Komunikasi Nonverbal Tarian Serampang Dua Belas (Studi Semiotika Mengenai Komunikasi Nonverbal Dalam Tarian Serampang Dua Belas

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Teori
Dalam suatu penelitan, teori memiliki peran sebagai pendorong pemecahan
masalah. Setiap sosial memerlukan teori, karena salah satu unsur yang paling
besar peranannya dalam penelitian adalah teori (dalam Singarimhum, 1995:37).
Adapun teori yang relevan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
2.1.1

Pardagima

Suatu peneletian akan terjadi suatu perbedaan dan pencaraian pengetahuan
yang menghasilkan sebuah paradigma yang di anut oleh beberapa ilmuan.
Perbedaan dimaksud dapat terlihat terutama pada tiga level peneteorian yaitu
pada; penjernihan epistemologi, level “midle range” teori (dalam Ikbar Yanuar
2012:53) khususnya dalam menguraikan ilmu pengetahuan kedalam kerangka
kerja teoritis, tingkat metode dan teknik.
Paradigma ini pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun, dalam karyanya
berjudul The Structure of Scientific Revolution dalam tahun 1962. Istilah ini
kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Khun, paradigma
adalah suatu cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of

thought atau mode of inquiry (cara berpikir atau model suatu penyeledikan)
tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing (cara megetahui) yang
pesifik. Definisi tersebut ditegaskan oleh Fredichs, sebagai suatu pandangnan
yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan
yang semestinya dipelajari. Thomas khun berpendapat, bahwa ilmu pengetahuan
terjadi secara revolusi dengan model perkembangan sebagai berikut:
Pertama, adanya paradigma I: mendominasi dan mampu beragumentasi
untuk permasalahan.
Kedua, Sains Normal: Periode akumulasi ilmu pengetahuan.

18 

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

19 
 

Ketiga, Perkembangan anomalies (penyimpangan): tidak mengelak dari
pertentangan dan berbagai penyimpangan, sebab paradigma tidak mampu

beragumentasi untuk segala sesuatu masalah yang timbul.
Keempat, krisis: Selama penyimpangan memuncak, paradigma mulai
disangsikan validistanya.
Kelima, revolusi: krisis yang serius, dan karenanya timbul paradigma II.
Paradigma itu merupakan termilogi kunci dalam model perkembangan ilmu
pengetahuan sebagai suatu keragka, gugus pemikiran yang pokok berupa:
paradigma filsafat, metafisik, sosial, operasional dan bentuk-bentuk
paradigma secara konkret.
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamorni mengungkapkan tentang
posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuan untuk merumuskan berbagi hal
yang berkatian dengan:


Apa yang harus dipelajari



Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab




Bagaimana metode untuk menjawabnya



Aturan-aturan apa yang harus di ikuti dalam menginpertasikan informasi
yang diperoleh

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pardigma merupakan
“seperangkat konsep”, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan yang
membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.” Sehubungan dengan
itu, dapat di anggap bahwa metode yang umumnya digunakan dikalangan ilmuan
sosial adalah penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitataif adalah suatu model penelitian humanistik, yang
menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya.
Misalnya karnya Edmund Hussrel (1859-1920) kemudian dikembangkan oleh
Max Weber (1864-1920) kedalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran
ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia penentu utama perilaku

Universitas Sumatera Utara 

Universitas Sumatera Utara

20 
 

individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang
tampak merupakan konsekuensi-konsekuensi dari sejumlah pandagan atau doktrin
yang hidup dikepala manusia pelakunya (dalam Yanuar Ikbar Metodolgi
Penelitian Sosial Kualitatif 2012. hlm 55)
Adapun beberapa pemahaman dalam suatu paradigma yang biasa digunakan
oleh peneliti untuk membuat suatu karya ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Naturalistic : Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological.
Penulis Guba & Lincoln (1982)
2. Inquiry form the inside. Penulis Ever Evered & Louis
3. Interpretative: Berorientasi kedapa proses. Penulis Burrel & Morgan
(1979)
4. Constructivist/fenomolgic. Penulis Guba (1990)
5. Naturalistic-etnographic. Penulis Horsmand (1989)
(Sumber: dalam Yanuar Ikbar Metodolgi Penelitian Sosial Kualitatif 2012.
hlm 57)

Paradigma Contructivist adalah paradigma konstruksionis memandang realitas
kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil
konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah
menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara
apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis
ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia
sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi.
Paradigma
memisahlkan

Konstruktivisme
subjek

dengan

menolak
objek

pandangan
komunikasi.


