace Dengan Kejadian Contrast Induced Nephropathy (Cin) Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Yang Menjalani Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Di RSUP H Adam Malik Medan

0 1 4

Hubungan Skor Grace Dengan Kejadian Contrast Induced Nephropathy (Cin) Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Yang Menjalani Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Di RSUP H Adam Malik Medan

0 0 13

Hubungan Skor Grace Dengan Kejadian Contrast Induced Nephropathy (Cin) Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Yang Menjalani Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Di RSUP H Adam Malik Medan

0 0 4

Angka kejadian Sindroma Koroner Akut dan hubungannya dengan Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, Medan pada tahun 2011

0 0 11