positivisme
Dalam

yang

pandangan

konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami
realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan.
Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor
sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

21 
 

Ada beberapa teori yang terdapat dalam lingkup paradigma Kontruktivisme

ini, diantaranya yaitu Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses And Grafications
Theory) dan Teori Interaksionisme Simbolik.
Teori interaksionisme simbolik beranggapan bahwa khalayak adalah produk
sosial. Teori ini mempunyai metodologi yang khusus, karena interaksionisme
simbolik melihat makna sebagai bagian fundamental dalam interaksi masyarakat.
Dalam penelitian mengenai interaksi dalam masyarakat tersebut, teori
interaksionisme simbolik cenderung menggunakan metode kualitatif dibanding
metode kuantitatif.
Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa
yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita.
Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA
dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam
status yang formal”. Atau misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO
dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya
sebagai teman atau kawan semata”, serta ‘KAMU dan AKU’ juga yang lainnya.
Paradigma Kritis
Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan kontruktivisme yang
kurang sensitif pada proses produksi dan reprosuksi makna yang terjadi secara
historis maupun intitusional. Analisis teori kritis tidak berpusat pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada

konstruktivisme.
Beberapa teori yang dinaungi oleh Paradigma Kritis diantaranya yakni Teori
Feminis dan Teori Analisis Wacana.
1. Teori Feminis
Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial
yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan menindas perempuan.
Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan mencari
alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang
meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang. Feminisme secara garis
besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

22 
 

feminisme radikal. Feminisme liberal lebih kepada paham paham demokrasi
liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi
semua individu. Sedangkan feminisme radikal, lebih kepada melihat persoalan

tidak sebatas pada hak yang bersifat publik. Oleh karena itu, jika feminisme
liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak
secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan.
Misalnya, Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena
pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
2. Analisis Wacana
Teori analisis wacana termasuk dalam proses komunikasi yang menggunakan
simbol-simbol, berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam
sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan
komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, tidak bersifat
netral

atau

steril.

Eksistensinya

ditentukan


oleh

orang-orang

yang

menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi
masyarakat

luas

yang

melatarbelakangi

keberadaannya,

dan

lain-lain.


Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingankepentingan, dan lain-lain.
Dalam khasanah studi analisis tekstual, analisis wacana masuk dalam
paradigma kritis, suatu paradigma berpikir yang melihat pesan sebagai
pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi
dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain. Paradigma kritis
melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru
dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok
yang tidak dominan. Dengan kata lain, teks di dalam media adalah hasil proses
wacana media (media discourse) Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi,
dan kepentingan media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media
“tidak

netral”sewaktu

mengkonstruksi

realitassosial.

(sumber:www.//repository.usu.ac.id/bitstream/.pdf)

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

23 
 

2.1.2

Komunikasi
Secara epsitemologi istilah kata komunikasi atau dalam bahasa inggris

communication berasal dari bahasa latin yakni communicatio dari sumber kata
communis yang berarti “sama”. Sama dalam arti kata ini bisa di interprestasikan
dengan pemaknaanya adalah sama makna. Jadi secara sederhana dalam proses
komunikasi yang terjadi adalah bermuara pada usaha untuk mendapatkan
kesamaan makna atau pemahaman pada subjek yang melakukan komunikasi
tersebut (dalam Purba, dkk, 2010:1).
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi,
manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari –
hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau dimana
saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam
komunikasi (Muhammad, 2009:1).
Menurut Harjana (dalam Harjana 2001, 2013:165) Komunikasi dapat
efektif apabila pesan diterima dan di mengerti sebagaimana dimaksud oleh
pengirim pesan, kemudian pesan di tindak lanjuti dengan sebuah perbuatan oleh
penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal tersebut (dalam
Daryanto,2013:165).
Sedangkan menurut Berelson dan Steiner komunikasi adalah proses
penyampaian informasi, gagasan, emosi keahlian dan lain lain melalui
penggunaan simbol-simbol seperti kata kata, gambar-gambar, angka-angka, dan
lain lain (dalam Purba, dkk, 201:32).
Kesimpulannya komunikasi ialah cara manusia dalam menyampaikan
informasi agar orang lain dapat mengerti dan memahami apa yang
disampaikannya. Dengan demikian definisi komunikasi mendapat penekanan
yang berbeda-beda antara satu sama lain, dan perbedaan tersebut pada umumnya
dilatarbelakangi oleh sudut pandang keilmuan para ahli yang mendefinisikannya.
Tatanan komunikasi meliputi intrapribadi, antarpribadi, kelompok massa,
media. Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, opini, perilaku,
masyarakat,

dan

lainya.

Sementara

itu,

fungsi

komunikasi

adalah

menginformasikan, mendidik dan mempengaruhi. Teknik komunikasi terdiri dari

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

24 
 

komunikasi informatif, persuasif, koerisif, instruksif dan hubungan manusia
(dalam Maufid, 2014:84).
2.1.3

Komunikasi verbal
Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang disampaikan

komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral).
Jalaluddin Rakhmat (1994), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal.
Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk
mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya
dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial
untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat
yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap
bahasa

mempunyai

peraturan

bagaimana

kata-kata

harus

disusun

dan

dirangkaikan supaya memberi arti. Tatabahasa meliputi tiga unsur: fonologi,
sintaksis, dan semantik. Fonologi merupakan pengetahuan tentang bunyi-bunyi
dalam bahasa. Sintaksis merupakan pengetahuan tentang cara pembentukan
kalimat. Semantik merupakan pengetahuan tentang arti kata atau gabungan katakata.
Menurut Larry L. Barker (dalam Mulyana,2005), bahasa mempunyai tiga
fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.
1. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan
objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat
dirujuk dalam komunikasi.
2. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat
mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
3. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah
yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai
fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan
masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan
budaya dan tradisi kita.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

25 
 

Cansandra L. Book (1980), dalam Human Communication: Principles,
Contexts, and Skills, mengemukakan agar komunikasi kita berhasil, setidaknya
bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu:
1. Mengenal dunia di sekitar kita. Melalui bahasa kita mempelajari apa saja
yang menarik minat kita, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada
masa lalu sampai pada kemajuan teknologi saat ini.
2. Berhubungan dengan orang lain. Bahasa memungkinkan kita bergaul
dengan orang lain untuk kesenangan kita, dan atau mempengaruhi mereka
untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan
lingkungan kita, termasuk orang-orang di sekitar kita.
3. Untuk

menciptakan

koherensi

dalam

kehidupan

kita.

Bahasa

memungkinkan kita untuk lebih teratur, saling memahami mengenal diri
kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita.
2.1.4

Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah proses komunikasi dimana pesan

disampaikan tidak menggunakan kata-kata tetapi menggunakan gerak isyarat,
bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata. Para ahli di bidang komunikasi
nonverbal biasanya menggunakan definisi "tidak menggunakan kata" dengan
ketat, dan tidak menyamakan komunikasi non-verbal dengan komunikasi
nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan tulisan tidak dianggap sebagai
komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan intonasi dan gaya
berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal juga
berbeda dengan komunikasi bawah sadar , yang dapat berupa komunikasi verbal
ataupun nonverbal. Adapun jenis-jenis komunikasi nonverbal adalah sebagai
berikut:
1. Komunikasi objek
Komunikasi objek yang paling umum adalah penggunaan pakaian. Orang
sering dinilaidari jenis pakaian yang digunakannya, walaupun ini dianggap
termasuk salah satu bentuk stereotipe. Misalnya orang sering lebih

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

26 
 

menyukai orang lain yang cara berpakaiannyamenarik. Selain itu, dalam
wawancara pekerjaan seseorang yang berpakaian cenderung lebih mudah
mendapat pekerjaan daripada yang tidak. Contoh lain dari penggunaan
komunikasi objek adalah seragam.
2. Sentuhan (Haptik)
Haptik adalah bidang yang mempelajari sentuhan sebagai komunikasi
nonverbal. Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan,
berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain.
Masing-masing bentuk komunikasi ini menyampaikan pesan tentang
tujuan atau perasaan dari sang penyentuh. Sentuhan juga dapat
menyebabkan suatu perasaan pada sang penerima sentuhan, baik positif
ataupun negatif.
3. Kronemik
Kronemik adalah bidang yang mempelajari penggunaan waktu dalam
komunikasi nonverbal. Penggunaan waktu dalam komunikasi nonverbal
meliputi durasi yang dianggap cocok bagi suatu aktivitas, banyaknya
aktivitas yang dianggap patut dilakukan dalam jangka waktu tertentu, serta
ketepatan waktu (punctuality).
4. Gerakan Tubuh
Dalam komunikasi nonverbal, kinesik atau gerakan tubuh meliputi kontak
mata, ekspresi wajah, isyarat, dan sikap tubuh. Gerakan tubuh biasanya
digunakan untuk menggantikan suatu kata atau frasa, misalnya
mengangguk untuk mengatakan ya; untuk mengilustrasikan atau
menjelaskan sesuatu; menunjukkan perasaan, misalnya memukul meja
untuk menunjukkan kemarahan; untuk mengatur atau menngendalikan
jalannya percakapan; atau untuk melepaskan ketegangan.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

27 
 

5. Proxemik
Proxemik atau bahasa ruang, yaitu jarak yang Anda gunakan ketika
berkomunikasi dengan orang lain, termasuk juga tempat atau lokasi posisi
Anda berada. Pengaturan jarak menentukan seberapa jauh atau seberapa
dekat tingkat keakraban Anda dengan orang lain, menunjukkan seberapa
besar penghargaan, suka atau tidak suka dan perhatian Anda terhadap
orang lain, selain itu juga menunjukkan simbol sosial. Dalam ruang
personal, dapat dibedakan menjadi 4 ruang interpersonal :
a) Jarak intim
Jarak dari mulai bersentuhan sampai jarak satu setengah kaki. Biasanya
jarak ini untuk bercinta, melindungi, dan menyenangkan.
b) Jarak personal
Jarak yang menunjukkan perasaan masing - masing pihak yang
berkomunikasi dan juga menunjukkan keakraban dalam suatu
hubungan, jarak ini berkisar antara satu setengah kaki sampai empat
kaki.
c) Jarak sosial
Dalam jarak ini pembicara menyadari betul kehadiran orang lain,
karena itu dalam jarak ini pembicara berusaha tidak mengganggu dan
menekan orang lain, keberadaannya terlihat dari pengaturan jarak antara
empat kaki hingga dua belas kaki.
d) Jarak publik
Jarak publik yakni berkisar antara dua belas kaki sampai tak terhingga.

e) Vokalik
Vokalik atau paralanguage adalah unsur nonverbal dalam suatu ucapan,
yaitu cara berbicara. Ilmu yang mempelajari hal ini disebut
paralinguistik. Contohnya adalah nada bicara, nada suara, keras atau

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

28 
 

lemahnya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara, intonasi, dan lainlain. Selain itu, penggunaan suara-suara pengisi seperti "mm", "e", "o",
"um", saat berbicara juga tergolong unsur vokalik, dan dalam
komunikasi yang baik hal-hal seperti ini harus dihindari.
f) Lingkungan
Lingkungan juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
tertentu. Diantaranya adalah penggunaan ruang, jarak, temperatur,
penerangan, dan warna.
2.1.5 Fungsi Komunikasi Nonverbal
2.1.4.1 Fungsi pertama : Repetisi
Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal. Misalnya, Anda
menganggukkan kepala ketika mengatakan "Ya," atau menggelengkan
kepala ketika mengatakan "Tidak," atau menunjukkan arah (dengan
telunjuk) ke mana seseorang harus pergi untuk menemukan WC.
2.1.4.2 Fungsi Kedua : Subtitusi
Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi tanpa
berbicara Anda bisa berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, seorang
pengamen mendatangi mobil Anda kemudian tanpa mengucapkan
sepatah katapun Anda menggoyangkan tangan Anda dengan telapak
tangan mengarah ke depan (sebagai kata pengganti "Tidak"). Isyarat
nonverbal yang menggantikan kata atau frasa inilah yang disebut
emblem.
2.1.4.3 Fungsi Ketiga : Kontradiksi
Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan
perilaku verbal dan bisa memberikan makna lain terhadap pesan
verbal . Misalnya, Anda memuji prestasi teman sambil mencibirkan
bibir.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

29 
 

2.1.4.4 Fungsi Keempat : Aksentuasi
Memperteguh,

menekankan

atau

melengkapi

perilaku

verbal.

Misalnya, menggunakan gerakan tangan, nada suara yang melambat
ketika berpidato. Isyarat nonverball tersebut disebut affect display.
2.1.4.5 Fungsi Kelima : Komplemen
Perilaku Nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya, saat
kuliah akan berakhir, Anda melihat jam tangan dua-tiga kali sehingga
dosen segera menutup kuliahnya.
Salah satu contoh komunikasi non verbal yaitu kesenian. Kesenian
merupakan salah satu dari 7 unsur kebudayaan universal. Kesenian senantiasa
mempunyai peranan tertentu dalam masyarakat yang menjadi pendukungnya.
Kesenian dapat ditinjau baik dalam aspek kebudayaan maupun masyarakat.
Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di
biasakan dengan belajar dari hasil budi dan karya tersebut. Seni adalah sesuatu
yang indah yang dihasilkan manusia, melalui penglihatan, pendengaran dan
perasaan. Seni dapat dilihat dalam konteks komunikasi yang diartikan dalam jiwa
seseorang yang dapat didengar, maupun dilihat dalam alunan alat musik dan
tarian. Seni termasuk di dalamnya seperti : musik, lukisan, dan tari, untuk
memenuhi kebutuhan tertentu baik dalam kebutuhan umum yang mencangkup
kawasan luas masyarakat yang menikmati seni itu. Namun beberapa seniman
menikmati seni itu hanya untuk kepuasan pribadinya sendiri.  Sumber :
www://staff.uny.ac.id/./KOMUNIKASI-KOMUNIKASI%20NON%20VERBAL.pdf)
2.1.6

Fungsi pesan nonverbal.

Paul Ekman (dalam Mulyana, 2004: 314) menyebut lima fungsi pesan
nonverbal, yaitu;
1. Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki
kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, ”saya
tidak sungguh-sungguh”.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

30 
 

2. Illustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan kesedihan atau
depresi.
3. Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan
muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi.
4. Penyesuai. Kedipan mata yang meningkat ketika orang berada dalam
tekanan. Itu merupakan respon yang tidak disadari yang merupakan upaya
tubuh mengurangi kecemasan.
5. Affect Display. Pembesaran manik-mata menunjukkan peningkatan emosi.
Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang.
Sedangkan Mark L. Knapp (dalam Rahmat, 1994), menyebut lima fungsi
pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal:
1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara
verbal. Misalnya setelah mengatakan penolakan saya, saya menggelengkan
kepala.
2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa
sepatah katapun kita berkata, kita menunjukkan persetujuan dengan
mengangguk-anggukkan kepala.
3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain
terhadap pesan verbal. Misalnya anda ’memuji’ prestasi teman dengan
mencibirkan bibir, seraya berkata ”Hebat, kau memang hebat.”
4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal.
Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak
terungkap dengan kata-kata.
5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.
Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul
meja.
Sementara itu, Dale G. Leathers (1976) dalam Nonverbal Communication
Systems, menyebutkan enam alasan mengapa pesan verbal sangat signifikan.
Yaitu:

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

31 
 

1. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi
interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatamuka, kita
banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan
nonverbal. Pada gilirannya orang lainpun lebih banya ’membaca’ pikiran
kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal.
2. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan noverbal
ketimbang pesan verbal.
3. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari
penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur
oleh komunikator secara sadar.
4. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat
diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi
metakomunikatif

artinya

memberikan

informasi

tambahan

yang

memeperjelas maksud dan makna pesan. Diatas telah kita paparkan pesan
verbal mempunyai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan
aksentuasi.
5. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien
dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat
tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redundansi, repetisi,
ambiguity, dan abtraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk
mengungkapkan pikiran kita secara verbal.
6. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada situasi
komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan dan emosi
secara tidak langsung. Sugesti ini dimaksudkan menyarankan sesuatu
kepada orang lain secara implisit (tersirat).
Bahasa verbal dan nonverbal sebagai bentuk pesan yang digunakan oleh
manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungannya, memiliki
persamaan yaitu :
1. Menggunakan sistem lambang atau simbol.
2. Merupakan sesuatu yang di hasilkan oleh individu manusia.
3. Orang lain juga memberikan arti simbol yang dihasilkan tadi.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

32 
 

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal
mencakup semua rangsangan, kecuali rangsangan verbal dalam suatu setting
komunikasi yang dihasilkan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial
bagi pengirim atau penerima. Jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja
maupun tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara
keseluruhan. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan
kata-kata.
Menurut Frank Ex Dance dan Carl E. Larson, komunikasi nonverbal
adalah stimuli yang tidak tergantung pada isi simbolik untuk memaknainya.
Sedangkan menurut Edwar Sapir, Komunikasi nonverbal adalah suatu
kode yang luas yang ditulis tidak dimana pun juga, diketahui oleh tidak seorang
pun dan di mengerti oleh semua. (www.cai.elearning.gundarma.ac.id)
Berarti di sini terjadi suatu proses yang saling memberikan arti pada
simbol-simbol yang disampaikan antara individu-individu yang berhubungan.
Sarbaugh mencoba mengkaitkan definisinya : Komunikasi merupakan proses
penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol yang mendatangkan makna bagi
orang lain. Dari beberapa pendapat mengenai pengertian komunikasi, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
1. Kelangsungan komunikasi tergantung pada macam-macam sistem
tanda dan lambang yang digunakan.
2. Komunikasi dapat terjadi jika makna simbol yang ada dalam diri
seseorang juga mempunyai arti yang sama bagi orang lain dengan
siapa orang tersebut berinteraksi.
3. Salah satu masalah yang paling sering terjadi dalam komunikasi ialah
apabila terdapat perbedaan pemberian makna terhadap simbol,
(Sarbaugh, 1979:2).
2.1.7

Proses-proses Komunikasi Nonverbal
Dalam merumuskan pengertian “Komunikasi Nonverbal” ada beberapa

definisi yang digunakan secara umum yaitu :

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

33 
 

1. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.
2. Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa
menggunakan suara.
3. Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang
yang diberi makna oleh orang lain.
4. Komunikasi nonverbal adalah suatu mengenai ekspresi, wajah, sentuhan,
waktu, gerak, syarat, bau, perilaku mata dan lain-lain. (Samovar, 2010)
Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani oleh seorang individu
atau lebih pada saat menyampaikan isyarat-isyarat nonverbal yang memilki
potensi untuk merangsang makna dalam pikiran individu atau individu-individu
lain. Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan
manusia, walaupun hal ini sering kali tidak kita sadari. Padahal kebanyakan ahli
komunikasi akan sepakat apabila dikatakan bahwa dalam interaksi tutup muka
umumnya, hanya 35 persen dari social context suatu pesan yang disampaikan
dengan kata-kata.
2.2

Kajian Pustaka

2.2.1 Semiotika
Secara etimologis kata “semiotika” berasal dari bahasa yunani, semion
yang bertarti “tanda” (Sudjiman dan van Zeoest, 1996:vii) atau seme, yang berarti
“penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1994:4) . Semiotika berakar dari studi klasik
dan skolastik atas seni, logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001:49).
Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia
dengan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal
bisa dikomunikasikan di dunia ini. Kajian semiotika sampai sekarang telah
membedakan dua jenis semiotik, yakni semiotika komunikasi dan semiotika
signifikasi. Pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah
satu diantarannya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu
pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan saluran komunikasi. Kedua
memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamanya dalam suatu konteks

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

34 
 

tertentu. Pada jenis kedua tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi,
sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahamannya dalam suatu konteks
tertentu.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika
atau dalam istilah Bartes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). Memaknai
(tosinify)

dalam

hal

ini

tidak

dapat

dicampur

adukkan

dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes,1988:179;
Kurniawan, 2001:53).
Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang sebagai proses tanda yang dapat
diberikan dalam islitah semiotika sebagai hubungan antara 5 istilah yaitu :
S ( s, i, e, r, c )

S : adalah tanda untuk semiotic relation (hubungan semiotik)
s : untuk sign (tanda)
i : untuk interpreter (penafsir)
e : untuk effect atau pengaruh (misalnya, suatu disposisi dalam i akan beraksi
dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c karena s)
r : untuk reffrence (rujukan)
c :

untuk context (konteks) atau conditions (kondisi)
( Gambar 2.1 )

Sumber: Drs. Alex Sobur dalam Pilliang (2003). Komuniasi Semiotik, Bandung:
hlm.17

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

35 
 

Umberto Eco (1979: 4-5) Mengatakan semiotika adalah :
“Ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat diguanakan untuk
medustai, mengelabui, atau mengecoh.”
“Semiotika menaruh perhatian apa pun yang dapat dinyatakan sebagai
tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda
yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara
nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu,
semiotika pada prinsipnya adalah sebuah displin yang mempelajari apa
pun yang bisa digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan,
sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran…” (Berger,
200a: 11-12).”
Fiske (dalam Bungin, 2005: 76) mengatakan, bahwa semiotika mempunyai
tiga bidang studi yaitu :
a) Tanda itu sendiri. Hal yang terdiri atas studi tentang berbagai tanda
yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam
menyampaikan makna, dan cara cara tanda itu terikat dengan
manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konsturksi manusia
dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang
menggunakannya.
b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini
mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi
kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk
mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk
menstransmisikannya.
c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri,
Adapun menurut para ahli semiotika dijelaskan sebagai berikut:
1. C.S Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda
adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di
luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang
muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

36 
 

Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda
ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna
tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam
proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda
itu digunakan orang saat berkomunikasi. (dalam Pilliang 2004)
2. Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913).
Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda
(signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik
dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai
makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung
didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara
penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi.
Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda
dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan
sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda
terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan
konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. (dalam Pilliang
2004)
3. Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya
tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna
eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna
yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Roland Barthes adalah
penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

37 
 

kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik
pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang
berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan
pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman
personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini
dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya
sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan
personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga
melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat.
“Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda
baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi,
ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi
makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. (dalam
Pilliang 2004)

2.2.1.1 Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika sebagai cabang ke ilmuan memperlihatkan pengaruh pada
bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termaksuk
desain komunikasi visual. Sehingga dalam memahami sebuah karya visual
layaknya harus memilah satu-persatu dalam pemaknaan yang dimana aspek
tersebut mau dipahami sehingga dapat dimengerti.
Menurut Tinarbuko (dalam Piliang, 2012: 339-340) semiotika komunikasi
visual yaitu semiotika sebagai mentode pembacaan karya komunikasi visual.
Dilihat dari sudut pandang semiotika khusus, dengan perbendaharaan kata
(vocabulary) dan sintaks (sintagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem
semiotika seni.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

38 
 

Fungsi signifikasi adalah fungsi di mana penanda yang bersifat konkrit
dimuati dengan konsep-konsep abstar, atau makna, yang secara umum disebut
petanda. Dapat dikatakan di sini, bahwa meskipun semua muatan komunikasi dari
bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenarnya masih mempunyai
muatan signifikasi, yaitu muatan makna.
Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain komunikasi visual.
Berbagai bentuk desain komunikasi visual: iklan, fotografi jurnalistik, poster,
kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara telivisi, video klip, web design, cd
interaktif adalah di antara bentuk-bentuk komunikasi visual yang melaluinya
pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser,
copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).
Semiotika komunikasi mengkaji tanda kontes komunikasi yang lebih luas,
yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media,
pesan, kode (bahkan juga noise). Semiotika komunikasi menekankan aspek
produksi tanda di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media,
ketimbang sistem tanda. Di dalam semiotika, tanda ditempatkan di dalam rantai
komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam penyampaian pesan.
2.2.1.2 Semiotika Roland Barthes
Roland bathes dikenal sebagai salah seorang pmikir struturalis yang getol
mempraktikkan model lingguistik dan semiologi Sausurrean. Dalam bidang
studinya, barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca
agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).
Karakteristik semiotika Barthes adala adanya dua tataran sistem
pemaknaan. Dalam Mythologies, sistem pemaknaan tataran pertama disebut
denotatif, sedangkan sistem pemaknaan tataran kedua disebut konotatif.
Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi dan
konotasi. ‘Denotasi’ adalah tingkat pertandaan, yaitu pertandaan yang
menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

39 
 

rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan
pasti. Sementara, ‘konotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang
tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (yang maksudnya terbuka terhadap
berbagai kemungkinan penafisran). Selain itu, Barthes juga melihat makna yang
lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna yang
berkaitan dengan mitos. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes adalah
pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif)
sebagai sesuatu yang dianggap alamiah,
1. Signfier
(penanda)

2. Signified
(pertanda)

3. Denotative sign ( tanda denotatif )

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
( PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE
SIGNIFIED
( PETANDA
KONOTATIF )

6. CONNOTATIVE SIGN ( TANDA KONOTATIF)
Sumber : Cobley, Paul & Jansz, Lita (1999). Introducing semiotics. New York : Totem Books,
hlm. 51

Gambar 2.2
Peta tanda Roland Barthes

Dari peta tanda Barthes di atas bahwa terlihat bahwa tanda denotatif (3)
terdiri dari penanda (1) dan pertanda (2), namun bersamaan pula dengan tanda
denotatif menjadi penanda konotatif (4). Tanda konotatif tidak sekedar memeliki

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

40 
 

makna tambahan tapi mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya dengan ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu
(Budiman, 2001: 28) di dalam mitos juga terdapat pula tiga dimensi penanda,
pertanda, dan tanda namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh
suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lai, mitos
adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Barthes menempatakan
ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologim hubungan
antara penanda konotatif dan petanda kontatif terjadi secara termotivasi
(Budiman, 2001; 28).
Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan
oral, namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah,
olah raga, pertujukan, iklan lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang
mempunyai modus reprentasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang
belum tentu bisa ditangkap secara langusng (Iswidayanti, 2006).
Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five
major code) yang didalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang
ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66):
1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.
Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi
tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan
suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian cerita.
2. Kode proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkap
utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat
naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

41 
 

Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip selekisi. Kita mengenal
kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.
3. Kode simbolik, merupoakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat sturktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural.
Hal ini didasrkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa
oposisi biner atau pembedaan- baik dalam taraf bunyi menjadi fonem
dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual
yang memlalui proses. Pemisahaan dunia secara kultural dan primitf
menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis
dapat dikodekan.
4. Kode kultural atau gnomik merupakan acuan teks ke benda-benda yang
sudah diketahui dan dikofikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme
tradisional diefenisi oleh acuan budaya apa yang telah diketahui. Rumusan
suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi
yang di atasnya penulis bertumpu.
5. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa
konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dalam dikelompokkan dengan
kontasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan
kontosi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika semjumlah
kontoasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu
tokoh dengan atribut tertentu.
Di samping penanda teks (leksia) dan lima kode pembacaan yang telah
dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland
Barthes adalah:
1. Penanda dan Petanda
Menurut sausure, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu
tersusun dari dua bagian yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penada (signifier) dengan sebuah ide atau

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

42 
 

petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna”
atau “coretan yang bermakna”. Jadi , penanda adalah aspek material dari bahasa:
apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah
gambaran mental, pikiran dan konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari
bahasa (Bartens, 2001: 180. Menurut Saussuree, penanda dan petanda merupakan
kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausure menggambarkan tanda yang
terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:
Sign

Composed of
Signfication

Signifier

plus

Signified

external
Reality of meaning

Sumber: Sobour, Alex. (2004). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Gambar 2.3
Elemen-Elemen Makna Saussure

Pada dasaranya apa yang di sebut signifier dan signified tersebut adalah
produk kultural. Setiap tanda keabsahaan, menurut Saussure, pada dasarnya
menyatukan sebuah konsep (concept) dan suat citra suara (sound image), bukan
menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah nama.
Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda
(signifier) sedangkan konsepnya adalah petanda (signfied). Dua unsur ini tidak
bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya akan menghancurkan ‘kata’
tersebut.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

43 
 

2. Denotasi dan Konotasi
Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang
“sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau
acuan. Prises signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini
biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa
yang terucap (Sobur, 2004: 70).
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada
sebuah kata yang secara bebas memegan peranan penting di dalam ujaran.
Denotasi berisfat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khsusus yang terdapat
dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda.
Sedangkan menurut Kridalaksana denotasi adalah makna kata atau kelompok
kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu.
Makna denotatif suatau kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam
kamus, makna konotatif ialah maknay denotatif ditambah dengan segala
gambara, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi itu
sendiri berasal dari bahasa latin connotare, “menjadi tanda” dan mengarah
kepada makna-makna kultural yang terpisah atau berbeda dengan kata (dan
bentuk-bentuk lain dari komunikasi).
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dalam
sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.
(Lyons dalam Pateda, 2001: 98). Makna denotasi bersifat khusus yang terdapat
dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah
petanda (Berger,2000b: 55). (Harimurti Kridalaksana 2001: 40) mendefenisikan
denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan
atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan
atasn konvensi tertentu; sifatnya objektif.”
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif (Keraf, 1994: 29). Makna konotatif adalah suatu
jenis makna di mana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional.
Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan
setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagiannya pada pihak pendengar,

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

44 
 

dipihak lain, kata yang di pilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga
memendam perasaan yang sama (Sobur, 2004: 266)
Makna konotatif sebuah kata yang di pengaruhi dan ditentikanm oleh dua
lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkuang budaya (Sumarjdo & Saini,
1994: 126). Yang di maksud dengan lingkungan tekstual adalah semua kata di
dalam paragraf dan karangan menentukan makna konotatif itu. Pengaruh
lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam
lingkungan budaya yang berbeda (Sobur, 2004: 266).
Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih disioasikan dengan
ketertutupan makna dan demgan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai
reaksi yang paling esktream melawan keharfian denotasi yang bersifat denotasi
yang opreasif, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang
ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan,
namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna
“harfia” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman dalam Sobur, 2004:
71).
3. Paragdimattik dan Sintagmatik
Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara
individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya
di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem kombinasi yang lebih
besar (kalimat, buku, alkitab) melibatkan apa yang disebutkan aturan
pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu cara
pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode
tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam
mesin untuk memproduksi makna. Dalam bahasa, kita harus mematuhi aturan
main bahasa (gramar, sintaks) jika kita ingin menghasilkan ekspresi yang
bermakna.

Universitas Sumatera Utara 
Universitas Sumatera Utara

45 
 

Aturan main pertama dalam bahasa, menurut Saussure adalah: bahwa di dalam
bahasa hanya ada prinsip perbedaan. Misalnya, t